Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

“TETANUS”
Lapkas ini Disusun Sebagai Salah Satu Persyaratan Mengikuti
Kepaniteraan Klinis Senior Ilmu Kesehatan Saraf RSU Haji Medan

OLEH :

Susi Sugiarti 102119098


Eza Putri Zaidin 20360007
Futri Vadriati 20360008

PEMBIMBING :
dr. Luhu Avianto Tapiheru, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KEDOKTERAN


SARAF RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang puji
syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik, serta
shalawat dan salam tak lupa kami panjatkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman yang penuh dengan
kejahilan yang berisi berbagai kecanggihan teknologi serta ilmu pengetahuan
dalam proses pembuat makalah ini kami tidak terlepas dari hambatan dan
kesulitan, namun berkat bimbingan, bantuan dari berbagai pihak akhirnya makalah
ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada
pembimbing yaitu dr. Luhu A Tapiheru, Sp.S yang mana telah memberikan
masukan serta bimbingan kami dalam bantuan makalah ini.
Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
karena itu kami mengharapkan kritik saran dan tanggapan demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini member manfaat khususnya bagi kami dan
semua pihak. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih.
Wassalammu’alaikum Wr.Wb

Medan, April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................3
2.1. Anatomi Otak........................................................................................3
2.2. Definisi..................................................................................................5
2.3. Epidemiologi.........................................................................................6
2.4. Etiologi..................................................................................................6
2.5. Faktor Resiko........................................................................................6
2.6. Patofisiologi...........................................................................................7
2.7. Manifestasi Klinis..................................................................................9
2.8. Diagnosis.............................................................................................10
2.9. Penatalaksanaan...................................................................................12
2.10. Komplikasi..........................................................................................14
2.11. Prognosis..............................................................................................15
BAB III LAPORAN KASUS..........................................................................16
3.1. Anamnesis...........................................................................................16
3.2. Pemeriksaan Fisik................................................................................17
3.3. Status Neurologi..................................................................................18
3.4. Hasil CT-Scan.....................................................................................27
3.5. Kesimpulan Pemeriksaan....................................................................28
BAB IV KESIMPULAN.................................................................................30
4.1. Kesimpulan..........................................................................................30
4.2. Saran........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin


yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik
dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi
oleh Clostridium tetani.1,2
Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah. Implementasi imunisasi
tetanus global telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Realitanya imunitas
terhadap tetanus tidak berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster
jika seseorang mengalami luka yang rentan terinfeksi tetanus.
Tetanus tidak ditularkan dari pasien ke pasien. Infeksi terjadi bila
spora Clostridium tetani spores masuk melalui luka akibat trauma, pembedahan
dan injeksi atau luka kronik pada kulit, atau lesi dan infeksi pada kulit kuli. Hal ini
disebabkan oleh luka yang tidak mendpatkan perawatan medis.
2 Periode inkubasi dari tetanus antara 3 sampai 21 hari (rata-rata 7
hari). Periode inkubasi terpendek (<7 hari) Keterlambatan penanganan di hubungkan
dengan hasil yang fatal.
Langkah pertama dalam mendiagnosis pasien Tetanus adalah dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Anamnesis
merupakan hal yang utama dalam mendiagnosis pasien tetanus dengan
menanyakan adanya riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi,
gejala-gejala klinis yang timbul dan penderita biasanya belum mendapatkan
imunisasi.
Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organisme
yang terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan
toksin lebih lanjut; toksin yang terdapat dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat
hendaknya dinetralisasi; dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf
pusat diminimisasi.

1
Pada laporan kasus ini, akan dibahas sebuah kasus trismus et causa tetanus
+ abses yang dialami oleh seorang pasien di Rumah Sakit umum Haji Medan.
Berbagai aspek seperti, definisi, faktor risiko, etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, diagnosa, talaksana dan prognosis akan dibahas pada laporan kasus ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh C. tetani ditandai dengan kekakuan otot dan spasme yang
periodik dan berat.1, 2, 6 Tetanus dapat didefinisikan sebagai keadaan hipertonia
akut atau kontraksi otot yang mengakibatkan nyeri (biasanya pada rahang bawah
dan leher) dan spasme otot menyeluruh tanpa penyebab lain, serta terdapat
riwayat luka ataupun kecelakaan sebelumnya.4

2.3. Etiologi
C. tetani adalah bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di tanah dan
kotoran binatang.2, 6 Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi spora,
memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat. Spora ini
bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun. C. tetani merupakan bakteri yang
motil karena memiliki flagella, dimana menurut antigen flagellanya, dibagi menjadi
11 strain dan memproduksi neurotoksin yang sama.
Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen
desinfektan baik agen fisik maupun agen kimia. Spora C. tetani dapat bertahan dari
air mendidih selama beberapa menit (meski hancur dengan autoclave pada suhu
121° C selama 15-20 menit). Jika bakteri ini menginfeksi luka seseorang atau
bersamaan dengan benda lain, bakteri ini akan memasuki tubuh penderita tersebut,
lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.2

Gambar 1. Clostridium tetani, dengan bentukan khas “drumstick” pada


bagian bakteri yang berbentuk bulat tersebut spora dari Clostridium tetani dibentuk.
(dengan pembesaran mikroskop 3000x).2
Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika menempati
tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan berkembang dan melepaskan toksin tetanus.
Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat mengakibatkan penyakit tetanus (dosis
letal minimum adalah 2,5 ng/kg).2
2.2 Epidemiologi
Pada negara berkembang, penyakit tetanus masih merupakan masalah
kesehatan publik yang sangat besar.21 Dilaporkan terdapat 1 juta kasus per tahun di
seluruh dunia, dengan angka kejadian 18/100.000 penduduk per tahun serta angka
kematian 300.000- 500.000 per tahun.2
Mortalitas dari penyakit tetanus melebihi 50 % di negara berkembang,
dengan penyebab kematian terbanyak karena mengalami kegagalan pernapasan
akut.4 Angka mortalitas menurun karena perbaikan sarana intensif (ICU dan
ventilator), membuktikan bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ahli
sangat berguna dalam efektivitas penanganan penyakit tetanus.4, 5, 9
Penelitian oleh Thwaites et al pada tahun 2006 mengemukakan bahwa Case
Fatality Rate (CFR) dari pasien tetanus berkisar antara 12-53%.5
Penyebab kematian pasien tetanus terbanyak adalah masalah semakin
buruknya sistem kardiovaskuler paska tetanus ( 40%), pneumonia (15%), dan
kegagalan pernapasan akut (45%).20Health Care Associated Pneumonia (HCAP)
dalam beberapa penelitian dihubungkan dengan posisi saat berbaring. Tetapi,
penelitian terbaru oleh Huynh et al (2011), posisi semi terlentang atau terlentang
tidak memberi perbedaan yang bermakna terhadap terjadinya pneumonia pada
pasien tetanus.22 Angka mortalitas penyakit tetanus di negara maju cukup tinggi
bagi kelompok yang mempunyai risiko tinggi terhadap kematian akibat penyakit ini.
Infark miokard menjadi konsekuensi dari disfungsi saraf otonom dan berperan besar
terhadap angka mortalitas penyakit tetanus di populasi usia lanjut.4, 20
2.4. Patofisiologi
Sistem saraf pusat memiliki kebutuhan energy yang sangat tinggi yang
hanya dapat dipenuhi oleh suplai subtract metabolic yang terus menerus dan tidak
terputus. Pada keadaan normal, energi tersebut semata-mata berasal dari
metabolisme aerob glukosa. Otak tidak memiliki persediaan energy untuk
digunakan saat terjadi potensi gangguan penghantaran substrat. Jika tidak
mendapatkan glukosa dan oksigen dalam jumlah cukup, fungsi neuron akan
menurun dalam beberapa detik. Sejumlah energy yang berbeda dibutuhkan agar
jaringan otak tetap hidup (intak secara structural) dan untuk membuatnya tetap
berfungsi. Kebutuhan aliran darah minimal untuk memelihara strukturnya adalah
sekitar 5-8 ml per 100 g per menit (pada jam pertama iskemia). Sebaliknya,
kebutuhan aliran darah minimal untuk berlanjutnya fungsi adalah 20 ml per 100 g
per menit. Karena itu, dapat terlihat adanya deficit fungsional tanpa terjadinya
kematian jaringan (infark). Jika aliran darah yang terancam kembali pulih dengan
cepat, seperti oleh trombolisis spontan atau secara tarapeutik, jaringan otak tidak
rusak dan berfungsi kembali seperti sebelumnya yaitu deficit neurologis pulih
sempurna. Hal ini merupakan rangkaian kejadian pada transient ischemic attack
(TIA), yang secara klinis didefinisikan sebagai deficit neurologis sementara
dengan durasi tidak lebih dari 24 jam. Delapanpuluh persen dari seluruh TIA
berlangsung sekitar 30 menit. Manifestasi klinisnya bergantung pada teritori
vascular otak tertentu yang terkena. TIA pada teritori arteri serebri media sering
ditemukan pasien; pasien mengeluhkan parastesia dan deficit sensorik
kontralateral sementara, serta kelemahan kontralateral sementara. Serangan seperti
ini kadang-kadang sulit dibedakan dari kejang epileptic fokal. Iskemia pada
teritori vertebrobasilar, sebaliknya, menyebabkan tanda dan gejala batang otak
sementara, termasuk vertigo. Defisit neurologis akibat iskemia kadang-kadang
dapat berkurang meskipun telah berlangsung selama lebih dari 24 jam; pada
kasus-kasus tersebut,
bukan disebut sebagai TIA, tetapi PRIND (prolonged reversible ischemic
neurological deficit). Jika hipoperfusi menetap lebih lama daripada yang dapat
ditoleransi oleh jaringan otak, terjadi kematian sel. Stroke iskemik tidak
reversible. Kematian sel dengan kolaps sawar darah-otak mengakibatkan influks
cairan kedalam jaringan otak yang infark (edema serebri yang menyertai). Dengan
demikian infarks dapat mulai membengkak dalam beberapa jam setelah kejadian
iskemik, membengkak maksimal dalam beberapa hari kemudian, dan kemudian
perlahan-lahan kembali mengecil. Pada pasien dengan infark yang luas dengan
edema luas yang menyertainya, tanda klinis hipertensi intracranial yang
mengancam jiwa seperti sakit kepala, muntah, dan gangguan kesadaran harus
diamati dan diterapi. Volume infark kritis yang dibutuhkan untuk menimbulkan
keadaan ini bervariasi sesuai dengan usia pasien dan volume otak. Pasien yang
lebih muda dengan otak berukuran normal berisiko setelah mengalami infark luas
di teritori dapat tidak terancam kecuali infark melibatkan teritori dua atau lebih
pembuluh darah serebri. Pada keadaan ini, umumnya nyawa pasien dapat
diselamatkan hanya dengan terapi medis pada saat yang tepat untuk menurunkan
tekanan intracranial, atau dengan pengangkatan fragmen besar tulang tengkorak
secara operatif (hemikraniektomi) untuk dekompresi otak yang membengkak.
Sebagai kelanjutan infark, jaringan otak yang mati mengalami likuefaksi dan
diresorpsi. Yang tersis adalah ruang kistik yang berisi cairan serebrospinalis,
kemungkinan mengandung beberapa pembuluh darah dan jalinan jaringan ikat,
disertai perubahan glial reaktif (astrogliosis) di parenkim sekitarnya. Tidak ada
jaringan parut yang terbentuk pad keadaan ini(proliferasi jaringan kolagen).
Makna sirkulasi kolateral. Perjalanan dan luasnya edema parenkim otak
pada suatu saat tidak hanya bergantung pada patensi pembuluh darah yang
normalnya menyuplai regio otak yang beresiko, tetapi juga ketersediaan sirkulasi
kolateral melalui jalur lain. Secara umum, arteri-arteri adalah end artery
fungsional: jalur kolateral normalnya tidak dapat menyediakan darah dalam
jumlah yang cukup untuk mempertahankan jaringan otak di distal arteri yang tiba-
tiba teroklusi. Namun, jika suatu arteri menyempit dengan sangat lambat dan
progresif, kapasitas sirkulasi kolateral dapat meningkat. Kolateral sering dapat
dibuat oleh hipoksia jaringan ringan yang kronik hingga dapat mencukupi
kecukupan energy yang
dibutuhkan jaringan bahkan jika suplai arteri utama terhambat untuk periode yang
relatif lama. Akibatnya infark dapat terlihat lebih kecil, dan lebih sedikit neuron
yang hilanh, daripada yang terlihat jika arteri yang sama tiba-tiba teroklusi dari
keadaan patensi normal.
Suplai darah kolateral dapat berasal dari pembuluh darah lingkaran
anastomosis (sirkulus williso) atau dari anastomosis leptomeningeal superfisial
arteri serebri. Pada umumnya, sirkulasi kolateral lebih baik di bagian perifer
infark daripada dibagian tengahnya. Jaringan otak yang iskemik di perifer yang
berisiko mengalami kematian sel (infark) tetapi, Karena adanya sirkulasi kolateral,
belum mengalami kerusakan yang irreversible disebut sebagai penumbra (half-
shadow) infark. Tujuan semua bentuk terapi stroke akut, termasuk terapi
trombolik adalah menyelamatkan area ini.6

2.5. Manifestasi Kinis


Gambaran klinis yang paling umum adalah defisit neurologik yang
progresif. Pemburukan situasi secara bertahap terjadi pada sepertiga jumlah
penderita., duapertiga lainnya muncul sebagai transient ischemic attack (TIA)
yang kemudian berkembang mejadi defisit neurologik menetap.1
Defisit neurologik pada infark otak biasanya mencapai maksimum dalam
24 jam pertama. Usia lanjut, hipertensi, koma, komplikasi kardiorespirasi,
hipoksia, hiperkapnia, dan hiperventilasi neurogenik merupakan faktor prognosis
yang tidak menggembirakan. Infark di wilayah arteri serebri media dapat
menimbulkan edema masif dengan herniasi otak; hal demikian ini biasanya terjadi
dalam waktu 72 jam pertama pasca-infark.1
Gambaran klinis utama yang dikaitkan dengan insufisiensi aliran darah
otak dapat dihubungkan dengan tanda serta gejala di bawah ini :
1. Arteri vertebralis 7
a. Hemiplegi alternan
b. Hemiplegi ataksik
2. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior ; gejala-gejalanya biasanya
unilateral). Lokasi lesi yang paling sering adalah pada bifurkasio arteria
karotis komunis menjadi arteria karotis interna dan eksterna. Gejala-gejala
yaitu 7:
a. Buta mutlak sisi ipsilateral
b. Hemiparese kontralateral
3. Arteri Basilaris 7
a. Tetraplegi
b. Gangguan kesadaran
c. Gangguan pupil
d. Kebutaan
e. Vertigo
4. Arteria serebri anterior (gejala primernya adalah perasaan kacau)8
a. Kelemahan kontralateral lebih besar pada tungkai. Lengan bagian
proksimal mungkin ikut terserang. Gerakan voluntar pada tungkai
terganggu.
b. Gangguan sensorik kontralateral.
c. Demensia, refleks mencengkeram dan refleks patologis
5. Arteria serebri posterior (dalam lobus mesencepalon atau talamus)8
a. Koma.
b. Hemiparesis kontralateral.
c. Afasia visual atau buta kata (aleksia).
d. Kelumpuhan saraf otak ketiga – hemianopsia, koreoatetosis.
6. Arteria serebri media8
a. Monoparesis atau hemiparesis kontralateral (biasanya mengenai
tangan).
b. Kadang-kadang hemianopsia kontralateral (kebutaan).
c. Afasia global (kalau hemisfer dominan yang terkena) ; gangguan
semua fungsi yang ada hubungannya dengan percakapan dan
komunikasi.
d. Disfagia.
2.6. Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas hasil:
1. Penemuan klinis
 Anamnesis :
a. Terutama terjadinya keluhan / gejala defisit neurologi yang
mendadak
b. Tanpa trauma kepala
c. Adanya faktor resiko GPDO
 Pemeriksaan Fisik
a. Adanya defisit neurologi fokal
b. Ditemukan faktor resiko (hipertensi, kelainan jantung, dll)
c. Bising pada auskultasi atau kelainan pembuluh darah lainnya
d. Pemeriksaan penunjang
 Stroke dengan oklusi pembuluh darah dapat dilakukan pemeriksaan :
1. CT Scan dan MRI

Gambar 3. CT Scan Stroke iskemik


Untuk menetapkan secara pasti letak dan kausa dari
stroke. CT scan menunjukkan gambaran hipodens.
2. Ekokardiografi
Pada dugaan adanya tromboemboli kardiak (transtorakal, atau
transesofageal)
3. Ultrasound scan arteri karotis
Bila diduga adanya ateroma pada arteri karotis. Disini dipakai
prinsip doppler untuk menghasilkan continuous wave untuk
mendeteksi derajat stenosis secara akurat, serta juga pulsed
ultrasound device yang dikaitkan dengan scanner (duplex scan)
4. Intra arterial digital substraction angiografi
Bila pada ultrasound scan terdapat stenosis berat
5. Transcranial Doppler
Dapat untuk melihat sejauh mana anastomosis membantu daerah
yang tersumbat
6. Pemeriksaan darah lengkap
Perlu untuk mencari kelainan pada cairan darah sendiri. 7

2.7. Penatalaksanaan
Penanganan penderita infark serebri bergantung pada tahap
perkembangannya. Dalam hal ini diperlukan klasifikasi yang tepat, apakah itu
suatu TIA, Refersible Ischemic Neurologic Deficit (RIND) atau stroke komplit.
Sampai saat ini belum ada terapi yang efektif, namun demikian upaya-upaya
dibawah ini dapat dipertimbangkan.9
1. Tahap Akut
a. Hemodilusi
Asupan Darah Otak (ADO) berhubungan erat dengan viskositas
darah, dan berhubungan secara terbalik dengan hematokrit: makin tinggi
hematokrit makin rendah ADO-nya. Stagnansi darah di mikrosirkulasi di
jaringan iskemik memberi sumbangan kejadian-kejadian berurutan yang
mempercepat proses infark karena terkumpulnya berbagai macam
metabolisme yang toksik. Meningkatnya sirkulasi untuk membawa atau
membuang metabolit tadi merupakan tujuan utama terapi. Hemodilusi
merupakan salah satu upaya untuk menurunkan viskositas plasma dengan
mengeluarkan eritrosit, membebaskan aliran darah melalui kapilar yang
terganggu di daerah iskemik. Salah satu cara adalah melakukan vena
seksi dan dalam waktu yang bersamaan diberikan bahan
plasma/expanding untuk mencegah terjadinya hipovolemia. Bahan yang
sering dipake adalah dekstran dengan berat molekul rendah. Terapi ini
bersifat selektif.
b. Antikoagulan
Pemberian antikoagulan masih bersifat kontroversial, baik dalam
hal manfaat maupun resikonya. Dorongan untuk memberi anti koagulan
terutama untuk “menghentikan” proses patologik pada kasus stroke-in-
evolution atau progressing stroke.
c. Kontrol terhadap edema otak
Edema pada infark otak, terutama jika terjadi oklusi arteri serebri
media, sulit untuk dikontrol. Kortikosteroid bermanfaat untuk edema
interstisial, hal ini terdapat pada neoplasma. Cairan hyperosmolar
misalnya gliserol, manitol, urea, kurang efektif untuk infark iskemik. Hal
ini disebabkan oleh dua alasan yaitu pemberian cairan hiperosmolar ke
daerah infark terganggu oleh tersumbatnya alirah darah di daerah infark,
dan edema pada infark iskemik merupakan kombinasi antara edema
vasogenik dan sitotoksik.
d. Antagonis Kalsium
Nimodipin merupakan salah satu jenis antagonis kalsium yang
diharapkan dapat mencegah membanjirnya kalsium dalam sel. Pada
awalnya, nimodipin diberikan secara co-infus dengan bantuan syringe-
pump, dengan dosis 2-2,5 ml/jam bergantung pada tekanan darah
penderita selama 5 hari. Dosis tinggi dapat menurunkan tekanan darah
yang tentunya akan menyebabkan bertambah beratnya gejala neurologic.
Nimodipine akan memberikan hasi yang baik jika diberikan secara dini,
kurang dari 6 jam pasca awitan. Nimodipine dapat diteruskan secara
peroral dengan dosis 120-180 mg/hari.
e. Pentosifilin
Pentosifilin, suatu obat hemoriologik yang menurunkan viskositas
darah, meningkatnya aliran darah dan meningkatnya oksigenasi jaringan
pada penderita dengan penyakit vascular. Pentosifilin dapat diberikan
dalam tahap akut, 6-12 jam pasca awitan, dalam bentuk infus dan bukan
dalam bentuk bolus intravena. Diberikan dengan dosis 15 mg/kg BB/hari,
selama seminggu.

2. Tahap Pasca Akut


a. Fisioterapi dimulai sedini mungkin, bahkan segera setelah terjadi
sengganan. Pada tahap ini fisioterapi sudah dapat dikerjakan lebih
intensif, tetap dengan mempertimbangkan penyakit sistemik yang
sekiranya dapat memberat dengan latihan-latihan selama fisioterapi.
b. Obat-obat untuk tahap ini cukup beragam dengan titik tangkap yang
berbeda: pentoksifilin (2x400mg), codergocrini mesylate (3-4,5 mg/hari),
nicergolin dipiradamol (75-150 mg/hari), aspirin (100-200 mg/hari).
Untuk memberikan obat tadi diperlukan perhatian khusus tentang kondisi
fisik, laboratorik, dan juga kontra-indikasinya.
Pemberian anti konvulsan perlu dipertimbangkan pada kasus-kasus infark
kortikal. Disamping itu, neuron-neuron yang rusak akibat infark dapat merubah
sifatnya, menjadi lebih mudah terangsang dan akibatnya adalah terjadi konvulsi
fokal atau umum.10

2.8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada infark serebri diantaranya ialah:11
1. Pembengkakan Otak
Kematian pasien dalam waktu 48 jam setelah keadan hipoksia iskemik
akan memperlihatkan gambaran pembengkakan otak yang ditandai dengan
mendatarnya fissura dan sulkus korteks serebri, pembengkakan akan
mencapai puncaknya setelah 2-3 hari, dapat mengakibatkan pergeseran otak
dan herniasi tentorial. Pembengkakan otak terjadi karena peningkatan volume
darah intravaskuler dalam otak.
2. Edema Serebri
Edema serebri adalah bertambahnya cairan didalam jaringan otak.
Macam-macam edema yaitu vasogenik, sitotoksik, hidrostatik, interstitial,
hipoosmotik.
3. Infark Hemoragik
Segera setelah terjadi obstruksi dari arteri, aliran darah melalui arteriol
dan kapiler terhenti, jaringan sekitar kapiler tidak mendapatkan oksigen,
terkumpul hasil katabolisme dan terjadi kerusakan sel saraf, oligodendroglia,
astrosit, mikroglia dan dinding kapiler, terjadi pembukaan pembuluh darah
anastomosis disekitar daerah iskemik, apabila tekanan darah arteri sekitar
daerah iskemik tidak rendah, darah akan mengalir melalui pembuluh darah
anastomosis, sehingga terdapat aliran darah kembali ke jaringan pembuluh
darah kapiler. Pembuluh kapiler ini tidak selalu normal (pada beberapa
pembuluh kapiler dindingnya dapat dilalui plasma dan benda-benda darah),
akibatnya terjadi bendungan, pembengkakan jaringan karena keluarnya
plasma dan juga terjadi perdarahan kecil karena diapedesis sel darah merah,
keadaan
ini disebut Infark merah atau Infark berdarah (hemoragik). Sepuluh hari
kemudian darah Infark di massa kelabu (pada daerah yang diperdarahi arteri
tersumbat) tampak pucat, menandakan darah tak menembus sirkulasi
anastomosis. Infark berdarah pada massa kelabu dapat terjadi secara langsung
karena sejumlah darah masuk ke seluruh/sebagian daerah yang mengalami
Infark, hal ini terjadi karena disintegrasi embolus. Vaskularisasi daerah massa
putih memiliki anastomosis yang lebih sedikit dibandingkan pada daerah
massa kelabu dan pembuluh darahnya merupakan arteri akhir (end artery).
Sehingga hanya sedikit darah yang mengalir kembali ketika sirkulasi
anastomosis terjadi, pada massa kelabu banyak terdapat sirkulasi
anastomosis.2

2.9. Prognosis
Pulihnya fungsi neural dapat terjadi 2 minggu pasca-infark dan pada akhir
minggu ke 8 akan dicapai pemulihan maksimum. Kematian meliputi 20% dalam
satu bulan pertama. Kemungkinan untuk hidup jelas lebih baik pada kasus infark
serebri daripada perdarahan. Tetapi kecacatan akan lebih berat pada infark serebri
karena perdarahan akan mengalami resolusi dan meninggalkan jaringan otak
dalam keadaan utuh. Sementara itu infark merusak neuron-neuron yang terkena.12
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Anamnesis
3.1.1. Identitas Pribadi
Nama : Relis Sinaga
Jenis Kelamin : Pria
Usia : 51 tahun
Suku Bangsa :-
Agama : Islam
Alamat : Pasar IX dusun V desa tembung, deli
serdang peraut sei-tuan sumatera utara
Status : Kawin
Pekerjaan : karyawan swasta
Tanggal masuk : 03-04-2021
Tanggal Keluar :

3.1.2. Anamnes
Keluhan Utama : Mulut sulit dibuka

Telaah :
Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Umum Haji Medan dengan
keluhan mulut terkunci dan sulit dibuka sejak 4 hari yang lalu. Os juga
mengatakan 2 minggu yang lalu mengatakan kecelakaan yang
mengakibatkan luka robek ditelapak kaki kanan dan tidak diberikan anti
tetanus. Mual (-), Muntah (-), demam (-)

Riwayat penyakit terdahulu : -


Riwayat Penggunaan Obat : -
3.1.3. Anamnese Traktusm
Traktus sirkulatorius : Dalam Batas Normal
Traktus Respiratorius : Dalam Batas Normal
Traktus digestivus : Mual (-), muntah (-)
Traktus Urogenitalis : Miksi (+), Defekasi (+)
Penyakit terdahulu dan Kecelakaan : Tidak ada
Intoksikasi & obat-obatan : Tidak ada
3
3.1.4. Anamnese Keluargae
Faktor Herediter : tidak ada
Faktor Familier : tidak ada
Lain-lain : tidak ada
n
3.1.5. Anamnese Sosial
Kelahiran dan pertumbuhan : Normal
Imunisasi : Tidak Jelas karena pasien lupa
Pendidikan :
Pekerjaan : Karyawan Swasta
PerkawPinan : Menikah

3.2. Pemeriksaan Fisik


3.2.1. Pemeriksaan Umum
Tekanan Darah : mmHg
Nadi : x/ menit
Frekwensi nafas : x/ menit
Temperatur : C
Kulit dan selaput lendir : Dalam batas normal
Kelenjar dan Getah bening : Dalam batas normal
Persendian : Dalam batas normal

3.2.2. Kepala Dan Leher


Bentuk dan posisi : Normocepali
Pergerakan : Segala arah
Kelainan Panca indera : Tidak ditemukan kelainan
Rongga mulut dan gigi : Tidak ditemukan Kelainan
Kelenjar Parotis : Tidak dilakukan pemeriksaan

3.2.3. Rongga Dada Dan Abdomen Rongga Dada


Inspeksi : Simetris kanan = kiri
Palpasi : Massa (-), Stem fremitus (kanan
= kiri)
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler

3.2.4. Rongga Abdomen


Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) Normal

3.2.5. Genitalia
Toucher : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

3.3 Status Neurologi


3.3.1 Sensorium : Compos Mentis (GCS: E=4,
M=6, V=5)

3.3.2 Kranium
Bentuk : Normocepali
Fontanella : Tertutup, keras
Palpasi : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Perkusi : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Auskultasi : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Transiluminasi : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

3.3.3. Perangsangan Meningeal


Kaku kuduk :-
Tanda kernig :-
Tanda Lasegue :-
Tanda brudzinski I :-
Tanda Brudzinski II :-

3.3.4. Peningkatan Tekanan Intrakranial


Muntah :-
Nyeri kepala :-
Kejang :-

3.3.5 Saraf Otak / Nervus Kranialis


Nervus I (Olfaktorius)
Meatus Nasi Dextra Meatus Nasi Sinistra
Normosmia :+ +
Anosmia :- -
Parosmia :- -
Hiposmia :- -

Nervus II (Opticus)
Oculi Dextra Okuli Sinistra
Visus : Normal Normal
Lapangan pandang
 Normal : Normal Normal
 Menyempit : - -
 Hemianopsia : - -
 Skotoma : - -
Refleks : - -
Ancam Fundus : TDP TDP
Okuli

Nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlearis, Abducent)


Gerakan bola mata arah : Segala arah Segala arah
Nistagmus : - -
Pupil : Isokor Isokor
Lebar : 2mm 2mm
Bentuk : Bulat Bulat
Refleks Cahaya Langsung : + +
Refleks cahaya tidak langsung + +
: Rima Palpebra : <7mm <7mm
Deviasi Konjugate : - -
Fenomena Doll’s Eye : TDP TDP
Strabismus : - -

Nervus V (Trigeminal) Kanan Kiri


Motorik
 Membuka dan menutup mulut : - -
 Palpasi otot masseter&temporalis : + +
 Kekuatan gigitan : + +
Sensorik
 Kulit : + +
 Selaput Lendir : + +
 Refleks Maseter : - -
 Refleks bersin : - -

Nervus VII (Facialis) Kanan Kiri


Motorik
 Mimik : + +
 Kerut Kening : + +
 Kedipan Mata : + +
 Menutup Mata : - -
 Mengerutkan Alis : + -
 Lipatan Naso Labial : + -
 Meringis : + -
 Menggembungkan Pipi : + -
 Meniup Sekuatnya : + -
 Memperlihatakan Gigi : + -
 Tertawa : + -
 Bersiul : Susah dilakukan
Sensorik
 Pengecapan 2/3 depan lidah : Masih dapat merasakan manis
 Produksi kelenjar ludah : Normal
 Hiperakusis :-
 Refleks stapeidal : Tidak dilakukan pemeriksaan

Nervus VIII (Vestibulocochclearis) Kanan Kiri


Auditorius
 Pendengaran : DBN DBN
 Tes Rinne : TDP TDP
 Tes Weber : TDP TDP
 Tes Swabach : TDP TDP
Vestibularis
 Nistagmus : - -
 Reaksi kalori : TDP TDP
 Vertigo : - -
 Tinitus : - -

Nervus IX, X (Glosopharyngeus, Vagus)


Pallatum mole : Arkus faring medial
Uvula : Medial
Disfagia :-
Disatria :-
Disfonia :-
Refleks muntah : TDP
Pengecapan 1/3 belakang lidah : TDP

Nervus XI (Accessorius) Kanan Kiri


Mengangkat Bahu : + +
Otot sternokledomastoideus : + +
Nervus XII (Hypoglossus)
Tremor :-
Atrofi :-
Fasikulasi :-
Ujung Lidah Saat Istirahat :
Ujung Lidah saat Dijulurkan :

3.3.6. Sistem Motorik


Trofi : Normotrofi Normotrofi
Tonus Otot : Normotonus Normotonus
55555 55555
Kekuatan Otot : ESD : ESS :
55555 55555
55555 55555
EID : EIS :
55555 55555
Sikap (duduk-berdiri-berbaring) : Berbaring
Gerakan spontan abnormal Kanan Kiri
 Tremor : - -
 Khorea : - -
 Ballismus : - -
 Mioklonus : + +
 Atestosis : - -
 Distonia : - -
 Spasme : - -
 Tic : - -
 Dll : - -

3.3.7. Test Sensibilitas


Eksteroseptif
 Nyeri superfisial : + -
 Raba : + -
 Suhu : TDP TDP
Propioseptis
 Sikap : + -
 Gerak : + -
 Tekanan : + -
Fungsi kortikal untuk sensibilitas
 Steorognosis :+
 Pengenalan 2 titik :+
 Grafestesia : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

3.3.8. Refleks Kanan Kiri


Refleks Fisiologis
 Bisep : ++ ++
 Trisep : ++ ++
 APR : ++ ++
 KPR : ++ ++
 Strumple : ++ ++

Refleks Patologis
 Babinski : - -
 Oppenheim : - -
 Chaddock : - -
 Gordon : - -
 Schaefer : - -
 Hoffman- tromner : - -
 Klonus lutut : - -
 Klonus kaki : - -
 Refleks primitif : TDP TDP

3.3.9. Koordinasi
Lenggang : TDP
Bicara :+
Menulis : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Percobaan apraksia : Dex (+), Sin (-)
Mimik : Dex (+), Sin (+)
Tes telunnjuk-telunjuk : Dex (+), Sin (-)
Tes telunjuk- hidung : Dex (+), Sin (-)
Diadokinesia : Dex (+), Sin (-)
Test tumit – lutut : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Test Romberg : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

3.3.10. Vegetatif
Vasomotorik : Normal (+)
Sudomotorik : Normal (+)
Piloerektor : Normal (+)
Miksi : Normal (+)
Defekasi : Normal (+)
Potensi dan Libido : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

3.3.11. Vertebra
Bentuk
 Normal :+
 Scoliosis :-
 Hiperlordosis :-

Pergerakkan
 Leher : Normal (+)
 Pinggang : Normal (+)

3.3.12. Tanda Perangsangan Radikuler


Laseque :-
Cros Laseque :-
Test Lhermitte :-
Test Nafziger :-

3.3.13. Gejala-Gejala Serebelar


Ataksia :-
Disartria :+
Tremor :-
Nistagmus :-
Fenomena rebound :-
Vertigo :-
Dll :-

3.3.14. Gejala-Gejala Ekstrapiramidal


Tremor :-
Rigiditas :-
Bradikinesia :-
Dan lain-lain :-

3.3.15 Fungsi Luhur


Kesadaran kualitatif : Compos Mentis
Ingatan baru : Dalam Batas Normal
Ingatan lama : Dalam Batas Normal

Orientasi
 Diri : Dalam Batas Normal
 Tempat : Dalam Batas Normal
 Waktu : Dalam Batas Normal
 Situasi : Dalam Batas Normal
Intelegensia : Dalam Batas Normal
Daya pertimbangan : Dalam Batas Normal
Reaksi emosi : Dalam Batas Normal

Afasia
 Ekspresif :-
 Represif :-
Apraksia :-

Agnosa
 Agnosia visual :-
 Agnosia jari-jari :-
 Akalkulia :-
 Disorientasi Kanan-kiri :-
3.4. Hasil CT-Scan
3.5. Kesimpulan Pemeriksaan
3.5.1. Anamnese
Keluhan Utama : lemas

Telaah : Pasien datang ke Rumah Sakit umum Haji Medan


diantar keluarganya dengan keluhan lemas di tangan
dan kaki sebelah kiri, keluhan dirasakan pasien secara
tiba-tiba, dan keluhan dirasa semakin memberat pada
1 hari sebelum pasien dirawat dirumah sakit. Pasien
mengeluhkan tangan dan kaki kirinya sulit
digerakkan. Pasien mengaku ini pertama kali terjadi.
Pasien mengatakan bahwa keluhan ini mengganggu
aktivitasnya. Pasien mengaku merokok aktif. Mual (-),
Muntah (-), demam (-) disangkal

Riwayat penyakit terdahulu : -

Riwayat Penggunaan Obat :-

3.5.2. STATUS PRESENT


Tekanan Darah : 164/99 mmHg
Nadi : 90x/ menit
Frekwensi nafas : 22 x/ menit
Temperatur : 37 C

Gejala ekstrapiramidal
Tremor :-
Rigiditas :-
Bradikinesia :-
Refeleks fisiologis : Dalam Batas Normal
Refleks patologis : Tidak dijumpai
55555 00000
Kekuatan Otot : ESD : ESS :
55555 00000
55555 44444
EID : EIS :
55555 44444
3.5.3. Diagnosa
Diagnosa Fungsional : Gangguan keseimbangan Senyum
asimetris Gangguan gerak
ekstremitas
Diagnosa Etiologik : Trombus
Diagnosa Anatomik : Hematoma hemisfer dextra
Diagnosa Kerja : Infark Cerebri
Penatalaksanaan : - IVFD RL 20gtt/i
- Inj Ranitidine 25 mg/ 2ml / 1 amp /
12 jam
- Inj Citicoline 250 mg / 12 jam
- Antasida syr 3x1
- Amlodipin
- Neurodex 2x1
BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Infark serebri adalah kematian neuron-neuron, sel glia dan sistem
pembuluh darah yang disebabkan kekurangan oksigen dan nutrisi. Dan
penyebabnya harus segera ditegakkan dalam beberapa jam pasca awitan agar
terapi yang tepat dapat segera diberikan. Penanganan penderita infark otak
bergantung pada tahap perkembangannya. Dalam hal ini diperlukan klasifikasi
yang tepat, apakah itu suatu TIA, Refersible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)
atau complete stroke.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono. 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Jogjakarta: UGM


2. Mardjono, Mahar. Sidharta, Priguna. 2010. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta.
Dian Rakyat.
3. Warlow CP. 1997. Stroke a Practical Guide management.1st ed. Blackwell science,
pp. 190-202.
4. Gilroy J. 2000. Cerebrovasculer Disease. In: Basic Neurology. 3 rd ed. International
edition. McGraw-Hill Health Professional Division: New York, pp. 225-278.
5. Wilkinson I, Graham L. 2005. Essential Neurology. Fourth Edition. Main
Street,Malden, Massachusetts, USA: Blackwell Publishing Ltd, pp 25-6.
6. Warlow CP. 1997. Stroke a Practical Guide management.1 ed. Blackwell
science, pp. 190-202
7. Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. 2005. Gambaran umum tentang
gangguan peredaran darah otak dalam Kapita selekta neurology edisi kedua editor
Harsono. Gadjah Mada university press, Yogyakarta. Hal 81-102
8. Prince, A. Sylvia and Wilson, Lorraine. 1995. Penyakit serebrovaskular dalam
patofisiologi edisi 6 editor Hartanto H et al. EGC, Jakarta. Hal 1105-1130
9. Chandra, B. 1994. Stroke dalam neurology klinik Edisi Revisi. Lab/bagian
Ilmu Penyakit Saraf FK. UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Hal 1105-
1130
10. Gonzales RG. Imaging-guided acute ischemic stroke therapy: from time is
brain to physiology is brain. AJNR Am J Neuroradiol 2006; 27: 728-35.
11. Widjaja, L 1993. Stroke patofisiologi dan penatalaksanaan. Lab/bagian Ilmu
Penyakit Saraf FK. UNAIR/RSUD Dr.Soetomo, Surabay.Hal 1-48.
12. Prince, A. Sylvia and Wilson, Lorraine. 1995. Penyakit serebrovaskular
dalam patofisiologi edisi 6 editor Hartanto H et al. EGC, Jakarta. Hal 1105-
1130.

Anda mungkin juga menyukai