Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN TETANUS GENERALISATA DAN


EVIDENCE BASED PRACTICE

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis

Dosen Pembimbing : Astri Zeini W, S.Kep,. Ners, M.Kep

Disusun Oleh :

Alfridho Zulpan Lorenza C1AA19004

Allif Fauzan Rijaldi C1AA19006

Cindy Amelia Agustine C1AA19016

Inaayah Regita Putri C1AA19042

Putri Nadia NS C1AA19080

Tinta Elita Mutiara Putri C1AA19110

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan
rahmat dan hidayahnya, sehingga kami dapat mennyelesaikan tugas makalah
dengan judul “Asuhan Keperawatan Tetanus Generalisata dan Evidence Based
Practic” ini dengan tepat waktu. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Sukabumi. Dengan adanya tugas ini kami harap dapat menambah
pengetahuan dan wawasan yang sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang


telah berbagi ilmu sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami
menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik berserta saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Sukabumi, 23 Oktober 2022

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan...........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Definisi Tetanus Generalisata.......................................................................3
B. Patofisiologi Tetanus Generalisata ..............................................................3
C. Pathway Tetanus Generalisata......................................................................5
D. Manifestasi Klinis.........................................................................................6
E. Klasifikaski Derajat Tetanus.........................................................................7
F. Diagnosis Tetanus.........................................................................................7
G. Proses Keperawatan Tetanus Generalisata...................................................8
H. Manajemen Pengobatan Pada Kasus Tetanus Generalisata........................16
I. Evidence Based Practice Pada Kasus Tetansu Generalisata.......................19
BAB II PENUTUP...............................................................................................21
A. Kesimpulan.................................................................................................21
B. Saran............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................iii

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan
meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin,
suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani.
Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus
neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis local. Menurut
Saraswita 2014 Di negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50%
dengan perkiraan jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun.
Tetanus di sebabkan oleh toksin yang di hasilkan oleh Clostridium
tetani yang terdapat pada tempat luka. Tetanus yang tidak tertangani dengan
baik dapat menimbulkan komplikasi yang terjadi akibat penyakitnya, seperti
laringospasme, atau sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti
sedasi yang mengarah pada koma, aspirasi atau apnea, atau konsekuensi dari
perawatan intensif, seperti pneumonia berkaitan dengan ventilator.
Kemampuan respirasi yang berukang berakibat terjadinya apnea dan
mengancam jiwa (Sudoyo, 2010).
Menurut Saraswita 2014 Tetanus adalah penyakit yang dapat
dicegah. Menurut kementrian kesehatan Republik Indonesia dalam
rangkaian PID, Kemenkes bersama stakeholder lain menggelar seminar
dengan tema Imunisasi untuk Masa Depan Lebih Sehat, diJakarta mei 2014.
Imunisasi pencegahan dengan toksoid tetanus merupakan pencegahan
tetanus terbaik. Imunisasi dasar di berikan pada usia 7 tahun dan di ulangi
sampai tiga kali. Penatalaksanaan untuk pasien tetanus bermula dengan
pembersihan secara seksama dan debriden luka untuk membuang jaringan
nekrotik dan benda asing. Penisilin merupakan antibiotic terpilih.
Tetrasiklin dapat di gunakan untuk mereka yang alergi terhadap penisilin.
Pemberian relaksan otot dan pentotal sistemik di gunakan untuk spasme

1
yang berat. Kontrol pernapasan dan pembersihan paru penting di lakukan
dalam kasus yang berat (Schwartz,

1
2000 :58). Menurut Kinho 2013 tindakan pemulihan kesehatan di lakukan
rehabilitasi fisik, mental, vokasional, dan aesthetic. Pemulihan
membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan
mengapa tetanus berdurasi lama.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Tetanus Generalisata?
2. Bagaimana Patofisiologi Pada Tetanus Generalisata?
3. Seperti Apa Manifestasi Klinis Pada Tetanus Generalisata?
4. Seperti Apa Klasifikasi Derajat Pada Tetanus Generalisata?
5. Bagaimana Diagnosis Pada Tetanus Gemeralisata?
6. Bagaimana Proses Keperawatan Pada Tetanus Generalisata?
7. Bagaimana Manajemen Pengobatan Pada Tetanus Generalisata?
8. Seperti Apa Evidence Based Practice Pada Tetanus Generalisata?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Dari Tetanus Generalisata
2. Untuk Mengetahui Patofisiologi Pada Tetanus Generalisata
3. Untuk Mengetahui Manifestasi Klinis Pada Tetanus Generalisata
4. Untuk Mengetahui Klasifikasi Derajat Pada Tetanus Generalisata
5. Untuk Mengetahui Bagaimana Diagnosis Pada Tetanus Generalisata
6. Untuk Mengetahui Proses Keperawatan Pada Tetanus Generalisata
7. Untuk Mengetahui Manajemen Pengobatan Pada Tentanus Generalisata
8. Untuk Mengetahui Evidence Based Practice Pada Tetanus Generalisata

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Tetanus Generalisata


Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman
clostridium tetani, dimanifestasikan dengan kejang otot secara proksimal
dan diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini tampak
pada otot maseter dan otot-otot rangka. Gejala ini bukan disebabkan oleh
kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin yang dihasilkan
oleh kuman sinaps ganglion sambungan dari sumsum tulang belakang.
Tetanus generalisata merupakan bentuk saling sering, timbul
mendadak dengan kaku kuduk, trismus, gelisah, mudah trsinggung dan sakit
kepala merupakan manifestasi awal. Dalam waktu singkat kontruksi otot
somatic meluas. Timbul kejang tetanik bermacam grup otot, menimbulkan
aduksi lengan dan ekstensi ekstermitas bagian bawah. Pada mulanya spasme
berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit dan terpisah oleh
periode relaksasi.

B. Patofisiologi Tetanus Generalisata


Biasanya tetanus terjadi setelah luka tusuk yang dalam misalnya
luka yang disebabkan karena tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka
tembak, karena luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yag ideal.
Patofisiologi tetanus dimulai dengan masuknya spora bakteri clostridium
tetani melalui luka sebagai port d’entrée. Luka tusuk, jaringan nekrotik dna
luka yang terinfeksi merupakan luka yang lebih beresiko menimbulkan
tetanus. Pada luka-luka tersebut tercipta kondisi anaerob yang kemudian
menjadi lingkungan optimal bagi proses germinasi (spora berubah menjadi
bentuk vegetatif) dan multipikasi bakteri clostridium tetani. Pada proses
tersebut bakteri clostridium tetani akan memproduksi 2 jenis toksin, yaitu
tetanopasmin dan tetanosilin.

3
Tetanospasmin merupakan toksin yang menimbulkan gejala klinis
pada pasien tetanus. Tetanospasmin merupakan polipeptida yang terdiri dari
rantai berat dan rantai ringan. Rantai berat akan memfasilitasi masuknya
toksin ke dalam sel saraf, sedangkan rantai ringan akan bekerja pada
presinaps. Tetanospasmin akan berikatan dan melalui proses  internalisasi
dengan ujung saraf motor perifer kemudian akan memasuki akson dan
ditranspor secara retrograd ke inti sel saraf di dalam batang otak dan medula
spinalis. Waktu yang diperlukan bagi toksin dari lokasi luka hingga ke
medula spinalis adalah antara 2-14 hari. Toksin tetanospasmin kemudian
diteruskan ke ujung presinaps sel saraf. Di sana toksin tersebut akan
mencegah pelepasan neurotransmiter yang bersifat inhibisi sentral, yakni
glisin dan gamma-aminobutyric acid (GABA), sehingga mengganggu
kerja lower motor neuron. Hal ini mengakibatkan peningkatan firing
rate motor neuron α sehingga timbul gejala rigiditas otot. Hilangnya
mekanisme inhibisi sentral juga menyebabkan kontraksi otot yang tidak
terkendali atau spasme saat tubuh pasien diberikan rangsangan normal
seperti cahaya atau suara. Saat tetanospasmin sudah internalisasi pada sel
saraf, kerusakan yang ditimbulkan bersifat ireversibel dan tidak dapat
dinetralkan oleh antitoksin. Pada tetanus lokal, toksin tetanospasmin hanya
mempengaruhi sel saraf yang mempersarafi otot-otot tertentu. Sedangkan,
pada tetanus generalisata toksin yang diproduksi bakteri akan menyebar
melalui sistem limfatik dan pembuluh darah dan ditangkap oleh ujung-ujung
sel saraf di seluruh tubuh.
Tetanosilin adalah toksin lain yang diproduksi oleh
bakteri Clostridium Tetani. Tetanolisin adalah hemolisin yang sensitif
terhadap oksigen. Tetanolisin merusak jaringan yang masih hidup pada luka
dan menciptakan lokasi yang optimal untuk proses multiplikasi bakteri
sehingga memperkuat pathogenesis tetanus.

4
4
C. Pathway Tetanus Generalisata

5
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinis berupa trismus, iritabel,kekakuan leher, susah menelan,
kekakuandadan dan perut (opistotonus), rasa sakit dan cemas serta kejang
umum apabila dirangsang oleh sinar, suara dan sentuhan.
Tetanus generalisata biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot
yang makin bertambah diawali pada rahang dan leher kemudian meluas
keseluruh tubuh. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan
gejala umum:
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot
mastikatoris
2. Kaku kuduk sampai epistotonus karena ketegangan otot-otot erector
trunki
3. Ketegangan otot dinding perut
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di kornu
anterior
5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alias tertarik ke atas), sudut
mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan
(sering merupakan gejala dini)
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas
inferior dala keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat.
Keadaan tetap sadar, spasme mula-mula intermitten diselingi periode
relaksasi, kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa
nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramuscular karena
kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan
laring. Retensi urine dapat terjadi karena spasme otot uretral. Fraktur
kolumna vertebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat
kuat.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.

6
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian
tekanan cairan otak.

6
E. Klasifikaski Derajat Tetanus
Kriteria beratnya tetanus dapat ditentukan dengan klasifikasi Ablett’s
sebagagi berikut :
1. Grade I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas umum,
tidak ada gangguan pernapasan, tidak ada spasme, tidak ada disfagia
2. Grade II (moderat) : Trismus sedang, rigiditas terlihat jelas, spasme
ringan sampai sedang namun singkat,disfagia ringan, gangguan respirasi
ringan dengan tachypnea (RR>30 kali/menit)
3. Grade III (berat) : Trismus berat, spastisitas menyeluruh, refleks
spasme dan seringkali spasme spontan yang memanjang, gangguan
napas dengan sesak dan terengah-engah (apnoetic spells), disfagia berat,
peningkatan aktivitas saraf otonom sedang, RR>40 kali/menit)
4. Grade IV (sangat berat) : Seperti grade III ditambah gangguan
otonom hebat yang menyebabkan badai otonom

F. Diagnosis Tetanus
Gejala klinis tetanus biasanya diawali dengan kekakuan atau
kontraksi otot yang terjadi 1-2 minggu setelah terinfeksi. Kekakuan otot
bertambah secara progresif dalam beberapa hari sehingga muncul spasme
otot dan mencapai maksimal pada minggu kedua. Disotonomia (gangguan
otonom) mulai terlihat pada akhir minggu pertama.
Kriteria diagnosis tetanus yang mungkin dapat digunakan adalah:
1. Semua penyakit dengan gejala hipertonia akut dan/atau kontraksi otot
yang nyeri (bisanya rahang dan leher) dan spasme otot umum tanpa
penyebab lain seperti reaksi obat, penyakit saraf lain atau histeria.
2. Tidak ada riwayat kontak dengan stricnin/ strychnine (zat alkaloid
bersifat racun, seperti dalam pestisida)
3. Perjalanan penyakit tersebut konsisten dengan tetanus
4. Pada fase lanjut dimonitor adanya ganguan saraf otonom yaitu sindrom
hiperreaktivitas otonom.

7
Kriteria mayor Kriteria minor
- Tekanan darah yang tidak stabil - Keringat berlebihan
(naik dan turun) - Ileus paralitik
- Aritmia - Tanda minor lainnya
- Denyut jantung yng tidak stabil
(naikturun)

Adanya 2 tanda mayor atau satu tanda mayor dan 2 tanda minor
menunjukan adanya sindroma hiperreaktivitas otonom.

Diagnosis banding :

1. Meningoensefalitis
2. Rabies
3. Poliomyelitis
4. Lesi orofaringeal
5. Tonsillitis berat
6. Peritonitis
7. Tetani (hipokalsemia)
8. Keracunan stricnin/strychnine
9. Reaksi fenotiazin
10. Perdarahan subarachnoid
G. Proses Keperawatan Tetanus Generalisata
1. Pengkajian
a. Pengkajian awal
 Airway : Kaji adanya sumbatan (cairan, lidah jatuh ke
belakang, benda asing)
 Breathing : Kaji pola pernafasan, suara nafas, kesimetrisan
dada

7
 Circulation : Kaji tekanan darah, nadi (frekuensi, kekuatan), kaji
akral, CRT
b. Pengkajian dasar

7
 Identitas meliputi nama, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/
bangsa, alamat, jenis kelamin, status, perkawinan.
c. Riwayat sakit dan kesehatan
 Keluhan utama
 Riwayat penyakit dahulu
d. Breathing
 Inspeksi apakah klien batuk, prosuksi sputum, sesak napas
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan yang sering didapatkan pada klien tetanus yang
disertai adanya ketidakefektifan bersihan jalan napas
 Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan
kiri
 Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronchi pada klien
dengan peningkatan produksi secret dan kemampuan batuk yang
menurun
e. Blood
 Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan syok (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada pasien tetanus. Tekanan
darah biasanya normal peningkatan denyut jantung adanya
anemis karena hancurnya eritrosit
f. Brain
 Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya
 Pengkajian tingkat kesadaran. Kesadaran klien bianaya compos
mentis pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien tetanus
mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor dan
semikomatosa.
g. Pengkajian saraf kranial, meliputi :
 Saraf I : Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan pada
fungsi penciuman

8
 Saraf II : Tes ketajaman penglihatan pada kondisi nnormal

8
 Saraf III, IV, VI : Dengan alasan yang tidak diketahui, klien
tetanus mengeluh mengalami fotopobia atau sensitif berlebihan
terhadao cahaya. Respon kejang umum akibat stimulus rangsang
cahaya perlu diperhatikan perawat guna memberikan intervensi
untuk menurunkan stimulasi cahaya tersebut.
 Saraf V : Reflek maseter meningkat, mulut condong ke depan
seperti mulut ikan (gejala khas dari tetanus)
 Saraf VII : Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
simetris
 Saraf VIII : Tidak ditentukan adanya tuli konduktid dan tuli
persepsi
 Saraf IX dan : Kemampuan menelan kurang baik, kesulitan
membuka mulut (trismus)
 Saraf XII : Lidah simetris tidak ada deviasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi, indra pengecapan normal
h. Bladder
Penurunan volume urine output berhubungan dengan penurunan
perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urine
karena kejang umum. Pada klien yang sering kejang sebaiknya urine
dikeluarkan dengan menggunakan kateter.
i. Bowel
Mual dampai muntah disebabkan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun karena
anoreksia dan adanya kejang, kaku dinding perut (perut papan)
merupakan tanda khas pada tetanus. Adanya spasme otot
menyebabkan kesulitan BAB.
j. Bone
Adanya kejang umum sehingga mengganggu mbilitas klien dan
menurunkan aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien
mengalami patah tulang terbuka yang memungkinkan port de entrée

9
kuman closteriidium tetani, sehingga memerlukan perawatan luka
yang optimal.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan jalan napas
terganggu akibat spasme otot-otot pernapasan.
1) Definisi :
Inspirasi atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi
2) Batasan karalteristik :
- Perubahan kedalaman pernapasan
- Bradipneu
- Penurunan kapasitas bital
- Dipneu
- Pernapasan cuping hidung
- Takipneu
3) Faktor yang berhubungan :
- Ansietas
- Keletihan
- Hiperventilasi
- Gangguan musculoskeletal
- Kerusakan neurologis
- Obesitas
- Nyeri
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot
1) Definisi :
Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau
potensial.
2) Batasan karakteristik :
- Perubahan selera makan
- Perubahan tekanan darah
- Perubahan frekuensi jantung

10
- Perubahan frekuensi pernapasan

10
- Perilaku distraksi
3) Faktor yang berhubungan :
Agen cidera (misalnya biologis, zat kimia, fisik, dan psikologis)

3. Intervensi Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas
terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan
1) Tujuan :
Pembersihan jalan nafas yang efektif yang dibuktikan oleh
pencegahan aspirasi, status oernafasan, kepatenan jalan nafas,
dan status pernafasan ventilasi tidak terganggu
2) Kriteria hasil :
 Batuk efektif
 Mengeluarkan secret secara efektif
 Mempunyai jalan napas yang paten
 Pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang
jernih
 Mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang
normal
 Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
 Mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan di rumah
3) Aktivitas keperawatan :
 Keefektifan pemberian oksigen dna terapi lain
 Keefektifan obat resep
 Kecenderungan pada gas darah arteri, jika tersedia
 Frekuensi, kedalaman dan upaya pernapasan
 Faktor yang berhubungan, seperti nyeri, batuk tidak efektif,
mucus kental, dan keletihan

11
 Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk
mengetahui penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya
suara napas tambahan
4) Aktifitas kolaboratif :
 Rundingkan dengan ahli terapi pernapasan, jika perlu
 Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan untuk
perkusi atau peralatan pendukung
 Berikan udara atau oksigen yang telah dilembabkan sesuai
dengan kebijakan institusi
 Lakukan bantu dalam terapi aerosol, nebulizer ultrasonic,
dan peralatan paru lainnya sesuai dengan kebijakan dan
protocol institusi
 Berutahu dokter tentang hasil gas darah yang abnormal
5) Penyuluhan untuk pasien/ keluarga :
 Jelaskan penggunaan yang benar peralatan pendukung
(misalnya, oksigen, mesin penghisap, spirometer, inhaler,
dan intermittent positif pressure breathing/ IPPB)
 Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang larangan
merokok di dalam ruang perawatan, beri penyuluhan tentang
pentingnya berhenti merokok
 Instruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknik napas
dalam untuk memudahkan pengeluaran secret
 Ajarkan pasien untuk membebat/ mengganjal luka insisi pada
saat batuk
 Ajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan pada
sputum, seperti warna, karakter, jumlah, dan bau
 Penghisapan jalan napas : instruksikan kepada pasien dan
keluarga tentang cara penghisapan jalan napas
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot
1) Tujuan :

12
Memperlihatkan pengendalian nyeri
2) Kriteria hasil :
 Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang
efektif untuk mencapai kenyamanan
 Mempertahankan tingkat nyeri pada atau kurang (dengan
skala 0-10)
 Melaporkan kesejahteraan fisik dna psikologis
 Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan
untuk memodifikasi faktor tersebut
 Melaporkan nyeri kepada layanan kesehatan
 Menggunakan tindakan meredakan nyeri dengan analgesic
dan non analgesic secara tepat
 Tidak mengalami gangguan dalam frekuensi pernapasan,
frekuensi jantungm atau tekanan darah
 Mempertahankan selera makan yang baik
 Melaporkan pola tidur yang baik
 Melaporkan kemampuan untuk mempertahankan performa
peran dan hubungan interpersonal
3) Aktivitas keperawatan :
 Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama
untuk mengumpulkan informasi pengkajian
 Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan
pada skala 0-10
 Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaran nyeri
analgesic dan kemungkinan efek sampingnya
 Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan dan lingkungan
terhadap nyeri dan respon pasien
 Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata yang sesuai
usia dan tingkat perkembangan pasien
4) Aktifitas kolaboratif :

13
 Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiate
yang terjadwal (misalnya setiap 4 jam selama 36 jam) atau
PCA
 Manajemen nyeri :
a) Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi
lokasi karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas, atau keparahan nyeri dna faktor
presipitasinya
b) Observasi isyarat non verbal ketidaknyamanan,
khususnya pada mereka yang tidak mampu
berkomunikasi efektif
c) Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri
menjadi lebih berat
d) Laporkan kepada dokter jika tindakan tidak berhasil atau
jika keluhan saat ini merupakan perubahan yang
bermakna dari pengalaman nyeri pasien di masa lalu
e) Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri,
berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi
ketidaknyamanan akibat prosedur
f) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misalnya
umpan balik biologis, transcutaneous electrical nerve
stimulation/ TENS, hypnosis, relaksasi, imajinasi
terbimbing, terapi music, distraksi, terapi bermain, terapi
aktivitas, akupresur, kompres hangat aatu dingin, dan
masase) sebelum, setelah, dan jika memungkinkan,
selama aktivitas yang menimbulkan nyeri, sebelum nyeri
terjadi atau meningkat dan bersama penggunaan tindakan
peredaran nyeri yang lain.
5) Penyuluhan pasien/ keluarga :
 Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat khusus
yang harus diminum, prekuensi pemberian, kemungkinan

14
efek samping, kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan
khusus saat mengonsumsi obat tersebut (mislanya
pembatasan

14
aktifitas fisik, pembatasan diet) dan nama orang yang harus
dihubungi bila mengalami nyeri membandel
 Instruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat
jika peredaran nyeri tidak dapat dicapai
 Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat
meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi koping yang
disarankan
 Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesic norkotik atau
opioid (misalnya, risiko ketergantungan atau overdosis)

4. Implementasi Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan jalan napas
terganggu akibat spasme otot-otot pernapasan
1) Mengenali dan mengetahui tingkat keparahan ketidakefektifan
jalan napas agar dapat memberikan pencegahan secara cepat
2) Posisikan pasien semi fowler agar dapat melancarkan jalan napas
b. Nyeri akut berhubungan spasme otot
1) Mengetahui tingkat nyeri
2) Mengkolaborasi pemberian analgetik untuk mengurangi rasa
nyeri

5. Evaluasi
a. Ketidakefektifan pola napas berhubugnan dengan jalan napas
tergaggu akibat spasme otot-otot pernapasan
1) Formatif :
- Pola napas efektif
2) Sumatif :
- Tidak terjadi pola napas tidak efektif akibat spasme otot-otot
pernapasan
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot
1) Formatif :

15
- Dapat mengidentifikasi faktor yang dapat menyebabkan
nyeri
- Dapat mengetahui tingkat nyeri
- Dapat melakukan cara mengurangi nyeri
2) Sumatif :
- Tidak terjadi nyeri

H. Manajemen Pengobatan Pada Kasus Tetanus Generalisata


Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni:
1. Membuang Sumber Tetanospasmin
Luka harus dibersihkan secara menyeluruh untuk mengurangi
muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut. Antibiotika
diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan
pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal. Pada penelitian di
Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa
pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara IV dengan dosis
inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/ kgBB/ hari setiap 6 jam
selama 7−10 hari. Metronidazol efektif mengurangi jumlah kuman C.
tetani bentuk vegetatif. Lini kedua dapat diberikan prokain penisilin
50.000−100.000 U/ kgBB/hari selama 7−10 hari, jika hipersensitif
terhadap penisilin dapat diberi tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak
berusia lebih dari 8 tahun). Penisilin membunuh bentuk vegetatif C.
tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G 100.000 U/kgBB/hari IV,
setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus
tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin
berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat
pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).
2. Netralisasi toksin yang tidak terikat
Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum
berikatan. Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin
(HTIG) segera diinjeksikan intramuskular dengan dosis total

16
3.000−10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan diinjeksikan di tiga
tempat berbeda. Tidak

16
ada konsensus dosis tepat mengenai HTIG. Rekomendasi British
National Formulary adalah 5.000−10.000 unit intravena. Untuk bayi,
dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis
diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka. Hanya dibutuhkan
sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25−30 hari. Makin cepat
pengobatan diberikan, makin efektif. Kontraindikasi HTIG adalah
riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human
immunoglobulin sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan
koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian
intramuskular. Bila tidak tersedia maka digunakan ATS dengan dosis
100.000- 200.000 unit diberikan 50.000 unit intramuskular dan 50.000
unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit
intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga. Setelah
penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi
aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus
tidak memiliki kekebalan.
3. Pengobatan suportif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek
toksin yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus
sebaiknya ditangani di ICU agar bisa diobservasi secara berkelanjutan.
Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang dipresipitasi
stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan
tenang. Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan
intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas
darah penting sebagai penuntun terapi.Penanganan jalan napas
merupakan prioritas. Pasien tetanus berat sering kali membutuhkan
IPPV selama 2 hingga 3 minggu sampai spasme mereda. Insiden
ventilator-associated pneumonia pada pasien-pasien tetanus sebesar
52,6%. Infeksi nosokomial umum terjadi karena lamanya perjalanan
penyakit tetanus dan masih merupakan penyebab penting kematian.

17
Pencegahan komplikasi respirasi meliputi perawatan mulut yang baik
(oral Hygiene),

17
fisioterapi dada dan suction trakea. Sedasi adekuat selama prosedur
invasif mencegah provokasi spasme atau ketidakstabilan otonom.
Instabilitas otonom terjadi beberapa hari setelah onset spasme umum
dan tingkat fatalitasnya 11%−28%. Manifestasi berupa hipertensi,
takikardia, dan demam. Berbagai gangguan kardiovaskular seperti
disritmia, infark miokard serta kolaps sirkulasi sering menyebabkan
kematian.Tanda overaktivitas simpatis yaitu takikardia fluktuatif,
hipertensi yang kadang diikuti hipotensi, pucat dan berkeringat sering
tampak beberapa hari setelah onset spasme otot. Henti jantung
mendadak umum terjadi dan dikatakan dapat dipresipitasi oleh
kombinasi kadar katekolamin yang tinggi dan kerja langsung toksin
tetanus pada miokardium. Aktivitas simpatis yang memanjang dapat
berakhir dengan hipotensi dan bradikardi. Aktivitas parasimpatis
berlebihan dapat menyebabkan sinus arrest, dikatakan karena kerusakan
langsung nukleus vagus oleh toksin tetanus. Instabilitas otonom sulit
diobati. Fluktuasi tekanan darah membutuhkan obat-obat dengan waktu
paruh singkat. Terapi konvensional terdiri dari sedasi dalam sebagai
terapi lini pertama, menggunakan benzodiazepine dosis besar,
morphine, dan/atau chlorpromazine. 1 Saat ini, magnesium sulfat
intravena dicoba untuk mengendalikan spasme dan disfungsi otonom;
dosis loading 5 g (atau 75 mg/ kg) IV dilanjutkan 1 sampai 3 g/jam
sampai spasme terkontrol telah digunakan untuk mendapatkan
konsentrasi serum 2 sampai 4 mmol/L. Untuk menghindari overdosis,
dimonitor reflek patella.7,13 Beta bloker dapat menyebabkan hipotensi
berat. Episode hipotensi yang tidak membaik dengan penambahan
volume intravaskular membutuhkan inotropik. 1 Atropin dosis tinggi,
lebih dari 100 mg/jam, telah dianjurkan pada keadaan bradikardia.
Tidak ada regimen terapi yang dipercaya efektif secara universal untuk
instabilitas otonom. Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia
menyebabkan aktivitas simpatis berlebihan dan katabolisme protein

18
sehingga pemeliharaan nutrisi sangat diperlukan. Nutrisi buruk dan
penurunan berat badan terjadi cepat karena

18
disfagia, gangguan fungsi gastrointestinal dan peningkatan meta-
bolisme, menurunkan daya tahan tubuh sehingga memperburuk
prognosis.Nutrisi parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan
insulin dalam jumlah cukup untuk mengendalikan kadar gula darah,
dapat menekan katabolisme protein. Formula asam amino sangat
membantu membatasi katabolisme protein. Pada hari pertama perlu
pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan.
Bila sampai hari ketiga infus belum dapat dilepas, sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme
mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan
dengan perhatian khusus pada risiko aspirasi.Emboli paru juga
merupakan salah satu penyebab kematian, sehingga banyak digunakan
antikoagulan secara rutin seperti heparin subkutan. Risiko
tromboemboli dan perdarahan harus di pertimbangkan. Gerakan pasif
harus terus diberikan jika digunakan pelumpuh otot. Khususnya di
ruang ICU, penatalaksanaan tetanus yang bisa diberikan berupa terapi
suportif. Sebagain besar kasus membutuhkan 4-6 minggu pengobatan
suportif. Keberhasilan dalam memberikan terapi suportif kepada pasien-
pasien tetanus akan menentukan outcome penyakit ini, disamping
ditentukan pula oleh severitas penyakit.
I. Evidence Based Practice Pada Kasus Tetansu Generalisata
1. Debridement Luka Tetanus
Prosedur ini digunakan untuk luka lama yang belum sembuh
dengan baik dan luka yang mengalami infeksi. Berdasarkan penelitian
disarankan untuk melakukan debridement focus inokulasi. Prosedur ini
dilakukan 1 hingga 6 jam setelah pemberian immunoglobulin.
Rekomendasi untuk melakukan debridement 1 hingga 6 jam setelah
HTIG atau ATS sistemik dibeikan didasarkan ada alasan bahwa interval
ini akan memungkinkan netralisasi toksin yang tepat pada luka, dan
untuk mencegah penyebaran toksin selama luka.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan :

19
a. Buka luka jika dicurigai terdapat nanah
b. Bersihkan luka dengan cairan desinfektan
c. Tutup ringan luka dengan kasa lembap. Ganti balutan setiap hari,
lebih sering bila perlu
d. Berikan antibiotik sampai selulitis sekitar luka sembuh (biasanya
dalam waktu 5 hari).
e. Berikan kloksasilin oral (25–50 mg/kgBB/dosis 4 kali sehari)
karena sebagian besar luka biasanya mengandung Staphylococus.
f. Berikan ampisilin oral (25–50 mg/kgBB/dosis 4 kali sehari),
gentamisin (7.5 mg/kgBB IV/IM sekali sehari) dan metronidazol
(7.5 mg/kgBB/dosis 3 kali sehari) jika dicurigai terjadi
pertumbuhan bakteri saluran cerna
2. Trakeostomi
Trakeostomi harus dilakukan sesegera mungkin dalam 24 jam
pertama setelah intubasi orotrakeal pada pasien dengan tetanus sedang
dan berat yang membutuhkan perlindungan jalan napas atau ventilasi
mekanis.
Di masa lalu, penyabab utama morbiditas dan mortalitas pada tetanus
termasuk kegagalan pernapasan karena kerusakan otot pernapasan dan
kejang laring, komplikasi yang terkait dengan penggunaan penghambat
neuromuskuler, dan masalah ventilasi mekanis, seperti terputusnya
respirator atau kesulitan dengan ventilasi karena otot dada mengalami
kekakuan.
Intubasi orotrakeal dapat dilakukan pada awalnya. Namun, adanya
tuba endotrakeal dapat memicu atau memperburuk kejang laring dan
kejang umum. Untuk menghindari komplikasi ini, yang dapat
menyebabkan kebutuhan otot yang tidak perlu, dan untuk memfasilitasi
dukungan ventilasi, trakeostomi harus dilakukan sejak dini.

20
20
No Topik Tahu Peneliti Metode Populasi dan Hasil Kesimpulan
n Sampel
1. Magnesium sulfat pada 2019 Peregrinus Laporan Populasi dan Magnesium sulfat Melihat dari
tatalaksana tetanus Adhitira Prajogi, Kasus sampel pada menghambat presinaps penanganan yang sudah
generalisatadi ruang IGAG Utara penelitian ini neuromuskuler, dilakukan, tatalaksana
terapi intensif Hartawan yaitu seoarang pelepasan katekolamin tetanus di ruang intensif
pasien yang dari saraf dan medulla pada pasien ini telah
bernama NS, adrenal, serta sesuai dengan
pasien ruang mengurangi respon panduan/teori yang ada.
terapi intensif reseptor terhadap Penyulit utama pada
(RTI) katekolamin. Dengan pasien tetanus adalah
mengantagonis penanganan disfungsi
metabolisme kalsium, otonom dan komplikasi
overdosis magnesium tirah baring lama yang
sulfat menyebabkan sering terjadi.
kelemahan dan paralisis Pemberian MgSO4
otot. Obat ini dapat yang dikombinasikan
digunakan dengan atau dengan midazolam
tanpa kombinasi dengan dapat mengurangi

20
benzodiazepine untuk disfungsi otonom dan
mengontrol spasme dan mengontrol kejang
disfungsi otonom dengan dengan lebih baik,
dosis awal intravena 5 namun memerlukan
gram (75 mg/kg) pemantauan dan kontrol
diteruskan dengan yang lebih ketat.
peningkatan 2-3 gram per
jam hingga tercapai
kontrol spasme. Untuk
menghindari overdosis
maka diperlukan
pemantauan refleks
patella; dimana
hilangnya refleks patella
akan terjadi pada batas
atas kadar magnesium
yaitu 4 mmol/L, jika
arefleksia ini terus
terjadi, dosis terapi harus

20
diturunkan.

20
20
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme)
tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman
clostridium tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan
kuman. Tetanus adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan otot,
tanpa disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman
clostridium tetani.
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman
clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti
kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada
otot masseter dan otot-otot rangka.
B. Saran
Kami menyadari akan kekurangan dalam makalah ini, maka pembaca
dapat menggali kembali sumber-sumber lainnya untuk
menyempurnakannya. Kami berharap kritik yang membangun dari pembaca
sekalian, agar kami bisa lebih baik dan sempurna dalam pembuatan makalah
ini selanjutnya. Semiga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembacanya.

21
DAFTAR PUSTAKA

NM, I. N & Priambodo. (2015). Cephalic Tetanus A Rare Local Tetanus.


Biomedika, Volume 7.
Surya, R., 2016. Skoring Prognosis Tetanus Generalisata pada Pasien Dewasa.
CDK, Volume 43
Aji, Fadlel & Hidayat. (2020). Tetanus Generalisata diagnosis dna
penetalaksanaan: Laporan Kasus.
Batticaca. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Hastuti, M. S., & Oktarina, O. Penguatan Dokter di Layanan Primer-Tetanus.
Jaya, H. L., & Aditya, R. (2018). Pengelolaan Pasien Tetanus di Intensive Care
Unit. Majalah Anestesia dan Critical Care, 36(3), 114-121.
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawtan Indonesia. Jakarta Selatan : Dewan
Pengurus Pusat
Prajogi, P. A., & Hartawan, I. U. (2019). Magnesium sulfat pada tatalaksana
tetanus generalisatadi ruang terapi intensif. Medicina, 50(1).
Hastuti (2019). Modul Dasar Penguatan Kompetensi Dokter di Tingkat Pelayanan
Primer : Tetanus
https://www.scribd.com/document/427037301/Tetanus-Generalisata Di akses
pada 23 Oktober 2022
https://www.slideshare.net/riniwhy/tetanus-kelompok-4 Di akses pada 23 Oktober
2022

iii

Anda mungkin juga menyukai