Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MAKALAH

TETANUS

Mata Kuliah Management Patient Safety


Dosen Pengampu:
Ns. Candra Dewi Rahayu, M. Kep

Disusun Oleh:
Sigit Utomo (2022200004)
Rasya Rizky Ramadhan (2022200018)
Fadhyl Oktagita Putra (2022200019)
Gathut Ridwan Nur Alim (2022200022)
Ilham Maulana Aditya (2022200028)
Dito Wulan Pamungkas (2022200029)

UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
JAWA TENGAH DI WONOSOBO 2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah


memberikan kami karunia nikmat dan kesehatan, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini, dan terus dapat menimba ilmu di Universitas Sains
Al-Quran. Penulisan makalah ini merupakan sebuah tugas dari dosen mata
kuliah Management Patient Safety. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk menambah wawasan dan pengetahuan pada mata kuliah yang sedang
dipelajari, agar kami semua menjadi mahasiswa yang berguna bagi agama,
bangsa dan negara.
Dengan tersusunnya makalah ini kami menyadari masih banyak terdapat
kekurangan dan kelemahan, demi kesempurnaan makalah ini kami sangat
berharap perbaikan, kritik dan saran yang sifatnya membangun apabila terdapat
kesalahan. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
khususnya bagi saya sendiri umumnya para pembaca makalah ini.

Terima kasih, wassalamu’alaikum.

Wonosobo, 10 Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1.1

A. Latar belakang...................................................................................1.2
B. Rumusan Masalah.............................................................................2.2
C. Tujuan................................................................................................2.2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................3.3

A. Pengertian Tetanus............................................................................3.4
B. Gejala dan penyebab Tetanus...........................................................5.6
C. Cara Penanganan dan Pencegahan Tetanus....................................7.9
BAB III .......................................................................................................... 10.10

PENUTUP.....................................................................................................10.10

A. Kesimpulan........................................................................................10.10
B. Saran.................................................................................................10.11

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................12.12

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tetanus masih menjadi masalah yang serius di negara


berkembang seperti Indonesia. Penyakit tetanus dapat mengancam jiwa
sewaktu-waktu. Faktor-faktor risiko kematian diperlukan untuk
meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit ini dan antisipasi terhadap
kemungkinan kegawatan yang terjadi. Penyakit tetanus masih sering
ditemui di seluruh dunia dan merupakan penyakit endemik di 90 negara
berkembang. Bentuk yang paling sering pada anak adalah tetanus
neonatorum yang menyebabkan kematian sekitar 500.000 bayi tiap tahun
karena para ibu tidak diimunisasi. Sedangkan tetanus pada anak yang
lebih besar berhubungan dengan luka, sering karena luka tusuk akibat
objek yang kotor walaupun ada juga kasus tanpa riwayat trauma tetapi
sangat jarang, terutama pada tetanus dengan masa inkubasi yang lama.
SporaClostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada
lingkungan yang hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di Negara
berkembang.
Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih
tinggi. Indonesia meru pakan negara ke-5 diantara 10 negara
berkembang yang angka kematian tetanus neonatorumnya tinggi.
Tetanus ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme,
yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang
dihasilkan oleh Clostridium Tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis
tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata
dan gangguan neurologis lokal (Sudoyo, 2010: 2911). Menurut Saraswita
2014 Di negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan
perkiraan jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Paviliun Mawar RSUD
Kabupaten Jombang pada tanggal 7 desember 2014, tercatat sebanyak
35 kasus Tetanus mulai bulan desember 2013 sampai desember 2014,
14 kasus di antaranya meninggal dunia. Tetanus di sebabkan oleh toksin
yang di hasilkan oleh Clostridium tetani yang terdapat pada tempat luka

1
( Schwart, 2000 : 85). Tetanus yang tidak tertangani dengan baik dapat
menimbulkan komplikasi yang terjadi akibat penyakitnya, seperti
laringospasme, atau sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti
sedasi yang mengarah pada koma, aspirasi atau apnea, atau
konsekuensi dari perawatan intensif, seperti pneumonia berkaitan dengan
ventilator. Kemampuan 2 respirasi yang berukang berakibat terjadinya
apnea dan mengancam jiwa (Sudoyo, 2010: 2916) Menurut Saraswita
2014 Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah. Menurut kementrian
kesehatan Republik Indonesia dalam rangkaian PID, Kemenkes bersama
stakeholder lain menggelar seminar dengan tema Imunisasi untuk Masa
Depan Lebih Sehat, diJakarta mei 2014. Imunisasi pencegahan dengan
toksoid tetanus merupakan pencegahan tetanus terbaik. Imunisasi dasar
di berikan pada usia 7 tahun dan di ulangi sampai tiga kali.
Penatalaksanaan untuk pasien tetanus bermula dengan pembersihan
secara seksama dan debriden luka untuk membuang jaringan nekrotik
dan benda asing. Penisilin merupakan antibiotic terpilih. Tetrasiklin dapat
di gunakan untuk mereka yang alergi terhadap penisilin. Pemberian
relaksan otot dan pentotal sistemik di gunakan untuk spasme yang berat.
Kontrol pernapasan dan pembersihan paru penting di lakukan dalam
kasus yang berat (Schwartz, 2000 :58). Menurut Kinho 2013 tindakan
pemulihan kesehatan di lakukan rehabilitasi fisik, mental, vokasional, dan
aesthetic. Pemulihan membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru
yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama (Sudoyo, 2010:
2912) Melihat fenomena diatas dapat di ketahui bahwa tetanus dapat
mengancam jiwa, sehingga penulis mengambil kasus pasien dengan
tetanus di Paviliun Mawar RSUD Jombang, dengan mengambil kasus ini
penulis akan dapat memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif
kepada pasien dengan tetanus.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Tetanus?
2. Apa gejala dan penyebab tetanus?
3. Bagaimana cara penanganan dan pencegahan Tetanus?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu Tetanus

2
2. Mengetahui apa gejala dan penyebab tetanus
3. Mengetahui Bagaimana cara penanganan dan pencegahan
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Tetanus
tetani masuk kedalam tubuh lewat luka yang terkontaminasi. Toksin
yang di produksi akan menyebar luas melalui saluran limfe dan aliran
darah. Toksin yang dihasilkan akan berikatan dengan sistem nervus
sentral dan menganggu sistem nya, termasuk motorik perifer, sumsum
tulang belakang, otak dan system nervus simpatik. Masa inkubasi tetanus
adalah 3 sampai 21 hari, biasanya 8 hari. Semakin jauh letak luka dari
system saraf pusat maka akan semakin lama masa inkubasinya. Periode
inkubasi juga dapat mempengaruhi prognosis pasien, semakin pendek
periode inkubasi maka akan semakin tinggi tingkat kematiannya.
Ada beberapa macam tetanus seperti tetanus generalis, tetanus
neonatal, tetanus sefalik, dan tetanus lokal. Tetanus lokal dan tetanus
sefalik jarang ditemukan, sedangkan yang paling banyak ditemukan
adalah tetanus generalis dan tetanus neonatal. Pada tetanus lokal
ditemukan kekakuan otot yang persisten di area yang sama dengan luka.
Kekauan ini mungkin tetap ada untuk beberapa minggu hingga
menghilang perlahan. Tetanus lokal memilik prognosis baik dengan
perawatan yang benar untuk mencegah terjadinya tetanus generalis.
Tatalaksana dengan menetralisir toksin dengan menggunakan tetanus
imunglobulin, dan juga penanganan luka yang baik diperlukan.
Pengobatan alternatif lainnya yaitu menggunakan penisilin dengan dosis
yang telah ditentukan, tapi dapat menyebabkan kemungkinan perburukan
spasme.
Tetanus sefalik merupakan jenis tetanus yang juga jarang terjadi,
ditandai dengan adanya trismus serta disfungsi paling sering pada nervus
fasialis. Tetanus ini biasanya disebabkan oleh luka atau infeksi pada regio
wajah dan leher. Infeksi telinga juga dapat menjadi penyebab dari jenis
tetanus ini. Tetanus jenis ini memiliki masa inkubasi tinggi sehingga
prognosisnya lebih buruk dan tingkat yang tinggi pada mortalitasnya.
Jenis tetanus yang paling sering ditemukan adalah tetanus generalis.

3
Tetanus jenis ini biasanya ditandakan dengan gejala spasme pada otot
wajah atau trismus di awal dan susah menelan, diikuti kesulitan untuk
bernafas, spasme otot belakang atau opithotonos serta posture tonik
generalis yang tiba-tiba. Di kasus berat, spasme dari otot pernafasan
dapat menyebabkan kematian.
Pada tetanus neonatal, tetanus jenis ini dapat dikonfirmasi
diagnosanya dengan ditemukannya bayi yang memiliki kemampuan
normal untuk menyusu dan menangis di 2 hari pertama kelahiran, lalu
diantara hari ke 3 sampai ke 28 bayi tidak bisa menyusu dengan normal
dan menjadi kaku atau memiliki spasme.
Terdapat juga tetanus maternal yaitu tetanus yang terjadi ketika
kehamilan ibu usia 6 minggu sebelum akhir kehamilan bisa kelahiran,
keguguran ataupun aborsi. Terdapat tiga strategi dalam eliminasi dan
pencegahan tetanus. neonatal maupun maternal, yaitu imunisasi,
kebersihan kelahiran dan pengawasan.
Ada 3 bentuk klinik dari tetanus, yaitu:
1. Tetanus lokal : otot terasa sakit, lalu timbul rigiditas dan spasme
pada bagian paroksimal luar. Gejala itu dapat menetap dalam
beberapa minggu dan menghilang tanpa sekuele.
2. Tetanus general; merupakan bentuk paling sering, timbul
mendadak dengan kaku kuduk, trismus, gelisah, mudah
tersinggung dan sakit kepala merupakan manifestasi awal. Dalam
waktu singkat konstruksi otot somatik meluas. Timbul kejang
tetanik bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan
ekstensi ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya spasme
berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit dan terpisah
oleh periode relaksasi.
3. Tetanus cephalic : varian tetanus local yang jarang terjadi masa
inkubasi 1-2 hari terjadi sesudah otitis media atau luka kepala dan
muka. Paling menonjol adalah disfungsi saraf III, IV, VII, IX dan XI
tersering adalah saraf otak VII diikuti tetanus umum.

Menurut berat gejala dapat dibedakan 3 stadium:

4
a. Trismus (3 cm) tanpa kejang-lorik umum meskipun
dirangsang.
b. Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang torik umum bila
dirangsang.
c. Trismus (1 cm) dengan kejang torik umum spontan.
B. Gejala dan Penyebab Tetanus

Sering kali tempat masuk kuman sukar diketahui tetepi suasana


anaerob seperti pada luka tusuk, luka kotor, adanya benda asing dalam
luka yang menyembuh otitis media, dan cairies gigi,
menunjang berkembang biaknya kuman yang menghasilkan endotoksin.
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah
resiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Reservoir
utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak
sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora
kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di mana-
mana.
Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat
diduga melalui:

 Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar


 Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik
 OMP, caries gigi
 Pemotongan tali pusat yang tidak steril.
 Penjahitan luka robek yang tidak steril

Clostridium tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob


obligat, dapat membentuk spora, dan berbentuk drumstick. Spora yang
dibentuk oleh C. tetani ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik.
Ia dapat tahan walaupun telah diautoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga
resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. BakteriClostridium
tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan
peliharaan dan di daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri ini
terdistribusi pada tanah dan saluran penceranaan serta feses dari kuda,
domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam. Ketika bakteri tersebut

5
berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan neurotoksin (sejenis protein
yang bertindak sebagai racun yang menyerang bagian sistem saraf). C.
tetani menghasilkan dua buah eksotoksin,
yaitu tetanolysin dan tetanospasmin.Fungsi dari tetanoysin tidak diketahui
dengan pasti, namun juga dapat memengaruhi tetanus. Tetanospasmin
merupakan toksin yang cukup kuat.
Biasanya penyakit ini terjdi setelah luka tusuk yang dalam misalya
luka yang disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka
tembak, karena luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal.
Selain itu luka laserasi yang kotor dan pada bayi dapat melalui tali pusat
luka bakar dan patah tulang yang terbuka juga akan mengakibatkan
keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan clostridium tetani.
Tetanus terjadi sesudah pemasukan spora yang sedang tumbuh,
memperbanyak diri dan mneghasilkan toksin tetanus pada potensial
oksidasi-reduksi rendah (Eh) tempat jejas yang terinfeksi. Plasmid
membawa gena toksin. Toksin yang dilepas bersama sel bakteri sel
vegetative yang mati dan selanjutnya lisis. Toksin tetanus (dan toksin
batolinium) di gabung oleh ikatan disulfit. Toksin tetanus melekat pada
sambungan neuromuscular dan kemudian diendositosis oleh saraf
motoris, sesudah ia mengalami ia mengalami pengangkutan akson
retrograt kesitoplasminmotoneuron-alfa. Toksin keluar motoneuron dalam
medulla spinalis dan selanjutnya masuk interneuron penghambat spinal.
Dimana toksin ini menghalangi pelepasan neurotransmitter. Toksin
tetanus dengan demikian meblokade hambatan normal otot antagonis
yang merupakan dasar gerakan yang disengaja yang di koordinasi,
akibatnya otot yang terkena mempertahankan kontraksi maksimalnya,
system saraf otonom juga dibuat tidak stabil pada tetanus.
Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic
berubah menjadi bentuk vegetatif dan berkembang biak sambil
menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat
penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan
oxigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium
yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf
(cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan

6
aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel
saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sumsum
belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps
dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada
daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter
dan menimbulkan kekakuan. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan
rata-rata 10 hari.

C. Bagaimana Cara Penanganan dan Pencegahan Tetanus


Diagnosis tetanus dapat ditegakkan dari gejala klinis tanpa
menggunakan pemeriksaan laboraturium. Menurut WHO tetanus pada
pasien dewasa dapat ditegakkan apabila ditemukan trismus atau
kontraksi otot yang nyeri. Tetanus dapat ditemukan pada luka hanya di
sekitar 30% kasus dan dapat juga ditemukan pada pasien yang tidak
memiliki tetanus. Penegakkan diagnosis segera diperlukan untuk
menghindari komplikasi seperti spasme laring, hipertensi atau detak
jantung abnormal, embolisme pulmonal, pneumonia, dan kematian.
Menurut WHO, tatalaksana yang dapat dilakukan pada pasien
tetanus yang pertama adalah sebaiknya pasien tetanus ditempatkan di
ruang perawatan sunyi dan terhindar dari simulasi audiotorik dan
stimulasi taktil (WHO, 2010). Pada penatalaksanaan tetanus penting
diberikan ATS sebagai penetralisir toksin yang beredar di dalam darah
dengan dosis 100.000-200.000 unit melalui IV dan IM. Antibiotik juga
diperlukan untuk kasus ini. Metrodinazil menjadi pilihan utama yang
banyak digunakan pelayanan kesehatan di Indonesia dengan dosis
15mg/kgBB dilanjutkan 30mg/kgBB/hari selama 7-10 hari secata
intravena. Golongan benzodiazepines dipilih untuk mengkontrol spasme
otot pada tetanus, dikenal karena memiliki agen lain seperti relaksan otot,
antikonvulsan, sedatif dan efek anxiolitik. Diazepam diberikan dengan
dosis 5mg. Banyak digunakan karena harganya yang murah dan banyak
tersedia. Kontrol saluran pernapasan juga diperlukan, karena obat
spasme yang dipakai pada pasien tetanus dapat memberikan efek sedasi
depresi saluran pernapasan. Cairan dan nutrisi adekuat juga diperlukan
untuk meningkatkan status metabolik pasien tetanus.

7
Pengendalian tetanus terutama tetanus maternal dan neonatrum
di Indonesia dilakukan dengan Imunisasi. Imunisasi DPT3 diberikan pada
bayi. Imunisasi tetanus toxoid anak sekolah yang diberikan melalui
program Upaya Kesehtan Sekolah diberikan sebagai penguatan
kekebalan tubuh anak SD Indonesia. Bila imunisasi tiga dosis DPT
lengkap dan usia sekolah yaitu satu dosis DT dan dua dosis tt/td maka
kekebalan tubuh dapat bertahan sekitar 25 tahun.
Pemberian Imunisasi TT ibu hamil dan wanita subur juga
dilakukan sebagai strategi pengendalian tetanus dengan program ETN
(eliminasi tetanus neonatrum). Program ini diberikan melalui pelayanan
dasar pada bayi di bulan imunisasi anak sekolah atau BIAS. Persalinan
yang bersih dan perawatan tali pusat juga diperlukan untuk mencegah
terjadinya tetanus pada bayi baru lahir. CDC menuturkan terdapat 4
macam vaksin yang digunakan untuk melawan tetanus yang juga
digunakan untuk melawan penyakit lain yaitu vaksin DT (difteria dan
tetanus), vaksin DTap (difteria, tetanus, dan pertussis), vaksin Td (tetanus
dan difteria), dan vaksin Tdap (tetanus, difteria dan pertussis). Menurut
penelitian vaksin Tdap, dihasilkan bahwa vaksin ini sangat aman
digunakan. Tetapi seperti vaksin lain, vaksin Tdap juga dapat
menimbulkan efek samping pada penggunanya. Efek yang ditimbulkan
ringan seperti kemerahan dan pegal dibagian lengan yang disuntikkan
vaksin, pusing, dan demam. Vaksin DTaP dengan 4 dosis diberikan pada
anak usia 2, 4, 6, dan 15-18 bulan. Imunisasi pertama, kedua, dan ketiga
harus terpisah jaraknya minimal 4 minggu. Jarak antara imunisasi ketiga
dan keempat diberikan dengan jarak 6 bulan dan tidak boleh diberikan
pada usia kurang dari 12 bulan. (CDC, 2015). Untuk anak usia diatas 7
tahun diberikan vaksi Td/Tdap. Sedangkan vaksin booster dapat
diberikan setiap 10 tahun sekali (Hartono G, 2017). Vaksin tetanus juga
diberikan pada ibu hamil yaitu vaksin TDaP sebanyak 1 kali saat usia 27-
36 minggu. Jika ibu hamil belum mendapat vaksin tetanus melahirkan,
maka vaksin tetanus ini diberikan ketika ibu selesai melahirkan langsung
diberikan. Hasil penelitian Eddy (2013) didapatkan reaksi lokal seperti
nyeri tempat suntikan dan kemerehan pasca 30 menit disuntik. Reaksi
lokal ini dikelompokan menjadi reaksi ringan. Pemantauan pada 30 menit

8
sampai 72 jam pertama didapatkan demam yang sangat sedikit. Reaksi
lokal dan sistemik ini akan menghilang seluruhnya pada 4 sampai 28 hari
pasca imunisasi.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan manajemen luka yang
baik. Mengangkat jaringan luka yang kemungkinan terdapat spora bakteri
dan yang berkondisi baik bagi kuman. Memberhentikan produksi toksin
pada luka dan sekitarnya juga diperlukan. Seseorang dengan luka yang
tidak bersih ataupun tidak minor dan memiliki kurang dari 3 dosis tetanus
toksoid atau tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus harus diberikan TIG
serta Td atau Tdap. Hal ini berguna sebagai dosis awal agar imunitas
lebih prima menghadiapi toksin tetanus. TIG juga dapat memberikan
imunitas sementara dengan menyajikan antitoksin langsung setalah
diberikan.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah. Pencegahan
tetanus dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi sesuai jadwal, dan
booster untuk efek imunitas yang lebih panjang terhadap toksin tetanus.
Imunisasi tetanus pada bayi dan anak diperlukan untuk meningkatakan
imunitas. Imunisasi tetanus juga diberikan pada ibu hamil untuk
menghindari tetanus pada bayi setelah dilahirkan. Penanganan luka yang
baik juga dapat menjadi salah satu cara pencegahan tetanus.
Pencegahan tetanus juga dapat dilakukan oleh ibu hamil dengan
melakukan persalinan di pelayanan kesehatan terlatih dan terjamin
kebersihannya.
B. Saran
Berdasarkan penjelasan mengenai tetanus yang telah dibahas
sebelumnya, terdapat beberapa saran yang dapat diberikan sebagai
upaya untuk mencegah dan mengatasi penyakit tetanus, antara lain:
1. Vaksinasi
Vaksinasi merupakan salah satu cara yang paling efektif dalam
mencegah terjadinya infeksi tetanus. Oleh karena itu, masyarakat
perlu menyadari pentingnya vaksinasi dan mengikuti jadwal vaksinasi
yang dianjurkan oleh pemerintah.
2. Perawatan luka
Luka yang terkontaminasi oleh bakteri Clostridium tetani dapat
menjadi sumber infeksi tetanus. Oleh karena itu, perawatan luka yang

10
baik sangat penting dalam mencegah terjadinya tetanus. Setiap luka
harus segera dibersihkan dan diberikan perawatan yang tepat.
3. Kehati-hatian saat melakukan aktivitas di luar ruangan
Bakteri Clostridium tetani dapat ditemukan di tanah dan kotoran
hewan. Oleh karena itu, orang yang sering melakukan aktivitas di luar
ruangan, seperti petani atau pekerja konstruksi, harus mengambil
tindakan pencegahan yang tepat, seperti memakai sepatu dan
pakaian yang sesuai serta mencuci tangan sebelum dan sesudah
melakukan aktivitas.
4. Penanganan kasus tetanus
Kasus tetanus yang telah terjadi harus segera ditangani dengan
cepat dan tepat. Pasien harus segera dilarikan ke rumah sakit dan
diberikan perawatan yang intensif, termasuk pemberian vaksin dan
serum tetanus, serta pengobatan simtomatik lainnya.
5. Edukasi masyarakat
Edukasi masyarakat mengenai tetanus sangat penting dalam
mencegah terjadinya penyakit ini. Masyarakat perlu mengetahui
gejala-gejala tetanus, cara pencegahan, dan penanganan kasus
tetanus yang benar. Edukasi dapat dilakukan melalui berbagai media,
seperti brosur, poster, atau kampanye penyuluhan kesehatan di
masyarakat.

Diharapkan dengan adanya saran-saran tersebut, masyarakat dapat


lebih waspada dan berperan aktif dalam mencegah terjadinya penyakit
tetanus.

11
DAFTAR PUSTAKA

Clarissa Tertia, I Ketut Sumada, Ni Ketut Candra Wiratmi. (2019). Tetanus Tipe
General Pada Usia Tua Tanpa Vaksinasi: Laporan Kasus dan Tinjauan
Pustaka. Collsume Neurologi Vol.2 108- 114.

Kemenkes, RI. 2016. Ditjen Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit. Jakarta:


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Iin Novita Nm, Doni Priambodo. (2015). Cephalic Tetanus A Rare Local Tetanus.
Yogyakarta: Biomedika vol.7(2).

Depkes RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

12

Anda mungkin juga menyukai