Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

RS TINGKAT I PELAMONIA MAKASSAR MARET 2019


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

TETANUS NEONATORUM

Oleh:
Nur Fadhilah Kusnadi, S.Ked
105505 4050 18

Pembimbing :
Dr.Marlenny W.T Martoyo, Sp.A

Dibawakan Dalam Rangka Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Kesehatan Anak

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Nur Fadhilah Kusnadi, S.Ked


NIM : 10542 0505 13
Judul : Tetanus Neonatorum

Telah menyelesaikan Refarat dalam rangka kepanitraan klinik


Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Makassar

Makassar, Maret 2019

Pembimbing Mahasiswa

dr.Marlenny W.T Martoyo, Sp.A Nur Fadhilah Kusnadi, S.Ked

KATA PENGANTAR
REFARAT │TETANUS NEONATORUM │
2
Assalamualaikum Wr. Wb

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan Laporan kasus ini dapat

diselesaikan.

Laporan kasus berjudul “Tetanus Neonatorum” ini dapat terselesaikan

dengan baik dan tepat pada waktunya sebagai salah satu syarat dalam

menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Secara

khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepada

dr. Malenny W.T Martoyo, Sp.A, selaku pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan

arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa penyusunan Referat ini belum sempurna adanya

dan memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai

pihak, baik moral maupun material sehingga dapat berjalan dengan baik. Akhir

kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat kepada

semua orang.

Makassar, Maret 2019

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


3
A. Latar Belakang
Tetanus pada maternal dan neonatal merupakan penyebab kematian
paling sering terjadi akibat persalinan dan penanganan tali pusat tidak
bersih.Tetanus ditandai dengan kaku otot yang nyeri yang disebabkan oleh
neurotoxin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani pada luka anaerob
(tertutup). Tetanus neonatorum (TN) adalah tetanus pada bayi usia hari ke
3 dan 28 setelah lahir dan Tetanus maternal (TM) adalah tetanus pada
kehamilan dan dalam 6 minggu setelah melahirkan. Bila tetanus terjadi
angka kematian sangatlah tinggi, terutama ketika perawatan kesehatan
yang tepat tidak tersedia. Saat ini kematian akibat tetanus pada maternal
dan neonatal dapat dengan mudah dicegah dengan persalinan dan
penanganan tali pusat yang higienis, dan / atau dengan imunisasi ibu
dengan vaksin tetanus. ¹
Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme
yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh
Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum
diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi
lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak
melakukan booster secara berkala. 2
Upaya mengeliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (TMN)
bertujuan mengurangi jumlah kasus tetanus pada maternal dan neonatal
hingga ke tingkat dimana TMN tidak lagi menjadi masalah utama
kesehatan masyarakat. Tidak seperti polio atau cacar (smallpox), tetanus
tidak dapat dieradikasi, spora tetanus berada di lingkungan seluruh dunia,
namun melalui imunisasi pada ibu hamil, wanita usia subur (WUS) dan
promosi persalinan yang higienis. TMN dapat dieliminasi yaitu
ditunjukkan oleh jumlah kasus tetanus yang kurang dari satu per 1000
kelahiran hidup di setiap kabupaten. Secara operasional, status ini dapat
diukur dengan tingkat pencapaian imunisasi serta pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan.

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


4
Pada tahun 1988, WHO memperkirakan bahwa sebanyak 787,000
bayi baru lahir meninggal akibat tetatus neonatorum (TN). Sehingga pada
akhir tahun 1980-an perkiraan angka kematian tahunan global TN adalah
sekitar 6,7 kematian per 1000 kelahiran hidup, jelas ini merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1988 dan UNICEF
melalui World Summit for Children pada tahun 1990 mengajak seluruh
dunia untuk mengeliminasi Tetanus Neonatorum pada tahun 2000. Target
ini tidak tercapai, karena belum ditemukan strategi operasional yang
efektif, sehingga pada tahun 1999 UNICEF, WHO dan UNFPA kembali
mengajak negara berkembang di dunia untuk mencapai target Eliminasi
Tetanus Maternal dan Neonatal (ETMN) pada tahun 2005 dengan
menggalang dana ETMN dunia.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


5
A. Definisi
Penyakit tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada
neonatus (bayi berusia kurang dari 1 bulan) yang disebabkan oleh Clostridium
tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) dan menyerang sistem
saraf pusat. Spora kuman tersebut masuk ke dalam tubuh bayi melalui pintu
masuk satu-satunya, yaitu tali pusat yang dapat terjadi pada saat pemotongan
tali pusat ketika bayi lahir maupun pada saat perawatan sebelum puput
(terlepasnya tali pusat). Masa inkubaasi 3-28 hari, rata-rata 6 hari. Apabila
masa inkubasi kurang dari 7 hari, biasanya penyakit lebih parah dan angka
kematiannya tinggi. 3
Tetanus neonatorum disebabkan oleh basil Clostridium tetani, yang masuk
ke tubuh melalui luka. Penyakit ini menginfeksi bayi baru lahir yang salah
satunya disebabkan oleh pemotongan tali pusat dengan alat yang tidak steril.
Kasus tetanus neonatorum banyak ditemukan di negara berkembang khususnya
negara dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang rendah.(profil
kesehatan)
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman Clostridium tetani.
Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak
eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion
sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular
(neuromuscular junction) dan saraf otonom. 2

B. Epidemiologi
Tetanus neonatorum memilki tingkat morbiditas yang tinggi, dimana
>50% kasus tetanus neonatorum berakhir dengan kematian. Menurut data
UNICEF, setiap 9 menit, seorang bayi meninggal akibat penyakit ini. WHO
menyatakan bahwa tetanus neonatorum merupakan penyebab dari 14 %
kematian neonatus di seluruh dunia. 4
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di
seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus
dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.2 Selama 30

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


6
tahun terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled
trials) mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus.3 Pada tahun 2000, hanya
18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO.4 Sekitar 76 negara, termasuk
didalamnya negara yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali
tidak memiliki informasi yang lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya
sekitar 3% tetanus neonatorum yang dilaporkan.5 Berdasarkan data dari WHO,
penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam
diperkirakan insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 –
1.000.000 kasus per tahun. 2
Pada tahun 2015, dilaporkan terdapat 53 kasus dari 13 provinsi dengan
jumlah meninggal 27 kasus atau CFR 50,9%. Dibandingkan tahun 2014, terjadi
penurunan baik jumlah kasus maupun CFR-nya, yaitu 84 kasus dari 15 provinsi
dengan CFR sebesar 64,3%.5
Gambaran kasus menurut faktor risiko penolong persalinan, 33 kasus
(62%) ditolong oleh penolong persalinan tradisional, misalnya dukun. Menurut
cara perawatan tali pusat, hanya 6 kasus (11%) yang dirawat menggunakan
alkohol/iodium, sedangkan yang lain menggunakan cara tradisional, lain-lain
dan tidak diketahui. Menurut alat yang digunakan untuk pemotongan tali pusat,
22 kasus (42%) menggunakan gunting 12 kasus (59%) menggunakan bambu
dan sisanya menggunakan alat lain atau tidak diketahui. Menurut status
imunisasi sebanyak 32 kasus (60%) terjadi pada kelompok yang tidak
diimunisasi. Rincian kasus tetanus neonatorum beserta persentase kasus
menurut faktor risiko dan provinsi dapat dilihat pada Lampiran 6.15. 5
Menurut Kementerian Kesehatan, penyebab tetanus neonatorum di
Indonesia bermacam-macam yaitu karena pertolongan persalinan, perawatan
tali pusat, alat pemotong tali pusat dan luka karena insiden yang tidak bersih
(2012). Selain itu, kegagalan pelayanan Antenatal Care (ANC) pada ibu hamil,
dalam pelayanan imunisasi TT (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI,
2010 dalam Riskesdas 2013). Riskesdas 2013 menunjukkan cakupan
kunjungan ibu hamil pertama (K1) terendah di Provinsi Jawa Timur adalah
Kabupaten Bangkalan (88,9%) dan kunjungan ke empat (K4) adalah 59,4

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


7
persen. Maka cukup banyak ibu hamil tidak diimunisasi TT sehingga bayi tidak
kebal terhadap tetanus. 6

C. Etiologi
Clostridium tetani adalah basillus anaerobik bakteri gram positif
anaerob yang ditemukan di tanah dan kotoran binatang. Berbentuk batang dan
memproduksi spora, memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski
tidak selalu terlihat. C.tetani merupakan bakteri yang motile karena memiliki
flagella, dimana menurut antigen flagella nya, dibagi menjadi 11 strain. Namun
ke sebelas strain tersebut memproduksi neurotoksin yang sama.7

Gambar 1. Clostridium tetani, dengan bentukan khas “drum stik” pada bagian
bakteri yang berbentuk bulat tersebut spora dari C.tetani dibentuk. (dengan
pembesaran mikroskop 3000x). 7

Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran


manusia dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka
terhadap panas dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat
oksigen. Sebaliknya, dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan
antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan
selama bertahun-tahun dalam lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan
dalam autoklaf pada suhu 249,8 °F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga
relatif resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya . Spora dapat menyebar
kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. 2
Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika
menempati tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan berkembang dan
melepaskan toksin tetanus. Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat
mengakibatkan penyakit tetanus (dosis letal minimum adalah 2,5x10-6 mg/kg)

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


8
(Hassel, 2013). Sel yang terinfeksi oleh bakteri dengan mudah dapat
diinaktivasi dan bersifat sensitif terhadap beberapa antibiotik (mentronidazol,
penisilin dan lainnya). Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya
berdasarkan klinis. 2,7

D. Patomekanisme
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran
lingkungan oleh bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal menurunkan
attack rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port
d’entree tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :

1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka


bakar yang luas.

2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik


3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.

4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat
dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan
merupakan penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang
menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum.
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang
masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa
faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan
berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi.
Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel
vegetatif yang sedang tumbuh. C. tetani menghasilkan dua eksotoksin,
yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis
tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Gejala klinis tetanus disebabkan
oleh tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat
sistem saraf: (1) motor end plate di otot rangka, (2) medula spinalis, (3)
otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis.
Diperkirakan dosis letal minimum pada manusia sebesar 2,5 nanogram per

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


9
kilogram berat badan (satu nanogram = satu milyar gram), atau 175
nanogram pada orang dengan berat badan 70 kg. 11,14
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka
lewat motor end plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior
sumsum tulang belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih
banyak dianut daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan
toksin ini melewati saraf motorik, terutama serabut motorik. Reseptor
khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel
erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin
diangkut ke arah sel secara ektra aksional dan menimbulkan perubahan
potensial membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase
tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps
yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang
menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan
menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan menimbulkan
spasme terutama pada otot yang besar.
Dampak toksin antara lain :
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena
eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada
gangliosida serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas
pada tetanus.

3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan


menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi,
hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia. 2
Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam
yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing
atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka
geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang
berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan
REFARAT │TETANUS NEONATORUM │
10
pemotongan tali pusat yang tidak steril. 7 Pada tetanus neonatorum, C. tetani
masuk melalui luka tali pusat, karena perawatan atau tindakan yang tidak
memenuhi syarat kebersihan, misalnya memotong tali pusat dengan bambu/
gunting yang tidak steril, atau setelah tali pusat dipotong dibubuhi abu, tanah,
minyak, daun-daunan dan sebagainya. 2
Spora Clostridium tetani yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya
sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah
menjadi bentuk vegetative dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak
mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin
yang dihasilkan oleh sel vegetative yang sedang tumbuh. Clostridium tetani
menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin
yang dihasilkan bersifat sitolisin, dan mengawali infeksi bakteri ini dengan
merusak jaringan-jaringan yang belum nekrosis dan mengoptimalkan suasana
anaerob yang terbentuk pada situs luka selain itu juga menyebabkan hemolisis
tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Tetanospasmin sebagai neurotoksin
kemudian menjadi agen penyebab munculnya berbagai gejala klinis pada
tetanus. 2
Dalam kondisi normal, sistem musculoskeletal akan bereaksi sesuai
dengan sinyal (aktif potensial) yang berasal dari neuron-neuron (eksitatorik dan
inhibitorik). Sel-sel neuron akan bereaksi terhadap suatu sinyal dengan
menghasilkan neurotransmiter dan dikeluarkan menggunakan suatu protein
membran (synaptobrevin) menuju saraf motorik. Neurotransmiter tersebut
kemudian menyampaikan sinyal tersebut dan saraf motorik akan merangsang
serat otot untuk bereaksi.2
Pada kontraksi otot skeletal, neuron eksitatorik akan mengeluarkan
neurotransmiter sperti asetilkolin untuk menyampaikan sinyal eksitatorik ke
motor neuron yang merangsang otot untuk berkontraksi, sementara itu neuron
inhibitorik juga akan menghasilkan neurotransmitter seperti GABA untuk
membatasi gerakan dan menodulasi kontraksi yang terjadi, di mana pada saat
satu bagian otot berkontraksi, pada saat bersamaan terdapat otot lain yang
relaksasi (antagonis refleks). Infeksi Clostridium tetani menyebabkan neuron
inhibitorik gagal mengeluarkan neurotransmitter inhibitori, sehingga kontraksi

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


11
yang terjadi tidak diimbangi dengan inhibisi otot yang lain. Akibatnya baik otot
agonis maupun antagonis mengalami kontraksi dan tidak terkontrol sehingga
terjadi spasme otot yang menjadi gambaran khas pada tetanus. 2

Gambar 2. Dampak tetanospasmin pada tubuh.

E. Tanda dan Gejala Klinis


Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek
(1 hari atau hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan
dengan jarak dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


12
Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum semakin besar jarak antara
tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama. Semakin
pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya
kematian.10,12
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka
bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang
terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari
jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens.
Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher,
kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus
terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah
mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan
disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi
dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena
dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan
berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4
minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan.

2. Localized tetanus (Tetanus lokal)


Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi
serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak
umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa
minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


13
mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar
1% kasus yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)

Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah
infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik
(seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus
umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya
buruk.

4. Tetanus neonatorum

Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada
negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian
neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi
untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi
sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut
mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%. Selain
berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat
dibagi menjadi empat (4) tingkatan (lihat Tabel 1) 2

Tabel 1. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis (Simanjuntak,


2013).
DERAJAT MANIFESTASI KLINIS
I : Ringan Trismus ringan sampai sedang; spastisitas umum tanpa
spasme atau gangguan pernapasan; tanpa disfagia/disfagia
ringan
II : Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai
sedang dalam waktu singkat; laju napas >30x/menit; disfagia
ringan
III : Berat Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju napas
>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


14
berat

IV : Sangat berat (derajat III + gangguan sistem otonom termasuk


kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang dapat
diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia, dan
salah satu keadaan tersebut dapat menetap

F. Penegakkan Diagnosis
Anamnesis. 2
Bayi kesulitan hingga tidak sanggup menghisap dan akhirnya mengalami
gangguan menyusu
 Kekakuan rahang (trismus) dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang
hingga akhirnya berhenti
 Terdapat kekakuan tubuh yang dipicu oleh rangsangan-rangsangan seperti
suara atau sentuhan. Kemudian kejang akan terjadi secara spontan dan
akhirnya terus menerus
Pemeriksaan Fisik

Tali pusat bayi dapat ditemukan dalam kondisi kotor dan berbau merupakan
tanda port d’entrée Clostridium tetani.

Gambar 3. Kondisi tali pusat pada tetanus neonatorum.



Mulut mencucu seperti mulut ikan (karpermond)

Kekakuan pada wajah dimana bibir tertarik ke arah lateral, dan alis tertarik
ke atas yang disebut risus sardonicus. Ekspresi muka yang khas akibat
kekakuan otot-otot mimik, dahi mengkerut, alis terangkat, mata agak
menyipit, sudut mulut keluar dan ke bawah.

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


15
Gambar 4. Risus sardonicus.

Kaku kuduk hingga epistotonus akibat kekakuan otot leher, otot punggung,
otot pinggang, semua trunk muscle.

Gambar 5. Epistotonus.

Pemeriksaan dengan spatula lidah dapat digunakan untuk mendeteksi dini
penyakit ini. Hasil positif ditunjukan ketika spatula menyentuh orofaring
lalu terjadi spasme pada otot maseter dan bayi menggigit spatula lidah. Uji
spatula memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi (94%).2

Gambar 6. Uji Spatula.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus,
beberapa hasil pemeriksaan penunjang dibawah ini dapat ditemui pada kasus
tetanus, antara lain. 2
a) Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus,
namun demikian, kuman Clostridium tetani dapat ditemukan di luka pada

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


16
orang yang tidak mengalami tetanus dan seringkali tidak dapat dikultur pada
pasien tetanus.
b) Nilai hitung leukosit dapat tinggi
c) Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal
d) Kadar antitoksin didalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai
imunisasi bukan tetanus
e) Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
f) EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus menerus
dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang
diamati setelah potensial aksi.
g)

G. Diagnosa Banding
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari
penyakit.19 Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut : 2
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis
tersebut tidak dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai
gangguan kesadaran dan terdapat kelainan likuor serebrospinal.
2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya
spasme karpopedal.
3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan
pada anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis
media supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tetanus neonatorum pada dasarnya sama dengan
tetanus lainnya, yaitu meliputi terapi suportif (sedasi, pelemas otot, dsb) selama
tubuh berusaha memetabolisme neurotoxin, menetralisir atau mencegah
bertambahnya toxin yang mencapai sistem saraf pusat dan berusaha membunuh
kuman yang masih dalam bentuk vegetatif untuk mencegah produksi
tetanospasmin yang berkelanjutan. Perawatan di NICU mutlak diperlukan.
Adapun tindakan atau pengobatan pada pasien tetanus neonatorum sebagai
berikut (Pudjiadi dkk, 2009; WHO, 2008):
1. Pasang jalur IV dan beri cairan dengan dosis rumatan

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


17
2. Berikan diazepam 10mg/kgBB/hari secara IV dalam 24 jam atau dengan
bolus IV setiap 3-6 jam (dengan dosis 0,1 – 0,2 mg/kgbb/kali pemberian),
maksimum 40 mg/kgbb/hari.

Bila jalur IV tidak terpasang, pasang pipa lambung dan beri diazepam
melalui pipa atau melalui rektum (dosis sama dengan dosis IV)

Bila perlu, beri tambahan dosis 10 mg/kgBB tiap 6 jam

Bila frekuensi nafas kurang dari 20 kali/menit dan tidak tersedia
fasilitas penunjang nafas dengan ventilator, diazepam dihentikan
meskipun bayi masih mengalami spasme.

Bila bayi mengalami henti nafas selama spasme atau sianosis sentral
setelah spasme, berikan oksigen dengan kecepatan aliran sedang, bila
belum bernafas lakukan resusitasi, bila tidak berhasil dirujuk ke rumah
sakit yang mempunyai fasilitas NICU.

Setelah 5-7 hari, dosis diazepam dapat dikurangi secara bertahap 5-10
mg/hari dan diberikan melalui rute orogastrik.

Pada kondisi tertentu, mungkin diperlukan vencuronium dengan
ventilasi mekanik untuk mengontrol spasme.
3. Berikan bayi Human tetanus imunoglobulin 500 U IM atau antitoksin
tetanus (equine serum) 5000 U IM sebelumnya dilakukan tes kulit terlebih
dahulu.
4. Tetanus toksoid 0,5 ml IM diberikan pada tempat yang berbeda dengan
tempat pemberian antitoksin.
5. Pemberian antibiotic
 Lini 1: Metronidazol 30 mg/kgbb/hari dengan interval setiap 6 jam
(oral/parenteral) selama 7-10 hari.
 Lini 2 : Penisilin Procain 100.000 U/kgbb/hari IV dosis tunggal 7-10
hari.
 Jika terdapat sepsis atau bronkopneumonia, berikan antibiotik yang
sesuai.
6. Bila terjadi kemerahan dan atau pembengkakan pada kulit sekitar pangkal
tali pusat, atau keluar nanah dari permukaan tali pusat, atau bau busuk dari
area tali pusat, berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat.
7. Berikan ibunya imunisasi tetanus toksoid 0,5 ml untuk melindungi ibu dan
bayi yang dikandung berikutnya dan minta datang kembali satu bulan
kemudian untuk pemberian dosis kedua
8. Perawatan lanjut bayi tetanus neonatorum:
REFARAT │TETANUS NEONATORUM │
18
 Rawat bayi di ruang yang tenang dan gelap untuk mengurangi
rangsangan yang tidak perlu, tetapi harus yakin bayi tidak terlantar.
 Lanjutkan pemberian cairan IV dengan dosis rumatan dan antibiotik
dilanjutkan
 Pasang pipa lambung bila belum terpasang dan beri ASI perah diantara
periode spasme. Mulai dengan jumlah setengah kebutuhan perhari dan
naikkan secara perlahan hingga mencapai kebutuhan penuh dalam dua
hari.
 Nilai kemampuan minum dua kali sehari, dan anjurkan untuk menyusu
ASI secepatnya begitu terlihat bayi siap untuk menghisap
 Bila sudah tidak terjadi spasme dalam 2 hari, bayi dapat minum baik,
dan tidak ada lagi masalah yang memerlukan perawatan dirumah sakit,
maka bayi dapat dipulangkan.

Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun


kombinasi untuk mengobati spasme otot pada tetanus. Pemberian muscle-
relaxant atau sedative dengan tujuan mengurangi spasme otot sekaligus
melebarkan jalan napas. Obat yang terbukti cukup efektif adalah
benzodiazepine (cth: diazepam, midazolam). Diazepam memiliki efek pelemas
otot, anti anxietas dan sedasi. Hal itu menyebabkan diazepam efektif digunakan
dalam penanganan tetanus neonatorum, terlebih lagi diazepam dapat diberikan
melalui rute yang bervariasi, murah dan dipergunakan secara luas. Namun
perlu diperhatikan bahwa hasil metabolit dari diazepam (oksazepam dan
desmetildiazepam) dapat terakumulasi dan berakibat koma berkepanjangan
Pemberian Human tetanus imunoglobulin (HTIG) atau antitoksin
tetanus (ATS) bertujuan untuk menetralisir tetanospasmin yang dihasilkan
Clostridium tetani. Pemberian HTIG ataupun ATS harus dilakukan secepatnya
yaitu maksimal 24 jam setelah didiagnosis, karena toksin tidak dapat lagi
dinetralisir oleh HTIG atau ATS apabila sudah mencapai medula spinalis. Maka
dari itu faktor yang berperan besar dalam menentukan keberhasilan terapi
tetanus adalah kecepatan pemberian netralisasi Pemberian antibiotik bertujuan
untuk membunuh kuman Clostridium Tetani sehingga produksi Tetanospasmin
dapat dihentikan. Studi terbaru menemukan bahwa penicillin merupakan suatu

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


19
antagonis GABA sehingga dapat meningkatkan efek dari tetanospasmin, oleh
karenanya saat ini antibiotik pilihan adalah Metronidazole.
Pemberian cairan harus diberikan untuk menggantikan cairan dan
elektrolit. Pemberian makanan secara oral dilarang, karena dapat menyebabkan
aspirasi, oleh karena itu, nutrisi diberikan secara parenteral atau melalui
nasogastric tube (NGT). Pada kasus neonatus dengan jalan napas yang tidak
berhasil distabilkan atau intubasi yang melebihi 10 hari, trakeostomi dapat
dilakukan.
Bayi yang dapat bertahan hidup perlu pemantauan tumbuh kembang,
terutama untuk asupan gizi yang seimbang dan stimulasi mental, bayi juga
mungkin membutuhkan penanganan rehabilitasi medik seperti fisioterapi
terdapat kekakuan atau spastisitas yang menetap. 1,2,7,8

I. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi yang ditemui pada tetanus neonatorum dapat ditemui saat
terjadinya tetanus dan memperburuk keadaan bayi atau dapat pula berupa
komplikasi jangka panjang, adapun komplikasi yang dapat ditemui pada
tetanus neonatorum antara lain (Ismanoe, 2009; Amon S, 2012):
1. Laringospasme yaitu spasme dari laring dan atau otot pernapasan
menyebabkan gangguan ventilasi. Hal ini merupakan penyebab utama
kematian pada kasus tetanus neonatorum.
2. Fraktur dari tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi otot
berlebihan yang terus menerus. Terutama pada neonatus, dimana
pembentukan dan kepadatan tulang masih belum sempurna.
3. Hiperadrenergik menyebabkan hiperakitifitas sistem saraf otonom yang
dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi yang pada akhirnya dapat
menyebabkan henti jantung (cardiac arrest). Merupakan penyebab
kematian neonatus yang sudah distabilkan jalan napasnya.
4. Sepsis akibat infeksi nosokomial, infeksi sekunder (cth: Bronkopneumonia)
5. Pneumonia aspirasi, sering kali terjadi akibat aspirasi makanan ataupun
minuman yang diberikan secara oral pada saat kejang berlangsung.
Komplikasi jangka panjang dapat ditemukan defisit neurologis pada
sebagian penderita tetanus neonatorum yang selamat. Gejala yang muncul

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


20
dapat berupa cerebral palsy, gangguan perkembangan intelektual maupun
gangguan perilaku. Gejala tersebut didapatkan pada anak-anak berusia 7-12
tahun. Hal ini diperkirakan terjadi akibat anoksia yang terjadi semasa kejang
yang terjadi.
Prognosis bergantung pada masa inkubasi, waktu yang dibutuhkan dari
inokulasi spora hingga gejala muncul, dan waktu dari pertama kali munculnya
gejala hingga spasme tetanik yang pertama. Statistik terbaru menunjukkan
tingkat mortalitas pada tetanus ringan-sedang mencapai 6%. Sedangkan tetanus
berat memiliki tingkat mortalitas 60%.2

BAB III
KESIMPULAN

1. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi
berusia kurang dari 1 bulan) yang disebabkan oleh Clostridium tetani dan

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


21
menyerang sistem saraf pusat. Spora kuman masuk ke dalam tubuh bayi
melalui pintu masuk satu-satunya, yaitu tali pusat yang dapat terjadi pada saat
pemotongan tali pusat ketika bayi lahir maupun pada saat perawatan sebelum
puput (terlepasnya tali pusat).
2. Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat dilihat
ketika bayi malas minum, menangis terus menerus, hingga tidak sanggup
menghisap dan akhirnya mengalami gangguan menyusu. Kekakuan rahang
atau trismus mulai terjadi, dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang dan
akhirnya berhenti. Kemudian terjadi kekakuan pada wajah (risus sardonicus).
Kaku kuduk, disfagia, dinding abdomen kaku dan mengeras serta kekakuan
pada seluruh tubuh akan menyusul pada beberapa jam berikutnya, dipicu oleh
rangsangan sensoris seperti suara, cahaya atau sentuhan. Kemudian kejang
akan terjadi secara spontan dan akhirnya terus menerus.
3. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus, beberapa hasil
pemeriksaan penunjang dibawah ini dapat ditemui pada kasus tetanus, antara
lain pemeriksaan biakan pada luka, nilai hitung leukosit, pemeriksaan cairan
serebrospinal, kadar antitoksin didalam darah, kadar enzim otot dan EMG.
4. Penatalaksanaan tetanus neonatorum pada dasarnya sama dengan tetanus
lainnya, yaitu meliputi terapi suportif (sedasi, pelemas otot, dsb).

DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI, Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal. Buletin Jendela


Data dan Informasi Kesehatan. Jakarta.Volume 1.2012
2. Depkes RI, Penatalaksanaan Tetatanus Pada Anak. Indonesia. 2008
3. Yunica, J A. Hubungan antara Pengetahuan dan Umur dengan
Kelengkapan Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) pada Ibu Hamil di Desa Sungai

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


22
Dua Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin Tahun 2014. Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan Vol 2 No 1. 2015. Hal: 93-98.
4. Annonimus. Neonatal Tetanus Elimination: Field Guide.2nd Edition.
Washington PAHO. 2005.
5. Dinkes Kota Batu. Profil Kesehatan Kota Batu Tahun 2016. Indonesia ; Batu.
6. Ristrini, Sygiharto, M. Profil Tetanus Neonatorum Dalam Rangka Kebijakan
Eliminasi Tetanus Maternal Fan Neonatal Di Kabupaten Bangkalan Provinsi
Jawa Timur, Tahun 2012-2014. Jawa Timur. Volume 19. Nomor 2. 2016
7. Hassel B. 2013. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of
Using Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms. Review
Journal. [cited: May 2016] [available from: URL:http://www.researchgate.net/].
8. IDI. PPK Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Edisi 2;
Jakarta.2014

REFARAT │TETANUS NEONATORUM │


23

Anda mungkin juga menyukai