Anda di halaman 1dari 37

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2021


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

DIABETES MELITUS TIPE II

Disusun Oleh :

Andi Eis Nurkhofifah, S.Ked / 105505406318


St. Nurchaliza D. P., S.Ked /105505408818
Suci Ramadhani, S.Ked / 105505408918
Andi Nur Mutmainnah, S.Ked / 105505406518

Pembimbing
dr. Juniarsih Jamil

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan


Masyarakat

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021

i
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama/NIM :

1. Andi Eis Nurkhofifah, S.Ked / 105505406318


2. St. Nurchaliza D. P., S.Ked /105505408818
3. Suci Ramadhani, S.Ked / 105505408918
4. Andi Nur Mutmainnah, S.Ked / 105505406518

Judul : Diabetes Melitus Tipe II

telah menyelesaikan referat dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Makassar.

Makassar, 6 Juni 2021

Pembimbing,

dr. Juniarsih Jamil

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah subhanu wa ta’ala
karena atas rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga referat
dengan judul “Diabetes Melitus Tipe II” ini dapat terselesaikan. Salam dan
shalawat senantiasa tercurah kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, sang
pembelajar sejati yang memberikan pedoman hidup yang sesungguhnya.
Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing, dr. Juniarsih
Jamil yang telah memberikan petunjuk, arahan dan nasehat yang sangat berharga
dalam penyusunan sampai dengan selesainya referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan
kekurangan dalam penyusunan referat ini, baik dari isi maupun penulisannya.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan demi
penyempurnaan referat ini.
Demikian, semoga refarat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan
penulis secara khususnya.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, Juni 2021

Tim Penyususun

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ..................................................ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 2

A. PUSKESMAS .................................................................................. 3
1. Pengertian Puskesmas ................................................................. 3
2. Tujuan Puskesmas ....................................................................... 4
3. Fungsi Puskesmas ....................................................................... 4
B. DIABETES MELITUS TIPE II ..................................................... 10
1. Definisi Diabetes Melitus Tipe II ............................................... 10
2. Etiologi Diabetes Melitus Tipe II................................................ 10
3. Epidemiologi Diabetes Melitus Tipe II ....................................... 10
4. Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe II ........................................ 12
5. Gejala Diabetes Melitus Tipe II .................................................. 12
6. Diagnosis Diabetes Melitus Tipe II ............................................ 13
7. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe II .................................. 15

BAB III GAMBARAN UMUM PUSKESMAS BARA-BARAYYA ............ 25

A. Gambaran Geografis Puskesmas ............................................................... 25


B. Keadaan Demografi ................................................................................... 26
C. Keadaan Sarana Wilayah Puskesmas ............................................... 27
D. Distribusi Penyakit Teranyak Tahun 2020 ................................................ 28

BAB IV PENUTUP .......................................................................................... 31

A. Kesimpulan ......................................................................................... 31
B. Saran ................................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 32

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes melitus adalah penyakit yang ditandai dengan adanya


hiperglikemia atau peningkatan kadar gula darah dan gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungkan dengan kekurangan secara
absolut atau relatif dari kerja dan atau sekresi insulin.1

Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) adalah bentuk DM paling umum yang


merupakan hasil dari interaksi antara faktor risiko genetik, lingkungan dan perilaku.
Orang dengan DM tipe 2 lebih rentan terhadap berbagai bentuk komplikasi jangka
pendek dan jangka panjang, yang sering menyebabkan kematian dini.2

Prevalensi DMT2 terus mengalami peningkatan di seluruh dunia, dengan


cepat menjadi epidemi di beberapa negara di dunia dengan jumlah orang yang
diperkirakan akan berlipat ganda pada dekade berikutnya karena peningkatan
populasi, sehingga menambah beban yang sudah ada untuk penyedia layanan
kesehatan, terutama di negara-negara berkembang.2

Saat ini, penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan


peningkatan angka insidensi dan prevalensi DMT2 di berbagai penjuru dunia.
Menurut International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan
jumlah penyandang DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1
juta pada tahun 2035.3

Skrining dan diagnosis DMT2 masih didasarkan pada kriteria WHO dan
American Diabetes Association (ADA) yang meliputi parameter klinis dan
pemeriksaan laboratorium. Belum ada obat yang ditemukan untuk penyakit ini;
Namun, modalitas pengobatan termasuk modifikasi gaya hidup, pengobatan
obesitas, agen hipoglikemik oral, dan sensitizer insulin seperti metformin,
biguanide yang mengurangi resistensi insulin, masih merupakan obat lini pertama
yang direkomendasikan terutama untuk pasien obesitas. Obat-obatan lain yang

1
efektif termasuk secretagog nonsulfonylurea, thiazolidinediones, inhibitor alpha
glukosidase, dan insulin.2

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Puskesmas
1. Pengertian Puskesmas
Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah,
pemerintah daerah dan/atau masyarakat.4
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2019
tentang Puskesmas menyebutkan bahwa Pusat Kesehatan Masyarakat yang
selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif
dan preventif di wilayah kerjanya. 5,6
Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk
mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya.4
Upaya Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disingkat UKM adalah
setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengan
sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat.4
Upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama meliputi: 1) upaya
kesehatan masyarakat esensial; dan 2) upaya kesehatan masyarakat
pengembangan. Upaya kesehatan masyarakat esensial terdiri dari :
pelayanan promosi kesehatan; pelayanan kesehatan lingkungan; pelayanan
kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana; pelayanan gizi; dan pelayanan
pencegahan dan pengendalian penyakit.7
Upaya Kesehatan Perseorangan yang selanjutnya disingkat UKP
adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan
kesehatan yang ditujukan untuk peningkatan, pencegahan, penyembuhan

3
penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit dan memulihkan
kesehatan perseorangan.4
Upaya kesehatan perseorangan meliputi : rawat jalan; pelayanan gawat
darurat; pelayanan satu hari (one day care); home care; dan/atau rawat inap
berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan.7
2. Tujuan Puskesmas
Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh
Puskesmas adalah untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan
kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi orang yang bertempat tinggal diwilayah
kerja Puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia sehat.4
Puskesmas memiliki upaya kesehatan yang wajib dilaksanakan,
yaitu:
a. Upaya promosi kesehatan
b. Upaya kesehatan lingkungan
c. Upaya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana
d. Upaya perbaikan gizi masyarakat
e. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
f. Upaya pengobatan
3. Fungsi Puskesmas
Puskesmas menyelenggarakan fungsi:4
a. Penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan
b. Penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya.
Dalam menyelenggarakan fungsinya, Puskesmas berwenang untuk:4
a. menyusun perencanaan kegiatan berdasarkan hasil analisis masalah
kesehatan masyarakat dan kebutuhan pelayanan yang diperlukan;
b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;
c. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan
masyarakat dalam bidang kesehatan;

4
d. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan
masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat
yang bekerjasama dengan pimpinan wilayah dan sektor lain terkait;
e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap institusi, jaringan
pelayanan Puskesmas dan upaya kesehatan bersumber daya
masyarakat;
f. Melaksanakan perencanaan kebutuhan dan peningkatan kompetensi
sumber daya manusia Puskesmas;
g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan;
h. Memberikan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada keluarga,
kelompok, dan masyarakat dengan mempertimbangkan faktor biologis,
psikologis, sosial, budaya, dan spiritual;
i. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap
akses, mutu, dan cakupan Pelayanan Kesehatan;
j. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat
kepada dinas kesehatan daerah kabupaten/kota, melaksanakan sistem
kewaspadaan dini, dan respon penanggulangan penyakit;
k. Melaksanakan kegiatan pendekatan keluarga; dan
l. Melakukan kolaborasi dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tingkat pertama dan rumah sakit di wilayah kerjanya, melalui
pengoordinasian sumber daya kesehatan di wilayah kerja Puskesmas.
Total jumlah Puskesmas diIndonesia sampai dengan Desember
2019 adalah 10.134 puskesmas, yang terdiri dari 6.086 Puskesmas
rawat inap dan 4.048 Puskesmas non rawat inap. Jumlah ini meningkat
dibandingkan tahun 2018 yaitu sebanyak 9.993, dengan jumlah
Puskesmas rawat inap sebanyak 3.623 puskesmas dan Puskesmas non
rawat inap sebanyak 6.370 puskesmas. Data mengenai jumlah Puskesmas
ini dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 2.1.5

5
Gambar 2.1. Jumlah Puskesmas Di Indonesiatahun 2015–2019

Perkembangan jumlah puskesmas sejak tahun 2015 jumlah


Puskesmas semakin meningkat, dari 9.754 unit menjadi 10.134 Puskesmas
pada tahun 2019. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini, peningkatan
jumlah Puskesmas rata-rata 70 Puskesmas per tahun, yang dapat dilihat
trennya pada Gambar 2.1. Peningkatan jumlah Puskesmas tersebut
menggambarkan upaya pemerintah dalam pemenuhan akses terhadap
pelayanan kesehatan primer. Pemenuhan kebutuhan pelayanan
kesehatan primer dapat dilihat secara umum dari rasio Puskesmas
terhadap kecamatan. Rasio Puskesmas terhadap kecamatan pada tahun
2019 sebesar 1,4. Hal ini menggambarkan bahwa rasio ideal Puskesmas
terhadap kecamatan yaitu minimal 1 Puskesmas di 1 kecamatan, secara
nasional sudah terpenuhi, tetapi perlu diperhatikan distribusi dari
Puskesmas tersebut di seluruh kecamatan.6

6
Gambar 2.2 Rasio Puskesmas Per Kecamatandi Indonesiatahun 2019

Gambar 2.2 menjelaskan provinsi dengan rasio Puskesmas terhadap


kecamatan tertinggi adalah Provinsi DKI Jakarta sebesar 7,16 Puskesmas per
kecamatan dan Provinsi Bali 2,11 Puskesmas per kecamatan, sedangkan
Papua Barat memiliki rasio terendah yaitu sebesar 0,28 Puskesmas per
kecamatan. Rasio Puskesmas per kecamatan tersebut dapat menggambarkan
kondisi aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan primer.
Selain ketersediaan minimal 1 Puskesmas di setiap kecamatan, aksesibilitas
masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya kondisi geografis,
luas wilayah, ketersediaan sarana dan prasarana dasar, sosial ekonomi dan
kemajuan suatu daerah. Sebagai contoh, provinsi dengan rasio terendah
di provinsi Papua Barat. Hal ini menggambarkan bahwa akses
masyarakat di provinsi tersebut terhadap fasilitas pelayanan kesehatan
primer masih belum ideal. Rasio di bawah 1 menunjukkan bahwa belum semua
kecamatan memiliki puskesmas dan adanya kondisi geografis yang sulit
dan rata-rata tingkat sosial ekonomimasyarakat yang rendah di daerah
tersebut menunjukkan bahwa akses terhadap pelayanan kesehatan masih

7
perlu ditingkatkan lagi, peta sebaran rasio puskemas dapat dilihat pada Gambar
2.3.6

Gambar 2.3. Peta Rasio Puskesmas Per Kecamatan Di Indonesia


tahun 2019

Dalam rangka penguatan pelayanan kesehatan primer, terdapat tiga


indikator yang terkait dengan penyelenggaraan Puskesmas pada RPJMN
tahun 2015–2019 dan Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019,
yaitu 1) Kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas terakreditasi 2)
jumlah Puskesmas non rawat Inap dan Puskesmas rawat inap yang memberikan
pelayanan sesuai standar dan 3) jumlah Puskesmas yang bekerjasama
dengan Unit Transfusi Darah (UTD) dan rumah sakit dalam pelayanan darah
untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI).6

Untuk Sulawesi Selatan sendiri memiliki jumlah puskesmas sebanyak 329


puskesmas dan khusus kota Makassar terdapat 46 puskesmas yang aktif.12

8
Tabel 2.1. Distribusi Puskesmas di Sulawesi Selatan

Non Rawat
Kab/Kota Rawat Inap Jumlah
Inap
Kepulauan Selayar 3 11 14
Bulukumba 3 17 20
Bantaeng 10 3 13
Jeneponto 9 10 19
Takalar 2 13 15
Gowa 9 16 25
Sinjai 0 16 16
Maros 8 6 14
Pangkajene&Kepulauan 5 18 23
Barru 1 11 12
Bone 28 10 38
Soppeng 9 8 17
Wajo 12 11 23
Sidendreng Rappang 0 14 14
Pinrang 1 16 17
Enrekang 2 12 14
Luwu 15 7 22
Tana Toraja 5 16 21
Luwu Utara 4 10 14
Luwu Timur 3 14 17
Toraja Utara 14 12 26
Makassar 37 9 46
Parepare 0 6 6
Palopo 9 3 12
Jumlah 189 269 458

9
B. Diabetes Melitus Tipe II
1. Definisi Diabetes Melitus Tipe II
Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia, terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sembilan puluh persen dari kasus
diabetes adalah DMT2 dengan karakteristik gangguan sensitivitas insulin
dan/atau gangguan sekresi insulin. DMT2 secara klinis muncul ketika tubuh
tidak mampu lagi memproduksi cukup insulin unuk mengkompensasi
peningkatan insulin resisten.8
2. Etiologi Diabetes Melitus Tipe II
Etiologi dari DMT2 tampaknya melibatkan interaksi yang kompleks antara
faktor lingkungan dan genetik dengan genotipe yang rentan. Penyakit ini
berkembang oleh karena gaya hidup yang diabetogenik (yaitu, asupan kalori
yang berlebihan, pengeluaran kalori yang tidak memadai, obesitas).9
Faktor risiko dari DMT2, yaitu :9
1. Usia : Di sebagian besar populasi, DMT2 insidensinya rendah pada orang
yang berusia <30 tahun, tetapi meningkat dengan cepat dan terus menerus
pada usia yang lebih tua.
2. Obesitas.
3. Riwayat keluarga dengan DMT2.
4. Riwayat gangguan toleransi glukosa atau glukosa puasa terganggu.
5. Hipertensi (> 140/90 mm Hg) atau dislipidemia (kadar kolesterol HDL <40
mg / dL atau kadar trigliserida> 150 mg / dL).
6. Polycystic ovarian syndrome (PCOS) (yang menyebabkan resistensi
insulin).

3. Epidemiologi Diabetes Melitus Tipe II


Menurut data RISKESDAS 2007, prevalensi nasional DM di Indonesia
untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%. Berdasarkan data International
Diabetes Federation (IDF) 2014, saat ini diperkirakan 9,1 juta orang penduduk
didiagnosis sebagai penyandang DM. Dengan angjka tersebut Indonesia

10
menempati peringkat 5 di dunia, atau naik dua peringkat dibandingkan data IDF
tahun 2013 yang menempati peringkat ke-7 di dunia dengan 7,6 juta orang
penyandnag DM.3

Gambar 2.4. Prevalensi Diabetes Melitus Tipe II berdasarkan regional.

Gambar 2.5. Prevalensi 10 Besar Diabetes Melitus Tipe II

Gambar 2.6. Prevalensi Diabetes Melitis Tipe II di Indonesia

11
Organisasi International Diabetes Federation memperkirakan sedikitnya
463 juta orang dari usia 20-79 tahun di dunia menderita diabetes pada tahun
2019 atau setara dengan angka prevalensi dengan 8,3%. Asia Tenggara dimana
Indonesia berada, menempati posisi ketiga tertinggi berdasarkan regional
dengan persentase mencapai 11,3%. Sementara itu, Indonesia menempati posisi
ketujuh dengan DM terbanyak di dunia mencakup 10,7 juta jiwa atau persentase
6,2%. Indonesia merupakan satu-satunya negara Asia Tenggara yang
memasuki 10 besar sehingga bisa kita simpulkan bahwa Indonesia
menyumbang angka terbesar DM di Asia Tenggara.12
Di Indonesia sendiri, Sulawesi Selatan menempati posisi ke delapan belas
dari seluruh provinsi dengan DM terbanyak di Indonesia. Kemudian, Makassar
memiliki prevalensi DM dengan 6,65%.12
4. Patogenesis Diabetes Melitus Tipe II
DMT2 bukan disebakan oleh karena sekresi insulin yang kurang, tetapi oleh
karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara
normal. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin banyak
terjadi akibat obesitas, kurang aktifitas fisik, dan penuaan. Pada penderita
DMT2, dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun
tidak terjadi pengrusakan sel-sel beta langerhans secara autoimin seperti pada
DMT1. Defisiensi fungsi insulin pada penderita DMT2 hanya bersifat relatif,
tidak absolut.10
Pada awal perkembangan DMT2, sel-sel beta menunjukkan gangguan pada
sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi
resistensi insulin. Jika tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan
selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel beta pankreas. Kerusakan sel-sel beta
pankreas yang terjadi secara progresif, seringkali akan mengakibatkan
defisiensi insulin, sehingga penderita memerlukan insulin eksogen.10
5. Gejala Klinis
Gejala Klinis dari DM Tipe 2 yaitu adanya gejala klasik yaitu poliuri,
polidipsi, polifagia, penurunan berat badan. Gejala lain yang mungkin
menunjukkan hiperglikemia termasuk penglihatan kabur, parestesia ekstremitas

12
bawah, luka yang sulit sembuh, atau infeksi jamur, khususnya balanitis pada
pria. Namun, banyak pasien dengan diabetes tipe 2 tidak menunjukkan gejala,
dan penyakit mereka dan tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun.9
6. Diagnosis
Diagnosis DMT2 ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa darah
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Penggunaan darah vena
ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan denganmemperhatikan angka-angka
kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk tujuan
pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler.8
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti: Keluhan klasik
DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Adapun kriteria
diagnosis DM, yaitu : 3
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak
ada asupan kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP).3

13
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).3
1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma
2-jam <140 mg/dl;
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
-jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100
mg/dl
3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
4. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 2.2. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes
Glukosa Darah Glukosa plasma 2 jam
HbA1c (%)
Puasa (mg/dL) setelah TTGO (mg/dl)
Diabetes > 6,5 > 126 mg/dL > 200 mg/dL
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal <5,7 < 100 < 140
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko DM
namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Adapun kelompok orang dengan
risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik DM, yaitu:3
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2)
yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau
mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.

14
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia > 45 tahun tanpa faktor risiko diatas.
Catatan:
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.

Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT


maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini. Pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan dengan pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa
darah puasa. Apabila pada pemeriksaan penyaring didapatkan hasil peningkatan
kadar glukosa darah sesuai dengan kriteria diagnosis diabetes, maka perlu
dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengkonfirmasi dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa ulang atau dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).8

Tabel 2.3. Tabel Kadar GDS dan GDP pada DM dan non-DM
Bukan DM Prediabetes DM
Kadar Glukosa Plasma Vena <100 100-199 > 200
Darah Sewaktu Darah Kapiler <90 90-199 > 200
(mg/dL)
Kadar Glukosa Plasma Vena <100 100-125 > 126
Darah Puasa Darah Kapiler <90 90-199 > 100
(mg/dL)

7. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe II


Dalam mengobati pasien DMT2 tujuan yang harus dicapai adalah
meningkatkan kualitas hidup pasien. Tujuan penatalaksanaan meliputi tujuan
penatalaksanaan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan penatalaksanaan

15
jangka pendek adalah menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan
rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah. Tujuan
penatalaksanaan jangka panjang adalah untuk mencegah dan menghambat
progresivitas komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler, serta neuropati
diabetikum. Tujuan akhir pengelolaan DMT2 adalah menurunkan morbiditas
dan mortalitas DM.7
Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu penatalaksanaan diabetes secara
lebih dini dan lebih cepat sehingga kadar glukosa darah puasa, glukosa darah
setelah makan, variabilitas glukosa darah, HbA1c, tekanan darah, berat badan
dan profil lipid dapat dikendalikan. Hal ini dapat tercapai melalui pengelolaan
pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan
pola hidup, disamping terapi farmakologis.7
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi
nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis
dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti
hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada
keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya:
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya
ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan
cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pengetahuan tentang
pemantauan mandiri tersebut dapat dilakukan setelah mendapat pelatihan
khusus.3
a. Terapi non Farmaklogi
Hal yang paling penting pada terapi non farmakologis adalah monitor
sendiri kadar glukosa darah dan pendidikan berkelanjutan tentang
penatalaksanaan diabetes pada pasien. Latihan jasmani secara teratur (3-4
kali seminggu selama 30 menit/ kali), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, dan berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani
selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan

16
memperbaiki sensitivitas insulin sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan adalah berupa latihan
jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, joging,
dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan
status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan
jasmani bisa ditingkatkan. Sementara bagi mereka yang sudah mengalami
komplikasi DM, intensitas latihan jasmani dapat dikurangi.8
Terapi nutrisi medis dilaksanakan dalam beberapa tahap. Pengenalan
sumber dan jenis karbohidrat, pencegahan dan penatalaksanaan
hipoglikemia harus dilakukan terhadap pasien. Terapi nutrisi medis ini
bersifat bersifat individu. Secara umum, terapi nutrisi medis meliputi upaya-
upaya untuk mendorong pola hidup sehat, membantu kontrol gula darah,
dan membantu pengaturan berat badan.8
b. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan.3
a) Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi
5 golongan :3
 Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue) :
o Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati
menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
o Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi
insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat

17
yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah hipoglikemia.
 Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin :
o Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan
glukosa di jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan
pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin
diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR
30-60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan
pada beberapa keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73 m2,
adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK,gagal jantung
[NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa
gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala
dispepsia.
o Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma),
suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak,
dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan
retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada
pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena
dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada

18
gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal
hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini
adalah Pioglitazone.
 Penghambat Absorpsi Glukosa di Saluran pencernaan :
o Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa
dalam usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan
kadar glukosa darah sesudah makan. Penghambat
glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan:
GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat,
irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin
terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus)
sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek
samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh
obat golongan ini adalah Acarbose.
 Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja
enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap
dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas
GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi
glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent).
Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.
 Penghambat SGLPT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat
antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat
kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk
golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat
approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.

19
Tabel 2.4. Profil obat antigiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia.

b) Obat Antihiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan
kombinasi insulin dan agonis GLP-1.3
 Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
o HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik.
o Penurunan berat badan yang cepat
o Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
o Krisis Hiperglikemia
o Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
o Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
o Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
o Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
o Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

20
o Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Tabel 2.5. Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja (Time


Course of Action)

21
 Agonis GLP-1/ Incetin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan
pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat
bekerja pada sel-beta sehingga terjadi peningkatan pelepasan
insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat
pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek penurunan
berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi
menurunkan berat badan pada pasien DM dengan obesitas. Pada
percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta
pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara
lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan ini
adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide.3

22
Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide) telah
beredar di Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam
3 ml. Dosis awal 0.6 mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg
setelah satu minggu untuk mendapatkan efek glikemik yang
diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai dengan 1.8 mg. Dosis
harian lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa kerja
Liraglutide selama 24 jam dan diberikan sekali sehari secara
subkutan.3
 Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang
utama dalam penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat
dilakukan bersamaan dengan pemberian obat antihiperglikemia oral
tunggal atau kombinasi sejak dini. Pemberian obat antihiperglikemia
oral maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar
glukosa darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik
secara terpisah ataupun fixed dose combination, harus menggunakan
dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada
keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai
dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua
obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai
dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk
dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral.3
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin
dimulai dengan pemberian insulin basal (insulin kerja menengah
atau insulin kerja panjang). Insulin kerja menengah harus diberikan
jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang
dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi
tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang
baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal

23
untuk kombinasi adalah 6-10 unit. Kemudian dilakukan evaluasi
dengan mengukur kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit)
apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada
keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan
pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati.3

Bagan 2.1. Algoritme Pengelolaan DM tipe 2

24
BAB III

GAMBARAN UMUM PUSKESMAS BARA-BARAYA

A. Gambaran Geografis Puskesmas

Puskesmas Bara-Baraya berada di Jalan Abubakar Lambogo No. 143 Kel.


Bara-Baraya Kec. Makassar Kota Makassar. Dengan luas wilayah 2,52 km2 dimana
jarak dari kelurahan kepusat kecamatan Makassar maupun pusat kota Makassar
relatif dekat + 1-2 km.
Kondisi geografis terletak ditengah perkotaan dengan ketinggian dari
permukaan laut + 5 m, mudah dijangkau dengan kendaraan roda empat dan roda
dua untuk sampai ke wilayah kerja.
Puskesmas Bara-Baraya adalah salah satu dari 3 puskesmas yang terletak di
Kecamatan Makassar. Merupakan puskesmas yang melayani kesehatan rawat jalan
dan rawat inap. Puskesmas Bara-Baraya berdiri tahun 1961 dalam bentuk balai
pengobatan paru. Pada tahun 2006, Puskesmas Bara-Baraya menerapkan sistem
manajeman mutu sesuai standar ISO 9001:2000 dan mendapat pengakuan standar
ISO tersebut pada tahun 2008 serta mendapat sertifikat citra pelayanan publik.
Puskesmas Bara-Baraya memiliki prasarana satu unit gedung untuk
puskesmas induk dan satu unit gedung untuk puskesmas pembantu (Pustu). Luas
bangunan untuk puskesmas induk adalah + 820m2 sedangkan luas tanah 875 m2 ,
yang mempunyai jarak tempuh sekitar 5 km dari Kantor Dinas Kesehatan Kota
Makassar. Batas Wilayah Kerja :
Sebelah barat : Kecamatan Ujungpandang.
Sebelah Utara : Kec. Bontoala.
Sebelah timur : Kec. Panakukkang & Rappocini.
Sebelah selatan : Kec. Mamajang.
- VISI
“Menjadikan Puskesmas yang Mampu Memberikan Pelayanan yang Bermutu
Menuju Makassar yang Sehat dan Nyaman”.

25
- MISI
1. Meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan secara berkelanjutan.
2. Meningkatkan sistem informasi dan manajemen puskesmas.
3. Meningkatkan kemitraan.
4. Meningkatkan upaya kemandirian masyarakat.

B. Keadaan Demografi
1. Luas wilayah : + 2,25 km2
2. Jumlah KK : 7.938 KK
3. Jumlah penduduk : 39.191 jiwa
4. Jumlah RW : 27
5. Jumlah RT : 165

Gambar 2.7. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Bara-Barayya

26
LUAS
NAMA R Jumlah
NO. WIL. RT KK
KELURAHAN W Penduduk
(Km2)
1 Bara-Baraya 0,16 29 5 1.235 6.812

2 Bara-Baraya Selatan 0,14 26 4 1.450 7.417

3 Bara-Baraya Timur 0,15 28 5 1.612 6.845

4 Bara-Baraya Utara 0,11 19 5 1.173 6.351

5 Lariang Bangi 0,20 29 4 915 4.426


6 Barana 0,22 32 4 1553 7.340

Tabel 2.6. Data Luas di Wilayah Kerja Puskesmas Bara-Barayya Tahun


2020

C. Keadaan Sarana Wilayah Puskesmas


1. Keadaan Fasilitas Kesehatan
Untuk menunjang peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat,
maka sangat dibutuhkan fasilitas kesehatan, Fasilitas kesehatan di wiliayah
kerja Puskesmas Bara Baraya terdiri atas :
Sarana Kesehatan Puskesmas Bara Baraya
Puskesmas Bara Baraya yang berlokasi di Jalan Abubakar Lambogo No.
143 Kel. Bara-Baraya Kec. Makassar Kota Makassar meberikan pelayanan
Rawat Jalan dan Rawat Inap serta pelayanan luar gedung, posyandu, puskesmas
keliling, P3K, dan Home Care. Untuk didalam gedung pelayanan berupa :
a. Ruang rawat jalan terdiri atas loket kartu, ruang periksa/poli umum, poli
gigi, poli tindakan, poli anak, poli remaja poli MTBS (Manajemen Terpadu
Balita Sakit), kamar obat, ruang imunisasi, ruang P2PL, Laboratorium
sederhana, ruang KIA/KB.

27
b. Ruang rawat inap terdiri atas :
1) Rawat inap bersalin terdiri atas ruang bersalin dengan kapasitas 3 tempat
tidur dan 1 kamar mandi dan ruang nifas dengan kapasitas 8 tempat tidur
2) Ruang UGD 24 jam
3) Dapur
c. 47 unit Posyandu
d. 6 unit Posbindu
e. 3 unit kendaraan roda empat (ambulance, mobil satgas covud dan mobil
layanan homecare
f. Tenaga Kesehatan di Puskesmas Bara Baraya
Jenis Tenaga Jumlah
Dokter Umum 2
Dokter Gigi 2
Apoteker 2
Perawat 21
Bidan 16
Sanitarian 2
Gizi 3
Pranata Laboratotium 2
Tata Usaha 1

Tabel 2.7. Tenaga Kesehatan Puskesmas Bara Baraya

D. Distribusi Penyakit Terbanyak Tahun 2020


Berdasarkan data puskesmas Bara Baraya, didapatkan pula data 10 Besar
penyakit Puskesmas Bara Baraya tahun 2020, yaitu:

28
2020
NO
PENYAKIT JUMLAH
1 Common Cold 1.140
2 Batuk 710
3 Hipertensi 572
4 Diabetes Melitus 516
5 Demam 375

6 Gastritis 346

7 Nyeri Panggul 330


8 Dermatitis 317
9 Penyakit Pulpa 239

10 Luka/Kecelakaan 105

Tabel 2.8. 10 Besar penyakit Puskesmas Bara Baraya tahun 2020


DMT2 di Puskesmas Bara-Baraya sendiri merupakan penyakit terbanyak ke-4
dengan total 516 pasien. Pasien dengan DMT2 di Puskesmas Bara-Baraya ketika
awal terdiagnosis dengan pemeriksaan gula darah baik gulah darah sewaktu (GDS)
atau gula darah puasa (GDP), mereka diberikana penanganan menggunakan obat
minum terlebih dulu lalu kemudian akan dikontrol kembali.

Adapun upaya-upaya yang dilakukan di Puskesmas Bara-Baraya dalam


menangani DMT2 yaitu:

1. Deteksi dini penemuan kasus DM


2. Penyuluhan tentang DM
3. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai DM
4. Melakukan pemantau hasil pengobatan
5. Edukasi pola makan dan lifestyle
6. Melaksanakan program kesehatan jasmani

29
Gambar 2.8. Capaian Penyakit DM di PKM Bara-Baraya 2019
Pada tahun 2019, Dinas Kesehatan memberikan target sasaran kepada
Puskesmas Bara-Baraya sebesar 750 target namun, pihak puskesmas hanya mampu
mencapai target sebesar 83% dari target yang diberikan dengan 625 individu.

Gambar 2.9. Capaian Penyakit DM di PKM Bara-Baraya 2020


Kemudian, tahun 2020, Dinak Kesehatan kembali memberikan target sasaran
kepada Puskesmas Bara-Baraya sebesar 627 dan pihak puskesmas berhasil
mencapai dengan melebih target dengan persentase sebesar 148% dengan 929
individu.

30
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Puskesmas Bara-Baraya berada di Jalan Abubakar Lambogo No. 143 Kel.


Bara-Baraya Kec. Makassar Kota Makassar. Dengan luas wilayah 2,52 km2 dimana
jarak dari kelurahan kepusat kecamatan Makassar maupun pusat kota Makassar
relatif dekat + 1-2 km.
Kondisi geografis terletak ditengah perkotaan dengan ketinggian dari
permukaan laut + 5 m, mudah dijangkau dengan kendaraan roda empat dan roda
dua untuk sampai ke wilayah kerja.
Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia, terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sembilan puluh persen dari kasus diabetes
adalah DMT2 dengan karakteristik gangguan sensitivitas insulin dan/atau gangguan
sekresi insulin. DMT2 secara klinis muncul ketika tubuh tidak mampu lagi
memproduksi cukup insulin unuk mengkompensasi peningkatan insulin resisten.
DMT2 di Puskesmas Bara-Baraya sendiri merupakan penyakit terbanyak ke-
4 dengan total 516 pasien. Pasien dengan DMT2 di Puskesmas Bara-Baraya ketika
awal terdiagnosis dengan pemeriksaan gula darah baik gulah darah sewaktu (GDS)
atau gula darah puasa (GDP), mereka diberikana penanganan menggunakan obat
minum terlebih dulu lalu kemudian akan dikontrol kembali.
Dokter juga tidak hanya memberikan obat minum namun, pasien juga
diberika edukasi mengenai diet yang baik untuk penderita DMT2. Di puskesmas
Bara-Baraya, pemeriksaan gula darah kontrol dilakukan 3 bulan sekali untuk
mengetahui apakah terapi yang telah diberikan memiliki efek atau tidak.
Beberapa pasien dengan DMT2 juga dirujuk ke dokter spesialis atau fasilitas
kesehatan lebih lanjut untuk penanganan gula darah mereka. Bagi pasien dengan
DMT2 yang telah memiliki luka diabetik, mereka diberikan penanganan
pembersihan luka dan rawat luka di ruang tindakan atau IGD puskesmas. Pasien

31
juga diberitahu untuk rutin melakukan rawat luka ke puskesmas agar luka yang
dimiliki pasien tidak semakin parah.

B. Saran
1. Saran yang dapat diberikan kepada pihak puskesmas, sebaiknya upaya-
upaya baik dalam mengendalikan atau menangani DM di puskesmas
dipertahankan, dan lebih baik lagi jika ditingkatkan.
2. Ada baiknya dokter yang menangani kasus DM di puskesmas bisa bekerja
sama dengan bagian gizi dalam memberikan edukasi mengenai diet pada
pasien agar pasien lebih banyak mengetahui tentang makanan yang baik
untuk mereka.
3. Sebaiknya menetapkan jadwal penyuluhan mengenai DM.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Noor FR. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. Fakultas Kedokteran Universitas


Lampung. J Majority Volume 4 Nomor 5
2. B. Olokoba A., A. Obateru O., B. Olokoba L. 2012. Type 2 Diabetes
Mellitus: A Review of Current Trends. Oman Medical Journal Vol. 27, No.
4: 269-273
3. Soelistijo SA., Novida H., Rudijanto A., Soewondo P., Suatika K (dkk).
2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. PB PERKENI. p:1-82
4. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia, 2019.
5. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan, Vol. 1, No. 1,
Agustus 2017.
6. Badan pengendalian penyakit tidak menular. 2012. Pedoman
Penyelanggaraan Posbindu Ptm. Jakarta: pustaka indonesia.
7. Kementerian Kesehatan RI. Latar Belakang Strategi Pencegahan dan
Pengendalian PTM di Indonesia, 2019.
8. Decroli E. 2019. Diabets Melitus Tipe 2 Ed. 1. Padang: Pusat Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. p:
1-49
9. Khardori Romesh. 2019. Type 2 Diabetes Melitus. Available at :
https://emedicine.medscape.com/article/117853-overview (Diakses 15
september 2019)
10. H. Ley S., B. Schulze M., France Hivert M., B. Meigs J., B. Hu F. 2015.
Risk Factors for Type 2 Diabetes. Diabetes In America 3rd Edition.
11. Fitriyani. 2012. Faktor Risiko DM Tipe 2 di Puskesmas Citangkil dan
Puskesmas Kec. Pulo Merak, Kota Cilegon. Universitas Indonesia
12. Kementrian Kesehatan. Data Dasar Puskesmas Provinsi Sulawesi Selatan.
2019.

33

Anda mungkin juga menyukai