Disusun Oleh :
Pembimbing
dr. Juniarsih Jamil
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
i
LEMBAR PENGESAHAN
Nama/NIM :
telah menyelesaikan referat dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Makassar.
Pembimbing,
ii
KATA PENGANTAR
Tim Penyususun
iii
DAFTAR ISI
A. PUSKESMAS .................................................................................. 3
1. Pengertian Puskesmas ................................................................. 3
2. Tujuan Puskesmas ....................................................................... 4
3. Fungsi Puskesmas ....................................................................... 4
B. DIABETES MELITUS TIPE II ..................................................... 10
1. Definisi Diabetes Melitus Tipe II ............................................... 10
2. Etiologi Diabetes Melitus Tipe II................................................ 10
3. Epidemiologi Diabetes Melitus Tipe II ....................................... 10
4. Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe II ........................................ 12
5. Gejala Diabetes Melitus Tipe II .................................................. 12
6. Diagnosis Diabetes Melitus Tipe II ............................................ 13
7. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe II .................................. 15
A. Kesimpulan ......................................................................................... 31
B. Saran ................................................................................................... 32
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Skrining dan diagnosis DMT2 masih didasarkan pada kriteria WHO dan
American Diabetes Association (ADA) yang meliputi parameter klinis dan
pemeriksaan laboratorium. Belum ada obat yang ditemukan untuk penyakit ini;
Namun, modalitas pengobatan termasuk modifikasi gaya hidup, pengobatan
obesitas, agen hipoglikemik oral, dan sensitizer insulin seperti metformin,
biguanide yang mengurangi resistensi insulin, masih merupakan obat lini pertama
yang direkomendasikan terutama untuk pasien obesitas. Obat-obatan lain yang
1
efektif termasuk secretagog nonsulfonylurea, thiazolidinediones, inhibitor alpha
glukosidase, dan insulin.2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Puskesmas
1. Pengertian Puskesmas
Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah,
pemerintah daerah dan/atau masyarakat.4
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2019
tentang Puskesmas menyebutkan bahwa Pusat Kesehatan Masyarakat yang
selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif
dan preventif di wilayah kerjanya. 5,6
Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk
mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya.4
Upaya Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disingkat UKM adalah
setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengan
sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat.4
Upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama meliputi: 1) upaya
kesehatan masyarakat esensial; dan 2) upaya kesehatan masyarakat
pengembangan. Upaya kesehatan masyarakat esensial terdiri dari :
pelayanan promosi kesehatan; pelayanan kesehatan lingkungan; pelayanan
kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana; pelayanan gizi; dan pelayanan
pencegahan dan pengendalian penyakit.7
Upaya Kesehatan Perseorangan yang selanjutnya disingkat UKP
adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan
kesehatan yang ditujukan untuk peningkatan, pencegahan, penyembuhan
3
penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit dan memulihkan
kesehatan perseorangan.4
Upaya kesehatan perseorangan meliputi : rawat jalan; pelayanan gawat
darurat; pelayanan satu hari (one day care); home care; dan/atau rawat inap
berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan.7
2. Tujuan Puskesmas
Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh
Puskesmas adalah untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan
kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi orang yang bertempat tinggal diwilayah
kerja Puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia sehat.4
Puskesmas memiliki upaya kesehatan yang wajib dilaksanakan,
yaitu:
a. Upaya promosi kesehatan
b. Upaya kesehatan lingkungan
c. Upaya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana
d. Upaya perbaikan gizi masyarakat
e. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
f. Upaya pengobatan
3. Fungsi Puskesmas
Puskesmas menyelenggarakan fungsi:4
a. Penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan
b. Penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya.
Dalam menyelenggarakan fungsinya, Puskesmas berwenang untuk:4
a. menyusun perencanaan kegiatan berdasarkan hasil analisis masalah
kesehatan masyarakat dan kebutuhan pelayanan yang diperlukan;
b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;
c. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan
masyarakat dalam bidang kesehatan;
4
d. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan
masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat
yang bekerjasama dengan pimpinan wilayah dan sektor lain terkait;
e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap institusi, jaringan
pelayanan Puskesmas dan upaya kesehatan bersumber daya
masyarakat;
f. Melaksanakan perencanaan kebutuhan dan peningkatan kompetensi
sumber daya manusia Puskesmas;
g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan;
h. Memberikan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada keluarga,
kelompok, dan masyarakat dengan mempertimbangkan faktor biologis,
psikologis, sosial, budaya, dan spiritual;
i. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap
akses, mutu, dan cakupan Pelayanan Kesehatan;
j. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat
kepada dinas kesehatan daerah kabupaten/kota, melaksanakan sistem
kewaspadaan dini, dan respon penanggulangan penyakit;
k. Melaksanakan kegiatan pendekatan keluarga; dan
l. Melakukan kolaborasi dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tingkat pertama dan rumah sakit di wilayah kerjanya, melalui
pengoordinasian sumber daya kesehatan di wilayah kerja Puskesmas.
Total jumlah Puskesmas diIndonesia sampai dengan Desember
2019 adalah 10.134 puskesmas, yang terdiri dari 6.086 Puskesmas
rawat inap dan 4.048 Puskesmas non rawat inap. Jumlah ini meningkat
dibandingkan tahun 2018 yaitu sebanyak 9.993, dengan jumlah
Puskesmas rawat inap sebanyak 3.623 puskesmas dan Puskesmas non
rawat inap sebanyak 6.370 puskesmas. Data mengenai jumlah Puskesmas
ini dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 2.1.5
5
Gambar 2.1. Jumlah Puskesmas Di Indonesiatahun 2015–2019
6
Gambar 2.2 Rasio Puskesmas Per Kecamatandi Indonesiatahun 2019
7
perlu ditingkatkan lagi, peta sebaran rasio puskemas dapat dilihat pada Gambar
2.3.6
8
Tabel 2.1. Distribusi Puskesmas di Sulawesi Selatan
Non Rawat
Kab/Kota Rawat Inap Jumlah
Inap
Kepulauan Selayar 3 11 14
Bulukumba 3 17 20
Bantaeng 10 3 13
Jeneponto 9 10 19
Takalar 2 13 15
Gowa 9 16 25
Sinjai 0 16 16
Maros 8 6 14
Pangkajene&Kepulauan 5 18 23
Barru 1 11 12
Bone 28 10 38
Soppeng 9 8 17
Wajo 12 11 23
Sidendreng Rappang 0 14 14
Pinrang 1 16 17
Enrekang 2 12 14
Luwu 15 7 22
Tana Toraja 5 16 21
Luwu Utara 4 10 14
Luwu Timur 3 14 17
Toraja Utara 14 12 26
Makassar 37 9 46
Parepare 0 6 6
Palopo 9 3 12
Jumlah 189 269 458
9
B. Diabetes Melitus Tipe II
1. Definisi Diabetes Melitus Tipe II
Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia, terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sembilan puluh persen dari kasus
diabetes adalah DMT2 dengan karakteristik gangguan sensitivitas insulin
dan/atau gangguan sekresi insulin. DMT2 secara klinis muncul ketika tubuh
tidak mampu lagi memproduksi cukup insulin unuk mengkompensasi
peningkatan insulin resisten.8
2. Etiologi Diabetes Melitus Tipe II
Etiologi dari DMT2 tampaknya melibatkan interaksi yang kompleks antara
faktor lingkungan dan genetik dengan genotipe yang rentan. Penyakit ini
berkembang oleh karena gaya hidup yang diabetogenik (yaitu, asupan kalori
yang berlebihan, pengeluaran kalori yang tidak memadai, obesitas).9
Faktor risiko dari DMT2, yaitu :9
1. Usia : Di sebagian besar populasi, DMT2 insidensinya rendah pada orang
yang berusia <30 tahun, tetapi meningkat dengan cepat dan terus menerus
pada usia yang lebih tua.
2. Obesitas.
3. Riwayat keluarga dengan DMT2.
4. Riwayat gangguan toleransi glukosa atau glukosa puasa terganggu.
5. Hipertensi (> 140/90 mm Hg) atau dislipidemia (kadar kolesterol HDL <40
mg / dL atau kadar trigliserida> 150 mg / dL).
6. Polycystic ovarian syndrome (PCOS) (yang menyebabkan resistensi
insulin).
10
menempati peringkat 5 di dunia, atau naik dua peringkat dibandingkan data IDF
tahun 2013 yang menempati peringkat ke-7 di dunia dengan 7,6 juta orang
penyandnag DM.3
11
Organisasi International Diabetes Federation memperkirakan sedikitnya
463 juta orang dari usia 20-79 tahun di dunia menderita diabetes pada tahun
2019 atau setara dengan angka prevalensi dengan 8,3%. Asia Tenggara dimana
Indonesia berada, menempati posisi ketiga tertinggi berdasarkan regional
dengan persentase mencapai 11,3%. Sementara itu, Indonesia menempati posisi
ketujuh dengan DM terbanyak di dunia mencakup 10,7 juta jiwa atau persentase
6,2%. Indonesia merupakan satu-satunya negara Asia Tenggara yang
memasuki 10 besar sehingga bisa kita simpulkan bahwa Indonesia
menyumbang angka terbesar DM di Asia Tenggara.12
Di Indonesia sendiri, Sulawesi Selatan menempati posisi ke delapan belas
dari seluruh provinsi dengan DM terbanyak di Indonesia. Kemudian, Makassar
memiliki prevalensi DM dengan 6,65%.12
4. Patogenesis Diabetes Melitus Tipe II
DMT2 bukan disebakan oleh karena sekresi insulin yang kurang, tetapi oleh
karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara
normal. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin banyak
terjadi akibat obesitas, kurang aktifitas fisik, dan penuaan. Pada penderita
DMT2, dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun
tidak terjadi pengrusakan sel-sel beta langerhans secara autoimin seperti pada
DMT1. Defisiensi fungsi insulin pada penderita DMT2 hanya bersifat relatif,
tidak absolut.10
Pada awal perkembangan DMT2, sel-sel beta menunjukkan gangguan pada
sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi
resistensi insulin. Jika tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan
selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel beta pankreas. Kerusakan sel-sel beta
pankreas yang terjadi secara progresif, seringkali akan mengakibatkan
defisiensi insulin, sehingga penderita memerlukan insulin eksogen.10
5. Gejala Klinis
Gejala Klinis dari DM Tipe 2 yaitu adanya gejala klasik yaitu poliuri,
polidipsi, polifagia, penurunan berat badan. Gejala lain yang mungkin
menunjukkan hiperglikemia termasuk penglihatan kabur, parestesia ekstremitas
12
bawah, luka yang sulit sembuh, atau infeksi jamur, khususnya balanitis pada
pria. Namun, banyak pasien dengan diabetes tipe 2 tidak menunjukkan gejala,
dan penyakit mereka dan tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun.9
6. Diagnosis
Diagnosis DMT2 ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa darah
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Penggunaan darah vena
ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan denganmemperhatikan angka-angka
kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk tujuan
pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler.8
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti: Keluhan klasik
DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Adapun kriteria
diagnosis DM, yaitu : 3
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak
ada asupan kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP).3
13
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).3
1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma
2-jam <140 mg/dl;
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
-jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100
mg/dl
3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
4. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
Tabel 2.2. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes
Glukosa Darah Glukosa plasma 2 jam
HbA1c (%)
Puasa (mg/dL) setelah TTGO (mg/dl)
Diabetes > 6,5 > 126 mg/dL > 200 mg/dL
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal <5,7 < 100 < 140
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko DM
namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Adapun kelompok orang dengan
risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik DM, yaitu:3
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2)
yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau
mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
14
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia > 45 tahun tanpa faktor risiko diatas.
Catatan:
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.
Tabel 2.3. Tabel Kadar GDS dan GDP pada DM dan non-DM
Bukan DM Prediabetes DM
Kadar Glukosa Plasma Vena <100 100-199 > 200
Darah Sewaktu Darah Kapiler <90 90-199 > 200
(mg/dL)
Kadar Glukosa Plasma Vena <100 100-125 > 126
Darah Puasa Darah Kapiler <90 90-199 > 100
(mg/dL)
15
jangka pendek adalah menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan
rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah. Tujuan
penatalaksanaan jangka panjang adalah untuk mencegah dan menghambat
progresivitas komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler, serta neuropati
diabetikum. Tujuan akhir pengelolaan DMT2 adalah menurunkan morbiditas
dan mortalitas DM.7
Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu penatalaksanaan diabetes secara
lebih dini dan lebih cepat sehingga kadar glukosa darah puasa, glukosa darah
setelah makan, variabilitas glukosa darah, HbA1c, tekanan darah, berat badan
dan profil lipid dapat dikendalikan. Hal ini dapat tercapai melalui pengelolaan
pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan
pola hidup, disamping terapi farmakologis.7
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi
nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis
dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti
hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada
keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya:
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya
ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan
cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pengetahuan tentang
pemantauan mandiri tersebut dapat dilakukan setelah mendapat pelatihan
khusus.3
a. Terapi non Farmaklogi
Hal yang paling penting pada terapi non farmakologis adalah monitor
sendiri kadar glukosa darah dan pendidikan berkelanjutan tentang
penatalaksanaan diabetes pada pasien. Latihan jasmani secara teratur (3-4
kali seminggu selama 30 menit/ kali), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, dan berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani
selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
16
memperbaiki sensitivitas insulin sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan adalah berupa latihan
jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, joging,
dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan
status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan
jasmani bisa ditingkatkan. Sementara bagi mereka yang sudah mengalami
komplikasi DM, intensitas latihan jasmani dapat dikurangi.8
Terapi nutrisi medis dilaksanakan dalam beberapa tahap. Pengenalan
sumber dan jenis karbohidrat, pencegahan dan penatalaksanaan
hipoglikemia harus dilakukan terhadap pasien. Terapi nutrisi medis ini
bersifat bersifat individu. Secara umum, terapi nutrisi medis meliputi upaya-
upaya untuk mendorong pola hidup sehat, membantu kontrol gula darah,
dan membantu pengaturan berat badan.8
b. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan.3
a) Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi
5 golongan :3
Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue) :
o Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati
menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
o Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi
insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat
17
yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah hipoglikemia.
Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin :
o Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan
glukosa di jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan
pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin
diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR
30-60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan
pada beberapa keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73 m2,
adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK,gagal jantung
[NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa
gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala
dispepsia.
o Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma),
suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak,
dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan
retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada
pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena
dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada
18
gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal
hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini
adalah Pioglitazone.
Penghambat Absorpsi Glukosa di Saluran pencernaan :
o Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa
dalam usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan
kadar glukosa darah sesudah makan. Penghambat
glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan:
GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat,
irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin
terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus)
sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek
samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh
obat golongan ini adalah Acarbose.
Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja
enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap
dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas
GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi
glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent).
Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.
Penghambat SGLPT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat
antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat
kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk
golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat
approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.
19
Tabel 2.4. Profil obat antigiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia.
20
o Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
21
Agonis GLP-1/ Incetin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan
pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat
bekerja pada sel-beta sehingga terjadi peningkatan pelepasan
insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat
pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek penurunan
berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi
menurunkan berat badan pada pasien DM dengan obesitas. Pada
percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta
pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara
lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan ini
adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide.3
22
Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide) telah
beredar di Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam
3 ml. Dosis awal 0.6 mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg
setelah satu minggu untuk mendapatkan efek glikemik yang
diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai dengan 1.8 mg. Dosis
harian lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa kerja
Liraglutide selama 24 jam dan diberikan sekali sehari secara
subkutan.3
Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang
utama dalam penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat
dilakukan bersamaan dengan pemberian obat antihiperglikemia oral
tunggal atau kombinasi sejak dini. Pemberian obat antihiperglikemia
oral maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar
glukosa darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik
secara terpisah ataupun fixed dose combination, harus menggunakan
dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada
keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai
dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua
obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai
dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk
dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral.3
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin
dimulai dengan pemberian insulin basal (insulin kerja menengah
atau insulin kerja panjang). Insulin kerja menengah harus diberikan
jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang
dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi
tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang
baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal
23
untuk kombinasi adalah 6-10 unit. Kemudian dilakukan evaluasi
dengan mengukur kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit)
apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada
keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan
pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati.3
24
BAB III
25
- MISI
1. Meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan secara berkelanjutan.
2. Meningkatkan sistem informasi dan manajemen puskesmas.
3. Meningkatkan kemitraan.
4. Meningkatkan upaya kemandirian masyarakat.
B. Keadaan Demografi
1. Luas wilayah : + 2,25 km2
2. Jumlah KK : 7.938 KK
3. Jumlah penduduk : 39.191 jiwa
4. Jumlah RW : 27
5. Jumlah RT : 165
26
LUAS
NAMA R Jumlah
NO. WIL. RT KK
KELURAHAN W Penduduk
(Km2)
1 Bara-Baraya 0,16 29 5 1.235 6.812
27
b. Ruang rawat inap terdiri atas :
1) Rawat inap bersalin terdiri atas ruang bersalin dengan kapasitas 3 tempat
tidur dan 1 kamar mandi dan ruang nifas dengan kapasitas 8 tempat tidur
2) Ruang UGD 24 jam
3) Dapur
c. 47 unit Posyandu
d. 6 unit Posbindu
e. 3 unit kendaraan roda empat (ambulance, mobil satgas covud dan mobil
layanan homecare
f. Tenaga Kesehatan di Puskesmas Bara Baraya
Jenis Tenaga Jumlah
Dokter Umum 2
Dokter Gigi 2
Apoteker 2
Perawat 21
Bidan 16
Sanitarian 2
Gizi 3
Pranata Laboratotium 2
Tata Usaha 1
28
2020
NO
PENYAKIT JUMLAH
1 Common Cold 1.140
2 Batuk 710
3 Hipertensi 572
4 Diabetes Melitus 516
5 Demam 375
6 Gastritis 346
10 Luka/Kecelakaan 105
29
Gambar 2.8. Capaian Penyakit DM di PKM Bara-Baraya 2019
Pada tahun 2019, Dinas Kesehatan memberikan target sasaran kepada
Puskesmas Bara-Baraya sebesar 750 target namun, pihak puskesmas hanya mampu
mencapai target sebesar 83% dari target yang diberikan dengan 625 individu.
30
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
31
juga diberitahu untuk rutin melakukan rawat luka ke puskesmas agar luka yang
dimiliki pasien tidak semakin parah.
B. Saran
1. Saran yang dapat diberikan kepada pihak puskesmas, sebaiknya upaya-
upaya baik dalam mengendalikan atau menangani DM di puskesmas
dipertahankan, dan lebih baik lagi jika ditingkatkan.
2. Ada baiknya dokter yang menangani kasus DM di puskesmas bisa bekerja
sama dengan bagian gizi dalam memberikan edukasi mengenai diet pada
pasien agar pasien lebih banyak mengetahui tentang makanan yang baik
untuk mereka.
3. Sebaiknya menetapkan jadwal penyuluhan mengenai DM.
32
DAFTAR PUSTAKA
33