Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KASUS

BAGIAN ILMU BEDAH


SEPTEMBER 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FRAKTUR 1/3 DISTAL TIBIA FIBULA

Oleh :
Amelia Astrid Mulyadi, S.Ked

Pembimbing :
dr. Muh. Ihsan Kitta, M.Kes., Sp.OT (K)

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinis bagian ilmu bedah)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:


Nama : Amelia Astrid Mulyadi, S.Ked
Judul Referat : Fraktur 1/3 Distal Tibia Fibula
Telah menyelesaikan referat dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian
Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Makassar.

Makassar, September 2021


Pembimbing,

dr. Muh. Ihsan Kitta, M.Kes., Sp.OT (K)

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb
Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga referat dengan judul
“Fraktur 1/3 Distal Tibia Fibula” ini dapat terselesaikan. Salam dan shalawat
senantiasa tercurah kepada baginda Rasulullah SAW, sang pembelajar sejati yang
memberikan pedoman hidup yang sesungguhnya.
Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing dr. Muh. Ihsan
Kitta, M.Kes., Sp.OT(K), yang telah memberikan petunjuk, arahan dan nasehat
yang sangat berharga dalam penyusunan sampai dengan selesainya referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan
kekurangan dalam penyusunan referat ini, baik dari isi maupun penulisannya.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan demi
penyempurnaan referat ini.
Demikian, semoga referat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan
penulis secara khususnya.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Makassar, September 2021

Penulis

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur atau patah tulang merupakan suatu kondisi terputusnya kontinuitas


yang normal dari suatu jaringan tulang. Fraktur dapat terjadi pada semua bagian
tulang, baik ekstremitas atas maupun ekstremitas bawah. Fraktur atau patah tulang
dapat disebabkan oleh kecelakaan, baik itu kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas,
trauma/ruda paksa atau tenaga fisik, dan sebagainya yang ditentukan oleh jenis dan
luasnya fraktur. Fraktur merupakan salah satu penyebab cacat salah satunya akibat
suatu trauma karena kecelakaan. Fraktur yang terbanyak di Indonesia yaitu fraktur
ekstremitas bawah. Bagian tubuh yang banyak mengalami cedera adalah ekstremitas
bagian bawah. Fraktur ekstremitas bawah, yang sebagian besar merupakan hasil dari
trauma akibat kecelakaan, memiliki tingkat rawat inap yang tinggi, lama rawat dan
operasi. Fraktur terbanyak disebabkan oleh suatu kecelakaan.1
Menurut WHO (World health Organization) angka kecelakaan fraktur di
dunia akan semakin meningkat seiring bertambahnya kendaraan. Usia produktif
merupakan usia yang rentang mengalami cedera akibat kecelakaan, begitu juga lanjut
usia dapat terjadi fraktur akibat penurunan masa tulang sehingga rentan terjadi
fraktur. Fraktur dapat menyebabkan kerusakan fragmen tulang, dan mempengaruhi
fungsi sistem muskuloskeletal yang berpengaruh pada toleransi aktivitas sehingga
dapat memengaruhi kualitas hidup penderita. Tindakan pembedahan orthopedi adalah
salah satu cara untukmengembalikan fraktur atau patah tulang kebentuk semula.
Pembedahan orthopedi yang dapat dilakukan salah satunya adalah reduksi terbuka
menggunakan fiksasi secara interna (Open Reduction and Internal Fixation/
O.R.I.F.). Tujuan dari pembedahan ini untuk mempertahankan fragmen tulang agar
tetap pada posisinya sampai penyembuhan tulang membaik.1

1
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identittas Pasien
Nama : Tn. S
Jensi Kelamin : Laki-laki
Umur : 33 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Doang Bajeng Barat
Tanggal Masuk RS : 09 Sept 2021
B. Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri Pada Kaki Kanan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RS Syekh Yusuf diantar oleh kerabatnya. Pasien
mengeluhkan nyeri pada kaki kanan setelah jatuh dari tangga setinggi 3 meter
di rumahnya. Pasien sulit menggerakkan kaki kanan nya. Nyeri saat kaki
digerakkan, Terdapat luka terbuka pada kaki ukuran 4x3x2 cm, perdarahan
aktif dan tampak tulang. Riwayat pingsan setelah jatuh dari tangga disangkal.
Mual, muntah dan nyeri kepala disangkal.
Riwayat Penyakit Terdahulu :
- Riwayat trauma : -
- Riwayat Penyakit : DM (-), HT (-)
Riwayat Penyakit Keluarga : -
C. Pemeriksaan Fisik
a. PRIMARY SURVEY
Airway : Clear

Breathing : Pergerakan dada simetris kiri dan kanan, napas spontan,


tidak ada jejas. RR: 20x/menit.
2
Circulation : Hemodinamik Stabil, TD : 120/80 mmHg, Nadi :82x/menit

Disability : GCS : E4V5M6 Compos Mentis

b. SECONDARY SURVEY
 Kepala : Normochepal
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-) , Sklera ikterik (-/-) ,
Pupil ODS bulat, isokor, reflex cahaya (+/+)
 Telinga : Dalam batas normal
 Hidung : Dalam batas normal
 Tenggorokan : Faring dan tonsil dalam batas normal
 Leher : Pembesaran KGB (-)
 Mulut : Dalam batas normal
 Thorax
 Paru-paru : pergerakan dinding thorax simetris,
Suara nafas vesikuler (+/+). Rh (-/-), Wheezing (-/-)
 Jantung : Bunyi jantung I-II murni, suara
tambahan (-)
 Abdomen : Datar (+), peristaltic (+), masa (-),
nyeri tekan (-)

Status Lokalis :

Regio Cruris Dextra

 Look : Bengkak (+), deformitas (+), tampak luka robek pada


kaudal distal ukuran 4x3x2 cm (+), perdarahan aktif (+) tampak tulang
(+), warna kulit sama seperti sekitar.
 Feel : Nyeri tekan, sensorik distal (+), pulsasi distal baik (+)
 Movement : ROM terbatas karena nyeri (+)

3
D. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium darah lengkap

WBC 8,2 x 103/uL


HGB 14,7 g/dL
PLT 275 X 103/uL
HCT 43,5%
PT 12,7 detik
APTT 27,5 detik
GDS 110 mg/dL
UREUM 15 mg/dL
KREATININ 0,6 mg/dL
HBSAg Non Reaktif

2. X foto Cruris Ap Dextra lateral


Foto cruris dextra posisi AP/lateral (Pre OP)

4
- Tampak fraktur 1/3 distal os tibia fibula dextra

- Tidak tampak tanda-tanda osteomyelitis

- Celah sendi dalam batas normal

- Mineralisasi tulang baik

- Jaringan lunak sekitarnya baik

Kesan : fraktur 1/3 distal os tibia fibula dextra.

Foto cruris dextra posisi AP/lateral (Post OP)

5
- Fraktur 1/3 distal os tibia fibula dextra dengan plate and screw dan K-
wire yang terpasang pada distal tibia. Allignment os tibia baik.
- Tidak tampak tanda-tanda osteomyelitis
- Celah sendi dalam batas normal
- Mineralisasi tulang baik
- Jaringan lunak sekitarnya baik

Kesan : fraktur 1/3 distal os tibia fibula dextra.

E. Diagnosis

Open Fraktur 1/3 distal tibia fibula dextra Grade IIIa

F. Terapi

Medikamentosa :

- IVFD RL 20 tpm

- Inj. Ketorolac / 8 jam

- Inj. Cefotaxime 1 gr/12 jam/iv

6
- Inj. Omeprazole /12 jam/iv

Operatif : ORIF (Open Reduction Internal Fixation)

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Fraktur adalah hilanganya kontinuitas tulang dan paling sering
disebabkan oleh trauma. Istilah fraktur mencakup semua cedera tulang, mulai
dari retakan sederhana yang tidak bergeser pada tulang hingga fraktur tulang
7
panjang kompleks yang besar dengan cedera jaringan lunak yang luas. Fraktur
terbuka (majemuk) adalah fraktur di mana terdapat luka yang berhubungan
dengan lokasi fraktur. Fraktur kominutif adalah fraktur yang terdapat lebih
dari dua fragmen utama. Inspeksi radiografi memungkinkan deskripsi
deformitas.2
Fraktur cruris adalah terputusnya hubungan tibia dan fibula. Secara
klinis bisa berupa fraktur terbuka bila disertai kerusakan pada jaringan lunak
(otot, kulit, pembuluh darah) sehingga memungkinkan terjadinya hubungan
antara fragmen tulang yang patah dengan udara luar dan fraktur tertutup.
B. Anatomi

Os. Tibia

Os tibia merupakan os longum yang terletak di sisi medial region


cruris. Ini merupakan tulang terpanjang kedua setelah os femur. Tulang ini
terbentang ke proksimal untuk membentuk articulation genu dan ke distal
terlihat semakin mengecil. Tibia merupakan tulang medial tungkai bawah
yang besar dan berfungsi menyangga berat badan. Tibia bersendi di atas
dengan condylus femoris dan caput fibulae, di bawah dengan talus dan ujung
distal fibula. Tibia mempunyai ujung atas yang melebar dan ujung bawah
yang lebih kecil, serta sebuah corpus. Pada ujung atas terdapat condyli
lateralis dan medialis (kadang-kadang disebut plateau tibia lateral dan
medial), yang bersendi dengan condyli lateralis dan medialis femoris, dan
dipisahkan oleh menisci lateralis dan medialis. Permukaan atas facies
articulares condylorum tibiae terbagi atas area intercondylus anterior dan
posterior; di antara kedua area ini terdapat eminentia intercondylus. 3

Pada aspek lateral condylus lateralis terdapat facies articularis fibularis


circularis yang kecil, dan bersendi dengan caput fibulae. Pada aspek posterior
condylus medialis terdapat insertio m.semimembranosus. Corpus tibiae
8
berbentuk segitiga pada potongan melintangnya, dan mempunyai tiga
margines dan tiga facies. Margines anterior dan medial, serta facies medialis
diantaranya terletak subkutan. Margo anterior menonjol dan membentuk
tulang kering. Pada pertemuan antara margo anterior dan ujung atas tibia
terdapat tuberositas, yang merupakan tempat lekat ligamentum patellae.
Margo anterior di bawah membulat, dan melanjutkan diri sebagai malleolus
medialis. Margo lateral atau margo interosseus memberikan tempat perlekatan
untuk membrane interossea. Facies posterior dan corpus tibiae menunjukkan
linea oblique, yang disebut linea musculi solei, untuk tempatnya m.soleus.
Ujung bawah tibia sedikit melebar dan pada aspek inferiornya terdapat
permukaan sendi berbentuk pelana untuk os.talus, ujung bawah memanjang ke
bawah dan medial untuk membentuk malleolus medialis. Facies lateralis dari
malleolus medialis bersendi dengan talus. Pada facies lateral ujung bawah
tibia terdapat lekukan yang lebar dan kasar untuk bersendi dengan fibula.
Musculi dan ligamenta penting yang melekat pada tibia. 3

Os. Fibula

Terletak di bagian lateral crus, sejajar dengan tibia, hamper sepanjang


dengan tibia. Dibagian proximal membentuk persendian dengan tibia dan di
bagian distal dengan os talus. Bagian intermedia difiksasi oleh membrane
interossea pada tibia, membentuk suatu syndesmosis. Fibula terdiri dari
corpus, ujung proximal dan ujung distal. Ujunag proximal disebut capitulum
fibulae, membentuk persendian dengan ujung proximal bagian posterior tibia,
disebut articulation tibiofibularis proximalis, dapat dipalpasi di caudalis
condyles lateralis tibiae. 3

Capitulum fibulae terletak setinggi dengan tuberositas tibiae. Pada


bagian ujung capitulum fibulae terdapat facies articularis, yang membentuk

9
persendian dengan condyles lateralis tibiae. Permukaan persendian ini
menghadap kea rah ventro-cranio-medial. Facies lateralis capitulum fibulae
kasar, tempat melekat m.biceps femoris dan ligamentum collaterale. Dari
facies latero-posterior terdapat benjolan yang menjulang ke cranial, disebut
apex capitis fibulae. Corpus fibulae pada ¾ bagian proximal mempunyai tiga
margo atau crista yaitu : margo anterior, margo interosseus, margo posterior.
Corpus fibulae mempunyai tiga facies yaitu: facies lateralis, facies medialis
dan facies posterior.3

Gambar 1. Anatomi Tibia Fibula

C. Epidemiologi

Fraktur tibia adalah fraktur tulang panjang yang paling umum. Insiden
tahunan fraktur terbuka tulang panjang diperkirakan 11,5 per 100.000 orang,
dengan 40% terjadi di ekstremitas bawah. Fraktur ekstremitas bawah yang
paling umum terjadi pada diafisis tibialis. Fraktur midshaft atau fibula
proksimal jarang terjadi.4
Studi yang dilakukan oleh Larsen P et al menunjukkan bahwa insiden
fraktur mencapai 16,9/100,000/tahun untuk fraktur shaft tibia. Laki-laki
10
memiliki insiden tertinggi 21,5/100.000/tahun dengan frekuensi tertinggi
antara usia 10 dan 20, sedangkan perempuan memiliki frekuensi
12,3/100.000/tahun dan memiliki frekuensi tertinggi antara usia 30 dan 40.
Sebagian besar faktur tibia terjadi selama berjalan, aktivitas dalam ruangan
dan olahraga. Distribusi di antara jenis kelamin menunjukkan bahwa laki-laki
menunjukkan frekuensi terjadinya fraktur yang lebih tinggi saat berpartisipasi
dalam kegiatan olahraga dan berjalan. Perempuan menunjukkan frekuensi
tertinggi saat berjalan dan selama aktivitas di dalam ruangan.5
D. Proses Terjadinya Fraktur

Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami fraktur,


harus mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat
menyebabkan tulang patah. Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat
menahan kompresi dan tekanan memuntir (shearing). Kebanyakan fraktur
terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan
membengkok, memutar, dan tarikan.

Trauma bisa bersifat :


 Trauma langsung  menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi
fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif
dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
 Trauma tidak langsung  apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih
jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat
menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan
lunak tetap utuh.
Tekanan pada tulang dapat berupa :
11
 Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik
 Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
 Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi,
dislokasi atau fraktur dislokasi
 Kompresi vertikal dapat menyebabkan fraktur komunitif atau memecah
misalnya pada badan vertebra, talus atau fraktur buckle pada anak-anak
 Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu akan
menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z
 Fraktur oleh karena remuk
 Trauma karena tarikan pada ligamen atau tendo akan menarik sebagian tulang

Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan seseorang mempunyai


keterbatasan gerak dan ketidakseimbangan berat badan. Tekanan yang kuat atau
berlebihan dapat mengakibatkan fraktur terbuka karena dapat menyebabkan
fragmen tulang keluar menembus kulit sehingga akan menjadikan luka terbuka
dan akan menyebabkan peradangan dan memungkinkan untuk terjadinya infeksi.
Keluarnya darah dari luka terbuka dapat mempercepat pertumbuhan bakteri.
Tertariknya segmen tulang disebabkan karena adanya kejang otot pada daerah
fraktur menyebabkan disposisi pada tulang, sebab tulang berada pada posisi yang
kaku.

12
Gambar 2. Mekanisme injury, beberapa pola fraktur dan mekanisme penyebabnya
(a) Pola spiral (berputar); (b) pola oblik (kompresi); (c) triangular ‘butterfly’fragment
(membengkok); (d) pola transversal (tekanan langsung mengenai tulang.

E. Etilogi Fraktur

Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana
trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang.  Dua faktor
mempengaruhi terjadinya fraktur6 :
 Ekstrinsik  meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang,
arah dan kekuatan trauma.
 Intrinsik  meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma,
kelenturan, kekuatan, dan densitas tulang.
Tulang cukup mudah patah, namun mempunyai kekuatan dan ketahanan
untuk menghadapi stress dengan kekuatan tertentu. Fraktur berasal dari:
1. Suatu trauma ruda paksa
2. Tekanan yang berulang (repetitive stress)
3. Kelemahan tulang yang abnormal yang dapat menyebabkan fraktur
paologis
1) Fraktur yang disebabkan oleh cedera

13
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh tenaga berlebihan (ruda paksa) yang
tiba-tiba, dapat secara langsung ataupun tidak langsung.
Dengan tenaga langsung tulang patah pada titik kejadian; jaringan
lunak juga rusak. Pukulan langsung biasanya mematahkan tulang secara
transversal atau membengkokkan tulang melebihi titik tupunya sehingga
terjadi patahan dengan fragmen “butterfly”. Kerusakan pada kulit diluarnya
sering terjadi; jika crush injury terjadi, pola faktur dapat kominutif dengan
kerusakan jaringan lunak ekstensif.6
Dengan tenaga tidak langsung, tulang patah jauh dari dimana tenaga
dierikan; kerusakan jaringan lunak pada tempat fraktur jarang terjadi.
Walaupun sebagian besar fraktur disebabkan oleh kombinasi tenaga
(perputaran, pembengkokkan, kompresi, atau tekanan), pola x-ray
menunjukkan mekanisme yang dominan:
 Terpelintir mengakibatkan fraktur spiral;
 Kompresi mengakibatkan fraktur oblique pendek;
 Pembengkokan mengakibatkan fraktur dengan fragmen triangular
“butterfly”;
 Tekanan cenderung mematahkan tulang kearah transversal; pada
beberapa situasi tulang dapat avulse menjadi fragmen kecil pada titik
insersi ligament atau tendon.
Deskripsi diatas merupakan deskripsi untuk tulang panjang. Tulang kecil
jika terkena gaya yang cukup, akan terbelah atau hancur menjadi bentuk yang
abnormal.6

2) Fatigue atau stress fracture


Fraktur ini terjadi pada tulang normal yang menjadi subjek tumpuan
berat berulang, seperti pada atlet, penari, atau anggota militer yang menjalani
program berat. Beban ini menciptakan perubahan bentuk yang memicu proses
14
normal remodeling—kombinasi dari esorpsi tulang dan pembentukan tulang
baru menurut hukum Wolff. Ketika pajanan terjadap stress dan perubahan
bentuk terjadi berulang dan dalam jangka panjang, resorpsi terjadi lebih cepat
dari pergantian tulang, mengakibatkan daerah tersebut rentan terjadi fraktur.
Masalah yang sama terjadi pada individu dengan pengobatan yang
mengganggu keseimbangan normal resorpsi dan pergantian tulang; stress
fracture meningkat pada penyakit inflamasi kronik dan pasien dengan
pengobatan steroid atau methotrexate.6
3) Fraktur patologis
Fraktur dapat terjadi pada tekanan normal jika tulang telah lemah
karena perubahan strukturnya (seperti pada osteoporosis, osteogenesis
imperfekta, atau Paget’s disease) atau melalui lesi litik (contoh: kista tulang,
atau metastasis).6

F. Klasifikasi

Klasifikasi fraktur dapat sangat bervariasi, beberapa dibagi menjadi


beberapa kelompok, yaitu7 :
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
 Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.

15
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement.
 Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit. Fraktur terbuka terbagi atas 3 derajat (menurut
R.Gustilo), yaitu:
 Derajat I:
 Luka < 1cm.
 Kerusakan jaringan sedikit, tidak ada tanda luka remuk.
 Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau komunitif ringan.
 Kontaminasi minimal.
 Derajat II:
 Laserasi >1cm.
 kerusakan jaringan lunak. Tidak luas, falp/avulsi.
 Fraktur komunitif sedang.
 Kontaminasi sedang.
 Derajat III:
 Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun
terdapat laserasi luas/falp/avulsi atau fraktur segmental yang
disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya
ukuran luka.
 Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur yang terpapar atau
kontaminasi masif.
 Luka pada pembuluh darah arteri/saraf perifer yang harus
diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.
16
Fraktur tertutup Fraktur terbuka

b. Berdasarkan komplit atau ketidak-klomplitan fraktur.


1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang.
2) Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti :
a. Hair Line Fraktur.

b. Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.

17
c. Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme


trauma.
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.

18
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.

2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.

3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.

19
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a. Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
b. Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c. Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Berdasarkan posisi fraktur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal

G. Gambaran Klinis

a. Anamnesis
Biasanya pasien datang dengan suatu trauma, baik yang hebat maupun
trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan
anggota gerak. Pasien biasanya datang karena adanya nyeri yang terlokalisir
dimana nyeri tersebut bertambah bila digerakkan, pembengkakan, gangguan
fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau dengan
gejala-gejala lain.8
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal pasien, perlu diperhatikan adanya :

20
a) Syok, anemia atau pendarahan
b) Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang
atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul, dan abdomen
c) Faktor predisposisi misalnya pada fraktur patologis.5
c. Pemeriksaan lokal
- Inspeksi (Look)
 Ekspresi wajah karena nyeri
 Bandingkan dengan bagian yang sehat
 Perhatikan posisi anggota gerak
 Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi, dan kependekan
 Perhatikan adanya pembengkakan
 Perhatikan adanya gerakan yang abnormal
 Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka
 Ekstravasasi darah subkutan (ekimosis) dalam beberapa jam sampai
beberapa hari
 Perhatikan keadaan vaskular
- Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati dikarenakan pasien biasanya mengeluh
sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan :
 Temperatur setempat yang meningkat
 Nyeri tekan  nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur
pada tulang
 Krepitasi  dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati

21
 Pemeriksaan vaskular pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan
anggota gerak yang terkena. Dinilai juga refilling (pengisian) arteri
pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah trauma, dan
temperatur kulit.
 Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui
adanya perbedaan panjang tungkai
- Pergerakan (Move)
Dilakukan dengan cara mengajak pasien untuk menggerakan secara aktif
dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma.
Pada pasien dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat
sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu
juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh
darah dan saraf.

d. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris
serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis, atau
neurotmesis.
e. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi, serta
ekstensi fraktur. Untuk menghindari nyeri serta kerusakan jaringan lunak
sebelumnya, maka sebaiknya mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen
untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.

22
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan yakni foto polos, CT-Scan,
MRI, tomografi, dan radioisotop scanning. Umumnya dengan foto polos kita
dapat mendiagnosis fraktur.

Gambar 3. Gambaran radiologi fraktur tibia fibula

H. Tatalaksana Fraktur

 Penatalaksanaan awal
Sebelum dilakukan pengobatan definitif pada satu fraktur, maka diperlukan :
1. Pertolongan pertama
Pada pasien dengan fraktur yang penting dilakukan adalah membersihkan
jalan nafas, menutup luka dengan verban yang bersih, dan imobilisasi
fraktur pada anggota gerak yang terkena agar pasien merasa nyaman dan
mengurangi nyeri sebelum diangkut dengan ambulans. Bila terdapat
pendarahan dapat dilakukan pertolongan dengan penekanan setempat.

23
2. Penilaian klinis
Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis,
apakah luka itu luka tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/ saraf
ataukah ada trauma alat-alat dalam yang lain.
3. Resusitasi
Kebanyakan pasien dengan fraktur multipel tiba di rumah sakit dengan
syok, sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada
frakturnya sendiri berupa pemberian transfusi darah dan cairan lainnya
serta obat-obat anti nyeri.
 Prinsip Umum Tatalaksana Fraktur
1. First, do no harm
Yakni dengan mencegah terjadinya komplikasi iatrogenik. Hal ini bisa
dilakukan dengan pertolongan pertama yang hati-hati, transportasi pasien
ke rumah sakit yang baik, dan mencegah terjadinya infeksi dan kerusakan
jaringan yang lebih parah.

2. Tatalaksana dasar berdasarkan diagnosis dan prognosis yang akurat


Keputusan pertama adalah menentukan apakah fraktur tersebut
membutuhkan reduksi dan bila iya maka tentukan tipe reduksi terbaik
apakah terbuka atau tertutup. Kemudian keputusan kedua yakni mengenai
tipe imobilisasi, apakah eksternal atau internal.
3. Pemilihan tatalaksana dengan tujuan yang spesifik
Tujuan spesifik dalam tatalaksana fraktur yaitu :
 Untuk mengurangi rasa nyeri
Dikarenakan tulang bersifat relatif tidak sensitif, rasa nyeri pada
fraktur berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak termasuk
periosteum dan endosteum. Rasa nyeri ini dapat diperberat dengan
24
pergerakan fragmen fraktur yang berhubungan dengan spasme otot
dan pembengkakan yang progresif. Rasa nyeri pada fraktur dapat
berkurang dengan imobilisasi dan menghindari pembalutan yang
terlalu ketat. Beberapa hari pertama setelah terjadinya fraktur dapat
diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri.
 Untuk memelihara posisi yang baik dari fragmen fraktur
Reduksi fraktur untuk mendapatkan posisi yang baik, yakni
diindikasikan hanya untuk memperbaiki fungsi dan mencegah
terjadinya artritis degeneratif. Pemeliharan posisi fragmen fraktur
biasanya membutuhkan beberapa derajat imobilisasi, dengan beberapa
metode, termasuk continuous traction, plaster-of-Paris cast, fiksasi
skeletal eksterna, dan fiksasi skeletal interna, berdasarkan derajat dari
kestabilan atau ketidakstabilan reduksi.
 Untuk mengusahakan terjadinya penyatuan tulang (union)
Pada kebanyakan fraktur, proses penyatuan tulang merupakan proses
penyembuhan yang terjadi secara alami. Namun pada beberapa kasus,
misalnya dengan robekan periosteum berat dan jaringan lunak atau
dengan nekrosis avaskular pada satu atau dua fragmen, proses
penyatuan tulang harus dengan autogenous bone grafts, pada tahap
penyembuhan awal atau lanjut.
 Untuk mengembalikan fungsi secara optimal
Saat periode imobilisasi dalam penyembuhan fraktur, diuse atrophy
pada otot regional harus dicegah dengan latihan aktif statik (isometrik)
pada otot tersebut dengan mengkontrol imobilisasi sendi dan latihan
aktif dinamik (isotonik) pada seluruh otot lainnya di tubuh. Setelah
periode imobilisasi, latihan aktif sebaiknya tetap dilanjutkan.
4. Mengingat hukum-hukum penyembuhan secara alami

25
Jaringan muskuloskeletal bereaksi terhadap suatu fraktur sesuai dengan
hukum alami yang ada.
5. Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis pengobatan
Dalam memilih pengobatan harus dipertimbangkan pengobatan yang
realistik dan praktis.
6. Seleksi pengobatan sesuai dengan pasien secara individual
Setiap fraktur memerlukan penilaian pengobatan yang sesuai, yaitu
dengan mempertimbangkan faktor umur, jenis fraktur, komplikasi yang
terjadi, dan perlu pula dipertimbangkan keadaan ekonomi pasien secara
individual.
Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif,
prinsip pengobatan ada empat (4R), yaitu :
 Recognition; diagnosis dan penilaian fraktur
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur
dengan anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal
pengobatan perlu diperhatikan lokalisasi fraktur, bentuk fraktur,
menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan, dan komplikasi
yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
 Reduction; reduksi fraktur apabila perlu
Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi yang
dapat diterima. Pada fraktur intra-artikuler diperlukan reduksi
anatomis dan sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal dan
mencegah komplikasi seperti kekakuan, deformitas, serta perubahan
osteoartritis di kemudian hari.
Posisi yang baik adalah alignment yang sempurna dan aposisi yang
sempurna.
Fraktur seperti fraktur klavikula, iga, dan fraktur impaksi dari humerus
tidak memerlukan reduksi. Angulasi <5º pada tulang panjang anggota
26
gerak bawah dan lengan atas dan angulasi sampai 10º pada humerus
dapat diterima. Terdapat kontak sekurang-kurangnya 50%, dan over-
riding tidak melebihi 0,5 inchi pada fraktur femur. Adanya rotasi tidak
dapat diterima dimanapun lokalisasi fraktur.
 Retention; imobilisasi fraktur.
 Rehabilitation; mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal
mungkin.

Penatalaksanaan fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur


dengan splint. Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa
baik sebelum maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada pasien dengan
multipel trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi awal fraktur tulang panjang
setelah hemodinamis pasien stabil. Sedangkan penatalaksanaan definitif
fraktur adalah dengan menggunakan gips atau dilakukan operasi dengan
“ORIF” maupun “OREF”.

Tujuan pengobatan fraktur yaitu :


a. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi.
Teknik reposisi terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau traksi kulit dan skeletal. Cara
lain yaitu dengan reposisi terbuka yang dilakukan pada pasien yang telah
mengalami gagal reposisi tertutup, fragmen bergeser, mobilisasi dini,
fraktur multipel, dan fraktur patologis.
b. IMOBILISASI / FIKSASI dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen
post reposisi sampai Union. Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu pada
pemendekan (shortening), fraktur unstable serta kerusakan hebat pada
kulit dan jaringan sekitar.

Jenis Fiksasi :
27
a. Eksternal / OREF (Open Reduction External Fixation)
 Gips (plester cast)
 Traksi
Jenis traksi :
 Traksi Gravitasi : U- Slab pada fraktur humerus
 Skin traksi
Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen
akan kembali ke posisi semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila
kelebihan kulit akan lepas
 Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.
Traksi ini dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi
koksea, femur, lutut), pada tibia atau kalkaneus ( fraktur kruris).
Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada pemasangan traksi
yaitu gangguan sirkulasi darah pada beban > 12 kg, trauma saraf
peroneus (kruris) , sindroma kompartemen, infeksi tempat
masuknya pin.

Indikasi OREF :
 Fraktur terbuka derajat III
 Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
 Fraktur dengan gangguan neurovaskuler
 Fraktur Kominutif
 Fraktur Pelvis
 Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF
 Non Union
 Trauma multipel
b. Internal / ORIF (Open Reduction Internal Fixation)

28
ORIF ini dapat menggunakan K-wire, plating, screw, k-nail. Keuntungan
cara ini adalah reposisi anatomis dan mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.
Indikasi ORIF :
 Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avascular nekrosis tinggi,
misalnya fraktur talus dan fraktur collum femur.
 Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur avulsi dan
fraktur dislokasi.
 Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya
fraktur Monteggia, fraktur Galeazzi, fraktur antebrachii, dan fraktur
pergelangan kaki.
 Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik
dengan operasi, misalnya : fraktur femur.
I. Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu :6
1. Fase hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil
yang melewati kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada
daerah fraktur dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur.
Hematoma yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong
dan dapat mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga
dapat terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak.
Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari daerah
fraktur akan kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah
cincin avaskuler tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.
2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal.
Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu
reaksi penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel
osteogenik yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus
29
eksterna serta pada daerah endosteum membentuk kalus interna sebagai
aktifitas seluler dalam kanalis medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat
pada periosteum, maka penyembuhan sel berasal dari diferensiasi sel-sel
mesenkimal yang tidak berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak.
Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi pertambahan jumlah
dari sel-sel osteogenik yang memberi pertumbuhan yang cepat pada jaringan
osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Pembentukan jaringan
seluler tidak terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah
fraktur. Setelah beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu
massa yang meliputi jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan radiologis kalus
belum mengandung tulang sehingga merupakan suatu daerah radiolusen.

3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)


Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap
fragmen sel dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas
membentuk tulang rawan. Tempat osteoblast diduduki oleh matriks
interseluler kolagen dan perlengketan polisakarida oleh garam-garam kalsium
membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk tulang ini disebut sebagai
woven bone. Pada pemeriksaan radiologi kalus atau woven bone sudah
terlihat dan merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan
fraktur.
4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik)
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan
diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang
menjadi struktur lamelar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara bertahap.
5. Fase remodeling.

30
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk
bagian yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis
medularis. Pada fase remodelling ini, perlahan-lahan terjadi resorpsi secara
osteoklastik dan tetap terjadi proses osteoblastik pada tulang dan kalus
eksterna secara perlahan-lahan menghilang. Kalus intermediat berubah
menjadi tulang yang kompak dan berisi sistem Haversian dan kalus bagian
dalam akan mengalami peronggaan untuk membentuk ruang sumsum.

31
 Penilaian Penyembuhan Fraktur
Penilaian penyembuhan fraktur (union) didasarkan atas union secara
klinis dan union secara radiologis. Penilaian secara klinis dilakukan
dengan pemeriksaan daerah fraktur dengan melakukan pembengkokan
pada daerah fraktur, pemutaran dan kompresi untuk mengetahui adanya
gerakan atau perasaan nyeri pada penderita. Keadaan ini dapat dirasakan
oleh pemeriksa atau oleh penderita sendiri. Apabila tidak ditemukan
adanya gerakan, maka secara klinis telah terjadi union dari fraktur.
Union secara radiologis dinilai dengan pemeriksaan rontgen pada
daerah fraktur dan dilihat adanya garis fraktur atau kalus dan mungkin
dapat ditemukan adanya trabekulasi yang sudah menyambung pada kedua
fragmen. Pada tingkat lanjut dapat dilihat adanya medulla atau ruangan
dalam daerah fraktur.

32
Salah satu tanda proses penyembuhan fraktur adalah dengan
terbentuknya kalus yang menyeberangi celah fraktur (bridging callus)
untuk menyatukan kembali fragmen-fragmen tulang yang fraktur).
Pembentukan bridging callus dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
jarak antara fragmen, stabilitas fraktur, vaskularisasi, keadaan umum
penderita, umur, lokasi fraktur, infeksi dan lain-lain. Vaskularisasi daerah
fraktur dapat berasal dari periosteum, endosteum dan medulla.

Penelitian tentang perubahan densitas kalus pernah dilakukan oleh


Siregar (1998, Bandung) dengan membandingkan pertumbuhan kalus
pada penderita paska operasi internal fiksasi dengan menggunakan plate
dan screw dengan K-nail pada pasien fraktur femur dan peneliti ini

33
melakukan kriteria penilaian gambaran radiologi serta membaginya
menjadi:
- Grade 0 : Kalus belum / tidak terbentuk / non union
- Grade 1+: Bintik-bintik radioopak pada daerah fraktur
- Grade 2+ : Bintik-bintik atau garis radioopak dengan lusensi sama
dengan lusensi medulla.
- Grade 3+: Bintik-bintik atau garis radioopak dengan lusensi antara
medulla dengan korteks.
- Grade 4+: Densitas kalus sama dengan atau lebih radioopak dari
pada korteks.
Pada penelitian berikut ini diamati proses pertumbuhan kalus pada
penderita fraktur tulang panjang Humerus, Radius, Ulna, Femur, Tibia,
dan Fibula. Sampai saat ini belum ditemukan data awal tentang
pertumbuhan kalus pada masing – masing tulang panjang tersebut.6

J. Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat
penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik.
a. Komplikasi umum3,10
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan
gangguan fungsi pernafasan.
Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam pertama
pasca trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan
metabolisme, berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain dapat
berupa ARDS, emboli lemak, trombosis vena dalam (DVT), tetanus atau gas
gangren.
b. Komplikasi Lokal9
o Komplikasi dini

34
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca
trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma
disebut komplikasi lanjut.
 Pada Tulang
1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan
delayed union atau bahkan non union
3. Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang
sering terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang
melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan
berakhir dengan degenerasi.
 Pada Jaringan lunak
1. Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit
superfisial karena edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa
steril kering dan melakukan pemasangan elastik.
2. Dekubitus. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh
gips. Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada
daerah-daerah yang menonjol.
 Pada Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot
tersebut terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek
melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran
otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan
menimbulkan sindroma crush atau thrombus.
 Pada pembuluh darah

35
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus
menerus. Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh
darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan
nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat
menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat
menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut
terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti
pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena
yang putus perlu dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian
distal lesi.
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra
kompartemen otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga
terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut
Iskhemi Volkmann. Ini dapat terjadi pada pemasangan gips yang
terlalu ketat sehingga dapat menggangu aliran darah dan terjadi edema
dalam otot.
Apabila iskemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan
dapat menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti
dengan jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan
disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P
yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi
hilang) dan Paralisis
 Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus),
aksonometsis (kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan
eksplorasi dan identifikasi nervus.6

36
o Komplikasi lanjut6,9
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada
pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau
perpanjangan.
 Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara
normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan
sklerosis pada ujung-ujung fraktur.
Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi.
Bila lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu)
 Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
1. Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses
penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh
jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union
dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.
2. Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu
(pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi
beserta rongga sinovial yang berisi cairan, proses union tidak akan
dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi
periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen
fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips yang
tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang
(fraktur patologis)
 Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan
deformitas. Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi.
37
 Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed
union sampai non union (infected non union). Imobilisasi anggota
gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi
tulang berupa osteoporosis dan atropi otot.

 Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan
imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler,
perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon.
Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan
melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan
periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita
dengan kekakuan sendi menetap.

38
BAB IV

PEMBAHASAN

Tn. S datang ke UGD RS Syekh Yusuf pada tanggal 9 Septembr 2021 dalam

keadaan sadar diantar oleh kerabatnya. Pasien mengeluh nyeri pada kaki kanan dan

sulit untuk digerakkan serta membengkak dan tampak adanya luka lecet. Pasien

mengaku bahwa ia telah jatuh dari tangga setinggi 3 meter yang berada di

rumahnya. Pada Primary Survey didapatkan airway clear, breathing spontan, , CRT

<2,. Hasil pemeriksaan fisik di dapatkan GCS E4V5M6, RR 21x/menit, Nadi

82x/menit, TD 120/80 mmHg dan suhu 36,6oC. Pada region cruris dextra

didapatkan dari look : Terlihat bengkak, deformitas, tampak luka robek pada kaudal

distal ukuran 4x3x2 cm, perdarahan aktif dan tampak tulang, warna kulit sama

seperti sekitar. Feel: di dapatkan nyeri tekan, sensorik distal baik, pulsasi distal baik,

dan movement didapatkan ROM terbatas karena nyeri.

Pada pemeriksaan radiologis didapatkan Tampak fraktur 1/3 distal os tibia fibula

dextra, Tidak tampak tanda-tanda osteomyelitis, celah sendi dalam batas normal,

mineralisasi tulang baik dan jaringan lunak sekitarnya baik. Berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan penunjang maka, Tn. S didiagnosis dengan open fraktur 1/3
39
distal os tibia fibula dextra. . Sesuai dengan kepustakaan bahwa fraktur ialah

terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang.trauma yang menyebabkan tulang

patah dapat berupa trauma langsung dan dapat berupa trauma tidak langsung.

Pada kasus ini pasien mengalami trauma langsung karena kaki kanan pasien

berusaha menahan. saat terjatuh.

Penatalaksanaan fraktur pada pasien ini menggunakan konsep ‘empat R’

yaitu : rekognisi, reduksi/reposis, retensi/fiksasi, dan rehabilitasi. Rekognisi

dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang. Reduksi

dilakukan dengan cara pembedahan dengan teknik open reduction. Retensi atau

fiksasi dilakukan dengan cara internal fixation menggunakan plate and screw

kemudian diberi external fiksasi dengan menggunakan gips. Rehabilitasi pada

pasien inidilakukan fisioterapi berupa gerakan pasif dan gerakan aktif dengan tujuan

fungsi ekstremitas dapat kembali normal.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Platini H, Chaidir R, Rahayu U. Karakteristik Pasien Fraktur Ekstremitas


Bawah. Jurnal ‘Aisyiyah Volume 7 No.1.2020. Hal : 49-53
2. Keating J. Fracture Management. dalam : Luqmani R, Robb J, Porter D,
Joseph B (editors). Textbook of Orthopaedics, Trauma and Rheumatology 2ed.
Elsevier.2013
3. Buku Ajar Anatomi Biomedik 1. 2015
4. Norvel JG, Steele M. Tibia and Fibula Fracture in The ED.
Available from : https://emedicine.medscape.com/article/826304-overview#a6
5. P. Larsen et al. Injury, Int. J. Care Injured 46 (2015) 746–750
6. Solomon L, et al (eds). Apley’s system of orthopaedics and fractures. 9 th ed.
London: Hodder Arnold; 2010.
7. Noor Z. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta Selatan : Selemba
Medika. 2016
8. Chapman MW. Chapman’s orthopaedic surgery. 3rd ed. Boston: Lippincott
Williams&wilkins; 2001. p 756-804.
9. Aston J. N. Kapita Selekta Traumatologik dan Ortopedik. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; p. 35.
10. Sjamsuhidat. R., De Jong., Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran; 2003.

41

Anda mungkin juga menyukai