Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH LAYANAN KEFARMASIAN KOMUNITAS

KASUS SWAMEDIKASI

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4:

Indrasta Septi Prisani (195070500111009) Salma Sabila


Kevin Awidarta (195070500111015) (195070507111021)
Arfa’atus Mardhatilah (195070500111025) Risma Indah Wati (185070501111028)
Rindha Agata F (195070500111033) Maulida Nisa A. (195070500111014)
Nur Atika Fatwa (195070501111001) Agnova Sasyane (195070500111026)
Eunike Berliana M. Farah Aprilia W. (195070500111038)
( 195070501111015) M. Rizky Triantoro (195070501111020)
Debrina Adelia M. (195070501111029) Uliyati Hania (195070507111012)
Alfiatussaidah (195070507111009) Adinda Sukma Dewi (195070507111019)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TA 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Swamedikasi adalah penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas dalam pengobatan
sendiri. Swamedikasi dilakukan untuk mengatasi keluhan dan penyakit ringan yang banyak
dialami masyarakat seperti demam, batuk, influenza, sakit maag, penyakit kulit, dan lain-lain.
Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan keterjangkauan
pengobatan. Pelaksanaan Swamedikasi diatur dalam beberapa regulasi seperti Permenkes No 73
Tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek; Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor: 347/MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek; Permenkes Nomor
919/MENKES/PER/X/1993 tentang Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep; dan lain
sebagainya (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2007).
Apoteker memiliki dua peran yang sangat penting dalam penggunaan obat bebas dan obat
bebas terbatas yaitu menyediakan produk obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat dan
kualitasnya serta memberikan informasi yang dibutuhkan atau melakukan konseling kepada
pasien (dan keluarganya) agar obat digunakan secara aman, tepat, dan rasional. Hal tersebut
berguna dalam mempertimbangkan ketepatan penentuan indikasi/penyakit, ketepatan pemilihan
obat (efektif, aman, ekonomis), serta ketepatan dosis dan cara penggunaan obat. Dalam hal ini
Apoteker dituntut untuk dapat memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat sehingga
masyarakat dapat terhindar dari penyalahgunaan obat (drug abuse) dan penggunasalahan obat
(drug misuse) (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan, 2007).
Swamedikasi bila dilakukan secara rasional dapat bermanfaat baik bagi pasien, tenaga
kesehatan, maupun pemerintah. Akan tetapi, pada pelaksanaannya swamedikasi dapat menjadi
sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) karena keterbatasan pengetahuan
masyarakat akan obat dan penggunaannya (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,
Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007). Swamedikasi akan menimbulkan masalah
baru jika dilakukan secara tidak benar yaitu tidak sembuhnya penyakit karena adanya resistensi
bakteri, ketergantungan, dan overdosis (Efayanti dkk, 2019).
BAB II
KASUS
[7 Juni 2022] Saat ini semakin banyak pasien yang melakukan swamedikasi daripada ke
fasilitas kesehatan. Berdasarkan data survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, sebesar
84,23% persen masyarakat Indonesia melakukan swamedikasi. Angka ini terus naik selama tiga
tahun terakhir. Pada tahun 2019, 71,46 persen dan pada tahun 2020 yaitu 72,19 persen.
Anda adalah apoteker di Apotek “A”. Pagi ini datang seorang pasien ke Apotek “A”
untuk membeli obat (1 boks Valdres dan 3 botol Alkohol 70% 60 ml) tanpa resep dokter. Pasien
tersebut dulu sudah pernah menggunakan obat ini untuk dikonsumsi secara pribadi dan
mendapatkan obat tersebut di warung “B”. Pasien tersebut tidak membeli obat tersebut di warung
“B” karena jauh dari rumahnya dan memilih untuk membeli obat tersebut di Apotek “A”. Untuk
menebus obat tanpa resep ini, pasien menceritakan keluhan yang dialami saudaranya yaitu alergi
debu dan berencana menggunakan alkohol sebagai disinfektan dirumahnya.
Tahun 2016, sebuah penelitian menunjukkan bahwa overdosis difenhidramin merupakan
3,2% dari kematian overdosis obat di Amerika Serikat. Dalam studi yang sama, difenhidramin
berada di antara 15 obat teratas yang paling sering terlibat dalam kematian overdosis obat di
Amerika Serikat1 . Beberapa kasus penyalahgunaan dan ketergantungan pada dimenhidramin
disebabkan konsumsi sebesar 480-3000 mg per hari (dosis normal 50 mg per hari.
BAB III
ANALISIS KASUS DAN PEMBAHASAN
A. Daftar Kata Sulit
1. Swamedikasi : Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas dalam pengobatan
sendiri (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan, 2007).
2. Overdosis : Ukuran (Obat dan sebagainya) yang berlebihan (KBBI,2022)
3. BPS (Badan Pusat Statistik) : Lembaga pemerintah nonkementrian yang
bertanggung jawab langsung kepada presiden (Purwadi dkk, 2019).
4. Disinfektan : Bahan kimia yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi
atau pencemaran oleh jasad renik; obat untuk membasmi kuman penyakit (Astuti
dkk, 2020).

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja regulasi yang mengatur terkait swamedikasi?
2. Faktor yang mempengaruhi pasien dalam melakukan swamedikasi?
3. Bagaimana peran apoteker dalam melakukan swamedikasi, bagaimana
penyelesaian kasus oleh Apotek A tersebut dan terapi apa yang seharusnya
diberikan kepada pasien?
4. Apa saja kelebihan dan kekurangan swamedikasi dan bagaimana dampak dari
swamedikasi yang salah ?
5. Apa saja kriteria dan jenis obat yang dapat diperoleh dengan swamedikasi?
6. Bagaimana alur pelayanan swamedikasi di apotek?
7. Bagaimana sanksi yang dapat diberikan terhadap warung yang menjual obat yang
ada di kasus?

C. Pembahasan
1. Regulasi yang mengatur tentang swamedikasi
a. Permenkes No 73 Tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek
Apoteker di Apotek dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan swamedikasi.
Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan Obat non
Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas yang
sesuai.
b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 347/MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat
Wajib Apotek
Obat Wajib Apotek (OWA) yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker
kepada pasien di Apotek tanpa resep dokter. Obat Wajib Apotek yang dapat
diserahkan tanpa resep dokter tercantum dalam peraturan berikut:
1) Daftar Obat Wajib Apotik No. 1 dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.
347/MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek
2) Daftar Obat Wajib Apotik No. 2 dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.
924/MENKES/PER/X/1993 tenatng Daftar Obat Wajib Apotik No. 2
3) Daftar Obat Wajib Apotik No. 3 dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotik No. 3

c. Permenkes Nomor 919/MENKES/PER/X/1993 tentang Obat yang Dapat


Diserahkan Tanpa Resep
Pada pasal 2 disebutkan obat yang dapat diserahkan tanpa resep harus memenuhi
kriteria:
a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah
usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada
kelanjutan penyakit.
c. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan.
d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia.
e. Obat yang dimaksud memiliki risiko khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
d. Depkes RI 2007 : penyakit ringan yang bisa dilayani untuk swamedikasi
Swamedikasi dilakukan untuk mengatasi keluhan keluhan dan penyakit ringan
yang banyak dialami masyarakat, seperti Pengobatan sendiri disini dibatasi untuk
penyakit ringan seperti batuk, flu (influenza), demam, nyeri, sakit maag, kecacingan,
diare, biang keringat, jerawat, kadas/kurap, ketombe, kudis, kutil, luka bakar, luka iris
dan luka serut.
e. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan
Penggolongan, Pembatasan, dan Kategori Obat
Dalam peraturan tersebut disebutkan adanya perubahan
pembatasan obat diphenhydramine yang merupakan golongan
obat bebas terbatas, yaitu obat diphendyramine yang dapat
diberikan adalah bentuk sediaan tablet, kapsul, sirup, dan
suspensi. Untuk tablet dan kapsul dapat diberikan dengan
kekuatan sediaan ≤ 25 mg dan kemasan tidak lebih dari 10
tablet atau kapsul. Kemudian sirup dan suspensi dapat
diberikan dengan kekuatan sediaan ≤ 12,5 mg/5ml dan kemasan
tidak lebih dari 60 ml.
f. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur sanksi yang diberikan
kepada pihak yang mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang
tidak memenuhi standar, yaitu dalam pasal 196 dan 198.
2) Dalam pasal 196 disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang
tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau
kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
3) Dalam pasal 198 disebutkan bahwa setiap orang yang tidak memiliki keahlian
dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
2. Faktor yang mempengaruhi pasien dalam melakukan swamedikasi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi lebih
cenderung untuk melakukan swamedikasi, antara lain :
a. Pengalaman Pribadi
Pengalaman pribadi menjadi faktor karena pasien sudah cocok dan
sering menggunakan obat tersebut. Sebagian besar pasien yang melakukan
swamedikasi karena pengalaman pribadi adalah pasien yang telah
melakukan swamedikasi berulang-ulang dengan gejala dan obat yang
sama sehingga mereka merasa tidak perlu untuk ke dokter (Supardi et al,
2005).
b. Rekomendasi orang lain
Umumnya pasien yang baru menggunakan obat tersebut sehingga
cenderung dengan pengalaman orang lain. Pasien yang melakukan
swamedikasi karena adanya referensi orang lain, adakalanya tidak tahu
dengan kebenaran informasi tersebut. Mereka langsung mengikuti tanpa
meninjau kembali kebenaran informasi itu, hal ini dapat berdampak
negatif pada pasien karena jika informasi tersebut salah maka akan dapat
memperburuk keadaan pasien atau bahkan muncul penyakit baru
c. Faktor biaya
Biaya menjadi faktor karena biaya ke dokter mahal dan bagi orang
yang tinggal jauh dari pusat pelayanan kesehatan atau dokter, swamedikasi
akan banyak menghemat waktu dan biaya yang diperlukan untuk pergi
mengunjungi pusat pelayanan kesehatan ataupun seorang dokter (Atmoko,
2009). Hendaknya aturan pakai atau peringatan yang selalu diikutsertakan
pada kemasan, ditaati dan dibaca dengan teliti.
d. Kemudahan proses
Kemudahan proses juga berpengaruh terhadap melakukan
swamedikasi. Karena kemudahan pasien membeli obat yang dekat dengan
Apotek. Saat ini pasien dan konsumen lebih memilih kenyamanan
membeli obat yang bisa diperoleh dimana saja, dibandingkan harus
menunggu lama di rumah sakit atau klinik (WHO, 1998).
e. Tingkat pendidikan
Dari tingkat pendidikan yang paling banyak melakukan
swamedikasi adalah Perguruan Tinggi sebanyak 51 responden, karena
mereka lebih banyak berhubungan dengan media sosial dan media
komunikasi. Dari penelitian sebelumnya juga menunjukkan hasil yang
sama bahwa sebagian besar pasien melakukan swamedikasi memiliki latar
belakang pendidikan yang cukup tinggi (Nita et al, 2008).
f. Faktor sosial dan gaya hidup
Dengan meningkatnya pemberdayaan masyarakat, berakibat pada
semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin mudah akses untuk
mendapatkan informasi. Dikombinasikan dengan tingkat ketertarikan
individu terhadap masalah kesehatan, sehingga terjadi peningkatan untuk
dapat berpartisipasi langsung terhadap pengambilan keputusan dalam
masalah kesehatan
g. Perkembangan teknologi informasi
Seiring perkembangan zaman, teknologi dan informasi juga semakin
berkembang pesat termasuk informasi terkait pengobatan. Perkembangan
teknologi informasi membuat masyarakat lebih mudah dalam mengakses
informasi kesehatan. Sehingga masyarakat lebih memilih untuk
melakukan swamedikasi dibandingkan melalui konsultasi ke dokter
(Rizky, 2018).
h. Penghasilan
Masyarakat dengan penghasilan rendah cenderung melakukan
swamedikasi karena biaya yang dikeluarkan lebih sedikit. Hal tersebut
sesuai dengan penelitian Andarwati (2016) yang menyatakan bahwa
tingkat penghasilan rendah cenderung akan mencari alternatif pengobatan
melalui informasi dari iklan obat.
3. Bagaimana peran apoteker dalam melakukan swamedikasi, bagaimana
penyelesaian kasus oleh Apotek A tersebut dan terapi apa yang seharusnya
diberikan kepada pasien?
- Peran Apoteker dalam melakukan swamedikasi
● Mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah terjadinya masalah yang
berhubungan dengan obat (Drug Related Problem) (Nita, 2008).
● Memberikan saran dan mendampingi pasien dalam pemilihan obat,
menginformasikan efek samping yang muncul kepada industri farmasi,
menyarankan rujukan kepada dokter, dan memberitahukan cara
penyimpanan obat yang benar (FIP, 1999).
● Memberikan informasi yang obyektif tentang obat kepada pasien, agar
pasien dapat menggunakan obat secara rasional (WHO, 1998). Informasi
yang diberikan meliputi informasi mengenai bentuk sediaan obat, efek
terapi, cara penggunaan, dosis, frekuensi penggunaan, dosis maksimum,
lama penggunaan, efek samping yang mungkin timbul dan memerlukan
penanganan dokter, interaksi dengan obat lain dan makanan, aktivitas
yang perlu dihindari selama penggunaan obat, penyimpanan obat,
pembuangan obat yang telah kadaluarsa, dan tujuan penggunaan obat
● Pemberian edukasi bahwa penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas
juga dapat menimbulkan bahaya dan efek samping yang tidak dikehendaki
jika digunakan secara tidak semestinya (Depkes RI, 2007)
● Menyediakan produk obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat dan
kualitasnya (Depkes RI, 2007)
● Memberikan informasi yang dibutuhkan atau melakukan konseling kepada
pasien (dan keluarganya) agar obat digunakan secara aman, tepat dan
rasional (Depkes, 2007)
- Penyelesaian Kasus
● Pemberian KIE terkait bahaya penggunaan Diphenhydramine berlebihan
Penggunaan Diphenhydramine yang berlebihan akan menimbulkan efek
samping yaitu akan berpengaruh kepada kardiovaskuler dan sistem saraf
pusat, gangguan darah, gangguan saluran cerna, efek anti muskarinik, dan
reaksi alergi. Penggunaan yang tepat untuk Dewasa adalah 25-50 mg tiga
kali sehari dan untuk anak 5 mg/kgBB sehari (PIONAS, 2022)
● Pemberian KIE terkait konsultasi kepada dokter.
Melakukan konsultasi kepada dokter agar memudahkan untuk pemberian
terapi yang tepat sesuai dengan keluhan yang dialami oleh pasien. Apabila
pasien melakukan swamedikasi, terkadang tidak tepat sasaran untuk
mengobati penyakit yang dikeluhkan dan khawatir menimbulkan efek
yang membahayakan.
● Pelayanan obat swamedikasi tidak dilayani oleh apotek kecuali setelah
dilakukan assesment keluhan pasien jelas dan cocok dengan indikasi obat
yang akan dibeli, dan lebih baik diberikan obat lain yang dapat ditebus
tanpa resep dokter contohnya cetirizine atau siproheptadin dengan indikasi
rhinitis alergi dan maksimal pembelian 10 tablet
● Diberikan saran untuk tidak menggunakan alkohol secara berlebihan untuk
membersihkan debu. Untuk membersihkan debu, dapat menggunakan alat
penyedot debu yang memiliki HEPA Filter dengan baik, agar menjaga
lingkungan tetap bersih.
● Memberikan edukasi kepada pasien, bahwa kesuksesan terapi untuk orang
dengan alergi adalah menghindari faktor pemicu alerginya (alergen),
sehingga perlu dilakukan pembersihan terhadap area sekitar dari alergen.
- Saran Terapi yang Diberikan
● Cetirizine
Indikasi : Rhinitis menahun, Rhinitis Alergi
Dosis Penggunaan : Dewasa dan anak diatas 6 tahun: 10mg/hari pada
malam hari bersama makanan. Anak 3-6 tahun, hay fever: 5 mg/hari pada
malam hari atau 2,5 mg pada pagi dan malam hari (PIONAS, 2022)
Efek Samping : Sakit kepala, pusing, mengantuk, agitasi, mulut kering,
rasa tidak nyaman di perut, reaksi hipersensitif seperti reaksi kulit dan
angioedema (PIONAS, 2022)..
Alasan penggunaan : Merupakan antihistamin yang dapat ditebus tanpa
resep dokter, dengan maksimal pembelian adalah 10 Tablet (Kepmenkes,
1999).
● Siproheptadin
Indikasi : Gejala alergi seperti hay fever, urtikaria, migren
Dosis penggunaan : alergi: dosis lazim 4 mg 3-4 kali sehari; rentang dosis:
4-20 mg sehari maksimal 32 mg sehari; Anak di bawah 2 tahun tidak
dianjurkan; 2-6 tahun 2 mg 2-3 kali/hari, maksimal 12 mg/hari; 7-14 tahun
4 mg 2-3 kali/hari, maksimal 16 mg/hari (PIONAS, 2022)
Efek samping : mual, muntah, mulut kering, diare, anemia hemolitik,
leukopenia, agranulositosis, trombositopenia (PIONAS, 2022)
Alasan penggunaan : Merupakan antihistamin yang dapat ditebus tanpa
resep dokter, dengan maksimal pembelian adalah 10 Tablet (Kepmenkes,
1999).
4. Kelebihan dan kekurangan swamedikasi serta dampak dari swamedikasi yang salah
Kelebihan :
● Lebih hemat waktu dan biaya karena tidak memerlukan pemeriksaan ke dokter
● Membantu mengobati gejala penyakit ringan yang tidak perlu konsultasi ke dokter
● Meningkatkan kepercayaan diri terhadap pengobatan sehingga masyarakat
menjadi lebih aktif dan peduli terhadap kesehatan
● Bersifat aman apabila terapi yang diberikan sesuai dan digunakan sesuai petunjuk
Kekurangan :
● Memicu DRP (Drug Related Problem) seperti menimbulkan kesalahan
pengobatan, menimbulkan penyakit baru, menimbulkan reaksi obat yang tidak
diinginkan (alergi, resistensi, kejadian penyakit yang lebih parah)
● Pemborosan waktu dan biaya apabila terjadi salah pengobatan karena harus
mendapat terapi tambahan
● Penggunaan obat tidak sesuai karena pasien termakan informasi dari iklan
● Pengobatan tidak selalu cocok antara satu dengan yang lain karena pasien
mendapatkan informasi berdasarkan pengalaman orang lain
Dampak Swamedikasi yang Salah :
● Terjadi overdosis dan peningkatan resiko efek samping
● Apabila ada efek samping kepercayaan diri pasien menurun
● Bisa terjadi interaksi antara obat yang telah diminum dan obat yang akan dibeli
● Swamedikasi yang tidak tepat juga dapat menyebabkan reaksi obat yang
merugikan, overdosis, dan bahkan konsekuensi fatal.
● Pemborosan sumber daya, dan bahaya kesehatan yang serius
(Amaha, et al., 2019).
5. Apa saja kriteria dan jenis obat yang dapat diperoleh dengan swamedikasi?
Kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep tertuang dalam Permenkes Nomor
919/MENKES/PER/X/1993. Jenis obat lainnya yang dapat diberikan oleh apoteker dalam
praktek swamedikasi, diantaranya yaitu:
a. Jamu
Menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor : HK.00.05.41.1384 Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan
yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Jamu adalah obat
tradisional Indonesia.
b. Obat herbal terstandar
Menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor : HK.00.05.41.1384 Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan
alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji
praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi.
c. Fitofarmaka
Menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor : HK.00.05.41.1384 Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang
telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik
dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi.
d. Obat bebas
Menurut Ditjen Binfar (2007), Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di
pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan
etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.
e. Obat bebas terbatas
Menurut Ditjen Binfar (2007), Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya
termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep
dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan
etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna
hitam.

6. Bagaimana alur pelayanan swamedikasi di apotek?


Alur pelayanan swamedikasi di apotek menurut Afif (2015) adalah :
a. Menyapa pasien dengan senyum dan sapaan yang ramah;
b. Mendengarkan keluhan atau permintaan obat dari pasien;
c. Menggali informasi dari pasien (ASMETHOD, WWHAM), yang meliputi antara lain:
● untuk siapa obat tersebut;
● tempat timbulnya gejala penyakit;
● seperti apa rasanya gejala penyakit;
● kapan mulai timbul gejala dan apa yang menjadi pencetusnya;
● sudah berapa lama gejala dirasakan;
● ada tidaknya gejala penyerta;
● pengobatan yang sebelumnya telah dilakukan;
● obat lain yang dikonsumsi untuk pengobatan penyakit lainnya;
● ada tidaknya alergi obat, atau alergi lainnya;
● informasi lain sesuai kebutuhan.
d. Membuat keputusan : merujuk pasien ke dokter atau rumah sakit atau memberikan
terapi obat kepada pasien;
e. Memilih obat sesuai dengan kerasionalan dan kemampuan ekonomi pasien dengan
menggunakan obat bebas, obat bebas terbatas dan obat wajib apotek;
f. Memberikan informasi tentang obat yang diberikan kepada pasien meliputi :
● Nama obat;
● Tujuan pengobatan;
● Efek samping yang mungkin timbul;
● Cara penyimpanan;
● Serta hal – hal lain yang harus dilakukan maupun yang harus dihindari oleh
pasien untuk menunjang pengobatan;
● Bila sakit berlanjut atau lebih dari 3 hari, supaya menghubungi dokter atau
menghubungi apoteker apabila ada keluhan selama penggunaan obat.
g. Melayani obat untuk pasien, setelah pasien memahami hal-hal yang diinformasikan;
h. Mendokumentasikan data pelayanan swamedikasi yang telah dilakukan pada PMR
atau Patient Medication Record, bila diperlukan;
i. Menjaga kerahasiaan data pasien.
7. Bagaimana sanksi yang dapat diberikan terhadap warung yang menjual obat yang
ada di kasus?
Berdasarkan Undang undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 196 dinyatakan
bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pada 197 UU 36/2009 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak
memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp
1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Selain itu pada pada 198 dinyatakan bahwa bahwa setiap orang yang tidak memiliki
keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Praktik kefarmasian pada pasal 108 meliputi
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
KESIMPULAN
Swamedikasi merupakan upaya penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas dalam
pengobatan sendiri. Swamedikasi dilakukan untuk mengatasi keluhan dan penyakit ringan yang
banyak dialami masyarakat dan menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan
keterjangkauan pengobatan. Pelayanan swamedikasi telah diatur oleh Permenkes No.73 Tahun
2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Faktor yang yang mempengaruhi
seseorang untuk melakukan Swamedikasi yaitu, Pengalaman pribadi, rekomendasi orang lain,
faktor biaya, kemudahan proses, pendidikan, sosial dan gaya hidup, teknologi informasi dan
penghasilan. Terdapat beberapa kelebihan swamedikasi lebih hemat waktu dan biaya, membantu
mengobati gejala ringan, meningkatkan kepercayaan diri, dan bersifat aman. Swamedikasi juga
memiliki kekurangan yaitu memicu DRP, pemborosan waktu dan biaya, penggunaan obat tidak
sesuai, pengobatan tidak selalu cocok. Obat yang dapat diberikan saat swamedikasi oleh apoteker
diantaranya, Jamu, Obat herbal terstandar,Fitofarmaka,Obat bebas, Obat bebas terbatas. Metode
yang dapat dilakukan untuk memastikan swamedikasi sudah tepat yaitu dengan beberapa metode
seperti ASMETHOD,WWHAM, 3 Prime Questions.Hal tersebut (Swamedikasi) tidak lepas dari
peran Apoteker. Berdasarkan kasus diatas, pelayanan obat Swamedikasi tidak dilayani karena
terdapat indikasi penyalahgunaan.
DAFTAR PUSTAKA
Afif, A., 2015, Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Ketepatan Penggunaan Obat Analgetik
pada Swamedikasi Nyeri di Masyarakat Kabupaten Demak, Skripsi, Fakultas Farmasi,
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Amaha, M. H., Alemu, B. M., & Atomsa, G. E. 2019. Self-medication practice and associated
factors among adult community members of Jigjiga town, Eastern Ethiopia. PLoS ONE,
14(6), 1–14.
Andarwati, R. (2016). Hubungan Pengetahuan Melalui Iklan Obat (Maag) Terhadap
Sikap Pemilihan Obat Untuk Swamedikasi Pengobatan Maag Pada Masyarakat Di
Dusun V Desa Binjai Baru Kecamatan Talawi. Jurnal Ilmiah Pannmed
(Pharmacist, Analyst, Nurse, Nutrition, Midwifery, Environment, Dentist), 10
(3), 314–316.

Astuti, S.F., Nursyabania, L., Falih, M.J., Attamini, S.R., Rafli, M. and Musta’ina, S., 2020.
Sosialisasi Adaptasi Kebiasaan Baru Di Rt 5/Rw 11, Kelurahan Kalisari, Kecamatan
Pasar Rebo, Jakarta Timur Menghadapi Pandemi Covid-19. Jurnal Layanan Masyarakat
(Journal of Public Services), 4(2), pp.448-455.
Atmoko, B & Kurniawati, I., 2009, Swamedikasi Sebuah Respon Realistik Perilaku Konsumen
di Masa Krisis
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Obat
Bebas Terbatas.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
2007. Pedoman penggunaan obat bebas dan bebas terbatas. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Efayanti, E., Susilowati, T. and Imamah, I.N., 2019. Hubungan motivasi dengan perilaku
swamedikasi. Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 1(1), pp.21-32.
FIP, 1999. Joint Statement By The International Pharmaceutical Federation and The World
SelfMedication Industry: Responsible Self-Medication. FIP & WSMI, p.1-2.
KBBI.2022. https://kbbi.web.id/overdosis (Online) Diakses 02 Oktober 2022
Kepmenkes no 1176 tahun 1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 3
Nita, Y., 2008, Kinerja Apotek dan Harapan Pasien terhadap Pemberian Informasi Obat pada
Pelayanan Swamedikasi di beberapa apotek di Surabaya, Universitas Airlangga.
PIONAS. 2022. Antihistamin : Online. 3.4.1 Antihistamin | PIO Nas (pom.go.id) . Diakses
tanggal 3 Oktober 2022.
Purwadi, P., Ramadhan, P.S. and Safitri, N., 2019. Penerapan Data Mining Untuk Mengestimasi
Laju Pertumbuhan Penduduk Menggunakan Metode Regresi Linier Berganda Pada BPS
Deli Serdang. Jurnal SAINTIKOM (Jurnal Sains Manajemen Informatika dan Komputer),
18(1), pp.55-61.
Rizky, O.R.G.B., & Rostikarina, N.A., 2018 .HUBUNGAN ANTARA TINGKAT
PENGETAHUAN DAN PERILAKU SWAMEDIKASI PENGGUNAAN OBAT
ANTIBIOTIK (Amoxicillin) DI APOTEK “X” DI KECAMATAN SUKUN KOTA
MALANG. Akademi Farmasi Putra Indonesia: Malang
Supardi, S & Notosiswoyo, M., 2005, Pengobatan Sendiri Sakit Kepala, Demam, Batuk dan
Pilek pada Masyarakat di Desa Ciwalen, Jawa Barat
WHO. 1998. The role of the pharmacist in Self-Care and Self-Medication. The Hague, the
Netherlands : WHO, p.1-11

Anda mungkin juga menyukai