Anda di halaman 1dari 28

REFARAT

TETANUS NEONATORUM

Referat ini di buat untuk melengkapi persyaratan mengikuti


Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU. Haji Medan

Pembimbing :
dr. Tity Wulandari, M.ked (Ped), Sp.A

Disusun Oleh :
Robi Aziz (20360012)

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Paper ini untuk
memenuhi persyaratan kapaniteraan klinik senior di bagian stase ilmu kesehatan anak di
Rumah Sakit Haji Medan dengan judul ‘’ Tetanus Neonatorum’’ Shalawat dan salam tetap
terlafatkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah
membawa kita ke zaman yang penuh ilmu pengetahuan, beliau adalah figur yang senantiasa
menjadi contoh suri tauladan yang baik bagi penulis untuk menuju ridho Allah SWT.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen
pembimbing KKS dibagian Ilmu kesehatan anak. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan
Paper masih terdapat banyak kekurangan baik dalam cara penulisan maupun penyajian
materi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sehingga bermanfaat dalam penulisan paper selanjutnya.Semoga paper ini
bermanfaat bagi pembaca dan terutama bagi penulis.

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Medan, 02 Oktober 2021

Penulis
DAPTAR ISI
2.4 Faktor resiko……………………………………………………………….............9
2.5 Patofisiologi............................................................................................................
2.8 Mikrobiologi........................................................................................................17
2.9. Klasifikasi.............................................................................................................18
2.10 Diganosis ............................................................................................................19
2.11 Diagnosis banding...............................................................................................20
2.12 Prognosa...............................................................................................................22
2.13. Pencegahan ........................................................................................................23
2.13.1 Perawatan persalinan dan pasca persalina.........................................................23
2.14 Vaksin tetanus......................................................................................................24

BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus neonatorum merupakan suatu istilah yang digunakan untuk

mendeskripsikan terjadinya penyakit tetanus pada neonatus (bayi berusia 3-28 hari).

Tetanus neonatorum merupakan suatu penyakit yang berbahaya dan memilki tingkat

morbiditas yang tinggi. Data WHO tahun 2005 menunjukan Tetanus neonatorum

merupakan penyebab dari 14 % kematian neonatus di dunia.


Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman

clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan

diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot

masester dan otot rangka.

Clostridium tetani merupakan bakteri yang menyebabkan terjadinya penyakit

tetanus, di mana pada bayi baru lahir infeksi terutama terjadi melalui luka saat

pemotongan tali pusat atau akibat proses partus yang kurang steril. Proses partus dan

penanganan tali pusat yang kurang steril memungkinkan adanya infeksi bakteri

sehingga membahayakan baik bagi si bayi maupun ibu melahirkan. 1,3,4 Hal inilah

yang menyebabkan 90% kasus tetanus neonatorum terjadi di negara negara yang

kurang dan masih berkembang, di mana standar kesehatan masih sangat rendah dan

fasilitas kesehatan yang layak tidak tersedia atau terbatas.

Tetanus dapat mengakibatkan kesulitan menyusui dan menangis berlebihan

disusul kesulitan menelan, kekakuan tubuh dan spasme. Opistotonus dapat terjadi

sangat hebat atau tidak timbul sama sekali. Di negara-negara berkembang angka

kejadian tetanus neonatorum 85% dengan mortalitas akibat tetanus neonatorum akan

mendekati 100% terutama kasus dengan masa inkubasi pendek.

Kasus tetanus banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang

masih memiliki kondisi kesehatan rendah. Data organisasi kesehatan dunia WHO

menununjukkan kematian akibat tetanus di negara berkembang adalah 135 kali lebih
tinggi dibanding negara maju karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi

dan kebersihan selama proseskelahiran. Menurut laporan kerja WHO pada bulan

April 1994, dari 8,1 juta kematian bayi didunia, sekitar 42% kematian neonatal

disebabkan oleh infeksi tetanus neonatorum, sedangkan angka kejadian tetanus

neonatorum di Indonesia, pada tahun 1992 sebanyak 760 kasus,meninggal 478

dengan CFR 72,42%. Pada tahun 1995 sebanyak 806 kasus, meninggal 475kasus

dengan CFR 58,93%. Tahun 1996 terdapat 816 kasus, meninggal 499 dengan

CFR61,15%. Dan pada tahun 1997 terdapat 570 kasus, meninggal 106 dengan CFR

18,6%.Sejak tahun 1989,WHO memang mentargetkan eliminasi tetanus

neonatorum.Sebanyak 104 dari 161 negara berkembang telah mencapai keberhasilan

tersebut. Tetapi, karena tetanus neonatorum masih merupakan persoalan signifikan di

57 negara berkembang lain, maka UNICEF ,WHO dan UNFPA pada Desember 1999

setuju mengulur eliminasi hingga 2005

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium
tetani, bermanisfestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan otot

seluruh badan. Kekakuan tonus otot massater dan otot-otot rangka. Neonatus adalah bayi

baru lahir yang berusia di bawah 28 hari. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus

yang terjadi pada neonatus yang disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu bakteria yang

mengeluarkan toksin (racun) yang menyerang sistem saraf pusat. Tetanus neonatorum

merupakan penyebab kejang yang sering dijumpai pada bayi baru lahir yang bukan karena

trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang

antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatan yang tidak aseptik.

2.2 Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh infeksi neorutoksin (tetanospasmin) yang

dihasilkan bakteri Clostridium tetani pada masa neonatal. Umumnya infeksi terjadi akibat

proses partus dan penanganan tali pusat yang kurang steril. Penyakit ini khususnya terjadi

pada bayi dengan ibu yang belum mendapatkan imunisasi tetanus sebelumnya.

Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak,

ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah

satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.

Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan

pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran

hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik.

Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.

Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan


hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf

pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.

2.3. Epidemiologi

Tetanus neonatorum saat ini merupakan suatu penyakit yang dapat dikatakan

langka di banyak negara maju dan berkembang, di mana proses partus yang steril dan

pemberian vaksin tetanus secara umum telah disosialisasikan dan dilaksanakan

sebagai suatu prosedur kesehatan wajib. Amerika Serikat memilki insiden tetanus

neonatorum yang sangat rendah yaitu 0,01/1000 kelahiran sejak tahun 1967.5

Tetanus neonatorum terjadi sama banyaknya baik pada laki-laki maupun

wanita (1:1), usia ibu yang paling sering mengalami tetanus maternal adalah antara

usia 20-30 tahun (berbanding lurus dengan usia melahirkan terbanyak). 90 % kasus

tetanus neonatorum dan tetanus maternal terjadi pada partus yang dilakukan di luar

fasilitas kesehatan (di rumah, dukun, dsb)

Tetanus neonatorum memilki tingkat morbiditas yang tinggi, dimana > 50%

kasus tetanus neonatorum berakhir dengan kematian. Menurut data UNICEF, setiap 9

menit, seorang bayi meninggal akibat penyakit ini. WHO menyatakan bahwa tetanus

neonatorum merupakan poenyebab dari 14 % kematian neonatus di seluruh dunia.

Tetanus neonatorum dan tetanus maternal merupakan suatu kesatuan dan

dengan dieliminasinya tetanus neonatorum, maka tetanus pada ibu melahirkan secara
tidak langsung juga dieliminasi.5,6 Pada tahun 1989, WHO mencanangkan suatu

program dengan target pada tahun 1995, penyakit tetanus pada maternal-neonatus

dapat dieliminasi dan pada tahun 2005 penyakit ini bukan lagi sebuah masalah

kesehatan masyarakat dunia.8 Eliminasi dianggap tercapai jika jumlah kasus tetanus

neonatorum <1 kasus / 1000 kelahiran.6,8 Program ini meliputi program vaksin toxoid

tetanus dan penyediaan fasilitas kesehatan yang memenuhi standard dan sosialisasi

tentang penyakit ini di seluruh dunia.

Penurunan drastis kematian neonatus akibat tetanus berhasil dicapai sejak

diberlakukannya program WHO tersebut, di mana pada tahun 1980, menurut data

WHO dilaporkan 800.000 neonatus meninggal akibat tetanus, dan kemudian pada

tahun 2002 menurun menjadi 180.000 neonatus yang meninggal akibat penyakit ini. 9

Kasus tetanus neonatorum berkurang drastis setiap tahunnya dan pada tahun 2009,

jumlah kematian neonatus akibat tetanus adalah 61.000.

Indonesia walaupun belum berhasil mengeliminasi tetanus neonatorum ini, juga telah
berhasil menekan secara drastis jumlah kasus penyakit ini. Pada tahun 1980, jumlah
kematian akibat tetanus neonatorum di Indonesia adalah 71.000 (8 % dari total
kematian akibat tetanus neonatorum di seluruh dunia pada saat itu). 10 Pada tahun
2010, WHO menyatakan bahwa daerah Jawa dan Bali (59 % dari populasi Indonesia)
telah berhasil bebas dari tetanus neonatorum.11 Survey pada daerah-daerah lainnya
masih dalam proses, dan diharapkan pada tahun 2015, Indonesia secara keseluruhan
sudah bebas dari penyakit ini.12 Selain itu, menurut survey jumlah daerah yang
terlindungi dengan vaksin tetanus toxoid, Indonesia telah berhasil semakin sedikit
pula jumlah kasus tetanus neonatorum di negara tersebut, demikian juga sebaliknya.
2.4 Faktor Resiko

Terdapat 5 faktor resiko utama terjadinya tetanus neonatorum, yaitu:

a. Faktor Resiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik

Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan memyebabkan Clostridium

tetani lebih mudah berkembang biak. Kebanyakan penderita dengan gejala tetanus sering

mempunyai riwayat tinggal di lingkungan yang kotor. Penjagaan kebersihan diri dan

lingkungan adalah amat penting bukan saja dapat mencegah tetanus, malah pelbagai penyakit

lain.

b. Faktor Alat Pemotongan Tali Pusat

Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat meningkatkan risiko

penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian ini masih lagi berlaku di negara-negara

berkembang dimana bidan-bidan yang melakukan pertolongan persalinan masih

menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau sembilu untuk memotong tali pusat bayi

baru lahir.

c. Faktor Cara Perawatan Tali Pusat

Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang masih menggunakan

ramuan untuk menutup luka tali pusat seperti kunyit dan abu dapur. Seterusnya, tali pusat

tersebut akan dibalut dengan menggunakan kain pembalut yang tidak steril sebagai salah satu

ritual untuk menyambut bayi yang baru lahir. Cara perawatan tali pusat yang tidak benar ini

akan meningkatkan lagi risiko terjadinya kejadian tetanus neonatorum.

d. Faktor Kebersihan Tempat Pelayanan Persalinan


Kebersihan suatu tempat pelayanan persalinan adalah sangat penting. Tempat

pelayanan persalinan yang tidak bersih bukan saja berisiko untuk menimbulkan penyakit

pada bayi yang akan dilahirkan, malah pada ibu yang melahirkan. Tempat pelayanan

persalinan yang ideal sebaiknya dalam keadaan bersih dan steril.

e. Faktor Kekebalan Ibu Hamil

Ibu hamil yang mempunyai faktor kekebalan terhadap tetanus dapat membantu

mencegah kejadian tetanus neonatorum pada bayi baru lahir. Antibodi terhadap

tetanus dari ibu hamil dapat disalurkan pada bayi melalui darah, seterusnya

menurunkan risiko infeksi Clostridium tetani. Sebagian besar bayi yang terkena

tetanus neonatorum biasanya lahir dari ibu yang tidak pernah mendapatkan imunisasi

Tetanus Toksoid.

2.5 Patofisiologi

Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril akan

memudahkan spora Clostridium tetani masuk dari luka tali pusat dan melepaskan

tetanospamin. Tetanospamin akan berikatan dengan reseptor di membran prasinaps

pada motor neuron. Kemudian bergerak melalui sistem transpor aksonal retrograd

melalui sel-sel neuron hingga ke medula spinalis dan batang otak, seterusnya

menyebabkan gangguan sistim saraf pusat (SSP) dan sistim saraf perifer. Gangguan
tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya

neurotransmiter inhibisi, yaitu asam aminobutirat gama (GABA) dan glisin, sehingga

terjadi epilepsi, yaitu lepasan muatan listrik yang berlebihan dan berterusan, sehingga

penerimaan serta pengiriman impuls dari otak ke bagian-bagian tubuh terganggu.

Ketegangan otot dapat bermula dari tempat masuk kuman atau pada otot rahang dan

leher.

Clostridium tetani  masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka

dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk

vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah,

nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen..

Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka.

Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi

toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut

selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium

tetani.

Pada saat toksin masuk ke sumsum tulang belakang, kekakuan otot yang lebih

berat dapat terjadi. Dijumpai kekakuan ekstremitas, otot-otot dada, perut dan mulai

timbul kejang. Jika toksin mencapai korteks serebri, penderita akan mengalami

kejang spontan. Pada sistem saraf otonom yang diserang tetanospasmin akan

menyebabkan gangguan proses pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal,

pencernaan, perkemihan, dan pergerakan otot. Kekakuan laring, hipertensi, gangguan

irama jantung, berkeringat secara berlebihan (hiperhidrosis) merupakan penyulit


akibat gangguan saraf otonom. Kejadian gejala penyulit ini jarang dilaporkan karena

penderita sudah meninggal sebelum gejala tersebut timbul.

2.5.1 Penyebaran toksin

Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara,

sebagai berikut

1. Masuk ke dalam otot

Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke

otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam

susunan saraf pusat.

2. Penyebaran melalui sistem limfatik

Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus

limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah

sistemik.

3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah

Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun

dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh

darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya

penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh

darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan

pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena.


Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena

sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin

bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah,

sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan

saraf pusat.

4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)

Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara

retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan

autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus

motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf

inhibitor.

2.5.2 Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran


toksin:

 Tetanus lokal

o Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibodi terhadap

toksin tetanus yang masuk ke dalam darah, namun tidak cukup untuk

menetralisir toksin yang berada di sekitar luka

 Tetanus sefal

o Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala.

Otot-otot yang terkena adalah otot-otot yang dipersarafi oleh nukleus

motorik dari batang otak dan medula spinalis servikalis.


 Ascending Tetanus

o Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal

biasanya mengenai tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh

tubuh. Setelah terjadi tetanus lokal, toksin disekitar luka masuk cukup

banyak dengan cara asenderen masuk ke dalam SSP.

 Tetanus umum

o Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam

berbagai otot dan kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini

biasanya didahului trismus kemudian mengenai otot muka, leher,

badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini disebabkan panjang sistem

persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling pendek adalah

yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan mengenai

daerah lain sesuai urutan panjang saraf.

2.6 Tanda dan gejala pada tetanus

a) Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-21 hari

b) Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)

c) Kesukaran membuka mulut (trismus)

d) Kaku kuduk (epistotonus), kaku dinding perut dan tulang belakang

e) Saat kejang tonik tampak risus sardonikus


Neonatus yang terinfeksi Clostridium tetani masih menunjukkan perilaku seperti

menangis dan menyusui seperti bayi yang normal pada dua hari yang pertama. Pada

hari ke-3, gejala-gejala tetanus mula kelihatan. Masa inkubasi tetanus umumnya

antara 3 – 12 hari, namun dapat mecapai 1 – 2 hari dan kadang-kadang lama melebihi

satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis.

Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan

susunan saraf pusat, serta interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit; semakin

jauh tempat invasi, semakin panjang masa inkubasi. Gejala klinis yang sering dijumpai pada

tetanus neonatorum adalah:

a. Terjadinya kekakuan otot rahang sehingga penderita sukar membuka mulut. Kekakuan otot

pada leher lebih kuat akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut sedikit ternganga.

Kadang-kadang dapat dijumpai mulut mecucu seperti mulut ikan dan kekakuan pada mulut

sehingga bayi tak dapat menetek.

b. Terjadi kekakuan otot mimik muka dimana dahi bayi kelihatan mengerut, mata bayi agak

tertutup, dan sudut mulut bayi tertarik ke samping dan ke bawah.

c. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu

pada tumit dan belakang kepala. Jika dibiarkan secara berterusan tanpa rawatan, bisa terjadi

fraktur tulang vertebra.

d. Kekakuan pada otot dinding perut menyebabkan dinding perut teraba seperti papan. Selain

otot dinding perut, otot penyangga rongga dada (toraks) juga menjadi kaku sehingga

penderita merasakan kesulitan untuk bernafas atau batuk. Jika kekakuan otot toraks

berlangsung lebih dari 5 hari, perlu dicurigai risiko timbulnya perdarahan paru.
2.7 Komplikasi

1. Laringospasme yaitu spasme dari laring dan/atau otot pernapasan

menyebabkan gangguan ventilasi. Hal ini merupa

2. kan penyebab utama kematian pada kasus tetanus neonatorum.

3. Fraktur dari tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi otot

berlebihan yang terus menerus. Terutama pada neonatus, di mana

pembentukan dan kepadatan tulang masih belum sempurna

4. Hiperadrenergik menyebabkan hiperakitifitas sistem saaraf otonom yang

dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi yang pada akhirnya dapat

menyebabkan henti jantung (cardiac arrest). Merupakan penyebab kematian

neonatus yang sudah distabilkan jalan napasnya.

5. Sepsis akibat infeksi nosokomial (cth: Bronkopneumonia)

6. Pneumonia Aspirasi (sering kali terjadi akibat aspirasi makanan ataupun

minuman yang diberikan secara oral pada saat kejang berlangsung)

2.8 Mikrobiologi

Clostridium tetani merupakan suatu bakteri bersifat obligat anaerob, gram

positif, yang berasal dari genus Clostridium. Bakteri ini sering ditemukan pada

tanah dan sebagai parasit di traktus intestinal mamalia. Bakteri ini memiliki 2 fase

hidup, yang pertama adalah dalam bentuk vegetative dan kemudian memproduksi

endospora.
C. tetani dalam bentuk vegetatif berbentuk batang, rentan terhadap oksigen dan

sangat sensitif terhadap panas

gambar 1 Bentuk vegetative C tetan

Bakteri ini kemudian akan menghasilkan endospora yang kemudian memberikan

karakteristik khas dari bakteri ini. Setelah menghasilkan endospora, C. tetani

dapat berbentuk seperti stik drum dan dapat bertahan terhadap panas, bahkan

terhadap antiseptik. Clostridium tetani dalam bentuk spora dapat bertahan hingga

suhu 121oC selama 0-15 menit. Spora ini juga dapat bertahan terhadap berbagai

antiseptik. (cth: phenol). Bentuk spora ini lah yang umumnya bersifat infektif.

Pada pewarnaan gram, Clostridium tetani memberikan gambaran seperti raket

tenis.

2.9 Klasifikasi

Tabel 1. Klasifikasi tetanus berdasarkan tingkat keparahannya 18


Stadium Gejala Klinis
1. Ringan Trismus ringan, spastic tanpa spasme, tanpa disertai disfagia

2. Sedang Trismus sedang, spasme mulai muncul, disfagia ringan, mulai ada gangguan

respiratori, Jumlah napas > 30 x/menit


3. Berat Trismus berat, spastic dan spasme seluruh tubuh, disfagia berat, jumlah

napas >140x/menit, mulai muncul apneu dan sistem simpatis mulai tergang ditandai

takikardi >120x/menit
4. Sangat berat Stadium 3 ditambah dengan gangguan sistem saraf simpatis berat termasuk sistem

kardiovaskuler

2.10 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:

 Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat

luka.

 Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap

 Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot

perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.

 Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek.

 Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun

spontan dimana kesadaran tetap baik.

 Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada

rahang
 Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/L, peninggian tekanan otak,

deteksi kuman sulit

 Pemeriksaan ECG dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler

2.11 Diagnosis banding

Meningitis Demam, sakit kepala, perubahan

tingkat kesadaran, tanda iritasi

meningen (nuchal rigidity, kernig’s

sign positive)
Ensefalitis Demam (hiperpireksia), penurunan

kesadaran, muntah, kejang-kejang

bisa bersifat umum, fokal atau

twitching saja, paresis atau paralisis

dan afasia.
Tetani karena hipokalsemia Adanya spasme karpopedal
Trismus akibat proses lokal yang Biasanya trismus asimetris

disebabkan mastoiditis, otitis media

supuratif kronis (OMSK), abses

peritonsilar.
Rabies Dijumpai gejala hidrofobia dan

kesukaran menelan, pada anamnesis

terdapat riwayat digigit binatang

pada waktu epidemi.


2.12 Penatalaksanaan

1.   Berikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan Nacl fisiologis

(4:1) selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukkan obat. Jika pasien

telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan larutan

glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1.5% dalam perbandingan 4:1 (jika fasilitas ada

lebih baik periksa analisa gas darah terlebih dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum

mungkin diberi minum peroral/sonde, mellui infus diberikan tambahan protein dan

kalium.

2.      Diazepam awal dosis 2,5 mg IV perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian

diberikan dosis rumat 8-10 mg/kg BB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukkan ke

dalam cairan infus dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh

ditambah diazepam lagi 2,5 mg secara IV perlahan-lahan dan dalam 24 jam

berikutnya boleh diberikan tambahan diazepam 5 mg/kg BB/hari sehingga dosis

diazepam keseluruhannya menjadi 15 mg/kg BB/hari. Setelah keadaan klinis

membaik, diazepam diberikan peroral dan diturunkan secara bertahap. Pada pasien

dengan hiperbilirubinemia berat atau bila makin berat, diazepam diberikan per oral

dan setelah bilirubin turun boleh diberikan secara IV.

3.      ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus

diberikan 20.000 U sekaligus. Atau dapat diberikan Human Tetanus Immunoglobulin

(HTIG), untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis

tersebut diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat
menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf.

Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan dapat

digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat

hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline

sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat

merupakan kontraindikasi pemberian secara IM.

4.      Ampicilin 100 mg/kg BB/hari dibagi dalam  4 dosis IV selama 10 hari. Bila

pasien menjadi sepsis, pengobatan seperti pasien sepsis linnya. Bila pungsi lumbal

tidak dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis

bakterialis.

5.      Tali pusat dibersihkan/dikompres dengan alkohol 70% atau betadine 10%.

6.      Perhatikan jalan nafas dan tanda-tanda vital lainnya, bila perlu berikan oksigen

2.13 Prognosis

Prognosis bergantung pada masa inkubasi, waktu yang dibutuhkan dari

inokulasi spora hingga gejala muncul, dan waktu dari pertama kali munculnya gejala

hingga spasme tetanik yang pertama. 29 Statistik terbaru menunjukkan tingkat

mortalitas pada tetanus ringan-sedang mencapai 6%. Sedangkan tetanus berat

memiliki tingkat mortalitas 60%.


Suatu sistem penilaian untuk menilai prognosis dari tetanus dibuat oleh

sebuah tim dari Senegal.30 Semakin tinggi nilai yang didapat, semakin buruk

prognosisnya

Tabel 4. Sistem skor untuk menentukan prognosis Tetanus

Nomo Faktor Prognosis 1 point 0 point

r
1 Masa Inkubasi < 7 hari >7 hari

2 Masa Onset < 2 hari >2hari

3 Situs masuk kuman (port of entry) Umbilikus, uterus, Situs lain atau tidak

luka bakar, fraktur diketahui

terbuka, injeksi

intramuskular
4 Spasme yang muncul mendadak, Ya Tidak

dan bertambah buruk (paroxysm)

5 Suhu (diukur melalui rectal) >38,4o C ≤38,4o C

6 Nadi : pada dewasa : > 120x/menit <120x/menit

pada neonatus : > 150x/ menit <150x/menit

2.14 Pencegahan pada Tetanus


2.14.1 Perawatan persalinan dan pasca persalinan

Perawatan persalinan dan pasca persalinan yang bersih dan steril secara

signifikan dapat menurunkan jumlah infeksi perinatal, termasuk di dalamnya tetanus

neonatorum. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah :

1. Proses persalinan yang steril yang didukung tenaga medis dan peralatan medis

yang mendukung (memastikan kebersihan tangan, tali pusat, perineum, dan

semua substans yang digunakan)

2. Pendidikan dan pengarahan tentang pentingnya persalinan yang steril dan

sosialisasi vaksinasi tetanus pada ibu hamil khususnya yang belum mendapat

vaksinasi atau dengan riwayat vaksinasi yang belum jelas

3. Imunisasi pada ibu hamil merupakan fokus primer dalam pencegahan tetanus

neonatorum.

2.15 Vaksin tetanus

Vaksin terdiri dari mikroorganisme atau komponen seluler yang bertindak

sebagai antigen. Pemberian vaksin menstimulasi produksi antibodi dengan protein

spesifik. Pemberian vaksin tetanus toksoid dilakukan untuk profilaksis jika riwayat

vaksin tidak diketahui atau kurang dari 3 kali imunisasi TT (Hinfey, 2011).

Imunisasi tetanus pada wanita masa subur (12 atau 15 tahun sampai 45 tahun)

atau sedang mengandung merupakan cara pencegahan tetanus neonatorum yang

paling mudah dan efektif. Melalui imunisasi tetanus lengkap, proteksi terhadap

infeksi tetanus mencapai lebih dari 90%.


Wanita tanpa adanya riwayat imunisasi tetanus harus diberikan dua dosis

tetanus toxoid (TT) atau difteri tetanus toxoid (Td) atau DPT (difteri pertusis tetanus)

dengan jarak antar dosis minimal 4 minggu. Dosis ke 3 diberikan 6-12 bulan

kemudian, dosis ke 4 satu tahun sesudah pemberian dosis ke 3, dan dosis ke 5, 1

tahun setelah pemberian dosis ke 4.

Pada wanita yang sudah pernah diimunisasi 1 kali baik dengan TT, Td, atau

DPT, dapat diberikan booster setiap 10 tahun.

Pada wanita hamil dengan riwayat imunisasi yang jelas, harus diberikan

vaksin pertama secepatnya dan disusuli oleh dosis ke 2 maksimal 3 minggu sebelum

melahirkan.

Wanita yang sudah mendapat 2 dosis vaksin pada kehamilan sebelumnya

harus diberikan dosis ke 3 pada kehamilan berikutnya. Dosis ke 3 ini dapat

memberikan perlindungan hingga 5

Tahun

Tabel 2.7 Rekomendasi jadwal imunisasi tetanus toxoid (TT) dan tetanus dan

difteri toxoid (Td) untuk wanita pada masa subur yang belum divaksinasi

Dosis Jadwal Pemberian


Pada kontak pertama atau sedini mungkin saat
TT1 atau Td1
kehamilan
TT2 atau Td2 Paling sedikit 4 minggu setelah dosis pertama
6-12 bulan setelah dosis kedua atau pada kehamilan
TT3 atau Td3
berikutnya
TT4 atau Td4 1-5 tahun setelah dosis ketiga atau saat kehamilan
berikutnya
1-10 tahun setelah dosis keempat atau saat kehamilan
TT5 atau Td5
berikutnya

Tabel 2.8 Efikasi vaksin tetanus toxoid berdasarkan dosis

Interval minimum
Dosis Percent protected Durasi proteksi
antar dosis
TT1 - - -
TT2 4 minggu 80% 3 tahun
TT3 6 bulan 95% 5 tahun
TT4 1 tahun 99% 10 tahun
TT5 1 tahun 99% Mungkin seumur hidup

BAB III

KESIMPULAN

Tetanus yang disebabkan oleh basil Clostridium tetani merupakan penyakit


yang telah dikenal sejauh peradaban manusia, tetapi sampai sekarang belum berhasil

dieradikasi karena sifat alami spora bakteri tersebut yang hidup dalam tanah dan feses

hewan. Tetanus pada neonatus disebabkan spora Clostridium tetani yang masuk

melalui luka tali pusat yang tidak memenuhi syarat kebersihan. Perjalanan

penyakitnya seperti pada tetanus anak tetapi lebih cepat dan berat.

Prognosis bergantung pada masa inkubasi, waktu yang dibutuhkan dari

inokulasi spora hingga gejala muncul, dan waktu dari pertama kali munculnya gejala

hingga spasme tetanik yang pertama. 29 Statistik terbaru menunjukkan tingkat

mortalitas pada tetanus ringan-sedang mencapai 6%. Sedangkan tetanus berat

memiliki tingkat mortalitas 60%. Tetanus dapat dicegah melalui pemberian imunisasi

aktif tetanus toksoid, higiene persalinan yang baik, dan manajemen perawatan luka

yang adekuat.

DAPTAR PUSTAKA

1. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis.

Dalam : Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman


Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung,

2005 ; 209-213.

2. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical

Neurology. Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871.

3. WHO. 2018. Weekly Epidemiological Record. Geneva: WHO

4. World Health Organization. Bulletin of the World Health Organization

2008;86 (5):321–46.

5. Maternal and Neonatal Tetanus. Diambil dari website UNICEF:

http://www.unicefusa.org/work/health/tetanus/

6. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan

Dokter Anak Indonesia.

7. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson

Textbook of Pediatrics Vol 1” 17th edition W.B. Saunders Company. 2004.

Anda mungkin juga menyukai