Anda di halaman 1dari 15

PAPER

TRAUMA KAPITIS
Oleh :
Carvin Herryanto
110100204

Pembimbing :
dr. Chairil Amin, Sp. S

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2015

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Trauma kepala adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak

langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis,


bahkan kematian. Pada umumnya trauma kepala terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
dengan

kendaraan

bermotor,

jatuh/tertimpa

benda

berat

(benda

tumpul),

serangan/kejahatan (benda tajam), pukulan (kekerasan), akibat tembakan, dan


pergerakan mendadak sewaktu berolahraga. (Chusid, J.G. 1993).
Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh
dunia, khususnya di negara berkembang. Menurut World Health Organization (WHO)
pada tahun 2006 kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian urutan
kesebelas di seluruh dunia, menelan korban jiwa sekitar 1,2 juta manusia setiap tahun.
(Depkes RI, 2007)
Kecelakaan lalu lintas dapat mengakibatkan berbagai trauma. Trauma yang
paling banyak terjadi pada saat kecelakaan lalu lintas adalah trauma kepala. Trauma
kepala akibat kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama disabilitas dan
mortalitas di negara berkembang. Keadaan ini umumnya terjadi pada pengemudi
motor tanpa helm atau memakai helm yang kurang tepat dan yang tidak memenuhi
standar. (Depkes RI, 2009)
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004, Case Fatality Rate
(CFR) trauma akibat kecelakaan lalu lintas tertinggi dijumpai di beberapa negara
Amerika Latin (41,7%), Korea Selatan (21,9%), dan Thailand (21,0%). Menurut
Gillian yang dikutip oleh Basuki (2003) di Amerika Serikat terdapat 500.000 kasus
cedera kepala setiap tahunnya, kurang lebih 18-30% meninggal dalam 4 jam pertama
sebelum sampai ke rumah sakit. (Basuki, 2003)
Trauma kepala merupakan kedaruratan neurologik yang memiliki akibat yang
kompleks, karena kepala merupakan pusat kehidupan seseorang. Di dalam kepala
terdapat otak yang mempengaruhi segala aktivitas manusia, bila terjadi kerusakan
akan mengganggu semua sistem tubuh. Penyebab trauma kepala yang terbanyak

adalah kecelakaan bermotor (50%), jatuh (21%) dan cedera olahraga (10%). Angka
kejadian trauma kepala yang dirawat di rumah sakit di Indonesia merupakan
penyebab kematian urutan kedua (4,37%) setelah stroke, dan merupakan urutan
kelima (2,18%) pada 10 pola penyakit terbanyak yang dirawat di rumah sakit di
Indonesia. (Depkes RI, 2007)
Menurut catatan Sistim Administrasi Satu Atap (SAMSAT) Polda Metro Jaya
(2006), pada tahun 2002 tercatat 1.220 kejadian kecelakaan, pada tahun 2005 angka
kecelakaan mencapai 4.156 kejadian (Insiden Rate Kecelakaan Lalulintas = 1,89 per
100.000 penduduk), dan tahun 2006 tercatat 4.407 kecelakaan, sedangkan menurut
catatan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, pada bulan November 2007 terdapat
sebanyak 111 kejadian kecelakaan yang mengakibatkan 13 orang meninggal dunia
dengan Case Fatality Rate 11,7%. (Depkes RI, 2007)
Berdasarkan data Profil Kesehatan Kota Medan penyakit trauma kepala
selama kurun waktu 3 tahun (2005-2007) berada pada peringkat kedua dari 10
penyakit terbesar yang menyebabkan kematian di seluruh rumah sakit kota Medan
dengan CFR (4,37%), dan selama kurun waktu 3 tahun (2005-2007) berada pada
peringkat kelima dari 10 penyakit terbesar di seluruh rumah sakit rawat inap kota
Medan dengan CFR ( 2,18%) (Depkes RI, 2008)

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi Trauma Kapitis


Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung

ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu


gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen
(PERDOSSI, 2006 dalam Asrini, 2008 ).
2.2

Klasifikasi Trauma Kapitis


Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai

aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme,


beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara
spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15,
sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak
membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama
dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera
otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 913 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15
dikategorikan sebagai cedera otak ringan.

Cara penilaian Glasgow Coma Scale (GCS) :


Eye Opening
Spontaneous
Speech
Pain
Pain

Opens eyes on own


Opens eyes when asked to in a loud voice
Opens eyes upon pressure
Does not open eyes

E4
3
2
1

Motor Response

Commands

Follows simple commands

Pain

Pulls examiners hand away


upon pressure

Pain

Pulls a part of body away upon


pressure

Pain

Flexes body inappropriately to


pain (decorticate posturing)

Pain

Body becomes rigid in an


extended position upon
pressure (decerebrate
posturing)

Pain

Has no motor response

M6

Verbal Response

Speech
Speech

Carries on a conversation correctly and


tells examiner where he/she is, who
he/she is and the month and year

V5

Seems confused or disoriented

Speech

Talks so examiner can understand


victim but makes no sense

Speech

Makes sounds that examiner cannot


understand

Makes no noise

Speech

( Sumber : Brain Injury Association of Michigan, 2005 )

Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari


Traumatic Brain Injury yaitu :

Kehilangan kesadaran < 20 menit


Ringan

Amnesia post traumatik < 24 jam


GCS = 13 - 15
Kehilangan kesadaran 20 menit dan 36 jam

Sedang

Amnesia post traumatik 24 jam dan 7 hari


GCS = 9 - 12
Kehilangan kesadaran > 36 jam

Berat

Amnesia post traumatik > 7 hari


GCS = 3 - 8

( Sumber : Brain Injury Association of Michigan , 2005)


3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone
window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar
tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit
kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur
tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi
cukup berat.
b. Lesi IntraKranial
1. Cedera otak difus

Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang
sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin
mengalami amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat biasanya
diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode
apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering
menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan
abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk
mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara
mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi
klinisnya.
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak
di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini
terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan
otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.
4. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri
dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral
yang membutuhkan tindakan operasi.
2.3

Patofisiologi Trauma Kapitis


Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera

primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung
kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan
kepala ( Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk, 2009 ).

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut
lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi,
sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi
kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan
akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi
rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk
dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan
rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi
kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan
countrecoup ( Mardjono dan Sidharta, 2008 ).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak
lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa
otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009). Kerusakan sekunder
terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang
menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder
terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali
jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat
diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan
aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang
berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada
suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan
terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya
kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003 ).
2.4

Diagnostik Trauma Kapitis


2.4.1
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara
lain:
1. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran,
yaitu : pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing
komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3
sedangkan nilai tertinggi adalah 15. Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan
untuk mengkategorikan pasien menjadi

GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat

GCS 9 13 : cedera kepala sedang

GCS > 13 : cedera kepala ringan


Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali
pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat
kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai
apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.

2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal.
Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf
okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan
akibat dari cedera kepala.
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,
kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus
dicatat.
4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman leaserasi
dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk
menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.

2.4.2 Pemeriksaan Penunjang (Imaging)


a. X-ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak
atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT
scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray
tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada ( State of Colorado Department of
Labor and Employment, 2006).
b. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam
memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam
Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada
penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih
rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan
penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti
bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih baik,
selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang lesi baru pada
40% dari penderita (Roberson dkk, 1997 dalam Sastrodiningrat, 2007). Di samping itu
pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur
area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi
seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2007 ).
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa.
MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput
pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada
hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa
yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal
normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam
Sastrodiningrat, 2007). Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy
(MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang
sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan
cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih

berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan
substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa
cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat
menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada
penderita cedera kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).
2.5

2.6

Penatalaksanaan
2.5.1 Penatalaksanaan Umum
a. Observasi GCS
b. Observasi Vital Sign
c. 02 4-6 L/ min
d. IVFD NaCl 0,9% (30-40 cc/ kgBB)
e. Analgesik
f. Pasang NGT & Kateter
2.5.2 Penatalaksanaan dengan peninggian TIK
a. Head up 30 derajat
b. Hiperventilasi ringan 15-30 menit
c. Manitol dengan dosis 0,25 - 2 gr/ kgBB/ pemberian tiap 4 - 6 jam
2.5.3 Indikasi rawat bagi pasien cedera kepala yaitu :
a. Penurunan kesadaran
b. Nyeri kepala (dari sedang hingga berat)
c. Fraktur tulang tengkorak
d. Cedera penetrasi
e. Intoksikasi alkohol atau obat
f. Trauma multiple
g. Hasil CT Scan abnormal
h. Amnesia
i. Tidak ada keluarga
Prognosis
Berdasarkan

penelitian

yang

dilakukan

oleh

MRC

CRASH

Trial

Collaborators (2008), Umur yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak
reaktif, dan terdapatnya cedera ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya
prognosis.
Skor Glasgow Coma Scale menunjukkan suatu hubungan linier yang jelas terhadap
mortalitas pasien. Adapun ditemukannya angka mortalitas yang lebih rendah pada
GCS 3 dibandingkan dengan GCS 4 mungkin disebabkan skor pasien yang di sedasi
dianggap sebagai 3.

Relasi antara
mortalitas

Gambar 2.1
GCS dengan
pada 14 hari

BAB 3
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Trauma kapitis adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak

langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis. Terdapat banyak cara untuk mengklasifikasikan
keparahan dari trauma kapitis. Glasgow Coma Scale adalah salah satu cara
menentukan keparahan dan paling sering digunakan secara klinis. Glasgow Coma
Scale didasari pada respon pasien terhadap pembukaan mata, fungsi verbal dan
berbagai fungsi atau respon motorik terhadap berbagai stimulus.

Glasgow Coma Scale merupakan suatu sistem skoring yang telah


distandarisasi untuk menilai status neurologis pasien dengan trauma kapitis. Nilai
GCS yang akurat dipergunakan untuk pengobatan langsung dan untuk prediksi
outcome pasien. Nilai GCS yang akurat hanya bisa didapat setelah resusitasi tetapi
sebelum diberikan sedasi ataupun intubasi. GCS juga merupakan faktor prediksi yang
kuat dalam menentukan prognosa. Nilai tertinggi dari pemeriksaan Glasgow Coma
Scale adalah 15 dan terendah adalah 3. Berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale,
cedera kepala dapat dibagi atas : Cedera kepala ringan yang dinyatakan dengan GCS
14-15, cedera kepala sedang yang dinyatakan dengan GCS 9-13, dan cedera kepala
berat yang dinyatakan dengan GCS 8.
Penatalaksanaan awal yang dilakukan adalah bertujuan untuk mengurangi dan
meminimalkan cedera yang dialami yang dilakukan dengan memberikan pertolongan
pertama : airway, breathing, circulation. Langkah penatalaksanaan selanjutnya adalah
sesuai dengan skor GCS dan gambaran imaging yang didapatkan. Komplikasi dapat
terjadi akibat pengobatan yang tidak sempurna atau pengobatan yang terlambat.
Pasien dengan skor GCS yang rendah pada awal cedera berhubungan dengan
prognosa yang buruk.

DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons, 2004. Cedera Kepala dalam : American College of
Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter. IKABI, 167 186.
Asrini,S., 2008. Peranan Post Traumatic Amnesia (PTA) dan Parameter
Laboratorium sebagai Prediktor Terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis
Akut Ringan Sedang. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran USU/RSUP H.
Adam Malik. Available from : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6415.
[Accessed 20 April 2015]
Brain Injury Association of Michigan, 2005. Traumatic Brain Injury Provider
Training Manual. Michigan Department Of Community Health
Burns, J.Jr., and Hauser, W.A., 2003. The Epidemiology of Traumatic Brain Injury : A
Review. Epilepsia, Suppl 10 : 2-10.

Dahlan, M. Sopiyudin., 2008. Langkah-langkah Membuat Proposal Penelitian


Bidang Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Sagung Seto.
Dawodu, S., T., 2009. Traumatic Brain Injury (TBI)-Definition, Epidemiology,
Pathopysiology.Available from :www.medscape.com/viewarticle/706300 [Accessed
20 April 2015 ]
Division of Workers Compensation, 2006. Traumatic Brain Injury Medical Treatment
Guidelines. State of Colorado Department of Labor and Employment
Farghaly, A., El-Khayat, R., Awad, W., George, S., 2007. Head Injury in Road Traffic
Accidents. Faculty of Medicine Assiut University.
Greaves, I., and Johnson, G., 2002. Head And Neck Trauma. Dalam : Greaves, I., and
Johnson, G. Practical Emergency Medicine. Arnold, 233 245.
Japardi, I.,2004. Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.
Jennet, B., 2005. Development of Glasgow Coma and Outcome Scale. Nepal Journal
of Neuroscience 2 : 24-28, 2005.
Kirsch, T.D., and Lipinski, C.A., 2004. Head Injury. Dalam : Tintinalli, J.E., Kelen,
G.D., and Stapczynski, J.S., Emergency Medicine A Compeherensive Study Guide.
McGraw-Hill, 1557 1569.
Lombardo, M.C.,2006. Cedera Sistem Saraf Pusat. Dalam : Price, S.A., dan
Wilson,L.M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC.
Mardjono, M., dan Sidharta, P.,2008.Mekanisme Trauma Susunan Saraf Pusat.
Dalam : Mardjono, M., dan Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian
Rakyat, 250 - 260.
MRC CRASH Trial Collaborator, 2008. Predicting Outcome After Traumatic Brain
Injury : practical prognostic models based on large cohort of international patients.
BMJ,
336
:
425

429.
Available
from
:
http://www.bmj.com/cgi/content/full/bmj.39461.643438.25
National Center for Injury Prevention and Control, 2007. Traumatic Brain Injury.
Center
for
Disease
Control
and
Prevention.
Available
from
:
http://www.cdc.gov/ncipc/factsheets/tbi.htm. [Accessed 20 April 2015].
Nicholl, J., and LaFrance, W.C., 2009. Neuropsychiatric Sequelae of Traumatic Brain
Injury.
Semin
Neurol
,29(3)
:
247255.
Available
from
:
www.medscape.com/viewarticle/706300. [Accessed 20 April 2015].
Riyadina, W., 2009. Profil Cedera Akibat Jatuh, Kecelakaan Lalu Lintas dan Terluka
Benda Tajam/Tumpul pada Masyarakat Indonesia. Jur. Peny Tdk Mlr Indo,
Vol.1.1.2009 : 1-11.

Anda mungkin juga menyukai