TRAUMA KAPITIS
Oleh :
Carvin Herryanto
110100204
Pembimbing :
dr. Chairil Amin, Sp. S
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Trauma kepala adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak
kendaraan
bermotor,
jatuh/tertimpa
benda
berat
(benda
tumpul),
adalah kecelakaan bermotor (50%), jatuh (21%) dan cedera olahraga (10%). Angka
kejadian trauma kepala yang dirawat di rumah sakit di Indonesia merupakan
penyebab kematian urutan kedua (4,37%) setelah stroke, dan merupakan urutan
kelima (2,18%) pada 10 pola penyakit terbanyak yang dirawat di rumah sakit di
Indonesia. (Depkes RI, 2007)
Menurut catatan Sistim Administrasi Satu Atap (SAMSAT) Polda Metro Jaya
(2006), pada tahun 2002 tercatat 1.220 kejadian kecelakaan, pada tahun 2005 angka
kecelakaan mencapai 4.156 kejadian (Insiden Rate Kecelakaan Lalulintas = 1,89 per
100.000 penduduk), dan tahun 2006 tercatat 4.407 kecelakaan, sedangkan menurut
catatan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, pada bulan November 2007 terdapat
sebanyak 111 kejadian kecelakaan yang mengakibatkan 13 orang meninggal dunia
dengan Case Fatality Rate 11,7%. (Depkes RI, 2007)
Berdasarkan data Profil Kesehatan Kota Medan penyakit trauma kepala
selama kurun waktu 3 tahun (2005-2007) berada pada peringkat kedua dari 10
penyakit terbesar yang menyebabkan kematian di seluruh rumah sakit kota Medan
dengan CFR (4,37%), dan selama kurun waktu 3 tahun (2005-2007) berada pada
peringkat kelima dari 10 penyakit terbesar di seluruh rumah sakit rawat inap kota
Medan dengan CFR ( 2,18%) (Depkes RI, 2008)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
E4
3
2
1
Motor Response
Commands
Pain
Pain
Pain
Pain
Pain
M6
Verbal Response
Speech
Speech
V5
Speech
Speech
Makes no noise
Speech
Sedang
Berat
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang
sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin
mengalami amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat biasanya
diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode
apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering
menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan
abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk
mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara
mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi
klinisnya.
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak
di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini
terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan
otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.
4. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri
dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral
yang membutuhkan tindakan operasi.
2.3
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung
kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan
kepala ( Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk, 2009 ).
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut
lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi,
sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi
kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan
akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi
rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk
dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan
rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi
kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan
countrecoup ( Mardjono dan Sidharta, 2008 ).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak
lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa
otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009). Kerusakan sekunder
terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang
menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder
terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali
jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat
diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan
aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang
berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada
suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan
terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya
kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003 ).
2.4
Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara
lain:
1. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran,
yaitu : pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing
komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3
sedangkan nilai tertinggi adalah 15. Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan
untuk mengkategorikan pasien menjadi
2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal.
Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf
okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan
akibat dari cedera kepala.
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,
kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus
dicatat.
4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman leaserasi
dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk
menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.
berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan
substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa
cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat
menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada
penderita cedera kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).
2.5
2.6
Penatalaksanaan
2.5.1 Penatalaksanaan Umum
a. Observasi GCS
b. Observasi Vital Sign
c. 02 4-6 L/ min
d. IVFD NaCl 0,9% (30-40 cc/ kgBB)
e. Analgesik
f. Pasang NGT & Kateter
2.5.2 Penatalaksanaan dengan peninggian TIK
a. Head up 30 derajat
b. Hiperventilasi ringan 15-30 menit
c. Manitol dengan dosis 0,25 - 2 gr/ kgBB/ pemberian tiap 4 - 6 jam
2.5.3 Indikasi rawat bagi pasien cedera kepala yaitu :
a. Penurunan kesadaran
b. Nyeri kepala (dari sedang hingga berat)
c. Fraktur tulang tengkorak
d. Cedera penetrasi
e. Intoksikasi alkohol atau obat
f. Trauma multiple
g. Hasil CT Scan abnormal
h. Amnesia
i. Tidak ada keluarga
Prognosis
Berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan
oleh
MRC
CRASH
Trial
Collaborators (2008), Umur yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak
reaktif, dan terdapatnya cedera ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya
prognosis.
Skor Glasgow Coma Scale menunjukkan suatu hubungan linier yang jelas terhadap
mortalitas pasien. Adapun ditemukannya angka mortalitas yang lebih rendah pada
GCS 3 dibandingkan dengan GCS 4 mungkin disebabkan skor pasien yang di sedasi
dianggap sebagai 3.
Relasi antara
mortalitas
Gambar 2.1
GCS dengan
pada 14 hari
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Trauma kapitis adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis. Terdapat banyak cara untuk mengklasifikasikan
keparahan dari trauma kapitis. Glasgow Coma Scale adalah salah satu cara
menentukan keparahan dan paling sering digunakan secara klinis. Glasgow Coma
Scale didasari pada respon pasien terhadap pembukaan mata, fungsi verbal dan
berbagai fungsi atau respon motorik terhadap berbagai stimulus.
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons, 2004. Cedera Kepala dalam : American College of
Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter. IKABI, 167 186.
Asrini,S., 2008. Peranan Post Traumatic Amnesia (PTA) dan Parameter
Laboratorium sebagai Prediktor Terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis
Akut Ringan Sedang. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran USU/RSUP H.
Adam Malik. Available from : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6415.
[Accessed 20 April 2015]
Brain Injury Association of Michigan, 2005. Traumatic Brain Injury Provider
Training Manual. Michigan Department Of Community Health
Burns, J.Jr., and Hauser, W.A., 2003. The Epidemiology of Traumatic Brain Injury : A
Review. Epilepsia, Suppl 10 : 2-10.
429.
Available
from
:
http://www.bmj.com/cgi/content/full/bmj.39461.643438.25
National Center for Injury Prevention and Control, 2007. Traumatic Brain Injury.
Center
for
Disease
Control
and
Prevention.
Available
from
:
http://www.cdc.gov/ncipc/factsheets/tbi.htm. [Accessed 20 April 2015].
Nicholl, J., and LaFrance, W.C., 2009. Neuropsychiatric Sequelae of Traumatic Brain
Injury.
Semin
Neurol
,29(3)
:
247255.
Available
from
:
www.medscape.com/viewarticle/706300. [Accessed 20 April 2015].
Riyadina, W., 2009. Profil Cedera Akibat Jatuh, Kecelakaan Lalu Lintas dan Terluka
Benda Tajam/Tumpul pada Masyarakat Indonesia. Jur. Peny Tdk Mlr Indo,
Vol.1.1.2009 : 1-11.