Anda di halaman 1dari 46

BAB 1

PENDAHULUAN

Tuberkulosis peritonitis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberkulosis yang berasal dari peritoneum, penyakit ini jarang berdiri

sendiri dan biasanya merupakan kelanjutan dari proses tuberkulosis di tempat lain

terutama dari tuberkulosis paru, namun sering ditemukan bahwa pada waktu diagnosa

ditegakkan proses tuberkulosis di paru sudah tidak terlihat lagi. Hal ini bisa terjadi

karena proses tuberkulosis di paru mungkin sudah menyembuh sedangkan

penyebarannya masih berlangsung ditempat lain.1

Tuberkulosis peritonitis jarang di jumpai dan sangat jarang ditemukan di negara

maju, tetapi tidak jarang ditemukan di negara dengan prevalensi tuberkulosis tinggi,

termasuk di negara-negara berkembang dan terbelakang, terutama di negara dengan

pandemi HIV dan peningkatan imigrasi. Di Amerika Serikat, Tuberkulosis

mempunyai prevalensi yang relatif rendah, dan kebanyakan pasien yang baru di

diagnosis adalah mereka yang berasal dari luar Amerika Serikat (imigran). Pada

negara-negara industri, tuberkulosis meningkat pada populasi imigran dan pada

pasien yang menderita AIDS dan mereka yang sedang menjalani terapi

immunosupresan. 4

Tuberkulosis peritonitis diperkirakan terjadi pada 0,1% sampai 3,5% dari

mereka dengan TB paru aktif dan mewakili 4% sampai 10% dari semua TB ekstra

paru. Kasus Tuberkulosis peritonitis sering pada individu kurang dari 40 tahun dan

1
sering terjadi pada perempuan berumur 40 tahun. Individu dengan penyakit HIV,

sirosis, diabetes, keganasan, dan mereka yang terus menerus menjalani dialisis

merupakan kelompok resiko tinggi menderita tuberkulosis peritonitis.5

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Tuberkulosis peritonitis merupakan suatu peradangan pada peritoneum parietal

atau viseral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, dan terlihat

pada penyakit ini sering mengenai seluruh peritoneum, alat-alat sistem

gastrointestinial, mesenterium, dan organ genitalia interna.1

2.2 ETIOLOGI

Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus

atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran

lebar 0,3 – 0,6 µm dan panjang 1 – 4 µm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks,

terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel

M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa

dimikolat yang disebut “cord factor”, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan

dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90)

yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan

peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada diniding sel

bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan.

Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebebkan bakteri M.tuberculosis

bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya penghilangan

zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol.10

3
2.3 INSIDENSI

Tuberkulosis peritoneal lebih sering dijumpai pada wanita disbanding pria

dengan perbandingan 1,5:1 dan lebih sering decade ke 3 dan 4. Tuberkulosis

peritoneal dijumpai 2 % dari seluruh Tuberkulosis paru dan 59,8% dari tuberculosis

Abdominal.18 Di Amerika Serikat penyakit ini adalah keenam terbanyak diantara

penyakit extra paru sedangkan peneliti lain menemukan hanya 5-20% dari penderita
19
tuberkulosis peritoneal yang mempunyai TB paru yang aktif. Pada saat ini

dilaporkan bahwa kasus tuberculosis peritoneal di negara maju semakin meningkat

dan peningkatan ini sesuai dengan meningkatnya insiden AIDS di negara maju. 1 Di

Asia dan Afrika dimana tuberculosis masih banyak dijumpai, tuberculosis peritoneal

masih merupakan masalah yang penting. 18

Penelitian di Rumah Sakit King Edward III Durban Afrika selatan menemukan

145 kasus tuberculosis peritoneal selama periode 5 tahun (1984-1988) dengan cara

peritonoskopi.18 Penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta selama

periode 1968-1972 ditemukan sebanyak 15 kasus dan pada periode 1975-1979

ditemukan sebanyak 30 kasus tuberkulosa peritoneal. Penelitian di Rumah sakit

Tjikini Jakarta melaporkan ada 11 kasus Tuberkulosis peritoneal untuk periode 1975-

1977 20, sedangkan penelitian di Medan melaporkan ada 8 kasus selama periode 1993-

1995.21

Peritonitis Mycobacterial memiliki tingkat kematian yang tinggi dan umumnya

disebabkan oleh M. tuberculosis. Dalam penelitian saat ini yang dilakukan di Taiwan

4
yang merupakan daerah endemik Tuberculosis (kejadian: 62,0 orang per 100.000

penduduk pada 2008) Non Tuberculosis Mycobacterial (NTM) menyumbang 28%

dari semua kasus peritonitis mycobacterial dan memiliki tingkat kematian 6 bulan

yang sama dengan peritonitis TB. Peritonitis Mycobacterial, terutama peritonitis

NTM, sering dikaitkan dengan penyakit komorbid yang mendasarinya seperti

Acquired Immunodeficiency Syndrom, End Stage Renal Disease, Keganasan, Sirosis

hepar, Diabetes mellitus akan menyebabkan sistem kekebalan tubuh terganggu baik

imunitas lokal atau sistemik karena seringnya translokasi bakteri. 31

Mycobacterium Avium Complex (MAC) menjadi patogen paling umum pada

peritonitis NTM, infeksi NTM paru (43%) dan infeksi NTM ekstra-paru di Taiwan.

MAC adalah patogen infeksi oportunistik yang menginfeksi pasien AIDS.

Mycobacterium lainnya yang menjadi patogen infeksi oportunistik adalah M.

chelonae, M. abscessus, M. fortuitum, dan Mycobacterium kansasii. 31

2.4 ANATOMI DAN FISIOLOGI

Peritoneum ialah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh.

Peritoneum terdiri atas dua bagian utama yailu peritoneum parietal, yang melapisi

dinding rongga abdominal dan peritoneum viseral yang menyelaputi semua organ

yang bcrada di dalam rongga itu. Ruang yang bisa lerdapat di antara dua lapis ini

disebut rongga peritoneum atau cavum peritoneum. Normalnya terdapat 50 mL cairan

bebas dalam rongga peritoneum, yang memelihara permukaan peritoneum tetap licin.

5
Pada orang laki-laki peritoneum berupa kantong tertutup; pada orang perempuan

saluran telur (tuba Fallopi) membuka masuk ke dalam rongga peritoneum.23

Gambar 1. Tampak Inferior dari Potongan Melintang23

Gambar 2. Tampak Posterior23

6
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:22

1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis


2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis

Pada beberapa tempat peritoneum visceral dan mesenterium dorsal mendekati

peritoneum dorsal dan terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian

usus yang tidak mempunyai alat-alat penggantung, dan akhirnya berada disebelah

dorsal peritonium sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih

mempunyai alat penggantung terletak di dalam rongga yang dindingnya dibentuk

oleh peritoneum parietal, dengan demikian: 22

1. Duodenum terletak retroperitoneal


2. Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung

mesenterium;
3. Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal;
4. Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat

penggantung disebut mesocolon transversum;


5. Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung

mesosigmoideum; cecum terletak intraperitoneal;


6. Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung

mesenteriuum. 22

Peritoneum parietal disarafi oleh saraf aferen somatik dan visceral yang cukup

sensitif terutama pada peritoneum parietal bagian anterior, sedangkan pada bagian

pelvis agak kurang sensitif. Peritoneum visceral disarafi oleh cabang aferen sistem

otonom yang kurang sensitif. Saraf ini terutama memberikan respon terhadap tarikan

7
dan distensi, tetapi kurang respon terhadap tekanan dan tidak dapat menyalurkan rasa

nyeri dan temperatur. 23

Gambar 3. (A, C, D, E) Tampak anterior (B) Tampak lateral kiri23

8
Fungsi utama peritoneum adalah menjaga keutuhan atau integritas organ

intraperitoneum. 22

Gambar 4. Regio Abdominal 25

2.5 EMBRIOLOGI

Susunan pencernaan manusia mulai terbentuk pada kehidupan mudigah hari

ke-22 sebagai akibat dari pelipatan mudigah kearah sefalokaudal dan lateral.

Sebagian dari rongga kuning telur yang dilapisi endoderm bergabung ke dalam

mudigah dan membentuk usus primitif. Perkembangan embriologi sistem

pencernaan dan turunannya biasanya dibahas dalam 3 bagian, yaitu (a) Usus depan,

yang terletak di sebelah kaudal tabung faring dan membentang hingga ke tunas

9
hati; (b) Usus tengah, mulai dari sebelah kaudal tunas hati dan berjalan ke suatu

tempat kedudukan, yang pada orang dewasa membentuk pertemuan dua pertiga

kanan dan sepertiga kiri kolon tranversum; dan (c) Usus belakang, yang

membentang dari sepertiga kiri kolon tranversum hingga ke memrana kloakalis.

Sedangkan mesoderm akan membentuk jaringan ikat, komponen otot, dan

komponen peritoneum pada sistem pencernaan.24

Tabung usus disanggah pada bagian dorsal oleh mesenterium (mesenterium

dorsal yang menggantung dari bagian bawah esofagus ke daerah kloaka usus

belakang, mesogastrium dorsal/omentum mayus yang menggantung lambung,

mesoduodenum dorsalis menggantung bagian duodenum, dan mesenterium

proprius yang menggantung illeum dan jejunum) yang akan menjadi jalur

pembuluh darah, saraf, dan getah bening ke bagian abdomen viseral. Sedangkan

mesenterium ventral yang terdapat pada bagian esofagus terminal, lambung, bagian

atas duodenum dari septum trensversum (mesenterium ventral: omentum minus,

dari bawah esofagus , lambung, bagian atas duodenum hati, ligamentum

falsiformis, dari hati ke dinding ventral tubuh. 24

10
Gambar 5 Gambaran skematik mesentrium24

2.6 PATOGENESIS

Patogenesis Tuberkulosis peritonitis didahului oleh infeksi Mycobacterium

tuberculosis yang menyebar secara hematogen ke organ-organ di luar paru termasuk

peritoneum. Dengan perjalanan waktu dan menurunnya daya tahan tubuh dapat

mengakibatkan terjadinya Tuberkulosis peritonitis.1 Cara lain adalah dengan

penjalaran langsung dari kelenjar mesenterika atau dari tuberkulosis usus. Pada

peritoneum terjadi tuberkel dengan massa perkijuan yang dapat membentuk satu

kesatuan (konfluen). Pada perkembangan selanjutnya dapat terjadi penggumpalan

atau pembentukan nodul tuberkulosis pada omentum di daerah epigastrium dan

melekat pada organ-organ abdomen dan lapisan viseral maupun parietal sehingga

dapat menyebabkan obstruksi usus dan pada akhirnya dapat mengakibatkan

tuberkulosis peritonitis. Selain itu, kelenjar limfe yang terinfeksi dapat membesar

yang menyebabkan penekanan pada vena porta yang mengakibatkan pelebaran vena

11
dinding abdomen dan asites.2 Terjadinya Tuberkulosis peritonitis melalui beberapa

cara, yaitu 1

1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru


2. Melalui dinding usus yang terinfeksi
3. Dari kelenjar limfe mesenterium
4. Melalui tuba fallopi yang terinfeksi
Pada kebanyakan kasus tuberkulosis peritonitis terjadi bukan sebagai akibat

penyebaran perkontinuitatum tapi sering karena reaktivasi proses laten yang terjadi

pada peritonieum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer

terdahulu (infeksi laten “dorman infection”). Seperti diketahui lesi tuberkulosa bisa

mengalami supresi dan menyembuh. Infeksi masih dalam fase laten dimana ia bisa

menetap laten selama hidup namun infeksi tadi bisa berkembang menjadi tuberkulosa

pada setiap saat. Jika organisme interseluler tadi mulai bermultiplikasi secara cepat.

Terdapat 3 bentuk peritonitis tuberkulosa, yaitu : 1


1. Bentuk eksudatif
Bentuk ini dikenal juga sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites yang

banyak, gejala menonjol ialah perut membesar dan berisi cairan (asites). Pada bentuk

ini perlengketan tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering dijumpai kecil-kecil

berwarna putih kekuning-kuningan milier, nampak tersebar di peritoneum atau pada

alat-alat tubuh yang berada di rongga peritoneum. Disamping partikel yang kecil-

kecil yang dijumpai tuberkel yang lebih besar sampai sebesar kacang tanah. Disekitar

tuberkel terdapat reaksi jaringan peritoneum berupa kongesti pembuluh darah.

Eksudat dapat terbentuk cukup banyak, menutupi tuberkel dan peritoneum sehingga

merubah dinding perut menjadi tegang, Cairan asites kadang-kadang bercampur

12
darah dan terlihat kemerahan sehingga mencurigakan kemungkinan adanya

keganasan. Omentum dapat terkena sehingga terjadi penebalan dan teraba seperti

benjolan tumor. 1
2. Bentuk adhesive
Disebut juga sebagai bentuk kering atau plastik dimana cairan tidak banyak

dibentuk. Pada jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan. Perlengketan yang luas

antara usus dan peritoneum sering memberikan gambaran seperti tumor, kadang-

kadang terbentuk fistel. Hal ini disebabkan karena adanya perlengketan perlengketan.

Kadang-kadang terbentuk fistel, hal ini disebabkan karena perlengketan dinding usus

dan peritoneum parintel kemudian timbul proses necrosis. Bentuk ini sering

menimbulkan keadaan ileus obstruksi . Tuberkel-tuberkel biasanya lebih besar. 1


3. Bentuk campuran
Bentuk ini kadang-kaadang disebut juga kista, pembengkakan kista terjadi

melalui proses eksudasi bersama-sama dengan adhesi sehingga terbentuk cairan

dalam kantong-kantong perlengketan tersebut. Beberapa penulis menganggap bahwa

pembagian ini lebih bersifat untuk melihat tingkat penyakit, dimana pada mulanya

terjadi bentuk exudatif dan kemudian bentuk adhesive. Pemberian hispatologi

jaringan biopsy peritoneum akan memperlihatkan jaringan granulasi tuberkulosa yang

terdiri dari sel-sel epitel dan sel datia langerhans, dan pengkijuan umumnya

ditemukan. 1

2.7 GEJALA KLINIS

Sebagian besar gejala klinis Tuberkulosis peritonitis memperlihatkan gejala yang

non-spesifik dan perjalanan klinis yang lambat, dan sulit dibedakan dengan penyakit

13
intraabdominal lainnya sehingga cukup rumit untuk menegakkan diagnosis. Gejala

klinis sangat bervariasi, pada umumnya keluhan dan gejala timbul perlahan-lahan

sampai berbulan-bulan sehingga sering penderita tidak menyadari keadaan ini.2

Keluhan Sulaiman A Manohar Tarim Kai Ming VH Ming-Leun


1975-1979 dkk Akin dkk Chow dkk Chong,N Hu dkk
30 pasien 1984-1988 1988-1997 1989-2000 Rajendran 2000-2006
1
% 45 pasien 23 pasien 60 pasien 1995-2004 14 pasien
1 5 6
% % % 10 pasien %8
%7
Sakit perut 57 35,9 82 73 60 71,4
Pembengkak 50 73,1 96 93 70 57,1
an perut
Batuk 40 - 20 -
Demam 30 53,9 69 58 60 35,7
Keringat 26 - - -
malam
Anoreksia 30 46,9 73 - 60 -
Berat badan 23 44,1 80 - 40 42,9
menurun
Mencret 20 - - 10 -
Konstipasi - - - 21,4
Tabel 1. Keluhan pasien Tuberkulosis Peritonitis bersumber dari beberapa

penelitian.1,5,6,7,8

Dari beberapa hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa gejala yang paling

banyak didapatkan pada pasien Tuberkulosis Peritonitis yaitu : pembengkakan perut,

sakit perut,demam,dan penurunan berat badan. 1,5,6,7,8

Keadaan umum pasien bisa masih cukup baik sampai keadaan kurus dan

kahexia, pada wanita sering dijumpai tuberkulosa peritoneum disertai oleh proses

14
tuberkulosis pada ovarium atau tuba, sehingga pada alat genitalia bisa ditemukan

tanda-tanda peradangan yang sering sukar dibedakan dengan kista ovarium.1

Usia/Jenis Jenis Infeksi Penyakit yang Gejala Klinis*


kelamin mendasari
62/P TB Peritonitis DM,CRF,HTN,hepatitis 1,2,3,5,10
C,LC
70/P TB Peritonitis, TB paru HTN, LC 1,2,3,4,6,10
74/L TB Peritonitis,TB paru, TB Stroke,CRF,HTN 1,8
meningitis
31/P TB usus disertai perforasi, - 1,4,5,6
formasi abses
74/P TB Peritonitis Hepatitis C,LC,TB 1,2,3,4,5
meningitis
51/L TB hepar Kanker kandung kemih 4,5
73/L TB Peritonitis DM,CRF,HTN,LC 2,3,4,7,10
20/P Intraabdominal tuberculoma - 1,6
53/L TB Peritonitis disertai CRF, HTN, Stroke, 1,9
obstruksi usus, TB paru cushing’s syndrome
61/L TB Peritonitis,TB paru Alkoholisme, LC 2,3
47/P TB colon Cushing’s syndrome 1,2,7
80/P TB Peritonitis,TB usus,TB DM 1,2,3,7
paru
72/P TB Peritonitis - 1,2,3,4
41/L TB hepar Hepatitis C 5
Tabel 2. Karakteristik demografi pada 14 pasien dengan diagnosis Tuberkulosis

Abdomen di RS.Chang Gung Memorial Taiwan tahun 2000 - desember 2007. 7

Keterangan : P :perempuan; L: laki-laki; TB :tuberculosis; DM : diabetes

mellitus; CRF : chronic renal failure; HTN : hipertensi;LC : liver sirosis; * Gejala

klinis : 1. Sakit perut, 2. Pembengkakan perut, 3. Asites, 4. Penurunan berat badan, 5.

15
Demam, 6. Massa abdomen, 7.konstipasi, 8. tinja berdarah, 9. Tanda peritoneal, 10.

Sepsis.7

Dari tabel 2 diatas memperlihatkan bahwa lokasi Tuberkulosis abdominal paling banyak terjadi pada peritoneum dan usus atau yang dikenal

dengan Tuberkulosis Peritonitis dan Tuberkulosis Usus dengan memperlihatkan tanda dan gejala terbanyak berupa sakit perut, pembengkakan perut,

asites, dan penurunan berat badan.


7

Gejala Persentase
Pembengkakan perut dan nyeri 51%
Asites 43%
Hepatomegali 43%
Ronkhi pada kedua paru 33%
Efusi pleura 27%
Splenomegali 30%
Tumor intraabdomen 20%
Fenomena papan catur 13%
Limfadenopati 13%
Terlibatnya paru dan pleura 63%
Tabel 3. Pemeriksaan Fisik pada 30 pasien Tuberkulosis Peritonitis di RS.Cipto

Mangunkusumo Jakarta tahun 1975-1979.1

Pada pemeriksaan fisik gejala yang sering dijumpai adalah asites, demam,

pembengkakan perut dan nyeri perut, hepatomegali, dan terlibatnya paru dan pleura

(atas dasar foto thoraks). Fenomena papan catur yang selalu dikatakan karakteristik

pada penderita Tuberkulosis peritonitis ternyata tidak sering dijumpai. Fenomena

papan catur yaitu pada perabaan didapatkan adanya massa yang diselingi perabaan

lunak, kadang-kadang didapatkan pada obstruksi usus.1

2.8 DIAGNOSIS

16
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda yang didapatkan, pemeriksaan

fisik, laboratorium, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis peritonitis TB

memerlukan tingkat kecurigaan klinis yang tinggi. Konfirmasi mikrobiologis atau

patologis biasanya diperlukan untuk membuat diagnosis definitif. Baku emas

diagnosis peritonitis TB tetap laparoskopi dan biopsi peritoneal, namun pemeriksaan

penunjang lain dapat diakukan untuk mengarahkan diagnosis. 1

Pemeriksaan Laboratorium.

Pada Pemeriksaan Laboratorium yaitu pemeriksaan darah rutin sering dijumpai

adanya anemia penyakit kronis, leukositosis ringan ataupun leukopenia,

trombositosis, gangguan faal hati dan sering dijumpai laju endap darah (LED) yang

meningkat. Pada pemeriksaan tes tuberkulin hasilnya sering negatif. 1

Pemeriksaan Analisa Cairan Asites.

Pada pemeriksaan analisa cairan asites umumnya memperlihatkan eksudat dengan

protein > 3 gr/dl, dengan jumlah sel diatas 100-3000sel/ml. Biasanya lebih dari 90%

adalah limfosit LDH biasanya meningkat. Cairan asites yang perulen dapat ditemukan

begitu juga cairan asites yang bercampur darah (serosanguinous). 1


Hasil kultur cairan asites dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu. Perbandingan

serum asites albumin (SAAG) pada tuberculosis peritoneal ditemukan rasionya < 1,1

gr/dl, namun hal ini juga bisa dijumpai pada keadaan keganasan, sindroma nefrotik,

penyakit pankreas , kandung empedu atau jaringan ikat sedangkan bila ditemukan

17
>1,1 gr/dl ini merupakan cairan asites akibat portal hipertensi. Perbandingan glukosa

cairan asites dengan darah pada Tuberculosis peritoneal <0,96 sedangkan pada asites

dengan penyebab lain rationya >0,96. Penurunan Ph cairan asites dan peningkatan

kadar laktat dapat dijumpai pada tuberculosis peritoneal dan dijumpai signifikan

berbeda dengan cairan asites pada sirosis hati yang steril, namun pemeriksaan PH dan

kadar laktat cairan asites ini kurang spesifik dan belum merupakan suatu kepastian

karena hal ini juga dijumpai pada kasus asites oleh karena keganasan atau

spontaneous bacterial peritonitis.1

Pemeriksaan Tuberkulosis Hipertensi Keganasan,Sindrom


Peritonial, Portal Nefrotik, Penyakit
pancreas &
Empedu
SAAG (serum <1,1 gr/dl >1,1 gr/dl <1,1 gr/dl

asites albumin

serum)
Tabel 4. Perbandingan serum asites albumin pada Tuberkulosis Peritonial dan

Penyakit lainnya. 1

Pemeriksaan cairan asites lain yang sangat membantu, cepat dan non invasive

adalah pemeriksaan ADA (adenosin deminase activity), interferon gama (IFNϒ) dan

PCR. Dengan kadar ADA > 33 u/l mempunyai Sensitifitas 100%. Spesifitas 95%, dan

dengan Cutt off > 33 u/l mengurangi false positif dari sirosis hati atau keganasan.

Pada sirosis hati konsentrasi ADA signifikan lebih rendah dari Tuberculosis

Peritoneal (14 ± 10,6 u/l) .1

18
Pada pasien dengan konsentrasi protein yang rendah dijumpai Nilai ADA yang

sangat rendah sehingga mereka menyimpulkan pada konsentrasi asites dengan protein

yang rendah nilai ADA dapat menjadi false negatif. Untuk itu pemeriksaan Gama

interferon (INFϒ) adalah lebih baik walaupun nilainya dalah sama dengan

pemeriksaan ADA, sedangkan pada pemeriksaan PCR hasilnya lebih rendah lagi

dibanding kedua pemeriksaan tersebut. Angka sensitifitas untuk pemeriksaan

tuberculosis peritoneal terhadap Gamma interferon adalah 90,9 %, ADA:18,8% dan

PCR 36,3% dengan masing-masing spesifitas 100%. 1

Pemeriksaan CA-125. CA-125 (Cancer antigen 125) termasuk tumor associated

glycoprotein yang terdapat pada permukaan sel. CA-125 merupakan antigen yang

terkait karsinoma ovarium, antigen ini tidak ditemukan pada ovarium orang dewasa

normal, namun CA-125 ini dilaporkan, juga meningkat pada keadaan benigna dan

maligna, dimana kira-kira 80% meningkat pada wanita dengan keganasan ovarium,

26% pada trimester pertama kehamilan, menstruasi, endometriosis, mIoma uteri dan

salpingitis, juga kanker primer ginekologi yang lain seperti : endometrium, tuba

falopi, endocervix, pankreas,ginjal,colon juga pada kondisi yang bukan keganasan

seperti gagal ginjal kronik, penyakit autoimum, pancreas, sirosis hati, peradangan

peritoneum seperti tuberkulosis,perikardium dan pleura. Beberapa laporan yang telah

mendapatkan peningkatan CA-125 dan menyimpulkan bila dijumpai peninggian

serum CA-125 disertai dengan cairan asites yang eksudat, jumlah sel > 350/m3,

limfosit yang dominan maka Tuberkulosis peritoneal dapat dipertimbangkan sebagai

diagnosa.1

19
Pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA).

Pewarnaan Ziehl Neelsen, termasuk pewarnaan tahan asam. Bila zat warna yang

telah terpenetrasi tidak dapat dilarutkan dengan alkohol asam, maka bakteri tersebut

disebut tahan asam sedangkan sebaliknya disebut tidak tahan asam. Bakteri tahan

asam (BTA) akan memberikan warna merah, sedangkan yang tidak tahan asam akan

berwarna biru.28

Gambar 6. Pewarnaan Ziehl-Neelsen mengidentifikasi beberapa basil tahan asam,

konsisten dengan diagnosis peritonitis TB.28

Pemeriksaan Histopatologi

Studi histopatologis biopsi, hasil dianggap sugestif tuberkulosis ketika hasil

menunjukkan pembentukan khas granuloma dengan fokus nekrosis perkijuan dan di

sekitar kapsul hyalin dengan likuifikasi, fibrosis dan adanya sel epitel.28

20
Gambar

7. Biopsi peritoneum menunjukkan granuloma, sel raksasa mononuklear tipe

Langhans dan nekrosis kaseosa.29

Kultur Jaringan

Dalam medium Lowenstein-Jensen (LJ)30

a. Ini adalah media berbasis telur dan pertumbuhannya cukup lambat.

b. Diperlukan 6-8 minggu untuk mendapatkan koloni visual pada media jenis ini.

c. Koloni tidak berpigmen, kering, kasar, terangkat, tidak beraturan dengan

permukaan kusut

d. Koloni awalnya putih krem, menjadi kekuningan atau berwarna diwarnai pada

inkubasi lebih lanjut.

e. Pertumbuhan eugonik.

f. Suhu optimal adalah 35-37 ° C dan pH optimal adalah 6,4 hingga 7.

g. Diharuskan kondisi aerob

21
h. Peningkatan karbon dioksida (5-10%) meningkatkan pertumbuhan

Mycobacterium tuberculosis.

i. 5% Gliserol untuk merangsang pertumbuhan.

j. Media LJ mengandung inhibitor untuk menjaga kontaminan agar tidak tumbuh

Mycobacterium tuberculosis.

k. Warna hijau pada medium disebabkan oleh adanya hijau perunggu yang

merupakan salah satu agen selektif untuk mencegah pertumbuhan sebagian besar

kontaminan lainnya.

Hasil yang lebih cepat dapat diperoleh dengan menggunakan media Middlebrook

atau BACTEC. 30

Gambar 8. Koloni Mycobacterium tuberculosis30

Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapatkan hasil kurang dari 5 % yang

menunjukkan hasil positif dan dengan kultur cairan ditemukan kurang dari 20%

hasilnya positif. Meski demikian tidak bisa disimpulkan tidak ada M. tuberculosi.s1

22
Pemeriksaan Radiografi

 Foto Polos

Foto polos thorax dapat menunjukkan bukti TB paru aktif atau sembuh pada

beberapa pasien. Gambaran foto thorax abnormal (sugestif TB) memiliki nilai

sensitivitas diagnostik peritonitis TB sebesar 38%. Namun, walaupun penemuan lesi

TB pada foto thorax mendukung diagnosis peritonitis TB, gambaran foto thorax

normal tidak membatalkan diagnosis. 1

Nodul-nodul TB dapat menyebar di peritoneum dan omentum, menyebabkan

abses, perlengketan, obstruksi intestinalis, dan ascites. Karena itu, fitur yang muncul

dalam foto polos abdomen bervariasi dan seringkali tidak khas.1

Gambar 9. TB paru aktif, tampak adanya opasitas inhomogen disertai dengan

beberapa kavitas di lobus superior paru kanan.14

23
Gambar 10. TB milier. Bayangan bercak milier tampak di seluruh lapang paru.14

Gambar 11. TB paru inaktif. Tampak fokus Ghon yang mengalami kalsifikasi. 14

24
Gambar 12. (a) Gambaran destroyed lung. Radiografi dada menunjukkan hilangnya

volume paru kiri dan herniasi paru kontralateral.15

25
Gambar 13. Foto polos abdomen pada pasien dengan ileus obstruktif sekunder akibat

peritonitis TB. Tampak air fluid level dan distensi usus halus pada posisi

erect (A) dan supine (B)17

Gambar 14. Foto polos abdomen pada pasien dengan peritonitis TB. Tampak

pneumatosis intestinalis atau peningkatan gas usus.17

 USG (Ultrasonografi )

Pada peritonitis tuberkulosis dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat

dilihat adanya :1

1. Cairan dalam rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk

kantong-kantong) dalam rongga abdomen,

26
2. Pembesaran kelenjar limfe di retroperitoneal

3. Adanya penebalan mesenterium

4. Nodul peritoneum

5. Abses hepar dan lien

6. Perlengketan lumen usus

Pemeriksaan USG juga bisa digunakan sebagai alat bantu biopsi untuk

menegakkan diagnosa peritonitis tuberkulosa.1

Gambar 15. USG abdomen yang menunjukkan penebalan mesenterium dan asites16

27
Gambar 16. Nodul omentum16

Gambar 17. pembesaran kelenjaar limfe di periportal area16

28
Gambar 18. Nodul Peritonium16

Gambar 19. Granulasi dan abses hepar16

 CT Scan

Gambaran CT scan yang dapat terlihat pada peritonitis tuberkulosis, berupa :11

1. Penebalan noduler atau simetris dari peritoneum dan mesenterikum

2. Enhancement abndormal dari peritoneal atau mesenterikum

3. Ascites

29
4. Pembesaran hipodens dari nodus limfatikus: limfadenopati dengan atenuasi

rendah

Sebagai tambahan, dapat terlihat gambaran yang lebih spesifik dengan

karateristik sebagai berikut : 12

 wet type: ascites dengan atenuasi yang tinggi eksudat (20-45 HU), yang bisa

bermanifestasi secara bebas atau pun terlokalisir; ascites dengan atenuasi yang

tinggi dapat terjadi karena kandungan protein dan seluler yang tinggi

 dry type: menyebabkan limfadenopati mesenterikum dan adesi fibrosis; penebalan

omentum yang diibaratkan ‘cake-like’ omentum

 fibrotic type: massa pada omentum yang menyerupai cake dengan usus yang

menetap; usus yang tak beraturan dan mesenterikum dengan ascites terlokalisir

Keterlibatan omentum mungkin berupa ‘cake-like’, noduler, atau berantakan,

tetapi semua manifestasi atau gambaran mirip dengan karsinoma peritoneum, yang

mana menjadi diagnosis banding utama dari penyakit ini.1

30
Gambar 20. Cairan ascites densitas tinggi dengan volume yang banyak (ditunjuk

tanda bintang kuning). Dapat juga terlihat secara jelas gambaran

penebalan dan enhancement dari peritoneum dan mesenterikum

(ditunjuk panah kuning).11

31
Gambar 21. Wet ascitic type. Ascites yang berhiperatenuasi dengan urin di dalam

bladder12

Gambar 22. Dry/plastic type. Penebalan omentum atau “cake-like” omentum11

Gambar 23. Fibrotic fixed type. Penebalan omentum (ditunjuk panah) dan ascites12

Adanya peritoneum yang licin dengan penebalan yang minimal dan pembesaran

yang jelas menunjukkan suatu Tuberkulosis peritonitis sedangkan adanya nodul yang

32
tertanam dan penebalan peritoneum yang teratur menunjukkan suatu perintoneal

karsinoma.1

33
 MRI

Gambar 24. Peritonitis basah pada pasien wanita berusia 27 tahun. Urutan

MRI pembobotan T2 aksial (A) menunjukkan asites besar dengan beberapa septa

halus. Gambar MRI pembobotan T1 Gadoliniumenhanced (B) menunjukkan

penebalan peritoneal difus, halus dan teratur (panah).27

34
Gambar

25. Peritonitis fibrosis. Gambar MRI T2 dengan penekan lemak menunjukkan

penebalan omental (panah tipis) dan penebalan peritoneal (panah tebal) yang

berhubungan dengan gabungan loop usus yang menempati rongga panggul (panah).27

Prosedur Operatif

 Peritonoskopi (Laparoskopi)

Peritonoskopi / laparoskopi merupakan pemeriksaan makroskopi yang sangat

berguna untuk menegakkan diagnosa Tuberkulosis Peritonitis. Laparaskopi adalah

cara yang relatif aman, mudah, dan terbaik untuk mendiagnosa Tuberkulosis

peritonitis. Pada salah satu penelitian dilaporkan bahwa laparoskopi dapat

mendiagnosis hingga 94%, tetapi diagnosis ini harus dikonfirmasi oleh pemeriksaan

histologi.6 Laparoskopi baik digunakan untuk mendapatkan diagnosa pasien-pasien

muda dengan gejala sakit perut yang tidak jelas penyebabnya. Laparoskopi dengan

35
biopsi merupakan gold standar untuk diagnosis Tuberkulosis Peritonitis. Cara ini

dapat mendiagnosa Tuberkulosis peritonitis 85% - 95% dan dengan biopsi yang

terarah dapat dilakukan pemeriksaan histologi agar bisa menemukan adanya

gambaran granuloma sebesar 85% - 90% dari seluruh kasus, dan bila dilakukan kultur

bisa ditemui BTA hampir 75%. Hasil histologi yang lebih penting lagi adalah bila

didapatkan granuloma yang lebih spesifik yaitu granuloma dengan perkejuan. 5

Gambar 26. Tuberkulosis Peritonitis pada Laparaskopi.13

Gambaran yang dapat dilihat pada Tuberkulosis peritonitis : 1

1. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai

tersebar luas pada dinding peritoneum dan usus dan dapat pula dijumpai

permukaan hati atau alat lain tuberkel dapat bergabung dan merupakan sebagai

nodul. 1
2. Perlengketan yang dapat bervariasi, diantaranya pada alat-alat didalam rongga

peritoneum. Sering pada keadaan ini merubah letak anatomi yang normal.

36
Permukaan hati dapat melengket pada dinding peritoneum dan sulit untuk

dikenali. Perlengketan diantara usus mesenterium dan peritoneum dapat sangat

ekstensif. 1
3. Peritoneum sering mengalami perubahan dengan permukaan yang sangat kasar

yang kadang-kadang berubah gambarannya menyerupai nodul. 1


4. Cairan asites sering dujumpai berwarna kuning jernih, kadang-kadang cairan

tidak jernih lagi tetapi menjadi keruh, cairan yang hemoragis juga dapat dijumpai.

Biopsi dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara terarah atau pada jaringan

lain yang terbukti mengalami kelainan dengan menggunakan alat biopsi khusus

sekaligus cairan dapat dikeluarkan. Walupun pada umumnya gambaran

peritonoskopi Tuberculosis peritonitis dapat dikenal dengan mudah, namun

gambarannya bisa menyerupai penyakit lain seperti peritonitis karsinomatosis,

karena itu biopsi harus selalu diusahakan dan pengobatan sebaiknya diberikan

jika hasil pemeriksaan patologi anatomi mendukund suatu peritonitis

tuberkulosis. Peritonoskopi tidak selalu mudah dikerjakan dan dari 30 kasus, 4

kasus tidak dilakukan peritonoskopi karena secara teknis dianggap mengandung

bahaya dan sukar dikerjakan. Adanya jaringan perlengketan yang luas merupakan

hambatan dan kesulitan dalam memasukkan alat dan ruangan yang sempit di

dalam rongga abdomen juga menyulitkan pemeriksaan dan tidak jarang alat

peritonoskopi terperangkap didalam suatu rongga yang penuh dengan

perlengketan, sehingga sulit untuk mengenal gambaran anatomi alat-alat yang

normal dan dalam keadaan demikian maka sebaiknya dilakukan laparotomi

diagnostik. 1

37
 Laparatomi

Dahulu laparotomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosa yang sering

dilakukan, namun saat ini banyak penulis menganggap pembedahan hanya dilakukan

jika dengan cara yang lebih sederhana tidak meberikan kepastian diagnosa atau jika

dijumpai indikasi yang mendesak seperti obstruksi usus, perforasi, adanya cairan

asites yang bernanah.1

Gambar 27. Temuan Laparotomi menunjukkan nodul peritoneum yang luas karena

granuloma.26

2.9 TERAPI

Pada dasarnya pengobatan sama dengan pengobatan tuberkulosis paru, obat-

obat seperti : streptomisin,INH,Etambutol,Ripamficin dan pirazinamid memberikan

38
hasil yang baik, dan perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan pengobatan dan lamanya

pengobatan biasanya mencapai sembilan bulan sampai 18 bulan atau lebih. 1

Untuk pengobatan Tuberkulosis pada organ lain, seperti TB perironitis ini, lama

pengobatan dapat diberikan 9-12 bulan. Panduan OAT yang diberikan adalah

2RHZE/7-10 RH.14

Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan pirazinamid selama

2 bulan pertama. Kortikosteroid diberikan 1 - 2mg/kgBB selama 1 - 2 minggu

pertama. Pada keadaan obstruksi usus karena perlengketan perlu dilakukan tindakan

operasi. Beberapa penulis berpendapat bahwa kortikosteroid dapat mengurangi

perlengketan peradangan dan mengurangi terjadinya asites. Dan juga terbukti bahwa

kortikosteroid dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian,namun pemberian

kortikosteroid ini harus dicegah pada daerah endemis dimana terjadi resistensi

terhadap Mikobakterium tuberculosis. Penelitian secara retrospektif terhadap 35

pasien dengan tuberculosis peritoneal mendapatkan bahwa pemberian kortikosteroid

sebagai obat tambahan terbukti dapat mengurangi insidensi sakit perut dan sumbatan

pada usus. Pada kasus-kasus yang dilakukan peritonoskopi sesudah pengobatan

terlihat bahwa partikel menghilang namun di beberapa tempat masih dilihat adanya

perlengketan. 14

Obat Dosis (Mg/Kg Dosis yg dianjurkan DosisMaks Dosis (mg) / berat badan
BB/Hari) (mg) (kg)
Harian (mg/ Intermitten < 40 40-60 >60
kgBB / hari) (mg/Kg/
BB/kali)
R 8-12 10 10 600 300 450 600

39
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000

BB
Tabel 5. Jenis dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis Primer. 14

BB Fase Intensif Fase Lanjutan


2 bulan 4 bulan Atau 6
bulan
Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu Harian
RHZE RHZ RHZ RH RH EH
150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 150/75 150/150 400/150
30-37 2 2 2 2 2 1,5
38-54 3 3 3 3 3 2
55-70 4 4 4 4 4 3
>71 5 5 5 5 5 3
Tabel 6. Dosis Obat Anti Tuberkulosis kombinasi dosis tetap.14

Pedoman ISPD tahun 2005 menguraikan secara singkat prinsip-prinsip dasar

dalam manajemen Tuberkulosis Peritonitis. Protokol pengobatan berdasarkan

pengalaman TB ekstraperitoneal pada pasien End Stage Renal Disease. Pedoman

ISPD merekomendasikan empat obat yaitu : rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan

ofloksasin. Pirazinamid dan ofloksasin harus dihentikan setelah 3 bulan, sedangkan

rifampisin dan isoniazid harus dilanjutkan dengan total 12 bulan. Dosis biasa pada

obat ini adalah rifampisin 10 mg / kg sehari (maksimal 600 mg); isoniazid 3 - 5 mg /

kg sehari; pirazinamid 30 mg / kg 3 kali seminggu, dan ofloksasin 200 mg sehari.6

2.10 PROGNOSIS

40
Tuberkulosis Peritonitis jika dapat segera ditegakkan dan mendapat pengobatan

umumnya akan menyembuh dengan pengobatan yang adequate. 1

41
BAB III

KESIMPULAN

1. Tuberkulosis peritonitis biasanya merupakan proses kelanjutan tuberkulosa

ditempat lain
2. Oleh karena itu gejala klinis yang bervariasi dan timbulnya perlahan-lahan sering

diagnosa terlambat baru diketahui.


3. Dengan pemeriksaan diagnostik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang

lainnya dapat membantu menegakkan diagnosa


4. Dengan pemberian obat anti tuberkulosa yang adekuat biasanya pasien akan

sembuh.

DAFTAR PUSTAKA

42
1. Sutadi,Maryani.S. 2003. Tuberkulosis Peritoneal. Fakultas Kedokteran Bagian

Ilmu Penyakit Dalam Universitas Sumatera Utara.


2. Lazarus, AA., Thilagar,B. 2007. Abdominal Tuberculosis. United States

Government. Dis Mon ;53:32-38.


3. Joseph, D.Boss.,et.al. 2012. TB Peritonitis Mistaken for Ovarian

Carcinomatosis Based on an Elevated CA-125. Case Reports in Medicine.

Hindawi publishing Corporation.


4. Vogel.,et.al. 2008. Tuberculous Peritonitis in a German patient with Primary

Billiary Cirrhosis. Journal of Medical Case Reports, 2:32. BioMed Central

Ltd. Available at http://www.jmedicalcasereports.com/content/2/1/32..


5. Chong, VH., Rajendran, N. 2005. Tuberculosis Peritonitis in Negara Brunai

Darussalam. Original Article. Annals Academy of Medicine Singapore ; 34 (9)

p 548-52.
6. Akin,Tarim.,et.al.2000. Diagnostic Tools For Tuberculous Peritonitis. The

Turkish Journal of Gastroenterology ; 11(2) p 162-65.


7. Chow,MK.,et.al 2001. Tuberculous Peritonitis-Associated Mortality is High

among Patients Waiting for the Results of Mycobacterial Cultures of Ascitic

Fluid Sampels. Oxford Journals of Clinical Infectious ; 35 (4) p 409-13.

Available at http://cid.oxfordjournals.org/content/35/4/409.full.
8. Hu Leun-Ming.,et.al. 2009. Abdominal Tuberculosis : Analysis of Clinical

Features and Outcome of Adult Patients in Southern Taiwan. Journal of

Medical Chang Gung ; 32 (5) p 509-15.


9. Akpolat,Tekin. 2009. Tuberculosis Peritonitis. Peritoneal Dyalisis

International Istanbul,Turkey ;29 (2) p 166-69.


10. Manaf,Abdul.,et.al. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia ; 2 (1) p. 13.

43
11. Anonym.2007. Tuberculosis : A Radiologic Review. Radiographics The

Journal of Continuing Medical Education in Radiology ; 27 (5) p.1255-

73.Available at

http://radiographics.rsna.org/content/27/5/1255/F32.expansion.html.
12. Anonym.2007.Greater and Lesser Omenta :Normal Anatomy and Pathologic

Processes. Radiographics The Journal of Continuing Medical Education in

Radiology ; 27 (3) p.3707-720.Available at

http://radiographics.rsna.org/content/27/3/707/F8.expansion.html.
13. Anonym.2009. TB Peritonitis on Laparascopy. Naugatuck Valley

Gastroenterology Consultans. Available at

http://planetgi.com/worxcms_published/atlas_abnormal_gallery_page309.sht

ml.
14. Adiatma YT.,et.al. IPD’s CIM 1st Edition: Tuberkulosis. Pt Medinfocomm

Indonesia. Jakarta.
15. Varona Porres, D. et al., 2017. Radiological findings of unilateral tuberculous

lung destruction. Insights into Imaging


16. Rajendra Shivde, Krutik Patel, Saurav Mittal, Shopnil Prasla. 2016.

Ultrasound findings in abdominal tuberculosis: Usual and unusual

Appearances. National Journal of Medical and Allied Sciences.


17. Kim, H.K. et al., 2017. A Case of Tuberculous Peritonitis Presenting as Small

Bowel Obstruction. Korean J Gastroenterol, 69(5), pp.308–311.


18. Manohar A,SimjeeAE,Haffejee AA,Pettengell E.Symtoms and investigative

findings in year period.Gut,1990;31:1130-2


19. Marshall JB.Tuberculosis of the gastrointestinal tract and peritoneum,AMJ

Gastroenterol 1993;88:989-99

44
20. Sibuea WH,Noer S,Saragih JB,NapitupuluJB.Peritonitis tuberculosa di RS

DGI Tjikini (abstrak) KOPAPDI IV Medan; 1978:131


21. Zain LH.Peran analisa cairan asites dan serum Ca 125 dalam mendiagnosa

TBC peritoneum Dalam : Acang N, Nelwan RHH,Syamsuru W ed.Padang :

KOPAPDI X,1996:95
22. Mansjoer , Arif, dkk. 2000. Bedah Digestif. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2

Edisi Ketiga (pp 240-252). Jakarta: Balai Penerbit FKUI


23. Pearce, Evelyn. C. 2006. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama,

24. Sadler TW. Langman’s medical embryology: system-based embryology:

muscular system, respiratory system, urogenital system. 11th ed.

Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2010.

25. Elsevier. Mosby's Medical Dictionary, 9th edition. 2009.


26. Jehangir W, Khan R, Gil C, Baruiz-Creel M, Bandel G, Middleton JR, Sen P.

Abdominal tuberculosis: An immigrant's disease in the United States. North

Am J Med Sci 2015;7:247-52


27. Lima da Rocha, Eduardo & Cheregati Pedrassa, Bruno & Lilian Bormann,

Renata & Longo Kierszenbaum, Marcelo & rios torres, Lucas & D'Ippolito,

Giuseppe. (2015). Abdominal tuberculosis: A radiological review with

emphasis on computed tomography and magnetic resonance imaging findings.

Radiologia brasileira. 48. 181-191. 10.1590/0100-3984.2013.1801.


28. L. Salgado Flores, A. Hernández Solís, A. Escobar Gutiérrez, L. Criales

Cortés José, I. Cortés Ortiz, H. González González, E. Luis Martínez, R.

Cicero Sabido, Peritoneal tuberculosis: A persistent diagnostic dilemma, use

45
complete diagnostic methods, Revista Médica Del Hospital General De

México, Volume 78, Issue 2, 2015.


29. ulhadiye Avcu, Gulnar Sensoy, Arzu Karli, Gonul Caltepe, Yurdanur Sullu,

Nursen Belet, Meltem C. Bilgici, A case of tuberculous peritonitis in

childhood, Journal of Infection and Public Health, Volume 8, Issue 4, 2015.


30. Sagar Aryal. 2006. Cultural Characteristics of Mycobacterium tuberculosis.

https://microbenotes.com/cultural-characteristics-of-mycobacterium-

tuberculosis/
31. C.-C. Shu, J.-T. Wang, J.-Y. Wang, C.-J. Yu, L.-N. Lee, Mycobacterial

peritonitis: difference between non-tuberculous mycobacteria and

Mycobacterium tuberculosis, Clinical Microbiology and Infection, Volume 18,

Issue 3, 2012.

46

Anda mungkin juga menyukai