PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TUBERKULOSIS PARU
A. DEFINISI
Tuberculosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang hidup terutama di
paru atau di berbagai organ tubuh yang lainnya yang mempunyai tekanan
parsial oksigen yang tinggi.Kuman ini juga mempunyai kandungan lemak
yang tinggi pada membran selnya sehingga menyebabkan bakteri ini
menjadi tahan terhadap asam dan pertumbuhan dari kumannya
berlangsung dengan lambat. Bakteri ini tidak tahan terhadap ultraviolet,
karena itu penularannya terutama terjadi pada malam hari.
Penyakit Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri yang
menular dan ditandai dengan pembentukan granuloma padajaringan yang
terinfeksi.Penyakit tuberculosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat
menyebar kehampir seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal,
tulang, nodus limfe.Infeksi awalbiasanya terjadi 2-10 minggu setelah
pemajanan.Individu kemudian dapat mengalamipenyakit aktif karena
gangguan atau ketidakefektifan respon imun.Dalam jaringan tubuh kuman
ini dapat Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
B. EPIDEMIOLOGI
Organisasi kesehatan dunia memperkirakan bahwa sepertiga populasi
dunia (2 triliyun manusia ) terinfeksi dengan Mycobakterium tuberculosis.
Angka infeksi tertinggi di Asia Tenggara, Cina, India, Afrika, dan
Amerika Latin.Tuberculosis terutama menonjol di populasi yang
mengalami stress, nutrisi jelek, penuh sesak, perawatan kesehatan yang
kurang dan perpindahan penduduk.Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9
juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia.
Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi
pada negara-negara berkembang.Demikian juga,kematian wanita akibat
2
TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan
nifas.
Sekitar75%pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif
secaraek onomis(15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa,
akankehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar
20-30%.Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan
pendapatannya sekitar 15 tahun.Selain merugikan secara ekonomis,TB
juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan
dikucilkan oleh masyarakat.
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada
negara sedang berkembang.
Kegagalan program TB selama ini
Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia
danperubahan struktur umur kependudukan
Dampak pandemi HIV
Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan
TB.Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara
signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap
obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah
akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada
akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.
C. ETIOLOGI
Etiologi penyakit tuberculosis yaitu oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis.
3
D. PATOFISIOLOGI
Kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei
dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara
bebas 1 – 2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultaviolet, ventilasi
yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap, kuman
dapat tahan berhari – hari sampai berbulan – bulan. Bila partikel infeksi ini
terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau
jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian
baru oleh makrofag. Kebanyakkan partikel ini akan mati atau dibersihkan
oleh makrofag keluar dari percabangan trankeobronkial bersama gerakan
silia dengan sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Disini dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya.
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang atau apex
primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap
bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi
pleura. Kuman dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan
limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri
masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak,
ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke
seluruh bagian paru menjadi TB milier.
a. Tuberkulosis.Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga
dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus
berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Kuman akan
menghadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru makrofag.
Kebanyakan partikel ini akan mati atau di bersihkan oleh makrofag
keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan
sekretnya.
4
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Di sini ia akan terbawa masuk ke organ tubuh
lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru berbentuk sarang
tuberkulosa pneumonia kecil dan di sebut sarang prime atau afek prime
atau sarang (fokus) Ghon.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar
getah bening hilus (limfadenitis regional). Semua proses ini memakan
waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:
Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, ini banyak
terjadi
Sembuh dengan sedikit meninggalkan bekas beberapa garis-
garis fibrosis, kalsifikasi di hilus berkomplikasi dan menyebar
secara : a). Per kontinuitatum, yakni menyebar ke skitarnya, b).
Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun
sebelahnya, c). Secara limfogen, d). Secara hematogen
5
E. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
a) TB Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura.
1) Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen
dahak menunjukkan hasil BTA positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan
BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan
gambaran tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan
BTA positif dan biakan positif
Tuberkulosis paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA
negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi
menunjukkan tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif
dan biakan M. tuberculosis
2) Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu
bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan
sembuh ataupengobatan lengkap, kemudian kembali lagi
6
berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau
biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran
radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala
klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur,
keganasan dll)
TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis
yang berkompeten menangani kasus tuberkulosis
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan
dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.
e. Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2
dengan pengawasan yang baik
f. Kasus Bekas TB:
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila
ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB
yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran
yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan
lebih mendukung
Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan
telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto
toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi
7
b) TUBERKULOSIS EKSTRA PARU
Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak,
tulang, ginjal, saluran kencing dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi
anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan
pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan
konsisten dengan TB ekstraparu aktif
F. MANIFESTASI KLINIS
Tanda-tanda klinis dari tuberkulosis adalah terdapatnya keluhan-
keluhan berupa:
a. Batuk>2 minggu
b. sputum mukoid atau purulent
c. nyeri dada
d. hemoptysis
e. dispnea
f. demam dan berkeringat, terutama pada malam hari
g. berat badan berkurang
h. anoreksia
i. malaise
j. ronki basah di apeks paru
k. wheezing (mengi) yang terlokalisir
Gejala klinis yang tampak tergantung dari tipe infeksi.Pada tife infeksi
yang primer dapat tanpa gejala dan sembuh sendiri atau dapat berupa
gejala neumonia, yakni batuk dan panas ringan.Gejala tuberculosis,
primer dapat juga terdapat dalam bentuk pleuritis dengan efusi pleura atau
dalam bentuk yang lebih berat lagi, yakni berupa nyeri pleura dan sesak
nafas.Tanpa pengobatan tipe infeksi primer dapat sembuh dengan
sendirinya, hanya saja tingkat kesembuhan berkisar sekitar 50%.
8
Pada tuberculosis postprimer terdapat gejala penurunan berat badan,
keringat dingin pada malam hari, temperature subfebris, batuk berdahak
lebih dari dua minggu, sesak nafas, hemoptysis akibat dari terlukanya
pembuluh darah disekitar bronkus, sehingga menyebabkan bercak-bercak
darah pada sputum, sampai ke batuk darah yang massif. Tuberculosis
postprimer dapat menyebar ke berbagai organ sehingga menimbulkan
gejala-gejala seperti meningitis, tuberlosis miliar, peritonitis dengan
fenomena papan catur, tuberculosis ginjal, sendi, dan tuberculosis pada
kelenjar limfe di leher, yakni berupa skrofuloderma.
G. DIAGNOSIS
Hasil Anamnesis (Subjective)
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB.
Gejala umum TB paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu, yang
disertai:
a. Gejala pernapasan (nyeri dada, sesak napas, hemoptisis) dan
b. Gejala sistemik (demam, tidak nafsu makan, penurunan berat badan,
keringat malam dan mudah lelah.
9
b. Tes Mantoux: sangat positif pada TB paru pascaprimer (indurasi
kulit >5mm dengan unit tuberculin intradermal; dibaca pada hari
ketiga). Sering negatif pada TB milier (penurunan respons pejamu)
dan HIV (penurunan imunitas selular).
c. Tes Heaf (tes skrining; sekarang jarang digunakan): suatu cincin
dengan enam cocokan peniti yang dibuat melalui larutan tuberculin
pada lengan bawah. Tidak adanya respons pada hari ke 4-7 (derajat
0) memperlihatkan kurangnya imunitas: 4-6 nodul diskret (derajat
1) atau suatu cincin yang terbentuk melalui koalisi semua cocokan
peniti (derajat 2) menunjukkan imunitas. Satu nodul yang dibentuk
dengan mengisi cincin (derajat 3) menggambarkan baru saja terjadi
kontak atau infeksi tuberculosis dini, dan suatu nodul >5-7 mm
dengan vesikel atau ulserasi permukaan (derajat 4) menunjukkan
infeksi.
d. Mikrobiologi: basil tahan asam dapat dideteksi pada sputum atau
bilasan paru yang menggunakan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Cara
pengambilan dahak 3 kali (SPS):
Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Pagi ( keesokan harinya )
Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
11
3. Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis pasti TB
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang (sputum untuk dewasa, tes tuberkulin
pada anak)
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan International Standards for Tuberkulosis (ISTC
2014)Standar Diagnosis
a. untuk memastikan diagnosis lebih awal, petugas kesehatan
harus waspada terhadap individu dan grup dengan faktor resiko
TB dengan melakukan evaluasi klinis dan pemeriksaan
diagnostik yang tepat pada mereka dengan gejala TB.
b. Semua pasien dengan batuk produktif yang berlangsung
selama >2 minggu yang tidak jelas penyebabnya, harus
dievaluasi untuk TB.
c. Semua pasien yang diduga menderita TB dan mampu
mengeluarkan dahak, harus diperiksa mikroskopis spesimen
asupan sputum/dahak minimal 2 kali atau 1 spesimen sputum
untuk pemeriksaan Xpert MTB/RIF, yang diperiksa di
12
laboratorium yang kualitasya terjamin, salah satu diantaranya
adalah spesimen pagi. Pasien dengan resiko resistensi obat,
resiko HIV atau sakit parah sebaiknya melakukan pemeriksaan
Xpert MTB/RIF sebagai uji diagnostic awal. Uji serologi darah
dan interferongamma release assay sebaiknya tidak digunakan
untuk mendiagnosis TB aktif.
d. Semua pasien yang diduga tuberculosis ekstra paru, spesimen dari
organ yang terlibat harus diperiksa secara mikrobiologis dan
histologis. Uji Xpert MTB/RIF direkomendasikan sebagai pilihan
uji mikrobiologis untuk pasien terduga meningitis karena
membutuhkan penegakan diagnosis yang cepat.
e. Pasien terduga TB dengan asupan dahak negative, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dan kultur dahak. Jika
asupan dan uji Xpert MTB/RIF negatif pada pasien dengan gejala
klinis mendukung TB, sebaiknya segera diberikan pengobatan anti
tuberculosis setelah pemeriksaan kultur.
13
H. PENATALAKSANAAN
14
(pengobatan minimal 18
bulan)
IV - MDR TB Sesuai uji resistensi +
OAT lini 2 atau H seumur
hidup
15
c. Efek Samping OAT
Efek samping Kemungkinan Tatalaksana
Penyebab
Minor OAT
diteruskan
Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Rifampisin Obat diminum
malam sebelum
tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin
/allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INH Beri vitamin
B6 (piridoksin)
1 x 100 mg
perhari
Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri
penjelasan,
tidak perlu
diberi apa-apa
Mayor Hentikan
obat
Gatal dan kemerahan pada kulit Semua jenis OAT Beri
antihistamin
dan dievaluasi
ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin
dihentikan
Gangguan keseimbangan (vertigo Streptomisin Streptomisin
dan nistagmus) dihentikan
16
Ikterik / Hepatitis Imbas Obat Sebagian besar OAT Hentikan
(penyebab lain disingkirkan) semua OAT
sampai ikterik
menghilang
dan boleh
diberikan
hepatoprotektor
Muntah dan confusion (suspected Sebagian besar OAT Hentikan
drug-induced pre-icteric hepatitis) semua OAT
dan lakukan uji
fungsi hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan
etambutol
Kelainan sistemik, termasuk syok Rifampisin Hentikan
dan purpura rifampisin
I. KOMPLIKASI
Batuk darah
Pneumotoraks
Gagal napas
Gagal jantung
Efusi pleura
J. PROGNOSIS
Prognosis pada umumnya baik apabila pasien melakukan terapi
sesuai dengan ketentuan pengobatan.Untuk TB dengan komorbid,
prognosis menjadi kurang baik.
Kriteria hasil pengobatan:
a. sembuh: pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap
dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow up), hasilnya negative
pada foto toraks AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
17
b. Pengobatan lengkap: pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya
secara lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan asupan dahak ulang
pada foto toraks AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
c. Meninggal: pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena
sebab apapun.
d. Putus berobat (default): pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-
turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
e. Gagal: pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau selama pengobatan.
f. Pindah (transfer out): pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan
pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
18
Mono-resistance: resistensi terhadap salah satu dari OAT
Poly-resistance: resistensi terhadap lebih dari satu OAT, selain
isoniazid (INH) dan rifampisin secara bersamaan
Multidrug-resistance: resisten terhadap sekurang-kurangnya
INH beserta rifampisin
Extensive drug-resistance: Multidrug-resistance ditambah
resisteni terhadap salah satu golongan fluroquinolon, dan
sedikitnya satu dari tiga jenis obat lini kedua injeksi
(kapreomisin, kanamisin dan amikasin) (Yunita, 2011).
B. PATOFISIOLOGI TB-MDR
Kejadian resistensi M.Tuberculosis terhadap OAT adalah akibat
mutasi alami. Amplifikasi M.Tuberculosis yang resisten selanjutnya
terjadi akibat kesalahan manusia seperti:
Kesalahan pengelolaan OAT
Kesalahan manajemen kasus TB
Kesalahan proses penyampaian OAT kepada pasien
Kesalahan hasil uji DST
Pemakaian OAT dengan mutu rendah
Kurangnya keteraturan pengobatan atau pengobatan yang tidak
selesai
TB yang rentan OAT dan TB yang resisten menular dengan cara
yang sama yaitu melalui droplet saluran nafas yang menyebar di udara
(Yunita, 2011).
C. PENYEBAB
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat
tuberkulosis,yaitu :
Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
19
Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, baik karena jenis
obatnya yang tidak tepat misalnya hanya memberikan INH dan
etambutol pada awal pengobatan, maupun karena di lingkungan
tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang
digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada
daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah
cukup tinggi
Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan
dua atau tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti
kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama
dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
Fenomena “addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu
obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak
berhasil.
Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada
paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu
macam obat hanya akan menambah panjang nya daftar obat
yang resisten
Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak
dilakukan secara baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti
obat
Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke
suatu daerah kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-
bulan
Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang
menimbulkan kebosanan
Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB • Belum
menggunakan strategi DOTS (PDPI, 2006)
20
D. FAKTOR RESIKO
Beberapa faktor resiko untuk terjadinya kasus TB-MDR adalah:
Pengobatan TB yang sebelumnya tidak berhasil(kasus kambuh,
gagal, kronik)
Kontak erat dengan penderita TB-MDR
Orang dengan daya tahan tubuh yang rendah
Tinggal/lahir di tempat prevalensi TB-MDR yang tinggi
Pencegahan dan pengendalian infeksi yang tidak adekuat
(Yunita, 2011)
22
polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam
dinding sel.
Resistensi etambutol pada M.Tuberculosis paling sering berkaitan
dengan mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk
arabinosyltranferase. Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang
resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406
pada sekitar 90% kasus (Syahrini, 2008).
Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomisin
Streptomisin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi
dari Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis
protein dengan menggangu fungsi ribosomal.
Pada 2/3 strain M.Tuberkulosis yang resisten terhadap streptomisin
telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target
yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein
ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan
streptomisin ribosomal. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada
rpsl telh diindentifikasi sebanyak 50% isolate yang resisten terhadap
streptomisin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%. Pada sepertiga yang
menjadi lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frequensi resisten mutan
terjadi pada 1 dari 10⁵ sampai 10⁷ organisme. Strain M.Tuberculosis yang
resisten terhadap streptomisin tidak mengalami resisten silang terhadap
capreomisin maupun amikasin (Syahrini, 2008).
G. PENATALAKSANAAN
Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB
dengan MDR adalah berikut:
Pengobatan menggunakan minimal 4 macam obat OAT yang
masih efektik
Jangan menggunakn obat yang kemungkinan menimbulkan
resisten silang (cross-resistance)
Membatasi penggunaan yang tidak aman
Gunakan obat dari golongan/kelompok 1-5 secara hirarkis
sesuai potensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus
didasarkan pada pertimbangan khusus dari Tim Ahli Klinis
(TAK) dan disesuaikan dengan kondisi program.
Panduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap
awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian
suntikan dengan lama minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah
terjadi konversi biakan.
Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi
biakan Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2
kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari.
Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan
tahap lanjutan menganut prinsip DOT = Directly/Daily
Observed Treatment, dengan PMO diutamakan adalah tenaga
kesehatan atau kader kesehatan.
Pilihan panduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini
adalah panduan standar ( standardized treatment), yaitu:
24
Km – E – Eto – Lfx – Z –Cs / E – Eto – Lfx – Z – Cs
25
Multidrug Resistant Tuberculosis (TB MDR) Di Provinsi Sumatera Utara
A. Data Penemuan TB MDR Sumatera Utara
26
B. Distribusi Kasus TB MDR per Kabupaten/Kota Sumatera Utara
27
C. Hasil Pengobatan TB MDR Sumatera Utara
28
sebanyak 13 pasien, tahun 2015 sebanyak 68 pasien dan tahun 2016
sebanyak 105 pasien.
29
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyakit Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri yang
menular dan disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang ditandai
dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Penyakit
tuberculosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar kehampir
seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus limfe.
Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan. Individu
kemudian dapat mengalamipenyakit aktif karena gangguan atau
ketidakefektifan respon imun. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat
Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
Sedangkan TB MDR adalah Resistensi ganda menunjukkan
M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa
OAT lainnya, secara global kasus TB MDR sejumlah 630.000 kasus dari
tahun ke tahun diperkirakan akan terus meningkat, untuk di Indonesia
dilaporkan berjumlah 260 kasus. Diperkirakan pada tahun 2013 akan
terdeteksi 1.800 kasus. Indonesia menjadi urutan ke 8 dalam kasus MDR
TB.
Angka kejadian TB MDR cenderung meningkat setiap tahunnya.
Pada tahun 2012 sebanyak 41 kasus, tahun 2013 sebanyak 62 kasus, tahun
2014 sebanyak 125 kasus, tahun 2015 sebanyak 123 kasus dan tahun 2016
sebanyak 179 kasus.
Dengan Angka yang masih tinggi ada baiknya jika pengawas
minum obat (PMO) agar ditambah dengan tujun untuk meningkatkan
angka kepatuhan pasien TB MDR dalam pengobatan, dengan demikian
akan meningkatkan angka kesembuhan pasien serta mengurangi angka
pasien putus berobat.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. PDPI. Jakarta. 2011.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI . 2011. (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, 2011)
3. Panduan tatalaksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS
untuk praktik dokter swasta (DPS). Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta. 2012. (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2012)
4. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Utara. 2016. Laporan Tahunan Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatra Utara.
5. Tuberculosis Coalition for Technical Assistence. International standards
for tuberculosis tare (ISTC). 3nd Ed. Tuberkulosis Coalition for Technical
Assistence. The Hague. 2014. (Tuberculosis Coalition for Technical
Assistence, 2014)
6. P.T. Ward, Jeremy et al. 2008. At a Glance Sistem Respirasi ed. 2. Jakarta:
Erlangga Medical Series
7. Rab, Tabrani. 2013. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: TIM
8. Aditama, T. Y. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB. Kementerian
Kesehatan REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Diunduh: http://pppl.depkes.go.id /
_asset /_regulasi/STRANAS_TB.pdf. [Diakses pada 3 Juni 2014]
9. Ah ̣mad, I., Aqil, F., & Wiley InterScience (Online service) (2008). Types
of bacterial infections. New strategies combating bacterial infection.
Weinheim: WileyVCH. Hal 73.
10. Crofton, J. 2002. Diagnosis TB. Tuberkulosis Klinis (2nd ed.)..Indonesia:
Penerbit Widya Medika. Hal 96-103
31
11. Dalimunthe, N., Keliat, E.N., Abidin, A. Penatalaksanaa Tuberkulosis
dengan Resistensi Obat Anti Tuberkulosis. Divisi Pulmonologi Alergi
Imunologi, Departmen Ilmu Penyakit Dalam,Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera. Diunduh:
http://www.ikaapda.com/resources/PAI/Reading/ PENATALA
KSANAAN-TUBERCULOSIS-DENGAN-RESISTENSI-OBAT-
ANTITUBERCULOSIS.pdf. [Diakses pada 20 Maret 2014)
12. Djojodibroto, D. 2009. Tuberkulosis Paru. Respirologi (Respiratory
Medicine). Jakarta: EGC. Hal 151-168.
13. Herlina, L. Tuberkulosis dan Faktor Resiko Kejadian Multidrug Resistant
Tuberculosis (MDR TB/Resistensi Ganda). Ilmu Kesehatan Masyarakat
Universitas Padjadjaran. Diunduh: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_Tuberkulosis_-dan_-
faktor_risiko_-kejadian.pdf. [Diakses pada 15 Maret 2014]
14. Hiswani, 2004. Tuberkolosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih
Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara. Diunduh:
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkmhiswani6.pdf. [Diakses pada 22
Februari 2014]
15. International Union Against Tuberculosis And Lung Disease (2010)
Diunduh: http://www.theunion.org/index.php/en/what-we-do/ tuberculosis.
[Diakses pada 15 Maret 2014]
16. Mapparenta, M.A., Suriah., Ibnu, I.F. 2013.Perilaku Pasien Tuberkulosis
Tipe MDR Di BBKPM dan RSUD Labung Baji Kota Makassar Tahun
2013. Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS. Diunduh:
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle /123456789/
5698/JURNAL%20MUFIDAH%20AULIYA%20MAPPARENTA.pdf?se
que nce=1. [Diakses pada 5 Maret 2014]
17. Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2011). (2nd ed) Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2009.
Pedomen Penanggulan Tuberkulosis (TB).
32
18. Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2009). Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2009. Pedomen
Penanggulan Tuberkulosis (TB)
19. Otaviani, D. 2011. Hubungan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis
dengan Status Gizi Anak Penderita Tuberkulosis Paru. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. Diunduh: http://eprints.undip.ac.id
[Diakses pada 25 Maret 2014]
20. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2006. Tuberkulosis: Pedoman
Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Diunduh:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/ tb.tb.html. [Diakses pada 2 April
2014]
21. Rahajoe, N. 2010. Diagnosis dan Penatalaksanaan TB. Buku Ajar
Respirologi Anak (1st ed.). Jakarta, Indonesia. Hal 163-170
22. Sarwani, Nurlaela, S.,A Zahratul, Isnani 2012. Faktor Risiko Multidrug
Resistant Tuberculosis (MDR-TB). Jurnal Kesehatan Masyarakat.
Diunduh: http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas. [Diakses pada 28
Maret 2014]
23. Syahrini, H. 2008. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. Departmen Ilmu
Penyakit Dalam R.S.U.P. H. Adam Malik Universitas Sumatera Utara.
24. Tirtana, B.T. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan
Pengobatan pada Pasien Tuberkulosis Paru dengan Resistensi Obat Anti
Tuberkulosis di Wilayah Jawa Tengah. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. Diunduh: http://eprints.undip.ac.id/32879/1/Bertin.pdf.
[Akses 28 Maret 2014]
25. Werdhani, R. A. Patofisiologi,Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosis.
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga,FKUI.
Diunduh: http://staff.ui.ac.id/system/files/users/retno.asti /material/
patodiagklas.pdf. [Diakses pada 14 Maret 2014]
26. Yunita, R. 2011 Multi-Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB).
Departmen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
33