Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan masalah utama bidang


kesehatan di seluruh dunia. Sampai tahun 2011 tercatat 9 juta kasus baru TB, dan
lebih dari 2 juta orang meninggal akibat TB. Semua negara di dunia menyumbang
kasus TB, namun persentase terbanyak terjadi di Afrika (30%) dan Asia (55%)
dengan China dan India tercatat menyumbang 35% dari total kasus di Asia.
Besar dan luasnya permasalahan akibat TB mengharuskan kepada semua
pihak untuk dapat berkomitmen dan bekerjasama dalam melakukan
penanggulangan TB. Dengan demikian TB merupakan ancaman terhadap cita-cita
pembangunan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Karenanya
perang terhadap TB berarti pula perang terhadap kemiskinan, ketidakproduktifan,
dan kelemahan akibat TB.
Di Indonesia TB merupakan penyebab kematian utama dan angka
kesakitan dengan urutan teratas setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan ketiga
setelah India dan China dalam jumlah penderita TB di dunia. Jumlah penderita TB
paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap menit
muncul satu penderita baru TB paru, dan setiap dua menit muncul satu penderita
baru TB paru yang menular.Bahkan setiap empat menit sekali satu orang
meninggal akibat TB di Indonesia. Mengingat besarnya masalah TB serta luasnya
masalah semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TUBERKULOSIS PARU
A. DEFINISI
Tuberculosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang hidup terutama di
paru atau di berbagai organ tubuh yang lainnya yang mempunyai tekanan
parsial oksigen yang tinggi.Kuman ini juga mempunyai kandungan lemak
yang tinggi pada membran selnya sehingga menyebabkan bakteri ini
menjadi tahan terhadap asam dan pertumbuhan dari kumannya
berlangsung dengan lambat. Bakteri ini tidak tahan terhadap ultraviolet,
karena itu penularannya terutama terjadi pada malam hari.
Penyakit Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri yang
menular dan ditandai dengan pembentukan granuloma padajaringan yang
terinfeksi.Penyakit tuberculosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat
menyebar kehampir seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal,
tulang, nodus limfe.Infeksi awalbiasanya terjadi 2-10 minggu setelah
pemajanan.Individu kemudian dapat mengalamipenyakit aktif karena
gangguan atau ketidakefektifan respon imun.Dalam jaringan tubuh kuman
ini dapat Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.

B. EPIDEMIOLOGI
Organisasi kesehatan dunia memperkirakan bahwa sepertiga populasi
dunia (2 triliyun manusia ) terinfeksi dengan Mycobakterium tuberculosis.
Angka infeksi tertinggi di Asia Tenggara, Cina, India, Afrika, dan
Amerika Latin.Tuberculosis terutama menonjol di populasi yang
mengalami stress, nutrisi jelek, penuh sesak, perawatan kesehatan yang
kurang dan perpindahan penduduk.Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9
juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia.
Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi
pada negara-negara berkembang.Demikian juga,kematian wanita akibat
2
TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan
nifas.
Sekitar75%pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif
secaraek onomis(15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa,
akankehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar
20-30%.Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan
pendapatannya sekitar 15 tahun.Selain merugikan secara ekonomis,TB
juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan
dikucilkan oleh masyarakat.
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
 Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada
negara sedang berkembang.
 Kegagalan program TB selama ini
 Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia
danperubahan struktur umur kependudukan
 Dampak pandemi HIV
Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan
TB.Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara
signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap
obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah
akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada
akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.

C. ETIOLOGI
Etiologi penyakit tuberculosis yaitu oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis.

3
D. PATOFISIOLOGI
Kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei
dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara
bebas 1 – 2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultaviolet, ventilasi
yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap, kuman
dapat tahan berhari – hari sampai berbulan – bulan. Bila partikel infeksi ini
terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau
jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian
baru oleh makrofag. Kebanyakkan partikel ini akan mati atau dibersihkan
oleh makrofag keluar dari percabangan trankeobronkial bersama gerakan
silia dengan sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Disini dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya.
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang atau apex
primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap
bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi
pleura. Kuman dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan
limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri
masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak,
ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke
seluruh bagian paru menjadi TB milier.
a. Tuberkulosis.Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga
dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus
berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Kuman akan
menghadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru makrofag.
Kebanyakan partikel ini akan mati atau di bersihkan oleh makrofag
keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan
sekretnya.
4
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Di sini ia akan terbawa masuk ke organ tubuh
lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru berbentuk sarang
tuberkulosa pneumonia kecil dan di sebut sarang prime atau afek prime
atau sarang (fokus) Ghon.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar
getah bening hilus (limfadenitis regional). Semua proses ini memakan
waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:
 Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, ini banyak
terjadi
 Sembuh dengan sedikit meninggalkan bekas beberapa garis-
garis fibrosis, kalsifikasi di hilus berkomplikasi dan menyebar
secara : a). Per kontinuitatum, yakni menyebar ke skitarnya, b).
Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun
sebelahnya, c). Secara limfogen, d). Secara hematogen

b. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder) :


Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan
atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh
menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk.
Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang
berlokasi di regio atas paru (apikal-posterior lobus superior atau
inferior). Invasinya ke daerah parenkhim dan tidak ke nodus hiler
paru.Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia
kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu
granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel Datia-Langhans
(sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan
berbagai jaringan ikat.

5
E. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
a) TB Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura.
1) Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
 Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen
dahak menunjukkan hasil BTA positif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan
BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan
gambaran tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan
BTA positif dan biakan positif
 Tuberkulosis paru BTA (-)
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA
negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi
menunjukkan tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif
dan biakan M. tuberculosis
2) Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu
bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan
sembuh ataupengobatan lengkap, kemudian kembali lagi
6
berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau
biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran
radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala
klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
 Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur,
keganasan dll)
 TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis
yang berkompeten menangani kasus tuberkulosis
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan
dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.
e. Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2
dengan pengawasan yang baik
f. Kasus Bekas TB:
 Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila
ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB
yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran
yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan
lebih mendukung
 Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan
telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto
toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi

7
b) TUBERKULOSIS EKSTRA PARU
Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak,
tulang, ginjal, saluran kencing dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi
anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan
pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan
konsisten dengan TB ekstraparu aktif

F. MANIFESTASI KLINIS
Tanda-tanda klinis dari tuberkulosis adalah terdapatnya keluhan-
keluhan berupa:
a. Batuk>2 minggu
b. sputum mukoid atau purulent
c. nyeri dada
d. hemoptysis
e. dispnea
f. demam dan berkeringat, terutama pada malam hari
g. berat badan berkurang
h. anoreksia
i. malaise
j. ronki basah di apeks paru
k. wheezing (mengi) yang terlokalisir
Gejala klinis yang tampak tergantung dari tipe infeksi.Pada tife infeksi
yang primer dapat tanpa gejala dan sembuh sendiri atau dapat berupa
gejala neumonia, yakni batuk dan panas ringan.Gejala tuberculosis,
primer dapat juga terdapat dalam bentuk pleuritis dengan efusi pleura atau
dalam bentuk yang lebih berat lagi, yakni berupa nyeri pleura dan sesak
nafas.Tanpa pengobatan tipe infeksi primer dapat sembuh dengan
sendirinya, hanya saja tingkat kesembuhan berkisar sekitar 50%.

8
Pada tuberculosis postprimer terdapat gejala penurunan berat badan,
keringat dingin pada malam hari, temperature subfebris, batuk berdahak
lebih dari dua minggu, sesak nafas, hemoptysis akibat dari terlukanya
pembuluh darah disekitar bronkus, sehingga menyebabkan bercak-bercak
darah pada sputum, sampai ke batuk darah yang massif. Tuberculosis
postprimer dapat menyebar ke berbagai organ sehingga menimbulkan
gejala-gejala seperti meningitis, tuberlosis miliar, peritonitis dengan
fenomena papan catur, tuberculosis ginjal, sendi, dan tuberculosis pada
kelenjar limfe di leher, yakni berupa skrofuloderma.

G. DIAGNOSIS
Hasil Anamnesis (Subjective)
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB.
Gejala umum TB paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu, yang
disertai:
a. Gejala pernapasan (nyeri dada, sesak napas, hemoptisis) dan
b. Gejala sistemik (demam, tidak nafsu makan, penurunan berat badan,
keringat malam dan mudah lelah.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang (Objective)


1. Pemeriksaan Fisik
Kelainan pada TB paru tergantung luas kelainan struktur paru.Pada
awal permulaan perkembangan penyakit umumnya sulit sekali
menemukan kelainan.Pada auskultasi terdengar suara napas
bronchial/amforik/ronkhi basah/suara napas melemah di apex paru,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Darah: dapat mendeteksi anemia, penuruan natrium, dan
peningkatan kalsium, limfositosis/monositosis, LED meningkat,
Hb turun.

9
b. Tes Mantoux: sangat positif pada TB paru pascaprimer (indurasi
kulit >5mm dengan unit tuberculin intradermal; dibaca pada hari
ketiga). Sering negatif pada TB milier (penurunan respons pejamu)
dan HIV (penurunan imunitas selular).
c. Tes Heaf (tes skrining; sekarang jarang digunakan): suatu cincin
dengan enam cocokan peniti yang dibuat melalui larutan tuberculin
pada lengan bawah. Tidak adanya respons pada hari ke 4-7 (derajat
0) memperlihatkan kurangnya imunitas: 4-6 nodul diskret (derajat
1) atau suatu cincin yang terbentuk melalui koalisi semua cocokan
peniti (derajat 2) menunjukkan imunitas. Satu nodul yang dibentuk
dengan mengisi cincin (derajat 3) menggambarkan baru saja terjadi
kontak atau infeksi tuberculosis dini, dan suatu nodul >5-7 mm
dengan vesikel atau ulserasi permukaan (derajat 4) menunjukkan
infeksi.
d. Mikrobiologi: basil tahan asam dapat dideteksi pada sputum atau
bilasan paru yang menggunakan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Cara
pengambilan dahak 3 kali (SPS):
 Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Pagi ( keesokan harinya )
 Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

 Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah


bila:
3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif
1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian
bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif
bila 3 kali negatif BTA negative

 Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD


(rekomendasi WHO).Skala IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease) :
10
 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut
negatif
 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan
 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +
(1+)
 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
 Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

e. Histopatologi: aspirasi pleura dengan biopsi mengkonfirmasi TB


pada ~90% pasien dengan efusi pleura. Biopsi hati akan
menemukan TB milier pada ~60% kasus.
f. Radiologi Dada: pembentukan bayangan di lobus bawah sangat
menunjang. Kavitas di apeks, efusi pleura, dan pneumotoraks dapat
terjadi. Pada TB milier, nodul kecil yang tersebar luas (diameter 2-
3 mm) secara difus menyebar ke seluruh paru (bayangan milier),
dan mudah luput dari penglihatan.

11
3. Penegakan Diagnosis (Assessment)
 Diagnosis pasti TB
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang (sputum untuk dewasa, tes tuberkulin
pada anak)
 Kriteria Diagnosis
Berdasarkan International Standards for Tuberkulosis (ISTC
2014)Standar Diagnosis
a. untuk memastikan diagnosis lebih awal, petugas kesehatan
harus waspada terhadap individu dan grup dengan faktor resiko
TB dengan melakukan evaluasi klinis dan pemeriksaan
diagnostik yang tepat pada mereka dengan gejala TB.
b. Semua pasien dengan batuk produktif yang berlangsung
selama >2 minggu yang tidak jelas penyebabnya, harus
dievaluasi untuk TB.
c. Semua pasien yang diduga menderita TB dan mampu
mengeluarkan dahak, harus diperiksa mikroskopis spesimen
asupan sputum/dahak minimal 2 kali atau 1 spesimen sputum
untuk pemeriksaan Xpert MTB/RIF, yang diperiksa di
12
laboratorium yang kualitasya terjamin, salah satu diantaranya
adalah spesimen pagi. Pasien dengan resiko resistensi obat,
resiko HIV atau sakit parah sebaiknya melakukan pemeriksaan
Xpert MTB/RIF sebagai uji diagnostic awal. Uji serologi darah
dan interferongamma release assay sebaiknya tidak digunakan
untuk mendiagnosis TB aktif.
d. Semua pasien yang diduga tuberculosis ekstra paru, spesimen dari
organ yang terlibat harus diperiksa secara mikrobiologis dan
histologis. Uji Xpert MTB/RIF direkomendasikan sebagai pilihan
uji mikrobiologis untuk pasien terduga meningitis karena
membutuhkan penegakan diagnosis yang cepat.
e. Pasien terduga TB dengan asupan dahak negative, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dan kultur dahak. Jika
asupan dan uji Xpert MTB/RIF negatif pada pasien dengan gejala
klinis mendukung TB, sebaiknya segera diberikan pengobatan anti
tuberculosis setelah pemeriksaan kultur.

13
H. PENATALAKSANAAN

Kategori Kasus Paduan obat yang Keterangan


diajurkan
I - TB paru BTA +, 2 RHZE / 4 RH atau
BTA - , lesi 2 RHZE / 6 HE
luas *2RHZE / 4R3H3

II - Kambuh -RHZES / 1RHZE / sesuai Bila streptomisin


- Gagal hasil uji resistensi atau alergi, dapat
pengobatan 2RHZES / 1RHZE / 5 RHE diganti
-3-6 kanamisin, ofloksasin, kanamisin
etionamid, sikloserin / 15-18
ofloksasin, etionamid,
sikloserin atau 2RHZES /
1RHZE / 5RHE
II - TB paru putus Sesuai lama pengobatan
berobat sebelumnya, lama berhenti
minum obat dan keadaan
klinis, bakteriologi dan
radiologi saat ini (lihat
uraiannya) atau
*2RHZES / 1RHZE /
5R3H3E3
III -TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau
neg. lesi minimal 6 RHE atau
*2RHZE /4 R3H3
IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji
resistensi (minimal OAT
yang sensitif) + obat lini 2

14
(pengobatan minimal 18
bulan)
IV - MDR TB Sesuai uji resistensi +
OAT lini 2 atau H seumur
hidup

 PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS


a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda
dengan pengobatan TB pada umumnya.Menurut WHO, hampir semua
OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak
dapatdipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan
dapat menembus barier placenta.Keadaan ini dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap
pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil
bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya
proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan
terhindar dari kemungkinan tertular TB.
b. Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TBpada ibu menyusui tidak berbeda
dengan pengobatanpada umumnya.Semua jenis OAT aman untuk ibu
menyusui.Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat
paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan
cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu
dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus
disusui.Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi
tersebut sesuai dengan berat badannya.

15
c. Efek Samping OAT
Efek samping Kemungkinan Tatalaksana
Penyebab
Minor OAT
diteruskan
Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Rifampisin Obat diminum
malam sebelum
tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin
/allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INH Beri vitamin
B6 (piridoksin)
1 x 100 mg
perhari
Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri
penjelasan,
tidak perlu
diberi apa-apa
Mayor Hentikan
obat
Gatal dan kemerahan pada kulit Semua jenis OAT Beri
antihistamin
dan dievaluasi
ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin
dihentikan
Gangguan keseimbangan (vertigo Streptomisin Streptomisin
dan nistagmus) dihentikan

16
Ikterik / Hepatitis Imbas Obat Sebagian besar OAT Hentikan
(penyebab lain disingkirkan) semua OAT
sampai ikterik
menghilang
dan boleh
diberikan
hepatoprotektor
Muntah dan confusion (suspected Sebagian besar OAT Hentikan
drug-induced pre-icteric hepatitis) semua OAT
dan lakukan uji
fungsi hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan
etambutol
Kelainan sistemik, termasuk syok Rifampisin Hentikan
dan purpura rifampisin

I. KOMPLIKASI
 Batuk darah
 Pneumotoraks
 Gagal napas
 Gagal jantung
 Efusi pleura

J. PROGNOSIS
Prognosis pada umumnya baik apabila pasien melakukan terapi
sesuai dengan ketentuan pengobatan.Untuk TB dengan komorbid,
prognosis menjadi kurang baik.
Kriteria hasil pengobatan:
a. sembuh: pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap
dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow up), hasilnya negative
pada foto toraks AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
17
b. Pengobatan lengkap: pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya
secara lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan asupan dahak ulang
pada foto toraks AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
c. Meninggal: pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena
sebab apapun.
d. Putus berobat (default): pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-
turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
e. Gagal: pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau selama pengobatan.
f. Pindah (transfer out): pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan
pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

MULTI DRUG RESISTANCE/MDR (RESISTEN GANDA)


A. DEFINISI
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap
rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum
resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :
 Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak
pernah mendapat pengobatan TB
 Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah
penderitanya sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya
atau tidak
 Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat
pengobatan sebelumnya (PDPI, 2006).
Drug Resistance TB dikonfirmasi melalui uji laboratorium yang
menunjukkan bahwa isolate Mycobacterium Tuberculosis dapat tumbuh
secara invitro meskipun dengan adanya satu atau lebih obat
antituberkulosis (OAT). Empat kategori resistensi OAT dapat dibedakan
atas:

18
 Mono-resistance: resistensi terhadap salah satu dari OAT
 Poly-resistance: resistensi terhadap lebih dari satu OAT, selain
isoniazid (INH) dan rifampisin secara bersamaan
 Multidrug-resistance: resisten terhadap sekurang-kurangnya
INH beserta rifampisin
 Extensive drug-resistance: Multidrug-resistance ditambah
resisteni terhadap salah satu golongan fluroquinolon, dan
sedikitnya satu dari tiga jenis obat lini kedua injeksi
(kapreomisin, kanamisin dan amikasin) (Yunita, 2011).

B. PATOFISIOLOGI TB-MDR
Kejadian resistensi M.Tuberculosis terhadap OAT adalah akibat
mutasi alami. Amplifikasi M.Tuberculosis yang resisten selanjutnya
terjadi akibat kesalahan manusia seperti:
 Kesalahan pengelolaan OAT
 Kesalahan manajemen kasus TB
 Kesalahan proses penyampaian OAT kepada pasien
 Kesalahan hasil uji DST
 Pemakaian OAT dengan mutu rendah
 Kurangnya keteraturan pengobatan atau pengobatan yang tidak
selesai
TB yang rentan OAT dan TB yang resisten menular dengan cara
yang sama yaitu melalui droplet saluran nafas yang menyebar di udara
(Yunita, 2011).
C. PENYEBAB
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat
tuberkulosis,yaitu :
 Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis

19
 Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, baik karena jenis
obatnya yang tidak tepat misalnya hanya memberikan INH dan
etambutol pada awal pengobatan, maupun karena di lingkungan
tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang
digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada
daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah
cukup tinggi
 Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan
dua atau tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti
kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama
dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
 Fenomena “addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu
obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak
berhasil.
 Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada
paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu
macam obat hanya akan menambah panjang nya daftar obat
yang resisten
 Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak
dilakukan secara baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti
obat
 Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke
suatu daerah kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-
bulan
 Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang
menimbulkan kebosanan
 Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB • Belum
menggunakan strategi DOTS (PDPI, 2006)

20
D. FAKTOR RESIKO
Beberapa faktor resiko untuk terjadinya kasus TB-MDR adalah:
 Pengobatan TB yang sebelumnya tidak berhasil(kasus kambuh,
gagal, kronik)
 Kontak erat dengan penderita TB-MDR
 Orang dengan daya tahan tubuh yang rendah
 Tinggal/lahir di tempat prevalensi TB-MDR yang tinggi
 Pencegahan dan pengendalian infeksi yang tidak adekuat
(Yunita, 2011)

E. MEKANISME RESISTENSI OAT


Mekanisme Resistensi Terhadap INH Isoniazid merupakan
hdyrasilasi dari asam isonikotonik, molekul yang larut air sehingga mudah
untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat
sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting pada
dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen
seperti rekasi katase peroksidase.
Mutan M.Tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara
spontan dengan kecepatan 1 dalam 10⁵-10⁶ organisme. Mekanisme
resistensi isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah
gen katalase peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang
dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan
berkurangya aktivitas katalase dan peroksidase (Syahrini, 2008).
Mekanisme Resistensi Rifampisin
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces
mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun
extraseluler. Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau
menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung DNA.
Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram
negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya
tinggi, biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada
21
frequensi 1: 10⁷ atau lebih. Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan
oleh adanya permeabilitas barrier atau adanya mutasi dari RNA
polymerase tergantung DNA. Rifampisin menghambat RNA polymerase
tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA
bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada
perpanjangan rantai (chain elongation), terapi RNA polymerase manusia
tidak terganggu. Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya
mutasi kromosom dengan frequensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi
yaitu 10 ˉ ⁷ sampai 10ˉ³, dengan akibat terjadi pada gen untuk beta subunit
dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat
ikatan obat tersebut (Syahrini, 2008).
Mekanisme Resistensi Terhadap Pirazinamid
Pirazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan
penting sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis.
Obat ini bekerja efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada
pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral, pirazinamid tidak berefek
atau hanya sedikit berefek. Obat ini merupakan bakterisid yang
memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana asam
pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil
tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pirazinoat.
Mekanisme resistensi pirazinamid berkaitan dengan hilangnya
aktivitas pirazinamidase sehingga pirazinamid tidak banyak yang diubah
menjadi asam pirazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pirazinamid ini
berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang menyandikan
pirazinamidase (Syahrini, 2008).
Mekanisme Resistensi Terhadap Etambutol
Etambutol merupakan turunan ethlyenediamine yang larut air dan
aktif hanya pada mycobakteria. Etambutol ini bekerja sebagai
bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme utamanya dengan
menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai

22
polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam
dinding sel.
Resistensi etambutol pada M.Tuberculosis paling sering berkaitan
dengan mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk
arabinosyltranferase. Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang
resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406
pada sekitar 90% kasus (Syahrini, 2008).
Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomisin
Streptomisin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi
dari Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis
protein dengan menggangu fungsi ribosomal.
Pada 2/3 strain M.Tuberkulosis yang resisten terhadap streptomisin
telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target
yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein
ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan
streptomisin ribosomal. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada
rpsl telh diindentifikasi sebanyak 50% isolate yang resisten terhadap
streptomisin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%. Pada sepertiga yang
menjadi lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frequensi resisten mutan
terjadi pada 1 dari 10⁵ sampai 10⁷ organisme. Strain M.Tuberculosis yang
resisten terhadap streptomisin tidak mengalami resisten silang terhadap
capreomisin maupun amikasin (Syahrini, 2008).

F. DIAGNOSA SUSPEK TB-MDR


Menurut Menkes RI, (2011):
1. Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)
2. Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.
3. Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non
DOTS.
4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
5. Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan.
23
6. Pasien TB kambuh.
7. Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default.
8. Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR
9. ODHA dengan gejala TB-HIV.

G. PENATALAKSANAAN
Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB
dengan MDR adalah berikut:
 Pengobatan menggunakan minimal 4 macam obat OAT yang
masih efektik
 Jangan menggunakn obat yang kemungkinan menimbulkan
resisten silang (cross-resistance)
 Membatasi penggunaan yang tidak aman
 Gunakan obat dari golongan/kelompok 1-5 secara hirarkis
sesuai potensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus
didasarkan pada pertimbangan khusus dari Tim Ahli Klinis
(TAK) dan disesuaikan dengan kondisi program.
 Panduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap
awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian
suntikan dengan lama minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah
terjadi konversi biakan.
 Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi
biakan Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2
kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari.
 Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan
tahap lanjutan menganut prinsip DOT = Directly/Daily
Observed Treatment, dengan PMO diutamakan adalah tenaga
kesehatan atau kader kesehatan.

Pilihan panduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini
adalah panduan standar ( standardized treatment), yaitu:
24
Km – E – Eto – Lfx – Z –Cs / E – Eto – Lfx – Z – Cs

Panduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB


MDR secara laboratoris dan dapat disesuaikan bila (Menkes RI, 2011):
1. Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau
riwayat penggunaan sebelumnya menunjukkan kemungkinan
besar terjadinya resistensi terhadap etambutol.
2. Panduan OAT disesuaikan panduan atau dosis pada:
 Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan
Rapid test, kemudian hasil konfirmasi DST
menunjukkan hasil resistensi yang berbeda.
 Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut
diatas sebelumnya sehingga dicurigai telah ada
resistensi.
 Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat
yang dapat diidentifikasi penyebabnya. Terjadi
perburukan klinis
H. EPIDEMIOLOGI
Secara global diperkirakan terdapat 630.000 kasus Multidrug
Resistant Tuberculosis (TB MDR). Kasus MDR TB dari tahun ke tahun
diperkirakan akan terus meningkat. Selama tahun 2011 kasus MDR TB di
Indonesia dilaporkan berjumlah 260 kasus. Diperkirakan pada tahun 2013
akan terdeteksi 1.800 kasus. Indonesia menjadi urutan ke 8 dalam kasus
MDR TB (WHO, 2011).

25
Multidrug Resistant Tuberculosis (TB MDR) Di Provinsi Sumatera Utara
A. Data Penemuan TB MDR Sumatera Utara

Sumber : Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017


Berdasarkan tabel diatas angka kejadian TB MDR di Sumatera Utara
meningkat setiap tahunnya.

26
B. Distribusi Kasus TB MDR per Kabupaten/Kota Sumatera Utara

Sumber : Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017


Berdasarkan tabel diatas angka kejadian TB MDR terbanyak terdapat di
Kota Medan serta kejadian TB MDR di setiap kabupaten/kota cenderung
menigkat setiap tahunnya.

27
C. Hasil Pengobatan TB MDR Sumatera Utara

Sumber : Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017


Berdasarkan tabel diatas angka pengobatan TB yang sembuh dan
berpengobatan lengkap setiap tahunnya menurun. Masih ada kasus default (putus
berobat) dan meninggal karena TB MDR, serta kasus yang masih menjalani
pengobatan meningkat setiap tahunnya.

I. PERMASALAHAN DAN PEMECAHAN MASALAH


Permasalahan TB MDR Sumatera Utara
1. Angka kejadian TB MDR cenderung menigngkat setiap tahunnya. Pada
tahun 2012 sebanyak 41 kasus, tahun 2013 sebanyak 62 kasus, tahun 2014
sebanyak 125 kasus, tahun 2015 sebanyak 123 kasus dan tahun 2016
sebanyak 179 kasus.
2. Masih ada kasus TB MDR yang pengobatannya default (putus berobat),
gagal dan meninggal dunia.
3. Angka pasien yang masih menjalani pengobatan setiap tahunnya
meningkat. Pada tahun 2012 dan 2013 sebanyak 0 pasien, tahun 2014

28
sebanyak 13 pasien, tahun 2015 sebanyak 68 pasien dan tahun 2016
sebanyak 105 pasien.

Pemecahan Masalah TB MDR Sumatera Utara


1. Menambah pengawas minum obat (PMO), dalam hal ini tujuan untuk
meningkatkan angka kepatuhan pasien TB MDR dalam pengobatan,
dengan demikian akan meningkatkan angka kesembuhan pasien serta
mengurangi angka pasien putus berobat.
2. Meningkatkan penyuluhan yang bersifat edukatif kepada masyarakat
tentang bahya TB Paru dan TB MDR agar dapat meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang TB Paru dan TB
MDR.
3. Tenaga Kesehatan lebih meningkatkan motivasi kepada masyarakat
untuk memeriksakan diri ke puskesmas jika menemui gejala-gejala
TB Paru sehingga berkuranglah angka ketidakmauan orang
memeriksakan diri ke puskesmas, dengan demikian pengobatan TB
paru berjalan dengan efisien.

29
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyakit Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri yang
menular dan disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang ditandai
dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Penyakit
tuberculosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar kehampir
seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus limfe.
Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan. Individu
kemudian dapat mengalamipenyakit aktif karena gangguan atau
ketidakefektifan respon imun. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat
Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
Sedangkan TB MDR adalah Resistensi ganda menunjukkan
M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa
OAT lainnya, secara global kasus TB MDR sejumlah 630.000 kasus dari
tahun ke tahun diperkirakan akan terus meningkat, untuk di Indonesia
dilaporkan berjumlah 260 kasus. Diperkirakan pada tahun 2013 akan
terdeteksi 1.800 kasus. Indonesia menjadi urutan ke 8 dalam kasus MDR
TB.
Angka kejadian TB MDR cenderung meningkat setiap tahunnya.
Pada tahun 2012 sebanyak 41 kasus, tahun 2013 sebanyak 62 kasus, tahun
2014 sebanyak 125 kasus, tahun 2015 sebanyak 123 kasus dan tahun 2016
sebanyak 179 kasus.
Dengan Angka yang masih tinggi ada baiknya jika pengawas
minum obat (PMO) agar ditambah dengan tujun untuk meningkatkan
angka kepatuhan pasien TB MDR dalam pengobatan, dengan demikian
akan meningkatkan angka kesembuhan pasien serta mengurangi angka
pasien putus berobat.

30
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. PDPI. Jakarta. 2011.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI . 2011. (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, 2011)
3. Panduan tatalaksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS
untuk praktik dokter swasta (DPS). Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta. 2012. (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2012)
4. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Utara. 2016. Laporan Tahunan Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatra Utara.
5. Tuberculosis Coalition for Technical Assistence. International standards
for tuberculosis tare (ISTC). 3nd Ed. Tuberkulosis Coalition for Technical
Assistence. The Hague. 2014. (Tuberculosis Coalition for Technical
Assistence, 2014)
6. P.T. Ward, Jeremy et al. 2008. At a Glance Sistem Respirasi ed. 2. Jakarta:
Erlangga Medical Series
7. Rab, Tabrani. 2013. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: TIM
8. Aditama, T. Y. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB. Kementerian
Kesehatan REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Diunduh: http://pppl.depkes.go.id /
_asset /_regulasi/STRANAS_TB.pdf. [Diakses pada 3 Juni 2014]
9. Ah ̣mad, I., Aqil, F., & Wiley InterScience (Online service) (2008). Types
of bacterial infections. New strategies combating bacterial infection.
Weinheim: WileyVCH. Hal 73.
10. Crofton, J. 2002. Diagnosis TB. Tuberkulosis Klinis (2nd ed.)..Indonesia:
Penerbit Widya Medika. Hal 96-103

31
11. Dalimunthe, N., Keliat, E.N., Abidin, A. Penatalaksanaa Tuberkulosis
dengan Resistensi Obat Anti Tuberkulosis. Divisi Pulmonologi Alergi
Imunologi, Departmen Ilmu Penyakit Dalam,Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera. Diunduh:
http://www.ikaapda.com/resources/PAI/Reading/ PENATALA
KSANAAN-TUBERCULOSIS-DENGAN-RESISTENSI-OBAT-
ANTITUBERCULOSIS.pdf. [Diakses pada 20 Maret 2014)
12. Djojodibroto, D. 2009. Tuberkulosis Paru. Respirologi (Respiratory
Medicine). Jakarta: EGC. Hal 151-168.
13. Herlina, L. Tuberkulosis dan Faktor Resiko Kejadian Multidrug Resistant
Tuberculosis (MDR TB/Resistensi Ganda). Ilmu Kesehatan Masyarakat
Universitas Padjadjaran. Diunduh: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_Tuberkulosis_-dan_-
faktor_risiko_-kejadian.pdf. [Diakses pada 15 Maret 2014]
14. Hiswani, 2004. Tuberkolosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih
Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara. Diunduh:
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkmhiswani6.pdf. [Diakses pada 22
Februari 2014]
15. International Union Against Tuberculosis And Lung Disease (2010)
Diunduh: http://www.theunion.org/index.php/en/what-we-do/ tuberculosis.
[Diakses pada 15 Maret 2014]
16. Mapparenta, M.A., Suriah., Ibnu, I.F. 2013.Perilaku Pasien Tuberkulosis
Tipe MDR Di BBKPM dan RSUD Labung Baji Kota Makassar Tahun
2013. Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS. Diunduh:
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle /123456789/
5698/JURNAL%20MUFIDAH%20AULIYA%20MAPPARENTA.pdf?se
que nce=1. [Diakses pada 5 Maret 2014]
17. Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2011). (2nd ed) Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2009.
Pedomen Penanggulan Tuberkulosis (TB).
32
18. Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2009). Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2009. Pedomen
Penanggulan Tuberkulosis (TB)
19. Otaviani, D. 2011. Hubungan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis
dengan Status Gizi Anak Penderita Tuberkulosis Paru. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. Diunduh: http://eprints.undip.ac.id
[Diakses pada 25 Maret 2014]
20. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2006. Tuberkulosis: Pedoman
Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Diunduh:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/ tb.tb.html. [Diakses pada 2 April
2014]
21. Rahajoe, N. 2010. Diagnosis dan Penatalaksanaan TB. Buku Ajar
Respirologi Anak (1st ed.). Jakarta, Indonesia. Hal 163-170
22. Sarwani, Nurlaela, S.,A Zahratul, Isnani 2012. Faktor Risiko Multidrug
Resistant Tuberculosis (MDR-TB). Jurnal Kesehatan Masyarakat.
Diunduh: http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas. [Diakses pada 28
Maret 2014]
23. Syahrini, H. 2008. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. Departmen Ilmu
Penyakit Dalam R.S.U.P. H. Adam Malik Universitas Sumatera Utara.
24. Tirtana, B.T. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan
Pengobatan pada Pasien Tuberkulosis Paru dengan Resistensi Obat Anti
Tuberkulosis di Wilayah Jawa Tengah. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. Diunduh: http://eprints.undip.ac.id/32879/1/Bertin.pdf.
[Akses 28 Maret 2014]
25. Werdhani, R. A. Patofisiologi,Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosis.
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga,FKUI.
Diunduh: http://staff.ui.ac.id/system/files/users/retno.asti /material/
patodiagklas.pdf. [Diakses pada 14 Maret 2014]
26. Yunita, R. 2011 Multi-Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB).
Departmen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

33

Anda mungkin juga menyukai