Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Demam Tifoid

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat akut yang

disebabkan oleh Salmonella typhi2. Selain itu menurut Kemenkes RI no. 364 tahun

2006 tentang pengendalian demam tifoid, demam tifoid adalah penyakit yang

disebabkan oleh kuman berbentuk basil yaitu Salmonella typhi yang ditularkan

melalui makanan atau minuman yang tercemar feses manusia2.

2. Epidemiologi Demam Tifoid

Penyakit demam tifoid bersifat endemik di Indonesia. Penyakit ini tersebar di

seluruh wilayah dengan jumlah yang tidak berbeda jauh. Insidens rate demam tifoid

di Asia Selatan dan Tenggara termasuk China pada tahun 2010 rata-rata 1.000 per

100.000 penduduk per tahun, di Papua New Guinea sekitar 1.208 per 100.000

penduduk per tahun. Dan pada tahun 2013 World Health Organization (WHO),

memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus dengan angka kematian akibat demam

tifoid mencapai 600.000 dan 70% nya terjadi di Asia, di Indonesia Menurut data

WHO, penderita demam tifoid di Indonesia cenderung meningkat setiap tahun dengan

rata-rata 800 per 100.000 penduduk6.

Angka kematian demam tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR (Case

Fatality Rate) sebesar 10%. Tingginya insidens rate penyakit demam tifoid di negara

berkembang sangat erat kaitannya dengan status ekonomi serta keadaan sanitasi

lingkungan di negara yang bersangkutan6.

2
3

3. Etiologi Demam Tifoid

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella

paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak

membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak dengan rambut

getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam

air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600ᴼC)

selama 15–20 menit, S. Typhi masuk ke tubuh manusia secara fecal-oral, dan melalui

alat/makanan yang terkontaminasi3.

Bakteri ini mempunyai beberapa komponen antigen, yaitu :

a. Antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik

grup.

b. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam flagella

dan bersifat spesifik spesies.

c. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang

melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi dapat menghambat proses

aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi antigen O dari proses

fagositosis. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektivitas

vaksin. S.typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagian terluar dari

dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan

lipid A. Ketiga antigen di atas di dalam tubuh akan membentuk antibodi

aglutinin.

d. Outer Membrane Protein (OMP). Merupakan bagian dari dinding sel terluar

yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang

membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya. OMP berfungsi sebagai barier


4

fisik yang mengendalikan masuknya cairan ke dalam membran sitoplasma.

Selain itu OMP juga berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan

bakteriosin yang sebagian besar terdiri dari protein purin, berperan pada

patogenesis demam tifoid dan merupakan antigen yang penting dalam

mekanisme respon imun pejamu. Sedangkan protein non purin hingga kini

fungsinya belum diketahui secara pasti.

Demam tifoid berdasarkan faktor yang mempengaruhi (Determinan), yaitu:

1) Faktor Host

Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman salmonella thypi. Terjadinya

penularan salmonella thypi sebagian besar melalui makanan minuman yang

tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar

bersama dengan tinja atau urine dapat juga terjadi trasmisi plasenta dari seorang

ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya.

2) Faktor Agent

Demam tifoid disebabkan oleh kuman salmonella typhi. Jumlah kuman

yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105-109 kuman yang tertelan

melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah

salmonella typhi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit

demam tifoid.

3) Faktor Enviroment (lingkungan)

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di

daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai
5

dengan standar kebersihan dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang

mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan

penduduk, sumber air minum dan standar kebersihan industri pengolahan

makanan yang masih rendah.

Gambar 1.1 Kuman Salmonella typhi

Sumber : World Health Organization (WHO), 2011

4. Patofisiologi Demam Tifoid

Patofisiologi demam tifoid dimulai dari kuman S. typhi masuk ke tubuh

manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman

dimusnahkan oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan selanjutnya

berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik,

maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke

lamina propria4.

Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit

terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag

dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan mencapai jaringan limfoid
6

plaque Peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi. Ditempat ini komplikasi

perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman S. typhi kemudian

menembus ke lamina propina, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe

messenterial yang juga mengalami hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar

limfe ini S. typhi masuk kealiran darah melalui duktus thoracicus (mengakibatkan

bakterimia pertama yang asimptomatik). Kuman-kuman S. typhi lain mencapai hati

melalui sirkulasi portal dari usus. S. typhi bersarang di plaque Peyeri, limpa, hati dan

bagian-bagian lain organ sistem retikuloendotial4.

Di organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang

biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah

lagi sehingga mengakibatkan bakterimia kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda

dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung

empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara

intermiten ke lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian

masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang

kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis

kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya

akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,

sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi4.

Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia

jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar

plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel

mononuklear di dinding usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang

hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat menghasilkan perforasi. Endotoksin
7

dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi

seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ

lainnya4.

Semula disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid

disebabkan oleh endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian-eksperimental

disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan

gejala-gejala toksemia pada demam tifoid. Endotoksin S. typhi berperan pada

patogenesis demam tifoid, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada

jaringan setempat S. typhi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena S.

typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit

pada jaringan yang meradang4.

Banyak orang yang tidak terlihat sakit tapi berpotensi menyebarkan penyakit

tifoid. Inilah yang disebut dengan pembawa penyakit tifoid. Meski sudah dinyatakan

sembuh, bukan tidak mungkin mantan penderita masih menyimpan bakteri tifoid

dalam tubuhnya. Bakteri bisa bertahan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

Sebagian bakteri penyebab tifoid ada yang bersembunyi di kantong empedu. Bisa saja

bakteri ini keluar dan bercampur dengan tinja. Bakteri ini dapat menyebar lewat air

seni atau tinja penderita4.

5. Manifestasi Klinis Demam Tifoid

Gejala klinis demam tifoid disebut trias tifoid yang terdiri dari demam lebih

dari 7 hari naik turun, gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran. Demam tifoid

termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang undang nomor 6 Tahun

1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang
8

mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan

wabah11.

Keluhan dan gejala demam tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti

flu ringan sampai sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara

klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan

fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat6.

a. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan suhu tubuh yang makin hari makin

meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada

malam hari.

b. Gejala gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung,

hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemis.

c. Gejala saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma.

Berbagai tanda dan gejala yang bisa timbul :

1) Demam tinggi dari 39° sampai 40 °C (103° sampai 104 °F) yang meningkat
secara perlahan
2) Tubuh menggigil
3) Denyut jantung lemah (bradycardia)
4) Badan lemah (“weakness”)
5) Sakit kepala
6) Nyeri otot myalgia
7) Kehilangan nafsu makan
8) Konstipasi
9) Sakit perut
10) Pada kasus tertentu muncul penyebaran vlek merah muda (rose spots)
9

6. Penegakan Diagnosa Demam Tifoid

Diagnosa demam tifoid ditegakkan berdasarkan6:

a. Diagnosis Klinis

Diagnosis klinis demam tifoid adalah menemukan sindroma klinis tifoid dari

anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat demam

(>38ᴼC) lebih dari 3 hari, disertai malaise, nyeri abdomen difusm, diare dan atau

konstipasi. Demam muncul di sore hari, terus menetap hingga malam hari dan

menurun di pagi hari. Demam yang muncul mencapai puncaknya 39-40ᴼC. Pada pagi

hari anak masih dapat beraktivitas secara normal.

Pada minggu pertama muncul gejala gastrointestinal seperti nyeri perut, mual

dan muntah diakibatkan pendesakan hepatomegali dan peregangan saluran

pencernaan. Inflamasi pada Plak Peyeri usus halus menyebabkan obstruksi saluran

pencernaan sehingga terjadi konstipasi. Nyeri kepala, gangguan kesadaran delirium

hingga sopor dapat terjadi akibat demam yang sangat tinggi. Pada akhir minggu

pertama akan muncul makulopapul merah muda di trunkus (roseola spot) yang

umumnya hilang dalam 2–5 hari. Papul tersebut berisi emboli bakteri yang terdeposit

ke dermis

Pada minggu kedua masih dijumpai gejala-gejala gastrointestinal, dan

abdomen mengalami distensi akibat hepatomegali/splenomegali.

Pada minggu ketiga penderita dapat mengalami diare tifoid yang berbau,

warna kuning kehijauan (Pea soup diarrhea), kondisi ensefalopati tifoid dapat dialami

mulai dari apatis, delirium hingga psikosis tifoid. Nekrosis plak peyer yang terjadi

dapat menyebabkan perdarahan saluran cerna dan peritonitis.


10

Pada minggu keempat demam dan kondisi delirium bisa membaik, beberapa

penderita menjadi karier kronik bakteri.

b. Diagnosis Penunjang

1) Kultur

Kultur merupakan diagnostik gold standard demam tifoid. Sampel yang

digunakan adalah darah, sumsum tulang, cairan empedu maupun duodenum

didapatkan pada saat 7 hingga 10 hari pertama. Hasil kultur positif

mengindikasikan pemeriksaan serologi tidak diperlukan

2) Widal

Uji widal masih menjadi uji serologis rutin di berbagai daerah endemik,

namun uji ini memiliki banyak kelemahan seperti rendahnya sensitivitas dan

spesifisitas, serta manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan

karena belum ada kesepakatan nilai standar aglutinasi (cut-off point).

3) Tes Tubex

Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dan dapat digunakan

untuk pemeriksaan rutin karena prosesnya cepat, akurat, mudah dan sederhana.

Respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat karena antigen O9 bersifat

immuno dominan yang mampu merangsang respon imun, sehingga deteksi anti‐

O9 dapat dilakukan padahari ke-4 hingga ke-5 (infeksi primer) dan hari ke-2

hingga ke-3 (infeksi sekunder). Skor Tes Tubex <2 negatif, 3 bordeline, 4-5

menunjukan infeksi tifoid aktif, >6 Indikasi kuat infeksi tifoid.


11

7. Penatalaksanaan Demam Tifoid

Sampai saat ini trilogi penatalaksanaan demam tifoid adalah6:

a. Istirahat dan Perawatan

Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi.

Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi,

buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa

penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian,

dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah

dekubitus dan pneumonia ortostatik.

b. Diet dan terapi penunjang

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit

demam tifoid, kerena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan

gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama, di

masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan

menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut

disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur tersebut ditujukan

untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini

disebabkan ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti

menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk

rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan

dengan aman pada pasien demam tifoid.


12

c. Pemberian Antimikroba

1) Kloramfenikol

Di indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan untuk

mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.

Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak

dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan

obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7 hari. Penulis lain menyebutkan

penurunan demam dapat terjadi rata-rata setelah hari ke 5. Pada penelitian yang

dilakukan selama 2002 hingga 2008 oleh Moehario LH dkk didapatkan 90%

kuman masih memiliki kepekaan terhadap antibiotik ini.

2) Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan

kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadi

anemia aplastik lebih rendah dibandingkan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol

adalah 4x500 mg, dengan demam rata-rata menurun pada hari ke5 sampai ke6.

3) Kotrimoksazol

Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis

untuk anak 2 kali sehari (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg

trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.


13

4) Ampisilin dan amoksisilin

Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah

dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50–150

mg/kkBB dan digunakan selama 2 minggu.

5) Sefalosporin Generasi Ketiga

Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke–3 yang terbukti efektif

untuk demam tifoid adalah setriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3–4

gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama setengah jam perinfus sekali

sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.

6) Fluorokuinolon

Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya

a) Norfloksasi dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari

b) Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari

c) Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari

d) Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

e) Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

f) Levofloksasin dosis 1 x 500 mg/hari selama 5 hari

7) Azitromisin

Azitromisin 2 x 500 mg menunjukan bahwa penggunaan obat ini jika

dibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromisin secara signifikan mengurangi

kegagalan klinis dan durasi rawat inap, terutama jika penelitian mengikut sertakan

pula strain MDR (multi drug resistance) maupun NARST (Nalidixic Acid

Resistant S. Typhi). Jika dibandingkan dengan setriakson, penggunaan azitromisin

dapat mengurangi angka relaps (kambuh). Azitromisin mampu menghasilkan


14

konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun konsentrasi dalam darah

cenderung rendah. Antibiotika akan terkonsentrasi di dalam sel, sehingga

antibiotika ini menjadi ideal untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S.

Typhi yang merupakan kuman intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisin

dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan intravena.

8) Kombinasi Obat Antibiotika

Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan

tertentu saja antara lain toksid tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik,

yang pernah ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman

Salmonella.

Kortikosteroid, penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid

atau demam tifoid yang mengalami syok septik dengan deksametason dosis

3x5mg.

8. Pencegahan Demam Tifoid

Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan

khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan kebersihan

perorangan dan sanitasi karena untuk menurunkan insidensi demam tifoid.

Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah, menjaga kebersihan

perorangan dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak

tercemar Salmonella typhi, pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan

terhadap penjual (keliling) minuman/makanan7.


15

Selain cara di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para

pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid. Vaksin-vaksin

yang sudah ada yaitu:

a) Vaksin Vi Polysaccharide. Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2

tahun dengan dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif

selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin

ini memberikan efikasi perlindungan sebesar 70-80%.

b) Vaksin Ty21a Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang

diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-

masing diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan sesudah

vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan efikasi perlindungan

67-82%.

c) Vaksin Vi-conjugate, Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun.

Anda mungkin juga menyukai