Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

PERFORASI GASTER

Disusun oleh :
Zsa Zsa Septriani Gasong
1261050290

Pembimbing :
dr. I Wayan Wisnu Brata, SpB

KEPANITERAAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 12 DESEMBER 2016 25 FEBRUARI 2017
JAKARTA

1
BAB I

PENDAHULUAN

Akut abdomen terhitung hingga 40% dari semua kasus emergensi di

rumah sakit dengan lebih dari tujuh juta kunjungan per tahun di IGD dengan nyeri

perut di Amerika Serikat. Sebagian besar dari kasus-kasus ini terjadi secara

sekunder akibat perforasi1-3. Perforasi gastrointestinal menyebabkan kematian

yang cukup besar dan biasanya membutuhkan operasi darurat. Kematian dari

peritonitis adalah sebesar 90% pada awal abad kedua puluh dan masih 30%

sampai 50% meskipun kemajuan antibiotik, teknik bedah, pencitraan radiografi,

dan terapi resusitasi.4,5

Semua penyebab perforasi saluran pencernaan melibatkan hilangnya

integritas dinding pencernaan dan pelepasan isi intraluminal ke dalam rongga

peritoneum biasanya steril. Penyebab perforasi dikategorikan menurut

patofisiologi awal seperti (1) perforasi penetrasi benda asing, (2) obstruksi

ekstrinsik usus, (3) obstruksi intrinsik usus, (4) kehilangan integritas dinding usus

tanpa perforasi benda asing seperti ulkus peptikum, (5 ) iskemia gastrointestinal

dan (6) infeksi.6,7

Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek

dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke

dalam rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk

terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut (keadaan ini dikenal dengan

2
istilah peritonitis). Perforasi lambung berkembang menjadi suatu peritonitis kimia

yang disebabkan karena kebocoran asam lambung kedlam rongga perut. Perforasi

dalam bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan suatu kasus

kegawatan bedah.

Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-penyakit

seperti ulkus gaster, appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis,

sindroma arteri mesenterika superior,dan trauma.8

Setiap tahun penyakit ulkus peptikum mempengaruhi 4 juta orang di

seluruh dunia9. Komplikasi dialami oleh 10% -20% dari pasien-pasien ini dan 2%

-14% dari ulkus mengalami perforasi10,11. Perforasi ulkus peptikum (PUD) jarang

terjadi namun mengancam jiwa dan angka kematian bervariasi dari 10% -40% 12-14.

Wanita terhitung lebih dari setengah kasus, terutama pada pasien yang tua

memiliki komorbiditas lebih daripada pria14. Faktor etiologi utama termasuk

penggunaan obat anti inflamasi non steroid(OAINS), steroid, merokok,

Helicobacter pylori (H. pylori) dan diet tinggi garam 11,15. Semua faktor ini

memiliki kesamaan bahwa mereka mempengaruhi sekresi asam dalam mukosa

lambung. Menentukan faktor etiologi yang tepat pada pasien mungkin sulit,

karena lebih dari satu faktor risiko dapat hadir dan mereka cenderung

berinteraksi16.

Penyebab lain dari perforasi lambung adalah trauma, keganasan, benda

asing atau menelan benda korosif, dan hal yang terjadi sebagai akibat dari

intervensi diagnostik atau terapeutik (iatrogenik). Luka trauma pada perforasi

lambung dan duodenum jarang terjadi, terdiri dari hanya 5,3% dari semua cedera

3
tumpul organ, tetapi dikaitkan dengan tingkat komplikasi dari 27% menjadi

28%17. Perforasi dari keganasan dapat disebabkan oleh obstruksi dan peningkatan

tekanan luminal18. benda asing, tertelan baik sengaja atau tidak sengaja dapat

menyebabkan perforasi, baik melalui cedera langsung atau sebagai akibat dari

obstruksi lumen.19,20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Lambung

1. Anatomi

Lambung mudah dikenali sebagai organ yang berbentuk seperti buah pir,

asimetris dan terletak di tengah-tengah saluran pencernaan. Bagian dari organ

lambung yang melekat ke esofagus disebut kardia. Mengarah ke tengah dari

kardia pada bagian persimpangan gastroesophageal (GE) adalah bagian bawah

esophageal sphincter walau secara anatomis kurang jelas tapi dapat dibuktikan

secara fisiologis. Pada akhir distal, pyloric sphincter nampak menghubungkan

4
lambung ke duodenum proksimal. Lambung relatif tetap pada titik-titik tersebut,

tetapi bagian tengah yang besar cukup mobile dengan kelengkungan yang lebih

rendah dan lebih pendek di sebelah kanan serta kelengkungan yang lebih besar di

sebelah kiri.

Bagian lambung yang paling superior adalah fundus yang dapat

dikembungkan, dibatasi secara superior oleh diafragma dan secara lateral oleh

limpa. Sudut dari His adalah dimana fundus bertemu dengan bagian kiri dari

persimpangan GE. Umumnya, bagian inferior dari fundus dianggap sebagai

bidang horizontal dari persimpangan GE, di mana tubuh (corpus) dari lambung

dimulai. Tubuh lambung sebagian besar berisi sel parietal (oxyntic), beberapa di

antaranya juga terdapat dalam kardia dan fundus. Pada angularis, incisura dari

lesser curvature berubah ke kanan, menandai awal anatomi dari antrum, yang

terdiri dari distal 25% sampai 30% dari lambung.

Organ yang umumnya berbatasan dengan lambung adalah hati, usus, limpa,

pankreas, dan kadang-kadang ginjal. Segmen lateral kiri hati biasanya mencakup

sebagian besar dari anterior lambung. Secara inferior, lambung melekat pada

colon transversus dari gastrocolic omentum. Lesser curvature yang ditambatkan

ke hati oleh hepatogastric ligament, juga disebut sebagai lesser omentum atau

pars flaccida. Posterior dari lambung adalah lesser omental bursa dan pankreas.

5
Suplai Darah Arteri dan Vena

Lambung adalah bagian yang paling kaya vaskularisasi dari saluran

pencernaan dengan aliran darah yang cukup dan intramural jaringan anastomosis

pembuluh darah padat. Sebagian besar pasokan darah lambung adalah dari celiac

axis melalui empat arteri bernama (Gambar. 26-3). Arteri lambung kiri dan kanan

membentuk sebuah barisan anastomotic sepanjang lesser curvature, sedangkan

bagian kanan dan kiri arteri gastroepiploic membentuk barisan sepanjang

lengkungan lambung yang lebih besar (greater curvature). Arteri terbesar pada

lambung adalah arteri lambung kiri, yang biasanya muncul langsung dari batang

celiac dan dibagi menjadi cabang naik dan turun sepanjang lengkungan lambung

yang lebih rendah (lesser curvature). Sekitar 20% dari setiap waktunya, arteri

lambung kiri memasok pembuluh menyimpang yang bergerak di gastrohepatic

ligamen (lesser omentum) ke sisi kiri hati. Jarang atau tidak terlalu sering, hal ini

merupakan satu-satunya suplai darah arteri ke bagian hati, dan ligasi yang sengaja

dapat menyebabkan iskemia hati klinis yang signifikan dalam keadaan yang tidak

6
biasa ini. Biasanya arteri hepatika kiri yang lebih kecil yang menyimpang dapat

diligasi tanpa konsekuensi signifikan.

Arteri terbesar kedua dari lambung adalah arteri kanan gastroepiploic, yang

timbul secara konsisten dari arteri gastroduodenal dibelakang bagian pertama

duodenum. Arteri gastroepiploic kiri muncul dari arteri limpa, dan bersama-sama

dengan arteri gastroepiploic kanan, membentuk barisan gastroepiploic kaya

sepanjang greater curvature. Arteri lambung kanan biasanya timbul dari arteri

hepatika dekat pilorus dan hepatuduodenal ligament, dan berjalan secara

proksimal di sepanjang lambung distal. Dalam fundus sepanjang lengkungan

besar (greater curvature) proksimal, arteri lambung pendek dan vena timbul dari

sirkulasi limpa. Terdapat kemungkinan juga ada cabang pembuluh darah

tambahan ke lambung proksimal dari sirkulasi phrenic dan limpa.

Pembuluh darah vena yang mengaliri lambung umumnya mengalir bersamaan

dengan arteri. Vena lambung kiri (coronary vein) dan lambung kanan biasanya

mengalir ke vena portal, meskipun kadang-kadang coronary vein mengalir ke

dalam pembuluh darah limpa. Vena gastroepiploic kanan mengalir ke dalam vena

superior mesentric yang berada dekat batas inferior dari leher pankreas,

sedangkan vena gastroepiploic kiri mengalir ke vena limpa.

7
Persarafan

Nervus Vagus memberikan distribusi saraf parasimpatis ekstrinsik ke

lambung, dan asetilkolin merupakan neurotransmitter yang paling penting. Dari

inti vagal di lantai ventrikel serebral keempat, vagus melintasi leher dalam

selubung karotis dan memasuki mediastinum, yang mana memberikan saraf laring

berulang dan terbagi menjadi beberapa cabang di sekitar esofagus. Cabang-cabang

ini datang bersama-sama kembali di atas esophageal hiatus dan membentuk kiri

(anterior) dan kanan (posterior) batang vagal (mnemonic LARP). Dekat

persimpangan GE vagus anterior mengirimkan cabang (atau cabang-cabang) ke

8
hati di ligamen gastrohepatic, dan terus sepanjang lesser curvature sebagai saraf

anterior Latarjet (Gambar. 26-5). Demikian pula, posterior vagus mengirimkan

cabang ke celiac plexus dan terus sepanjang posterior lesser curvature. Saraf

Latarjet mengirim cabang segmental ke tubuh lambung sebelum mereka berakhir

dekat angularis incisura sebagai "kaki gagak," mengirimkan cabang ke wilayah

antropyloric. Terdapat kemungkinan ada cabang tambahan untuk lambung distal

dan pylorus yang melakukan perjalanan dekat lambung kanan dan/atau arteri

gastroepiploic. Dalam 50% dari pasien, ada lebih dari dua saraf vagal pada

esophageal hiatus. Cabang dimana posterior vagus mengirim ke fundus posterior

disebut the criminal nerve of Grassi. Cabang ini biasanya muncul di atas

esophageal hiatus dan seringkali luput selama truncal atau highly selective

vagotomy (HSV). Serat vagal berasal dari sinaps otak dengan neuron di

Auerbachs myenteric plexus dan Meissners submucosal plexus. Di lambung,

saraf vagus mempengaruhi sekresi (termasuk asam), fungsi motorik, dan aliran

darah mukosa serta sitoproteksi (cytoprotection). Saraf vagus juga memainkan

peran dalam mengendalikan nafsu makan dan bahkan mungkin kekebalan mukosa

dan peradangan. Sebagian besar akson yang terkandung dalam batang vagal

bersifat afferent (membawa rangsangan dari isi lambung ke otak).

Pasokan luas saraf simpatis ke lambung berasal pada tingkat spinal T5 melalui

T10 dan perjalanan di saraf splanchnic hingga celiac ganglion. Saraf simpatis

postganglionik kemudian melakukan perjalanan dari celiac ganglion ke lambung

sepanjang pembuluh darah.

9
Histologi

Terdapat empat lapisan yang berbeda pada dinding lambung: mucosa,

submucosa, muscularis propria, dan serosa. Lapisan dalam dari lambung adalah

mucosa, yang dilapisi dengan sel epitel kolumnar dari berbagai jenis. Di bawah

membran dasar/basal sel epitel adalah lamina propria, yang berisi jaringan ikat,

pembuluh darah, serabut saraf, dan sel-sel inflamasi. Di bawah lamina propria

adalah lapisan otot tipis yang disebut muscularis mucosa, batas dalam lapisan

mukosa usus. Epithelium, lamina propria, dan muscularis mucosa membentuk

mukosa. Epitel dari mukosa lambung adalah kelenjar columnar. Sebuah hasil

pemindaian mikrograf elektron menunjukkan karpet mukosa halus diselingi oleh

bukaan kelenjar lambung. Kelenjar lambung dilapisi oleh berbagai jenis sel epitel,

10
bergantung pada lokasi mereka di dalam lambung. Terdapat juga sel endokrin

yang hadir dalam kelenjar lambung. Sel progenitor yang beradan di dasar kelenjar

membedakan dan mengisi kembali sel-sel yang terkelupas secara teratur. Di

sepanjang lambung, karpet terutama terdiri dari sel-sel epitel permukaan mukus

(SECs) yang memanjang ke dalam lubang kelenjar untuk jarak yang berubah-

ubah. Sel-sel ini juga mengeluarkan bikarbonat dan memainkan peran penting

dalam melindungi lambung dari cedera/luka akibat asam, pepsin, dan / atau iritasi

pencernaan. Bahkan semua sel epitel lambung (kecuali sel endokrin) mengandung

carbonic anhydrase dan mampu menghasilkan bikarbonat.

Di dalam kardia (cardia), kelenjar lambung memiliki banyak cabang dan

terutama mensekresi/mengeluarkan lendir dan bikarbonat, dan sedikit asam. Di

fundus dan tubuh (body), kelenjar tersebut berbentuk seperti tabung dan

lubangnya dalam. Parietal dan chief cells merupakan sel yang umum di kelenjar

11
ini. Sel histamine-secreting enterochromaffin-like (ECL) dan sel somatostatin-

secreting D juga ditemukan di kelenjar ini. Sel-sel parietal

mensekresikan/mengeluarkan asam dan faktor intrinsik ke dalam lumen lambung,

dan bikarbonat ke dalam antar ruang (intercellular space). Kelenjar ini memiliki

karakteristik penampilan ultrastructural dengan secretory canaliculi (invaginasi

mendalam dari membran permukaan), dan cytoplasmic tubulovesicles yang

mengandung perlengkapan penghasil asam H + / K + ATPase (pompa proton).

Terdapat juga mitokondria yang banyak; bahkan pada kenyataannya sel parietal

adalah sel yang paling kaya akan mitokondria dalam tubuh. Ketika sel parietal

diberi rangsangan, cytoplasmic tubulovesicles berfusi dengan membran sekretori

kanalikuli; ketika produksi asam berhenti, proses kemudian dibalik. Dapat

dikatakan, sel parietal menghasilkan satu-satunya zat yang benar-benar penting

dibuat oleh lambung (contohnya, faktor intrinsik). Sel parietal cenderung

menempati bagian tengah (midportion) dari kelenjar lambung yang ditemukan di

korpus lambung.

Chief cells (juga disebut zymogenic cells) mensekresikan/mengeluarkan

pepsinogen I, yang maksimal diaktifkan pada pH 2,5. Sel ini cenderung tersebar

ke arah pangkal kelenjar lambung dan memiliki bentuk kolumnar rendah (low

columnar). Secara ultrastruktural, chief cells memiliki karakterisik sel sintesi

protein (protein-synthesizing cells): basal granular endoplasmic reticulum,

supranuclear Golgi apparatus, dan apical zymogen granules (Gambar 26-10).

Ketika dirangsang, sel-sel chief memproduksi dua bentuk proenzim imunologis

berbeda dari pepsinogen: sebagian besar pepsinogen I dan beberapa pepsinogen II,

12
yang sebagian besar dihasilkan oleh SECs. Proenzim ini diaktifkan dalam

lingkungan luminal asam.

Di antrum, kelenjar lambung kembali bercabang dan dangkal, jarang

ditemukan sel parietal, namun didapati sel gastrin-secreting G serta sel

somatostatin-secreting D. Berbagai sel yang mensekresi hormon hadir dalam

berbagai proporsi di seluruh mukosa lambung (Gambar. 26-11). Analisis

histologis menunjukkan bahwa di lambung yang normal, 13% dari sel-sel epitel

merupakan sel oxyntic (parietal), 44% adalah sel chief (zymogenic), 40% adalah

sel mukosa, dan 3% adalah sel endokrin. Secara umum, antrum menghasilkan

gastrin tapi tidak asam, dan lambung proksimal menghasilkan asam tetapi tidak

gastrin. Batas antara corpus dan antrum bermigrasi secara proksimal seiring usia

(terutama pada sisi lesser curvature lambung).

Semakin kedalam dari muscularis mucosa adalah submucosa, yang kaya akan

pembuluh darah bercabang, limfatik, kolagen, berbagai sel inflamasi, dan serabut

saraf sera sel-sel ganglion dari Meissners autonomic submucosal plexus.

Submukosa yang kaya akan kolagen memberikan kekuatan untuk anastomosis GI.

Mukosa dan submukosa terlipat ke dalam kerut lambung yang terlihat jelas,

dimana cenderung rata kembali ketika lambung membusung/membuncit.

Di bawah submukosa adalah muskularis propria tebal (disebut juga sebagai

muscularis externa), yang terdiri dari sebuah lapisan dalam miring yang tidak

sempurna, lapisan lingkar tengah lengkap (bersambung hingga otot melingkar

esofagus dan otot melingka pilorus), dan lapisan longitudinal luar lengkap

(bersambung dengan lapisan longitudinal esofagus dan duodenum). Di dalam

muskularis propria terdapat jaringan kaya ganglia otonom dan saraf yang

13
membentuk Auerbachs myenteric plexus. Didapati juga sel perintis, serta sel-sel

interstitial dari Cajal (ICC).

Lapisan luar dari lambung adalah serosa yang juga dikenal sebagai visceral

peritoneum. Lapisan ini memberikan kekuatan tarik yang signifikan untuk

anastomosis lambung. Ketika tumor yang berasal dari mukosa menembus serosa,

mikroskopis atau kotor metastasis peritoneal mikroskopis atau terlihat jelas umum

terjadi, diasumsikan dari peluruhan sel-sel tumor yang tidak akan terjadi jika

serosa belum ditembus. Dengan cara ini, serosa dapat dianggap sebagai amplop

luar lambung.

2. Fisiologi Lambung

Organ lambung menyimpan makanan dan memfasilitasi pencernaan

melalui berbagai fungsi sekretorik dan motorik. Fungsi penting sekresi termasuk

produksi asam, pepsin, faktor intrinsik, lendir, dan berbagai hormon GI. Fungsi

penting motorik termasuk penyimpanan makanan (relaksasi reseptif dan

akomodasi), penggilingan dan pencampuran, pengosongan terkontrol dari

makanan yang telah dicerna, dan periodic interprandial housekeeping."

Sekresi Asam

Asam klorida dalam lambung mempercepat pemecahan makanan yang

sudah ditelan baik secara fisik dan (dengan pepsin) secar biokimia. Dalam

lingkungan asam, pepsin dan asam memfasilitasi proteolysis. Asam lambung juga

menghambat proliferasi patogen tertelan, yang kemudian melindungi dari

gastroenteritis menular serta pertumbuhan bakteri usus. Penekanan asam jangka

14
panjang dengan inhibitor pompa proton (PPsI) telah dikaitkan dengan peningkatan

risiko komunitas yang diperoleh dari Clostridium radang usus besar (colitis) dan

gastroenteritis lainnya, kemungkinan karena tidak adanya penghalang/batas bagi

kuman pelindung ini.

Sel Parietal

Sel parietal terangsang untuk mensekresi asam (Gambar. 26-12) ketika

satu atau lebih dari tiga jenis reseptor membran dirangsang oleh asetilkolin (dari

serabut saraf vagal), gastrin (dari sel D), atau histamin (dari sel ECL). Enzim H

+ / K + ATPase sebagai pompa proton. Hal ini kemudian disimpan dalam

tubulovesicles intraseluler dan merupakan jalur akhir yang umum untuk sekresi

asam lambung. Ketika sel parietal dirangsang, ada penataan ulang cytoskeleta dan

peleburan/fusi dari tubulovesicles dengan membran apikal kanalikulus sekretori

(apical membrane of the secretory canaliculus). Pertemuan heterodimer dari

subunit enzim ke dalam microvilli dari kanalikulus sekretori menghasilkan sekresi

asam, dimana kemudian kalium ekstraseluler ditukar dengan hidrogen sitosol.

Meskipun elektro-netral, proses ini membutuhkan energi dikarenakan hidrogen

disekresi terhadap sebuah gradien minimal 1 juta kali lipat, yang mana

menjelaskan mengapa sel parietal penuh dengan mitokondria penghasil energi.

Selama produksi asam, kalium dan klorida juga disekresikan ke dalam kanalikuli

sekretori apikal (apical secretory canaliculus) melalui saluran yang terpisah,

mempersiapkan kalium untuk pertukaran H + melalui H + / K + -ATPase, dan

klorida untuk menemani hidrogen yang disekresikan. Pada membran basolateral,

15
aktivitas gabungan dari berbagai cotransporters dan penukar ion

menyempurnakan regulasi pH intraseluler dan homeostasis elektrolit.

Lambung manusia normal mengandung sekitar 1 milyar sel parietal, dan

total produksi asam lambung sebanding dengan massa sel parietal. Obat PPI

penekan-asam yang ampuh mengganggu secara permanen fungsi dari molekul H

+ / K + -ATPase. Agen ini harus dimasukkan ke dalam enzim aktif untuk menjadi

efektif, dan dengan demikian bekerja dengan baik ketika dikonsumsi sebelum/atau

selama makan (ketika sel parietal dirangsang). Ketika terapi PPI dihentikan,

kemampuan sekresi asam secara bertahap kembali normal (dalam beberapa hari)

seiring dengan H baru + / K + -ATPase disintesis.

Gastrin, asetilkolin, dan histamin merangsang sel parietal untuk

mensekresi asam klorida (lihat Gambar. 26-12). Gastrin mengikat reseptor tipe B

reseptor (CCK), dan asetilkolin mengikat reseptor muscarinic M3. Keduanya

merangsang fosfolipase C melalui mekanisme G-protein-linked yang mengarah ke

peningkatan produksi inositol trisphosphate dari membran yang membatasi

fosfolipid. Inositol trisphosphate merangsang pelepasan kalsium dari

penyimpanan intraseluler, yang menyebabkan aktivasi protein kinase dan aktivasi

H + / K + -ATPase. Histamin berikatan dengan reseptor histamin 2 (H2), yang

mana merangsang adenylatecyclase, juga melalui mekanisme G-protein-linked.

Aktivasi adenylatecyclase menghasilkan sebuah peningkatan intracellular cyclic

adenosine monophosphate yang mengaktifkan protein kinase, menyebabkan

peningkatan kadar phosphoproteins serta aktivasi pompa proton. Somatostatin

dari sel mukosa D mengikat reseptor membran dan menghambat aktivasi

adenylatecyclase melalui protein G penghambat.

16
Fisiologis Sekresi Asam

Konsumsi makanan adalah stimulus fisiologis untuk sekresi asam

(Gambar. 26-13). Tanggapan sekretorik asam yang terjadi setelah makan secara

tradisional digambarkan dalam tiga fase: cephalic, gastric (lambung), dan

intestinal. Tahap cephalic atau vagal dimulai dengan pikiran, penglihatan,

penciuman, dan / atau rasa makanan. Rangsangan ini mengaktifkan beberapa situs

kortikal dan hipotalamus (misalnya, tractus solitarius, dorsal motor nucleus, dan

dorsal vagal complex), sinyal tersebut kemudian dikirimkan ke lambung oleh

saraf vagal. Asetilkolin dilepaskan, menyebabkan stimulasi sel ECL dan sel

parietal. Meskipun asam yang disekresikan per unit waktu dalam fase cephalic

lebih besar dari pada dua fase lainnya, fase cephalic memakan waktu lebih

pendek. Dengan demikian, fase cephalic menyumbang tidak lebih dari 30% dari

total sekresi asam dalam merespons kegiatan makan. Tiruan aktivitas makan

(mengunyah dan meludah) merangsang sekresi asam lambung hanya melalui fase

cephalic, dan menghasilkan sekresi asam sekitar setengah dari yang terlihat dalam

menanggapi IV pentagastrin atau histamin.

Ketika makanan mencapai lambung, fase gastric dari sekresi asam

dimulai. Fase ini berlangsung sampai lambung kosong, dan menyumbang sekitar

60% dari total sekresi asam dalam menanggapi aktivitas makan. Fase gastric dari

sekresi asam memiliki beberapa komponen. Asam amino dan peptida kecil

langsung merangsang sel G antral untuk mengeluarkan gastrin, yang dibawa

dalam aliran darah ke sel-sel parietal serta merangsang sekresi asam dalam mode

endokrin. Selain itu, distensi proksimal lambung merangsang sekresi asam

17
melalui busur refleks vagovagal, yang ditiadakan oleh truncal atau HSV. Distensi

antral juga merangsang sekresi gastrin antral. Asetilkolin menstimulasi pelepasan

gastrin dan gastrin merangsang pelepasan histamin dari sel ECL

Fase intestinal dari sekresi lambung kurang begitu dipahami. Fase ini

diduga dimediasi oleh hormon yang dilepaskan dari proksimal mukosa usus kecil

dalam menanggapi luminal chyme. Fase ini dimulai ketika pengosongan lambung

dari makanan yang telah dicerna dimulai, dan berlangsung selama nutrisi tetap ada

dalam proksimal usus kecil. Hal ini menyumbang sekitar 10% dari sekresi asam

makan yang diinduksi/dipaksa.

Sekresi asam basal interprandial berkisar antara 2 sampai 5 mEq asam

klorida per jam, sekitar 10% dari hasil/output asam maksimal (MAO), dan

berjumlah lebih besar di malam hari. Sekresi asam basal mungkin berkontribusi

terhadap jumlah bakteri yang relatif rendah yang ditemukan di lambung. Sekresi

asam basal berkurang 75% sampai 90% oleh blokade vagotomy atau reseptor H2.

Peran yang sangat penting dilakukan oleh sel ECL dalam regulasi sekresi

asam lambung ditekankan pada Gambar. 26-13. Sebagian besar efek stimulasi

asam dari asetilkolin dan gastrin dimediasi oleh histamin yang dilepaskan dari

mukosa sel ECL. H2 receptor knockout mice tidak mensekresi asam dalam

menanggapi gastrin. Hal ini menjelaskan mengapa reseptor antagonis histamin 2

(H2RAs) merupakan inhibitor sekresi asam yang efektif, meskipun histamin

hanya salah satu bagian dari tiga stimulan sel parietal. Mukosa sel D, yang

melepaskan somatostatin, juga merupakan regulator penting dari sekresi asam.

Somatostatin menghambat pelepasan histamin dari sel ECL dan pelepasan gastrin

dari sel G antral. Fungsi sel D dihambat oleh infeksi Helicobacter pylori, dan hal

18
ini menyebabkan respon asam sekretorik berlebihan (lihat bagian infeksi

Helicobacter pylori).

Sekresi Pepsinogen

Stimulus fisiologis yang paling ampuh untuk sekresi pepsinogen dari sel

utama adalah aktivitas konsumsi makanan; dimana asetilkolin merupakan

mediator yang paling penting. Somatostatin menghambat sekresi pepsinogen.

Pepsinogen I diproduksi oleh sel-sel utama dalam kelenjar yang memproduksi

asam, sedangkan pepsinogen II diproduksi oleh SECs pada kedua kelenjar yang

memproduksi asam dan gastrin (contohnya, antral). Pepsinogen dibelah dengan

enzim pepsin aktif dalam lingkungan asam dan aktif secara maksimal pada pH

2,5, dan akan inaktif pada pH> 5, meskipun pepsinogen II dapat diaktifkan pada

rentang pH yang lebih besar daripada pepsinogen I. Pepsin mengkatalisis

hidrolisis protein dan didenaturasi pada pH basa.

Mukosa Lambung

Resistensi yang tahan lama dari lambung untuk autodigestion oleh asam

klorida kaustik dan pepsin aktif menarik untuk dibicarakan. Beberapa elemen

penting dari fungsi pembatas lambung dan sitoproteksi tercantum dalam Tabel 26-

3. Ketika pertahanan ini rusak, ulserasi/luka terjadi. Berbagai macam faktor

penting dalam menjaga sebuah lapisan mukosa lambung yang utuh. Lendir dan

bikarbonat yang disekresi oleh SECs membentuk gel lendir dengan gradien pH

menguntungkan. Membran sel dan persimpangan ketat mencegah ion hidrogen

19
mendapatkan akses ke ruang interstitial. Ion hidrogen yang menerobos disangga

oleh gelombang alkali yang dibuat oleh sekresi bikarbonat basolateral dari sel

parietal terangsang. Setiap SECs yang terkelupas dengan cepat digantikan oleh

migrasi sel yang berdekatan, sebuah proses yang dikenal sebagai restitusi.

Aliran darah mukosa memainkan peran penting dalam menjaga mukosa

yang sehat, memberikan nutrisi dan oksigen untuk sel yang terlibat dalam

sitoproteksi. Hidrogen "back-diffused" disangga dan disingkirkan dengan sangat

cepat oleh suplai darah yang kaya. Ketika "barrier breakers"/pemecah pelindung

seperti empedu atau aspirin menyebabkan peningkatan backdiffusion ion hidrogen

dari lumen ke dalam lamina propria dan submukosa, terdapat peningkatan

perlindungan di aliran darah mukosa. Jika respon protektif ini diblokir,

ulserasi/luka yang jelas dapat terjadi. Mediator penting dari mekanisme pelindung

ini termasuk prostaglandins, oksida nitrat, saraf intrinsik, dan peptida (misalnya,

kalsitonin, gen-related peptide, gastrin-releasing peptide [GRP], gastrin, dan

protein heat shock). Sukralfat bertindak secara lokal untuk meningkatkan

pertahanan mukosa. Refleks pelindung melibatkan neuron sensorik aferen, dan

dapat diblokir oleh penggunaan anestesi topikal pada mukosa lambung, atau

penghancuran eksperimental saraf sensorik aferen. Selain pertahanan lokal ini, ada

faktor pelindung penting terdapat dalam air liur, sekresi duodenum, dan pankreas

atau sekresi empedu.

B. PERFORASI GASTER

Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen.

Penyebab perforasi gastrointestinal adalah : ulkus peptik, inflamasi divertikulum

20
kolon sigmoid, kerusakan akibat trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn,

kolitis ulserasi, dan tumor ganas di sistem gastrointestinal. Perforasi paling sering

adalah akibat ulkus peptik lambung dan duodenum.

C. Etiologi

Penyakit ulkus tetap menjadi penyebab paling umum dari perforasi saluran

cerna, dengan kejadian sekitar 2% hingga 10% pasien dengan ulkus 22. Infeksi

Helicobacter pylori telah jelas terlibat dalam pengembangan ulkus peptikum dan

duodenum, dan respons yang baik dengan terapi antimikroba. Meskipun sukses

dalam menurunkan tingkat kekambuhan ulkus peptikum melalui pengobatan

dengan antimikroba, reseptor H2 blocker dan proton pump inhibitor, frekuensi

komplikasi ulkus peptikum yang memerlukan intervensi bedah telah meningkat,

terutama pada pasien usia lanjut23.

Penggunaan aspirin dan / atau obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) telah

jelas terbukti meningkatkan kejadian penyakit ulkus peptikum. Sangat mungkin

bahwa peningkatan frekuensi komplikasi yang berkaitan dengan tukak lambung

berhubungan dengan peningkatan penggunaan obat tersebut24,25. Penyebab lain

dari perforasi lambung ialah traumatis, neoplastik, menelan benda asing, dan

sebagai akibat dari intervensi diagnostik atau terapeutik (iatrogenik). Luka trauma

dengan perforasi lambung dan duodenum jarang terjadi. Perforasi dari keganasan

dapat menimbulkan obstruksi dan peningkatan tekanan luminal. Benda asing,

tertelan baik sengaja atau tidak sengaja dapat menyebabkan perforasi, baik

melalui cedera langsung atau sebagai akibat dari obstruksi lumen.26,27

21
D. Patofisologi

Secara fisiologis, gaster relatif bebas dari bakteri dan mikroorganisme

lainnya karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang

mengalami trauma abdominal memiliki fungsi gaster yang normal dan tidak

berada pada resiko kontaminasi bakteri yang mengikuti perforasi gaster.

Bagaimana pun juga mereka yang memiliki maslah gaster sebelumnya berada

pada resiko kontaminasi peritoneal pada perforasi gaster. Kebocoran asam

lambung kedalam rongga peritoneum sering menimbulkan peritonitis kimia. Bila

kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mengenai rongga peritoneum,

peritonitis kimia akan diperparah oleh perkembangan yang bertahap dari

peritonitis bakterial. Pasien dapat asimptomatik untuk beberapa jam antara

peritonitis kimia awal dan peritonitis bakterial lanjut.

Patogenesis ulkus peptikum melibatkan ketidakseimbangan antara defensif

(lapisan lendir-bikarbonat, prostaglandin dan aliran darah) dan faktor agresif

(asam klorida, pepsin, etanol, garam empedu, beberapa obat, dll)28. Dalam

beberapa tahun terakhir, infeksi pylori Helicobacter dan OAINS telah

diidentifikasi sebagai dua penyebab utama dari ulkus peptikum29. Penggunaan

kokain juga menyebabkan peningkatan Perforasi Ulkus Peptikum (PUP), namun

dengan mekanisme yang mendasari yang berbeda, karena PUP sekunder untuk

penggunaan kokain disebabkan oleh iskemia mukosa lambung, dan pengobatan

perforasi ini tidak memerlukan tindakan operasi untuk mengurangi asam30. Tiga

fase klinis dalam proses PUP dapat dibedakan31:

22
Tahap 1: Peritonitis kimia / kontaminasi. perforasi menyebabkan

peritonitis kimia. Asam mensterilkan isi saluran cerna; ketika asam lambung

berkurang dengan pengobatan atau penyakit (kanker lambung) bakteri dan jamur

muncul dalam lambung dan duodenum.

Tahap 2: Tahap Intermedia. Setelah 6-12 jam nyeri berkurang pada

beberapa pasien. Ini mungkin karena dilusi dari isi gastroduodenal yang teriritasi

oleh eksudat peritoneal.

Tahap 3: infeksi intra-abdomen. Setelah 12-24 jam.

Pada suatu penelitian kohort di suatu rumah sakit di Norwegia sejak tahun

2001 hingga 2010, ulkus lambung didominasi dan menyumbang 112 dari 172

(65%) pasien dalam penelitian ini, tetapi menurun selama tahun-tahun terakhir,

sedangkan frekuensi ulkus duodenum tetap stabil, tapi agak meningkat periode

terakhir. Lokasi prepilorik mewakili 61 dari 112 (54%) dari ulkus lambung dan 21

dari 112 (19%) yang terletak di pilorus. Di daerah korpus / fundus 12 dari 112

(11%), sedangkan 8 dari 112 (7%) berada di antrum. Satu ulkus terletak di

anastomosis dan 9 dari 112 (8%) ulkus yang hilang lokalisasi tepat di perut, tetapi

yang diklasifikasikan sebagai ulkus lambung pada operasi.32

Penemuan peran H. pylori di ulkus peptikum dan lambung oleh Barry J.

Marshall dan Robin Warren pada tahun 1982, faktor stres dan gaya hidup diyakini

sebagai faktor yang paling penting yang berkontribusi pada ulkus peptikum dan

PUP33. Infeksi H. pylori bertanggung jawab di lebih dari 90% dari ulkus

duodenum dan hampir 80% dari ulkus lambung33,34. Infeksi H. pylori dan

23
peradangan yang menyertainya mengganggu kontrol penghambatan pelepasan

gastrin dengan menurunkan somatostatin antral, dan ini lebih ditandai jika

organisme penyebab infeksi adalah CagA-positif. Hasil peningkatan pelepasan

gastrin dan sekresi asam lambung adalah kunci mekanisme dimana infeksi H.

pylori menginduksi terjadinya ulkus peptikum35.

Dalam kebanyakan kasus, infeksi H. pylori banyak ditemukan pada anak usia

dini. Berbeda dengan banyak infeksi lain, sistem kekebalan tubuh tidak berperan

dalam penyembuhan34,36. Masalah lain dalam pemberantasan H. pylori adalah H.

pylori tidak hanya terletak pada permukaan mukosa lambung tetapi juga di lapisan

lendir yang melindunginya. Pada tahun 1994, National Institutes of Health

Consensus Development Panel on Helicobacter pylori in Peptic Ulcer Disease

merekomendasikan penderita ulkus dengan positif H. pylori harus diobati dengan

agen antimikroba37. Meskipun masalah resistensi antibiotik H. pylori meningkat,

terapi kombinasi seperti metronidazole dengan klindamisin atau metronidazole

dengan tetrasiklin dapat mencapai tingkat pemberantasan 80% atau lebih35,38.

Menurut laporan konsensus Maastricht III, pengobatan lini pertama untuk infeksi

H. pylori ialah terapi triple dengan proton pump inhibitor (PPI) ditambah

klaritromisin ditambah amoxicillin atau metronidazole34,39. Monoterapi dengan

hanya memberikan antibiotik telah terbukti tidak berhasil (<30% tingkat

pemberantasan)34.

E. Gejala klinik

Durasi gejala berkisar antara 1 sampai 12 hari. Gejala yang muncul paling

umum yang tiba-tiba nyeri epigastrium berat, distensi abdomen dan muntah.

24
Pasien dengan riwayat penyakit ulkus peptikum telah memiliki gejala untuk

jangka waktu mulai dari enam bulan sampai 14 tahun dan semua dari mereka

tidak memakai anti-ulkus biasa. Pasien juga memilki riwayat konsumsi terbaru

dari obat anti inflamasi non steroid (OAINS) untuk nyeri sendi. Faktor risiko lain

yang dicatat termasuk konsumsi alkohol dan merokok.40

F. Diagnosis
Gejala ulkus peptikum termasuk sakit perut, ketidaknyamanan perut bagian

atas, kembung dan perasaan kenyang. Ketika ulkus peptikum memperburuk dan

akhirnya mengalami perforasi, asam lambung dan gas memasuki rongga

peritoneum menyebabkan peritonitis kimia. Sakit perut yang mendadak adalah

gejala khas perforasi ulkus peptikum. Biasanya rasa sakit tidak pernah benar-

benar reda meskipun diberikan obat. Peritonitis kimia akibat keluarnya isi

lambung dan nyeri hebat memicu terjadinya takikardia. Trias klasik sakit perut

tmendadak, takikardia dan kekakuan perut adalah ciri khas PPU.


Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi tiga tahap41. Pada tahap awal

dalam 2 jam setelah onset, nyeri epigastrium, takikardia dan ekstremitas dingin

yang khas. Pada tahap kedua (dalam waktu 2 sampai 12 jam), nyeri menjadi

umum dan lebih buruk pada gerakan. Tanda-tanda khas seperti kekakuan abdomen

dan nyeri kuadran kanan bawah (sebagai hasil dari aliran cairan lambung di

sepanjang paracolic kanan) dapat terlihat. Pada tahap ketiga (lebih dari 12 jam),

distensi abdomen, demam dan hipotensi. Sebuah penelitian yang melibatkan 84

pasien dengan perforasi ulkus peptikum melaporkan bahwa gejala yang muncul

paling umum ialah nyeri epigastrium (97,6%), distensi abdomen (76,2%) dan

muntah (36,9%)42.

25
Gejala lain juga termasuk mual (35,7%), dispepsia berat (33,3%), sembelit

(29,8%) dan demam (21,4%)42. Dalam penelitian tersebut terdapat 332 pasien

dengan Perforasi ulkus peptikum, gejala yang paling umum adalah onset akut dari

nyeri perut (61,7%)43. Takikardia dan nyeri perut dengan kekakuan adalah tanda-

tanda klinis yang umum. Nyeri yang berat, respons inflamasi sistemik dari

peritonitis kimia dan defisit cairan baik karena asupan yang buruk atau muntah

atau demam mengarah ke takikardia kompensatoris. Pada pasien dengan

pergobatan yang tertunda, dapat terjadi hipotensi karena defisit total cairan tubuh.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan X-ray posisi setengah duduk dan serum amilase / lipase adalah

tes dasar penting pada pasien dengan nyeri perut bagian atas akut.Tujuh puluh

lima persen dari Perforasi ulkus peptikum memiliki udara bebas di bawah

diafragma pada X-ray dada44. Pada pasien dengan gejala perut bagian atas, udara

bebas pada X-ray toraks menetapkan diagnosis Perforasi ulkus peptikum. Pada

beberapa pasien, X-ray abdomen menunjukkan tanda-tanda seperti munculnya gas

di kedua sisi dinding usus (tanda Rigler), volume besar gas bebas yang dihasilkan

di daerah hitam bulat besar (Football tanda) dan gas menguraikan struktur

jaringan lunak seperti tepi hati atau ligamen Falciform.


CT scan dianjurkan karena memiliki akurasi diagnostik setinggi 98%45. Selain

itu, CT scan dapat mengecualikan pankreatitis akut yang tidak perlu intervensi

bedah. CT scan dilakukan dalam posisi terlentang dan udara bebas biasanya

terlihat di anterior tepat di bawah dinding perut anterior. Ligamentum Falcifome

kadang-kadang bisa terlihat ketika udara hadir di kedua sisi. Cairan kontras yang

berada di rongga peritoneum dapat mengkonfirmasi diagnosis dari Perforasi ulkus

peptikum. Tidak adanya kebocoran tidak mengecualikan adanya perforasi

26
mungkin telah menutup secara spontan46. CT scan jarang dilakukan ketika X-ray

toraks terdapat udara bebas di bawah diafragma. Kegunaan CT scan ini

dibenarkan ketika presentasi klinis tidak spesifik atau dicurigai adanya keganasan.
Tes laboratorium pada Perforasi ulkus peptikum tidak untuk menegakkan

diagnosis tetapi untuk menyingkirkan diagnosis banding dan juga untuk

mengetahui kelainan organ lain dan sifatnya non-spesifik47. Serum amilase harus

dilakukan setelah ditemukan X-ray toraks normal. Peningkatan serum amilase

dapat berhubungan dengan Perforasi ulkus peptikum dan biasanya timbul kurang

dari empat kali tingkat normal48. Leukositosis dan peningkatan protein C-reaktif

dapat ditemukan sebagai akibat dari peradangan atau infeksi 48. Peningkatan

kreatinin, urea dan asidosis metabolik menunjukkan systemic inflammatory

response syndrome (SIRS) dan cedera prerenal49.

H. Penatalaksanaan

Terapi obat

Omeprazole dan terapi tripel untuk pemberantasan H. pylori dapat

digunakan dalam pengobatan Perforasi ulkus peptikum. Bukti menunjukkan

bahwa omeprazole dan terapi tripel (proton pump inhibitor (PPI) ditambah

klaritromisin ditambah amoxicillin atau metronidazole) dapat mengurangi tingkat

kekambuhan secara signifikan. Penyembuhan ulkus terlihat pada 8 minggu

menindaklanjuti dengan endoskopi secara signifikan lebih tinggi pada kelompok

pemberantasan terapi tripel dibandingkan dengan monoterapi dengan

omeprazole50.

Tatalaksana non-operatif

27
Penelitian telah menunjukkan bahwa sekitar 40% -80% dari Perforasi

ulkus peptikum akan menutup secara spontan dengan manajemen konservatif dan

morbiditas keseluruhan dan mortalitas yang sebanding51-53. Manajemen

konservatif "Metode Taylor" terdiri dari pipa nasogastrik, infus, antibiotik dan

penilaian klinis. Keuntungan dari manajemen konservatif termasuk penghindaran

operasi, risiko anestesi umum dan komplikasi pasca operasi. Di sisi lain, kerugian

termasuk misdiagnosis dan tingkat kematian yang lebih tinggi jika manajemen

konservatif gagal52,54. Komponen penting dari manajemen non-operatif dari

Perforasi ulkus peptikum dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) radiologi

tidak terdeteksi kebocoran; (2) pemeriksaan klinis berulang; (3) investigasi darah

berulang; (4) pernapasan dan dukungan ginjal; (5) Sumber daya untuk monitoring;

dan (6) Kesiapan untuk operasi.

Tatalaksana Operatif

Ada banyak metode operasi yang dapat digunakan untuk mengobati Perforasi.

Penutupan primer dengan jahitan terputus, penutupan dengan jahitan terputus

ditutupi dengan omentum di atas perbaikan (Cellan-Jones) dan menghubungkan

perforasi dengan omentum bebas (Graham Patch) adalah teknik yang paling

umum.

Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan

umumnya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan

pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotik mutlak diberikan. Jika gejala dan

tanda-tanda peritonitis umum tidak ada, kebijakan nonoperatif mungkin

28
digunakan dengan terapi antibiotik langsung terhadap bakteri gram-negatif dan

anaerob.54
I. Prognosis
Perforasi gaster adalah kondisi yang mengancam kehidupan, berbagai sistem

skoring55,56 telah berevolusi untuk menentukan prognosis mortalitas dan

morbiditas. Sistem skor Boey menilai kondisi pasien cukup akurat. Ringkasan dari

semua sistem skoring57 menyimpulkan bahwa keterlambatan dalam pengobatan,

penyakit medis penyerta dan kondisi syok menjadi parameter untuk menentukan

mortalitas. Kriteria penilaian ini terpenuhi oleh Boeys, skor tersebut dinilai cukup

dalam menentukan morbiditas dan mortalitas.58,59 Oleh karena itu sistem penilaian

harus secara teratur digunakan untuk menentukan prognosis.

DAFTAR PUSTAKA

1. McCaig L, Burt CW. National ambulatory medical care survey: 2002


emergency depart- ment summary. Adv Data 2004;340:134.
2. Court-Brown CM, McQueen MM, Patterson-Brown S, et al. Emergency
surgical care in Scotland. Surgeon 2007;5(2):725.
3. SchietromaM,CappelliS,CarleiF,etal.Acuteabdomen:earlylaparoscopyoract

29
ivelap- arotomic-laparoscopic observation? Hepatogastroenterology
2007;54(76):113741.
4. Ordonez CA, Puyana JC. Management of peritonitis in the critically ill
patient. Surg Clin North Am 2006;86:132349.
5. Wittman DH, Schein M, Condon RE. Management of secondary
peritonitis. Ann Surg 1996;224(1):108.
6. Huttunen R, Kairaluoma MI, Mokka RE, et al. Nontraumatic peroforation
of the small intestine. Surgery 1977;81(2):1848.
7. GohBK,ChowPK,QuahHM,etal.Penetrationofthegastrointestinaltractsecon
daryto ingestion of foreign bodies. World J Surg 2006;30(3):3727.

8. Pieter, John, editor : Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31 :


Lambung dan Duodenum, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC :
Jakarta, 2004. Hal. 541-59.

9. Zelickson MS, Bronder CM, Johnson BL, Camunas JA, Smith DE,
Rawlinson D, Von S, Stone HH, Taylor SM. He- licobacter pylori is not
the predominant etiology for peptic ulcers requiring operation. Am Surg
2011; 77: 1054-1060
10. Bertleff MJ, Lange JF. Perforated peptic ulcer disease: a review of history
and treatment. Dig Surg 2010; 27: 161-169
11. Lau JY, Sung J, Hill C, Henderson C, Howden CW, Metz DC. Systematic
review of the epidemiology of complicated peptic ulcer disease: incidence,
recurrence, risk factors and mortality. Digestion 2011; 84: 102-113
12. Svanes C. Trends in perforated peptic ulcer: incidence, etiology, treatment,
and prognosis. World J Surg 2000; 24: 277-283
13. Mller MH, Adamsen S, Wjdemann M, Mller AM. Perforated peptic
ulcer: how to improve outcome? Scand J Gastro- enterol 2009; 44: 15-22
14. Thorsen K, Glomsaker TB, von Meer A, Sreide K, Sre- ide JA. Trends
in diagnosis and surgical management of patients with perforated peptic
ulcer. J Gastrointest Surg 2011; 15: 1329-1335
15. Gisbert JP, Legido J, Garca-Sanz I, Pajares JM. Helicobacter pylori and
perforated peptic ulcer prevalence of the infec- tion and role of non-

30
steroidal anti-in ammatory drugs. Dig Liver Dis 2004; 36: 116-120
16. Kurata JH, Nogawa AN. Meta-analysis of risk factors for peptic ulcer.
Nonsteroidal antiin ammatory drugs, Helico- bacter pylori, and smoking. J
Clin Gastroenterol 1997; 24: 2-17
17. Watts DD, Fakhry SM: Incidence of hollow viscus injury in blunt trauma:
an analysis from 275,557 trauma admissions from the East multi-
institutional trial. J Trauma 2003, 54(2):289294.
18. Oosting SF, Peters FT, Hospers GA, Mulder NH: A patient with metastatic
melanoma presenting with gastrointestinal perforation after dacarbazine
infusion: a case report. J Med Case Reports 2010, 4(1):10.
19. Golffier C, Holguin F, Kobayashi A: Duodenal perforation because of
swallowed ballpoint pen and its laparoscopic management:report of a case.
J Pediatr Surg 2009, 44(3):634636.
20. Goh BK, Chow PK, Quah HM, Ong HS, Eu KW, Ooi LL, Wong WK:
Perforation of the gastrointestinal tract secondary to ingestion of foreign
bodies. World J Surg 2006, 30(3):372377.
21. Svhawttz
22. Behrman S: Management of complicated peptic ulcer disease. Arch Surg
2005;140:201208
23. Paimela H, Oksala N, Kivilaakso E: Surgery for peptic ulcer today. A
study on the incidence, methods and mortality in surgery for peptic ulcer
in Finland between 1987 and 1999. Dig Surg 2004;21:185191
24. Higham J, Kang J, Majeed A: Recent trends in admissions and mortality
due to peptic ulcer in England: increasing frequency ot haemorrhage
among older subjects. Gut 2002;50:460464
25. Gisbert J, Legido J, Garcia-Sanz I, et al: Helicobacter pylori and
perforated peptic ulcer: prevalence of the infection and role of non-
steroidal anti-inflammatory drugs. Dig Liver Dis. 2004;36: 116120
26. Golffier C, Holguin F, Kobayashi A: Duodenal perforation because of
swallowed ballpoint pen and its laparoscopic management: report of a
case. J Pediatr Surg 2009;44(3):634636
27. B.K. Goh, P.K. Chow and HM, Quah et al: Perforation of the
gastrointestinal tract secondary to ingestion of foreign bodies, World J
Surg 2006;30(3):372377
28. Ramakrishnan K, Salinas RC: Peptic ulcer disease. Am Fam Physician
2007;76:10051012.

31
29. Sivri B: Trends in peptic ulcer pharmacotherapy. Fundam Clin Pharmacol
2004;18: 2331.
30. Lagoo S, McMahon RL, Kakihara M, Pappas TN, Eubanks S: The sixth
decision regarding perforated duodenal ulcer. JSLS 2002;6:359 368
31. Schein M: Perforated peptic ulcer; in (ed.): Scheins Common Sense
Emergency Abdominal Surgery. Part III. Berlin, Springer, 2005, pp 143
150.
32. Thorsen K, Sreide JA, Kvaly JT, Glomsaker T, Sreide K.
Epidemiology of perforated peptic ulcer: Age- and gender- adjusted
analysis of incidence and mortality. World J Gastroen- terol 2013; 19(3):
347-354
33. Ahmed N: 23 years of the discovery of Helicobacter pylori: is the debate
over? Ann Clin 1983;76:12221224.Microbiol Antimicrob 2005;4:17.
34. Sivri B: Trends in peptic ulcer pharmacotherapy. Fundam Clin Pharmacol
2004;18:2331.
35. Zittel TT, Jehle EC, Becker HD: Surgical management of peptic ulcer
disease today: indication, technique and outcome. Langenbecks Arch Surg
2000;385:8496.
36. Baron JH, Sonnenberg A: Publications on peptic ulcer in Britain, France,
Germany and the US. Eur J Gastroenterol Hepatol 2002;14: 711715.
37. Fischbach LA, Goodman KJ, Feldman M, Aragaki C: Sources of variation
of Helico bacter pylori treatment success in adults worldwide: a meta-
analysis. Int J Epidemiol 2002;31:128139.
38. Donovan JA: Perforated duodenal ulcer: an alternative therapeutic plan.
Arch Surg 1998;133:11661171.
39. Malfertheiner P, Megraud F, OMorain C, Bazzoli F, El-Omar E, Graham
D, Hunt R, Rokkas T, Vakil N, Kuipers EJ: Current concepts in the
management of Helicobacter pylori infection: the Maastricht III Consensus
Report. Gut 2007;56:772781.
40. Lui FY, Davis KA. Gastroduodenal perforation: MaxiMal or MiniMal
intervention?. Scandinavian Journal of Surgery 99: 7377, 2010
41. Silen W. Copes early diagnosis of the acute abdomen. New York: Oxford
University Press, 1996
42. Chalya PL, Mabula JB, Koy M, McHembe MD, Jaka HM, Kabangila R,
Chandika AB, Gilyoma JM. Clinical profile and outcome of surgical
treatment of perforated peptic ulcers in Northwestern Tanzania: A tertiary
hospital experience. World J Emerg Surg 2011; 6: 31

32
43. Anbalakan K, Chua D, Pandya GJ, Shelat VG. Five year experience in
management of perforated peptic ulcer and validation of common
mortality risk prediction models - are existing models sufficient? A
retrospective cohort study. Int J Surg 2015; 14: 38-44
44. Grassi R, Romano S, Pinto A, Romano L. Gastro-duodenal perforations:
conventional plain film, US and CT findings in 166 consecutive patients.
Eur J Radiol 2004; 50: 30-36
45. Kim HC, Yang DM, Kim SW, Park SJ. Gastrointestinal tract perforation:
evaluation of MDCT according to perforation site and elapsed time. Eur
Radiol 2014; 24: 1386-1393
46. Donovan AJ, Berne TV, Donovan JA. Perforated duodenal ulcer: an
alternative therapeutic plan. Arch Surg 1998; 133: 1166-1171
47. Di Saverio S, Bassi M, Smerieri N, Masetti M, Ferrara F, Fabbri C,
Ansaloni L, Ghersi S, Serenari M, Coccolini F, Naidoo N, Sartelli M,
Tugnoli G, Catena F, Cennamo V, Jovine E. Diagnosis and treatment of
perforated or bleeding peptic ulcers: 2013 WSES position paper. World J
Emerg Surg 2014; 9: 45
48. Fakhry SM, Watts DD, Luchette FA. Current diagnostic approaches lack
sensitivity in the diagnosis of perforated blunt small bowel injury: analysis
from 275,557 trauma admissions from the EAST multiinstitutional HVI
trial. J Trauma 2003; 54: 295-306
49. Thorsen K, Sreide JA, Sreide K. What is the best predictor of mortality
in perforated peptic ulcer disease? A population-based, multivariable
regression analysis including three clinical scoring systems. J Gastrointest
Surg 2014; 18: 1261-1268
50. El-Nakeeb A, Fikry A, Abd El-Hamed TM, Fouda el Y, El Awady S,
Youssef T, Sherief D, Farid M. Effect of Helicobacter pylori eradication on
ulcer recurrence after simple closure of perforated duodenal ulcer. Int J
Surg 2009; 7: 126-129
51. Zittel TT, Jehle EC, Becker HD. Surgical management of peptic ulcer
disease today--indication, technique and outcome. Langenbecks Arch Surg
2000; 385: 84-96
52. Crofts TJ, Park KG, Steele RJ, Chung SS, Li AK. A randomized trial of
nonoperative treatment for perforated peptic ulcer. N Engl J Med 1989;
320: 970-973

33
53. Bucher P, Oulhaci W, Morel P, Ris F, Huber O. Results of conservative
treatment for perforated gastroduodenal ulcers in patients not eligible for
surgical repair. Swiss Med Wkly 2007; 137: 337-340
54. Truscott BM, Withycombe JF. Perforated peptic ulcer; an assessment of
the value of nonoperative treatment. Lancet 1950; 1: 894-896
55. Mkel JT, Kiviniemi H, Ohtonen P, Laitinen SO. Factors that predict
morbidity and mortality in patients with perforated peptic ulcers. Eur J
Surg 2002;168:44651.
56. Boey J, Choi SK, Poon A, Alagaratnam TT. Risk strati cation in perforated
duodenal ulcers. A prospective validation of predictive factors. Ann Surg
1987;205:226.
57. Svanes C, Salvesen H, Espehaug B, Sreide O, Svanes K. A multifactorial
analysis of factors related to lethality after treatment of perforated
gastroduodenal ulcer. 19351985. Ann Surg 1989;209:41823.
58. Lohsiriwat V, Prapasrivorakul S, Lohsiriwat D. Perforated peptic ulcer:
Clinical presentation, surgical outcomes, and the accuracy of the Boey
scoring system in predicting postoperative morbidity and mortality. World
J Surg 2009;33:805.
59. Boey J, Wong J, Ong GB. A prospective study of operative risk factors in
perforated duodenal ulcers. Ann Surg 1982;195:2659.

34

Anda mungkin juga menyukai