Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

SINUSITIS KRONIK MAKSILARIS SINISTRA

Tugas Kepanitiaan Klinik


Departemen THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu
Periode 4 November – 7 Desember 2019

Pembimbing :
dr. Bondan Herwindo, Sp.THT-KL
dr. Selvina M.R. Manurung, Sp.THT-KL

Diajukan Oleh :
Ananta Manggala Simanjuntak 1765050361
Triandini Supriadi 1820221159

KEPANITRAAN KLINIK DEPARTEMEN THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU
PERIODE 30 SEPTEMBER – 2 NOVEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIOANAL VETERAN JAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Sinusitis Kronik Maksilaris Sinistra

Diajukan Sebagai Tugas untuk Memenuhi Syarat


Mengikuti Ujian Kepanitraan Klinik di Departemen THT
Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu

Disusun Oleh:
Ananta Manggala Simanjuntak 1765050361
Triandini Supriadi 1820221159

Jakarta, November 2019


Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing,

dr. Bondan Herwindo, Sp.THT-KL dr. Selvina M.R. Manurung, Sp THT-KL

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan kasus yang berjudul
“Sinusitis Kronis Maksilaris Sinistra” ini berhasil diselesaikan. Laporan kasus ini
adalah salah satu bagian dari syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik
pendidikan di Departemen THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Bondan Herwindo, Sp.THT-KL dan
dr. Selvina, M.R. Manurung, Sp.THT-KL selaku pembimbing yang telah
membimbing dan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran sehingga laporan kasus
ini dapat tersusun dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun laporan kasus ini.
Penulis berharap laporan kasus ini dapat bermanfaat dalam rangka menambah
pengetahuan dan wawasan mengenai “Sinusitis Kronis Maksilaris Sinistra”.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih terdapat kekurangan
dan keterbatasan. Oleh karena itu, dibutuhkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun dalam rangka penyempurnaan laporan kasus ini. Demikian yang dapat
penulis sampaikan, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat untuk berbagai
pihak.

Jakarta, November 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii


KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
BAB I DESKRIPSI KASUS ................................................................................... 1
I.1 Identitas Pasien .............................................................................................. 1
I.2 Anamnesis ...................................................................................................... 1
I.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................................... 2
I.4 Pemeriksaan Penunjang ................................ Error! Bookmark not defined.
I.5 Diagnosis Klinis ............................................................................................. 5
I.6 Tatalaksana ..................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 6
II.1 Rhinosinusitis ............................................................................................... 6
II.1.1 Klasifikasi .............................................................................................. 6
II.1.2 Etiologi ................................................................................................... 6
II.1.3 Patofisiologi ........................................................................................... 7
II.1.4 Diagnosis ................................................................................................ 9
II.2 Tatalaksana ................................................................................................. 12
II.3 Komplikasi .................................................................................................. 14
BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

iv
BAB I

DESKRIPSI KASUS

I.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. H
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 30 November 1992
Usia : 27 tahun
Alamat :-
No. Rekam Medis : 239142
Tanggal Masuk RS : 28 Desember 2019
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Status :-

I.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 28
Desember 2019, di ruang poli klinik THT-KL.
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan telinga terasa penuh sejak 1 minggu yang lalu.
b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien seorang perempuan berusia 27 tahun, datang ke Poli THT


RSUD Pasar Minggu dengan keluhan telinga terasa penuh sejak 1
minggu yang lalu. Pasien juga mengeluhkan telinga sedikit terasa nyeri.
Keluar cairan dari telinga di sangkal. Pasien juga mengeluhkan sedang
pilek. Keluhan batuk di sangkal. Keluhan demam disangkal oleh pasien.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Operasi Sebelumnya : Disangkal
 Riwayat Diabetes Melitus : Disangkal
 Riwayat Dispepsia : Disangkal

1
 Riwayat Penyakit Paru/TB : Disangkal
 Riwayat Asma : Disangkal
 Riwayat Alergi : Disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat Keluhan Serupa : Disangkal
 Riwayat Penyakit DM : Disangkal
 Riwayat Penyakit Kronis lainya : Disangkal
 Riwayat Alergi : Disangkal
e. Riwayat Pengobatan
 Tidak ada
f. Riwayat Sosial Ekonomi
 Pasien mempunyai kebiasaan meminum minuman dingin
 Pasien jarang melalukan olahraga
 Riwayat merokok (-)
 Riwayat alkohol dan obat-obatan terlarang (-)

I.3 Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan umum : Tampak sakit ringan
b. Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6
c. Vital Sign
Tekanan Darah : 117/68 mmHg
Frekuensi Nadi : 65 x/menit
Suhu : 37°C
Irama Napas : 18 x/menit
d. Status Gizi
BB : tidak diukur
TB : tidak diukur
BMI :-

2
e. Status Generalis
Kepala : Bentuk mesochepal, simetris, alopesia (-)
Rambut : Hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), skera ikterik (-/-),
Palpebral edema (-/-), pupil refleks cahaya (+/+),
pupil bulat isokor dengan diameter 3/3 mm.
Telinga : Status Lokalis
Hidung : Status Lokalis
Mulut : Bibir sianosis (-/-), bibir kering (-/-), atrofi papil
lidah (-/-)
Tenggorokan : Status Lokalis
Leher : Bentuk simetris, kelenjar limfoid tidak membesar
Thorax
Pulmo :
Inspeksi : Normochest, pergerakan dada simetris, ketinggalan
Gerak (-), tak tampak retraksi interkostalis (-), jejas
(-)
Palpasi : Vokal fermitus paru kanan equal dengan paru kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Whezing (-/-), ronki
Basah halus (-/-), ronki basah kasar (-/-)
Cor :
Inspeksi : Iktus kordis tidak nampak, tak tampak laserasi
Palpasi : Iktus kordis teraba pulsasi, kuat angkat (+)
Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC III LPSD
Batas jantung kanan bawah : SIC II-IV LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V lateral dari
LMCS
Auskultasi : BJ SI dan SII regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Dinding datar, tak tampak laserasi (-), jejas (-),

3
jaringan parut/ luka bekas operasi (-) warna kulit
sama dengan warna sekitar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)
Perkusi : Timpani seluruh region abdomen

Ekstremitas
Pada kedua ekstremitas tidak ada edema dan sianosis, akral hangat, dan CRT
< 2 detik.

f. Status lokalis
Telinga
AD
 Bentuk : Simetris
 Liang : Lapang
 Serumen : Tidak ada
 Membran timpani : Air bubble appearance
AS
 Bentuk : Simetris
 Liang : Lapang
 Serumen : Tidak ada
 Membran timpani : Intak

4
Hidung
 Bentuk : Simetris
 Deviasi Septum : Tidak ada
 Sekret : Minimal
Tenggorokan:
 Faring : tidak hiperemis, tidak bergranul
 Tonsil : T1-T2, tenang

I.5 Diagnosis Klinis


Diagnosis: Sinusitis kronik maksilaris sinistra

I.6 Tatalaksana
Farmakologi:
Klindamisin 2x300 mg
Natrium diklofenak 2x50 mg
Cetrizin 1x10 mg
Cuci hidung NaCl 0.9 % 3 x sehari

Nonfarmakologi:
Edukasi
Pro operasi FESS
Rontgen thoraks PA
Cek lab lengkap

I.7 Prognosis
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Rhinosinusitis
Rhinosinusistis merupakan inflamasi hidung dan sinus paranasal yang
ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung
tersumbat atau obstruksi atau kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/posterior)
disertai nyeri atau rasa tertekan di wajah dan/atau penurunan sensitivitas penghidu;
dan salah satu dari temuan nasoendoskopik berupa polip dan/atau sekret
mukopurulen dari meatus mediaus dan/atau edema/obstruksi mukosa di meatus
medius; dan/atau gambaran tomografi komputer berupa perubahan mukosa di
kompleks osteomeatal dan/atau sinus (Fokkens et al., 2012).
Gangguan dari gejala rhinosinusistis dibagi menjadi ringan, sedang dan berat
berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS), yaitu (Fokkens et al., 2012):
- Ringan : VAS 0 – 3
- Sedang : VAS > 3 – 7
- Berat : VAS > 7 – 10
Nilai VAS yang melebihi 5 akan mempengaruhi kualitas hidup pasien.

II.1.1 Klasifikasi
Rhinosinusitis dibagi menjadi dua berdasarkan durasinya, yaitu akut dan
kronis. Rhinosinusitis akut jika durasinya kurang dari 12 minggu dan resolusi
komplit gejala, sedangkan disebut kronis jika durasinya lebih dari sama dengan 12
minggu tanpa resolusi gejala komplit, termasuk kronik eksaserbasi akut (Fokkens
et al., 2012).

II.1.2 Etiologi
Etiologi rhinosinusitis akut dan kronis berbeda secara mendalam. Pada
rhinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen merupakan penyebab utama,
sedangkan penyebab rhinosinusitis kronis bersifat multifaktorial dan belum
sepenuhnya diketahui. Rhinosinusitis kronis merupakan sindrom yang terjadi

6
karena kombinasi etiologi yang multiplel. Berdasarkan EP3OS 2012, faktor yang
dihubungkan dengan kejadian rhinosinusitis kronis, yaitu “ciliary impairment,
alergi, asma, keadaan immunocompromised, faktor genetic, kehamilan dan
endokrin, faktor local, mikoorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor
iatrogenik, H. pylori dan refluks laringofaringeal” (Fokkens et al., 2012).

II.1.3 Patofisiologi
Rhinosinusitis terjadi akibat stasisnya sekresi mukus cavum nasi yang dipicu
dengan adanya obstruksi mekanis pada komplek ostiomeatal (KOM) yang
berhubungan dengan kelainan anatomi dan edema pada mukosa cavum nasi yang
disebabkan oleh berbagai etiologi (misalnya rinitis virus akut atau alergi).
Kesehatan sinus setiap orang bergantung pada sekresi mukus yang normal baik dari
segi viskositas, volume dan komposisi; transport mukosiliar yang normal untuk
mencegah stasis mukus dan kemungkinan infeksi; serta patensi kompleks
ostiomeatal untuk mempertahankan drainase dan aerasi (Brook, 2018; Jackman dan
Kennedy, 2006).
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok
sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting bagi
transport mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup
untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM
merupakan faktor predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis
kronik. Namun demikian, kedua faktor yang lainnya juga sangat berperan bagi
terjadinya rinosinusitis kronik. Interupsi pada satu atau lebih faktor diatas akan
mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu terjadinya kaskade yang
berkembang menjadi rinosinusitis kronik dengan perubahan patologis pada mukosa
sinus dan juga mukosa nasal (Jackman dan Kennedy, 2006).

7
Gambar 2. Siklus Patologi Rhinosinusitis Kronis

Stagnasi mukosa pada sinus membentuk media yang kaya untuk pertumbuhan
berbagai patogen. Tahap awal sinusitis sering merupakan infeksi virus yang
umumnya berlangsung hingga 10 hari dan itu benar-benar sembuh dalam 99%
kasus. Namun, sejumlah kecil pasien dapat berkembang menjadi infeksi bakteri
akut sekunder yang umumnya disebabkan oleh bakteri aerobik (yaitu Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis). Awalnya, sinusitis
akut yang dihasilkan hanya melibatkan satu jenis bakteri aerobik. Dengan adanya
infeksi yang persistensi, flora campuran dari organisme dan kadang kala jamur
berkontribusi terhadap patogenesis rhinosinusitis kronis. Sebagian besar kasus
sinusitis kronis disebabkan oleh sinusitis akut yang tidak diobati atau tidak
merespons pengobatan (Brook, 2018).
Pemikiran saat ini mendukung konsep bahwa rhinosinusitis kronis (RSK)
sebagian besar merupakan penyakit radang multifaktor. Faktor pengganggu yang
dapat menyebabkan peradangan adalah sebagai berikut (Brook, 2018):
- Infeksi yang persisten
- Alergi dan penyakit imunologis
- Faktor-faktor intrinsik saluran nafas atas
- Pengobatan infeksi jamur yang menginduksi peradangan eosinofilik
- Kelainan metabolik seperti peka sensitif terhadap aspirin

8
Semua faktor ini dapat berperan dalam terganggunya sistem transportasi
mukosiliar intrinsik. Hal ini karena adanya perubahan pada patensi ostia sinus,
fungsi siliaris, atau kualitas sekresi menyebabkan stagnasi sekresi, penurunan kadar
pH, dan menurunkan ketegangan oksigen di dalam sinus. Perubahan ini
menciptakan lingkungan yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri yang
selanjutnya berkontribusi terhadap peningkatan peradangan mukosa (Brook, 2018).

II.1.4 Diagnosis
Diagnosis rhinosinusitis akut untuk pelayanan primer dan dokter spesialis
non-THT, yaitu berdasarkan gejala, sedangkan untuk pemeriksaan radiologis tidak
direkomendasikan. Gejala rhinosinusitis akut, yaitu gejala kurang dari 12 minggu
(Fokkens et al., 2012):
- Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung
tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung
anterior/posterior), disetai nyeri wajah atau rasa tertekan di wajah,
dan/atau penurunan penghidu, dengan interval bebas gejala bila terjadi
rekurensi.
- Pemeriksaan fisik: rinoskopi anterior: edema, hiperemis, pus
- X-ray/CT-Scan tidak direkomendasikan
- Validasi melalui anamnesis mengenai gejala alergi, seperti bersin, rinore,
hidung gatal, mata gatal dan berair
Diagnosis rhinosinusitis kronis dengan atau tanpa polip hidung untuk
pelayanan primer dan dokter spesialis non-THT, yaitu berdasarkan gejala yang
menetap lebih dari 12 minggu. Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus
berupa hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung
anterior/posterior), disertai nyeri wajah/rasa tertekan di wajah, dan/atau penurunan
penghidu, dengan validasi anamnesis berupa gejala alergi, hidung gatal, ingus
seperti air, mata gatal dan berair, jika positif ada, seharusnya dilakukan
pemeriksaan alergi (Fokkens et al., 2012).

9
II.1.4.1 Anamnesis
Anamnesis diperlukan dalam menilai onset gejala rhinosinusitis untuk
menentukan akut maupun kronis, selain itu, diperlukan dalam menentukan
penyebab rhinosinusitis, diakibatkan oleh infeksi baik bakteri maupun virus, adanya
latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat
dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Informasi lain yang perlu
berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi,
faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah
dilakukan. Menurut EP3OS 2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar
rinosinusitis adalah:
1) Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran
udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan
sekitarnya
2) Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
3) Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang
mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan
/ tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius
4) Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif
Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat digunakan
untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini berguna
bagi penilaian kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang dapat
digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang dialami penderita,
namun lebih sering digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain dengan
SNOT-20 (sinonasal outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan RSOM-31
(rhinosinusitis outcome measure) (Fokkens et al., 2012).

10
II.1.4.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan sinus dilakukan dengan metode palpasi dan akan didapatkan
nyeri yang khas pada rhinosinusitis akut, yakni nyeri yang menusuk atau rasa sakit
yang terlokalisir pada sinus yang terkena. Nyeri pada rhinosinusitis maksila
biasanya terdapat di infraorbital yang meluas ke gigi dan kadang-kadang ke telinga.
Nyeri pada rhinosinusitis ethmoidalis terdapat di kantus medial dan dorsum hidung.
Pada sinus frontalis, nyeri terdapat di supraorbital yang meluas ke oksipital.
Sedangkan pada rhinosinusitis sfenoidalis, nyeri terlokalisir terutama di verteks
tulang tengkorak.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan unntuk membantu diagnosis rhinosinusitis
secara lebih tepat dan dini adalah dengan rinoskopi anterior menggunakan
speculum hidung atau endoskopi hidung. Pemeriksaan endoskopi ini terutama
dibutuhkan untuk mengevaluasi kompleks osteomeatal (KOM).
Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi
rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya).
Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan
dengan rinosinusitis kronik seperti edema konka, hiperemi, sekret (nasal drip),
krusta, deviasi septum, tumor atau polip.
Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang
rongga hidung.

II.1.4.3 Pemeriksaan Penunjang


Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai
kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan
transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.
Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi
kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba, hipertrofi
adenoid dan penampakan mukosa sinus. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi
bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan. Untuk rinosinusitis kronik,
endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86
%.
Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan,
meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan

11
modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk
evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan
respon. Ini mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan
pembedahan.

Gambar 3. CT-scan penampang koronal menunjukkan rinosinusitis


kronik

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:


1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar,
mikroskop elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow,
rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

II.2 Tatalaksana
Tatalaksana rhinosinusitis dapat berupa pemberian medikamentosa atau
tindakan pembedahan. Adapun tatalaksana rhinosinusitis bertujuan untuk
mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, seta mencegah perubahan
menjadi kronik. Prinsip pengobatannya yakni menghilangkan obstruksi di

12
kompleks osteomeatal sehingga drainase sekret sinus dan vetntilasi sinus dapat
berfungsi normal kembali.
Untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka
sumbatan ostium sinus, dapat digunakan antibiotik dan dekongestan. Pemakaian
antibiotik dan untuk pengbatan rhinosinusitis berdasarkan antibiotik yang telah
terbukti keefektifannya atau berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas. The
Bacteriology of Rhinosinusitis di Amerika Serikat (Levine, 2005) menyatakan
bakteri patogen terbanyak pada rhinosinusitis akut adalah S. pneumonia, H.
infulenzae, S. aureus, dan Moraxella ctarrhalis sehingga antibiotik lini pertama
yang direkomendasikan adalah amoxicillin, docycicllin dan
trimethoprim/sulfamethoxazole. Namun apabila diperkirakan kuman telah resisten,
makan dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sephalosporin generasi ke-
2. Antibiotik diberikan selama 10 – 14 meskipun gejala klinik sudah hilang.
Pengobatan yang lebih singkat dapat menimbulkan resistensi antibiotik.
Dekongestan akan menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah
hidung, menurunkan aliran darah, dan mengurani edema pada mukosa hidung.
Dekongestan oral yang dapat digunakan adalah phenylpropanolamine dan
pseudoephedrine, digunakan selama 3 – 5 hari untuk mengurangi gejala dan
meningkatkan kecepatan drainase sinus. Terapi tambahan dapat juga diberikan
berupa analgesik, mukolitik, steroid oral/topical, dan cuci hidung dengan larutan
isotonis.
Pada rhinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan mungkin
menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar
belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung memerlukan
terapi yang berlainan juga.
Terapi Pembedahan yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan
sederhana dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan
canggih endoskopi. Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi ialah:
1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi

13
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid
a. Etmoidektomi intarnasal, ekstranasal, transnasal
3. Sinus frontal
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid
a. Transnasal
b. Transsfenoidal
FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama kali oleh
Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah:
a. Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronis
b. Poliposis nasi
c. Mukokel sinus paranasal
d. Mikosis sinus paranasal
e. Benda asing
f. Osteoma kecil
g. Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)
h. Dekompresi orbita / n.optikus
i. Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokel
j. Atresia koanae
k. Dakriosistorinotomi
l. Kontrol epistaksis
m. Tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull base

II.3 Komplikasi
Komplikasi rhinosinusitis yang berat dapat terjadi pada rhinosinusitis akut
dan rhinosinusitis kronis eksaserbasi akut, meliputi komplikasi ekstrakranial dan
intrakranial. Komplikasi intracranial dapat berupa meningitis, abses ekstradural
atau subdural, abses otak, dan thrombosis sinus kavernosus. Komplikasi
ekstrakranial terutama mengenai orbita, hal ini disebabkan letak sinus paranasal

14
yang berdekaran dengan orbita. Komplikasi pada orbita yang dapat terjadi yakni
edema palpebran, sellulitis orbita, abses subperiostal, dan abses orbita.
Komplikasi pada rhinosinusitis kronis dapat berupa osteomyelitis dan abses
subperiostal maupun kelainan paru seperti bronchitis kronik dan bronkiektasis.

15
BAB III

KESIMPULAN

Rhinosinusitis merujuk pada keadaan inflamasi pada sinus dan membran


mukosa hidung. Letak sinus yang berdekatan dengan membran mukosa hidung dan
struktur epitel yang sama antara keduanya menyebabkan hampir setiap keadaan
sinusitis bersamaan dengan rhinitis. Rhinosinusitis diklasifikasikan menjadi akut
dan kronis berdasarkan durasi gejala. Penyebab rhinosinusitis akut sudah dapat
ditetapkan terutama oleh virus dan bakteri, sedangkan penyebab rhinosinusitis
kronis disebabkan oleh multifaktor. Gejala rhinosinusitis seperti obstruksi nasal,
sekret nasal, abnormalitas penciuman dan nyeri atau rasa tekan di wajah.
Tatalaksana rhinosinusitis akut terutama terapi medikamentosa, sedangkan
tatalaksana rhinosinusitis kronis berupa terapi medikamentosa dan terapi
pembedahan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Brook, I. Chronic Sinusitis. 2018. Medscape.


https://emedicine.medscape.com/article/232791-overview.

Fokkens W.J., Lund V.J., Mullol J., Bachert C., Alobid I., Baroody F. 2012.
European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012.
Rhinology, 50(23):1-139.

Iskandar, N., Soepardi, E., Basrudin, J. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

Jackman AH, Kennedy DW. 2006. Pathophysiology of sinusitis. In Brook I, eds.


Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis,
109-129.

Loos, Dirk Dietz de., Lourijsen, E.S., Wildeman, M., Freling, N.J., Wolvers M.,
Reitsma, S., Fokkens, W. 2018. Prevalebce of Chronic Rhinosinusitis in the
General Population Based on Sinus Radiology and Symptomatology.
American Academy of Allergy, Asthma & Immunology, 11:1–8.

17

Anda mungkin juga menyukai