Anda di halaman 1dari 43

Presentasi Kasus

ACUTE CORONARY SYNDROME

Oleh:
dr. Devi Agustini Rahayu

Pembimbing:
dr. Hj. Ida Trikandiani, Sp.PD, FINASIM, MARS

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH OKU TIMUR
SUMATERA SELATAN
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
Acute Coronary Syndrome. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Hj. Ida Trikandiani, Sp.PD,
FINASIM, MARS selaku pembimbing yang telah membantu dalam penyelesaian
laporan kasus ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman, dan semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan.
Demikianlah penulisan laporan ini, semoga bermanfaat, amin.

Belitang, November 2019

Penulis

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi Kasus

Acute Coronary Syndrome

Oleh:

dr. Devi Agustini Rahayu

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program
Internsip Dokter Indonesia di RSUD OKU Timur periode Oktober 2019 –
Oktober 2020.

Belitang, November 2019

dr. Hj. Ida Trikandiani, Sp.PD, FINASIM, MARS

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................ iii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN.............................................................................. 1
BAB II. LAPORAN KASUS........................................................................... 3
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 16
BAB IV. ANALISIS KASUS........................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 37

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom koroner akut (SKA) masih tetap merupakan masalah kesehatan


publik yang bermakna di negara industri, dan mulai menjadi bermakna di negara-
negara sedang berkembang. Di Amerika Serikat, 1,36 juta penyebab rawat inap
adalah kasus SKA, 0,81 juta di antaranya adalah kasus infark miokardium, sisanya
angina tidak stabil.1,2
Penyakit jantung koroner (PJK) menunjukkan peningkatan dari tahun
ketahun. Angka kematian karena PJK di seluruh dunia meningkat setiap tahun. Di
Amerika Serikat, rata-rata usia penderita adalah 68 tahun dengan presentasi usia
56-7, dan 3:2 untukjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Beberapa pasien
memiliki riwayat angina stabil. ACS merupakan presentasi awal dari penyakit
arteri koroner (CAD). Diperkirakan bahwa di Amerika Serikat setiap tahun
>780.000 orang akan mengalami ACS. Sekitar 70% dari ini akan memiliki
NSTEMI. Pasien dengan NSTE-ACS biasanya memiliki lebih banyak tingkat
morbiditas yang lebih tinggi baikjantung dan non cardiac, dibandingkan
pasien STEMI.2-4
Di Indonesia prevalensi jantung koroner tertinggi adalah provinsi Sulawesi
Tengah (0,8%) diikuti Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Aceh masing-masing 0,7%.
Sementara prevalensi jantung koroner menurut diagnosis atau gejala tertinggi di
Nusa Tenggara Timur (4,4%), diikuti Sulawesi Tengah (3,8%), Sulawesi
Selatan (2,%), dan Sulawesi Barat (2,6%). Penyakit jantung koroner meningkat
seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 65-74 tahun
yaitu 2,0 persen dan 3,6 persen, menurun sedikit pada kelompok umur ≥75
tahun.3-4
Sebelum era fibrinolitik, infark miokardium dibagi menjadi Q-wave dan non
Q-wave. Pembagian ini berdasarkan evolusi gambaran elektrokardiogram (EKG)
yang terjadi pada beberapa hari setelah serangan. Infark miokardium tipe Q-wave
menggambarkan adanya infark transmural. Sedangkan infark non Q-wave
menggambarkan infark yang terjadi hanya pada lapisan subendokardium.7 Pada

1
2

saat ini, istilah yang dipakai adalah STEMI (ST elevation myocardial infarction),
NSTEMI (non ST elevation myocardial infarction), dan angina pektoris tidak
stabil; ketiganya merupakan suatu spektrum klinis yang disebut sindrom koroner
akut. Ketiganya mempunyai dasar patofisiologi yang sama, hanya berbeda derajat
keparahannya.1,5-6
Adanya elevasi segmen ST pada EKG menggambarkan adanya oklusi total
arteri koroner yang menyebabkan nekrosis pada seluruh atau hampir seluruh
lapisan dinding jantung. Pada NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil terjadi
oklusi parsial arteri koroner. Keduanya mempunyai gejala klinis dan patofi siologi
serupa, tetapi berbeda derajat keparahannya. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika
iskemi cukup parah sehingga menyebabkan nekrosis sel-sel miokardium; hal ini
menyebabkan pelepasan biomarker dari sel-sel miokardium (Troponin T atau I,
atau (CKMB) menuju ke sirkulasi. Sebaliknya, pada pasien dengan angina
pektoris tidak stabil tidak didapatkan peningkatan biomarker tersebut di
sirkulasi.1,5-6
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Tn. W
: 57 tahun
Umur : Laki-laki
Jenis Kelamin : Islam
Agama : SMA
Pendidikan : Petani
Pekerjaan : Yosowinangun
Alamat : Menikah
Status : 187095
No.rekam medik : 15 November 2019
Tanggal MRS : 16 November 2019
Tanggal
II. pemeriksaan
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri dada kiri
menjalar ke bahu
hingga lengan
kiri.

Riwayat Perjalanan
Penyakit
Sekitar 30
menit sebelum
ke Rumah Sakit,
pasien mengeluh
nyeri
dada kiri (+). Nyeri dada dirasakan seperti tertekan dan tertimpa beban
berat, nyeri menjalar ke bahu hingga lengan kiri, nyeri dirasakan selama
kurang dari 5 menit, lalu mebaik kembali. Keringat dingin (+), berdebar-
debar (-), mual (-), muntah (-), sakit kepala (-), pusing (+), sesak napas (+),
demam (-), bengkak kedua kaki (-). Keluhan ini baru pertama kali dirasakan.
Sebelumnya pasien hanya merasakan 3 nyeri sedikit-sedikit lalu berobat ke
klinik 3F, diberi obat namun pasien lupa nama obat. Karena keluhan masih
tetap dirasakan saat beraktivitas, maka pasien dibawa ke IGD RSUD OKU
4

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat keluhan yang sama disangkal
 Riwayat hipertensi (+) sejak 10 tahun yang lalu, tidak terkontrol
 Riwayat diabetes mellitus disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat hiperkolesterolemia disangkal
 Riwayat alergi disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


 Riwayat penyakit yang sama disangkal
 Riwayat hipertensi (+) pada kedua orangtua
 Riwayat diabetes mellitus disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat alergi disangkal

Riwayat Obat-obatan
 Tidak ada

Riwayat Kebiasaan
 Riwayat merokok (+)
 Riwayat alkohol (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalikus
Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: compos mentis
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 88 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
5

Pernapasan
: 22 x/menit, reguler
Suhu
: 36,80C

Keadaan Spesifik
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Normotia, serumen (-/-)
Hidung : NCH (-), sekret (-)
Mulut : Sianosis (-), mukosa bibir lembab (+)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, struma (-), pembesaran KGB (-).
Thoraks
Paru-paru : I: Statis: simetris, tidak ada dada yang
tertinggal.dinamis: kiri sama dengan kanan,
tidak ada dada yang tertinggal. Tidak ada otot
bantu pernapasan tambahan, retraksi dinding
dada (-)

P : Nyeri tekan (-), stem fremitus kanan = kiri


P : Sonor pada kedua lapangan paru.
A : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing(-)
Jantung : I: Ictus cordis tidak terlihat.
P : Ictus cordis tidak teraba.
P : Batas atas ICS II, batas kanan ICS IV linea
sternalis dextra, batas kiri ICS V linea axilaris
anterior
A : HR 88 x/menit, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : I: Datar, venektasi (-), massa (-)
P : lemas, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien
tidak teraba, ballotement ginjal (-)
P : Timpani (+), shifting dullness (-), nyeri ketok
CVA (-).
A : Bising usus (+) normal
6

Ekstremitas : Akral hangat, palmar eritem (-/-), edema pretibial (-),


akral pucat (-/-), sianosis (-), poikilonikia (-), ptekie
(-), ekimosis (-)
Genital : Tidak dilakukan pemeriksaan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium (15 November 2019)


Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hemoglobin 11,5 g/dl 14,00 – 16,00 g/dl
LED 35 mm/jam <10 mm/jam
WBC 18,13x103/mm3 5,00-10,00 x103/mm3
Trombosit 282x103/µL 150- 400 x 103/µL
Eritrosit 3,87x106/µL 4,5-5,5 x106/µL
Hematokrit 33,2 % 40-48%
Basofil 0% 0-1%
Eusinofil 1% 1-6%
Netrofil 75% 50-70%
Limfosit 12% 20-40%
Monosit 12% 2-8%
BSS 154 mg/dL <200 mg/dL
Ureum 34,4 mg/dL 10-50 mg/dL
Kreatinin 1,67 mg/dL 0,8-1,5 mg/dL
Albumin 4,8 g/dL 2,4-3,9 g/dL
Bilirubin Total 0,6 g/dL <5,1 g/dL
SGOT 197 U/L 15-37 U/L
SGPT 44 U/L 12-78 U/L
Kolesterol Total 178 mg/dL <200 mg/dL
Kolesterol HDL 60 mg/dL 40-60 mg/dL
Kolesterol LDL 92 mg/dL 0-130 mg/dL
Kolesterol HDL 132 mg/dL <150 mg/dL
7

CK 1291 U/L 39-308 U/L


CK-MB 139 U/L 7-25 U/L
Kalium 3,22 mmol/L 3,48-5,50 mmol/L
Klorida 97,30 mmol/L 96-106 mmol/L
Natrium 141,50 mmol/L 135,37-145 mmol/L

EKG (15 November 2019)

Interpretasi: elevasi segmen ST di V1-V4


Kesan: STEMI Anteroseptal
8

Rontgen Thorax (16 November 2019)

Kesan: Kardiomegali dengan LVH e.c. HHD

V. DIAGNOSIS BANDING
1. STEMI Anteroseptal
2. NSTEMI Anteroseptal
3. UAP

VI. DIAGNOSIS SEMENTARA


STEMI Anteroseptal

VII. TATALAKSANA
Non farmakologis
 Bed rest
 Pro masuk ICU
 Cek enzim jantung
 Diet NB jantung
9

Farmakologis
 IVFD NaCl 0,9% 20cc/ jam
 Lansoprazole 30 mg/ 24 jam IV
 Diviti 2,5mg SC
 ISDN 10mg SL
 Clopidogrel 300mg PO
 Aspilet 160mg PO

VIII. PROGNOSIS

Quo Ad vitam : dubia


Quo Ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

IX. FOLLOW UP

16 November 2019
S/ Nyeri dada (+) saat menggerakkan badan P/
O/ Nonfarmakologi:
Keadaan umum - Diet NB jantung
Kesadaran: CM
Tekanan darah:118/81 mmHg Farmakologis
Nadi: 91 kali/menit - IVFD RL 500 cc +
Pernapasan: 24 kali/menit tramadol 200 mg 40cc/
Temperatur: 36,5oC jam

SpO2: 98%
- Lansoprazole 30 mg/

BSS: 141 mg/dL 24 jam IV


Keadaan spesifik - Diviti 2,5 mg/ 24 jam
Kepala: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik - ISDN 5 mg/ 24 jam
(-/-) - Clopidogrel 75 mg/ 24
Leher: JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-) jam PO
10

Thorax - Aspilet 80 mg/ 24 jam


Paru: PO
Statis dinamis simetris, stem fremitus - Clobazam 10mg/ 24
kanan=kiri, sonor kedua lapangan paru jam
Jantung:
Iktus kordis tidak terlihat, iktus kordis tidak
teraba, Batas atas ICS II, batas kanan ICS IV
linea sternalis dextra, batas kiri ICS V linea
axillaris anterior. HR 91 x/menit, reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Datar, lemas, nyeri tekan (-), timpani, bising
usus (+) normal
Ekstremitas :
Akral hangat, palmar eritem (-/-), edema
pretibial (-/-), akralpucat (-/-), sianosis (-).
poikilonikia (-), ptekie (-), ekimosis (-)
A/ STEMI Anteroseptal

17 November 2019
S/ Nyeri dada (+) saat menggerakkan badan P/
O/ Nonfarmakologi:
Keadaan umum - Diet NB jantung
11

Kesadaran: CM
Tekanan darah:129/72 mmHg Farmakologis
Nadi: 81 kali/menit - IVFD RL 500 cc +
Pernapasan: 20 kali/menit tramadol 200 mg 40cc/
Temperatur: 36,5oC jam
SpO2: 98%
- Lansoprazole 30 mg/
24 jam IV
Keadaan spesifik
- Diviti 2,5 mg/ 24 jam
Kepala: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
- ISDN 5 mg/ 24 jam
(-/-)
- Clopidogrel 75 mg/ 24
Leher: JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
jam PO
Thorax
- Aspilet 80 mg/ 24 jam
Paru:
PO
Statis
dinami - Clobazam 10mg/ 24
s jam
simetri
s, stem
fremitu
s
kanan=kiri, sonor kedua lapangan paru
Jantung:
Iktus kordis tidak terlihat, iktus kordis tidak
teraba, Batas atas ICS II, batas kanan ICS IV
linea sternalis dextra, batas kiri ICS V linea
axillaris anterior. HR 81 x/menit, reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Datar, lemas, nyeri tekan (-), timpani, bising
usus (+) normal
Ekstremitas :
Akral hangat, palmar eritem (-/-), edema
pretibial (-/-), akralpucat (-/-), sianosis (-).
poikilonikia (-), ptekie (-), ekimosis (-)
Pemeriksaan Lab: asam urat 6,0 mg/dL;
kolesterol total 172 mg/dL; Trigliserida 205
mg/dL
A/ STEMI Anteroseptal
12

18 November 2019
S/ Nyeri dada berkurang P/
O/ Nonfarmakologi:
Keadaan umum - Diet NB jantung
Kesadaran: CM
Tekanan darah:120/70 mmHg Farmakologis
Nadi: 80 kali/menit - IVFD RL 500 cc +
Pernapasan: 20 kali/menit tramadol 200 mg 40cc/
Temperatur: 36,6oC jam

SpO2: 99%
- Lansoprazole 30 mg/

Keadaan spesifik 24 jam IV


Kepala: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik - Diviti 2,5 mg/ 24 jam
(-/-) - ISDN 5 mg/ 24 jam
Leher: JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-) - Clopidogrel 75 mg/ 24
Thorax jam PO
Paru: - Aspilet 80 mg/ 24 jam
Statis dinamis simetris, stem fremitus PO
kanan=kiri, sonor kedua lapangan paru - Clobazam 10mg/ 24
Jantung: jam
Iktus kordis tidak terlihat, iktus kordis tidak - Sucralfat syr 15cc/ 8
teraba, Batas atas ICS II, batas kanan ICS IV jam
linea sternalis dextra, batas kiri ICS V linea - Acc pindah ruangan
axillaris anterior. HR 80 x/menit, reguler,
13

murmur (-), gallop (-)


Abdomen:
Datar, lemas, nyeri tekan (-), timpani, bising
usus (+) normal
Ekstremitas :
Akral hangat, palmar eritem (-/-), edema
pretibial (-/-), akralpucat (-/-), sianosis (-).
poikilonikia (-), ptekie (-), ekimosis (-)
A/ STEMI Anteroseptal

19 November 2019
S/ Nyeri dada berkurang, nyeri di kaki (+) P/
O/ Nonfarmakologi:
Keadaan umum - Diet NB jantung
Kesadaran: CM
Tekanan darah:100/80 mmHg Farmakologis
Nadi: 67 kali/menit - IVFD RL 500 cc +
Pernapasan: 20 kali/menit tramadol 200 mg 40cc/
Temperatur: 36,6oC jam

SpO2: 98%
- Lansoprazole 30 mg/

Keadaan spesifik 24 jam IV


Kepala: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik - Diviti 2,5 mg/ 24 jam
14

(-/-) - ISDN 5 mg/ 24 jam


Leher: JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-) - Clopidogrel 75 mg/ 24
Thorax jam PO
Paru: - Aspilet 80 mg/ 24 jam
Statis dinamis simetris, stem fremitus PO
kanan=kiri, sonor kedua lapangan paru - Clobazam 10mg/ 24
Jantung: jam
Iktus kordis tidak terlihat, iktus kordis
- Sucralfat syr 15cc/ 8
tidak
teraba, Batas atas ICS II, batas kanan ICS IV jam
- Dexketoprofen 25
linea sternalis dextra, batas kiri ICS V linea
mg/
axillaris anterior. HR 67 x/menit, reguler,
12 jam
murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Datar, lemas, nyeri tekan (-), timpani, bising
usus (+) normal
Ekstremitas :
Akral hangat, palmar eritem (-/-), edema
pretibial (-/-), akralpucat (-/-), sianosis (-).
poikilonikia (-), ptekie (-), ekimosis (-)
A/ STEMI Anteroseptal
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Pembuluh Darah Koroner


Jantung mendapatkan darah dari arteri coronaria dextra dan sinistra, yang
berasal dari aorta ascendens tepat di atas valva aortae. Arterie coronariae dan
cabang-cabang utamanya terdapat di permukaan jantung, terletak di dalam
jaringan ikat sub epicardium.7-9

Gambar 1. Anatomi Pembuluh Darah Jantung7

Arteri koroner dibagi dua,yaitu:7-9


1. Arteri Coronaria Dextra
Arteri coronaria dextra berasal dari sinus anterior aortae dari aorta
ascendens. Arteri ini berjalan ke bawah di dalam sulcus atrioventricularis
dextra, dan pada pinggir inferior jantung, dan kemudian pembuluh darah ini
melanjutkan diri ke posterior sepanjang sulcus atrioventricularis untuk
beranastomosis dengan arteri coronaria sinistra di dalam sulcus
intraventricularis posterior. Cabang-cabang berikut ini dari arteria coronaria

16
17

dextra mendarahi atrium dextrum dan ventriculum dexter, sebagian atrium


sinistrum dan ventriculus sinister, dan septum atrioventrikularis.
Cabang:
- Ramus conica arteriosa dexter
- Rami ventriculares anteriores
- Rami ventriculares posteriores
- Ramus intraventricularis posterior (descendens)
- Rami atriales
2. Arteri Coronaria Sinistra
Arteri coronaria sinistra biasanya lebih besar dibandingkan dengan arteri
coroania dextra. Pembuluh darah ini berasal dari sinus aortae posterior
sinistra dari aorta ascendens dan berjalan ke depan diantara truncus
pulmonalis dan auricula sinistra. Kemudian pembuluh ini berjalan di sulcus
atrioventricularis dan bercabang dua menjadi ramus interventricularis
anterior dan ramus circumflexa. Arteria coronaria sinistra mendarahi
sebagian besar jantung, termasuk sebagian besar atrium sinistrum,
ventriculus sinister dan septum interventriculare.
Cabang:
- Ramus interventricularis (descendens) anterior
- Ramus cicumflexus

Aliran Vena
Sebagian besar darah dari dinding jantung mengalir ke atrium dextrum
melalui sinus coronarius, yang terletak pada bagian posterior sulcus
atrioventricularis dan merupakan lanjutan dari vena cardiaca magna.
Pembuluh ini bermuara ke atrium dextrum sebelah kiri vena cava inferior.
Vena cardiaca parva dan media bermuara ke sinus coronarius. Sisanya
dialirkan ke atrium dextrum melalui vena cardiaca anterior dan melalui
vena-vena kecil yang bermuara langsung ke ruang jantung.7-9
18

2. SindromKoronerAkut
1. Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu penyakit tidak menular
dimana terjadi perubahan patologis atau kelainan dalam dinding arteri koroner
yang dapat menyebabkan terjadinya iskemik miokardium dan UAP
(Unstable
Angina Pectoris) serta Infark Miokard Akut (IMA) seperti Non-ST Elevation
Myocardial Infarct (NSTEMI) dan ST Elevation Myocardial Infarct (STEMI).5,6

2. Epidemiologi
Sindrom Koroner Akut merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia,
World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 melaporkan penyakit
kardiovaskuler menyebabkan 17,5 juta kematian atau sekitar 31% dari
keseluruhan kematian secara global dan yang diakibatkan sindrom koroner akut
sebesar 7,4 juta. Penyakit ini diperkirakan akan mencapai 23,3 juta kematian
pada tahun 2030. Di Indonesia angka mortalitas pada tahun 2012 adalah 680
dari
100.000 populasi. Berdasarkan Riskesdas tahun 2013 prevalensi penyakit
jantung koroner di Kalimantan Selatan dengan diagnosis dokter sebesar
0,5% dan
diagnosis dokter atau gejala sebesar 2,2%. Di Kota Banjarmasin, prevalensi
penyakit jantung koroner dengan diagnosis dokter sebesar 0,4% dan berdasarkan
diagnosis dokter atau gejala sebesar 0,8%.3,5,6

3.2.3 Etiologi
Sindrom koroner akut disebabkan oleh aterosklerosis yaitu proses terbentuknya
plak yang berdampak pada intima dari arteri, yang mengakibatkan terbentuknya trombus
sehingga membuat lumen menyempit, yang menyebabkan terjadinya gangguan suplai
darah sehigga kekuatan kontraksi otot jantung menurun. Jika thrombus pecah sebelum
terjadinya nekrosis total jaringan distal, maka terjadilah infark pada miokardium.2,4
Aterosklerosis merupakan suatu kondisi dari arteri besar maupun arteri kecil yang
mengalami akumulasi tumpukan lemak, platelet, neutrofil, monosit dan makrofag
diseluruh tunica intima (lapisan sel endoteliu) dan bahkan ke dalam tunica intima (lapisan
otot polos). Dimana arteri paling sering mempengaruhi bagian koroner, aorta,
dan arteri serebral.Aterosklerosis dimulai dari adanya disfungsi pada
lapisan sel
19

endoteli pada lumen arteri. Hal ini menyebabkan kerusakan pada sel endoteli, atau dari
stimuli lainnya. Kerusakan sel endotel meningkatkan permeabilitas sel endotel terhadap
berbagai komponen plasma, termasuk asam lemak dan trigliserida, membiarkan zat-zat
ini masuk ke dalam arteri. Oksidasi asam lemak menghasilkan radikal bebas oksigen
yang kemudian merusak pembuluh darah. Kerusakan sel endotel juga menginisiasi
inflamasi dan reaksi imun, termasuk menarik sel darah putih, khususnya neutrofil dan
monosit, dan platelet ke dalam area. Sel darah putihmelepaskan sitokin pro- inflamasi
poten yang memperburuk kondisi, menarik lebih banyak sel darah putih dan platelet ke
dalam area, menstimulasi penggumpalan, mengaktivasi sel T dan sel B, dan melepaskan
senyawa kimia yang bekerja sebagai kemoatraktan untuk menetapkan siklus inflamasi,
penggumpalan, dan fibrosis. Sekali menarik ke area yang mengalami kerusakan, sel
darah putih tertangkap oleh aktivasi faktor adesi endotel yang bekerja seperti Velcro
untuk membuat endotelium menempel dengan sel darah putih. Ketika menempel pada
lapisan endotelium, monosit dan neutrofil mulai untuk beremigrasi antar sel endotel, ke
dalam ruang interstitial. Di dalam interstitium, monosit telah matang ke dalam makrofag
dan, bersama dengan neutrofil, lanjut melepaskan sitokin, yang kemudian menjadi siklus
inflamasi. Sitokin pro-inflamasi juga menstimulasi proliferasi sel otot polos,
menyebabkan sel otot polos tumbuh di dalam tunica intima. Adanya tambahan kolesterol
plasma dan tambahan lemak yang masuk ke dalam tunicae intima dan media sebagai
peningkatan permeabilitas lapisan endotel. Indikasi awal dari kerusakan yaitu terdapat
lapisan lemak (fatty streak) di dalam arteri.Kerusakan dan inflamasi yang berkelanjutan
menyebabkan agregasi platelet meningkat dan mulai terjadinya pembentukan thrombus
(penggumpalan darah). Jaringan bekas luka menggantikan beberapa dinding vaskular
dengan mengganti struktur dinding. Hasil akhirnya adalah penumpukan kolesterol dan
lemak, lapisan atau deposit jaringan bekas luka, pembekuan platelet, dan proliferasi sel
otot polos. Adanya emdapan yang terjadi pada area aterosklerosis menyebabkan
mengecilnya diameter arteri dan meningkatkan kekakuan pada arteri. Area aterosklerosis
pada arteri ini disebut sebagai plak. Plak aterosklerotik dapat menyebabkan suatu bekuan
darah setempat atau thrombus yang akan menyumbat pembuluh arteri. Thrombus dimulai
pada tempat plak aterosklerotik yang telah tumbuh besar sehingga memecah lapisan
intima, sehingga bersentuhan langsung dengan aliran darah. Karena plak tersebut
menimbulkan permukaan yang tidak halus bagi aliran darah, trombosit mulai melekat,
fibrin mulai menumpuk dan sel-sel darah terjaring dan menyumbat pembuluh darah
tersebut.
20

Kadang bekuan tersebut terlepas dari tempat melekatnya (pada plak aterosklerotik) dan
mengalir ke cabang arteri koroner perifer pada arteri yang sama.2,4

3.2.4 Faktor Risiko


Terjadinya sindrom koroner akut dihubungkan oleh beberapa faktor risiko meliputi
faktor yang tidak dapat dimodifikasi seperti umur, jenis kelamin, keturunan, dan faktor
yang dapat dimodifikasi seperti merokok, hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, dan
obesitas. Faktor risiko yang menyebabkan terjadinya SKA ini telah dijelaskan dalam
Frammingham Heart Study dan studi-studi lainnya. Studi-studi ini menjelaskan bahwa
faktor resiko yang dapat dimodifikasilah yang berpengaruh kuat terjadinya sindrom
koroner akut. Mengetahui karakteristik penderita sindrom koroner akut perlu untuk
intervensi pencegahan sehingga angka kejadian sindrom koroner akut dapat ditekan
karena banyaknya kerugian yang ditimbulkan seperti aritmia, syok kardiogenik,
perikarditis, henti jantung, gagal jantung, udema paru akut bahkan kematian apabila tidak
dipatuhi. Dengan diketahuinya karakteristik penderita SKA maka dapat dilakukan
pencegahan primer untuk meningkatkan kesehatan dan menurunkan faktor risiko,
pencegahan sekunder untuk menangani gejala dengan cepat secara optimal sehingga
mencegah keadaan yang lebih parah dan rehospitalisasi, serta pencegahan tersier untuk
mempertahankan kesehatan secara optimal melalui dukungan dan kekuatan yang ada
pada diri penderita.11-14
 Usia
Mayoritas usia penderita SKA berusia lebih dari 45 tahun menurut teori seseorang
yang berisiko menderita sindrom koroner akut, pada laki-laki berusia lebih dari 45
tahun sedangkan pada perempuan berusia sedangkan pada perempuan berusia kurang
lebih 55 tahun. Semakin bertambahnya usia maka pembuluh darah seseorang akan
mengalami perubahan yang berangsur secara terus menerus yang dapat
mempengaruhi fungsi jantung. Seiring bertambahnya usia kerentanan individu
terhadap aterosklerosis koroner semakin meningkat. Pada usia 40-60 tahun insiden
SKA seperti IMA meningkat sebanyak 5 kali liat. Hasil Penelitian lain dari Faridah
et al., bahwa kelompok umur terbanyak yang menderita SKA yaitu 56-65 tahun
sebanyak 34 (42,5%).10-11
 Jenis Kelamin
WHO menyatakan bahwa pasien yang terdiagnosis sindrom koroner akut mayoritas
terjadi pada laki-laki.10,14
21

 Keturunan
Mayoritas penderita SKA tidak mempunyai riwayat keturunan. Penelitian Rosmiatin
menunjukkan bahwa penderita dengan riwayat penyakit kardiovaskuler dalam
keluarga lebih sedikit dibandingkan dengan penderita SKA tanpa riwayat dalam
keluarga. Selain itu penelitian dari Niluh & et al, menunjukkan bahwa yang
mempunyai riwayat penyakit keluarga lebih banyak ditemui pada pasien dengan
diagnosis gagal jantung dari pada penyakit jantung koroner atau termasuk sindrom
koroner akut.10-12
 Merokok
Perilaku merokok dapat menyebabkan sindrom koroner akut tergantung dari lama
merokok dan banyaknya yang dihisap oleh seseorang. Menurut World Heart
Federation kandungan yang ada dalam rokok seperti tembakau menyebabkan
terjadinya penggumpalan pada darah yang mengganggu proses
pengangkutan
oksigen yang diperlukan tubuh dan kebutuhan otot jantung akan meningkat akibat
terjadinya pembentukan plaq oleh zat tersebut.11
 Hipertensi
Penelitian yang dilakukan pada 622 pasien infarkmiokard akut di Tripoli Medikal
Center Libia sebanyak 35,7 % pasien dengan penyakit hipertensi mengalami IMA
.Penelitian lain dari Budiman et al., menunjukkan jumlah penderita infark miokard
akut yang termasuk bagian dari SKA lebih banyak terjadi pada pasien dengan
penyakit hipertensi yaitu 41 orang (57,7%). Pasien yang menderita hipertensi
memiliki kejadian 7,5 kali lebih besar terjadi dari pada yang tidak hipertensi. Setiap
kenaikan 10 mmHg tekanan darah sistoledan 5 mmHg tekanan darah diastole makan
akan meningkatkan risiko SKA Hipertensi dapat menyebabkan banyaknya penderita
SKA diduga karena masyarakat sekarang memiliki pola makan yang tidak sehat dan
sering beli makanan siap saji. kurangnya aktifitas fisik, perilaku seperti merokok
serta stress. Perilaku seperti ini dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis.15-16
 Diabetes Melitus
Penelitian Pramadiaz et al. dan Muhibbah et al. menyebutkan jumlah penderita SKA
yang tidak memiliki riwayat DM lebih banyak dibandingkan yang memiliki riwayat
DM (Pramadiaz et al., 2016).Menurut penelitian Frammingham, Multiple Risk
Factor Intervention Trial dan Minister Heart Study (PROCAM), diketahui bahwa
faktor risiko seseorang untuk menderita PJK ditentukan melalui interaksi dua atau
lebih faktor risiko antara lain faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti
22

keturunan, umur, jenis kelamin dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti
dislipidemia, hipertensi, merokok, stress danobesitas.10,11
 Dislipidemia
Dislipidemia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya sindrom
koroner akut disebabkan karena masyarakt kurang memperhatikan makan-makanan
yang seimbang serta lebih suka makan-makan junk food. Masyarakat terutama ibu-
ibu yang hanya tinggal dirumah mayoritas kurang melakukan aktifitas fisik sehingga
makanan yang kurang sehat yang dikonsumsi tidak terbakar dengan baik yang
menyebabkan penumpukan di dinding arteri dan terjadinya aterosklerosis.
Aterosklerosis merupakan penyebab terjadinya sindrom koroner akut. Dislipidemia
menyebabkan kerusakan pada endotel pembulu darah. Jika kematian endotel terjadi
akibat dari oksidasi yang menyebabkan adanya respon inflamasi. Dimana respon
angiotensin II menyebabkan gangguan vasodilatasi dan mencetuskan efek
protrombik dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi. Hal ini menghasilkan
respon protektif dimana akan terbentuk lesi fibrofatty dan fibrous, plak
aterosklorotik yang dipicu oleh inflamasi. Plak yang terjadi bisa menjadi tidak stabil
dan mengalami ruptur sehingga terjadi SKA.15-16
 Obesitas
Obesitas tidak selalu menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya sindrom koroner
akut dikarenakan pada penderita sindrom koroner akut masih banyak faktor lain
yang mempengaruhi terutama pola hidup yang kurang sehat. Penelitian yang
dilakukan oleh Rahayu menunjukkan bahwa responden yang berada pada IMT
normal lebih banyak menderita PJK daripada yang obesitas.2,13

3.2.5 Patofisiologi
Hampir semua kasus infark miokardium disebabkan oleh aterosklerosis
arteri koroner.Untuk memahaminya secara komprehensif diperlukan
pengetahuan tentang patofi siologi iskemia miokardium. Iskemia miokardium
terjadi bila kebutuhan oksigen lebih besar daripada suplai oksigen ke miokardium.
Oklusi akut karena adanya trombus pada arteri koroner menyebabkan
berkurangnya suplai oksigen ke miokardium (Gambar 2). Contoh lain, pada pasien
dengan plak intrakoroner yang bersifat stabil, peningkatan frekuensi denyut
jantung dapat menyebabkan terjadinya iskemi karena meningkatkan
kebutuhan oksigen
23

miokardium, tanpa diimbangi kemampuan untuk meningkatkan suplai oksigen ke


miokardium.4,17,19

Gambar 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan oksigen miokardium


Jika terjadi penyempitan arteri koroner, iskemia miokardium merupakan peristiwa
yang awal terjadi. Daerah subendokardial merupakan daerah pertama yang
terkena, karena berada paling jauh dari aliran darah. Jika iskemia makin parah,
akan terjadi kerusakan sel miokardium. Infark miokardium adalah nekrosis atau
kematian sel miokardium. Infark miokardium dapat terjadi nontransmural (terjadi
pada sebagian lapisan) atau transmural (terjadi pada semua lapisan). Faktor-
faktor yang berperan dalam progresi SKA dapat dilihat pada gambar

3.4,17,19

Gambar 3. Faktor-faktor yang berperan untuk terjadinya SKA4


24

Pembentukan Plak Aterosklerotik


Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerotik dipahami bukan proses
sederhana karena penumpukan kolesterol, tetapi telah diketahui bahwa disfungsi
endotel dan proses infl amasi juga berperan penting. Proses pembentukan plak
dimulai dengan adanya disfungsi endotel karena faktor-faktor tertentu. Pada
tingkat seluler, plak terbentuk karena adanya sinyal-sinyal yang
menyebabkan sel darah, seperti monosit, melekat ke lumen pembuluh darah. 4-6
1. Inisiasi proses aterosklerosis: peran endotel
Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri
besar
dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama hidup sampai akhirnya
bermanifestasi sebagai SKA. Proses aterosklerosis ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu
kerusakan endotel, migrasi kolesterol LDL (low-density lipoprotein) ke dalam
tunika intima, respons infl amatorik, dan pembentukan kapsul fibrosis. 4-6

Gambar 4. Fase awal disfungsi endotel4

Beberapa faktor risiko koroner turut berperan dalam proses aterosklerosis, antara
lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan merokok. Adanya infeksi dan
stres oksidatif juga menyebabkan kerusakan endotel. Faktorfaktor risiko ini dapat
menyebabkan kerusakan endotel dan selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel.
Disfungsi endotel memegang peranan penting dalam terjadinya proses
aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses infl amasi, migrasi dan
proliferasi
25

sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan akhirnya menyebabkan


pertumbuhan plak. Endotel yang mengalami disfungsi ditandai hal-hal sebagai
berikut:4-6
- Berkurangnya bioavailabilitas nitrit oksida dan produksi endothelin-1 yang
berlebihan, yang mengganggu fungsi hemostasis vaskuler
- Peningkatan ekspresi molekul adhesif (misalnya P-selektin, molekul adhesif
antarsel, dan molekul adhesif sel pembuluh darah, seperti Vascular Cell
Adhesion Molecules-1 [VCAM-1])
- Peningkatan trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa substansi aktif
lokal.

Tabel 1. komponen primer pembentukan plak aterosklerosis karena


disfungsi endotel4

2. Perkembangan proses aterosklerosis: peran proses


inflamasi

Gambar 5. Pembentukan fatty streaks4


26

Jika endotel rusak, sel-sel infl amatorik, terutama monosit, bermigrasi menuju ke
lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif endotel. Jika
sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami diff erensiasi menjadi
makrofag. Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke
dinding arteri, berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks.
Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin
(misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor necrosis factor α, IL-1, IL-6,
CD40, dan c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses ini dengan
merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh darah (yang
mensintesis komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak. Sel otot
polos pembuluh darah bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima, lalu
mensintesis kolagen, membentuk kapsul fibrosis yang menstabilisasi plak dengan
cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah. Makrofag juga
menghasilkan matriks metaloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna matriks
ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak (Gambar 5). 4-6
3. Stabilitas plak dan kecenderungan mengalami rupture
Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel otot polos dan
makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas plak dan kecenderungan
untuk mengalami ruptur.LDL yang termodifi kasi meningkatkan respons infl amasi
oleh makrofag. Respons infl amasi ini memberikan umpan balik, menyebabkan
lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya mengalami
modifi kasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang terstimulasi akan memproduksi
matriks metaloproteinase yang mendegradasi kolagen.4-6

Gambar 6. Pembentukan lesi aterosklerotik yang semakin kompleks4


27

Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang membentuk kapsul
fibrosis, merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul fibrosis menipis, ruptur plak
mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran darah terhadap zat-zat trombogenik
pada plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya bekuan. Proses proinfl amatorik ini
menyebabkan pembentukan plak dan instabilitas. Sebaliknya ada proses antiinfl
amatorik yang membatasi pertumbuhan plak dan mendukung stabilitas plak.
Sitokin seperti IL-4 dan TGF-β bekerja mengurangi proses infl amasi yang terjadi
pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses penyembuhan luka.
Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah
pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh darah dan
menjadi rentan mengalami ruptur (Gambar 6). 4-6
4. Disrupsi plak, trombosis, dan SKA
Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan seiring
berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul bila stenosis
lumen mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi karena ruptur plak
aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya menyumbat kurang dari
50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang ruptur dan ada plak yang tetap stabil
belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid
yang besar, kapsul fibrosa yang tipis, dan infl amasi dalam plak merupakan
predisposisi untuk terjadinya ruptur.4-6
Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks subendotelial akan
terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang
diikuti aktivasi dan agregasi trombosit, selanjutnya terbentuk trombus.2,3,6,8
Trombosit berperan dalam proses hemostasis primer. Selain trombosit,
pembentukan trombus juga melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi
plasma merupakan jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan
bersamaan dengan sistem hemostasis primer yang dimediasi trombosit. Proses
hemostasis primer maupun sekunder bisa dilihat pada gambar 7. 4-6
28

Gambar 7. Skema pembentukan trombus dan target farmakologis obat-obat


penghambat pembentukan trombus4

Ada 2 macam trombus yang dapat terbentuk:4-6


- Trombus putih: merupakan bekuan yang kaya trombosit. Hanya menyebabkan
oklusi sebagian.
- Trombus merah: merupakan bekuan yang kaya fibrin. Terbentuk karena aktivasi
kaskade koagulasi dan penurunan perfusi pada arteri.
Bekuan ini bersuperimposisi dengan trombus putih, menyebabkan
terjadinya oklusi total.

3.2.6 Gejala Klinis


Gejala-gejala umum infark miokard adalah nyeri dada retrosternal. Pasien
sering mengeluh rasa ditekan atau dihimpit, yang lebih dominan dibanding
rasa nyeri. Keluhan - keluhan yang mengarah pada infark miokard antara lain:17-19
- Rasa tekanan yang tidak nyaman, rasa penuh, diremas, atau nyeri dada
retrosternal dalam beberapa menit, sehingga penderita memegang dadanya
atau yang lebih dikenal sebagai Levine sign, yang merupakan tanda khas
untukpenderita pria.

- Nyeri yang menjalar ke bahu, leher, satu atau kedua tangan atau rahang
bawah, ke punggung.
29

- Nyeri dada yang disertai rasa sempoyongan, mau jatuh, berkeringat, atau
mual muntah (khas untuk infark miokard inferior).
- Sesak napas yang tidak dapat dijelaskan, yang dapat terjadi dengan atau tanpa
nyeri dada; seperti pada penderita dengan riwayat diabetes atau hipertensi
yang mengeluh nyeri perut.

3.2.7 Diagnosa
Penegakan diagnosa pasien dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Pada anamnesis didapatan gejala-gejala dan tanda serta faktor risiko
sindrom koroner akut.2,18
2. Pemeriksaan fisik
Kondisi umum pasien infark miokard dapat pucat, berkeringat banyak, atau
gelisah. Nadi dapat berupa aritmia, bradikardi, atau takikardi; yang perlu
diperhatikan jika pasien akan diberi β-blocker. Penderita infark miokard
dapat mengalami hipertensi akibat respon nyeri hebat atau hipotensi akibat
syok kardiogenik. Peningkatan tekanan vena jugularis umumnya ditemukan
pada penderita infark miokard ventrikel kanan. Pada auskultasi, bunyi
jantung dapat bervariasi sesuai komplikasi yang timbul akibat infark
miokard; misalnya mitral regurgitasi dengan murmur pansistolik dan S1
yang lemah atau VSD dengan murmur pansistolik yang kerasdan tinggi dan
S1 yang normal.2,19
3. Pemeriksaan Penunjang


Elektrokardiografi
Temuan EKG 12 leadpada infark miokard menurut evolusinya dapat
berupa gelombang T hiperakut, perubahan segmen ST, dan gelombang Q
patologis. Menurut lokasi anatomis infark miokard temuan abnormalitas
EKG adalah sebagai berikut:5,6
- Dinding inferior: lead II, III, dan aVF
- Dinding anterior: lead V1-V4
30

- Dinding lateral: lead I, aVL, V5-V6


- Ventrikel kanan: lead V1R-V6R
- Dinding posterior: lead V7-V9

 Septal ---> ST segmen elevasi di lead V1 dan V2,

 Anterior ---> ST segmen elevasi di lead V1 sampai V4, reciprocal


dengan di tandai ST segment depresi di lead II,III, aVF.
31

 Anterolateral (ektensif) ---> ST segmen elevasi di lead V1 s/d V6,


lead I dan aVL, reciprocal dengan ditandai ST segmen depresi di lead
II, III, aVF
 Lateral ---> ST segmen elevasi di lead V5 & V6, lead I & aVL.

 Inferior ---> ST segmen di lead II, III, aVF, reciprocal dengan ditandai
ST segmen depresi di lateral.
32

 Posterior ---> ST segmen di lead V8 & V9

Pada NSTEMI temuan EKG dapat normal, ST depression, T flat, atau T


inversion, oleh karena itu diperlukan pemeriksaan serial untuk melihat
dinamika perubahannya. Perbedaan NSTEMI dan Unstable Angina
Pectoris adalah pada hasil pemeriksaan biomarker jantung.
 Biomarker Jantung5,6
1. Kriteria biomarker jantung untuk mendiagnosis MI
2. CK-MB meningkat secara serial dan kemudian turun
dengan perbedaan dua hasil pemeriksaan lebih dari 25%
3. CK-MB 10 – 13 U/L atau lebih dari 5% dari total aktivitas CK
4. Pada dua pemeriksaan berbeda waktu minimal 4 jam didapatkan
peningkatanaktivitas CK-MB lebih dari 50%
5. Pada satu pemeriksaan CK-MB didapatkan peningkatan dua kali lipat
nilai normal
6. Lebih dari 72 jam didapatkan peningkatan Troponin T atau I, atau
LDH-1 > LDH-2.
33

8. Tata Laksana
Tatalaksana awal sindrom koroner akut dilakukan pada pasien dengan
diagnosis kerja kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di
ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau
niomarka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah morfin, oksigen,
nitrat, aspirin, yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.19-24
1. Tirah baring
2. Pada semua pasien IMA-EST direkomendasikan untuk mengukur
saturasi oksigen perifer
- Oksigen diindikasikan pada pasien dengan hipoksemia (SaO2 <90% atau PaO2

<60 mmHg)

- Oksigen rutin tidak direkomendasikan pada pasien dengan SaO2

≥90%.
3. Aspirin 160-320 mg diberikan segera kepada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorbsi sublingual yang lebih cepat.
4. Penghambat reseptor adenosin difosfat (ADP)
- Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2x90 mg/ hari kecuali pada pasien IMA-
EST yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik
- Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP
yang dianjurkan adalah clopidogrel.
5. Nitrogliserin (NTG) spray/ tablet sublingual untuk pasien dengan nyeri
dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri
dada tidak hilang dengan 1x pemberian, dapat diulang setiap 5 menit
sampai maksimal 3 kali. Nitrogliserin intravena diberikan kepada pasien
yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual. Dalam
34

keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai


sebagai pengganti.
6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual.
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan pasien laki-laki usia
57 tahun datang ke IGD RSUD OKU Timur dengan keluhan nyeri dada kiri yang
dirasakan seperti tertekan dan tertimpa beban berat, nyeri menjalar ke bahu hingga
lengan kiri, nyeri dirasakan selama kurang dari 5 menit, lalu mebaik kembali.
Keluhan disertai keringat dingin dan sesak napas. Pasien memiliki riwayat
hipertensi sejak lebih kurang 10 tahun dan tidak terkontrol obat.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada tipikal
angina tipikal) atau atipikal angina ekuivalen). Pada kasus ini, nyeri dada termasuk
dalam nyeri dada tipikal. Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/ berat di
daerah retrosternal yang menjalar ke lengan kiri, leher, area intraskapuler, bahu,
atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermitten beberapa menit) atau
persisten >20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta
seperti diaforesis keringat dingin), mual/ muntah, nyeri abdominal, sesak napas,
dan sinkop.
Pasien mempunyai faktor risiko berupa jenis kelamin pria, usia, merokok
dan hipertensi. WHO menyatakan bahwa pasien yang terdiagnosis sindrom
koroner akut mayoritas terjadi pada laki-laki.Mayoritas penderita SKA berusia
lebih dari 45 tahun berisiko menderita sindrom koroner akut, pada laki-laki
berusia lebih dari 45 tahun sedangkan pada perempuan berusia berusia lebih dari
55 tahun. Semakin bertambahnya usia maka pembuluh darah seseorang akan
mengalami perubahan yang berangsur secara terus menerus yang dapat
mempengaruhi fungsi jantung. Seiring bertambahnya usia kerentanan individu
terhadap aterosklerosis koroner semakin meningkat. Pada usia 40-60 tahun
insiden SKA seperti IMA meningkat sebanyak 5 kali lipat.Menurut World Heart
Federation kandungan yang ada dalam rokok seperti tembakau menyebabkan
terjadinya penggumpalan pada darah yang mengganggu proses pengangkutan
oksigen yang diperlukan tubuh dan kebutuhan otot jantung akan meningkat akibat

35
36

terjadinya pembentukan plaq oleh zat tersebut. Pasien yang menderita hipertensi
memiliki kejadian 7,5 kali lebih besar terjadi dari pada yang tidak hipertensi.
Setiap kenaikan 10 mmHg tekanan darah sistole dan 5 mmHg tekanan darah
diastole maka akan meningkatkan risiko SKA.Hipertensi kronis dapat
mempercepat terjadinya aterosklerosis.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan hasil batas jantung kiri melebar yaitu di
linea axilaris anterior, hal ini menandakan adanya pembesaran jantung atau
kardiomegali. Hasil ini didukung oleh pemeriksaan rontgen thorax yang
menunjukkan gambaran kardiomegali. Terjadinya kardiomegali pada pasien ini
disebabkan oleh hipertensi yang sudah menahun dan tidak terkontrol obat.
Pemeriksaan penunjang EKG menunjukkan adanya elevasi segmen ST pada
V1-V4 yang menandakan lokasi infark terjadi di anteroseptal. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan hasil peningkatan enzim jantung CK-MB),CK-MB
akan meningkat dalam waktu 4-6 jam, mencapai puncaknya pada 12 jam,
dan menetap sampai 2 hari, sehingga pasien didiagnosis dengan STEMI
anteroseptal.Pasien mendapatkan terapi berupa ISDN 10 mg SL, Clopidogrel 300
mg PO, Aspilet 160 mg PO, dan Diviti 1 amp SC.
DAFTAR PUSTAKA

1. Antman EM, Anbe DT, Armstrong PW, Bates ER, et al. ACC/ AHA
Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial
Infarction; A Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise the 1999
Guidelines for the Management of Patients With Acute Myocardial
Infarction). The American College of Cardiology Foundation and the
American Heart Association. 2004;110:588-636.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2018. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. PERKI. 2018.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI,
LITBANGKES RI; 2013.
4. Myrtha R. 2012. Patofisiologi Sindrom Koroner Akut. CDK-192. 2012;39(4):
261-4.
5. Amsterdam E, Wegner N, Brindis W, Casey D, Holmes D. AHA/ACC
Guidelines for Management of Patient with Non ST-Elevation Acute
Coronary Syndrome; A Report of the American College of Cardiology/
American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation
Journal of The American Heart Association. 2014.
6. Tamis-Holland ET, et al. ACC/ AHA Guidelines for the Management of
Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction: Executive Summary: A
Report of the American College of Cardiology. Circulation Journal of The
American Heart Association. 2013.
7. Snell RS. 2012. Anatomi Klinis berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC.
8. Guyton, AC, Jhon E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi Ke-11. Alih
Bahasa: Setiawan I dan Santoso A. Jakarta: EGC.
9. Paulsen F, Waschke J. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Jilid 2 Edisi 23.
Jakarta: EGC.

37
38

10. Tumade B, Jim EL, Joseph VFF. Prevalensi Sindrom Koroner Akut di RSUP
Prof. Dr. R.D Kandou Manado Periode 1 Januari 2014. Jurnal e-Clinic (eCI).
2014;4(1):223-300.
11. Susilo C. Identifikasi Faktor Usia, Jenis Kelamin dengan Luas Infark Miokard
Pada Penyakit Jantung Koroner (PJK) di Ruang ICCU RSD DR. Soebandi
Jember, The Indonesian Journal Of Health Science. 2015;6(1): 1-7.
12. Ghani L, Susilawati DM, Novriani H. Faktor Risiko Dominan Penyakit
Jantung Koroner di Indonesia, Buletin Penelitian Kesehatan. 2016;44(3):153-
64.
13. Indrawati L. Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap, Persepsi, Motivasi,
Dukungan Keluarga dan Sumber Informasi Pasien Penyakit Jantung Koroner
dengan Tindakan Pencegahan Sekunder Faktor Risiko (Studi Kasus Di
RSPAD Gatot Soebroto Jakarta), Jurnal Ilmiah WIDYA. 2014;2(3):30-36.
14. Torry SRV, Panda AL, Ongkowijaya J. Gambaran Faktor Risiko Penderita
Sindrom Koroner Akut, Jurnal E-Clinic. 2014;2(1):1-8.
15. Faridah EN, Pangamenan JA, Rampengan SH. Gambaran Profil Lipid pada
Penderita Sindrom Koroner Akut di RSUP. Prof. DR. R.D. Kandou Periode
Januari-September 2015, Manado, Universitas Sam Ratulangi Manado. 2016
16. Meidiza A, Afriwardi, Masrul S. Gambaran Tekanan Darah pada Pasien
Sindrom Koroner Akut di RS Khusus Jantung Sumatera Barat Tahun 2011-
2012. Artikel Penelitian dalam Jurnal Kesehatan Andalas. 2014;3(2).
17. Alwi I. Infark Miokard Akut. Dalam: Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V.
Jakarta: Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2010.
18. Al-Attar N, Folliguet T. The Heart Team to assess risk in coronary artery
disease. 2013;11. An article from the e-journal of the ESC Council for
Cardiology Practice.
19. Elliott MA, Murrow D. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction:
Management. In Braunwald’s Heart Disease: a Textbook of Cardiovascular
Medicine. Philadelphia: Elsevier. 2012.
39

20. Cohen M, Catalin B, Mateen A. Theraphy for ST-Segment Elevation


Myocardial Infarction Patients who Present Late or Are Ineglible for
Reperfusion Therapy. Journal of the American College of Cardiology. 2010.
21. Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Antunes MJ, et al. The task force for the
management of acute coronary syndrome (ACS) in patients presenting without
persistent ST-segment elevation of the European Society of Cardiology (ESC).
ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients
presenting without ST-segment elevation. European Heart Journal.
2011;32:2999-3054.
22. Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes MJ, et al. The Task Force for the
management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-
segment elevation of the European Society of Cardiology (ESC) 2017 ESC
Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal. 2017;00:1-66.
23. Roffi M, Patrono C, Collet JP, Mueller C, et al. Task Force for the
management of acute coronary syndromes in patients presenting without
persistent ST-segment elevation of the European Society of Cardiology (ESC).
2015. ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in
patients presenting without persistent ST-segment elevation. European Heart
Journal. 2016;37:267-315.
24. Valgimigli M, Bueno H, Byrne RA, Collet JP, et al. The task force dual
antiplatelet therapy in coronary artery disease of the European Society of
Cardiology (ESC) and of the European Association for Cardio Thoracic
Surgery (EACTS). 2017 ESC focused update on dual antiplatelet therapy in
coronary artery disease developed in collaboration with EACTS. European
Heart Journal. 2018;39:213-54.

Anda mungkin juga menyukai