Anda di halaman 1dari 59

Laporan Kasus

HEMIPARASE DEXTRA TIPE SPASTIK + PARESE NERVUS


VII & NERVUS XII DEXTRA TIPE SENTRAL + GRM POSITIF
ET CAUSA STROKE HEMORAGIK
(PERDARAHAN SUBARACHNOID)

Oleh:
Hafiza Noka Mulita
NIM 71 2019 092

Pembimbing:
dr. Hj. Isma Yulianti, Sp.S.

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Laporan Kasus dengan judul

HEMIPARASE DEXTRA TIPE SPASTIK + PARESE NERVUS


VII & NERVUS XII DEXTRA TIPE SENTRAL + GRM POSITIF
ET CAUSA STROKE HEMORAGIK
(PERDARAHAN SUBARACHNOID)

Dipersiapkan dan disusun oleh


Hafiza Noka Mulita
NIM 71 2019 092

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang Bari Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang

Palembang, Januari 2021


Pembimbing

dr. Hj. Isma Yulianti, Sp.S.

ii
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya bisa menyelesaikan laporan kasus ini. Penulisan
laporan kasus ini dilakukan dalam rangka memenuhi syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyaki Saraf Rumah Sakit Umum
Daerah Palembang Bari pada Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, dari masa kepaniteraan klinik sampai pada penyusunan laporan kasus ini,
sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan laporan kasus ini. Oleh karena itu,
saya mengucapkan terima kasih kepada:
1) dr. Hj. Isma Yulianti, Sp.S., selaku pembimbing yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan
laporan kasus ini;
2) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral; dan
3) Rekan sejawat serta semua pihak yang telah banyak membantu saya dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.

Palembang, Januari 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH ......................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv

BAB I STATUS PENDERITA NEUROLOGI


1.1 Identitas....................................................................................... 1
1.2 Anamnesa ................................................................................... 1
1.3 Pemeriksaan ............................................................................... 2
1.4 Rencana Pemeriksaan Penunjang ............................................... 11
1.5 Diagnosa ..................................................................................... 11
1.6 Tatalaksana ................................................................................. 12
1.7 Prognosa ..................................................................................... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi ...................................................................................... 13
2.1.1 Anatomi Otak & Pembuluh Darah ..................................... 13
2.1.2 Saraf Kranialis ................................................................... 17
2.1.3 Susunan Neuromuskular .................................................... 21
2.2 Stroke .......................................................................................... 21
2.2.1 Definisi Stroke ................................................................... 21
2.2.2 Epidemiologi Stroke .......................................................... 22
2.2.3 Faktor Risiko Stroke .......................................................... 23
2.2.4 Klasifikasi Stroke............................................................... 26
2.2.5 Diagnosis Stroke ................................................................ 27
2.2.6 Pencegahan Stroke ............................................................. 28
2.3 Stroke Hemoragic et causa Perdarahan Subarachnoid................. 29
2.3.1 Etiologi............................................................................... 29
2.3.2 Epidemiologi ...................................................................... 31
2.3.3 Mekanisme ......................................................................... 32
2.3.4 Manifestasi Klinis .............................................................. 34
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang ..................................................... 36
2.3.6 Penatalaksanaan ................................................................. 39
2.3.7 Komplikasi ......................................................................... 42
2.3.8 Prognosis ............................................................................ 43

BAB III ANALISA KASUS .......................................................................... 45

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 49

iv
BAB I
STATUS PENDERITA NEUROLOGI

1.1 Identifikasi
Nama : Tn.B
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Alamat : Jl. Lasyar Bedulh H Siabu
Agama : Islam

1.2 Anamnesa
Pasien dibawa ke RSUD Palembang Bari karena mengeluh kelemahan
sesisi tubuh kanan yang terjadi secara tiba-tiba.
Sejak 2 jam SMRS, penderita mengalami kelemahan sesisi tubuh
kanan saat sedang beraktivitas yang terjadi secara tiba-tiba. Penderita tidak
mengalami penurunan kesadaran. Saat serangan penderita ada nyeri kepala
hebat yang disertai mual muntah, tanpa disertai kejang, tanpa disertai
gangguan rasa pada sisi yang lemah. Penderita dapat mengungkapkan isi
pikirannya secara lisan, tulisan dan isyarat. Penderita dapat mengerti isi
pikiran orang lain yang diungkapkan secara lisan, tulisan, dan isyarat.
Sehari-hari penderita melakukan pekerjaan dengan menggunakan tangan
kanan. Saat bicara mulut penderita mengot dan terdapat pelo saat berbicara.
Saat serangan penderita tidak disertai dada berdebar-debar, sesak tidak
ada. Penderita tidak mengeluh adanya sakit kepala belakang yang timbul
pada pagi hari dan berkurang pada malam hari. Penderita tidak pernah
mengalami nyeri pada tulang panjang, riwayat diabetes melitus tidak ada,
riwayat trauma kepala tidak ada, riwayat kolesterol tidak ada, riwayat
penyakit jantung tidak ada. Penderita memiliki riwayat hipertensi.
Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya. Riwayat keluarga yang
memiliki keluhan serupa juga tidak ada.

1
2

1.3 Pemeriksaan
Status Praesens
Kesadaran : GCS (E4V5M6)
Gizi : Belum diperiksa
Suhu Badan : 37° C
Nadi : 88 x/m reguler
Pernapasan : 24 x/m
Tekanan Darah : 160/90 mmHg
NPRS :7

Status Internus
Jantung : BJ I & II normal, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Anggota Gerak : Akral hangat, pucat (-), edema (-)
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Status Psikiatrikus
Sikap : Kooperatif Ekspresi Muka : Wajar
Perhatian : Ada Kontak Psikis : Ada

Status Neurologikus
A. Kepala
Bentuk : Brachiocephali
Ukuran : Normochepali
Simetris : Simetris

B. Leher
Sikap : Lurus Deformitas : Tidak ada
Torticolis : Tidak ada Tumor : Tidak ada
Kaku kuduk : Ada Pembuluh darah : Tidak ada pelebaran
3

C. Saraf – Saraf Otak


1. N. Olfaktorius Kanan Kiri
Penciuman Baik Baik
Anosmia Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Hyposmia Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Parosmia Tidak diperiks Tidak diperiksa

2. N.Opticus Kanan Kiri


Visus Tidak diperiksa Tidak diperiksa

Campus visi

Anopsia Tidak ada Tidak ada


Hemianopsia Tidak ada Tidak ada
Fundus Oculi
- Papil edema Tidak diperiksa Tidak diperiksa
- Papil atrofi Tidak diperiksa Tidak diperiksa
- Perdarahan retina Tidak diperiksa Tidak diperiksa

3. Nn. Occulomotorius, Trochlearis, dan Abducens


Diplopia Tidak ada Tidak ada
Celah mata Menutup sempurna Menutup sempurna
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Sikap bola mata
- Strabismus Tidak ada Tidak ada
- Exophtalmus Tidak ada Tidak ada
- Enophtalmus Tidak ada Tidak ada
- Deviation Tidak ada Tidak ada
conjugae
- Gerakan bola Baik ke segala arah Baik ke segala arah
mata
4

Pupil
- Bentuk Bulat Bulat
- Diameter 3 mm 3 mm
- Isokor/anisokor Isokor Isokor
- Midriasis/miosis Normal Normal
- Reflek cahaya
- Langsung Positif Positif
- Konsekuil Positif Positif
- Akomodasi Positif Positif
- Argyl Robetson Negatif Negatif

4. N.Trigeminus Kanan Kiri


Motorik
- Menggigit Kuat Kuat
- Trismus Tidak ada Tidak ada
- Reflek kornea Positif Positif
Sensorik
- Dahi Normal Normal
- Pipi Normal Normal
- Dagu Normal Normal

5. N.Facialis Kanan Kiri


Motorik
- Mengerutkan dahi Simetris
- Menutup mata Simetris
- Menunjukkan gigi Sudut mulut kanan tertinggal
- Lipatan nasolabialis Kanan datar
- Bentuk muka
- Istirahat Simetris
- Berbicara/bersiul Simetris
Sensorik
- 2/3 depan lidah Normal
5

Otonom
- Salivasi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Lakrimasi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Chvostek sign Negatif Negatif

6. N. Cochlearis Kanan Kiri


Suara bisikan Normal Normal
Detik arloji Normal Normal
Tes Weber Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Tes Rinne Tidak diperiksa Tidak diperiksa

7. N. Glossopharingeus dan N. Vagus


Kanan Kiri
Arcus pharingeus Simetris Simetris
Uvula Ditengah Ditengah
Gangguan menelan Tidak ada Tidak ada
Suara serak/sengau Tidak Ada Tidak Ada
Denyut jantung BJ I/II normal, reguler
Reflek
- Muntah Normal
- Batuk Normal
- Okulokardiak Normal
- Sinus karotikus Normal
Sensorik
- 1/3 belakang lidah Normal

8. N. Accessorius Kanan Kiri


Mengangkat bahu Normal
Memutar kepala Tidak ada tahanan
6

9. N. Hypoglossus Kanan Kiri


Menjulurkan lidah Deviasi ke kanan
Fasikulasi Tidak ada
Atrofi papil Tidak ada
Disartria Ada

D. Columna Vertebralis
Kyphosis : Tidak ada
Scoliosis : Tidak ada
Lordosis : Tidak ada
Gibbus : Tidak ada
Deformitas : Tidak ada
Tumor : Tidak ada
Meningocele : Tidak ada
Hematoma : Tidak ada
Nyeri ketok : Tidak ada

E. Badan Dan Anggota Gerak


FUNGSI MOTORIK
Lengan Kanan Kiri
Gerakan Kurang Cukup
Kekuatan 1 5
Tonus Hipertonus Eutoni
Reflek fisiologis
- Biceps Hiperefleks Normal
- Triceps Hiperefleks Normal
- Periost radius Hiperefleks Normal
- Periost ulna Hiperefleks Normal
Reflek patologis
- Hoffman Tromner Negatif Negatif
- Trofik Negatif Negatif
7

Tungkai Kanan Kiri


Gerakan Kurang Cukup
Kekuatan 1 5
Tonus Hipertoni Eutoni
Klonus Negatif Negatif
- Paha Negatif Negatif
- Kaki Negatif Negatif
Reflek fisiologis
- KPR Hiperefleks Normal
- APR Hiperefleks Normal
Reflek patologis
- Babinsky Positif Negatif
- Chaddock Negatif Negatif
- Oppenheim Negatif Negatif
- Gordon Negatif Negatif
- Schaeffer Negatif Negatif
- Rossolimo Negatif Negatif
- Mendel Bechtereyev Negatif Negatif
Reflek kulit perut
- Atas Positif
- Tengah Positif
- Bawah Positif
Trofik Negatif

Sensorik
Tida ada kelainan
8

F. GAMBAR

Lipatan nasolabialis
(-)
Sudut mulut kanan Gerakan :
tertinggal kurang
Lidah deviasi ke Kekuatan : 1
kanan Refleks
fisiologis:
Hiperrefleks

Hiperrefleks

Gerakan :
kurang
Kekuatan : 1
Refleks
fisiologis:
Hiperrefleks

Keterangan: Hemiparase Dextra Tipe Spastik dan Parese Nervus VII &
Nervus XII Dextra Tipe Sentral
9

G. Gejala Rangsang Meningeal


Gejala Pada penderita ditemukan gejala
 Kaku kuduk Ada
 Kernig Ada
 Lasseque Ada

 Brudzinsky Tidak ada

 Neck Tidak ada

 Cheeck Tidak ada


Tidak ada
 Symphisis
Tidak ada
 Leg I
Tidak ada
 Leg II
Jadi, gejala rangsang meningeal (+)

H. Gait Dan Keseimbangan


Gait
Ataxia : belum dapat dinilai
Hemiplegic : tidak ada
Scissor : belum dapat dinilai
Propulsion : belum dapat dinilai
Histeric : belum dapat dinilai
Limping : belum dapat dinilai
Steppage : belum dapat dinilai
Astasia-abasia : belum dapat dinilai
Keseimbangan
Romberg : tidak ada
Dysmetri :
- Jari-jari : tidak ada
- Jari hidung : tidak ada
- Tumit-tumit : tidak ada
- Dysdiadochokinesia : tidak ada
- Trunk Ataxia : tidak ada
- Limb Ataxia : tidak ada
10

I. Gerakan Abnormal
Tremor : Tidak ada
Chorea : Tidak ada
Athetosis : Tidak ada
Ballismus : Tidak ada
Dystoni : Tidak ada
Myoclonic : Tidak ada

J. Fungsi Vegetatif
Miksi : Normal
Defekasi : Normal
Ereksi : Tidak diperiksa

K. Fungsi Luhur
Afasia motorik : Tidak ada
Afasia sensorik : Tidak ada
Afasia nominal : Tidak ada
Apraksia : Tidak ada
Agrafia : Tidak ada
Alexia : Tidak ada

L. Skor Siriraj

(2,5 X DK) + (2 X MT) + (2 X NK) + (0,1 X TD) – (3 X TA) – 12


11

Tabel 1.1. Siriraj Score


1 Kesadaran ( x 2,5 ) Bersiaga 0
Pingsan 1
Semi koma, koma 2
2 Muntah ( x 2 ) No 0
Yes 1
3 Nyeri kepala dalam No 0
2 jam ( x 2 ) Yes 1
4 Tekanan Diastolik ( DBP ) DBP x 0,1
5 Atheroma markers ( x 3 ) None 0
diabetes, angina, 1/> 1
claudicatio intermitten

Konstanta - 12
(2,5 x 0) + (2 x 1) + (2 x 1) + (0,1 x 90) - (3 x 0) – 12 = 1
Interpretasi : Stroke Hemoragik

1.4 Rencana Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Laboratorium
o Hematologi (Hb, Leukosit, Trombosit, Hematokrit, Hitung Jenis, LED
1 jam )
o Kimia darah (BSS, Trigliserida, Kolesterol total, Kolesterol LDL,
Kolesterol HDL, Ureum, Creatinin, Urine acid, Natrium, Kalium)
 Rontgen Thorax
 CT Angiografi
 CT-Scan Kepala non kontras
 EKG
 Pungsi Lumbal

1.5 Diagnosa
Diagnosa Klinik : Hemiparase dextra tipe spastik +
Parase nervus VII & nervus XII dextra
tipe sentral + GRM positif
Diagnosa Topik : Ruang subarachnoid
Diagnosa Etiologi : Cerebro vaskular disease hemorragic et causa
Perdarahan subarachnoid
12

Diagnosa Tambahan : Hipertensi derajat II (Sedang)

1.6 Tatalaksana
 Non Farmakologi
Bed rest dengan elevasi kepala 30
 Farmakologi
IVFD NaCl 0,9% gtt 20 x/menit
Inj. asam tranexamat 3x1 g (IV) selama 72 jam
Inj. Ketorolac 3x1 amp
Inj. Citicolin 2x500 mg (IV)
Amlodipine 1x10 mg
Candesartan 1x16 mgrr
Omeprazole 1x20 mg
Nimodipin 4x60 mg tab
Neurodex 1x1 tab

1.7 Prognosa
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi Otak dan Pembuluh Darah
Otak adalah bagian susunan saraf pusat yang terletak di dalam
cavitas cranii. Otak dilanjutkan sebagai medulla spinalis setelah
melalui foramen magnum1. Menurut American Heart Association
(AHA) dalam Family Guide to Stroke, otak adalah organ manusia
yang kompleks yang dimana area dari otak mempunyai fungsi khusus.
Otak merupakan organ tubuh yang ikut berpartisipasi pada semua
kegiatan tubuh, yang dapat berupa bergerak, merasa, berfikir,
berbicara, emosi, mengenang, berkhayal, membaca, menulis,
berhitung, melihat, mendengar, dan lain-lain. Bila bagian-bagian dari
otak ini terganggu, misalnya suplai darah berkurang, maka tugasnya
pun dapat terganggu.2
Otak merupakan bagian sistem saraf pusat dimana dalam
pembagiannya digolongkan menjadi korteks serebri, ganglia basalis,
thalamus dan hypothalamus, mesenchepalon, batang otak, dan
serebelum. Bagian ini dilindungi oleh tiga selaput pelindung
(meningens) yaitu duramater, arachnoidea, piamater dan dilindungi
oleh tulang tengkorak.3

Gambar 2.1 Selaput Otak

13
14

Gambar 2.2 Bagian Otak

Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit,
yaitu sekitar 15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat
istirahat agar berfungsi normal. Otak mendapat darah dari arteri.
Yang pertama adalah arteri karotis interna yang terdiri dari arteri
karotis (kanan dan kiri), yang menyalurkan darah ke bagian depan
otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior. Yang kedua
adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak
disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior. Selanjutnya
sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri
serebrum posterior membentuk suatu sirkulus willisi.4,5

Gambar 2.3 Circulus Arteriosus Cerebri


15

Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis


(arteri karotis interna kanan dan kiri) dan sistem vertebral. Arteri
karotis interna, setelah memisahkan diri dari arteri karotis komunis,
naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis karotikus,
berjalan dalam sinus kavernosum, mempercabangkan arteri oftalmika
untuk nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: arteri serebri
anterior dan arteri serebri media. Untuk otak, sistem ini memberi
darah bagi lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus
temporalis. Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan
kiri yang berpangkal di arteri subklavia, menuju dasar tengkorak
melalui kanalis tranversalis di kolumna vertebralis servikal, masuk
rongga kranium melalui foramen magnum, lalu mempercabangkan
masing-masing sepasang arteri serebeli inferior. Pada batas medula
oblongata dan pons, keduanya bersatu arteri basilaris, dan setelah
mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon,
arteri basilaris berakhir sebagai sepasang cabang: arteri serebri
posterior, yang melayani darah bagi lobus oksipitalis, dan bagian
medial lobus temporalis.6
Tiga pasang arteri serebri ini bercabang-cabang menelusuri
permukaan otak, dan beranastomosis satu bagian lainnya. Cabang-
cabang yang lebih kecil menembus ke dalam jaringan otak dan juga
saling berhubungan dengan cabang-cabang arteri serebri lainya. Untuk
menjamin pemberian darah ke otak, ada sekurang-kurangnya 3 sistem
kolateral antara sistem karotis dan sitem vertebral, yaitu:

- Sirkulus Willisi, yakni lingkungan pembuluh darah yang tersusun


oleh arteri serebri media kanan dan kiri, arteri komunikans anterior
(yang menghubungkan kedua arteri serebri anterior), sepasang
arteri serebri media posterior dan arteri komunikans posterior (yang
menghubungkan arteri serebri media dan posterior) kanan dan kiri.
Anyaman arteri ini terletak di dasar otak.
16

- Anastomosis antara arteri serebri interna dan arteri karotis eksterna


di daerah orbita, masing-masing melalui arteri oftalmika dan arteri
fasialis ke arteri maksilaris eksterna.
- Hubungan antara sistem vertebral dengan arteri karotis ekterna
(pembuluh darah ekstrakranial).6

Gambar 2.4 Pembuluh Darah di Otak

Ada dua hemisfer serebri (belahan otak), yaitu hemisfer serebri


sinistra (kiri) dan hemisfer serebri dextra (kanan). Hemisfer serebri
sinistra (kiri) berfungsi dalam mengendalikan gerakan sisi kanan
tubuh, seperti berbicara, berhitung dan menulis, sedangkan hemisfer
serebri dextra (kanan) berfungsi dalam mengendalikan gerakan sisi
kiri tubuh, seperti perasaan, kemampuan seni, keterampilan dan
orientasi.2
17

2.1.2 Saraf Kranialis


Saraf kranialis berjumlah 12 pasang dan langsung bersumber
dari otak, yaitu :7

Gambar 2.5 Saraf Kranialis

1. N.I (Nervus olfactorius), membawa dorongan membau dari


reseptor di dalam mukosa hidung menuju otak.
2. N.II (Nervus opticus), membawa dorongan visual dari mata menuju
ke otak.
3. N.III (Nervus oculomotorius), berkaitan dengan sebagian besar
kontraksi otot mata.
4. N.IV (Nervus trochlearis), memasok satu otot bola mata.
5. N.V (Nervus trigeminus) merupakan saraf sensoris yang terbesar
dari muka dan kepala, mempunyai tiga cabang yang membawa
dorongan mera sakan secara umum (misalnya rasa sakit, meraba,
suhu) dari muka menuju otak. Cabang ketiga disambungkan oleh
serat motoris pada otot mengunyah.
6. N.VI (Nervus abducens) ialah saraf lainnya, yang mengirim
dorongan yang mengontrol pada otot bola mata.
7. N.VII (Nervus fasialis) sebagian besar merupakan motorik.
Nervus fasialis merupakan saraf cranial terpanjang yang berjalan di
dalam tulang. Nervus ini terdiri dari 3 komponen, yaitu:
a. Serabut motorik, mempersarafi m.stapedius dan venter posterior
m.digastrikus, serta otot wajah, kecuali m.levator palpebra
18

superior.
b. Serabut sensoris, mempersarafi 2/3 anterior lidah untuk
mengecap, melalui n.korda timpani.
c. Serabut parasimpatis, mempersarafi glandula lakrimalis,
glandula submandibula dan glandula lingualis.
Sebenarnya N.fasialis ini hanya terdiri dari serabut
motorik saja. Namun pada perjalanannya ke tepi, nervus
intermedius bergabung dengan nervus ini. Nervus intermedius
tersebut tersusun oleh serabut sekretomotorik untuk glandula
salivatorius dan serabut yang menghantarkan impuls pengecap
dari 2/3 bagian depan lidah.
Inti serabut motorik nervus fasialis terletak di bagian
ventrolateral tegmentum pontis. Akarnya menuju ke
dorsomedial, kemudian melingkari inti nervus abdusens dan
setelah itu membelok ke ventrolateral kembali untuk
meninggalkan permukaan lateral pons. Di tempat itu, N.fasialis
berdampingan dengan nervus oktavus dan nervus intermedius,
dan ketiganya masuk kedalam liang os petrosum melalui meatus
akustikus internus.3
Gejala dan manifestasi klinik yang berhubungan dengan lokasi
lesi:
i Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makan
terkumpul di antara pipi dan gusi. Lipatan kulit dahi
menghilang. Apabila mata yang terkena tidak ditutup atau
tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
ii Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah
dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian
depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya
daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus
intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di antara pons dan
19

titik dimana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis


di kanalis fasialis.
iii Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus
stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti (1) dan (2) di tambah
dengan hiperakusis.
iv Lesi ditempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion
genikulatum)
Gejala dan tanda kilinik seperti pada (1),(2),(3) disertai
dengan nyeri di belakang dan didalam liang telinga. Kasus
seperti ini dapat terjadi pascaherpes di membrana timpani dan
konka. Sindrom Ramsay-Hunt adalah parese fasialis perifer
yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion
genikulatum. Lesi herpertik terlihat di membrana timpani,
kanalis auditorius eksterna dan pinna.
v Lesi di meatus akustikus internus
Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan
tuli akibat terlibatnya nervus akustikus
vi Lesi ditempat keluarnya nervus fasialis dari pons
Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai
gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus
akustikus dan kadang – kadang juga nervus abdusen, nervus
aksesorius dan nervus hipoglossus.
8. N.VIII (Nervus vestibulocholearis) berisi serat sensoris khusus
untuk mendengar seperti halnya untuk keseimbangan dari saluran
semisirkular telinga bagian dalam.
9. N.IX (Nervus glossopharyngeus) berisi serat sensoris umum dari
belakang lidah dan pharynx (tenggorokan). Saraf ini juga berisi
serat sensoris untuk merasakan dari posterior ketiga lidah, serat
pembu angan yang memasok sebagian besar kelenjar ludah
(parotid) dan serat saraf motor untuk mengontrol otot menelan di
dalam pharynx.
20

10. N.X (Nervus vagus) merupakan saraf kranial yang terpanjang


yang mema-sok sebagian besar organ di dalam rongga perut dan
dada. Saraf ini juga berisi serat motor bagi kelenjar yang
menghasilkan getah pencernaan dan pembuangan lainnya.
11. N.XI (Nervus accesorius) terbentuk dari serat saraf motor yang
mengontrol dua otot leher, yaitu trapezius dan sternocleidomastoid.
12. N.XII (Nervus hypoglossus), saraf kranial terakhir membawa
dorongan-dorongan yang mengontrol lidah.
Lesi pada satu nervus hipoglosus akan akan memperlihatkan di sisi
pipi lateral:
a. Separuh lidah yang menjadi atrofis, dengan mukosa yang
menjadi longgar dan berkeriput. Mungkin pula akan tampak
fibrilasi pada otot-otot lidah yang atrofis.
b. Bila lidah itu dijulurkan keluar akan tampak bahwa ujung lidah
itu memperlihatkan deviasi ke sisi yang sakit. Deviasi ujung
lidah ke sisi yang sakit timbul karena kontraksi M. genioglussus
di sisi kontralateral (bila M. genioglossus kanan dan kiri
berkontraksi dan kedua otot itu sama kuatnya, maka lidah itu
akan dijulurkan lurus ke depan, Bila satu otot adalah lebih lemah
dari yang lainnya, maka akan timbul deviasi dari ujung lidah ke
sisi otot yang lumpuh).
c. Di dalam mulut sendiri akan tampak bahwa ujung lidah itu
mencong ke sisi yang sehat. Keadaan ini timbul karena tonus
otot-otot lidah di sisi yang sehat adalah melebihi tonus otot-otot
lidah di sisi yang sakit.
d. Motilitas lidah akan terganggu sehingga di sisi yang sakit
misalnya akan tampak ada sisa-sisa makanan di antara pipi dan
gigi-geligi.
e. Karena lidah berperan dalam mekanisme menelan dan artikulasi,
maka gejala-gejala kelumpuhan paralysis nervus hipoglosus
berupa sukar menelan dan bicara pelo.
21

2.1.3 Susunan Neuromuskular


Susunan neuromuskular tersusun atas Upper Motor Neuron
(UMN) dan Lower Motor Neuron (LMN). UMN merupakan
kumpulan saraf motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik
di korteks serebri sampai motorik saraf kranial di batang otak atau
kornu anterior medula spinalis. Berdasarkan perbedaan anatomik dan
fisiologik kelompok UMN dibagi dalam susunan piramidal dan
ekstrapiramidal.8

2.2 Stroke
2.2.1 Definisi Stroke
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global
yang terjadi akut, berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada
intervensi bedah atau meninggal) berasal dari gangguan aliran darah
otak.9
Menurut WHO 2005, stroke adalah suatu disfungsi neurologis
akut yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah, dan terjadi
secara mendadak (dalam beberapa detik) atau setidak-tidaknya secara
cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala-gejala dan tanda-tanda
yang sesuai dengan daerah fokal otak yang terganggu.10
Stroke mengacu kepada setiap gangguan neurologi mendadak
yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui
suplai arteri otak.5
Stroke juga digunakan untuk menamakan sindrom hemiparesis
atau hemiparalisis akibat lesi vaskular yang bisa bangkit dalam
beberapa detik sampai hari, tergantung pada jenis penyakit yang
menjadi kausanya. Stroke ialah gangguan peredaran darah pada
daerah otak tertentu.11
Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat
disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik
disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang menyebabkan
turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami
22

oklusi.8 Munculnya tanda dan gejala fokal atau global pada stroke
disebabkan oleh penurunan aliran darah otak. Oklusi dapat berupa
trombus, embolus, atau tromboembolus, menyebabkan hipoksia
sampai anoksia pada salah satu daerah percabangan pembuluh darah
di otak tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan
intraserebral atau perdarahan subarakhnoid.13
Secara umum, stroke digunakan sebagai sinonim
Cerebrovascular Disease (CVD) dan kurikulum Inti Pendidikan
Dokter di Indonesia (KIPDI) mengistilahkan stroke sebagai penyakit
akibat gangguan peredaran darah otak (GPDO).14

2.2.2 Epidemiologi Stroke


Stroke merupakan penyakit gangguan funsional otak berupa
kelumpuhan pada saraf (deficit neurologic) akibat gangguan aliran
darah pada salah satu bagian otak. Stroke hemoragik adalah kejadian
dimana pembuluh darah pecah sehingga aliran darah menjadi tidak
normal. Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena
adanya bekuan darah yang menyumbat pembuluh darah.15
Data Riskesdas pada tahun 2018 menyatakan bahwa prevalensi
stroke (permil) berdasarkan diagnosis dokter provinsi dengan
penderita stroke tertinggi ada pada Provinsi Kalimantan Timur (14,7)
dan terendah pada Provinsi Papua (4,1). Pada tahun 2018 sendiri
Sulawesi Utara menempati urutan ke tiga tertinggi untuk penderita
stroke di Indonesia. Penderita stroke di RSU GMIM Pancaran Kasih
Manado pada Mei 2018 – Desember 2018 sebanyak 251 kasus stroke,
dan pada Januari 2019 – September 2019 diketahui bahwa jumlah
kasus penyakit stroke di RSU GMIM Pancaran Kasih Manado
sebanyak 504 kasus.
23

2.2.3 Faktor Risiko Stroke


Secara umum, faktor risiko stroke adalah seluruh keadaan yang
menganggu salah satu dari tiga komponen pembuluh darah, darah,
jantung (Trias Virchow).

Faktor Risiko Trombosis Lakuna Emboli ICH SAH


Hipertensi ++ +++ - ++ +
Hipertensi berat - + - ++++ ++
Penyakit Koroner +++ - ++ - -
Merokok +++ + + - +
Diabetes +++ + + - -
Usia tua +++ + + + -

Faktor risiko kejadian sroke iskemik dibagi menjadi faktor yang tidak
dapat dimodifikasi (non-modifiable risk factors) seperti umur, jenis
kelamin, ras, genetik, dan riwayat TIA (Transient Ischemic Attack),
dan faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable risk factors) seperti
hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi (hiperkolesterolemia), perilaku
merokok, obesitas, penyakit jantung, konsumsi alkohol berlebihan,
aterosklerosis, penyalahgunaan obat, dan gangguan pernapasan saat
tidur.19
A. Non modifiable risk factors
Usia, jenis kelamin, ras, etnis, dan keturunan diketahui
merupakan pertanda risiko stroke. Walaupun faktor risiko ini tidak
dapat dimodifikasi, apabila diketahui adanya faktor risiko ini,
memungkinkan untuk diidentifikasinya pasien dengan risiko yang
tinggi, sehingga dapat dilakukan terapi yang lebih cepat terhadap
faktor risiko yang dapat dimodifikasi.16
Usia merupakan faktor risiko tunggal yang berperan pada
penyakit stroke. Setiap kenaikan 10 tahun setelah usia 55 tahun,
risiko stroke meningkat dua kali pada pria dan wanita. Insidens
stroke ditemukan 1,25 lebih banyak pada pria.16
24

Di Amerika Serikat, insidens stroke lebih tinggi pada


populasi kulit hitam daripada populasi kulit putih. Lelaki negro
memiliki insidens 93 per 100.000 jiwa dengan tingkat kematian
mencapai 51% sedang pada wanita negro memiliki insidens 79 per
100.000 jiwa dengan tingkat kematian 39,2%. Lelaki kulit putih
memiliki insidens 62,8 per 100.000 jiwa dengan tingkat kematian
mencapai 26,3% sedang pada wanita kulit putih memiliki insidens
59 per 100.000 jiwa dengan tingkat kematian 39,2%.17
Peningkatan insidens stroke dalam keluarga disebabkan
karena beberapa hal, antara lain, kecenderungan genetik, dan
paparan lingkungan atau gaya hidup yang mirip. Pada penelitian
Framingham, menunjukkan bahwa riwayat dari ayah dan ibu
berhubungan dengan peningkatan risiko stroke.16
Riwayat seseorang pernah mengalami gejala stroke
(TIA/Transient ischemic attack) meningkatkan risiko 10 kali
dibandingkan seseorang yang tidak memiliki riwayat stroke.
Riwayat penyakit jantung sebelumnya juga memiliki risiko yang
sama.18
B. Modifiable risk factors
1. Penyakit hipertensi, merupakan faktor resiko utama bagi
terjadinya trombosis infark cerebral dan perdarahan intrakranial.
Hipertensi dapat memicu terjadinya aterosklerosis. Hal tersebut
dapat mendorong Low Density Lipoprotein (LDL) kolesterol
untuk lebih mudah masuk dalam lapisan intima lumen pembuluh
darah dan menurunkan elastisitas dari pembuluh darah
tersebut.19 Tekanan darah yang tinggi, seringkali menyebabkan
rupturnya pembuluh darah utama di otak, yang diikuti oleh
kematian pada sebagian besar otak.20 Bila tekanan darah
meningkat cukup tinggi selama berbulan-bulan atau bertahun-
tahun, akan menyebabkan hialinisasi pada lapisan otot
pembuluh darah serebral. Akibatnya, diameter lumen pembuluh
darah tersebut akan menjadi tetap. Hal ini berbahaya karena
25

pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi atau berkonstriksi


dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi dari tekanan darah
sistemik. Bila terjadi kenaikan tekanan darah sistemik maka
tekanan perfusi pada dinding kapiler menjadi tinggi. Akibatnya,
terjadi hiperemia, edema, dan kemungkinan perdarahan pada
otak. Pada hipertensi kronis dapat terjadi mikroaneurisma
dengan diameter 1 mm (terutama terjadi pada arteri
lentikulostriata). Pada lonjakan tekanan darah sistemik, sewaktu
orang marah atau mengejan, aneurisma bisa pecah. Hipertensi
yang kronis merupakan salah satu penyebab terjadinya disfungsi
endotelial dari pembuluh darah.21
2. Penyakit jantung, beberapa penyakit jantung berpotensi
menyebabkan stroke dikemudian hari antara lain penyakit
jantung rematik, penyakit jantung koroner, dan gangguan irama
jantung. Faktor resiko ini umumnya menimbulkan
sumbatan/hambatan darah ke otak karena jantung melepas
gumpalan darah atau sel-sel/jaringan yang mati ke dalam aliran
darah. Munculnya penyakit jantung dapat disebabkan oleh
hipertensi, diabetes mellitus, obesitas ataupun
22
hiperkolesterolemia.
3. Penyakit diabetes mellitus menyebabkan penebalan dinding
pembuluh darah otak yang berukuran besar dan akhirnya
mengganggu kelancaran aliran darah otak dan menimbulkan
infark pada otak.22
4. Hiperkolesterolemia, Tingginya kadar kolesterol total, LDL, dan
trigliserida, dan rendahnya kadar kolesterol HDL merupakan
faktor resiko penting untuk terjadinya aterosklerosis.22
5. Obesitas merupakan faktor resiko terjadinya penyakit jantung
sehingga obesitas mungkin menjadi faktor resiko sekunder bagi
terjadinya stroke.22
6. Merokok dapat meningkatkan konsentrasi fibrinogen,
peningkatan ini akan mempermudah terjadinya penebalan
26

dinding pembuluh darah dan peningkatan viskositas darah


sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis.22

2.2.4 Klasifikasi Stroke


Soeharto dalam bukunya tentang stroke mengutip pembagian
stroke menurut National Stroke Association (NSA) USA, dimana
stroke dibagi dalam dua jenis, yaitu stroke karena sumbatan dan
penyempitan pembuluh darah arteri otak atau stroke iskemik dan
stroke karena perdarahan atau stroke hemoragik.23
1. Stroke Hemoragik, terjadi bila pembuluh darah di otak pecah atau
mengalami kebocoran, sehingga terjadi perdarahan ke dalam otak.
Bagian otak yang dipengaruhi oleh pendarahan dapat menjadi
rusak, dan darah dapat terakumulasi sehingga memberikan tekanan
pada otak. Jumlah perdarahan menentukan keparahan stroke.24
Stroke hemoragik dibagi menjadi perdarahan intraserebral dan
perdarahan subarachnoid.
a. Perdarahan intraserebral, perdarahan terjadi pada parenkim otak
itu sendiri. Penyebab perdarahan intraserebral, antara lain
hipertensi, aneurisma, malformasi arteroivenous, neoplasma,
gangguan koagulasi, antikoagulan, vaskulitis, trauma, dan
idiopatik.
b. Perdarahan subaraknoid, perdarahan terjadi di sekeliling otak
hingga ke ruang subarachnoid dan ruang cairan serebrospinal.
Penyebab perdarahan subarachnoid, antara lain aneurisma,
malformasi arteriovenous, antikoagulan, tumor, vaskulitis, dan
tidak diketahui.25
2. Stroke non hemoragik dibagi atas subtipe :
a. Trombosis serebri, terjadi karena adanya penggumpalan pada
pembuluh darah di otak. Trombotik dapat terjadi pada pembuluh
darah yang besar dan pembuluh darah yang kecil. Pada
pembuluh darah besar trombotik terjadi akibat aterosklerosis
yang diikuti oleh terbentuknya gumpalan darah yang cepat.
27

Selain itu, trombotik juga diakibatkan oleh tingginya kadar


kolesterol jahat atau Low Density Lipoprotein (LDL).
Sedangkan pada pembuluh darah kecil, trombotik terjadi karena
aliran darah ke pembuluh darah arteri kecil terhalang. Ini terkait
dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit
aterosklerosis.26,27
b. Emboli serebri, terjadi karena adanya gumpalan dari jantung
atau lapisan lemak yang lepas. Sehingga, terjadi penyumbatan
pembuluh darah yang mengakibatkan darah tidak bisa mengaliri
oksigen dan nutrisi ke otak.27,28

Berdasarkan penilaian terhadap waktu kejadiannya29


1. Transient Iskemik Attack (TIA) atau serangan stroke sementara,
gejala defisit neurologis hanya berlangsung kurang dari 24 jam.
2. Reversible Ischemic Neurolagical Deficits (RIND), kelainannya
atau gejala neurologis menghilang lebih dari 24 jam sampai 2
minggu.
3. Stroke progresif atau Stroke in Evolution (SIE) yaitu stroke yang
gejala klinisnya secara bertahap berkembang dari yang ringan
sampai semakin berat.
4. Stroke komplit atau completed stroke, yaitu stroke dengan defisit
neurologis yang menetap dan sudah tidak berkembang lagi.

2.2.5 Diagnosis Stroke


Skor diagnosis stroke menurut Siriraj32,34
\
(2,5 X DK) + (2 X MT) + (2 X NK) + (0,1 X TD) – (3
X TA) – 12
Keterangan :
DK : derajat kesadaran
MT : muntah
NK : nyeri kepala
TD : tekanan darah diastolik
28

TA : tanda ateroma
Interpretasi :
≤ -1 : menunjukkan kemungkinan stroke iskemik
≥ 1 : menunjukkan kemungkinan stroke perdarahan

Algoritma Gajah Mada

Gambar 2.6 Algoritma Gajah Mada

2.2.6 Pencegahan Stroke


Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya perbaikan
gaya hidup dan pengendalian berbagai faktor resiko. Upaya ini
ditujukan pada orang yang sehat dan kelompok risiko tinggi yang
belum pernah terserang stroke.8,12
a) Mengatur pola makanan yang sehat
Konsumsi makanan tinggi lemak dan kolesterol dapat
meingkatkan risiko terkena serangan stroke. Sebaliknya,
29

konsumsi makanan rendah lemak jenuh dan kolesterol dapat


mencegah terjadinya stroke.
b) Penanganan stress dan beristirahat yang cukup
1. Istirahat cukup dan tidur teratur antara 6-8 jam sehari
2. Mengedalikan stress dengan cara berfiki positif sesuai dengan
jiwa sehat
c) Pemeriksaan kesehatan secara teratur dan taat anjuran dokter
dalam hal diet dan obat.
d) Faktor risiko seperti penyakit jantung, hipertensi, dislipidemia,
diabetes melitus (DM) harus dipantau secara teratur. Faktor-faktor
risiko ini dapat dikoreksi dengan pengobatan teratur, diet, dan
gaya hidup sehat.
e) Anamnesis keluarga dapat bermanfaat untuk skrining seseorang
mempunyai faktor risiko stroke genetic.
f) Merokok tidak direkomendasikan.
g) Peningkatan aktifitas fisik dianjurkan karena berhubungan dengan
penurunan risiko stroke.
h) Pada individu overweight dan obesitas, penurunan berat badan
dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah.
i) Penghentian konsumsi alkohol dan penyalahgunaan obat.

2.3 Stroke Hemoragik et causa Perdarahan Subarachnoid


2.3.1 Etiologi
Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan
subarakhnoid adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak
dan adanya malformasi arteriovenosa (MAV). Terdapat beberapa jenis
aneurisma yang dapat terbentuk di arteri otak seperti:30
1. Aneurisma sakuler (berry), Aneurisma ini terjadi pada titik
bifurkasio arteri intrakranial. Lokasi tersering aneurisma sakular
adalah arteri komunikans anterior (40%), bifurkasio arteri serebri
media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis interna
(pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans
30

posterior 30%), dan basilar tip (10%). Aneurisma dapat


menimbulkan deficit neurologis dengan menekan struktur
disekitarnya bahkan sebelum rupture. Misalnya, aneurisma pada
arteri komunikans posterior dapat menekan nervus okulomotorius,
menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami
dipopia).30

Gambar 2.7 Aneurisma Berry

2. Aneurisma fusiformis, yaitu pembesaran pada pembuluh darah


yang berbentuk memanjang disebut aneurisma fusiformis.
Aneurisma tersebut umumnya terjadi pada segmen intracranial
arteri karotis interna, trunkus utama arteri serebri media, dan arteri
basilaris. Aneurisma fusiformis dapat disebabkan oleh
aterosklerosis dan/atau hipertensi. Aneurisma fusiformis yang besar
pada arteri basilaris dapat menekan batang otak. Aliran yang
lambat di dalam aneurisma fusiformis dapat mempercepat
pembentukan bekuan intraaneurismal terutama pada sisi-sisinya.
Aneurisma ini biasanya tidak dapat ditangani secara pebedahan
saraf, karena merupakan pembesaran pembuluh darah normal yang
memanjang, dibandingkan struktur patologis (seperti aneurisma
sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada suplai darah
serebral.30
31

Gambar 2.8 Aneurisma Fusiformis

3. Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak.


Terapinya terdiri dari terapi infeksi yang mendasarinya
dikarenakan hal ini biasa disebabkan oleh infeksi. Aneurisma
mikotik kadang-kadang mengalami regresi spontan; struktur ini
jarang menyebabkan perdarahan subarachnoid.30
Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomaly vasuler yang
terdiri dari jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena
terhubungkan oleh satu atau lebih fistula. Pada MAV arteri
berhubungan langsung dengan vena tanpa melalui kapiler yang
menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat menampung
tekanan darah yang datang langsung dari arteri, akibatnya vena akan
merenggang dan melebar karena langsung menerima aliran darah
tambahan yangberasal dari arteri. Pembuluh darah yang lemah
nantinya akan mengalami ruptur dan berdarah sama halnya seperti
yang terjadi paada aneurisma.31 MAV dikelompokkan menjadi dua,
yaitu kongenital dan didapat. MAV yang didapat terjadi akibat
thrombosis sinus, trauma, atau kraniotomi.32

2.3.2 Epidemiologi
Perdarahan Subarachnoid menduduki 7-15% dari seluruh kasus
GPDO (Gangguan Peredaran Darah Otak). Prevalensi kejadiannya
sekitar 62% timbul pertama kali pada usia 40-60 tahun. Dan jika
32

penyebabnya adalah MAV (malformasi arteriovenosa) maka


33
insidensnya lebih sering pada laki-laki daripada wanita.

2.3.3 Mekanisme
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20%
dari semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum
mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang
subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi
vaskular yang dapat menyebabkan perdarahan subarakhnoid (PSA)
adalah aneurisma sakular dan malformasi arteriovena (MAV).
Mekanisme lain pada stroke hemoragik adalah pemakaian kokain atau
amfetamin, karena zat-zat ini dapat menyebabkan hipertensi berat dan
perdarahan intraserebrum atau subarakhnoid.34
Tanda khas pertama pada keterlibatan kapsula interna.
Penyebab pecahnya aneurisma berhubungan dengan ketergantungan
dinding aneurisma yang bergantung pada diameter dan perbedaan
tekanan di dalam dan di luar aneurisma. Setelah pecah, darah
merembes ke ruang subarakhnoid dan menyebar ke seluruh otak dan
medula spinalis bersama cairan serebrospinalis. Darah ini selain dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, juga dapat melukai
jaringan otak secara langsung oleh karena tekanan yang tinggi saat
pertama kali pecah, serta mengiritasi selaput otak.34
Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri
serebral utama. Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam
sirkulasi anterior dan 15% dalam sirkulasi posterior. Secara
keseluruhan, tempat yang paling umum adalah arteri communicans
anterior diikuti oleh arteri communicans posterior dan arteri bifucartio
cerebri. Dalam sirkulasi posterior, situs yang paling lebih besar adalah
di bagian atas bifurkasi arteri basilar ke arterie otak posterior. 35
33

Gambar 2.9 Lokasi Aneurisma

Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi


orang dewasa, terutama pada wanita. Penyebab pembentukan
aneurisma intrakranial dan rupture tidak dipahami; Namun,
diperkirakan bahwa aneurisma intrakranial terbentuk selama waktu
yang relatif singkat dan baik pecah atau mengalami perubahan
sehingga aneurisma yang utuh tetap stabil. Pemeriksaan patologis dari
aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi menunjukkan disorganisasi
bentuk vaskular normal dengan hilangnya lamina elastis internal dan
kandungan kolagen berkurang. Sebaliknya, aneurisma yang utuh
memiliki hampir dua kali kandungan kolagen dari dinding arteri
normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma bertanggung
jawab atas stabilitas relatif yang diamati dan untuk resiko rupture
menjadi rendah. 35
Meskipun masih terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran
dan kejadian pecah, 7 mm tampaknya menjadi ukuran minimal pada
saat ruptur. Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur cenderung
lebih besar daripada aneurisma yang tidak rupture.35
34

2.3.4 Manifestasi Klinis


Pada perdarahan subarachnoid akan menimbulakan tanda dan
gejala klinis berupa :
a. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak terutama saat melakukan
aktivitas
b. Hilangnya kesadaran
c. Fotofobia
d. Meningismus
e. Mual dan muntah
f. Tanda-tanda perangsangan meningeal, seperti kaku kuduk.
g. Hemiplegi atau hemiparese
Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat
dan mendadak tadi, sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada
umumnya tidak memperoleh perhatian sepenuhnya oleh penderita
maupun dokter yang merawatnya. Tanda-tanda peringatan tadi dapat
muncul beberapa jam, hari, minggu, atau lebih lama lagi sebelum
terjadinya perdarahan yang hebat.36
Tanda-tanda perigatan dapat berupa nyeri kepala yang
mendadak dan kemudian hilang dengan sendirinya (30-60%), nyeri
kepala disertai mual, nyeri tengkuk dan fotofobia (40-50%), dan
beberapa penderita mengalami serangan seperti “disambar petir”.
Sementara itu, aneurisma yang membesar (sebelum pecah) dapat
menimbulkan tanda dan gejala sebagai berikut : defek medan
penglihatan, gangguan gerak bola mata, nyeri wajah, nyeri orbital,
atau nyeri kepala yang terlokalisasi.36
Aneurisma berasal dari arteri komunikan anterior dapat
menimbulkan defek medan penglihatan, disfungsi endokrin, atau nyeri
kepala di daerah frontal. Aneurisma pada arteri karotis internus dapat
menimbulkan paresis okulomotorius, defek medan penglihatan,
penurunan visus, dan nyeri wajah disuatu tempat. Aneurisma pada
arteri karotis internus didalam sinus kavernosus, bila tidak
35

menimbulkan fistula karotiko-kavernosus, dapat menimbbulkan


sindrom sinus kavernosus.36
Aneurisma pada arteri serebri media dapat menimbulkan
disfasia, kelemahan lengan fokal, atau rasa baal. Aneurisma pada
bifukarsio basiaris dapat menimbulkan paresis okulomotorius.36
Hasil pemeriksaan fisik penderita PSA bergantung pada bagian
dan lokasi perdarahan. Pecahnya aneurisma dapat menimbulkan PSA
saja atau kombinasi dengan hematom subdural, intraserebral, atau
intraventrikular. Dengan demikian tanda kklinis dapat bervariasi mulai
dari meningismus ringan, nyeri kepala, sampai defiist neurologis berat
dan koma. Semnetara itu, reflek Babinski positif bilateral.36
Gangguan fungsi luhur, yang bervariasi dari letargi sampai
koma, biasa terjadi pada PSA. Gangguan memori biasanya terjadi
pada beberapa hari kemudian. Disfasia tidak muncul pada PSA tanpa
komplikasi, bila ada disfasia maka perlu dicurigai adanya hematom
intraserebral. Yang cukup terkenal adalah munculnya demensia dan
labilitas emosional, khususnya bila lobus frontalis bilateral terkena
sebagai akibat dari pecahnya aneurisma pada arteri komunikans
anterior.35
Disfungsi nervi kraniales dapat terjadi sebagai akibat dari a)
kompresi langsung oleh aneurisma; b) kompresi langsung oleh darah
yang keluar dari pembuluh darah, atau c) meningkatnya TIK. Nervus
optikus seringkali terkena akibat PSA. Pada penderita dengan nyeri
kepala mendadak dan terlihat adanya perdarahan subarachnoid maka
hal itu bersifat patognomik untuk PSA.36
Gangguan fungsi motorik dapat berkaitan dengan PSA yang
cukup luas atau besar, atau berhubungan dengan infark otak sebagai
akibat dari munculnya vasospasme. Perdarahan dapat meluas kearah
parenkim otak. Sementara itu, hematom dapat menekan secara ekstra-
aksial.36
Iskemik otak yang terjadi kemudian merupakan ancaman serta
pada penderita PSA. Sekitar 5 hari pasca-awitan, sebagian atau
36

seluruh cabang-cabang besar sirkulus Willisi yang terpapar darah akan


mengalami vasospasme yang berlangsung antara 1-2 minggu tau lebih
lama lagi.36

2.3.5 Pemeriksaan Penunjang


CT Scan
Pemeriksaan CT scan tanpa kontras adalah pilihan utama karena
sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan lebih
akurat; sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam
pertama setelah serangan tetapi akan turun pada 1 minggu setelah
serangan.32
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke
hemoragik dari stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk
membedakan stroke dari patologi intrakranial lainnya. CT non
kontras dapat mengidentifikasi secara virtual hematoma yang
berdiameter lebih dari 1 cm.37

Gambar 2.10 Gambaran Perdarahan Subarachnoid pada


CT Scan

Pungsi Lumbal
Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah
diagnostik selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi
lumbal sangat penting untuk menyingkirkan diagnosis banding.
37

Beberapa temuan pungsi lumbal yang mendukung diagnosis


perdarahan subarachnoid adalah adanya eritrosit, peningkatan tekanan
saat pembukaan, dan atau xantokromia. Jumlah eritrosir meningkat,
bahkan perdarahan kecil kurang dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai
sekitar 10.000 sel/mL. xantokromia adalah warna kuning yang
memperlihatkan adanya degradasi produk eritrosit, terutama
oksihemoglobin dan bilirubin di cairan serebrospinal.32
Angiografi
Digital-substraction cerebral angiography merupakan baku
emas untuk deteksi aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih
sering digunakan karena non-invasif serta sensitivitas dan
spesifitasnya lebih tinggi. Evaluasi teliti terhadap seluruh pembuluh
darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma
multiple. Foto radiologic yang negative harus diulang 7-14 hari
setelah onset pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan
aneurisma, MRI harus dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya
malformasi vascular di otak maupun batang otak.32

Gambar 2.11 Gambaran Perdarahan Subarachnoid pada


Angiografi

Adapun parameter klinis yang dapat dijadikan acuan untuk


intervensi dan prognosis pada PSA seperti skala Hunt dan Hess yang
bisa digunakan.
38

Tabel 2.1 Skala Hunt dan Hess32


Grade Keterangan
I Asimtomatik atau sakit kepala ringan dan iritasi meningeal
Sakit kepala sedang atau berat (sakit kepala terhebat
II seumur hidupnya), meningismus, deficit saraf kranial
(paresis nervus abdusen sering ditemukan)
III Mengantuk, konfusi, tanda neurologis fokal ringan
Stupor, deficit neurologis berat (misalnya, hemiparesis),
IV
manifestasi otonom
V Koma, desebrasi
Selain skala Hunt dan Hess, skor Fisher juga bisa digunakan
untuk mengklasifikasikan perdarahan subarachnoid berdasarkan
munculnya darah di kepala pada pemeriksaan CT scan.

Gambar 2.12 Gambaran CT Scan dan MRI Perdarahan


Subaraknoid Akut

Tabel 2.2 Skor Fisher32


Skor Deskripsi adanya darah berdasarkan CT Scan Kepala
1 Tidak terdeteksi adanya darah
Deposit darah difus atau lapisan vertical terdapat darah
2
ukuran <1 mm, tidak ada jendalan
Terdapat jendalan dan/atau lapisan vertical terdapat darah
3
tebal dengan ukuran >1 mm
Terdapat jendalan pada intraserebral atau intraventrikuler
4
secara difus atau tidak ada darah
39

2.3.6 Penatalaksanaan
Tujuan penatalakasanaan pertama dari perdarahan subarakhnoid
adalah identifikasi sumber perdarahan dengan kemungkinan bisa
diintervensi dengan pembedahan atau tindakan intravascular lain.
Jalan napas harus dijamin aman dan pemantauan invasive terhadap
central venous pressure dan atau pulmonary artery pressure, seperti
juga terhadap tekanan darah arteri, harus terus dilakukan. Untuk
mencegah penigkatan tekanan intracranial, manipulasi pasien harus
dilakukan secara hati-hati dan pelan-pelan, dapat diberikan analgesic
dan pasien harus istirahat total.32
1. Pedoman Tatalaksana38
a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA):
 Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan
petunjuk untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas.
 Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30° dalam
ruangan dengan lingkungan yang tenang dan nyaman, bila
perlu diberikan O2 2-3 L/menit.
 Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.
 Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat
kelainan-kelainan neurologi yang timbul.
b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan
harus lebih intensif :
 Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol
pasien di ruang gawat darurat.
 Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin
jalang nafas yang adekuat.
 Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.
 Hindari pemakaian sedatif yang berlebihan karena akan
menyulitkan penilaian status neurologi.
40

2. Operasi pada aneurisma yang rupture36


a. Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi
perdarahan ulang setelah rupture aneurisma pada PSA.
b. Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan
ulang setelah PSA, banyak penelitian memperlihatkan bahwa
secara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi
yang ditunda. Operasi segera (early dan ultra early) dianjurkan
pada pasien dengan derajat yang lebih baik serta lokasi
aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi
yang segera atau yang ditunda direkomendasikan tergantung
pada situasi klinik khusus. Rujukan dini ke pusat spesialis
sangat dianjurkan. Penanganan dan pengobatan pasien
aneurisma lebih awal diajurkan untuk sebagian besar kasus.
c. Pasien aneurisma yang ruptur tindakan endovaskuler berupa
coilling and clipping ditentukan tim bedah saraf dan dokter
endovaskuler. Tindakan endovaskuler coiling lebih bermanfaat.
d. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai risiko yang
tinggi untuk perdarahan ulang. Operasi obliterasi aneurisma
secara komplit dianjurkan kapan saja bila memungkinkan.
3. Tatalaksana pencegahan vasospasme36
a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada
hari ke-3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21
hari. Pemakaian nimodipin oral terbukti memperbaiki deficit
neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme. Pengobatan
vasospasme serebral dimulai dengan penanganan aneurisma
yang ruptur, dengan mepertahankan volume darah sirkulasi
yang normal (euvolemia) dan menghindari terjadinya
hipovolemia.
b. Terutama pada pasien PSA dengan tanda-tanda vasospasme,
terapi hiperdinamik yang dikenal dengan triple H
(Hypervolemic – Hypertensive – Hemodilution) perlu
dipertimbangkan dengan tujuan mepertahankan tekanan perfusi
41

serebral. Dengan demikian, angka kejadian iskemik serebral


akibat vasospasme dapat dikurangi. Hati-hati terhadap
kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang
tidak dilakukan embolisasi atau Clipping.
4. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA
Kontrol dan monitor tekanan darah untuk mencegah risiko
perdarahan ulang. Tekanan darah sistolik sekitar 140-160 mmHg
sangat disarankan dalam rangka pencegahan perdarahan ulang pada
PSA. Terapi antifobrinolitik (epsilon-aminocaproic acid: loading 1
g IV kemudian dilanjutkan 1 g setiap 6 jam sampai aneurisma
tertutup atau biasanya disarankan 72 jam) untuk mencegah
perdarahan ulang direkomendasikan pada keadaan klinis tertentu.
Terapi antifobrinolitik dikontraindikasikan pada pasien dengan
koagulopati, riwayat infark miokard akut, stroke iskemik, emboli
paru, atau trombosis vena dalam. Terapi antifibrinolitik lebih
dianjurkan pada pasien dengan risiko rendah terhadapa terjadinya
vasospasme atau pada pasien dengan penundaan operasi. pada
beberapa studi, terapi antifibrinolitik dikaitkan dengan tingginya
angka kejadian iskemik serebral sehingga mungkin tidak
menguntungkan pada hasil akhir secara keseluruhan. Oleh karena
itu, studi dengan menggunakan kombinasi antifibrinolitik dengan
obat-obatan lain untuk mengurangi vasospasme perlu dilakukan.36
5. Obat – obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg
dan TDD lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg. Obat
antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2
mg/menit sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol
infuse dosisnya 50-200 mcg/kg/menit.38Pemakaian nitroprussid
tidak danjurkan karena menyebabkan vasodilatasi dan
memberikan efek takikardi. Akan tetapi, rekomendasi saat ini
menganjurkan penggunaan obat-obat anti hipertensi pada PSA
jikalau MABP diatas 130 mmHg.38
42

6. Tatalaksana stress ulcer, untuk mencegah timbulnya perdarahan


lambung pada stroke, sitoprotektor atau penghambat reseptor H2
perlu diberikan. Untuk semua penderita stroke, pemberian obat-
obatan seperti NSAID dan kortikosteroid, serta makanan/minuman
yang bersifat iritatif terhadap lambung (alkohol, rokok, cuka) perlu
dihindari. Pasien dengan stress ulcer harus dilakukan
penatalaksanaan ABC adekuat. Petugas yang terlatih diperlukan
dalam mengenali tanda gagal nafas dan mampu melakukan bantuan
dasar untuk jalan nafas. Pemberian penghambat pompa proton
seperti omeprazole atau pantoprazole diberikan secara intravena
dengan dosis 80 mg bolus, kemudian diikuti pemberian infus 8
mg/jam selama 72 jam berikutnya.36
7. PSA yang disertai dengan peningkatan tekanan intracranial harus
diintubasi dan hiperventilasi. Pemberian ventilasi harus diatur
untuk mencapai PCO2 sekitar 30-35 mmHg. Beberapa obat yang
dapat diberikan untuk menurunkan tekanan intracranial seperti:39
a. Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan
intracranial secara signifikan (50% dalam 30 menit pemberian).
b. Loop diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan tekanan
intracranial.
c. Intravenous steroid (dexamethasone) untuk menurunkan
tekanan intracranial masih kontroversial tapi direkomendasikan
oleh beberapa penulis lain.

2.3.7 Komplikasi
Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling
sering pada perdarahan subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme
dapat berupa status mental, deficit neurologis fokal. Vasospasme
akan menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama,
yaitu infark kortikal tunggal dan lesi multiple luas.36
Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk
mengurangi risiko perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan
43

aneurisma, tekanan darah harus dikelola hati-hati dengan diberikan


obat fenilefrin, norepinefrin, dan dopamine (hipotensi), labetalol,
esmolol, dan nikardipine (hipertensi). Tekanan darah sistolik harus
dipertahankan >100 mmHg untuk semua pasien selama ±21 hari.
Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus dipertahankan
dibawah 160 mmHg dan selama ada gejala vasospasme, tekanan
darah sistolik akan meningkat sampai 120 – 220 mmHg.36
Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang
dapat terjadi adalah hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan
epilepsi.36

2.3.8 Prognosis
Sekitar 10% penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS dan
40% meninggal tanpa sempat membaik sejak awitan. Tingkat
mortalitas pada tahun pertama sekitar 60%. Apabila tidak ada
komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar 70%. Apabila tidak ada
intervensi bedah maka sekitar 30% penderita meninggal dalam 2 hari
pertama, 50% dalam 2 minggu pertama, dan 60% dalam 2 bulan
pertama.36
Tabel 2.3 Sistem Ogilvy dan Carter32
Skor Keterangan
1 Nilai Hunt dan Hess >III
1 Skor skala Fisher >2
1 Ukuran aneurisma >10mm
1 Usia pasien >50 tahun
1 Lesi pada sirkulasi posterior berukuran besar (≥25mm)

Besarnya nilai ditentukan oleh jumlah skor Sistem Ogilvy dan


Carter, yaitu skor 5 mempunyai prognosis buruk, sedangkan skor 0
mempunyai prognosis lebih baik.32
Pendapat lain mengemukakan bahwa prognosis pasien-pasien
PSA tergantung lokasi dan jumlah perdarahan serta ada tidaknya
komplikasi yang menyertai. Disamping itu usia tua dan gejala-gejala
yang berat memperburuk prognosis. Seseorang dapat sembuh
44

sempurna setelah pengobatan tapi beberapa orang juga meninggal


walaupun sudah menjalani treatment.40
Sedangkan prognosis yang baik dapat dicapai jika pasien-pasien
ditangani secara agresif seperti resusitasi preoperative yang agresif,
tindakan bedah sedini mungkin, penatalaksanaan tekanan intracranial
dan vasospasme yang agresif serta perawatan intensif perioperative
dengan fasilitas dan tenaga medis yang mendukung.34
45

BAB III
ANALISA AKSUS

Tn. B, laki – laki, berusia 45 tahun dibawa ke RSUD Palembang Bari


karena mengeluh kelemahan sesisi tubuh kanan yang terjadi secara tiba-tiba.
Menurut WHO 2005, stroke adalah suatu disfungsi neurologis akut yang
disebabkan oleh gangguan peredaran darah, dan terjadi secara mendadak (dalam
beberapa detik) atau setidak-tidaknya secara cepat (dalam beberapa jam) dengan
gejala-gejala dan tanda-tanda yang sesuai dengan daerah fokal otak yang
terganggu.10 Risiko mengalami stroke akan meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Demikian juga dengan tekanan darah tinggi, karena factor
psikososial, homeostatis berubah seiring peningkatan umur, dan fungsi sel
semakin menurun, berat organ juga menurun.23
Penderita tidak mengalami penurunan kesadaran. Saat serangan penderita
ada nyeri kepala hebat yang disertai mual muntah, tanpa disertai kejang, tanpa
disertai gangguan rasa pada sisi yang lemah. Gejala ini merupakan gejala klinis
dari peningkatan tekanan intrakranial. Pada pasien didapatkan gejala tersebut
sehingga kemungkinan terjadinya stroke pada pasien ini disebabkan oleh stroke
hemoragik (perdarahan). Kriteria diagnostik stroke perdarahan ditandai dengan
onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan aktivitas dan
dapat didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan tekanan intra kranial
(TIK) yaitu nyeri kepala, mual, muntah, gangguan memori, bingung, penurunan
kesadaran yang berat sampai koma,dan dapat disertai hemiplegia atau
hemiparese.36 Tidak adanya kejang mengarahkan pada letak lesi kemungkinan
bukan terdapat di korteks serebri, karena pada lesi yang terletak di korteks serebri
biasanya terjadi kejang akibat aktivitas neuronal motorik berlebihan.
Penderita dapat mengungkapkan isi pikirannya secara lisan, tulisan dan
isyarat. Penderita dapat mengerti isi pikiran orang lain yang diungkapkan secara
lisan, tulisan, dan isyarat. Saat bicara mulut penderita mengot dan terdapat pelo
saat berbicara. Hal ini dapat menyingkirkan kemungkinan lesi di korteks serebri
yang dapat mempengaruhi pusat bicara di area Broca dan Wernicke yang terdapat
pada hemispher dominan. Area Broca sendiri merupakan pusat bicara motorik
46

yang terletak pada lobus prefrontal, sedangkan area Wernicke merupakan pusat
sensorik dari bicara pada lobus temporalis.
Penderita mengeluh mulut mengot dan bicara pelo. Mulut mengot dan
bicara pelo menunjukkan terdapat lesi pada nervus fasialis (N. VII) dan lesi pada
nervus hypoglossus (N. XII).
Penderita memiliki riwayat hipertensi. Penyakit hipertensi, merupakan
faktor resiko utama bagi terjadinya trombosis infark cerebral dan perdarahan
intrakranial. Faktor risiko kejadian sroke iskemik dibagi menjadi faktor yang tidak
dapat dimodifikasi (non-modifiable risk factors) seperti umur, jenis kelamin, ras,
genetik, dan riwayat TIA (Transient Ischemic Attack), dan faktor yang dapat
dimodifikasi (modifiable risk factors) seperti hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi
(hiperkolesterolemia), perilaku merokok, obesitas, penyakit jantung, konsumsi
alkohol berlebihan, aterosklerosis, penyalahgunaan obat, dan gangguan
19
pernapasan saat tidur. Dari faktor risiko diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
faktor risiko yang dapat diubah pada pasien ini adalah riwayat hipertensi yang
faktor resiko utama bagi terjadinya trombosis infark cerebral dan perdarahan
intrakranial. Bila tekanan darah meningkat cukup tinggi selama berbulan-bulan
atau bertahun-tahun, akan menyebabkan hialinisasi pada lapisan otot pembuluh
darah serebral. Akibatnya, diameter lumen pembuluh darah tersebut akan menjadi
tetap. Hal ini berbahaya karena pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi atau
berkonstriksi dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi dari tekanan darah
sistemik. Bila terjadi kenaikan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi pada
dinding kapiler menjadi tinggi. Akibatnya, terjadi hiperemia, edema, dan
kemungkinan perdarahan pada otak. Pada hipertensi kronis dapat terjadi
mikroaneurisma dengan diameter 1 mm (terutama terjadi pada arteri
lentikulostriata). Pada lonjakan tekanan darah sistemik, sewaktu orang marah atau
mengejan, aneurisma bisa pecah. Hipertensi yang kronis merupakan salah satu
penyebab terjadinya disfungsi endotelial dari pembuluh darah.21
Faktor risiko tak dapat diubah pada pasien adalah jenis kelamin pria dan
usia yang sudah tua (45 tahun). Penderita laki-laki lebih banyak terserang stroke.
Dimana usia merupakan faktor risiko tunggal yang berperan pada penyakit stroke.
47

Setiap kenaikan 10 tahun setelah usia 55 tahun, risiko stroke meningkat dua kali
pada pria dan wanita. Insidens stroke ditemukan 1,25 lebih banyak pada pria.16
Pada pemeriksaan gejala rangsang meningeal juga didapatkan gejala
rangsang meningeal positif. Gejala rangsang meningeal positif dikarenakan
radang pada meningen atau adanya darah pada rongga subarachnoid.
Kemungkinan penyebab stroke pada pasien karena adanya perdarahan
subarachnoid.41
Pemeriksaan penunjang yang disarankan pada kasus ini yaitu pemeriksaan
laboratorium : hitung darah lengkap untuk melihat penyebab stroke seperti
trombositosis, trombositopenia, polistemia, selain itu juga pemeriksaan laju endap
darah untuk mendeteksi terjadi giant cell arteritis atau vaskulitis lainnya,
selanjutnya glukosa darah untuk melihat DM, hipoglikemia atau hiperglikemia,
kemudian lipid serum untuk melihat faktor risiko stroke. EKG dan Foto Thorax
dilakukan untuk melihat apakah terdapat kelainan pada jantung.
Pada pasien juga dilakukan pemeriksaan CT-Scan Kepala untuk melihat
letak dari perdarahan. Pemeriksaan CT scan tanpa kontras adalah pilihan utama
karena sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan lebih
akurat.32 CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke
hemoragik dari stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke
dari patologi intrakranial lainnya. CT non kontras dapat mengidentifikasi secara
virtual hematoma yang berdiameter lebih dari 1 cm.37
Pungsi lumbal dilakukan jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif.
Pemeriksaan pungsi lumbal sangat penting untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Beberapa temuan pungsi lumbal yang mendukung diagnosis perdarahan
subarachnoid adalah adanya eritrosit, peningkatan tekanan saat pembukaan, dan
atau xantokromia. Jumlah eritrosir meningkat, bahkan perdarahan kecil kurang
dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/mL. xantokromia adalah
warna kuning yang memperlihatkan adanya degradasi produk eritrosit, terutama
oksihemoglobin dan bilirubin di cairan serebrospinal.32
Pemeriksaan Angiografi untuk mengonfirmasi adanya aneurisma pada kasus
PSA. Digital-substraction cerebral angiography merupakan baku emas untuk
deteksi aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering digunakan karena
48

non-invasif serta sensitivitas dan spesifitasnya lebih tinggi. Evaluasi teliti terhadap
seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien memiliki
aneurisma multiple.32
Penderita mengalami keluhan seperti ini untuk pertama kalinya. Prognosis
pada kasus ini lebih baik jika dibandingkan stroke yang berulang. Sekitar 10%
penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa sempat
membaik sejak awitan.36

Diagnosis Banding Klinis

LMN (Perifer)/ Flaksid UMN (Sentral)/ Spastik Pada Penderita


Hipotonus Hipertonus Hipertonus
Hiporeflexi Hiperrefleks Hiperrefleks
Refleks patologis (-) Refleks patologis (+/-) Refleks patologis (+)
Atrofi otot (+) Atrofi otot (-) Atrofi otot (-)
Kelemahan yang dialami pada pasien yaitu tipe spastik

Diagnosa Banding Topik


Lesi di korteks hemisfer serebri: Pada penderita ditemukan gejala:
- Defisit motoric - Hemiparese dextra tipe spastik
- Gejala iritatif - Tidak terdapat gejala iritatif berupa
kejang
- Gejala fokal (kelemahan lengan - Tidak terdapat gejala fokal berupa
dan tungkai tidak sama berat) kelumpuhan lengan dan tungkai yang
tidak sama berat
- Gejala defisit sensorik pada sisi - Tidak terdapat gejala sensorik pada sisi
yang lemah kanan
- Afasia motorik kortikal - Tidak ada afasia motoric kortikal
Lesi di korteks serebri tidak dapat ditegakkan.

Lesi di subkorteks hemisfer serebri: Pada penderita ditemukan gejala:


- Defisit motoric - Hemiparese dextrsa tipe spastik
- Afasia motorik subcortical - Tidak ada afasia
49

- Kelemahan lengan dan tungkai - Terdapat kelemahan sama berat pada


sama berat lengan dan tungkai
Lesi di subcortex cerebri dapat disingkirkan.
Lesi di kapsula interna hemisfer: - Pada penderita ditemukan gejala:
- Gejala defisit motoric - Hemiparese dextra tipe spastik
- Parese N. VII - Terdapat parese N. VII tipe sentral
- Parese N. XII - Terdapat parese N. XII tipe sentral
- Kelemahan di lengan dan tungkai - Terdapat kelemahan di lengan dan
sama berat tungkai yang sama berat
Kelainan di kapsula interna dapat ditegakkan karena memenuhi 4 dari 4
penilaian.
Kesimpulan: diagnosa topik pada penderita adalah lesi di ruang subarachnoid
yang mempengaruhi fungsi saraf di kapsula interna.

Diagnosa Banding Etiologi


Diagnosis Banding Etiologi
1) Hemorrhagic
Pada penderita ditemukan gejala :
- Kehilangan kesadaran > 30
- Tidak ada kehilangan kesadaran
menit
- Terjadi saat aktivitas
- Riwayat Hipertensi
- Disertai nyeri kepala hebat, mual, dan
- Terjadi saat aktivitas
muntah
- Didahului sakit kepala, mual dan
- Adanya riwayat hipertensi
atau tanpa muntah

Etiologi hemoragik dapat ditegakkan karena memenuhi 3 dari 4 peniliaian

2) Trombosis serebri Pada penderita ditemukan gejala


- Tidak ada kehilangan kesadaran - Tidak ada kehilangan kesadaran
- Terjadi saat istirahat - Terjadi saat aktivitas
Etiologi trombosis dapat disingkirkan
3) Emboli Cerebri Pada penderita ditemukan gejala :
- Kehilangan kesadaran < 30 - Tidak ada kehilangan kesadaran
menit - Tidak terdapat jantung berdebar
50

- Didahului jantung berdebar - Terjadi saat aktivitas


- Terjadi saat aktifitas

Etiologi emboli dapat disingkirkan

Kesimpulan: diagnosa etiologi pada pasien adalah CVD Hemoragik.

Diagnosa Tambahan : Hipertensi Derajat II


Tabel 3.1 Klasifikasi Tekanan darah menurut JNC VII
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Derajat I 140-159 90-99
Hipertensi Derajat II ≥160 ≥100

Tatalaksana yang diberikan berupa non farmakologi dan farmakologi. Untuk


non farmakologi dilakukan bed rest dengan levasi kepala 30 pada pasien,
sedangkan farmakologi diberikan IVFD NaCl 0,9% gtt 20 x/menit, inj. asam
tranexamat 3x1 g (IV) selama 72 jam, inj. ketorolac 3x1 am, inj. citicolin 2x500
mg (IV), amlodipine 1x10 mg, candesartan 1x16 mg, omeprazole 1x20 mg,
nimodipin 4x60 mg tab, neurodex 1x1 tab
Bed rest dengan levasi kepala 30, bertujuan untuk menurunkan tekanan
intrakranial. Cairan saline NaCl 0,9% merupakan cairan kristaloid normal saline
yang mengandung natrium dan clorida. Cairan infus ini digunakan untuk
menggantikan cairan tubuh yang hilang, mengoreksi ketidakseimbangan
elektrolit, dan menjaga tubuh agar tetap terhidrasi dengan baik.
Asam tranexamat adalah golongan anti-fibrinolitik untuk mencegah
perdarahan berulang. Ketorolac digunakan untuk mengurangi nyeri kepala yang
dialami pasien. Injeksi citicolin digunakan untuk neuroprotektor.
Anti-hipertensi yang diberikan kepada pasien adalah amlodipine (golongan
calcium channel blocker) dan candesartan (golongan angiotensin II reseptor
blocker).
51

Omeprazole digunakan sebagai gastroprotektor untuk mencegah terjadinya


stress ulcer, serta mencegah timbulnya perdarahan lambung pada stroke.29
Pemberian nimodipin dapat digunakan untuk mencegah vasospasme pada stroke
hemoragic.44
Neurodex merupakan vitamin B1, B6, B12.43 Berdasarkan penelitian,
vitamin B6, vitamin B12, dan asam folat merupakan zat gizi yang memiliki peran
penting dalam membantu metabolisme asam amino. Asam amino merupakan
nutrisi penting dalam neurotransmitter. Vitamin B6 yang tinggi menunjukkan skor
kognitif baik pada penderita gangguan vaskular. Vitamin B6 memiliki mekanisme
proteksi vaskular dan saraf yang hingga kini belum diketahui bagaimana
prosesnya secara pasti. Sedangkan dengan pemberian vitamin B1 pada salah satu
penelitian dilaporkan hasil CT scan yang baik dengan pengecilan lesi dan
didapatkan hasil neurologis yang baik seperti motorik dan sensorik pasien.
Berdasarkan panduan AHA juga direkomendasikan pemberian terapi berupa
pemberian vitamin B1, B6, dan B12 karena aman, efisien, dan murah
dibandingkan obat lain yang bisa mencegah terjadinya stroke.45
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta. 2006.


2. Victor, M, Ropper, A. 2001. Adams and Victor’s Principles Of Neurology
7th Ed. New York: McGraw Hill.
3. Chusid, JG 1993; Neuroanatomi Korelatif Dan Neurologi Fungsional,
cetakan ke empat, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
4. Feigin, V, 2006. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan Dan
Pemulihan Stroke. PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
5. Price, S & Wilson, L, 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. EGC, Jakarta.
6. Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. Gambaran umum tentang
gangguan peredaran darah otak dalam Kapita selekta neurology cetakan
keenam editor Harsono. Gadjah Mada university press, Yogyakarta. 2007.
Hal: 81-115.
7. Kelompok studi serebrovaskuler & Neurogeriatri. 2000. PERDOSSI:
Guideline Stroke 2000 Seri Pertama, Jakarta.
8. Widjaja, L. Stroke Patofisiologi dan Penatalaksanaan. FK UNAIR:
Surabaya. 1993, 1-48.
9. Lamsudin R.Stroke profile in Yogyakarta : morbidity, mortality, and risk
factors of stroke. 1997. XIV 53-69
10. World Health Organizations. Stroke Manual: The WHO STEPwise
Approach to Stroke. 2005. 20: 1407-31
11. Sidharta, 1988. Neurologis Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat
12. Bamford, J. Clinical Examination in Diagnosis and Sub Classification of
Stroke. 1992, 400-402.
13. Bruno A, Kaelin DL, Yilmaz EY. The subacute stroke patient: hours 6 to 72
after stroke onset. In Cohen SN. 2000. Management of Ischemic Stroke.
New York: McGraw-Hill.
14. Wijaya, A.K. 2011. Patofisiologi Stroke Non-Hemoragik Akibat Trombus.
SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana:
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.

49
53

15. Adib, M. 2011. Pengetahuan Praktis Ragam Penyakit Mematikan yang


Paling Sering Menyerang Kita. Bukubiru. Jogjakarta
16. Sutrisno, A. Stroke Sebaiknya Tahu Sebelum Terserang. PT. Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta. 2007, 93-102.
17. Lindsay KW, Bone I. 2004. Localised Neurological Disease and Its
Management. Neurology and Neurosurgery illustrated. London: Churchill
Livingstone.
18. Hassmann KA. Stroke Ischemic. https://emedicine.medscape.com (diakses
30 Desember 2020).
19. Yueniwati, Yuyun. 2015. Diteksi Dini Stroke Iskemia dengan Pemeriksaan
Ultrasonografi Vaskular dan Variasi Genetika. Universitas Brawijaya Press.
Malang.
20. Guyton dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th ed. Jakarta:
EGC, pp: 210, 282.
21. Hariyono T. 2006. Hipertensi dan Stroke. SMF Ilmu Penyakit Syaraf RSUD
Banyumas. http://www.tempointeraktif.com/medika/arsip/052002/pus1.htm.
(30 Desember 2020)
22. Feigin V. Memahami Faktor Resiko Stroke. 2006. Stroke Panduan
Bergambar Tentang Pencegahan dan Pemulihan Stroke. Jakarta: Penerbit PT
Bhuana Ilmu Populer.
23. Soeharto I. 2004. Serangan Jantung dan Stroke: Hubungannya dengan
Lemak dan Kolesterol. 2nd ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, pp: 31,
35, 37, 56, 57
24. Parmet, S., Tiffany, J.G., Richard, M.G. 2004. Hemmorhagic stroke. J of
American Medical Association. 15(292):1916.
25. Mardjono, M. 2009. Mekanisme gangguan vascular susunan saraf dalam
Neurologi klinis dasar edisi kesebelas. Dian Rakyat.
26. Nuartha, 2008. Penanganan Terkini Stroke. Laboratorium Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar.
27. The European Stroke Organisation (ESO) Executive Committee and the
ESO Writing Committee. Guidelines for Management of Ischemic Attack
2008. Cerebrovasc Dis 2008;25:457-507
54

28. National Clinical Guideline for diagnosis and Initial for Management of
Acute Stroke and Transient Ischemic Attack. Royal College of Physicians,
London, 2008.
29. Sudoyo, Aru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta:
FKUI. 2007, 1926-1928.
30. Baehr M, Frotcsher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi,
Fisiologi, Tanda, Gejala. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2012.
31. Yahya RC. Stroke Hemragik - Defenisi, Penyebaba & Pengobatan Stroke
Perdarahan Otak. Jevuska. 2014.
32. Setyopranoto I. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid. Continuing
Medical Education. 2012;39.
33. Student Med. Stroke.2011.
34. Zuccarello M, McMahon N. Arteriovenous Malformation (AVM).
Mayfield Clinic. 2013.
35. Setyopranoto I. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid. Continuing
Medical Education. 2012;39.
36. Jones R, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Subarachnoid Hemorrhage.
Netter's Neurology2014. p. 526-37.
37. PERDOSSI. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada
University Pres; 2011.
38. Nasissi, Denise. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape, 2010.
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/793821-overview.
Access on : September 29, 2012.
39. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia.Guideline Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia: Jakarta, 2007.
40. Becske T. Subarachnoid Hemorrhage Treatment & Management. Medscape
Reference Drugs, Disease & Procedures. 2014.
41. Jasmine L. Subarachnoid Hemorrhage. Medline Plus. 2013.
42. Lumbantobing, S.M, 2003. Neurogeriatri. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
55

43. Bereczki, D.,Liu, M., Prado, G. F., Fekete,I. 2000. Conchane Report :
ASystemic Review of Mannitol Therapy for Acute Ischemic Strokeand
Cerebral ParenchymalHemorrhage. Stroke. 31: 2719-2722 .
44. Jauch EC, Saver JL, Adams HP, et al.Guidelines for the early management
of patients with acute ischemic stroke: a guideline for healthcare
professionals from the American Heart Association/American Stroke
Association. Stroke 2013;44:870-947
45. Goldstein LB, Adams R, Alberts MJ, Appel LJ, Brass LM, Bushnell CD , et
al. Primary prevention of ischemic stroke: a guideline from the American
Heart Association/American Stroke Association Stroke Council:
cosponsored by the Atherosclerotic Peripheral Vascular Disease
Interdisciplinary Working Group; Cardiovascular Nursing Council; Clinical
Cardiology Council; Nutrition, Physical Activity, and Metabolism Council;
and the Quality of Care and Outcomes Research Interdisciplinary Working
Group. Circulation. 2006; 113(24):873-923.

Anda mungkin juga menyukai