Oleh :
Aninda Afrilia Aryani, S. Ked
712021099
Pembimbing :
dr. Budiman Juniwijaya, Sp. S
Laporan Kasus
Judul:
HEMIPARASE DEXTRA TIPE SPASTIK + AFASIA GLOBAL EC
CVD NON HEMORAGIC (TROMBOSIS CEREBRI)
Oleh:
Aninda Afrilia Aryani, S. Ked
712021099
Telah dilaksanakan pada bulan November 2022 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Saraf di
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
Judul: “Hemiparase Dextra Tipe Spastik + Afasia Global EC CVD Non
Hemoragic (Trombosis Cerebri)” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu tercurah
kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan
pengikutnya sampai akhir zaman.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :
1. dr. Budiman Juniwijaya, Sp.S selaku pembimbing yang telah memberikan
masukan serta bimbingan dalam penyelesaian laporan kasus ini,
2. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I. STATUS PENDERITA NEUROLOGI
1.1 Identifikasi......................................................................................................1
1.2 Anamnesis......................................................................................................1
1.3 Pemeriksaan Fisik...........................................................................................2
1.4 Rencana Pemeriksaan Penunjang.................................................................13
1.5 Ringkasan.....................................................................................................13
1.6 Diskusi Kasus ............................................................................................. 17
iv
BAB I
STATUS PENDERITA NEUROLOGI
1.1 IDENTIFIKASI
Nama : Tn. A
Umur : 54 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. KH Jamaludin Dusin I Lubuk Bandung, OKI
Agama : Islam
MRS Tanggal : 10 November 2022
1.2 ANAMNESA
Pasien datang ke IGD RSUD Palembang Bari karena tidak bisa berjalan
yang disebabkan kelemahan pada lengan kanan dan tungkai kanan yang terjadi
secara tiba-tiba.
± 5 jam SMRS, saat penderita bangun tidur tiba - tiba penderita mengalami
kelemahan pada lengan kanan dan tungkai kanan tampai disertai kehilangan
kesadaran. Saat serangan penderita tidak merasa sakit kepala yang disertai
mual muntah, tanpa disertai kejang, tanpa disertai gangguan rasa pada sisi
yang lemah, tanpa disertai gangguan rasa baal, nyeri, kesemutan pada sisi
yang lemah. Kelemahan pada lengan kanan dan tungkai kanan dirasakan sama
berat. Sehari-hari penderita bekerja menggunakan tangan kanan. Penderita
tidak dapat mengungkapkan isi pikirannya secara lisan, tulisan, dan isyarat.
Penderita tidak dapat mengerti isi pikiran orang lain yang diungkapkan secara
lisan, tulisan, dan isyarat. Saat bicara mulut penderita tidak mengot dan
bicaranya pelo.
Saat serangan penderita tidak mengalami jantung yang berdebar- debar
disertai sesak napas. Penderita mengeluh tidak sering sakit kepala bagian
belakang yang timbul pada pagi hari dan berkurang pada malam hari.
Penderita tidak pernah mengalami koreng dikemaluan yang tidak gatal, tidak
nyeri, dan sembuh sendiri. Penderita tidak pernah mengalami bercak merah
dikulit yang tidak gatal, tidak nyeri, dan sembuh sendiri. Penderita tidak
1
pernah mengalami nyeri pada tulang panjang. Riwayat hipertensi tidak ada,
riwayat diabetes melitus tidak ada, riwayat trauma kepala tidak ada. Istri
penderita tidak pernah mengalami keguguran pada usia kehamilan lebih dari
16 minggu.
Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya.
I. Status Pasien
Kesadaran : Compos mentis (E:5 , M:afasia, V:afasia )
Suhu Badan : 37,7ºC
Nadi : 78 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
TD : 140/90 mmHg
Gizi : normoweight
Berat Badan : - kg
Tinggi Badan : - cm
II. Status Internus
Jantung : Murmur (-), gallop (-)
Paru-paru : Vesikuler (+/+), ronkhi (-), wheezing (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Anggota Gerak : Lihat status neurologikus
Genitalia : Tidak diperiksa
2
IV. Status Neurologis
A. Kepala
Bentuk : Normocephali
Ukuran : Normal
Simetris : Simetris
B. Leher
Sikap : Lurus
Torticolis : Tidak ada
Kaku kuduk : Tidak ada
Deformitas : Tidak ada
Tumor : Tidak ada
Pembuluh darah : Tidak ada pelebaran
C. Syaraf-Syaraf Otak
1. N. Olfaktorius
Kanan Kiri
Penciuman Tidak dapat di diperiksa Tidak dapat di
diperiksa
Anosmia Tidak dapat di diperiksa Tidak dapat di
diperiksa
Hyposmia Tidak dapat di diperiksa Tidak dapat di
diperiksa
Parasomia Tidak dapat di diperiksa Tidak dapat di
diperiksa
2. N.Optikus
Kanan Kiri
Visus Tidak dapat di diperiksa Tidak dapat di
diperiksa
Campus visi
3
- Anopsia Tidak dapat di diperiksa Tidak dapat di
diperiksa
- Hemianopsia Tidak dapat di diperiksa Tidak dapat di
diperiksa
Fundus Okuli
4
- Refleks cahaya
Langsung Positif Positif
Konsensuil Positif Positif
Akomodasi Positif Positif
- Argyl Robertson Positif Positif
4. N.Trigeminus
Motorik Kanan Kiri
- menggigit Tidak dapat di Tidak dapat di
diperiksa diperiksa
- Trismus Tidak dapat di Tidak dapat di
diperiksa diperiksa
- Refleks kornea Tidak dapat di Tidak dapat di
diperiksa diperiksa
Sensorik
5. N.Facialis
Motorik Kanan Kiri
Mengerutkan dahi Tidak dapat di diperiksa
Menutup mata Simetris Simetris
Menunjukkan gigi Tidak dapat di periksa Tidak dapat di diperiksa
Lipatan nasolabialis Tidak dapat di periksa Tidak dapat di periksa
Bentuk muka
- Istirahat Simetris
5
Sensorik
2/3 depan lidah Tidak diperiksa
Otonom
- Salivasi Tidak ada kelainan
6. N. Cochlearis
Kanan Kiri
Suara bisikan Tidak dapat diperiksa Tidak dapat diperiksa
Detik arloji Tidak dapat diperiksa Tidak dapat diperiksa
Tes Weber Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Tes Rinne Tidak diperiksa Tidak diperiksa
8. N. Accessorius
Kanan Kiri
Mengangkat bahu Tidak dapat diperiksa Tidak dapat diperiksa
6
Memutar kepala Tidak dapat diperiksa
9. N. Hypoglossus
Kanan Kiri
Mengulur lidah Tidak dapat diperiksa
Fasikulasi Tidak dapat diperiksa
Atrofi papil Tidak dapat diperiksa
Disartria Tidak dapat diperiksa
D. Kolumna Vertebralis
Kyphosis : Tidak ada kelainan
Skoliosis : Tidak ada kelainan
Lordosis : Tidak ada kelainan
Gibbus : Tidak ada kelainan
Deformitas : Tidak ada kelainan
Tumor : Tidak ada kelainan
Menikokel : Tidak ada kelainan
Hematoma : Tidak ada kelainan
Nyeri Ketok : Tidak ada kelainan
7
Trofik Eutrofik
8
- Rossolimo Negatif Negatif
2. Sensorik
F. Gambar
- Cheek Negatif
- Symphisis Negatif
- Leg I Negatif
9
- Leg II Negatif
I. Gerakan Abnormal
Tremor : Tidak ada
Chorea : Tidak ada
Athetosis : Tidak ada
Ballismus : Tidak ada
Dystoni : Tidak ada
Myocloni : Tidak ada
J. Fungsi Vegetatif
10
Miksi : Tidak diperiksa
Defekasi : Tidak diperiksa
Ereksi : Tidak diperiksa
K. Fungsi Luhur
Afasia motorik : Ada
Afasia sensorik : Ada
Apraksia : Tidak diperiksa
Agrafia : Tidak diperiksa
Alexia : Tidak diperiksa
Afasia nominal : Tidak diperiksa
L. SKOR SIRIRAJ
(2,5 X DK) + (2 X MT) + (2 X NK) + (0,1 X TD) – (3 X TA) – 12
Konstanta 2
(2.5 x 0) + (2 x 0) + (2 x 0) + (0.1 x 90) – (3 x 0) – 12 = -3
Interpretasi : Infark Cerebri (Stroke Iskemik)
11
M. Algoritma Gajam Mada
12
3. Rontgen Thorax
4. CT Scan Kepala
1.5 Tatalaksana
1.6 Tatalaksana
Non Farmakologi
1. Edukasi
Modifikasi gaya hidup dan memodifikasi faktor resiko, mengatur
pola makan, istirahat cukup, mengelola stress, tidak minum
alkohol, makan berlebihan, mengurangi makanan yang banyak
mengandung lemak jenuh, aktif berolahraga.
Farmakologi
1. IVFD RL gtt 20x/menit
2. Citicoline 2x2 ampul 250 mg IV
3. Ranitidine 2x1 Ampul IV
4. Aspilet 1x80 mg tab
5. Levofloxacin 1 x 750 mg tab
6. Neurodex 1x 1 Tab
13
7. Paracetamol 3x 500 mg tab
1.7 Prognosa
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
14
2) Lesi di subkorteks hemisferium Pada penderita ditemukan
serebri, gejalanya : gejala :
Ada gejala defisit motorik - Hemiparese dextra
Ada afasia motorik subkortikal - Tidak ada
Jadi, kemungkinan lesi di subkorteks hemisferium serebri dapat
disingkirkan
15
Kesimpulan Diagnosis
- Diagnosis Klinis
Hemiparese Dextra Tipe Spastik + Afasia Global
Diagnosis Topik
Lesi di subkorteks serebri hemisferium serebri sinistra
- Diagnosis Etiologi
CVD non Hemoragik Trombus Serebri
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
16
1) Cerebrum3
Bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang hemisfer kanan
dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan sulkus
(celah) dan girus. Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:
a) Lobus Frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang
lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara
(area broca di hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian
ini mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter di gyrus
presentralis (area motorik primer) dan terdapat area asosiasi
motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca
yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan
sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif.
b) Lobus Temporalis
Mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke bawah dari
fisura laterali dan sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis.
Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual,
pendengaran dan berperan dalam pembentukan dan perkembangan
emosi.
c) Lobus parietalis
Lobus parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di
gyrus postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan
pendengaran.
d) Lobus oksipitalis
Lobus Oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area
asosiasi penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang
penglihatan dari nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini
dengan informasi saraf lain & memori.
2) Cerebellum4
Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih banyak
neuron dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki peran
koordinasi yang penting dalam fungsi motorik yang didasarkan pada
17
informasi somatosensori yang diterima, inputnya 40 kali lebih banyak
dibandingkan output. Cerebellum merupakan pusat koordinasi untuk
keseimbangan dan tonus otot. Mengendalikan kontraksi otot-otot
volunter secara optimal.
3) Brainstem4
Berfungsi mengatur seluruh proses kehidupan yang mendasar.
Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan medulla spinalis
dibawahnya. Struktur- struktur fungsional batang otak yang penting
adalah jaras asenden dan desenden traktus longitudinalis antara
medulla spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman sel saraf dan 12
pasang saraf cranial.
Vaskularisasi Otak
1) Peredaran Darah Arteri5
Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis
dan arteri karotis interna, yang bercabang dan beranastosmosis
membentuk circulus willisi. Arteri karotis interna dan eksterna
bercabang dari arteri karotis komunis yang berakhir pada arteri
serebri anterior dan arteri serebri medial. Di dekat akhir arteri karotis
interna, dari pembuluh darah ini keluar arteri communicans posterior
yang bersatu kearah kaudal dengan arteri serebri posterior. Arteri
serebri anterior saling berhubungan melalui arteri communicans
anterior. Arteri vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria
subklavia sisi yang sama. Arteri subklavia kanan merupakan cabang
dari arteria inominata, sedangkan arteri subklavia kiri merupakan
cabang langsung dari aorta. Arteri vertebralis memasuki tengkorak
melalui foramen magnum, setinggi perbatasan pons dan medula
oblongata. Kedua arteri ini bersatu membentuk arteri basilaris.
2) Peredaran Darah Vena5
Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus duramater,
suatu saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur
duramater. Sinus-sinus duramater tidak mempunyai katup dan
sebagian besar berbentuk triangular. Sebagian besar vena cortex
18
superfisial mengalir ke dalam sinus longitudinalis superior yang
berada di medial. Dua buah vena cortex yang utama adalah vena
anastomotica magna yang mengalir ke dalam sinus longitudinalis
superior dan vena anastomotica parva yang mengalir ke dalam sinus
transversus. Vena-vena serebri profunda memperoleh aliran darah
dari basal ganglia.
Saraf Kranialis
Saraf kranialis berjumlah 12 pasang dan langsung bersumber dari otak,
yaitu1:
1. N.I (Nervus olfactorius), membawa dorongan membau dari reseptor di
dalam mukosa hidung menuju otak.
2. N.II (Nervus opticus) membawa dorongan visual dari mata menuju ke
otak.
3. N.III (Nervus oculomotorius) berkaitan dengan sebagian besar
kontraksi otot mata.
4. N.IV (Nervus trochlearis) memasok satu otot bola mata.
19
5. N.V (Nervus trigeminus) merupakan saraf sensoris yang terbesar dari
muka dan kepala, mempunyai tiga cabang yang membawa dorongan
mera sakan secara umum (misalnya rasa sakit, meraba, suhu) dari
muka menuju otak. Cabang ketiga disambungkan oleh serat motoris
pada otot mengunyah.
6. N.VI (Nervus abducens) ialah saraf lainnya, yang mengirim dorongan
yang mengontrol pada otot bola mata.
7. N.VII (Nervus fasialis) sebagian besar merupakan motorik. Nervus
fasialis merupakan saraf cranial terpanjang yang berjalan di dalam
tulang. Nervus ini terdiri dari 3 komponen, yaitu:
20
12. N.XII (Nervus hypoglossus), saraf kranial terakhir membawa
dorongan- dorongan yang mengontrol lidah.
21
penyebab kematian ketiga di Amerika serikat, dibawah penyakit
kardiovaskuler dan kanker. Secara global, 15 juta orang terserang stroke
setiap tahunnya, sepertiga meninggal dan sisanya mengalami kecacatan
permanen. Di American Heart Assosiation menyatakan bahwa stroke
merupakan penyebab kematian nomor 5 yang menewaskan hampir
130.000 orang per tahun.9
Berdasarkan diagnosis kesehatan di Indonesia penderita stroke
pada tahun 2013 diperkirakan sebanyak 1.236.825 orrang (7,0%),
sedangkan gejala diperkirakan sebanyak 2.137.941 orang (12,1%).
Prevalensi penyakit stroke di Indonesia meningkat seiring bertambahnya
umur. Kasus stroke tertinggi terjadi pada kelompok usia ≥75 tahun
(43,1%) dan terendah pada kelompok usia 15-24 tahun (0,2%). Prevalensi
stroke berdasarkan jenis kelamin laki-laki (7,1%) dan perempuan (6,8%).10
Peningkatan tersebut dapat dipengaruhi oleh gaya hidup yang tidak sehat
seperti merokok, pola makan tidak baik, kurangnya olahraga, dan
kesadaran terhadap cek kesehatan yang rendah.
22
darah arteri kecil terhalang. Ini terkait dengan hipertensi dan
merupakan indikator penyakit aterosklerosis.
b. Emboli dengan gambaran defisit neurologi pertama kali muncul
sangat berat, biasanya sering timbul saat beraktifitas. Penderita
embolisme biasanya lebih muda dibanding dengan penderita
trombosis. Kebanyakan emboli serebri berasal dari suatu trombus
dalam jantung, sehingga masalah yang dihadapi sebenarnya adalah
perwujudan dari penyakit jantung. Setiap bagian otak dapat
mengalami embolisme, tetapi embolus biasanya embolus akan
menyumbat bagian – bagian yang sempit. Tempat yang paling
sering terserang embolus sereberi adalah arteria cerebri media,
terutama bagian atas.
- Berdasarkan manifestasi klinis menurut ESO Excecutive Committee
dan ESO Writing Committee:
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
Gejala defisit neurologis hanya berlangsung kurang dari 24 jam.
TIA menyebabkan penurunan jangka pendek dalam aliran darah
ke suatu bagian dari otak. TIA biasanya berlangsung selama 10-
30 menit.
b. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
Gejala deficit neurologi yang timbul akan menghilang dalam
waktu lebih lama dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari 7 hari.
c. Progressive Stroke
Kelainan atau defisit neurologiyang berlangsung secara bertahap
dari yang ringan sampai yang kelamaan bertambah berat.
d. Completed Stroke
Kelainan neurologi sudah menetap, dan tidak berkembang lagi.
2. Stroke Hemoragik12
Stroke hemoragik (13% dari stroke) termasuk perdarahan
subarachnoid (SAH), perdarahan intraserebral, dan hematoma
subdural. SAH mungkin akibat dari trauma atau pecahnya aneurisma
23
atau arteriovenous malformation intrakranial (AVM). Perdarahan
intraserebral terjadi bila pembuluh darah pecah di dalam otak
menyebabkan hematoma. hematoma subdural biasanya disebabkan
oleh trauma. Darah di kerusakan parenkim otak jaringan di sekitarnya
melalui massa efek dan neurotoksisitas komponen darah dan produk
degradasi mereka.
a) Perdarahan Intraserebral
Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar
setengah dari jumlah penderita, serangan dimulai dengan sakit
kepala parah, sering selama aktivitas. Namun, pada orang tua,
sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala disfungsi otak
menggambarkan perkembangan yang terus memburuk sebagai
perdarahan. Beberapa gejala, seperti kelemahan, kelumpuhan,
hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi satu
sisi tubuh.
Orang mungkin tidak dapat berbicara atau menjadi bingung.
Visi dapat terganggu atau hilang. Mata dapat menunjukkan arah
yang berbeda atau menjadi lumpuh. Mual, muntah, kejang, dan
hilangnya kesadaran yang umum dan dapat terjadi dalam
beberapa detik untuk menit.
b) Perdarahan Subarachnoid
Sebelum robek, aneurisma biasanya tidak menimbulkan
gejala kecuali menekan pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil
darah, biasanya sebelum pecah besar (yang menyebabkan sakit
kepala), menghasilkan tanda-tanda peringatan, seperti berikut:
- Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah
(kadang- kadang disebut sakit kepala halilintar)
- Sakit pada mata atau daerah fasial
- Penglihatan ganda
- Kehilangan penglihatan tepi
Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu
sebelum pecahnya aneurisma. Individu harus melaporkan setiap
24
sakit kepala yang tidak biasa ke dokter segera. Aneurisma yang
pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba parah dan
mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti
dengan kehilangan kesadaran singkat. Hampir setengah dari
orang yang terkena meninggal sebelum mencapai rumah sakit.
Beberapa orang tetap berada dalam koma atau tidak sadar dan
sebagian lainnya bangun, merasa bingung, dan mengantuk.
Dalam beberapa jam atau bahkan menit, penderita mungkin
menjadi tidak responsif dan sulit untuk dibangunkan.
Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di
sekitar otak mengiritasi lapisan jaringan yang menutupi otak
(meninges), menyebabkan leher kaku serta sakit kepala terus,
sering dengan muntah, pusing, dan nyeri pinggang. Sekitar 25%
dari orang yang mengalami gejala – gejala yang mengindikasikan
kerusakan pada bagian tertentu dari otak, seperti :
- Kelemahan atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh (paling umum)
- Kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh
- Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa.
25
Defisit neurologis fokal Sering kelumpuhan dan Defisit neurologik cepat
gangguan fungsi mental terjadi
CT-Scan kepala Terdapat area hipodensitas Massa intrakranial
dengan area
hiperdensitas
Angiografi Dapat dijumpai gambaran Dapat dijumpai
penyumbatan, aneurisma, AVM,
penyempitan dan massa intrahemisfer
vaskulitis atau vasospasme
26
Orang yang hubungan darahnya dekat dengan yang telah mengalami
stroke memiliki risiko stroke yang lebih tinggi, terutama jika dua
atau lebih anggota keluarga pernah mengalami stroke pada usia <65
tahun meningkatkan risiko stroke lebih tinggi.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi14:
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor resiko terpenting untuk semua tipe
stroke. Peningkatan resiko kejadian stroke terjadi 4-6 kali lebih besar
dari orang normal. Sebanyak 70% dari orang yang terserang stroke
memiliki riwayat hipertensi.
b. Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk stroke, namun tidak
sekuat hipertensi. Hal ini terjadi akibat orang dengan diabetes mellitus
lebih rentan terhadap arterosklerosis dan peningkatan prevalensi
proaterogenik, terutama hipertensi dan lipid darah yang abnormal.
c. Penyakit Jantung
Penyakit jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi otot jantung,
pasca operasi jantung juga memperbesar risiko stroke. Selain itu,
penyakit jantung yang paling sering menyebabkan stroke adalah
fibrilasi atrium/atrial, karena memudahkan terjadinya penggumpalan
darah di jantung dan dapat lepas hingga menyumbat pembuluh darah
di otak.
d. Hiperkolesterolemia
Tingginya kolesterol dapat merusak dinding pembuluh darah dan juga
menyebabkan penyakit jantung koroner. Kolesterol yang tinggi
terutama Low Density Lipoprotein (LDL) akan membentuk plak di
dalam pembuluh darah dan dapat menyumbat pembuluh darah baik di
jantung maupun di otak. Kadar kolesterol total > 200 mg/dl
meningkatkan risiko stroke 1,31-2,9 kali.
e. Obesitas
27
Obesitas dapat meningkatkan kejadian stroke terutama bila disertai
dengan dislipidemia dan atau hipertensi, melalui proses aterosklerosis.
Obesitas dapat menyebabkan terjadinya stroke lewat efek snoring
atau mendengkur dan sleep apnea, karena terhentinya suplai oksigen
secara mendadak di otak. Obesitas meningkatkan risiko stroke sebesar
15%. Obesitas dapat meningkatkan hipertensi, jantung, diabetes dan
aterosklerosis yang semuanya akan meningkatkan kemungkinan
terkena serangan stroke.
f. Stres
Pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh faktor stress pada proses
arterosklerosis adalah melalui peningkatan pengeluaran hormon
kewaspadaan oleh tubuh. Stres psiokososial dapat menyebabkan
depresi. Jika depresi berkombinasi dengan faktor risiko lain (misalnya
aterosklerosis berat, penyakit jantung atau hipertensi) dapat memicu
terjadinya stroke. Depresi meningkatkan risiko terkena stroke sebesar
2 kali.
28
penumpukan keping darah dan fibrin, proses ini akan berkembang lebih
cepat seiring dengan mekanisme fibrotik yang bergantung pada trombosis.
Arterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik
dengan cara menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan
insufisiensi aliran darah, oklusi mendadak pembuluh darah karena
terjadinya trombus atau peredaran darah aterom, atau menyebabkan
dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang kemudian
dapat robek. Aterosklerosis mempengaruhi berbagai daerah sirkulasi
istimewa dan memiliki manifestasi klinis yang berbeda yang tergantung
pada hambatan aliran darah tertentu yang terkena dampak. Salah satunya
yaitu aterosklerosis pada arteri yang memasok darah ke sistem saraf pusat
yang menimbulkan stroke dan TIA.15
Trombosis merupakan pembentukan bekuan darah arteri yang
bertahan cukup lama untuk menyebabkan iskemik pada jaringan otak
yang disuplai oleh pembuluh darah yang terkena. Trombosis dipicu oleh
patologi di lokal endotelium seperti plak arterosklerosis yang memicu
terjadinya protrombotik.
29
Tabel 2.2 Perbedaan Klinis Stroke Iskemik16
Iskemk
Trombosis Emboli
- Sering didahului TIA - Gejala mendadak
- Sering terjadi - Umumnya terjadi
pada waktu pada waktu aktivitas
istirahat - Kesadaran dapat
- Kesadaran baik menurun apabila
- Sering terjadi emboli besar
didekade 6-8 - Ada sumber emboli
- CT Scan hipodens - Sering terjadi di
decade 2-3 dan 7
- CT Scan hipodens
2.2.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Stroke harus dicurigai pada pasien yang menunjukan gejala defisit
neurologis akut (fokal maupun global) atau penurunan kesadaran. Tidak
ada karakteristik riwayat yang membedakan stroke iskemik dengan
hemoragik, meskipun mual, muntah, nyeri kepala dan penurunan
kesadaran akut umum ditemukan pada stroke hemoragik. Stroke
iskemik muncul secara akut, dan menentukan waktu timbulnya gejala
sangat penting. Jika waktu timbulnya gejala tidak diketahui, digunakan
waktu terakhir pasien diketahui normal tanpa gejala neurologis baru.
Waktu yang ditentukan kemudian digunakan untuk memutuskan apakah
pemberian trombolitik intravena diindikasikan atau tidakUntuk
membedakan secara klinis stroke iskemik dan hemoragik bisa
digunakan Siriraj Stroke Score (SSS).
30
Skor diagnosis stroke menurut Siriraj
31
Diagnosis Algoritma Gadjah Mada
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, untuk mebedakan stroke dengan kelainan yang lainnya
yang menyerupai stroke. Pemeriksaan fisik yang dilakukan harus
mencangkup kepala sampai keleher untuk mencari tanda trauma,
infeksi, dan iritasi meningen. Pemeriksaan ini juga bertujan untuk
mencari factor risiko yang kemungkinan dapat menyebabkan stroke.
3. Pemeriksaan neurologi
Pemeriksaan neurologis harus dilakukan untuk semua pasien yang
diduga stroke. Skala Stroke National Institutes of Health (NIHSS)
paling sering digunakan untuk mengukur tingkat keparahan stroke
dan memiliki 11 kategori dan skor yang berkisar dari 0 hingga 42. 11
kategori termasuk tingkat kesadaran (LOC), yang menggabungkan
LOC pertanyaan mengevaluasi pandangan terbaik, visual,
kelumpuhan wajah, lengan motorik, kaki motorik, ataksia
32
ekstremitas, sensorik, bahasa terbaik disartria, dan kepunahan dan
kurangnya perhatian. Skala pukulan harus dilakukan dalam urutan
yang tercantum. Setiap skor didasarkan pada tindakan pasien pada
pemeriksaan, dan itu bukan prediksi tentang apa yang dapat
dilakukan pasien. Pemeriksaaan laboratorium Pemeriksaan ini
dilakukan untuk mengetahui kemungkinann factor risiko penyebab
dari strok itu sendiri seperti diabetes, polisitemia, trombositosis,
trombositopenia, dan leukemia. Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan penyakit yang serupa dengan stroke dan
juga dapat menunjukkan penyakit yang saat ini sedang dialami oleh
pasien.18
4. Pemeriksaan penunjang
Pencitraan otak sangat penting untuk mengkonfirmasi diagnosis stroke
non hemoragik. Non contrast computed tomography (CT) scanning
adalah pemeriksaan yang paling umum digunakan untuk evaluasi
pasien dengan stroke akut yang jelas. Selain itu, pemeriksaan ini juga
berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari stroke dan
mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalanya mirip
dengan stroke (hematoma, neoplasma, abses). Kasus stroke iskemik
hiperakut (0-6 jam setelah onset), CT Scan biasanya tidak sensitif
mengidentifikasi infark serebri karena terlihat normal pada >50%
pasien, tetapi cukup sensitif untuk mengidentifikasi perdarahan
intrakranial akut dan/atau lesi lain yang merupakan kriteria eksklusi
untuk pemberian terapi trombolitik.
33
Gambar 2.3 (a) lesi hipodens. (b) lesi hiperdens
2.2.8 Tatalaksana
Dengan melihat penyebab terjadinya stroke maka tujuan
penatalaksanaan stroke adalah untuk mengembalikan aliran darah pada otak
yang tersumbat dengan cepat, mengurangi angka kematian, mencegah
terjadinya sumbatan ulang dan kejadian keterulangan stroke pada masa
mendatang. Ada beberapa pilihan terapi yang digunakan untuk
penatalaksanaan stroke iskemik akut.
1. Fibrinolitik/trombolitik (rtPA/ recombinant tissue plasminogen
activator) intravena
Golongan obat ini digunakan sebagai terapi reperfusi untuk
mengembalikan perfusi darah yang terhambat pada serangan stroke
akut. Jenis obat golongan ini adalah alteplase, tenecteplase dan
reteplase, namun yang tersedia di Indonesia hingga saat ini hanya
alteplase. Obat ini bekerja memecah trombus dengan mengaktivasi
plasminogen yang terikat pada fibrin. Efek samping yang sering
terjadi adalah risiko pendarahan seperti pada intrakranial atau saluran
cerna; serta angioedema. Kriteria pasien yang dapat menggunakan
obat ini berdasarkan rentang waktu dari onset gejala stroke (onset
gejala <3 jam) adalah sebagai berikut:23
Tabel 2.3 Kriteria Indikasi dan Kontraindikasi Pasien Stroke
Iskemik Akut yang Dapat Menggunakan rtPA dalam 3 jam
Setelah Onset Gejala23
34
2. Antikoagulan
Unfractionated heparin (UFH) dan lower molecular weight
heparin (LMWH) termasuk dalam golongan obat ini. Obat golongan
ini seringkali juga diresepkan untuk pasien stroke dengan harapan
dapat mencegah terjadinya kembali stroke emboli, namun hingga saat
ini literatur yang mendukung pemberian antikoagulan untuk pasien
stroke iskemik masih terbatas dan belum kuat. Salah satu meta-
analisis yang membandingkan LMWH dan aspirin menunjukkan
LMWH dapat menurunkan risiko terjadinya tromboembolisme vena
dan peningkatan risiko perdarahan, namun memiliki efek yang tidak
signifikan terhadap angka kematian, kejadian ulang stroke dan juga
perbaikan fungsi saraf. Oleh karena itu antikoagulan tidak dapat
menggantikan posisi dari aspirin untuk penggunaan rutin pada pasien
stroke iskemik.18,20
Terapi antikoagulan dapat diberikan dalam 48 jam setelah onset
gejala apabila digunakan untuk pencegahan kejadian tromboemboli
pada pasien stroke yang memiliki keterbatasan mobilitas dan hindari
penggunaannya dalam 24 jam setelah terapi fibrinolitik.23
35
3. Antiplatelet
Golongan obat ini sering digunakan pada pasien stroke untuk
pencegahan stroke ulangan dengan mencegah terjadinya agregasi
platelet. Aspirin merupakan salah satu antiplatelet yang
direkomendasikan penggunaannya untuk pasien stroke. Penggunaan
aspirin dengan loading dose 325mg dan dilanjutkan dengan dosis 75-
100mg/hari dalam rentang 24-48 jam setelah gejala stroke.
Penggunaannya tidak disarankan dalam 24 jam setelah terapi
fibrinolitik.2
4. Antihipertensi
Peningkatan nilai tekanan darah pada pasien dengan stroke
iskemik akut merupakan suatu hal yang wajar dan umumnya tekanan
darah akan kembali turun setelah serangan stroke iskemik akut.
Peningkatan tekanan darah ini tidak sepenuhnya merugikan karena
peningkatan tersebut justru dapat menguntungkan pasien karena dapat
memperbaiki perfusi darah ke jaringan yang mengalami iskemik,
namun perlu diingat peningkatan tekanan darah tersebut juga dapat
menimbulkan risiko perburukan edema dan risiko perdarahan pada
stroke iskemik.20
Oleh karena itu seringkali pada pasien yang mengalami stroke
iskemik akut, penurunan tekanan darah tidak menjadi prioritas awal
terapi dalam 24 jam pertama setelah onset gejala stroke, kecuali
tekanan darah pasien>220/120 mmHg atau apabila ada kondisi
penyakit penyerta tertentu yang menunjukkan keuntungan dengan
menurunkan tekanan darah, hal ini dikarenakan peningkatan tekanan
darah yang ekstrim juga dapat berisiko terjadinya ensefalopati,
komplikasi jantung dan juga insufisiensi ginjal.23
Pada kasus ini, apabila tekanan darah selama dan setelah rtPA ≤
180/105 mmHg, monitor tiap 15 menit selama 2 jam dari dimulainya
rtPA, lalu tiap 30 menit selama 6 jam dan kemudian tiap jam selama
16 jam.
36
5. Obat neuroprotektif
Golongan obat ini seringkali digunakan dengan alasan untuk
menunda terjadinya infark pada bagian otak yang mengalami iskemik
khususnya penumbra dan bukan untuk tujuan perbaikan reperfusi ke
jaringan. Beberapa jenis obat yang sering digunakan seperti citicoline,
flunarizine, statin, atau pentoxifylline. Citicoline merupakan salah satu
obat yang menjadi kontroversi penggunaannya hingga saat ini untuk
pasien dengan stroke iskemik, di mana penggunaan obat ini
diharapkan dapat melindungi sel membran serta stabilisasi membran
sehingga dapat mengurangi luas daerah infark.20
Rehabilitasi
Tatalaksana dini di unit stroke dapat menyelamatkan hidup.
Lingkungan sangat penting untuk mengontrol variabel-variable
penting yang dapat mempengaruhi keadaan pasien, seperti hidrasi,
temperatur, dan glukosa darah, dan tatalaksana lain yang yang sesuai
untuk kesulitan menelan dan untuk mencegah tromboemboli vena.
Fisioterapi yang bersinambung, terapi okupasional dan terapi wicara,
serta keterlibatan petugas sosial dapat membantu pasien meraih
kemandirian dalam aktivitas dan fungsinya sehari- hari.
Pencegahan Serangan Berulang
Tujuannya untuk mencegah terulangnya atau timbulnya serangan
baru. Ini dapat dicapai dengan jalan antara lain mengobati dan
menghindari faktor risiko stroke: pengobatan hipertensi, mengobati
diabetes mellitus, menghindari rokok, obesitas, stress, dan berolahraga
teratur.
2.2.9 Komplikasi22
Dekubitus merupakan tidur yang terlalu lama karena kelumpuh dapat
mengakibatkan luka/lecet pada bagian yang menjadi tumpuan saat
berbaring, seperti pinggul, sendi kaki, pantat dan tumit. Luka dekubitus
jika dibiarkan akan menyebabkan infeksi.
Bekuan darah merupakan bekuan darah yang mudah terjadi pada kaki
yang lumpuh dan penumpukan cairan.
37
Kekuatan otot melemah merupakan terbaring lama akan menimbulkan
kekauan pada otot atau sendi. Penekanan saraf peroneus dapat
menyebabkan drop foot. Selain itu dapat terjadi kompresi saraf ulnar
dan kompresi saraf femoral.
Osteopenia dan osteoporosis, hal ini dapat dilihat dari berkurangnya
densitas mineral pada tulang. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
imobilisasi dan kurangnya paparan terhadap sinar matahari.
Depresi dan efek psikologis dikarenakan kepribadian penderita atau
karena umur sudah tua. 25% menderita depresi mayor pada fase akut
dan 31% menderita depresi pada 3 bulan paska stroke.
2.3 Afasia
2.3.1 Definisi23
Afasia merupakan gangguan komunikasi (berbahasa) yang
disebabkan oleh kerusakan pada bagian otak yang mengatur fungsi
berbahasa, dimana umumnya terletak secara dominan di hemisfer serebri
kiri otak. Individu yang mengalami kerusakan pada hemisfer serebri kanan
otak mungkin memiliki kesulitan tambahan di luar masalah bicara dan
bahasa seperti pengertian katakata yang sederhana, intonasi, kemampuan
untuk mengintepretasikan kata-kata lucu atau humor, dan komunikasi
pragmatic.
2.3.2 Epidemiologi23
Stroke merupakan penyebab tersering dari afasia. Dikatakan dari
20% pasien stroke mengalami afasia. Di setiap tahunnya, terdapat sekitar
170.000 kasus afasia baru yang berkaitan dengan stroke. Jumlah pasien
dengan gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh trauma otak, tumor
otak, maupun lesi lain pada otak tidak sepenuhnya diketahui. Studi kohort
oleh Pedersen dkk di Copenhagen tahun 2004 melaporkan prevalensi
sindrom afasia pada stroke akut yang pertama kali berupa afasia global
32%, Broca 12%, transkortikal motorik 2%, Wernicke 16%, transkortikal
sensorik 7%, konduksi 5%, dan anomik 25%. Setelah diikuti selama satu
38
tahun, didapatkan afasia global 7%, Broca 13%, transkortikal motorik 1%,
Wernicke 5%, transkortikal sensorik 0%, konduksi 6%, dan anomik 29%,
selebihnya fungsi bahasa kembali sempurna (Pedersen dkk, 2004).
Penyebab tersering kedua dari afasia ialah penyakit degeneratif seperti
Alzheimer atau demensia dengan prevalensi Alzheimer per tahun di
Amerika ialah 5.000.000 kasus.
2.3.3 Patofisiologi23
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di
otak. Pada manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke
hemisfer kiri otak pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan)
dan 60% orang yang dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien yang
menderita afasia, sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri. Afasia
paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau
penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang
mengatur kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke.
Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas
pelaksanaan motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan
kersulitan dalam artikulasi tetapi penderita bisa memahami bahasa dan
tulisan.
Area Wernicke atau area 22 Broadmann, merupakan area sensorik
penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan
mengakibatkan penurunan hebat kemampuan memahami serta mengerti
suatu bahasa. Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area
pengaturan bahasa di atas. Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat
menyebabkan afasia transkortikal. Afasia juga dapat muncul akibat lesi
pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung antara area Broca dan area
Wernicke.
Kebanyakan afasia terjadi akibat kelainan yang berkaitan dengan
stroke, kerusakan pada bagian kepala, tumor serebri, atau penyakit
degeneratif. Neuroanatomi dari komprehensi dan produksi bahasa
merupakan proses yang kompleks meliputi input auditori dan pengkodean
39
bahasa di lobus temporalis superior, analisis di lobus parietalis, dan
ekspresi di lobus frontalis, turun melalui traktus kortikobulbaris menuju
kapsula interna dan batang otak, dengan efek modulasi dari basal ganglia
dan serebelum.
2.3.4 Klasifikasi 23
40
Sering disertai artikulasi dan irama bicara yang buruk.Gambaran
klinisnya ialah:
Pasien tampak sulit memulai bicara
Panjang kalimat sedikit (5 kata atau kurang per kalimat)
Gramatika bahasa berkurang dan tidak kompleks
Artikulasi umumnya terganggu
Irama bicara terganggu
Pemahaman cukup baik, tapi sulit memahami kalimat yang lebih
kompleks
Pengulanan (repetisi) buruk
Kemampuan menamai, menyebut nama benda buruk
41
dengan bahasa atau simbolisme verbal seperti kemampuan membaca,
kemampuan memecahkan perhitungan matematika juga kemampuan
untuk berpikir logis. Bila area Wernicke mengalami kerusakan
yang parah, pasien mungkin masih dapat mendengar dengan
sempurna dan bahkan masih dapat mengenali kata-kata namun tetap
tak mampu menyusun kata-kata ini menjadi suatu pikiran yang logis.
Demikian juga, pasien masih mampu membaca kata-kata tertulis
namun tidak mampu mengenali gagasan yang disampaikan. Pasien
afasia Wernicke tidak mampu memformulasikan buah pikirannya
untuk dikomunikasikan. Bila lesinya tidak terlalu parah, pasien masih
mampu memformulasikan pikirannya namun tak mampu menyusun
kata-kata yang sesuai secara berurutan dan bersama-sama untuk
mengekspresikan pikirannya. Etiologi paling sering dari afasia
wernicke adalah emboli dari arteri serebri media. Etiologi lain bisa
berasal dari perdarahan intraserebral, trauma kepala berat, dan tumor.
Adanya hemianopia kanan atau quadrantanopia superior dan
pendataran sudut nasolabial kanan dapat mempertegas adanya lesi di
area wernicke.
b. Afasia Broca
Afasia Broca adalah suatu sindrom afasia non fluent yang ditandai
oleh output verbal yang sulit dikeluarkan, disartri, disprosodi dan
agramatikal. Penderita dengan afasia Broca masih memiliki pengertian
yang utuh tetapi seringkali kesulitan dalam menguasai bahasa lisan
maupun tulisan pada hubungan gramatikal khusus (“put the blue
square on top of the red circle”). Repetisi, membaca dengan suara
keras, penamaan dan menulis juga terganggu. Lesi yang bertanggung
jawab untuk afasia Broca mencakup girus frontal inferior dan daerah
di dekat operkulum dan insula pada daerah yang terletak di atas arteri
serebri media. Luasnya lesi menentukan gambaran dari sindrom
afasianya. Kerusakan pada operkulum frontal menghasilkan kesulitan
untuk mengawali percakapan; cedera pada korteks lower motor
mengakibatkan disartria dan disprosodi; kerusakan yang menyebar
42
lebih ke posterior sehingga meliputi koneksi temporoparietal hingga
operkulum yang menyebabkan parafasia fonemik serupa dengan yang
terjadi pada afasia konduksi. Afasia Broca klasik yang
mengkombinasikan semua gambaran tersebut dengan gumaman yang
agramatikal dan diperpendek terlihat jika daerah diatas ventrikel serta
substansia alba yang berdekatan dan mengandung jaras periventrikuler
limbik-frontal tercakup dalam lesi. Jika lesi frontal meliputi area
premotor dan operkulum frontal maka terjadi hemiparesis kanan yang
mengenai wajah dan tungkai atas yang lebih menonjol daripada
tungkai bawah biasanya menyertai afasia, dan suatu apraksia
simpatetik (didiskusikan di bawah) dapat mempengaruhi fungsi
bukolingual dan fungsi tungkai sebelah kiri.
c. Afasia Global
Penderita afasia global mengalami gangguan secara jelas pada seluruh
aspek fungsi bahasa mencakup output verbal spontan, pengertian,
repetisi, penamaan, membaca dengan suara keras, pengertian dalam
membaca, dan menulis. Seringkali verbalisasi spontan hanya berupa
produksi, tidak bermakna dan stereotip seperti “za,za,za,” meskipun
beberapa pasien dapat mengucapkan pengulangan kecil dari frase
yang telah diperlajari yang dapat digumamkan dengan fasih, dan
banyak penderita afasia global yang dapat mengutuk dengan mudah
saat marah. Ucapan otomatis (menghitung, menyebutkan nama hari
dalam minggu atau bulan dalam tahun), dan menggumamkan nada-
nada yang telah dipelajari (“Happy Birthday,” “Jingle Bells”) dapat
terjadi meskipun terdapat defek yang berat dalam bahasa ekspresif
proporsional. Pengertian bahasa yang buruk membedakan afasi global
dari afasia Broca, dan repertisi yang buruk membedakannya dengan
afasia transkortikal campuran (afasia isolasi). Banyak penderita afasia
global akan mengikuti keseluruhan perintah utuh (“stand up,’”sit
down”), dapat membedakan bahasa asing dan percakapan omong-
kosong dari pengujar asli, dapat menilai infleksi secara memdasar
untuk membedakan pertanyaan dan perintah, dapat mengenali nama
43
orang dan peristiwa penting yang relevan secara personal baik yang
disebut maupun yang ditulis, dan akan menolak bahasa tertulis yang
ditampilkan terbalik, meskipun pengertiannya sangat parah terganggu
d. Afasia Konduktif
Pengeluaran kata-kata lancar namun parafasik, pemahaman bahasa
masih baik, namun repetisi sangat terganggu. Penamaan dan penulisan
juga sangat terganggu. Jika pasien diminta untuk membaca dengan
suara keras, pasien akan mengalami kesulitan, namun pasien dapat
mengerti apa yang dibacanya.
e. Afasia Anomik
Pada afasia jenis ini, fungsi yang terganggu yakni penamaan.
Artikulasi, pemahaman, dan repetisi masih baik namun pasien tidak
dapat menyebutkan nama dari benda-benda dan pasien kesulitan
dalam mengeja kata-kata. Seringkali output bahasa pasien parafasik,
sirkumlokusius, dan tidak bermakna. Kelancaran bahasa terganggu
ketika pasien berusahan menyebutkan nama benda-benda. Afasia
anomik banyak ditemui pada kasus trauma kepala, ensefalopati
metabolik, dan penyakit alzheimer.
Berdasarkan jenis kemampuannya, afasia dibedakan menjadi :
1. Afasia Motorik
2. Afasia Sensorik
a) Afasia Korteks
b) Afasia Subkorteks
c) Afasia Transkortikal
Afasia transkortikal motoric
Ciri-ciri yang nampak pada afasia transkortikal motorik
menyerupai afasia broca namun repetisi masih baik dan pasien
cenderung menghindari penggunaan tata bahasa. Pemeriksaan
neurologis lain biasanya normal. Lesi pada afasia transkortikal
motorik biasanya melibatkan area perbatasan antara arteri
serebri anterior dan media.
Afasia transkortikal sensori
44
Afasia transkortikal sensori dicirikan dengan gejala yang
menyerupai afasia wernicke namun repetisi masih dapat
dilakukan dengan baik. Pada afasia ini lesi memutuskan area
bahasa dari area asosiasi temporoparietal selain area khusus
bahasa.
Jenis Afasia Motorik Afasia Sensorik
Sensorik
Gangguan Ekspresif Perseptif
Korteks Gangguan verbal dan Gangguan verbal dan
2.3.6 Penatalaksaan
Penatalaksanaan pada pasien afasia bergantung pada penyebab
dari sindrom afasia itu sendiri. Penanganan terhadap stroke akut seperti
pemberian rPA pada pasien stroke iskemik, terapi intervensi intra-arterial,
stenting dan endarterectomy karotid, atau kontrol dari tekanan darah
dapat meringankan defisit yang dialami. Pembedahan pada subdural
hematoma atau tumor serebri juga memberikan hasil yang cukup
memuaskan. Pada afasia yang disebabkan oleh infeksi seperti herpes
simpleks dapat diberikan terapi antivirus.
Terapi berbicara dan berbahasa merupakan terapi utama dalam
afasia. Waktu dan teknik pelaksanaan intervensi pada pasien afasia
45
bervariasi luas karena penelitian yang dilakukan sangat minim. Namun
dalam beberapa penelitian telah terbukti bahwa terapi berbicara dan
berbahasa dapat meningkatkan prognosis pasien afasia. Kesulitan yang
dialami pasien dalam menjalani terapi ini sangat beragam karena berbeda
dari individu ke individu.
Beberapa hal yang harus diperhatikan saat melakukan terapi pada
pasien afasia :
Banyak pasien afasia menderita depresi oleh karena itu pasien afasia
memerlukan dukungan psikologis. Ketepatan diagnosis, terapi, dan
dukungan emosional dapat sangat berguna bagi pasien.
Terdapat beberapa teknik terapi khusus untuk pasien dengan masalah
artikulasi, masalah kosa kata, minimnya ilmu kalimat, dan kurangnya
intonasi. Dalam kata lain, terapi pada pasien afasia dapat divariasi agar
sesuai dengan kebutuhan pasien
Terapi farmako pada afasia masih bersifat eksperimental. Penggunaan
dopaminerjik, cholinerjik, dan obat-obatan stimulan belum memberikan
hasil yang jelas. Namun penggunaan terapi farmako sebagai
pendamping dari terapi berbicara telah menunjukkan hasil yang baik.
Teknologi baru yang dinamakan stimulasi magnetik transkranial sedang
diuji coba pada pasien afasia dan sejauh ini menunjukkan hasil yang
baik. 23
2.3.7 Prognosis
Prognosis pada pasien afasia sangat bergantung pada
penyebabnya. Pada afasia yang disebabkan oleh stroke, penanganan
utama stroke dan kesembuhannya sangat berpengaruh terhadap
kesembuhan dari afasia itu sendiri. Mengingat penyembuhan dari stroke
memakan waktu lama dan biasanya meninggalkan bekas defisit
neurologis, kesembuhan afasia dari pasien stroke sangat tidak menentu.
Pada pasien afasia yang disebabkan oleh infeksi herpes simpleks
misalnya, kesembuhan dapat segera terjadi dengan memberikan terapi
antiviral yang sesuai.
46
Prognosis kesembuhan kemampuan berbahasa bervariasi,
tergantung pada ukuran lesi dan umur serta keadaan umum pasien. Secara
umum, pasien dengan tanda klinis yang lebih ringan memiliki
kemungkinan sembuh yang lebih baik. Afasia Broca secara fungsional
memiliki prognosis yang lebih baik daripada afasia Wernicke.Terakhir,
afasia akibat penyakit yang tidak dapat atau sulit disembuhkan, misalnya
tumor otak, memiliki tingkat prognosis yang buruk.23
47
BAB III
ANALISIS KASUS
48
tulisan, dan isyarat. Hal ini menandakan pasien mengalami afasia global.
Afasia global adalah afasia yang melibatkan semua aspek bahasa dan
mengganggu komunikasi lisan. Penderita tidak dapat berbicara secara
spontan atau melakukannya dengan susah payah. Pemahaman ucapan
biasanya tidak ada; atau hanya bisa mengenali beberapa kata, termasuk
nama mereka sendiri dan kemampuan untuk mengulang prkataan yang sama
adalah nyata terganggu. Penderita tidak dapat berbicara secara spontan atau
melakukannya dengan susah payah. Pemahaman ucapan biasanya tidak
ada; atau hanya bisa mengenali beberapa kata, termasuk nama mereka
sendiri dan kemampuan untuk mengulang perkataan yang sama adalah nyata
terganggu. Saat bicara mulut penderita tidak mengot menandakan tidak
adanya paresis pada N.VII dan bicara pelo tidak dapat dinilai dikarenakan
penderita mengalami afasia global sehingga kemampuan bicara tidak dapat
dinilai.
Penderita mengeluh sering sakit kepala bagian belakang yang timbul
pada pagi hari dan berkurang pada malam hari. Hal ini menandakan bahwa
adanya gejala dari hipertensi. Gejala hipertensi meliputi nyeri kepala bagian
belakang, rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk, mual, muntah hingga
epistaksis. Pada saat pemeriksaan tekanan darah didapatkan tekanan darah
pasien 170/90 mmHg yang mana interpretasinya abnormal (hipertensi).
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stroke baik
hemoragik maupun non hemoragik. Peningkatan nilai tekanan darah pada
pasien dengan stroke iskemik akut merupakan suatu hal yang wajar dan
umumnya tekanan darah akan kembali turun setelah serangan stroke
iskemik akut. Peningkatan tekanan darah ini tidak sepenuhnya merugikan
karena peningkatan tersebut justru dapat menguntungkan pasien karena
dapat memperbaiki perfusi darah ke jaringan yang mengalami iskemik,
namun perlu diingat peningkatan tekanan darah tersebut juga dapat
menimbulkan risiko perburukan edema dan risiko perdarahan pada stroke
iskemik.
Saat serangan penderita tidak mengalami jantung yang berdebar-
debar disertai sesak napas. Penderita tidak pernah mengalami koreng
49
dikemaluan yang tidak gatal, tidak nyeri, dan sembuh sendiri. Penderita
tidak pernah mengalami bercak merah dikulit yang tidak gatal, tidak nyeri,
dan sembuh sendiri. Penderita tidak pernah mengalami nyeri pada tulang
Panjang. Riwayat diabetes melitus tidak ada, riwayat trauma kepala tidak
ada. Istri penderita tidak pernah mengalami keguguran pada usia kehamilan
lebih dari 16 minggu. Hal ini dapat menyingkirkan beberapa kemungkinan
faktor pencetus dari stroke yang dirasakan.
Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya. Pada kasus ini
menunjukkan prognosis yang lebih baik. Prognosis pada kasus ini lebih baik
jika dibandingkan stroke yang berulang. Stroke berulang merupakan
penyebab penting kesakitan dan kematian yang tinggi sebanyak 1,2%
sampai 9%. Stroke berulang sering mengakibatkan status fungsional yang
lebih buruk daripada stroke pertama.
Setelah dilakukan penilaian menggunakan siriraj stroke score pasien
didapatkan hasil -3. Dari penilaian siriraj stroke skor didapatkan hasil
nilai <-1 dimana hasil tersebut menunjukkan bahwa pasien mengalami
stroke non hemoragik (stroke iskemik). Pada Algoritma Stroke Gadjah
Mada hanya ditemukan positif pada reflex Babinski dan negative untuk
penurunan kesadaran dan nyeri kepala dengan interpretasi stroke iskemik
(stroke non hemoragik). Siriraj stroke skore adalah skor untuk membantu
penegakan diagnosis stroke baik hemoragik ataupun non hemoragik. Siriraj
stroke skor terdiri dari bagaimana tingkat kesadaran pasien, ada tidaknya
muntah, ada tidaknya nyeri kepala, nilai tekanan darah diastolik serta ada
tidaknya atheroma markers. Hasil perhitungan skor kemudian di
intepretasikan sebagai stroke non hemoragik jika skor ≤-1 dan stroke
hemoragik jika skor ≥ -1. Sedangkan alogoritma Gadjah Mada terdiri dari 3
penilaian, yaitu ada tidaknya penurunan kesadaran, ada tidaknya nyeri
kepala dan ada tidaknya refleks Babinski.
Untuk tatalaksanannya diberikan Ringer Laktat (RL) gtt 20x/menit,
dimana Pasien menerima Infus RL untuk mengatasi deplesi volume berat
saat tidak dapat diberikan rehidrasi oral.Pasien juga diberika citicoline 2x2
ampul 250 mg IV, dimana citicoline merupakan obat neuroprotektan yang
50
bertujuan untuk memperbaiki aliran darah otak serta metabolisme regional
di daerah iskemik otak. Aspilet 1x80 mg yang diberikan pasien termasuk
golongan obat antiplatelet sebagai pengencer darah dan mencegah
penggumpalan di pembuluh darah. Kemudian pasien diberi mecobalamin
3x1 tab 500 mcg, dimana mecobalamin merupakan vitamin B12 yang dapat
membantu meningkatkan fungsi otak pasca stroke dan meningkatkan
produksi neurotransmitter.
51
DAFTAR PUSTAKA
1. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, dkk. 2005. The Human
System Structure and Function. 6th Edition. New Jersey: Humana
Press Inc.
2. Ganong, W. F. 2009. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22.
Jakarta:
EGC.
3. Purves. 2004. Neuroscience: Third Edition. Massachusetts, Sinauer
Associates, Inc.
4. Stifani N. 2014. Motor Neurons and The Generation of Spinal Motor
Neuron Diversity. Frontiers in Cellular Neuroscience.
5. Purves D, Augustine GJ, FitzpatrickD, Katz L, LaMantia, Samue, et
al. 2018. "Damage to Descending Motor Pathways: The Upper Motor
Neuron Syndrome".
6. Ginsberg L. 2008. Lecture notes: Neurologi. Edisi 8. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
7. Chusid, JG. 2010. Neuroanatomi Korelatif Dan Neurologi
Fungsional, cetakan ke empat, Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
8. White S. 2008. Assessing the Nation’s Health Literacy. American
Medical Association Foundation, Amerika Serikat.
9. Mardjono M, Sidharta P. 2010. Neurologi klinis dasar. Penerbit Dian
Rakyat: Jakarta.
10. Padiastuti. 2011. Penyakit pemicu stroke. Yogyakarta: Nuha Medika.
11. Parmet, S., Tiffany, J.G., Richard, M.G. 2004. Hemmorhagic stroke. J
of American Medical Association. 15(292):1916.
12. Hisni D, Milla E, dan Sujarni. 2022. Faktor - Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Stroke Iskemik Di Instalasi
Fisioterapi Rumah Sakit Pluit Jakarta Utara Periode Tahun 2021.
Jurnal Penelitian Keperawatan Kontemporer, 2(1): 140-149.
13. Rasky R, Tri A, Bebasari E. 2014. Profil faktor risiko yang
dapat dimodifikasi pada kasus berulang Di RSUD Arifin Achmad
52
provinsi riau. Jom FK [internet]; 1(2). [disitasi tanggal 18 Mei
2022]; Tersedia
dari:http:/media.neliti.com/media/publications/187544-ID-profil-
faktor- resiko-yang-didapat-dimodifi.pdf.
14. Ralph LS, Scott EK, Joseph PB, Louis RC. 2013. American Heart
Association. An Updated Definition of Stroke for the 21st Century: A
statement for Healthcare Professionals from the American Heart
Association/American.
15. Price, S & Wilson, L, 2014. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Edisi 6. EGC, Jakarta.
16. Setiawan PA. Diagnosis dan Tatalaksana Stroke Hemoragik. Jurnal
Medika Hutama. 2021:1660-5
17. Boehme K, et all. Stroke Risk Factors, Genetics and Prevention.
Tersedia di https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov (Diakses pada tanggal
18 Mei 2022)
18. Hui Channing, Prasanna Tadi, Laryssa Patti. 2021. Ischemic Stroke.
StatPearl. NCBI Book.
19. Rendy dan Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
dan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.
20. Amir Syarif & Elysabeth. 2007. Farmakologi dan Terapi. 5th ed.
Jakarta; Balai Penerbit FK UI.
21. Junaidi, Iskandar., 2011. Stroke Waspadai Ancamannya. Jakarta: PT
Bhuana Ilmu Populer.
22. Mardjono M, Sidharta P. 2010. Neurologi klinis dasar. Penerbit Dian
Rakyat: Jakarta.
23. Howard, Kirshner dan Jacobs DH. eMedicine Neurology Specialties:
Aphasia. 2012. http://emedicine.medscape.com/article/1135944-
clinical#showall(diakses April7, 2016).
53
54