Anda di halaman 1dari 39

Laporan Kasus

Tetanus

Oleh :
Arif Rifai, S.Ked
NIM : 712019003

Pembimbing :
dr. Irmayanti, Sp.S.

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
1 HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul:
Tetanus
Oleh:
Arif Rifai, S.Ked
712019003

Telah dilaksanakan pada bulan Desember 2020 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Saraf di
RS Muhammadiyah Palembang

Palembang, Desember 2020


Pembimbing

dr. Irmayanti, Sp.S.

KATA PENGANTAR

ii
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Judul:
“Stroke Hemoragik ec Perdarahan Subaraknoid” sebagai salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu
tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan
pengikutnya sampai akhir zaman.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :
1. dr. Irmayanti, Sp.S. selaku pembimbing yang telah memberikan masukan serta
bimbingan dalam penyelesaian laporan kasus ini,
2. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.

Palembang, Desember 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I. STATUS PENDERITA NEUROLOGI
1.1 Identifikasi......................................................................................................1
1.2 Anamnesis......................................................................................................1
1.3 Pemeriksaan Fisik...........................................................................................1
1.4 Pemeriksaan Laboratorium...........................................................................10
1.5 Rencana Pemeriksaan Penunjang.................................................................10
1.6 Ringkasan.....................................................................................................10
1.7 Diskusi Kasus ............................................................................................. 11

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tinjauan pustaka...........................................................................................13
2.2 Definisi ........................................................................................................14
2.3 Epidemiologi ..............................................................................................15
2.4 Patofisiologi .................................................................................................16
2.5 Gejala klinis .................................................................................................18
2.6 Diagnosis .....................................................................................................20
2.7 Diagnosis Banding........................................................................................21
2.8 Tatalaksana...................................................................................................21
2.9 prognosis ......................................................................................................23
3. kesimpulan ....................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................37

iv
BAB I
STATUS PENDERITA NEUROLOGI

1.1 IDENTIFIKASI
Nama : Tn A
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin: Laki laki
Alamat : Plaju, banten 1 No 6 RT. 5 Sebrang ulu 1 kota Palembang,
Sumatra Selatan
Agama : Islam
MRS tanggal : 07 Desember 2020

1.2. ANAMNESA
Tn A tiba-tiba mengalami demam sejak 2 hari yang lalu, saat ini os
mengalami sulit untuk membuka mulut, sulit untuk makan tetapi masih bisa
sedikit, perut tegang bila dipegang dan leher berasa kaku. Gerakan tangan dan
kaki masih biasa. Riwayat tertusuk paku 5 hari yang lalu di kaki kanan luka
kotor lebih dari 1 cm, luka hanya di diamkan dan tidak di bersihkan. Riwayat
imunisasi tidak lengkap.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK

I. Status Praesens
Kesadaran : Composmentis
Suhu Badan : 38,5ºC
Nadi : 99 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
TD : 120/80 mmHg
Gizi : normoweight
Berat Badan :-
Tinggi Badan :-

1
2
Status Internus
Jantung : Murmur (-), gallop (-)
Paru-paru : Vesikuler (+/+), ronkhi (-), wheezing (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Anggota Gerak : Lihat status neurologikus
Genitalia : Tidak diperiksa

II. Status Psikiatrikus

Sikap : dalam batas normal


Perhatian : dalam batas normal
Ekspresi Muka : dalam batas normal
Kontak Psikis : dalam batas normal

III. Status Neurologis


A. Kepala
Bentuk : Brachiocephali
Ukuran : Normal
Simetris : Simetris
B. Leher
Sikap : Lurus
Torticolis : Tidak ada
Kaku kuduk : tidak Ada
Deformitas : Tidak ada
Tumor : Tidak ada
Pembuluh darah : Tidak ada pelebaran
C. Syaraf-Syaraf Otak
1. N. Olfaktorius
Kanan Kiri
Penciuman normal normal
Anosmia normal normal
Hyposmia normal normal

3
Parosmia normal normal

2. N.Optikus
Kanan Kiri
Visus tidak di periksa

Campus visi

- Anopsia normal
- Hemianopsia normal

Fundus Okuli
- Papil edema Tidak diperiksa Tidak diperiksa
- Papil atrofi Tidak diperiksa Tidak diperiksa
- Perdarahan retina Tidak diperiksa Tidak diperiksa

3. Nn. Occulomotorius, Trochlearis, dan Abducens


Kanan Kiri
Diplopia tidak ada tidak ada
Celah mata Simetris Simetris
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Sikap bola mata
- Strabismus tidak ada tidak ada
- Exophtalmus Tidak ada Tidak ada
- Enophtalmus Tidak ada Tidak ada
- Deviation conjugae Tidak ada Tidak ada
Gerakan bola mata balik ke segala arah balik ke segala
arah
Pupil
- Bentuknya Bulat Bulat

4
- Besanya ± 3 mm ± 3 mm
- Isokori/anisokor Isokor Isokor
- Midriasis/miosis Tidak ada Tidak ada
- Refleks cahaya
o Langsung Ada Ada
o Konsensuil Ada Ada
o Akomodasi Ada Ada
- Argyl Robertson Tidak ada Tidak ada

4. N.Trigeminus
Kanan Kiri
Motorik
- Menggigit normal normal
- Trismus Tidak ada Tidak ada
- Refleks kornea Positif Positif
Sensorik
- Dahi normal
- Pipi normal
- Dagu normal

5. N.Facialis
Kanan Kiri
Motorik
- Mengerutkan dahi normal
- Menutup mata normal
- Menunjukkan gigi normal
- Lipatan nasolabialis normal

- Bentuk Muka
 Istirahat simetris
 Berbicara/bersiul normal

Otonom

5
- Salivasi Tidak ada kelainan
- Lakrimasi Tidak ada kelainan
- Chvostek’s sign Tidak diperiksa

6. N. Cochlearis
Kanan Kiri
Suara bisikan normal
Detik arloji normal
Tes Weber Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Tes Rinne Tidak diperiksa Tidak diperiksa

7. N. Glossopharingeus dan N. Vagus


Kanan Kiri
Arcus pharingeus Simetris
Uvula Di tengah
Gangguan menelan Belum dapat dinilai
Suara serak/sengau tidak ada
Denyut jantung Normal
Refleks
- Muntah Tidak diperiksa
- Batuk Tidak diperiksa
- Okulokardiak normal
- Sinus karotikus normal

Sensorik
- 1/3 belakang lidah Tidak ada kelainan

8. N. Accessorius
Kanan Kiri
Mengangkat bahu normal

6
Memutar kepala normal

9. N. Hypoglossus
Kanan Kiri
Mengulur lidah Belum dapat dinilai
Fasikulasi Belum dapat dinilai
Atrofi papil Tidak ada
Disartria tidak ada

D. Kolumna Vertebralis
Kyphosis : Tidak ada kelainan
Skoliosis : Tidak ada kelainan
Lordosis : Tidak ada kelainan
Gibbus : Tidak ada kelainan
Deformitas : Tidak ada kelainan
Tumor : Tidak ada kelainan
Menikokel : Tidak ada kelainan
Hematoma : Tidak ada kelainan
Nyeri Ketok : Belum dapat dinilai

E. Badan dan Anggota Gerak


1. Motorik
Lengan
Kanan Kiri
Gerakan belum dapat dinilai
Kekuatan belum dapat dinilai
Tonus normal normal
Refleks fisiologis
- Biceps Normal Normal
- Triceps Normal Normal
- Radius Normal Normal
- Ulna Normal Normal

7
Refleks patologis
- Hoffman Ttromner Negatif
Trofik Eutrofi

2. Tungkai
Kanan Kiri
Gerakan Belum dapat dinilai
Kekuatan Belum dapat dinilai
Tonus normal
Klonus
-Paha normal
-Kaki normal
Refleks fisiologis
-KPR Normal Normal
-APR Normal Normal
Lateralisasi tidak ada

Refleks patologis
-Babinsky Ada Ada
-Chaddock Tidak ada Tidak ada
-Oppenheim Tidak ada Tidak ada
-Gordon Tidak ada Tidak ada
-Schaeffer Tidak ada Tidak ada
-Rossolimo Tidak ada Tidak ada
-Mendel Bechtereyev Tidak ada Tidak ada

Refleks kulit perut


Beum dapat dinilai

3. Sensorik
Tidak ada kelainan

8
F. Gejala Rangsang Meningeal
Kanan Kiri
Kaku kuduk tidak ada
Kernig Tidak ada Tidak ada
Lasseque Tidak ada Tidak ada
Brudzinsky
- Neck Tidak ada
- Cheek Tidak ada
- Symphisis Tidak ada
- Leg I Tidak ada Tidak ada
- Leg II Tidak ada Tidak ada

G. Gait dan Keseimbangan


1. Gait
Ataxia : Belum dapat dinilai
Hemiplegic : Belum dapat dinilai
Scissor : Belum dapat dinilai
Propulsion : Belum dapat dinilai
Histeric : Belum dapat dinilai
Limping : Belum dapat dinilai
Steppage : Belum dapat dinilai
Astasia-Abasia : Belum dapat dinilai
2. Keseimbangan dan Koordinasi
Romberg : Belum dapat dinilai
Dysmetri
- jari-jari : Normal
- jari hidung : Normal
- tumit-tumit : Belum dapat dinilai
Dysdiadochokinesis : Belum dapat dinilai
Trunk Ataxia : Belum dapat dinilai
Limb Ataxia : Belum dapat dinilai
H. Gerakan Abnormal

9
Tremor : Tidak ada
Chorea : Tidak ada
Athetosis : Tidak ada
Ballismus : Tidak ada
Dystoni : Tidak ada
Myocloni : Tidak ada

I. Fungsi Vegetatif
Miksi : Belum dapat dinilai
Defekasi : Belum dapat dinilai
Ereksi : Tidak diperiksa

J. Fungsi Luhur
Afasia motorik : Belum dapat dinilai
Afasia sensorik : Belum dapat dinilai
Apraksia : Belum dapat dinilai
Agrafia : Belum dapat dinilai
Alexia : Belum dapat dinilai
Afasia nominal : Belum dapat dinilai

1.5. RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Pemeriksaan darah rutin
 Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah

1.6 RINGKASAN

1.6.1 ANAMNESA

Tn A tiba-tiba mengalami demam sejak 2 hari yang lalu, saat ini os


mengalami sulit untuk membuka mulut, perut tegang bila dipegang dan leher

10
berasa kaku. Gerakan tangan dan kaki masih biasa. Riwayat tertusuk paku 5
hari yang lalu di kaki kanan.

1.6.2. PEMERIKSAAN FISIK


I. Status Praesens
Kesadaran : compos mentis
Suhu Badan : 38,5ºC
Nadi : 99 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
TD : 120/80 mmHg
Gizi : normoweight
Berat Badan :-
Tinggi Badan :-

I.6.3. DIAGNOSIS
Tetanus

I.6.4. PENATALAKSANAAN
 Antibiotic
 Anti tetanus serum
 HTIG
 Benzodiazepine
 Perawatan luka

I.6.5. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam: Dubia ad bonam
Dengan penatalaksaan yang tepat, tingkat mortalitas rendah.
I.7. Diskusi Kasus
Tetanus

11
 Anamnesis: Pasien mempunyai Riwayat tertusuk paku sejak 5 hari
yang lalu, luka kotor 1 cm dan hanya di diamkan, demam sejak 2
hari yang lalu, saat ini os mengalami sulit membuka mulut, perut
tegang bila dipegang dan leher berasa kaku. Riwayat imunisasi
tidak lengkap.
o Kesadaran
 Composmentis (GCS: 15)

Rencana diagnosis:
 Pemeriksaan darah rutin
 Kultur anaerob dan mikroskopis nanah

Rencana terapi:
 Antibiotic penisilin 1 junit IV setiap 6 jam
 Perawatan luka
 Anti tetanus serum 50.000 – 100.000 unit IM dan IV
 HTIG 3000 – 6000 unit IM
 Diazepam 5 – 20 mg
 IVFD D5

I.8. DIAGNOSIS BANDING


 Kelainan cairan serebrospinal

I.9. KESIMPULAN DIAGNOSTIK


Tetanus

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya


tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang
kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang disebabkan
oleh basil Clostridium tetani, yang menghasilkan tetanospasmin neurotoksin,
biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka tusuk yang terkontaminasi (seperti
oleh jarum logam, splinter kayu, atau gigitan serangga).
Tetanus (rahang terkunci (lockjaw)) adalah suatu penyakit toksemia akut
dan fatal yang disebabkan oleh tetanuspasmin, neurotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani, dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai
gangguan kesadaran. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps
ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom.

2.2. Etiologi

Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk batang


yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um, termasuk
gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium Tetani dapat dibedakan dari tipe
lain berdasarkan flagella antigen.

Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan


ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum stick) Sifat spora ini tahan
dalam air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila
dipanaskan selama 15–20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka

13
spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat
merupakanflora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus,
ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob
dan kemudian berkembang biak.

Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik


Kuman tetanus tumbuh subur pada suhu 17°C dalam media kaldu daging dan
media agar darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus
tidak dapat mengfermentasikan glukosa.

Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam


eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein
dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan
cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan
kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui
beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala
berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang.

Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah.

Gambar 1. Clotridium tetani

Kingdom: Bacteria
Division: Firmicutes
Class: Clostridia

14
Order: Clostridiales
Family: Clostridiaceae
Genus: Clostridium
Species: Clostridium
tetani

2.3. Epidemiologi

Tetanus terjadi secara luas di seluruh dunia namun paling sering pada
daerah dengan populasi padat, pada iklim hangat dan lembab. Organisme
penyebab ditemukan secara primer pada tanah dan saluran cerna hewan dan
manusia. Transmisi secara primer terjadi melalui luka yang terkontaminasi. Luka
dapat berukuran besar atau kecil. Pada tahun-tahun terakhir ini, tatanus sering
terjadi melalui luka- luka yang kecil. Tetanus juga dapat menyertai setelah luka
operasi elektif, luka bakar, luka tusuk yang dalam, luka robek, otitis media,
infeksi gigi, gigitan binatang, aborsi dan kehamilan.

Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat
jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di samping
sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang
termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan
karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi,
perawatan luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.

Secara internasional pada tahun 1992 terhitung sekitar 578.000 bayi


mengalami kematian karena tetanus neonatorum. Pada tahun 2000, dengan data

15
dari WHO menghitung insidensi secara global kejadian tetanus di dunia secara
kasar berkisar antara 0,5 – 1 juta kasus dan tetanus neonatorum terhitung sekitar
50% dari kematian akibat tetanus di negara – negara berkembang. Perkiraan
insidensi tetanus secara global adalah 18 per 100.000 populasi per tahun. Di
negara berkembang, tetanus lebih sering mengenai laki – laki dibanding
perempuan dengan perbandingan 3 : 1 atau 4 :1

Perkiraan angka kejadian umur rata–rata pertahun sangat meningkat sesuai


kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 5–19 tahun dan
20–29 tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 30–39
tahun dan umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka
kejadian lebih banyak dijumpa pada anak laki–laki; dengan perbandingan 3:1.

2.4. Patogenesis

Clostridium tetani biasanya memasuki tubuh dalam bentuk spora melalui


luka yang terkontaminasi dengan tanah, kotoran binatang, atau logam berkarat,
dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan
binatang yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi sepsis, infeksi
gigi, persalinan, injeksi intramuskular dan pembedahan. C.tetani sendiri tidak
menyebabkan inflamasi sehingga tidak tampak tanda-tanda inflamasi di sekitar
port d’entry, kecuali bila ada infeksi oleh mikroorganisme lain.

16
Dalam kondisi anaerob yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan
terinfeksi basil tetanus mensekresikan dua macam eksotoksin, yakni tetanolisin
dan tetanospasmin. Tetanolisin akan merusak jaringan yang masih hidup yang
mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan
bakteri ini bermultiplikasi. Sementara itu, untuk mencapai susunan saraf pusat dan
menghasilkan gejala-gejala klinik tetanus, tetanospasmin memiliki beberapa jalur
penyebaran.

Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi


hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati,
benda–benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian
berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka
dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat
mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui dua cara.

1. Secara lokal: diabsorbsi


melalui mioneural junction pada ujung–ujung saraf perifer atau motorik
melalui axis silindrik kecornu anterior susunan saraf pusat dan susunan
saraf perifer.
2. Toksin diabsorbsi melalui
pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk seterusnya susunan saraf
pusat.

Setelah melewati salah satu jalur di atas, tetanospasmin menempel pada


permukaan membran presinaptik neuron terminal yang terdekat. Selanjutnya
secara retrograd menyebar intraneuronal sampai ke SSP mulai dari akson menuju
badan sel, lalu dendrit dan ke akson neuron sebelumnya.

Tetanospasmin merupakan polipeptida rantai ganda, terdiri dari rantai berat


dan rantai ringan, yang dihubungakan oleh ikatan disulfida. Ujung karboksil dari
rantai berat tetanospasmin memungkinkannya terikat pada membran saraf,
sedangkan ujung aminonya memungkinkan tetanospasmin masuk ke dalam sel
saraf melalui serangkaian reaksi biomolekuler. Setelah masuk ke dalam neuron,
kekuatan ikatan disulfida berkurang menyebabkan rantai ringan terlepas dan

17
menjadi aktif, bekerja pada pre-sinaps untuk mencegah pelepasan
neurotransmitter inhibitory (glisin dan GABA) dari neuron yang ditempatinya
dengan cara menghancurkan sinaptobrevin (protein membran yang berfungsi
membantu terjadinya fusi vesikel yang mengandung meurotransmitter inhibitory
dengan membran pre-sinaps), akibatnya proses pelepasan neurotransmitter
inhibitory ke dalam celah sinaps tidak terjadi. Kegagalan pelepasan
neurotransmitter inhibitory ke dalam celah sinaps mengakibatkan terjadinya
peningkatan aktivitas neuron-neuron eferen menuju otot, menimbulkan gejala
kaku otot maupun spasme, misalnya pada otot masseter, menyebabkan trismus
(lock-jaw).

Gambar 2. Patogenesis Tetanus

2.5. Manifestasi Klinis

Tetanus biasanya mengikuti luka-luka yang dikenali. Kontaminasi benda


tajam dengan tanah, pupuk atau besi yang berkarat dapat menyebabkan tetanus.

18
Penyakit ini juga dapat sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus, gangren, gigitan
ular yang telah nekrotik, infeksi telinga tengah, aborsi, kelahiran, injeksi
intramuskular dan pembedahan.

Ada trias gejala yaitu rigiditas atau kekauan, spasme dari otot, jika parah
maka bisa disfungsi otonom. Kekakuan otot leher, nyeri tenggorokan, dan
kesulitan membuka mulut sering merupakan gejala awal. Spasme otot masseter
bisa menyebabkan trismus atau ”lockjaw”. Spasme yang prosesif meluas dari otot
muka menyebabkan ekspresi khusus yang disebut ”Risus Sardonicus” dan pada
otot menelan menyebabkan disfagia. Kekakuan dari otot leher menyebabkan
retraksi kepala. Kekauan otot-otot rangka tubuh menyebabkan opisthotonus dan
kesulitan bernafas dengan complience dinding dada yang menurun.

Gambar 3. Trismus

Gambar 4. Risus Sardonicus

19
Gambar 5. Opistotonus

Untuk meningkatkan tonus otot, ada episode spasme otot. Kontraksi tonik
ini seperti konvulsi yang mempengaruhi agonis dan antagonis dari sekelompok
otot. Bisa spontan atau dipengaruhi oleh sentuhan, visual, suara, atau emosi.
Spasme bervariasi untuk kekuatannya dan frekuensi tapi cukup kuat menyebabkan
patah tulang dan robeknya suatu jaringan (avulsi). Spasme bisa terjadi terus-
menerus yang bisa mengakibatkan gagal nafas. Spasme faring sering diikuti
spasme laring dan berhubungan dengan aspirasi dan obstruksi jalan nafas.

Masa inkubasi bervariasi antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari.


Pada umumnya tergantung pada lokasi dan jarak antara luka dengan system saraf
pusat, sehingga lokasi luka yang jauh dapat menyebabkan masa inkubasi yang
lebih lama. Masa inkubasi yang pendek mempunyai angka kematian yang cukup
tinggi. Pada tetanus neonatorum gejala biasanya muncul antara 4 sampai 14 hari
setelah lahir dengan rata-rata 7 hari.

Karakteristik Dari Tetanus:

1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama , dan menetap selama


5-7 hari.
2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya.

20
3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
4. Biasanya didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dan
leher.
5. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus / lockjaw)
karena spasme otot masseter.
6. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( nuchal rigidity)
7. Risus Sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis
tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan
kuat.
8. Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya
kesadaran tetap baik.
9. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan
sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis
(pada anak).

2.6. Klasifikasi
Berdasarkan pada temuan klinis terdapat 4 bentuk tetanus yang telah
dideskripsikan yaitu:

Tetanus umum:

Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai.


Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka
bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus
dekubitus dan suntikan hipodermis.

21
Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik
bersifat menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama
pada rahang (trismus) dan leher (kuduk kaku). Lima puluh persen penderita
tetanus umum akan menuunjukkan trismus.

Dalam 24–48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke


ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar
dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot
masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai
muka meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas,
sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat
kekakuan otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan
fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai
opisthotonus.

Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik
secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan
bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal
kuat dan kaki dalam posisi ekstensi.

Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan
yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang.
Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan
menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena spasme
sphincter kandung kemih.

Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai


panas yang tinggi sehingga harus hati–hati terhadap komplikasi atau toksin
menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.

Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa


takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan ariunia
jantung.

22
Tetanus neonatorum, merupakan tetanus bentuk generalisata yang terjadi pada
bayi yang lahir dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama melalui
pemotongan tali pusat yang tidak steril. Onset dalam 2 minggu pertama
kehidupan, gejalanya rigiditas, sulit menelan ASI, muntah, irritable, dan spasme.
Prognosis buruk dimana 90% penderita meninggal; dan pada penderita yang tetap
hidup mangakibatkan terjadinya retardasi.

Tetanus lokal

Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena


gambaran klinis tidak khas.

Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot pada bagian proksimal
dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%,
kadang–kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.

Bentuk cephalic

Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka
mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis dan
jarang akibat tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain: n. III,
IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri–sendiri maupun kombinasi dan
menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan–bulan.

23
Tetanus cephalic dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada
umumnya prognosa bentuk tetanus cephalic jelek.

2.7. Derajat

 Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas:

1) Tetanus ringan: trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang


umum walaupun dirangsang.
2) Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang
umum bila dirangsang.
3) Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum
yang spontan.

2.8. Diagnosis

Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan :

- Riwa
yat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi
- Gejal
a klinis; dan
- Pende
rita biasanya belum mendapatkan imunisasi.
Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pada
pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilai–nilai yang spesifik; lekosit dapat
normal atau dapat meningkat.

Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa pus atau


jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu daging.
Tetapi pemeriksaan mikrobiologi hanya pada 30% kasus ditemukan Clostridium
Tetani.

24
Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun
kadang–kadang didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot.

Pemeriksaan elektroensefalogram adalah normal dan pada pemeriksaan


elektromiografi hasilnya tidak spesifik.

2.9. Diagnosis Banding

1. Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya
menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di
mana adanya kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat,
kadar protein meningkat dan glukosa menurun.

2. Poliomielitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio
diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.

3. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan, kejang bersifat klonik.

2.10. Komplikasi
 Laringospasme dan atau spasme otot-otot pernapasan yang
mengakibatkan gangguan bernapas
 Fraktur vertebra atau tulang panjang yang mengakibatkan kontraksi yang
berlebih ataupun kejang yang kuat
 Dislokasi sendi glenohumerale dan temporomandibular
 Hiperaktivitas sistem saraf otonom yang dapat menyebabkan hipertensi
dan atau denyut jantung yang tidak normal
 Infeksi nosokomial, sering terjadi karena perawatan di rumah sakit yang
lama. Infeksi sekunder dapat berupa sepsis, akibat pemasangan kateter,
Hospital Acquired Pneumonia dan ulkus dekubitus

25
 Emboli paru, terutama merupakan masalah pada pasien dengan
penggunaan obat-obatan dan orang tua.
 Aspirasi pneumonia, merupakan komplikasi lanjut tetanus yang paling
sering, ditemukan pada 50%-70% kasus
 Ileus paralitik, luka akibat tekanan dan retensi urine
 Malnutrisi dan stress ulcers

2.11. Penatalaksanaan
2.11.1. Pencegahan
Prinsip – prinsip Umum Profilaksis

Pertimbangan Individual Penderita

Pada setiap penderita luka harus ditentukan apakah perlu tindakan profilaksis
terhadap tetanus dengan mempertimbangkan keadaan / jenis luka dan riwayat
imunisasi.

Debridemen

Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi jaringan yang nekrotik dan benda
asing harus dikerjakan untuk semua jenis luka.

Imunisasi Aktif

Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap tetanus) diberikan dengan dosis
sebanyak 0, 5 cc IM, diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut.

DPT (Diptheri Pertusis Tetanus) terutama diberikan pada anak. Diberikan pada
usia 2 – 6 bulan dengan dosis sebesar 0, 5 cc IM, 1 x sebulan selama 3 bulan
berturut – turut. Booster diberikan pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc IM dan antara
umur 5 – 6 tahun 1 x 0,5 cc IM.

Tetanus Toksoid

Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1 x sebulan selama 3
bulan berturut – turut. Booster (penguat) diberikan 10 tahun kemudian setelah
suntikan ketiga imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun setelah pemberian
booster di atas.

26
Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera, baik
sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila penderita telah
mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5 tahun terakhir.

Imunisasi Pasif

ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan antitoksin bovine (asal lembu)
maupun antitoksin equine (asal kuda). Dosis yang diberikan untuk orang dewasa
adalah 1500 IU per IM dan untuk anak adalah 750 IU per IM.

2.11.2. Penatalaksanaan

Prinsip :

1. Mengeliminasi bakteri dalam tubuh untuk mencegah pengeluaran


tetanospasmin lebih lanjut
2. Menetralisir tetanospasmin yang beredar bebas dalam sirkulasi (belum
terikat dengan sistem saraf pusat)
3. Meminimalisasi gejala yang timbul akibat ikatan tetanospasmin dengan
sistem saraf pusat

 Terapi umum :

1. Semua pasien disarankan untuk menjalani perawatan di ruang ICU yang


tenang supaya bisa dimonitor terus-menerus fungsi vitalnya. Pasien
dengan tetanus tingkat II, III, IV sebaiknya dirawat di ruang khusus
dengan peralatan intensif yang memadai serta perawat yang terlatih untuk
memantau fungsi vital dan mengenali tanda aritmia. Hendaknya pasien
berada di ruangan yang tenang dengan maksud untuk meminimalisasi
stimulus yang dapat memicu terjadinya spasme.
2. Berikan cairan infus D5 untuk mencegah dehidrasi dan hipoglikemi
3. Debridement luka. Semua luka harus dibersihkan. Jaringan nekrotik dan
benda-benda asing harus dikeluarkan. Semua luka yang berpotensial harus
didebridement, abses harus diinsisi dan didrainase. Selama dilakukannya
manipulasi terhadap luka yang diduga menjadi sumber inkubasi tetanus

27
ini, harus diberikan hTIG dan terapi antibiotika. Juga penting diberikan
obat-obatan pengontrol spasme otot selama manipulasi luka.

 Terapi Khusus
1. Anti Tetanus toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:

- Toksin bebas dalam darah;


- Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf.
Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalam
darah. Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat
dinetralisir oleh antitoksin. Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan:

- Anamnesa apakah ada riwayat alergi;


- Tes kulit dan mata; dan
- Harus selalu sedia Adrenalin 1:1.000.
Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat
heterolog sehingga mungkin terjadi syok anafilaksis.

Tes mata

Pada konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan antitoksin


tetanus 1:10 dalam larutan garam faali, sedang pada mata yang lain hanya ditetesi
garam faali. Positif bila dalam 20 menit, tampak kemerahan dan bengkak pada
konjungtiva.

Tes kulit

Suntikan 0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali secara
intrakutan. Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan terjadi
kemerahan dan indurasi lebih dari 10 mm.

Bila tes mata dan kulit keduanya positif, maka antitoksin diberikan secara
bertahap (Besredka).

Dosis

28
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Behrman (1987) dan
Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000–100.000 u yang diberikan setengah
lewat intravena dan setengahnya intramuskuler. Pemberian lewat intravena
diberikan dengan cara melarutkannya dalam 100–200 cc glukosa 5% dan
diberikan selama 1–2 jam. Di FKUI, ATS diberikan dengan dosis 20.000 u selama
2 hari. Di Manado, ATS diberikan dengan dosis 10.000 i.m, sekali pemberian.

2. Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit /
KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40
mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis
terbagi ( 4 dosis ). Metronidazol loading dose 15 mg/kg BB/jam, selanjutnya 7,5
mg/kg BB tiap 6 jamBila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan
dosis 200.000 unit /kgBB/
24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi
pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan

3. Antikonvulsan dan sedatif


Obat–obat ini digunakan untuk merelaksasi otot dan mengurangi kepekaan
jaringan saraf terhadap rangsangan. Obat yang ideal dalam penanganan tetanus
ialah obat yang dapat mengontrol kejang dan menurunkan spastisitas tanpa
mengganggu pernapasan, gerakan–gerakan volunter atau kesadaran.

Obat–obat yang lazim digunakan ialah:

- Diazepam
Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis
0,5 mg/kg.bb/kali i.v. perlahan–lahan dengan dosis optimum 10
mg/kali diulangi setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian

29
diazepam peroral–(sonde lambung) dengan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali
sehari diberikan 6 kali.

- Fenobarbital
Dosis awal: 1 tahun 50 mg intramuskuler; 1 tahun 75 mg
intramuskuler. Dilanjutkan dengan dosis oral 5–9 mg/kg.bb/hari
dibagi dalam 3 dosis.

- Largactil
Dosis yang dianjurkan 4 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 6 dosis.

JENIS ANTIKONVULSAN

Jenis Obat Dosis Efek Samping

Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Stupor, Koma


Berat badan / 4 jam (IM)
Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada
Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi
Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depressi pernafasan

30
4. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang
berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan
sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
Berikut ini, tabel 4. Memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap
tetanus pada keadaan luka

PETUNJUK PENCEGAHAN TERHADAP TETANUS PADA KEADAAN


LUKA.
__________________________________________________________________
RIWAYAT IMUNISASI Luka bersih, Kecil Luka Lainnya

31
______________________________________________________
(dosis) Tet. Toksoid (TT) Antitoksin Tet.Toksoid (TT) Antitoksin

__________________________________________________________________
Tidak diketahui ya tidak ya ya
0–1 ya tidak ya ya
2 ya tidak ya tidak*
3 atau lebih tidak** tidak tidak** tidak
__________________________________________________________________
* : Kecuali luka > 24 jam

** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun (8, 16)

*** : Kecuali bila imunisasi terakhir >5 tahun (8,16)

2.12. Prognosis
Prognosis tergantung pada masa inkubasi, waktu dari inokulasi spora sampai
timbul gejala awal dan waktu dari timbulnya gejala awal sampai spasme
tetanik awal. Secara umum, interval yang lebih pendek menunjukkan tetanus
yang lebih berat dan prognosis yang lebih buruk. Kebanyakan pasienyang
bertahan dari tetanus ini biasanya akan kembali pada kondisi kesehatan
sebelumnya walau pun perbaikan berjalan secara lambat (sekitar 2 hingga 4
bulan) dan pasien seringkali tetap menjadi hipotonus. Pasien yang sembuh
harus mendapatkan imunisasi aktif dengan tetanus toksoid untuk
mengelakkan dari terjadinya rekurensi. Selain itu, prognosis dan angka
kematian pasien dengan tetanus juga dipengaruhi oleh factor usia, gizi yang
buruk serta penangan terhadap komplikasi yang mungkin terjadi. Dari data
terkini yang diperolehi, kadar kematian pada penderita tetanus ringan dan
sedang adalah 6% dan pada penderita tetanus berat bisa mencapai 60%.

32
KESIMPULAN

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan


meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh
tetanospasmin, suatu protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani.
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang
disebabkan oleh basil Clostridium tetani, yang menghasilkan
tetanospasmin neurotoksin, biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka

33
tusuk yang terkontaminasi (seperti oleh jarum logam, splinter kayu, atau
gigitan serangga).

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta

: Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004.Hal 21-24

34
2. Sabiston D, Oswari J.Buku Ajar Bedah. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC.1994. Hal 199-201,251

3. Doherty GM. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA : McGraw

Hill.2006. Page 112-113

4. Schwartz. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC 2000. Hal

58-59

5. Grace P, Borley N. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi ketiga.Jakarta :

Erlangga.2006. hal

6. Behrman RE, Kliegnan RM, Arvin AM. Tetanus. Dalam : Wahab AS

editor . Ilmu kesehatan anak nelson. Edisi 15. Jakarta : EGC.1999. Hal

1004-1007

7. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Tetanus. Dalam:Alatas

H,Hassan R editor.. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. jilid 1;Jakarta;

Infomedika ;1985. Hal 568-572

8. Arditayasa Wayan. Clostridium tetani. Diunduh tanggal 08 Desember

2020. Dapat dilihat di URL www.scribd.com

9. Ritarwan Kingking. Tetanus. Diunduh tanggal 08 Desember 2020. Dapat

dilihat di URL www.scribd.com

35

Anda mungkin juga menyukai