PENDARAHAN SUBARACHNOID+AVFISTULA+CCF+ASIMTOMATIK
SEIZURE
Oleh:
Pembimbing:
dr. Hendra Irawan, SpS, FINA
Kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan otak yang parah dan berakibat fatal
pada 50% kasus jika tidak diobati (Speets et al., 2018). Meningitis meningokokus,
yang disebabkan oleh bakteri Neisseria meningitidis (atau N. meningitidis), memiliki
potensi untuk menyebabkan epidemi yang besar. Dua belas jenis dari bakteri tersebut,
yang disebut serogroup, telah diidentifikasi, dan enam diantaranya (jenis A, B, C, W,
X dan Y) dapat menyebabkan epidemi (WHO, 2018). Gejala yang paling umum pada
pasien dengan meningitis adalah leher kaku, demam tinggi, sensitif terhadap cahaya,
kebingungan, sakit kepala, mengantuk, kejang, mual, dan muntah. Selain itu pada
bayi, fontanelle menonjol dan penampilan ragdoll juga sering ditemukan (Piotto,
2019). Meningitis bakterial (penyakit meningitis yang disebabkan oleh bakteri)
berada pada urutan sepuluh teratas penyebab kematian akibat infeksi di seluruh dunia
dan menjadi salah satu infeksi yang paling berbahaya pada anak. Meningitis jenis ini
merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak, dengan perkiraan 115.000
kematian di seluruh dunia pada tahun 2015. Beban penyakit meningokokus terbesar
terjadi di wilayah sub-Sahara Afrika yang dikenal sebagai sabuk meningitis, yang
membentang dari Senegal di barat hingga Ethiopia di timur.
Umur : 56 Tahun
Agama : Islam
3.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Sikap : TDD
Sikap Perhatian : TDD
Ekspresi Muka : TDD
Kontak Psikis : Tidak ada
Status Internus
Status Neurologis
NERVUS CRANIALIS
Kanan Kiri
Penciuman - -
Anosmia - -
Hyposmia - -
Parosmia - -
Kanan Kiri
Visus 6/6 6/6
Campus visi VOD VOS
Anopsia - -
Hemianopsia - -
Diplopia - -
Celah mata - -
Pupil
- Besarnya 3 mm 3 mm
Motorik
- Dahi : - -
- Pipi : - -
- Dagu : - -
Motoric
Sensorik
- 2/3 anterior lidah : Tidak dapat dinilai
Otonom
N. Vestibulocochlearis
N. Cochlearis
Kanan Kiri
Suara bisikan - -
Detik arloji - -
Tes Weber - -
Tes Rinne - -
N. Vestibularis
Nistagmus -
Vertigo -
Suara serak/sengau -
Denyut jantung reguler
Refleks
- Muntah -
- Batuk -
- Okulokardiak -
- Sinus karotikus -
Sensorik
N. Accessorius
Fasikulasi -
Atrofi papil
-
Disartria
-
MOTORIK
MOTORIK
Kanan Kiri
LENGAN
Tonus
Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
MOTORIK
TUNGKAI
Tonus
Klonus
Refleks fisiologis
Refleks patologis
Kanan Kiri
FUNGSI VEGETATIF
Miksi : Tidak dapat dinilai
Defekasi : Tidak dapat dinilai
KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis : Tidak ada
Lordosis : Tidak ada
Gibbus : Tidak ada
Deformitas : Tidak ada
Tumor : Tidak ada
Meningocele : Tidak ada
Hematoma : Tidak ada
Nyeri ketok : Tidak ada
Kernig - -
Laseque - -
Brudzinsky
- I Tidak ada
Histeric : - Tumit-tumit : -
Limping : - Rebound phenomen : -
Steppage : - Dysdiadochokinesis : -
Astasia-Abasia: - Trunk Ataxia :-
Limb Ataxia : -
GERAKAN ABNORMAL
Tremor : Tidak ada
Chorea : Tidak ada
Athetosis : Tidak ada
Ballismus : Tidak ada
Dystoni : Tidak ada
Myocioni : Tidak ada
FUNGSI LUHUR
Afasia motorik : tidak ada
Glukosa darah
GDS 126 < 200 Mg/dl
Asam urat(05/07/2023)
GDS 6,7 2,6-7,2 Mg/dl
Faal Ginjal
Ureum 22 15 – 39 mg/dl H
Creatinin 1,2 0,55 – 1,3 mg/dl
Elektrolit(04/07/2023)
Natrium 142149,2 135-147 mmol/L
Kalium 2,9 3,5-5,0 mmol/L
Chlorida 110,3 95-105 mmol/L H
Profil Lipid (05/07/2023)
Pemeriksaan Hasil Nilai Satuan Ketera
Rujukan ngan
Radiologi(10/07/2023)
CT CEREBRAL
DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis
Diagnosis Banding
- Meningoechepalitis TB
- epilepsi
3.5. TATALAKSANA
Tatalaksana non-farmakologi
3. Brainstem
Berfungsi mengatur seluruh proses kehidupan yang mendasar.
Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan medulla spinalis dibawahnya.
Struktur-struktur fungsional batang otak yang penting adalah jaras asenden
dan desenden traktus longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian-bagian
otak, anyaman sel saraf dan 12 pasang saraf cranial. Batang otak terdiri dari
tiga bagian, yaitu:
a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian teratas
dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum. Saraf kranial
III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah berfungsi dalam hal
mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata,
mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain dan
medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf Kranial (CN)
V diasosiasikan dengan pons.
c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak
yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak juga
di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan medulla,
sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan dari pons dan medulla.4
Sistem Ventrikel 3
Sistem ventricular terdiri dari empat ventriculares; dua ventriculus lateralis (I
& II) di dalam hemispherii telencephalon, ventriculus tertius pada diencephalon dan
ventriculus quartus pada rombencephalon (pons dan med. oblongata). Kedua
ventriculus lateralis berhubungan dengan ventriculus tertius melalui foramen
interventriculare (Monro) yang terletak di depan thalamus pada masing-masing sisi.
Ventriculus tertius berhubungan dengan ventriculus quartus melalui suatu lubang
kecil, yaitu aquaductus cerebri (aquaductus sylvii). Sesuai dengan perputaran
hemispherium ventriculus lateralis berbentuk semisirkularis, dengan taji yang
mengarah ke caudal. Kita bedakan beberapa bagian : cornu anterius pada lobus
frontalis, yang sebelah lateralnya dibatasi oleh caput nuclei caudate, sebelah
dorsalnya oleh corpus callosum; pars centralis yang sempit (cella media) di atas
thalamus, cornu temporale pada lobus temporalis, cornu occipitalis pada lobus
occipitalis.
Pleksus choroideus dari ventrikel lateralis merupakan suatu penjuluran
vascular seperti rumbai pada piamater yang mengandung kapiler arteri choroideus.
Pleksus ini menonjol ke dalam rongga ventrikel dan dilapisi oleh lapisan epitel yang
berasal dari ependim. Pelekatan dari pleksus terhadap struktur-struktur otak yang
berdekatan dikenal sebagai tela choroidea. Pleksus ini membentang dari foramen
interevntrikular, dimana pleksus ini bergabung dengan pleksus-pleksus dari ventrikel
lateralis yang berlawanan, sampai ke ujung cornu inferior (pada cornu anterior dan
posterior tidak terdapat pleksus choroideus). Arteri yang menuju ke pleksus terdiri
dari a. choroidalis ant., cabang a. carotis int. yang memasuki pleksus pada cornu
inferior; dan a. choroidalis post. Yang merupakan cabang-cabang dari a.cerebrum
post.3
A. Definisi
Meningitis didefinisikan sebagai radang pada meningens, selaput
pelindung yang menutupi otak dan korda spinalis (Elzouki, et al, 2012).
Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak Meningoensefalitis
merupakan inflamasi pada jaringan otak dan meningen yang disebut juga
cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis (Dorland, 2002).
Penderita dengan meningoensefalitis dapat menunjukkan kombinasi gejala
meningitis dan ensefalitis (Warlow, 2006).
Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan pada banyak kasus atas dasar
klinik namun keduanya sering bersamaan sehingga disebut meningoensefalitis.
Alasannya yaitu selama meningitis bakteri, mediator radang dan toksin
dihasilkan dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam parenkim otak dan
menyebabkan respon radang jaringan otak. Pada ensefalitis, reaksi radang
mencapai cairan serebrospinal (CSS) dan menimbulkan gejala-gejala iritasi
meningeal di samping gejala-gejala yang berhubungan dengan ensefalitis dan
pada beberapa agen etiologi dapat menyerang meninges maupun otak misalnya
enterovirus .
(Slaven, et al, 2007)
B. Etiologi
Agen penyebab umum meningoensefalitis sebagai berikut:
No Agen Penyebab
Virus
Togaviridae
Alfavirus
Virus Ensefalitis Equine Eastern
Virus Ensefalitis Equine Western
Virus Ensefalitis Equine Venezuela
Flaviviridae
Virus Ensefalitis St. Louis
Virus Powassan
Bunyaviridae
Virus Ensefalitis California
Virus LaCrosse
Virus Jamestown Canyon
Paramyxoviridae
Paramiksovirus
Virus Parotitis
Virus Parainfluenza
Morbilivirus
Virus Campak
Orthomyxoviridae
Influenza A
Influenza B
Arenaviridae
Virus khoriomeningitis limfostik
Picornaviridae
Enterovirus
Poliovirus
Koksakivirus A
Koksakivirus B
Ekhovirus
Rhabdoviridae: Virus Rabies
Retroviridae
Lentivirus: Virus imunodefisiensi manusia tipe 1 dan tipe 2
Herpesviridae: Virus Herpes simpleks 1 & 2, Varicella Zooster, Virus
Epstein Barr Sitomegalovirus
Adenovirus
G. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan:
1. Anamnesis
Awitan gejala akut <24 jam disertai trias meningitis: demam, nyeri kepala
hebat dan kaku kuduk. Gejala lain yaitu mual muntah, fotofobia, kejang
fokal atau umum, gangguan kesadaran. Mungkin dapat ditemukan riwayat
infeksi paru-paru, telinga, sinus atau katup jantung. Pada bayi dan
deonatus, gejala bersifat nonspesifik seperti demam, iritabilitas, letargi,
muntah, dan kejang. Mungkin dapat ditemukan riwayat infeksi maternal,
kelahiran prematur, persalinan lama, dan ketuban pecah dini.
2. Pemeriksaan fisik dan Neurologis
a. Kesadaran bervariasi mulai dari iritabel, somnolen, delirium, atau
koma.
b. Suhu tubuh ≥ 38°C
c. Infeksi ekstrakranial: sinusitis, otitis media, mastoiditis, pneumonia
d. Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Kernig, Brudzinski I dan II
e. Peningkatan TIK: penurunan kesadaran, edema papil, refleks cahaya
pupil menurun, kelumpuhan N. VI, postur dserebrasi, dan reflek
Cushing (bradikardi, hipertensi, dan respirasi ireguler)
f. Defisit neurologik fokal: hemiparesis, kejang fokal maupun umum,
disfasia atau afasia, paresis saraf kranial terutama N. III, N. IV, N. VII,
N. VIII.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan biokimia dan sitologi cairan serebrospinalis (CSS)
Meningitis Meningitis Viras Meningitis
Bakterial TBC
Tekanan Meningkat Biasanya normal Bervariasi
LP
Warna Keruh Jernih Xantokrom
Jumlah sel >1000/ml <100/ml Bervariasi
Jenis sel Predominan Predominan MN Predominan
PMN MN
Sedikit
Protein meningkat Normal/meningkat Meningkat
Normal/menurun
Glukosa Biasanya normal Rendah
Tabel 2. Pemeriksaan biokimia dan sitologi cairan serebrospinalis (CSS)
b. MRI kepala, lebih baik dalam menunjukkan edema dan iskemi pada
otak dibandingkan dengan CT scan. Penambahan kontras gadolinium
menunjukkan “diffuse meningeal ehancment”
H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding meningoensefalitis berdasarkan hasil analisa CSS
J. Prognosis
Prognosis meningoensefalitis bergantung pada kecepatan dan ketepatan
pertolongan, di samping itu perlu dipertimbangkan pula mengenai
kemungkinan penyulit seperti hidrosefalus, gangguan mental, yang dapat
muncul selama perawatan. Bila meningoensefalitis (tuberkulosa) tidak diobati,
prognosisnya jelek sekali. Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu.
Angka kematian pada umumnya 50%. Prognosisnya jelek pada bayi dan orang
tua. Prognosis juga tergantung pada umur dan penyebab yang mendasari,
antibiotik yang diberikan, hebatnya penyakit pada permulaannya, lamanya
gejala atau sakit sebelum dirawat. Tingkat kematian virus mencakup 40- 75%
untuk herpes simpleks, 10-20% untuk campak, dan 1% untuk parotitis
(Harsono, 2005)
Meningitis bakterial yang tidak diobati biasanya berakhir fatal.
Mningitis pneumokokal memiliki laju mortalitas tertinggi yaitu 19-37%. Pada
sekitar 30% pasien yang bertahan hidup, terdapat sekuel defisit neurologis
seperti gangguan pendengaran dan defisit neurologis fokal lain. Individu yang
memiliki faktor risiko prognosis buruk adalah pasien immunocompromised,
usia di atas 65 tahun, gangguan kesadaran, jumlah leukosit CSS yang lebih
rendah, dan infeksi pneumokokus. Gangguan fungsi kognitif terjadi pada
sekitar 27% pasien yang mampu bertahan dari meningitis bakteria (Gogor et al.,
2015).
Prognosis meningitis viral biasanya baik, dengan beberapa kasus
sembuh dalam 7-10 hari. Sesuai dengan diagnosis penyakit itu yang merupakan
penyakit self limited. Pengecualian pada pasien neonatus, dimana meningitis
viral dapat menjadi fatal atau berhubungan dengan beberapa morbiditas
(Cordia, 2015).
Prognosis meningitis tuberkulosis secara luas bergantung pada status
neurologi saat munculnya dan inisiasi waktu terapi. Walau keberlangsungan
meningitis tuberkulosa tidak secepat meningitis karena bakteri piogenik, terapi
empiris tetap harus diterapi secepatnya setelah diagnosis meningitis
tuberkulosis dicurigai karena penanganan yang telat dapat memperburuk
prognosis. Beberapa kasus menunjukkan laju mortalitas sebesar 7-65 % di
negara berkembang, dan hampir 69% pada negara yang belum berkembang.
Risiko mortalitas tinggi pada kasus dengan komorbiditas, adanya keikutsertaan
gejala neurologi berat saat pasien datang, progresivitas penyakit yang cepat, dan
usia sangat muda. Sekuel neurologis terjadi pada hampir 50% pasien yang
sembuh (Grace dan Chan, 2011).
Pasien immunocompromised memiliki faktor predisposisi untuk berkembangnya
meningitis fungal. Prognosis meningitis candidal didapatkan 31% di suatu
penelitian pada orang dewasa dengan HIV dan meningitis candida. Bayi prematur
dengan meningitis candida memiliki laju mortalitas lebih tinggi sebesar 61%
dibandingkan dengan anak yang lebih besar dengan meningitis candida didapat
dari operasi saraf. Infeksi Aspergillus pada sistem saraf pusat hampir seluruhnya
bersifat fatal. Pada serial kasus, periode kesembuhan dari awal didiagnosis hanya
6 hari. Pasien dewasa dengan HIV, mortalitas akibat meningitis cryptococcal
sebesar 40% pada beberapa kasus (Slonim dan Murray, 2006).
BAB IV
ANALISIS MASALAH
Penurunan Kesadaran Peradangan yang terjadi pada selaput otak dan otak bisa
+ 3 hari menyebabkan pembengkakan (edema) dan tekanan
meningkat di dalam tengkorak. Hal ini dapat
menyebabkan kompresi pada struktur otak, termasuk
kumpulan saraf dan pusat pengaturan kesadaran. Ketika
struktur otak terganggu, fungsi normalnya bisa
terhambat, menyebabkan penurunan kesadaran.
Tatalaksana menggunakan diazepam unt
Demam sebelum Infeksi meningoensefalitis sering menyebabkan demam
kejang dan perubahan metabolik di dalam tubuh. Perubahan
suhu tubuh yang drastis dapat berdampak pada fungsi
otak dan sistem saraf, menyebabkan penurunan
kesadaran.
kejang Kejang pada meningoencephalitis Peradangan dapat
menyebabkan perubahan pada reseptor saraf, termasuk
reseptor GABA (Gamma-Aminobutyric Acid), yang
berperan dalam mengurangi aktivitas neuron. Ketika
reseptor GABA terganggu, eksitabilitas neuron
meningkat, yang dapat memicu kejang.
Diazepam bekerja dengan meningkatkan efek GABA
pada reseptornya. Obat ini berinteraksi dengan reseptor
GABA-A dan memperkuat respons saraf terhadap
GABA yang ada di otak. Ketika diazepam terikat pada
reseptor GABA-A, saluran ion klorida akan lebih mudah
dibuka. Ini mengakibatkan masuknya ion klorida ke
dalam sel saraf (hiperpolarisasi), yang menyebabkan sel
saraf menjadi lebih sulit untuk diaktivasi atau merespons
rangsangan dari luar.
Kaku kuduk peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh
peradangan dan penumpukan cairan di sekitar otak, yang
menyebabkan otak berusaha menyesuaikan volume dan
mengakibatkan kekakuan pada leher.
DAFTAR PUSTAKA
Dewanto, George, Wita J. S., Budi R., Yuda T. 2007. Panduan Praktis Diagnosis
dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC
Gogor Mesadona, Anne Dina Soebroto, Riwanti Estiasari. 2015. Diagnosis dan
Tatalaksana Meningitis Bakterialis. CDK-224 vol 42 no 1:15-19
Harsono, 1999. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakartaa: Gadjah Mada University.
Mansjoer, Arif et al. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapis: Jakarta
Mardjono dan Sidharta, 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat
Rampengan, T. H., dan L. R. Laurentz. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak.
Jakarta: EGC
Rudolp, M. Abraham et al. 20006.Buku Ajar Pediatri Rudolp vol1. Jakarta: EGC
Shulman, T. Stanford, 1994. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University