Anda di halaman 1dari 42

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A222025/Juli 2023


** Pembimbing : dr. Hendra Irawan, Sp.S, FINA

PENDARAHAN SUBARACHNOID+AVFISTULA+CCF+ASIMTOMATIK
SEIZURE

Oleh:

Giva Dianisa, S.Ked


G1A222025

Pembimbing:
dr. Hendra Irawan, SpS, FINA

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU SARAF RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2023
BAB I
PENDAHULUAN
Meningitis merupakan salah satu penyakit infeksi yang menakutkan karena
menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi terutama di negara berkembang
sehingga diperlukan pengenalan dan penanganan medis yang serius untuk mencegah
kematian (Addo, 2018). Meningitis merupakan suatu reaksi peradangan yang terjadi
pada lapisan yang membungkus jaringan otak (araknoid dan piameter) dan sumsum
tulang belakang yang disebabkan organisme seperti bakteri, virus, dan jamur.

Kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan otak yang parah dan berakibat fatal
pada 50% kasus jika tidak diobati (Speets et al., 2018). Meningitis meningokokus,
yang disebabkan oleh bakteri Neisseria meningitidis (atau N. meningitidis), memiliki
potensi untuk menyebabkan epidemi yang besar. Dua belas jenis dari bakteri tersebut,
yang disebut serogroup, telah diidentifikasi, dan enam diantaranya (jenis A, B, C, W,
X dan Y) dapat menyebabkan epidemi (WHO, 2018). Gejala yang paling umum pada
pasien dengan meningitis adalah leher kaku, demam tinggi, sensitif terhadap cahaya,
kebingungan, sakit kepala, mengantuk, kejang, mual, dan muntah. Selain itu pada
bayi, fontanelle menonjol dan penampilan ragdoll juga sering ditemukan (Piotto,
2019). Meningitis bakterial (penyakit meningitis yang disebabkan oleh bakteri)
berada pada urutan sepuluh teratas penyebab kematian akibat infeksi di seluruh dunia
dan menjadi salah satu infeksi yang paling berbahaya pada anak. Meningitis jenis ini
merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak, dengan perkiraan 115.000
kematian di seluruh dunia pada tahun 2015. Beban penyakit meningokokus terbesar
terjadi di wilayah sub-Sahara Afrika yang dikenal sebagai sabuk meningitis, yang
membentang dari Senegal di barat hingga Ethiopia di timur.

World Health Organization (WHO) telah melaporkan 26.029 kasus meningitis


di daratan Afrika pada tahun 2016 dengan 2.080 kematian (rasio fatalitas kasus
keseluruhan sebesar 8%). Di negara maju, tingkat kejadian meningitis juga dapat
lebih tinggi, dan hal ini berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi dan tempat
tinggal, khususnya pada komunitas yang terlalu padat dan terpencil. Sebagai contoh
di Australia, tingkat kejadian meningitis yang lebih tinggi teramati dalam populasi
suku Aborigin dan penduduk pribumi Selat Torres di Wilayah Utara (13 kasus per
100.000 orang pada tahun 2017). Insiden meningitis di antara demografi ini secara
konsisten lebih tinggi dari pada yang diamati pada populasi non pribumi di seluruh
Australia, terutama pada anak yang berusia 0– 9 tahun (Australian Departement of
Health, 2018). Insiden invasive meningococcal disease (IMD) atau penyakit
meningokokal invasif hampir sama kondisinya di seluruh wilayah Asia-Pasifik,
berkisar antara 0,02 hingga 0,2 kasus per 100.000 orang per tahun di Filipina hingga
Singapura (Navarro et al., 2019). Namun, ada insiden yang dilaporkan lebih tinggi di
negara tertentu atau dalam sub populasi tertentu. Di Selandia Baru, misalnya, rata-
rata kejadian IMD adalah 2,3 per 100.000 orang pada tahun 2019 dengan kasus
berkisar antara 0,03 hingga 4,5 per 100.000 orang, tergantung pada kesehatan
daerahnya (New Zealand Ministry of Health, 2019). Di Filipina, 75% dari jumlah
total kasus meningitis yang dikonfirmasi adalah mereka yang berusia 0–14 tahun
selama periode 2012–2013 (Philippines-DOH, 2019).
BAB II
LAPORAN KASUS
3.1. IDENTITAS
Nama : Ny. Ropisah

Umur : 56 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Desa Lubuk bangkah, RT 02, Kel, Lubung bangkar

Agama : Islam

MRS Tanggal : 28Juli 2023

3.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama

Penurunan kesadaran sejak 3 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang diantar oleh keluarganya ke IGD RSUD Raden Mattaher 


rujukan dari RS ________ dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 3 hari
SMRS. Keluarga pasieng mengatakan sebelumnya pasien demam selama 5 hari
dan kemudian kejang dirumah. Kejang awalnya hanya pada bagian kiri dan
kemudian menjadi seluruh tubuh. Kejang kelojotoan selama sektiar 30 menit
disertai mata mendelik ke atas. Muntah tidak ada. Sebelumnya pasien sempat
mengeluhkan nyeri kepala

Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat keluhan serupa (-)


 Riwayat stroke (-)
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat trauma (-)
 Riwayat gastritis (-)
 Riwayat keganasan (-)
 Riwayat TB (-)
 Riwayat HIV (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

 Riwayat keluhan serupa (-)


 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat keganasan (-)
 Riwayat TB (-)
 Riwayat HIV (-)

Riwayat Sosial Ekonomi

 Pasien memiliki riwayat suka makan makanan berlemak


 Keseharian pasien tidak lagi bekerja dan suka menghabiskan waktu di rumah
bersama keluarga
 Pasien menggunakan BPJS kelas III

3.3. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalisata

 Kesadaran : GCS 7 (E1M5V2


 Suhu Badan : 36,90C derajat celcius
 Nadi : 96x/ menit
 Pernapasan : 25x/ menit
 TD : 113/78 mmHg
 Saturasi oksigen : 96%
Status Psikiatrikus

 Sikap : TDD
 Sikap Perhatian : TDD
 Ekspresi Muka : TDD
 Kontak Psikis : Tidak ada

Status Internus

 Jantung : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop(-)


 Paru – Paru : vesikuler (+/+), rhonki (+/+), wheezing (-/-)
 Hepar : Dalam batas normal
 Lien : Dalam batas normal
 Extremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik
 Genitalia : Tidak dilakukan

Status Neurologis

NERVUS CRANIALIS

Nervus Olfaktorius : Tidak dapat dimilai

Kanan Kiri

Penciuman - -
Anosmia - -
Hyposmia - -
Parosmia - -

Nervus Optikus : Tidak dapat dinilai

Kanan Kiri
Visus 6/6 6/6
Campus visi VOD VOS
 Anopsia - -

 Hemianopsia - -

 Fundus Oculi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

 Papil edema Tidak dilakukan Tidak dilakukan

 Papil atrofi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

 Perdarahan retina Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Nervi Occulomotorius, Trochlearis dan Abducens : Tidak dapat dinilai


Kanan Kiri

Diplopia - -

Celah mata - -

Ptosis Tidak ada Tidak ada

Sikap bola mata

- Strabismus Tidak ada Tidak ada

- Exophtalmus Tidak ada Tidak ada

- Enophtalmus Tidak ada Tidak ada

- Deviation conjugate Tidak ada Tidak ada

- Gerakan bola mata Bisa kesegala arah Bisa kesegala arah

Pupil

- Bentuknya Bulat Bulat

- Besarnya 3 mm 3 mm

- Isokor/anisokor Isokor Isokor

- Midriasis/miosis Tidak ada Tidak ada


Reflek cahaya

- Langsung : ada ada


- Konsensuil : ada ada
- Akomodasi : ada ada
- Argyl Robertson : Tidak ada Tidak ada

Nervus Trigeminus : Tidak dapat dinilai


Kanan Kiri

Motorik

- Menggigit : Normal Normal


- Trismus : Tidak ada Tidak ada
- Reflek Kornea : Ada Ada

Sensorik : Tidak dapat dinilai

- Dahi : - -
- Pipi : - -
- Dagu : - -

N. Facialis : Tidak dapat dinilai


Kanan Kiri

Motoric

- Mengerutkan dahi : Tidak dapat dinilai


- Menutup mata : Tidak dapat dinilai
- Menunjukkan gigi : Tidak dapat dinilai
- Lipatan nasolabialis : normal normal

Sensorik
- 2/3 anterior lidah : Tidak dapat dinilai

Otonom

- Salivasi : normal Normal


normal
- Lakrimasi : normal
-
- Chovstek’s sign :-

N. Vestibulocochlearis
N. Cochlearis

Kanan Kiri

Suara bisikan - -

Detik arloji - -

Tes Weber - -

Tes Rinne - -

N. Vestibularis

Nistagmus -

Vertigo -

N.Glossopharingeus dan N. Vagus


Arcs pharingeus simetris
Uvula di tengah
Gangguan menelan -

Suara serak/sengau -
Denyut jantung reguler
Refleks
- Muntah -
- Batuk -
- Okulokardiak -
- Sinus karotikus -

Sensorik

- 1/3 belakang lidah Tidak dapat dinilai

N. Accessorius

Mengangkat bahu Tidak dapat dinilai

Memutar bahu Tidak dapat dinilai

: Tidak dapat diperiksa


N. Hypoglossus
Tidak dapat dinilai
Mengulur lidah

Fasikulasi -
Atrofi papil
-
Disartria
-

MOTORIK

MOTORIK
Kanan Kiri
LENGAN

Gerakan Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai


Kekuatan Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

Tonus
Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
MOTORIK
TUNGKAI

Gerakan Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

Kekuatan Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

Tonus

Klonus

 Paha Tidak ada Tidak ada


 Kaki Tidak ada Tidak ada

Refleks fisiologis

 KPR Normal Normal


 APR Normal Normal
 TPR Normal Normal
 BPR Normal Normal

Refleks patologis

 Babinsky (+) (+)


 Caddock (-) (-)
 Oppenheim (-) (-)
 Gordon (-) (-)
 Schaeffer (-) (-)
 Rossolimo (-) (-)
 Mendel Bechterew (-) (-)

Refleks kulit perut : Tidak dapat dinilai

 Atas Tidak dilakukan


 Tengah Tidak dilakukan
 Bawah Tidak dilakukan
 Cremaster Tidak dilakukan

SENSORIK : Tidak dapat dinilai

Kanan Kiri

Raba : Normal Normal

Suhu : Normal Normal

Nyeri : Normal Normal

Tekan : Normal Normal

FUNGSI VEGETATIF
Miksi : Tidak dapat dinilai
Defekasi : Tidak dapat dinilai

KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis : Tidak ada
Lordosis : Tidak ada
Gibbus : Tidak ada
Deformitas : Tidak ada
Tumor : Tidak ada
Meningocele : Tidak ada
Hematoma : Tidak ada
Nyeri ketok : Tidak ada

GEJALA RANGSANG MENINGEAL


Kanan Kiri

Kaku kuduk Ada (+)

Kernig - -

Laseque - -

Brudzinsky

- I Tidak ada

- II Tidak ada Tidak ada

- III Tidak ada Tidak ada

- IV Tidak ada Tidak ada

GAIT DAN KESEIMBANGAN Tidak dapat diperiksa


Ataxia : - Romberg : -
Hemiplegic : - Dysmetri : -
Scissor : - jari-jari : -
Propulsion : - hidung : -

Histeric : - Tumit-tumit : -
Limping : - Rebound phenomen : -
Steppage : - Dysdiadochokinesis : -
Astasia-Abasia: - Trunk Ataxia :-
Limb Ataxia : -

GERAKAN ABNORMAL
Tremor : Tidak ada
Chorea : Tidak ada
Athetosis : Tidak ada
Ballismus : Tidak ada
Dystoni : Tidak ada
Myocioni : Tidak ada

FUNGSI LUHUR
Afasia motorik : tidak ada

Afasia sensorik : tidak ada

Apraksia : tidak ada

Agrafia : tidak ada

Alexia : tidak ada

Afasia nominal : tidak ada

3.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Satuan Keter


rujukan angan
Hematologi Rutin (04/07/2023)
Hemaglobin 14,4 13,4-17,1 g/dl
Hematokrit 40,8 34,5 – 54 %
Eritrosit 51,4 4,5 – 5.5 X 10^6/uL H
MCV 79,4 80 – 96 fL
MCH 28 27 -31 Pg
MCHC 35,3 32 -36 g/dL H
Trombosit 180 150 – 450 X10^3/uL
PCT 0,3 0,150 – %
0,400
Leukosit 23,59 3,98 – 10.04 4-10X10^3/uL H
Hitung Jenis
Neutrofil 29 35-56 X10^3/uL
Lymfosit 6 50-70 X10^3/uL
Monosit 5 20-40 X10^3/uL
Eosinofil 0 2-8 X10^3/uL
Basofil 0 0,5-6 X10^3/uL

Glukosa darah
GDS 126 < 200 Mg/dl

Asam urat(05/07/2023)
GDS 6,7 2,6-7,2 Mg/dl

Pemeriksaan Hasil Nilai Satuan Ketera


rujukan ngan

Faal Ginjal
Ureum 22 15 – 39 mg/dl H
Creatinin 1,2 0,55 – 1,3 mg/dl

Pemeriksaan Hasil Nilai Satuan Ketera


Rujukan ngan

Elektrolit(04/07/2023)
Natrium 142149,2 135-147 mmol/L
Kalium 2,9 3,5-5,0 mmol/L
Chlorida 110,3 95-105 mmol/L H
Profil Lipid (05/07/2023)
Pemeriksaan Hasil Nilai Satuan Ketera
Rujukan ngan

Cholesterol 154 <200 mmol/L


Total
Trigliserida 222 <150 mmol/L
HDL 28 >35 mmol/L L
Cholesterol
LDL 81 0-99 mmol/L H
Cholesterol

Radiologi(10/07/2023)
CT CEREBRAL
DIAGNOSIS

Diagnosis Klinis

- Penurunan kesadaran ec susp meningoecephalitis


Diagnosis Etiologis

- Susp meningoecephalitis bacterialis


Diagnosis Sekunder

- Susp TB paru dd CAP

Diagnosis Banding

- Meningoechepalitis TB
- epilepsi

3.5. TATALAKSANA
Tatalaksana non-farmakologi

1. Pemantuan Tanda vital dan gejala defisit neurologis


2. Bedrest
3. Pemasangan NGT
4. Pemasangan kateter
5. Edukasi keluarga:
a) Penjelasan mengenai faktor resiko
b) Edukasi untuk mencegah stroke berulang seperti:
6. Kebutuhan nutrisi: 20-25kkal/kg/hari. Berat badan pasien ±60 kg=
1200 - 1500kkal/hari. dibagi menjadi karbohidrat (50-60%) = 600-720,
lemak (25-30%) =300-360, dan protein (10-20%) = 120-240.
Tatalaksana Farmakologi

• IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


• Inj dexamethasone 3x10mg tap off dalam 3 hari (3 x 10, 3 x
5, 2 x 5)
• Omeprazole 2 x 1
• Ceftriaxone 2 x 2gr
• Fenitoin 3 x 100mg iv diencerkan
• Mannitol 4 x 100cc
• Azitromicin 1 x 500mg
• Diazepan 1 amp (bila kejang berulang)
3.6. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : Dubia ad malam
 Quo ad functionam : Dubia ad malam
 Quo ad sanationam : Dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANATOMI OTAK


Otak terletak dalam rongga cranium terdiri atas semua bagian system saraf
pusat (SSP) diatas korda spinalis. Secara anatomis terdiri dari cerebrum
cerebellum, brainstem, dan limbic system. Otak merupakan organ yang sangat
mudah beradaptasi meskipun neuron-neuron telah di otak mati tidak mengalami
regenerasi, kemampuan adaptif atau plastisitas pada otak dalam situasi tertentu
bagian-bagian otak mengambil alih fungsi dari bagian – bagian yang rusak. Otak
belajar kemampuan baru, dan ini merupakan mekanisme paling penting dalam
pemulihan stroke.1
Secara garis besar, sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat dan
sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan medulla
spinalis. Sistem saraf disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari
SST adalah menghantarkan informasi bolak balik antara SSP dengan bagian
tubuh lainnya.
Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf, dengan komponen bagiannya
adalah:
1. Cerebrum
Bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang hemisfer kanan dan kiri
dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan sulkus (celah) dan girus.
Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:
- Lobus Frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih tinggi,
seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di
hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian ini mengandung pusat
pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik primer)
dan terdapat area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat
daerah broca yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur
gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif.
- Lobus Temporalis
Mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke bawah dari fisura
laterali dan sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis. Lobus ini
berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual, pendengaran dan
berperan dalam pembentukan dan perkembangan emosi.
- Lobus parietalis
Lobus parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus
postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran.
- Lobus oksipitalis
Lobus Oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi
penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari
nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf
lain & memori.
2. Cerebellum 2
Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih banyak
neuron dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki peran koordinasi
yang penting dalam fungsi motorik yang didasarkan pada informasi
somatosensori yang diterima, inputnya 40 kali lebih banyak dibandingkan
output. Cerebellum merupakan pusat koordinasi untuk keseimbangan dan
tonus otot. Mengendalikan kontraksi otot-otot volunter secara optimal.
Gambar 1. Anatomi Otak

Gambar 2. Anatomi lapisan kepala

3. Brainstem
Berfungsi mengatur seluruh proses kehidupan yang mendasar.
Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan medulla spinalis dibawahnya.
Struktur-struktur fungsional batang otak yang penting adalah jaras asenden
dan desenden traktus longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian-bagian
otak, anyaman sel saraf dan 12 pasang saraf cranial. Batang otak terdiri dari
tiga bagian, yaitu:
a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian teratas
dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum. Saraf kranial
III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah berfungsi dalam hal
mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata,
mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain dan
medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf Kranial (CN)
V diasosiasikan dengan pons.
c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak
yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak juga
di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan medulla,
sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan dari pons dan medulla.4

Sistem Ventrikel 3
Sistem ventricular terdiri dari empat ventriculares; dua ventriculus lateralis (I
& II) di dalam hemispherii telencephalon, ventriculus tertius pada diencephalon dan
ventriculus quartus pada rombencephalon (pons dan med. oblongata). Kedua
ventriculus lateralis berhubungan dengan ventriculus tertius melalui foramen
interventriculare (Monro) yang terletak di depan thalamus pada masing-masing sisi.
Ventriculus tertius berhubungan dengan ventriculus quartus melalui suatu lubang
kecil, yaitu aquaductus cerebri (aquaductus sylvii). Sesuai dengan perputaran
hemispherium ventriculus lateralis berbentuk semisirkularis, dengan taji yang
mengarah ke caudal. Kita bedakan beberapa bagian : cornu anterius pada lobus
frontalis, yang sebelah lateralnya dibatasi oleh caput nuclei caudate, sebelah
dorsalnya oleh corpus callosum; pars centralis yang sempit (cella media) di atas
thalamus, cornu temporale pada lobus temporalis, cornu occipitalis pada lobus
occipitalis.
Pleksus choroideus dari ventrikel lateralis merupakan suatu penjuluran
vascular seperti rumbai pada piamater yang mengandung kapiler arteri choroideus.
Pleksus ini menonjol ke dalam rongga ventrikel dan dilapisi oleh lapisan epitel yang
berasal dari ependim. Pelekatan dari pleksus terhadap struktur-struktur otak yang
berdekatan dikenal sebagai tela choroidea. Pleksus ini membentang dari foramen
interevntrikular, dimana pleksus ini bergabung dengan pleksus-pleksus dari ventrikel
lateralis yang berlawanan, sampai ke ujung cornu inferior (pada cornu anterior dan
posterior tidak terdapat pleksus choroideus). Arteri yang menuju ke pleksus terdiri
dari a. choroidalis ant., cabang a. carotis int. yang memasuki pleksus pada cornu
inferior; dan a. choroidalis post. Yang merupakan cabang-cabang dari a.cerebrum
post.3

Gambar 3. Ventrikel Otak

A. Definisi
Meningitis didefinisikan sebagai radang pada meningens, selaput
pelindung yang menutupi otak dan korda spinalis (Elzouki, et al, 2012).
Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak Meningoensefalitis
merupakan inflamasi pada jaringan otak dan meningen yang disebut juga
cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis (Dorland, 2002).
Penderita dengan meningoensefalitis dapat menunjukkan kombinasi gejala
meningitis dan ensefalitis (Warlow, 2006).
Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan pada banyak kasus atas dasar
klinik namun keduanya sering bersamaan sehingga disebut meningoensefalitis.
Alasannya yaitu selama meningitis bakteri, mediator radang dan toksin
dihasilkan dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam parenkim otak dan
menyebabkan respon radang jaringan otak. Pada ensefalitis, reaksi radang
mencapai cairan serebrospinal (CSS) dan menimbulkan gejala-gejala iritasi
meningeal di samping gejala-gejala yang berhubungan dengan ensefalitis dan
pada beberapa agen etiologi dapat menyerang meninges maupun otak misalnya
enterovirus .
(Slaven, et al, 2007)

B. Etiologi
Agen penyebab umum meningoensefalitis sebagai berikut:
No Agen Penyebab
Virus
Togaviridae
Alfavirus
Virus Ensefalitis Equine Eastern
Virus Ensefalitis Equine Western
Virus Ensefalitis Equine Venezuela
Flaviviridae
Virus Ensefalitis St. Louis
Virus Powassan

Bunyaviridae
Virus Ensefalitis California
Virus LaCrosse
Virus Jamestown Canyon

Paramyxoviridae
Paramiksovirus
Virus Parotitis
Virus Parainfluenza

Morbilivirus
Virus Campak
Orthomyxoviridae
Influenza A
Influenza B

Arenaviridae
Virus khoriomeningitis limfostik

Picornaviridae
Enterovirus
Poliovirus
Koksakivirus A
Koksakivirus B
Ekhovirus
Rhabdoviridae: Virus Rabies

Retroviridae
Lentivirus: Virus imunodefisiensi manusia tipe 1 dan tipe 2
Herpesviridae: Virus Herpes simpleks 1 & 2, Varicella Zooster, Virus
Epstein Barr Sitomegalovirus
Adenovirus

2. Bakteri: Haemophilus influenza, Neisseria menigitidis, Streptococcus


pneumonia, Streptococcus grup B, Listeria monocytogenes, Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, Mycobacterium tuberkulosa
3. Parasit:
Protozoa
Plasmodium falciparum, Toxoplasma gondii, Naegleria fowleri (Primary
amebic meningoencephalitis), Granulomatous amebic encephalitis
Helminthes
Taenia solium, Angiostrongylus cantonensis
Rickettsia
Rickettsia ( Rocky Mountain)
4. Fungi
Criptococcus neoformans
Coccidiodes immitis
Histoplasma capsulatum
Candida species
Aspergillus Paracoccidiodes
Tabel 1. Penyebab meningoensefalitis (Greenberg, 2002)
C. Epidemiologi
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberkulosa
varian hominis dapat terjadi pada segala umur, yang tersering adalah pada anak
umur 6 bulan - 5 tahun (Harsono, 2005). Insiden meningoensefalitis mumps
lebih banyak ditemui pada laki-laki yaitu sekitar 3-5 kali lebih banyak. Usia
yang tersering ialah tujuh tahun dan 40% berusia di atas 15 tahun (Rampengan
dan Laurentz, 1993).
H. influenzae penyebab yang paling sering di Amerika Serikat,
mempunyai insiden tahunan 32-71/100.000 anak di bawah 5 tahun. Insiden
yang tinggi pada populasi ini mungkin juga menggambarkan status sosio-
ekonomi yang rendah, yang beberapa cara tidak diketahui dapat mengurangi
daya tahan terhadap mikroorganisme ini. Insiden dengan infeksi H. influenzae
juga empat kali lebih besar pada orang kulit hitam daripada orang kulit putih
(Shulman, 1994).
D. Faktor Resiko
Faktor risiko dari meningoensefalitis antara lain adanya fraktur terbuka di
daerah kepala sejingga memungkinkan terpapar agen penyebab infeksi. Selain
itu, infeksi di daerah lain seperti sinusitis, otitis media, mastoiditis, dan
tuberkulosis. Orang dengan kondisi immunocompromised sperti pada penderita
HIV juga rentan terkena meningoensefalitis (Mardjono, 2008).
E. Patofisiologi
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui
peredaran darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus, dan kelainan
kardiopulmonal. Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau
berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung
dapat melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan
sinus paranasales. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan
otak. Proses peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada
pembuluh-pembuluh darah, dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah
yang mengalami peradangan timbul edema, perlunakan, dan kongesti jaringan
otak disertai perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian melunak dan
membentuk dinding yang kuat membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling
abses terjadi infiltrasi leukosit polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit.
Seluruh proses ini memakan waktu kurang dari 2 minggu. Abses dapat
membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang
subaraknoid yang dapat mengakibatkan meningitis
(Harsono, 1999)
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-virus
yang melalui parotitis, morbili, varisela, dll. masuk ke dalam tubuh manusia
melalui saluran pernapasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus
herpes simpleks melalui mulut atau mukosa kelamin. Virus-virus yang lain
masuk ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk.
Bayi dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau
cytomegalovirus. Di dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara
lokal, kemudian terjadi viremia yang menyerang susunan saraf pusat melalui
kapilaris di pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf perifer atau secara
retrograde axoplasmic spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks, rabies
dan herpes zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar secara
langsung atau melalui ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat
menyebabkan meningitis aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada
ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi peradangan otak,
edema otak, peradangan pada pembuluh darah kecil, trombosis, dan mikroglia
(Harsono, 1999)
F. Manifestasi Klinis
Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala
meningitis dan ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting)
diikuti oleh perubahan kesadaran, konvulsi, dan kadang-kadang tanda
neurologik fokal, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-
gejala psikiatrik (Tidy, 2012).
Tanda khas untuk meningitis berupa demam mendadak, nyeri kepala
berat, nausea atau muntah, diplopia, rasa mengantuk, sensitif trhadap cahaya
terang, dan kaku leher. Ensefalitis dapat ditandai demam, kejang, perubahan
sikap, kebingungan dan disorientasi., dan tanda neurologis berdasarkan bagian
otak yang terdapat proses ensefalitik. Meningitis kadang muncul sebagai gejala
seperti flu selama 1-2 hari. Ensefalitis kadang menunjukkan gejala flu ringan.
Pada kasus yang lebih parah, pasien dapat mengalami gangguan berbicara atau
pendengaran, diplopia, halusinasi, perubahan sikap, kehilangan kesadaran,
kehilangan rasa sensorik pada bagian tubuh, kelemahan otot, paralisis parsial
lengan dan kaki, demensia berat mendadak, kejang, dan kehilangan memori
(National Institute of Neurological Disorders and Stroke, 2015).
Minimal satu dari gejala kardinal berupa perubahan status mental (GCS
kurang dari 14), demam, kaku kuduk + didapatkan pada 99 % pasien meningitis
yang dapat diikuti dengan nyeri kepala. Tanda Kernig dan Brudzinski positif
kurang sensitif namun memiliki spesifitas tinggi terhadap meningitis bakterial
(David, 2010).

G. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan:
1. Anamnesis
Awitan gejala akut <24 jam disertai trias meningitis: demam, nyeri kepala
hebat dan kaku kuduk. Gejala lain yaitu mual muntah, fotofobia, kejang
fokal atau umum, gangguan kesadaran. Mungkin dapat ditemukan riwayat
infeksi paru-paru, telinga, sinus atau katup jantung. Pada bayi dan
deonatus, gejala bersifat nonspesifik seperti demam, iritabilitas, letargi,
muntah, dan kejang. Mungkin dapat ditemukan riwayat infeksi maternal,
kelahiran prematur, persalinan lama, dan ketuban pecah dini.
2. Pemeriksaan fisik dan Neurologis
a. Kesadaran bervariasi mulai dari iritabel, somnolen, delirium, atau
koma.
b. Suhu tubuh ≥ 38°C
c. Infeksi ekstrakranial: sinusitis, otitis media, mastoiditis, pneumonia
d. Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Kernig, Brudzinski I dan II
e. Peningkatan TIK: penurunan kesadaran, edema papil, refleks cahaya
pupil menurun, kelumpuhan N. VI, postur dserebrasi, dan reflek
Cushing (bradikardi, hipertensi, dan respirasi ireguler)
f. Defisit neurologik fokal: hemiparesis, kejang fokal maupun umum,
disfasia atau afasia, paresis saraf kranial terutama N. III, N. IV, N. VII,
N. VIII.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan biokimia dan sitologi cairan serebrospinalis (CSS)
Meningitis Meningitis Viras Meningitis
Bakterial TBC
Tekanan Meningkat Biasanya normal Bervariasi
LP
Warna Keruh Jernih Xantokrom
Jumlah sel >1000/ml <100/ml Bervariasi
Jenis sel Predominan Predominan MN Predominan
PMN MN
Sedikit
Protein meningkat Normal/meningkat Meningkat
Normal/menurun
Glukosa Biasanya normal Rendah
Tabel 2. Pemeriksaan biokimia dan sitologi cairan serebrospinalis (CSS)

Pada meningitis purulenta, diperoleh hasil pemeriksaan cairan


serebrospinal yang keruh karena mengandung pus, nanah yang
merupakan campuran leukosit yang hidup dan mati, jaringan yang
mati dan bakteri. Infeksi yang disebabkan oleh virus, terjadi
peningkatan cairan serebrospinal, biasanya disertai limfositosis,
peningkatan protein, dan kadar glukosa yang normal.
(Ginsberg, 2007)
Penyebab dengan Mycobacterium tuberkulosa pada
pemeriksaan cairan otak ditemukan adanya protein meningkat, warna
jernih, tekanan meningkat, gula menurun, klorida menurun (Harsono,
2005).
Pemeriksaan cairan serebrospinal pada amuba
meningoensefalitis yang diperiksa secara mikroskopik, mungkin dapat
ditemukan trofozoit amuba (Soedarto, 2003) Penyebab dengan
Toxoplasma gondii didapat protein yang meningkat, kadar glukosa
normal atau turun. Penyebab dengan Criptococcal, tekanan cairan
otak normal atau meningkat, protein meningkat, kadar glukosa
menurun (Savitz, 2009) Lumbal pungsi tidak dilakukan bila terdapat
edema papil, atau terjadi peningkatan tekanan intrakranial (Muttagin,
2008). Pada kasus seperti ini, pungsi lumbal dapat ditunda sampai
kemungkinan massa dapat disingkirkan dengan melakukan
pemindaian CT scan atau MRI kepala
b. Pewarnaan gram CSS. Merupakan pemeriksaan yang cepat, murah,
hasil bergantung pada bakteri penyebab dengan sensitifitas 60-90%,
spesifik ≥ 97%
c. Kultur cairan serebrospinalis untuk mengidentifikasi kuman namun
membutuhkan waktu yang lama (48 jam)
d. PCR, deteksi asam nukleat bakteri apda CSS, tidak dipengaruhi terapi
antimikroba yang telah diberikan dengan sensitivitas 100% dan
spesifitas 98,2%
4. Pencitraan
a. CT scan kepala pada permulaan penyakit, CT scan dapat normal.
Adanya eksudat purulen di basal, ventrikel yang mengecil disertai
edema otak, atau ventrikel yang membesar akibat obstruksi cairan
serebrospinalis. Jika penyakit berlanjut, dapat terlihat adanya daerah
infark akibat vaskulitis. Indikasi CT scan sebelum LP: defisit
neurologis fokal, kejang pertama kali, edema papil, penurunan
kesadaran, dan penekanan status imun.

Gambar 1. Hasil CT-Scan Meningitis viral (Rodrigo, 2015)


Ga
mbar 2. Hasil CT Scan Meningitis Bakterial (Rodrigo, 2015)

Gambar 3. Hasil CT-Scan Meningitis Bakterial (Rodrigo, 2015)


Gambar 4. Hasil CT-Scan Encephalitis (Rodrigo, 205)

b. MRI kepala, lebih baik dalam menunjukkan edema dan iskemi pada
otak dibandingkan dengan CT scan. Penambahan kontras gadolinium
menunjukkan “diffuse meningeal ehancment”
H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding meningoensefalitis berdasarkan hasil analisa CSS

Gambar 5. Diagnosis Banding Meningoensefalitis


I. Penatalaksanaan
Jika pasien dalam keadaan syok atau hipotensi, segera berikan cairan
kristaloid sampai didapatkan keadaan euvolemia. Jika ada perubahan status
mental, perlu diperhatikan akan adanya kejang. Adanya kecurigaan meningitis
akut, perlu dilakukan pungsi lumbal dan pemeriksaan analisa cairan
seerebrospinal untuk mengidentifikasi organisme kausatif. CT-scan kepala
perlu dilakukan sebelum pungsi lumbal jika terdapat indikasi untuk melihat
apakah terdapat edema serebri, atau massa. Terapi awal dengan antibiotik
empiris perlu diberikan tanpa menunggu dilakukannya pemeriksaan penunjang
lebih dahulu. Beberapa kasus menganjurkan diberikannya dexametason
sebelum diberikan antibiotik dosis awal. dosis antibiotik empiris pada usia 7-50
tahun yaitu:
- Cefotaxim 50mg/kg IV per 6 -12 jam
- Ceftriaxone 75mg/kg, diturunkan 50 mg/kg setiap 12 jam
Dosis dewasa yang dapat diberi:
- Cefotaxim 2gr IV per 4 jam
- Ceftriaxon 2 gr IV per 12 jam
- Vancomycin 750-1000mg IV per 12 jam
(Rodrigo, 2015)
Durasi terapi antibiotik bergantung pada bakteri penyebab, keparahan penyakit, dan
jenis antibiotik yang digunakan. Meningitis meningokokal epidemik dapat diterapi
secara efektif dengan satu dosis ceftriaxone intramuskuler sesuai dengan rekomendasi
WHO. Namun WHO merekomendasikan terapi antibiotik paling sedikit selama 5 hari
pada situasi nonepidemik atau jika terjadi koma atau kejang yang bertahan selama
lebih dari 24 jam. Autoritas kesehatan di banyak negara maju menyarankan terapi
antibiotik minimal 7 hari untuk meningitis meningokokal dan haemofilus; 10-14 hari
untuk terapi antibiotic pada meningitis pneumokokal (Gogor, 2015).
Gambar 6. Bagan Penatalaksanaaan Meningitis Bakterial (Dewanto et al, 2007).
Terapi adjuvant deksametason baik diberikan 10-20 menit sebelum, atau
bersamaan dengan dosis prtama antimikroba, dengan dosis 0,15 mg/kgbb setiap
6 jam selama 2-4 hari. Terapi ini direkomendasikan terutama pada pasien
meningitis dewasa akibat pneumococcus, atau pada pasien dengan tingkat
keparahan sedang-berat (GCS ≤ 11). Pemberian dilanjutkan lebih dari 4 hari
hanya jika pewarnaan gram CSS menunjukkan hasil diplococcus gram-negatif,
atau jika kultur darah atau CSS positif untuk S. pneumoniae
(Dewanto et al, 2007)
Untuk pengobatan meningitis tuberkulosis (MT), The British Thoracic
Society merekomendasikan pengobatan (MT) mengikuti model kemoterapi TB
paru intensif dengan pemberian 4 obat diikuti dengan 2 obat pada fase lanjutan.
Jika diagnosis dini MT meragukan, dapat diberikan antibiotik spektrum luas
(misalnya seftriakson 2x2gr). Bila pungsi lumbal tidak dapat segera dilakukan,
dapat dilakukan pengambilan darah untuk kultur sebelum pemberian antibiotik.
Pungsi lumbal sebaiknya dilakukan sebelum atau dalam waktu 2 jam setelah
pemberian antibiotik. Evaluasi klinis dilakukan selama 48 jam dan sebaiknya
dilakukan pungsi lumbal kedua. Setelah pemberian antibiotik spektrum luas
dalam 48 jam, lakukan evaluasi untuk kemungkinan diagnosis MT. Pasien
kemungkinan didiagnosis MT jika: riwayat nyeri >7 hari, neutrofil darah <80%,
neutrofil CSS <80% dan peningkatan perbandingan glukosa di CSS/darah
<100%.
Obat Dosis harian Lama pemberian
Anak Dewasa
Isoniazid 5 mg/kg 300 mg 9-12 bulan
Rifampisin 20 mg/kg 450 mg (<50kg) 9-12 bulan
600 mg (>50)
Pirazinamid 35 mg/kg 1500 mg (<50) 2 bulan
2000 mg (>50)
Etambutol 15 mg/kg 15 mg/kg 2 bulan
Streptomisin 15 mg/kg 15 mg/kg (maks 2 bulan
1 gram)
Tabel 3. Panduan terapi Meningitis Tuberkulosa
Penggunaan Steroid
Pemberian steroid masih kontroversial pada pasien MT, namun beberapa
pnelitian terakhir menunjukkan peranan yang positif. Pemberian deksametason
pada MT drajat 2 dan 3 tanpa infeksi HIV mengurangi risiko kematian namun
tidak mengurangi disablitias berat pada pasien yang masih bertahan bertahan
hidup. Cara Pemberian daksametason:
Minggu I : 0,4mg/kg/hari
Minggu II : 0,3mg/kg/hari
Minggu III : 0,2mg/kg/hari
Minggu IV : 0,1mg/kg/hari
Terapi deksametason dilanjut oral selama 4 minggu, dimulai dengan dosis
4mg/hari kemudian diturunkan 1mg/minggu

Penatalaksanaan Meningonsefalitis Viral


Pemberian antiviral adalah untuk meringankan gejala klinis, mencegah
komplikasi, dan mencegah timbulnya gejala sisa. Penggunaan asiklovir harus
didahului dengan pemeriksaan kreatinin. Dosis asiklovir digunakan selama 14-
21 hari yaitu 10mg.kg IV per 8 jam. Selain it u diberikan kortikosteroid pasca
ensefalits menggunakan deksametason, dewasa: 10mg IV per 6 jam, anak 0,15
mg.kg IV per 6 jam
(Dewanto et al., 2007)

J. Prognosis
Prognosis meningoensefalitis bergantung pada kecepatan dan ketepatan
pertolongan, di samping itu perlu dipertimbangkan pula mengenai
kemungkinan penyulit seperti hidrosefalus, gangguan mental, yang dapat
muncul selama perawatan. Bila meningoensefalitis (tuberkulosa) tidak diobati,
prognosisnya jelek sekali. Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu.
Angka kematian pada umumnya 50%. Prognosisnya jelek pada bayi dan orang
tua. Prognosis juga tergantung pada umur dan penyebab yang mendasari,
antibiotik yang diberikan, hebatnya penyakit pada permulaannya, lamanya
gejala atau sakit sebelum dirawat. Tingkat kematian virus mencakup 40- 75%
untuk herpes simpleks, 10-20% untuk campak, dan 1% untuk parotitis
(Harsono, 2005)
Meningitis bakterial yang tidak diobati biasanya berakhir fatal.
Mningitis pneumokokal memiliki laju mortalitas tertinggi yaitu 19-37%. Pada
sekitar 30% pasien yang bertahan hidup, terdapat sekuel defisit neurologis
seperti gangguan pendengaran dan defisit neurologis fokal lain. Individu yang
memiliki faktor risiko prognosis buruk adalah pasien immunocompromised,
usia di atas 65 tahun, gangguan kesadaran, jumlah leukosit CSS yang lebih
rendah, dan infeksi pneumokokus. Gangguan fungsi kognitif terjadi pada
sekitar 27% pasien yang mampu bertahan dari meningitis bakteria (Gogor et al.,
2015).
Prognosis meningitis viral biasanya baik, dengan beberapa kasus
sembuh dalam 7-10 hari. Sesuai dengan diagnosis penyakit itu yang merupakan
penyakit self limited. Pengecualian pada pasien neonatus, dimana meningitis
viral dapat menjadi fatal atau berhubungan dengan beberapa morbiditas
(Cordia, 2015).
Prognosis meningitis tuberkulosis secara luas bergantung pada status
neurologi saat munculnya dan inisiasi waktu terapi. Walau keberlangsungan
meningitis tuberkulosa tidak secepat meningitis karena bakteri piogenik, terapi
empiris tetap harus diterapi secepatnya setelah diagnosis meningitis
tuberkulosis dicurigai karena penanganan yang telat dapat memperburuk
prognosis. Beberapa kasus menunjukkan laju mortalitas sebesar 7-65 % di
negara berkembang, dan hampir 69% pada negara yang belum berkembang.
Risiko mortalitas tinggi pada kasus dengan komorbiditas, adanya keikutsertaan
gejala neurologi berat saat pasien datang, progresivitas penyakit yang cepat, dan
usia sangat muda. Sekuel neurologis terjadi pada hampir 50% pasien yang
sembuh (Grace dan Chan, 2011).
Pasien immunocompromised memiliki faktor predisposisi untuk berkembangnya
meningitis fungal. Prognosis meningitis candidal didapatkan 31% di suatu
penelitian pada orang dewasa dengan HIV dan meningitis candida. Bayi prematur
dengan meningitis candida memiliki laju mortalitas lebih tinggi sebesar 61%
dibandingkan dengan anak yang lebih besar dengan meningitis candida didapat
dari operasi saraf. Infeksi Aspergillus pada sistem saraf pusat hampir seluruhnya
bersifat fatal. Pada serial kasus, periode kesembuhan dari awal didiagnosis hanya
6 hari. Pasien dewasa dengan HIV, mortalitas akibat meningitis cryptococcal
sebesar 40% pada beberapa kasus (Slonim dan Murray, 2006).
BAB IV
ANALISIS MASALAH

Analisa Masalah Pembahasan

Penurunan Kesadaran  Peradangan yang terjadi pada selaput otak dan otak bisa
+ 3 hari menyebabkan pembengkakan (edema) dan tekanan
meningkat di dalam tengkorak. Hal ini dapat
menyebabkan kompresi pada struktur otak, termasuk
kumpulan saraf dan pusat pengaturan kesadaran. Ketika
struktur otak terganggu, fungsi normalnya bisa
terhambat, menyebabkan penurunan kesadaran.
 Tatalaksana menggunakan diazepam unt
Demam sebelum  Infeksi meningoensefalitis sering menyebabkan demam
kejang dan perubahan metabolik di dalam tubuh. Perubahan
suhu tubuh yang drastis dapat berdampak pada fungsi
otak dan sistem saraf, menyebabkan penurunan
kesadaran.
kejang  Kejang pada meningoencephalitis Peradangan dapat
menyebabkan perubahan pada reseptor saraf, termasuk
reseptor GABA (Gamma-Aminobutyric Acid), yang
berperan dalam mengurangi aktivitas neuron. Ketika
reseptor GABA terganggu, eksitabilitas neuron
meningkat, yang dapat memicu kejang.
 Diazepam bekerja dengan meningkatkan efek GABA
pada reseptornya. Obat ini berinteraksi dengan reseptor
GABA-A dan memperkuat respons saraf terhadap
GABA yang ada di otak. Ketika diazepam terikat pada
reseptor GABA-A, saluran ion klorida akan lebih mudah
dibuka. Ini mengakibatkan masuknya ion klorida ke
dalam sel saraf (hiperpolarisasi), yang menyebabkan sel
saraf menjadi lebih sulit untuk diaktivasi atau merespons
rangsangan dari luar.
Kaku kuduk  peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh
peradangan dan penumpukan cairan di sekitar otak, yang
menyebabkan otak berusaha menyesuaikan volume dan
mengakibatkan kekakuan pada leher.
DAFTAR PUSTAKA

David M. B. 2010. Diagnosis, Initial Management, and Prevention of Meningitis.


Am Fam Phys: 15:82 (!2):1491-1498

Dewanto, George, Wita J. S., Budi R., Yuda T. 2007. Panduan Praktis Diagnosis
dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC

Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC: Jakarta

Elzouki, A. Y., et al. 2012. Textbook of Clinical Pediatrics. Springer: Berlin

Ginsbrg, L. 2007. Lecture Notees Neurologi. Edisi 8. Jakarta: Erlangga

Gogor Mesadona, Anne Dina Soebroto, Riwanti Estiasari. 2015. Diagnosis dan
Tatalaksana Meningitis Bakterialis. CDK-224 vol 42 no 1:15-19

Grace E. M. dan Edward. D. Chan. 2011. Tuberculous Meningitis: Diagnosis and


Treatment Overview. Tuberculosis Reasearch and Treatment vol 2011 pg 1-9

Greenberg, David. 2002. A Lange Medical Book Clinical Neurology, edisi 5.


McGraw Hill: USA

Harsono, 1999. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakartaa: Gadjah Mada University.

Harsono. 2005. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press.

Mansjoer, Arif et al. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapis: Jakarta

Mardjono dan Sidharta, 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat

Muttagin, 2008. Asuhan Kepeerawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.


Jakarta: Salemba Medika

National Institute of Neurological Disorders and Stroke. 2015. Meningitis and


Encephalitis. www.ninds.nih.gov

Rampengan, T. H., dan L. R. Laurentz. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak.
Jakarta: EGC

Rodrigo, Hasbun. 2015. Meningitis. www.emedicine.medscape.com (diakses


November 2015

Rudolp, M. Abraham et al. 20006.Buku Ajar Pediatri Rudolp vol1. Jakarta: EGC
Shulman, T. Stanford, 1994. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University

Slaven, Ellen M. t al. 2007. Infectious Diseases: Emergency Department Diagnosis


and Management. Edisi Prtama. McGraw Hill: North America

Slonim, A. D. dan Murray M. P. 2006. Pediatric Critical Care Medicine.


Philadelphia: William & Wilkins

Soedarto. 2007. Sinopsis Kedokteran Tropis. Surabaya: Airlangga University Press

Tidy, Colin. 2012. Encephalitis and Meningoencephalitis.


www.patient.co.ik/doctor/EncphalitisandMeningoencephalitis.html

Warlow, Charles. 2006. The Lancet Handbook of Tratment in Neurology.


Elsevier:USA

Anda mungkin juga menyukai