Anda di halaman 1dari 34

Case Base Discussion

Guillian Barre Syndrome

Pembimbing:
dr. Luh Kadek Trisna Lestari, M.Biomed, Sp.S

Di susun oleh:
Moch. Azwar Andi Pawata 12.06.0009

Dalam Rangka Menjalani Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Neurologi Rumah Sakit Umum Daerah Bangli
Universitas Islam Al-Azhar Mataram
Fakultas Kedokteran
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
makalah Case Based Disscussion pada stase neurologi. Dimana dalam penyusunan
makalah ini bertujuan agar Dokter Muda FK Unizar dapat memahami isi dari makalah ini
sehingga dapat bermanfaat.

Tidak lupa juga kami mengucapakan terima kasih kepada dokter yang menjadi
pembimbing saya juga teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini sehingga saya dapat menyelesaikannya dengan hasil yang
memuaskan.

Dalam penyusunan makalah ini saya menyadari bahwa masih banyak


kekurangannya sehingga saya menginginkan saran dan kritik yang membangun dalam
menyempurnakan makalah ini.

Mataram, Juni 2020

Penyusun

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Guillain Barré Syndrome (GBS) atau bisa juga disebut sebagai Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada
susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan
saraf tepi, yang didahului oleh suatu infeksi (Bahrudin, 2013). Penyakit ini merupakan
autoimun dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel sarafnya sendiri sehingga
menimbulkan peradangan dan kerusakan pada sel-sel saraf tepi (mielin dan akson) yang
dapat menyebabkan kelumpuhan motorik dan gangguan sensorik (Lanello, 2005).

GBS termasuk penyakit langka dan jarang terjadi hanya 1 atau 2 kasus per
100.000 populasi di dunia tiap tahunnya dan penyakit ini terjadi sepanjang tahun serta
dapat menyerang hampir semua usia dan genetik (Nyati & Nyati, 2013; Rosen, 2016)
serta insidensi pada tiap negara sangat bervariasi (van den Berg et al., 2014). Insiden
keseluruhan telah diperkirakan berkisar 0,4-2,4 kasus per

100.000 per tahun, dengan 3.500 kasus baru per tahun terjadi di Amerika Serikat
(Rosen, 2016). Sementara insiden terjadinya GBS di Indonesia, pada akhir tahun 2010-
2011 tercatat ada 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai variannya.
Dibandingkan tahun sebelumnya memang terjadi peningkatan sekitar 10% (Pdpersi,
2012; Hakim, 2011). Angka kematian dari GBS dapat meningkat sebesar 1,3 kali pada
laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Angka morbiditas menunjukkan bahwa
sekitar 15-20% dari pasien mengalami penurunan fungsi neurologis dan sekitar 1-10%
mengalami cacat permanen (Andary et al., 2016).

Penyebab GBS masih belum diketahui pasti, tetapi diperkirakan terjadi akibat respons
autoimun terhadap sel saraf perifer yang dapat dicetuskan oleh infeksi bakteri atau virus
(Nyati & Nyati, 2013). Sebanyak 2/3 dari pasien GBS dilaporkan mengalami saluran
infeksi pernafasan atas atau saluran cerna yang selanjutnya dapat berkembang menjadi
GBS. Sebanyak 30% pasien mengalami GBS yang didahului oleh infeksi Compylobacter
jejuni dan sebanyak 10% terinfeksi Cylomegalovirus (Yuki & Hartung, 2012)

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


 Nama : HR
 Umur : 26 tahun
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Status Perkawinan : Sudah menikah
 Pekerjaan : IRT
 Agama : Hindu
 Suku Bangsa : Bali
 Alamat : Br. Jehem Kaja
2.2 Anamnesis
 Keluahan utama : kedua tungkai lemah bila degerakan.
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Bangli diantar keluarga dengan keluhan lemah pada
kedua tungkai bawah sejak 1 hari yang lalu. Pasien mengatakan 4 hari sebelum masuk
rumah sakit rasa lemah pada kedua tungkai diawali dengan rasa kesemutan kemudian
perlahan lahan timbul rasa baal menjalar dari ujung kaki ke pangkal paha dan menjalar
ke ekstremitas atas, kesemutan yang dirasakan seperti ditusuk tusuk jarum. Kesemutan
dan baal tersebut dirasakan terus menerus, tidak membaik dengan istrahat dan saat
dipijat dengan balsam. Pasien juga mengaku 2 minggu sebelum muncul keluhan
lemah pada kedua tungkai mengalami demam, batuk, pilek dan sakit pada tenggorokan
dan sekarang keluhan membaik. Pasien saat ini tidak bisa beraktivitas dan hanya
berbaring akibat rasa lemah pada kedua tungkainya. Pasien tidak merasakan nyeri
kepala, pusing berputar putar atau kejang. Bengkak dan kemerahan pada ekstremitas
disangkal pasien. Wajah perot (-), lateralisasi (-), penurunan kesadaran (-), sesak napas
(-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK normal.
 Riwayat penyakit dahulu : sekitar 2 minggu sebelum kelemahan, kesemutan dan
baal timbul pasien mengaku demam, batuk, pilek dan sakit tenggorokan.
 Riwayat keluhan serupa : disangkal
 Riwayat DM : disangkal
 Riwayat stroke ` : disangkal
 Riwayat tekana darah tinggi : disangkal
 Riwayat batuk lama : disangkal
 Riwayat trauma : disangkal
 Riwayat operasi : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat penyakit ginjal : disangkal
 Riwayat Penyakit Keluarga : Dari keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa.
 Riwayat keluhan serupa : disangkal
 Riwayat DM : disangkal
 Riwayat stroke ` : disangkal
 Riwayat tekana darah tinggi : disangkal
 Riwayat batuk lama : disangkal
 Riwayat trauma : disangkal
 Riwayat operasi : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat penyakit ginjal : disangkal
 Riwayat Pribadi dan Sosial :
 Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga.
 Pasien menyangkal meminum minuman keras atau rokok secara rutin.
 Pasien menyangkal memakai obat obatan terlarang secara rutin.
 Riwayat pengobatan :
 Pasien belum mengkonsumsi obat apapun untuk keluhan saat ini.
2.3 Pemeriksaan Fisik
 Status internus
Kesadaran : GCS 15 (E:4, M:5, V:6)
Gizi : Baik
Tekanan darah :110/80 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Suhu : 36,5ºC
Respirasi : 20 x/menit
Berat badaan : 45 kg
Tinggi badan : 145 cm
Saturasi O2 : 98%
 Status Psikiatrikus
Sikap : kooperatif
Perhatian : ada
Ekspresi muka : wajar
Kontak psikis : ada
 Status Generalis dan Lokalis
Kepala : Normosefali, rambut berwarna hitam distribusi merata.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
3mm/3mm.
Hidung : Deformitas (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), deviasi septum (-),
sekret (-/-).
Telinga : Normotia (+/+), nyeri tekan (-/-), nyeri tarik (-/-), sekret (-/-).
Mulut : simetris, kering (-), sianosis (-).
Tenggorokan : Trismus (-), arkus faring simetris, hiperemis (-), uvula di tengah.
Leher
Inspeksi : Tidak terdapat tanda trauma maupun massa
Palpasi : Tidak terdapat pembesaran KGB maupun kelenjar tiroid, tidak
terdapat deviasi trachea. JVP 5+2 mmH2O.
Toraks
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
Batas atas kiri : ICS II garis parasternal sinsitra dengan bunyi redup.
Batas atas kanan : ICS II garis parasternal dekstra dengan bunyi redup.
Batas bawah kiri : ICS V ± 1cm medial garis midklavikula sinistra dengan
bunyi redup.
Batas bawah kanan : ICS IV garis parasternal dekstra dengan bunyi redup.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-).
 Paru
Inspeksi : Dinding toraks simetris pada saat statis maupun dinamis, retraksi
otot-otot pernapasan (-).
Palpasi : Vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri.
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-) .
Abdomen
Inspeksi : Perut datar, massa (-), pulsasi abnormal (-).
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-).
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen.
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Ekstremitas
Superior : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis (-/-) akral
hangat (+/+), oedem (-/-), CRT < 2 detik.
Inferior : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis (-/-) akral
hangat (+/+), odem (-/-), CRT < 2 detik.
 Status Neurologis
a. Tanda Rangsang Meningeal
Kanan Kiri
Kaku kuduk (-)
Kerniq (-) (-)
Lasseque (-) (-)
Brudzinsky
Neck (-)
Cheek (-)
Symphisis (-)
Leg I (-)
Leg II (-)
b. Nervus Kranialis

N. Olfaktorius Kanan Kiri


Penciuman tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Anosmia (-) (-)
Hyposmia (-) (-)
Parosmia (-) (-)

N.Opticus Kanan Kiri


Visus 6/6 6/6
Campus visi V.O.D V.O.S

normal normal

Kanan Kiri
Anopsia (-) (-)
Hemianopsia (-) (-)
Melihat warna : Normal Normal
Scotoma : (-) (-)
Fundus Oculi :
Papil edema : Tidak ada Tidak ada
Papil atrofi : Tidak ada Tidak ada
Perdarahan retina : Tidak ada Tidak ada
N. Occulomotorius, Trochlearis dan Abducens
Kanan Kiri
Diplopia (-) (-)
Celah mata Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Ptosis (-) (-)

Sikap bola mata


 Strabismus (-) (-)
 Exophtalmus (-) (-)
 Enophtalmus (-) (-)
 Deviation conjugae (-) (-)
 Gerakan bola mata baik ke segala arah baik ke segala arah
Pupil
 Bentuknya bulat bulat
 Besarnya Ø 3 mm Ø 3 mm
 Isokori/anisokor isokor
 Midriasis/miosis (-) (-)
Refleks cahaya
 Langsung (+) (+)
 Konsensuil (+) (+)
 Akomodasi (+) (+)
N.Trigeminus
Kanan Kiri
Motorik
 Menggigit tidak ada kelainan tidak ada kelainan
 Trismus tidak ada kelainan tidak ada kelainan
 Refleks kornea tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Sensorik
 Dahi tidak ada kelainan tidak ada kelainan
 Pipi tidak ada kelainan tidak ada kelainan
 Dagu tidak ada kelainan tidak ada kelainan
N.Facialis
Kanan Kiri
Motorik
 Mengerutkan dahi tidak ada kelainan tidak ada kelainan
 Menutup mata tidak ada kelainan tidak ada kelainan
 Menunjukkan gigi tidak ada kelainan tidak ada kelainan
 Lipatan nasolabialis tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Bentuk Muka
 Istirahat tidak ada kelainan
 Berbicara/bersiul tidak ada kelainan
Sensorik
 2/3 depan lidah tidak ada kelainan
Otonom
 Salivasi tidak ada kelainan
 Lakrimasi tidak ada kelainan
 Chvostek’s sign (-) (-)
N. Cochlearis Kanan Kiri
 Suara bisikan tidak ada kelainan
 Detik arloji tidak ada kelainan
 Tes Weber tidak ada kelainan
 Tes Rinne tidak ada kelainan
N. Vestibularis
 Nistagmus (-) (-)
 Vertigo (-) (-)
N. Glossopharingeus dan N. Vagus
kanan kiri
 Arcus pharingeus tidak ada kelainan
 Uvula tidak ada kelainan
 Gangguan menelan tidak ada kelainan
 Suara serak/sengau tidak ada kelainan
 Denyut jantung tidak ada kelainan
Refleks
 Muntah +
 Batuk +
 Okulokardiak +
 Sinus karotikus +
Sensorik
 1/3 belakang lidah tidak ada kelainan
N. Accessorius
Kanan Kiri
 Mengangkat bahu tidak ada kelainan tidak ada kelainan
 Memutar kepala tidak ada kelainan tidak ada kelainan
N. Hypoglossus
Kanan Kiri
 Mengulur lidah tidak ada kelainan
 Fasikulasi (-)
 Atrofi papil (-)
 Disartria (-)
c. Pemeriksaan Motorik Anggota Gerak Atas

LENGAN Kanan Kiri


Gerakan Kurang Kurang
Kekuatan 4 4
Tonus Menurun Menurun
Refleks fisiologis
Biceps + +
Triceps + +
Radius + +
Ulna + +
Refleks patologis
Hoffman Ttromner (-) (-)
Leri (-) (-)
Meyer (-) (-)
Trofik eutrofik eutrofik
d. Pemeriksaan ekstremitas bawah

TUNGKAI Kanan Kiri


Gerakan Kurang Kurang
Kekuatan 3 3
Tonus Menurun Menurun
Klonus
Paha (-) (-)
Kaki (-) (-)
Refleks fisiologis
KPR - -
APR - -
Refleks patologis
Babinsky (-) (-)
Chaddock (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Stransky (-) (-)
Gondo (-) (-)
Bing (-) (-)
Rossolimo (-) (-)
Mendel Bechterew (-) (-)
Refleks kulit perut
Atas tidak ada kelainan
Tengah tidak ada kelainan
Bawah tidak ada kelainan
Refleks cremaster tidak ada kelainan
Trofik tidak ada kelainan
e. Sensorik
 Ekstermitas atas
Kanan Kiri
Perasa raba normal menurun
Perasa nyeri normal menurun
Perasa suhu normal menurun
Perasa proprioseptif normal menurun
Perasa vibrasi normal menurun
Stereognosis normal menurun
Grafestesia normal menurun
Topognosis normal menurun
Parastesia + +

 Ekstremitas bawah
Kanan Kiri
Perasa raba menurun menurun
Perasa nyeri menurun menurun
Perasa suhu menurun menurun
Perasa proprioseptif menurun menurun
Perasa vibrasi menurun menurun
Stereognosis menurun menurun
Grafestesia menurun menurun
Topognosis menurun menurun
Parastesia + +
f. Fungsi vegetatif
Miksi : tidak ada kelainan
Defekasi : tidak ada kelainan
Ereksi : tidak ada kelainan
g. Kolumna vertebralis
Kyphosis : (-)
Lordosis : (-)
Gibbus : (-)
Deformitas : (-)
Tumor : (-)
Meningocele : (-)
Hematoma : (-)
Nyeri ketok : (-)
h. Gait dan keseimbangan
Gait
Ataxia : Belum dapat dinilai
Hemiplegic : Belum dapat dinilai
Scissor : Belum dapat dinilai
Staggering : Belum dapat dinilai
Clumsy : belum dapat dinilai
Propulsion : Belum dapat dinilai
Histeric : Belum dapat dinilai
Limping : Belum dapat dinilai
Steppage : Belum dapat dinilai
Keseimbangan dan Koordinasi
Romberg : belum dapat dinilai
Berjalan lurus : belum dapat dinilai
Berjalan memutar : belum dapat dinilai
Berjalan mundur : belum dapat dinilai
Lari ditempat :-
Tes jari-jari :-
Tes jari-hidung :-
Tes tumit-tumit :-
i. GERAKAN ABNORMAL
Tremor : (-)
Chorea : (-)
Athetosis : (-)
Ballismus : (-)
Dystoni : (-)
Myocloni : (-)
j. FUNGSI LUHUR
Afasia motorik : (-)
Afasia sensorik : (-)
Apraksia : (-)
Agrafia : (-)
Alexia : (-)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah rutin

Test Value Referance range Remarks


WBC 8.8 3.5 - 10.0 g/dl Normal

LYM 2.7 0.5 – 5.0 g/dl Normal

LYM% 32.2 20.0 - 50.0 g/dl Normal


MID 0.4 0.1 – 1.5 g/dl Normal

MID% 5.7 2.0 – 15.0 g/dl Normal

GRA 5.3 1.2 - 8.0 g/dl Normal

GRA% 62.1 35.0 – 80.0 g/dl Normal

HGB 13.9 11.5 - 16.5 g/dl Normal

MCH 27.9 25.0 – 35.0 Normal

MCHC 33.6 31.0 - 38.0 Normal

RBC 5.30 3.50 - 5.50 gdl Normal

MCV 83.0 75.0 – 100.0g/dl Normal

HCT 44.0 35.0 - 55.0 g/dl Normal

RDWa 55.9 30.0 – 150.0 Normal

RDW% 13.0 11.0 - 16.0 Normal

PLT 224 150 – 400 Normal

MPV 9.2 8.0 - 11.0 Normal

PDWa 12.6 0.1- 99.9 Normal

PCT 0.20 0.01 - 9.99 Normal

P-LCR 22.2 0.1 – 99.9 Normal

 Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)


- N. medianus kanan : normal
- N. medianus kiri : neuropati aksonal
- N. ulnaris kanan : normal
- N. ulnaris kiri : normal
- F wave medianus kanan : normal
- F wave medianus kiri : abnormal
- N. perenous kanan : neuropati aksonal
- N. perenous kiri : normal
- N. tibialis kanan : normal
- N. tibialis kiri : neuropati aksonal
- H reflex tibialis posterior kanan : abnormal
- H reflex tibialis posterior kiri : abnormal
Kesimpulan :
Poliradikulerneuropati tipe aksonal ekstremitas atas dan bawah (mild to
moderate)
2.5 Diagnosis

Diagnosis klinis : GCS 15 (E:4, M:5, V:6)

Compos mentis

Ascending paralysis

Tetraparesis

Poliradikulerneuropati

Diagnosis topik : saraf perifer ekstremitas inferior, superior

Diagnosis etiologi : Susp. Guillian Barre Syndrom

2.6 Planning
a. Terapi
 Airway, breathing, circulation
 Inject Ceftriaxon 2 X 1 gr
 Inject Piracetam 2 X 3 gr
 Inject Ranitidin 2 X 1 amp
 ALA 600 1x1 ( alpha lipoic acid )
 Plasma exchange therapy (TEP)
 Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg )
b. Usulan pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan LCS/CSS
 MRI
 Pemeriksaan antibodi
2.7 Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

 Guillain Barre Syndrome


3.1 Definisi
Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang
biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun,di mana proses
imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang
juga saraf kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya yang mempersarafi otot, tetapi bisa
juga indera peraba sehingga penderita mengalami baal atau mati rasa. Fase awal dimulai
dengan munculnya tanda – tanda kelemahan dan biasanya tampak secara lengkap dalam 2 –
3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir
beberapa hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan ungkin berakhir 4 – 6 bulan dan
mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada kebanyakan
pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis, sisa dapat menetap (Japardi, 2002).
3.2 Epidemiologi
Angka kejadian Guillain – Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara 1-1,5 kasus
per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih belum begitu banyak.
Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I,
II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama.
Insidensi lebih tinggi pada perempuan dari pada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 :
1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Penyakit ini menyerang semua umur, dan lebih banyak
terjadi pada usia dewasa muda yaitu antara 15 sampai dengan 35 tahun. Namun tidak jarang
juga menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun. Jarang sekali GBS menyerang pada
usia di bawah 2 tahun. Umur termuda yang dilaporkan adalah 3 bulan dan tertua adalah 95
tahun, dan tidak ada hubungan antara frekuensi penyakit ini dengan suatu musim tertentu.
Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei di mana terjadi pergantian musim hujan dan
kemarau (Japardi, 2002)

3.3 Klasifikasi
Menurut Lewis (2009) klasifikasi dari Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah
sebagai berikut :
 Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang
lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna
C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik
dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.

 Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)


Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid
meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis
motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan paralysis
simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan
adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa
inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih
kurang 1 tahun.

 Miller Fisher Syndrome


Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus GBS.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada
gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik
biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan.

 Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)


CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan
kelemahan otot lebih berat pada bagian distal

 Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi
dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi
postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan salvias dan
lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.
3.4 Etiologi

Etiologi Guillain – Barre Syndrome sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan
pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan
imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process.
Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan
kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer.
Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan namun terdapat gangguan di
medula spinalis dan medula oblongata (Japardi, 2002).

Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya


dengan terjadinya GBS, antara lain (Japardi, 2002) :

 Infeksi virus atau bakteri


GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4
minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang berhubungan dengan GBS :

 Vaksinasi
 Pembedahan, anestesi
 Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus, tiroiditis, dan
penyakit Addison
 Kehamilan atau dalam masa nifas
 Gangguan endokrin
3.5. Manifestasi klinis
GBS merouakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal, dengan ciri khas
paresthesia pada bagian distal dan diikuti secafa cepat oleh paralisa ke empat ekstremitasnya
yang besifat asenden. Paresthesia biasanya bersifa bilateral. Refleksfisiologis akan menurun
dan kemudian menghilang sama sekali. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan pada GBS
adalah:

 Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower
motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada
sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf
kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak,
kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris
dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot
bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau
bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.

 Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa
dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan
sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas
ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot
sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
 Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot
muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga
bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I
dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan
N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada
kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis nervus
laringeus.
 Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS. Gangguan tersebut
berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial
flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau
episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai.
Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
 Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal
bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis
diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen
penderita.
 Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan
pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan
penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.

3.6. Patofisiologi

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem
imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut
sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan
organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung
myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri.  

Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang
saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme
(misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem
saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut
kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk
menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan
memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan
menyebabkan destruksi dari myelin.

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;
berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung
yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus
plastik. Selubung myelin bersifat insulator  dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini
akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang
ditransmisikan.  Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada
kecepatan lebih dari 50 km/jam.

Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah
yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini,
sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.

Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap
adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi
yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan
bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan
mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya
membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan
berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi
tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat,
terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita.

Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan
melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.  Untungnya, fase ini bersifat
sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan
berhenti dan pasien akan kembali pulih.

Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla
spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan
saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis,
menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat
diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).

Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan
sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat
progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.

GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila
selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf
yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal
ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai
demyelinasi primer.

Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2.
Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis.
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder;
hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus,
sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul
kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini
terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik,
karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung
myelin, yang sembuh lebih cepat.

Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada
penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-
saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf
kranialis dapat juga ikut terlibat.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
 Fase progresif 
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai
gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri,
kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi
tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan
mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat.
Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan
mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada
pengurangan nyeri serta gejala.
 Fase plateau
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak
didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti,
namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi
ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan
fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung,
pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi
dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan
istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri
hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini
akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat
diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah
fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama
beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
 Fase penyembuhan 
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan
saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik,
untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot
yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya
secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps.
Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien
lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah
penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf
yang terjadi pada fase infeksi.
.7 Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang
bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan
menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan
pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan
kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak
ditemukan.
 Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein
dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam
cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein
dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai
puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3.
Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian
kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa
timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH
(Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).
 Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah
kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor retensi
memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan
perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di samping itu untuk
mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk
menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi
menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh
sempurna.

 Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5
g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut
sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48
jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar
protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan
pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari
10/mm3 (albuminocytologic dissociation).
 Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan
kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan
gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95%
kasus SGB.
a) Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit.
b) Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal.
Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.
Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)

 Gejala utama :

1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa
disertai ataxia
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
 Gejala tambahan :

1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu


2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
 Pemeriksaan LCS :

1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
 Pemeriksaan elektrodiagnostik :

1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf


 Gejala yang menyingkirkan diagnosis :

1. Kelemahan yang sifatnya asimetri


2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata
3.8. Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup
tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah
mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas
(imunoterapi) (Japardi, 2002).
a. Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi
di unit perawatan intensif (Japardi, 2002)
1) Pengaturan jalan napas
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah
yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan
pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan
buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika
pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya
aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi
dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk mengetahui
progresivitas penyakit.

2) Pemantauan EKG dan tekanan darah


Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting karena
gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau hipertensi
yang mendadak serta gangguan irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan
hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek
(short-acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi
yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv dan
posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode
brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan
pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3.

3) Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi antibiotik ke
dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan berat dan dapat
membatasi keadaan yang memburuk pada pasien demielinasi. Bermanfaat bila
dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang
dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan
tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan
untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada
plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti dengan suatu substitusi plasma.

4) Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium karena


penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi disebabkan sekresi
hormone ADH berlebihan.
5) Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga parenteral
nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.
b. Perawatan umum
1) Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi tidur.
2) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara teratur untuk
mencegah retensi sputum dan kolaps aru. Segera setelah penyembuhan mulai fase
rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan
kekuatan otot.
3) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang
lumpuh,
4) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki yang
lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
5) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea.
6) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
7) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
c. Pengobatan
1) Kortikosteroid
Seperti : azathioprine, cyclophosphamid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak


mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS. Peter melaporkan
kemungkinan efek steroid dosis tinggi intravenous menguntungkan. Dilaporkan 3
dari 5 penderita memberi respon dengan methyl prednisolon sodium succinate
intravenous dan diulang tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg setiap
6 jam setelah 48 jam pengobatan intravenous. Efek samping dari obat-obat ini
adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

2) Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)


Pemberian heparin dengan berat molekuler yang rendah secara subkutan (fractioned
Low Molecular Weight Heparin/ fractioned LMWH) seperti : enoxaparin, lovenox
dapat mengurangi insidens terjadinya tromboembolisme vena secara dramatik, yang
merupakan salah satu keluhan utama dari paralisis ekstremitas. DVT juga dapat
dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu (true gradient compression hose/ anti
embolic stockings/ anti-thromboembolic disease (TED) hose).

3) Pengobatan imunosupresan:
c) Imunoglobulin IV
Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian immunoglobulin
atau gamaglobulin pada penderita GBS yang parah ternyata dapat mempercepat
penyembuhannya seperti halnya plasmapharesis. Gamaglobulin
(Veinoglobulin) diberikan perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan
gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis
karena efek samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. imunoglobulin
intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis
dari GBS dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama
5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah
hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/
IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd
kehamilan.
d) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin (6-MP).

3.9. Komplikasi

a. Paralysis yang persisten


b. Kegagalan pernafasan
c. Hipotensi atau hipertensi
d. Tromboembolisme
e. Pneumonia
f. Aritmia kardial
g. Aspirasi
h. Retensi urinae
i. Problem psikiatrik (seperti : depresi dan ansietas).
3.10. Prognosis
 95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya sembuh total.
Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural tremor masih mungkin terjadi
pada sebagian pasien.
 Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian , pada 5 % pasien, yang disebabkan oleh gagal
napas dan aritmia.

BAB IV

PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Guillaine Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit autoimun yang menimbulkan
peradangan dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang
membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer). Gejala dari
penyakit ini mula-mula adalah kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat
menyebar menimbulkan kelumpuhan.
Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom (GBS) sampai saat ini masih belum
dapat diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan. Tetapi pada banyak kasus, penyakit
ini sering dihubungkan dengan penyakit infeksi viral, seperti infeksi saluran pernafasan
dan saluran pencernaan.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada
sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi.
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem
imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut
sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan
organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung
myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

1. Andary, M.T., Oleszek, J.L., Maureleus, K., and Mc-Crimmon, R.Y., 2016. Guillain Barre Syndrome.
http://emedicine.medscape.com/article/315632-.
2. Japardi I. 2002. Sindroma Guillan-Barre. (http://library.usu.ac.id/download/fk/ bedah-
iskandar%20japardi46.pdf), diakses pada 31 Mei 2016.
3. Judarwanto, W. 2009. Sindroma Guillain-Barre (GBS) : Patofisiologi dan Diagnosis,
(https://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/12/14/guillain-barre-syndrome-gbs-
patofisiologi-manifestasi-klinis-dan-diagnosis/ )
4. Lanello, Silvia. 2005.Guillain-Barre Syndrome: Pathological, Clinical, and Therapeutical
Aspects. Nova Biomedical Book. New York.
5. Price, A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Vol 2. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai