Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

SUBDURAL HEMATOMA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik


Madya

Oleh :
Kevin Krishnadi Hermawan 21401101083
Dewi Fitri Indriyani 21501101002

Pembimbing :
dr. Yahya Ari Pramono, Sp.BS

KEPANITERAAN KLINIK MADYA LABORATORIUM ILMU


BEDAH SYARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
RSUD KANJURUHAN KEPANJEN
2019
2

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas limpahan


rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus yang
berjudul “Epidural Hematoma” dengan lancar.
Di dalam tulisan ini, disajikan pokok-pokok bahasan yang meliputi
deskripsi dan pembahasan laporan kasus pasien dengan “Subdural Hematoma”.
Dengan selesainya tugas laporan kasus ini penulis menyampaikan ucapan
terimakasih yang kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
laporan kasus ini.
Sangat disadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini, masih banyak
kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar tulisan ini bermanfaat bagi
yang membutuhkan.

` Kepanjen, 25 Nopember 2019

Penulis
3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Later Belakang

Cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak dari keseluruhan


angka kematian yang diakibatkan trauma. Data pasien trauma kepala akibat
kecelakaan maupun akibat tindak kekerasan yang dibawa ke instalasi gawat
darurat dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Di Indonesia belum ada catatan
catatan nasional mengenai morbiditas dan mortalitas perdarahan subdural. Di
Amerika serikat frekuensinya berbanding lurus terhadap kejadian cedera kepala.
Perdarahan subdural adalah bentuk yang paling sering terjadi dari lesi intrakranial,
kira – kira sepertiga dari kejadian cedera kepala berat (Astuti et al, 2016)

Angka mortalitas pada penderita – penderita dengan perdarahan subdural yang

luas dan menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap jaringan otak, menjadi

lebih kecil apabila dilakukan operasi dalam waktu 4 jam setelah kejadian.

Walaupun demikian bila dilakukan operasi lebih dari 4 jam setelah kejadian

tidaklah selalu berakhir dengan kematian. Epidemiolog


i dari perdarahan subdural
akut (PSD akut) serupa dengan lesi-lesi massa intracranial traumatic lainnya.
Penderita adalah kebanyakan laki – laki dan kebanyakan umurnya lebih tua dari
penderita – penderita cedera kepala lainnya.. Penyebab yang predominan pada
umumnya ialah kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dan perkelahian,
merupakan cedera terbanyak , sebagian kecil disebabkan kecelakaan olah raga dan
kecelakaan industri. Genareli dan thibault serta seelig dkk melaporkan bahwa
pada penderita – penderita cedera kepala berat tanpa lesi massa (mass lesion) 89
% disebabkan kecelakan kendaraan (Khaled et al, 2008)

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimanakah anatomi dari tulang tengkorak dan otak ?
1.2.2 Apakah definisi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, penatalakasanaan,
4

komplikasi dan prognosis dari subdural hematoma ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui dan memahami anatomi dari tulang tengkorak dan
otak.
1.3.2 Untuk mengetahui dan memahami definisi, etiologi, patofisiologi,
diagnosis, penatalakasanaan, komplikasi dan prognosis dari subdural
hematoma.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan penulis serta pembaca tentang penyakit subdural hematoma.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan landasan ilmiah
dalam penanganan pasien dengan subdural hematoma.
5

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. N
Usia : 80 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sumberbutuh, Balearjo, Malang
Pendidikan terakhir : Tidak Sekolah
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal MRS : 23-11-2019
Tanggal Periksa : 23-11-2019
No RM : 481***

2.2 Anamnesis

1. Keluhan Utama : Nyeri kepala


2. Kejadian yang berhubungan dengan keluhan utama : Pasien mengalami
kecelakaan akibat terserempet motor di depan rumah.
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Ny.N datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen tanggal 23 November
2019 pukul 15.30 dengan keluhan nyeri pada kepala setelah mengalami
kecelakaan akibat terserempet motor didepan rumah. Menurut keluarga,
pasien jatuh dengan kepala kiri membentur aspal terlebih dahulu dan
mengeluh nyeri kepala disertai hilang ingatan sementara. Keluhan nyeri
kepala dirasakan di bagian kiri depan. Pada saat itu pihak keluarga
meminta kepada pihak UGD untuk memulangkan pasien. Namun, pada
pukul 21.00 datang kembali ke UGD karena pasien mendadak tidak sadar.
6

Sebelum adanya penurunan kesadaran pasien mengeluh pusing dan


mengalami muntah 2 kali berwarna kuning disertai mimisan dan gelisah.
Saat dilakukan anamnesa dan pemeriksaan pasien mengetahui tempat,
waktu dan orang.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat diabetes mellitus : disangkal

- Riwayat penyakit jantung : disangkal


- Riwayat penyakit paru : disangkal
- Riwayat hipertensi : iya

5. Riwayat Penyakit Keluarga :


- Hipertensi : disangkal
- DM : disangkal
- Asma : disangkal
- Stroke : disangkal
- Penyakit jantung : disangkal
- Penyakit paru : disangkal

6. Riwayat Kebiasaan

1. Makanan/Minuman : 3x sehari
2. Riwayat minum alkohol :-
3. Riwayat merokok :-
4. Olahraga : Jarang

7. Riwayat Alergi

1. Riwayat alergi obat : disangkal


2. Riwayat alergi makanan : disangkal
3. Riwayat alergi suhu : disangkal
4. Riwayat alergi debu : disangkal

8. Riwayat pengobatan :-
7

9. Riwayat ekonomi : Menengah

2.3 Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum : Lemah


2. Kesadaran : Composmentis GCS 436
3. Tanda Vital
a. Tensi : 179/89mmHg
b. Nadi : 87x/menit, reguler
c. RR : 20x/menit, reguler
d. Suhu : 37.3 oC
4. Kulit
Warna kulit sawo matang, turgor kulit normal, ikterik (-), pucat (-), ptechie
(-)
5. Kepala
Bentuk normosephalic, luka (-), rambut tidak mudah dicabut, makula (-),
papula (-), nodul (-), edem (-)
6. Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), katarak
(-/-), edema palpebra (-/-), cowong (-/-), pupil isokor, diameter 3mm,
radang (-/-), lagoftalmus (-/-)
7. Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), rhinorea (-/-), deformitas (-/-)
8. Mulut
Sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), tremor (-), gusi berdarah (-)
9. Telinga
Sekret (-/-), pendengaran berkurang (-/-)
10. Tenggorokan hiperemi (-), tonsil membesar (-/-)
11. Leher
Trakea ditengah, pembesaran KGB (-)
12. Thoraks
8

Inspeksi umum :
Bentuk simetris, retraksi supraklavikula (-), retraksi interkostal (-),
pembesaran kelenjar limfe (-), jaringan parut (-), bekas luka (-), warna
kulit normal.
Cor : I : ictus cordis tak tampak
P : ictus cordis tak kuat angkat
P : batas kiri atas : ICS II linea para steralis sinistra
batas kanan atas : ICS II linea para strenalis dekstra
batas kiri bawah : ICS V linea medio clavicularis sinistra
batas kanan bawah : ICS IV linea para sternal dekstra
(batas jantung kesan tidak melebar)
A : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo :
I : Pengembangan dada kanan sama dengan kiri, benjolan (-), luka (-)
P : Fremitus taktil kanan sama dengan kiri, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
P : Sonor/sonor
A : suara dasar vesikuler di semua lapang paru suara tambahan
Rhonki Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -
- - - -
13. Abdomen
I : dinding perut tampak datar
A : bising usus normal
P : supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, pembesaran lien (-)
P : timpani seluruh lapang perut, shifting dullness (-), undulasi (-)
14. Sistem Collumna Vertebralis:
I : sulit dievaluasi
P : sulit dievaluasi
15. Ekstremitas:
Atas : Akral dingin (-/-), Edema (-/-), ulkus (-/-)
Bawah : Akral dingin (-/-), Edema (-/-), ulkus (-/-)
16. Sistem genetalia: tidak dilakukan
9

2.4 Pemeriksaan Neurologis


1. Kesan Umum
- Kesadaran : Compos mentis (GCS 436)
- Pembicaraan : disartria (-), monoton (-), scanning (-), afasia (-).
- Kepala : bentuk normal, simetris, sikap paksa (-).
- Wajah : mask face (-), myopati (-), fullmoon face (-).
2. Pemeriksaan Meningen: kaku kuduk (sde), brudzinski I (sde), kernig sign
(-), dan brudzinski II (-), laseque (-).
3. Pemeriksaan Saraf Kranialis
a. Nervus I : tidak dilakukan
b. Nervus II : tidak dilakukan
c. Nervus III,IV,VI : Pupil
Bentuk (bulat/bulat),
Perbedaan lebar (isokor/isokor)
Lebar (3mm/3mm) Celah mata
Ptosis (-/-)
Lagoftalmus (-/-)
d. Nervus V : Sensasi pada wajah : sde
Refleks kornea : tdl
Mengunyah : sde
e. Nervus VII : sde
f. Nervus VIII : tidak dilakukan
g. Nervus IX : tidak dilakukan
h. Nervus X : tidak dilakukan
i. Nervus XI : tidak dilakukan
j. Nervus XII : sde
4. Pemeriksaan Motorik
- Kekuatan motorik
5 5
5 5
- Lateralisasi : tidak ada

5. Pemeriksaan Sensorik : tidak dilakukan


10

6. Pemeriksaan Refleks
- R. Fisiologis : BPR +2/+2, TPR +2/+2 , APR +2/+2, KPR +2/+2
- R. Patologis : Babinski -/- Oppenheim -/- Chaddock -/- Hoffman-/-
Tromner -/-

2.5 Differensial Diagnosis


1. Epidural hematoma
2. Sub dural hematoma
3. Intra cerebral hematoma

2.6 Pemeriksaan Penunjang


- CT Scan Kepala : Tampak area hiperdense berdensitas darah pada subdural
temporo-parietal dextra yang mendesak ventrikel lateralis dextra dan
menyebabkan deviasi midline ke sinistra. Tampak area hiperdense
berdensitas darah pada arachnoid space bagian frontal, temporo-parietal
dextra sinistra, interhemisphere dan intercerebellar. Sulcus dan gyrus
merapat. Sistem ventrikel lateralis normal. Tak tampak kalsifikasi
abnormal. Pons dan crebellum tak tampak kelainan. Orbita, sinus
maksillaris, sphenoidalis dan ethmoidalis tak tampak kelainan. Calvaria tak
tampak kelainan.
Kesimpulan :
-SDH pada temporo-parietal dextra yang mendesak ventrikel lateralis
dextradan menyebabkan deviasi midline struktur ke sinistra.
- SAH pada frontal, temporo-parietal dextra sinistra, interhemisphere dan
intercerebellar.
- oedema cerebri
11
12
13

2.7 Resume
Ny.N datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen tanggal 23 November
2019 pukul 15.30 dengan keluhan nyeri pada kepala setelah mengalami
kecelakaan akibat terserempet motor didepan rumah. Menurut keluarga, pasien
jatuh dengan kepala kiri membentur aspal terlebih dahulu dan mengeluh nyeri
kepala disertai hilang ingatan sementara. Keluhan nyeri kepala dirasakan di
bagian kiri depan. Pada saat itu pihak keluarga meminta kepada pihak UGD untuk
memulangkan pasien. Namun, pada pukul 21.00 datang kembali ke UGD karena
pasien mendadak tidak sadar. Sebelum adanya penurunan kesadaran pasien
mengeluh pusing dan mengalami muntah 2 kali berwarna kuning disertai mimisan
dan gelisah. Saat dilakukan anamnesa dan pemeriksaan pasien mengetahui tempat,
waktu dan orang..
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, GCS E4V3M6. Tensi
179/89 mmHg; Nadi 87x/menit, reguler; RR 20x/menit, reguler; Suhu 37,3oC.
Pada pemeriksaan fisik di kepala tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan
neurologis tidak didapakan kelainan. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan
gambaran tampak area hiperdense berdensitas darah pada subdural temporo-
parietal dextra yang mendesak ventrikel lateralis dextra dan menyebabkan deviasi
midline ke sinistra. Tampak area hiperdense berdensitas darah pada arachnoid
space bagian frontal, temporo-parietal dextra sinistra, interhemisphere dan
intercerebellar.
2.8 Diagnosa Kerja
Subdural hematoma

2.9 Penatalaksanaan
Rencana terapi:
1. Terapi Operatif
 Craniotomy
2. Terapi Farmakologi
 IVFD NS 1500 cc/hari 20 tpm
 Cefotaxime 2 x 1g
 Ketolorac 2 x 30 mg
 Omeprazole 1 x 40 mg
14

3. Terapi Non-farmakologi
 Edukasi kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit dan
rencana pengobatan yang akan diberikan.
 Monitoring GCS ,vital sign, vacum drain dan keluhan pasien
 Elevasi kepala tidur (30 derajat)  mengurangi tekanan
intrakranial.

2.10 Prognosis
Dubia at bonam.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1

Anatomi

Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari linea nuchalis superior pada
os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit
kepala meluas lewat fascia temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri
dari lima lapis jaringan yang terdiri atas skin (kulit), connective tissue (jaringan
ikat), aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica), loose connective tissue
(jaringan ikat spons) dan pericranium. Lapisan tersebut biasa disebut dengan scalp
(Moore & Agur, 2002).

Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah


pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi
arachnoidea dan piamater.
15

1. Duramater

Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat
dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua
lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di
tempat dimana keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus
venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan
dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara
bagian-bagian otak.

2. Arachnoidea

Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya
terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia
menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis,
cavum subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan
septa-septa yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system
rongga-rongga yang saling berhubungan.

3. Piamater

Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi


permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar
pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam
fissure transversalis di abwah corpus callosum. Di tempat ini pia
membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung
dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk
membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim
berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea
di tempat itu

3.2 Definisi
Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan
araknoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal.Pada subdural
16

hematoma yang seringkali mengalami pendarahan ialah “bridging vein” , karena


tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling
sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah
temporal, sesuai dengan distribusi “bridging vein”.( (Liebeskind, 2011).

Perdarahan subdural, lebih lazim dengan sebutan subdural hematoma


(SDH). Diartikan sebagai penumpukan darah di antara dura dan arachnoid. Lesi
ini lebih sering ditemukan daripada EDH. Dengan mortalitas 60 – 70 persen.
Terjadi karena 5 laserasi arteri/vena kortikal pada saat berlangsungnya akselerasi
dan deselerasi. Pada anak dan usia lanjut sering disebabkan oleh robekan
(Valadka, 1999)

3.3 Etiologi

subdural hematom. keadaan ini timbul setelah trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam
ruangan subdural . Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik
dan memutuskan vena-vena.Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian,
yaitu akselerasi tengkorak ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang
berlawanan dengan arah dampak primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak
yang bersangkutan bersifat linear.Maka dari itu lesi-lesi yang bisaterjadi
17

dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah dampak disebut lesi kontusio
“coup” di seberang dampak tidak 6 terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak
terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi, maka lesi itu di namakan lesi kontusio
“contercoup”. (Tamburrelli, 2018)

3.4 Patofisiologi
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging
veins” . Karena perdarahan subdural sering disebabkan olleh perdarahan vena,
maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya
berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai
mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang
diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi
perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan
dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan
kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma). Kondisi-
kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme.

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,


yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan
mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam
kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan
onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang
meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.
Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua
mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi
bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau
kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim
fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan
18

terjadinya perdarahan subdural kronik (McDonald, 2018).

3.4 Diagnosis

Diagnosis dari epidural hematoma ditegakkan berdasarkan gejala klinis,


pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.

3.4.1 Gejala Klinis


Gejala yang sangat menonjol pada subdural hematom adalah kesadaran
menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali
tampak memar disekitar mata dan dibelakang telinga. Sering juga tampak
cairan yang keluar pada saluran hidung dan telinga. Setiap orang memiliki
kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala.
Berdasarkan waktu perkembangan lesi ini hingga memberikan gejala
klinis, dibedakan atas:
- Akut, gejala timbul dalam 3 hari pertama setelah cedera. Pada gambaran
CT Scan, terdapat daerah hiperdens berbentuk bulan sabit. Jika penderita
anemis berat atau terdapat CSS yang mengencerkan darah di subdural,
gambaran tersebut bisa isodens atau bahkan hipodens.
- Subakut, gejala timbul antara hari ke-4 sampai ke-20. Gambaran CT
Scan berupa campuran hiper, iso, hipodens.
- Kronis, jika gejala timbul setelah 3 minggu. Sering timbul pada usia
lanjut, dimana terdapat atrofi otak sehingga jarak permukaan korteks dan
sinus vena semakin jauh dan rentan terhadap goncangan. Kadang-kadang
benturan ringan pada kepala sudah dapat menimbulkan SDH kronis.
Beberapa predisposisi seperti alkoholisme, epilepsi, gagal ginjal terminal,
dan koagulopati akan mempermudah terjadinya SDH kronis. SDH kronis
dapat terus berkembang karena terjadinya perdarahan ulang (rebleeding)
dan tekanan osmotik yang lebih tinggi dalam cairan SDH kronis sebagai
akibat dari darah yang lisis, akan menarik cairan ke dalam SDH.
Perdarahan ulang tersebut cenderung tidak akan berhenti karena tingginya
kadar fibrinolitik dalam cairan SDH. Gejala lain yang timbul antara lain,
penurunan kesadaran, pupil anisokor, dan defisit neurologis, terutama
gangguan motorik. Lesi biasanya terletak ipsilateral terhadap pupil yang
19

dilatasi dan kontralateral terhadap defisit motorik. Kadang-kadang disertai


abnormalitas nervus III. Jika SDH terjadi pada fossa posterior, dapat
menyebabkan penurunan kesadaran, sakit kepala, muntah, kelumpuhan
saraf cranial, dan kaku kuduk. SDH fossa posterior biasanya disebabkan
oleh laserasi sinus vena, atau perdarahan dari kontusio serebeli, dan
robeknya “bridging vein”.

Pemeriksaan Fisik

- Periksa Kesadaran.

Tingkat kesadaran penderita dapat dinilai


dengan cara yang biasa dipakai (sadar,
somnolent, sopor, coma) atau
menggunakan (Setiyohadi, 2009) :

a) Evaluasi dengan menggunakan


metode AVPU, yaitu :

 A : Alert, sadar

 V : Vocal, adanya respon


terhadap stimuli vokal

 P : Painful, adanya respon hanya pada rangsang nyeri

 U: Unresponsive, tidak ada respon sama sekali.

b)  Evaluasi dengan Skala Koma Glasgow (GCS)

Interpretasi :

Nilai tertinggi : E + M + V = 13 - 15 (responsiveness)

Nilai sedang : E + M + V = 9 - 12)

Nilai terendah : E + M + V = 3-8 (coma)


20

c) Penilaian neurologis sangat penting terutama pada aktivitas motorik,


pembukaan mata, respon verbal, reaktivitas dan ukuran pupil, parese nervus
kranialis dan tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau hemiplegia
(Setiyohadi, 2009)

3.4.3 Pemeriksaan Penunjang

Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala


lebih mudah dikenali.

- Foto Polos Kepala

Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai SDH.
Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami
trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus
arteria meningea media (McDonald, 2018).

- Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi


cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single)
tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling
sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens),
berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur
pada area epidural hematoma. Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90
HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah (McDonald, 2018).

- Magnetic Resonance Imaging (MRI)


21

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser


posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis (McDonald, 2018).

- Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang penting dikerjakan diantaranya
1. Darah lengkap : penting untuk menilai kadar trombosit dan hematokrit
terkait perdarahan non traumatik juga menilai adanya penanda infeksi
untuk menyingkirkan diagnose banding
2. Faal hemostasis : penting untuk menilai ada tidaknya gangguan
koagulopati
3. Serum elektrolit, tes fungsi ginjal, tes fungsi hepar, kadar glukosa
darah juga perlu diperiksa untuk menemukan adanya komplikasi
metabolik perdarahan intrakranial maupun spinal
4. Toksikologi dan kadar alkohol dalam darah juga perlu diperiksa
terkait penyebab trauma kepala dan adanya sindroma putus obat
5. Golongan darah : penting untuk persiapan transfusi dan tindakan
operatif darurat (Liebeskind, 2016 ; Shah, 2011 ; Abelsen, 2013).

3.5 Penatalaksanaan

Pada keadaan gawat darurat,lakukan Langkah-langkah berikut, yaitu ABCDE

(airway and C-spine control, breathing, circulation and hemorrhage control,

disability, exposure/environment). Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran

jalan napas. Ini meliputi pemeriksaan adanya sumbatan jalan napas yang dapat

disebabkan benda asing, adanya fraktur mandibula atau kerusakan trakea/larings.


22

Harus diperhatikan pula secara cermat mengenai kelainan yang mungkin terdapat

pada vertebra servikalis dan apabila ditemukan kelainan, harus dicegah gerakan

yang berlebihan pada tempat ini dan diberikan alat bantu. Pada penderita yang

dapat berbicara, dapat dianggap jalan napas bersih, walaupun demikian penilaian

ulang terhadap airway harus tetap dilakukan


(McDonald, 2018).

Telinga didekatkan ke mulut dan hidung penderita sambil menjaga jalan napas
tetap terbuka. Kemudian pada saat yang sama mengamati dada penderita dengan
cara look, listen, and feel (McDonald, 2018).

- Lihat (Look). Apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya menurun.


Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kekurangan oksigenasi
dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku dan kulit sekitar mulut. Lihat adanya
retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang apabila ada merupakan
bukti tambahan adanya gangguan airway.

- Dengar (listen). Adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang berbunyi (napas


tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara mendengkur (snoring),
berkumur (gurgling) dan bersiul (crowing sound, stridor) mungkin berhubungan
dengan sumbatan parsial pada faring atau laring. Penderita yang melawan dan
berkata-kata kasar (gaduh gelisah) mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh
dianggap karena keracunan/mabuk.

-Raba (feel). Lokasi trakea dan dengan cepat menentukan apakah trakea ada
ditengah serta merasakan adanya atau tidaknya hembusan nafas penderita.

Pemberian bantuan napas bisa dilakukan dengan cara :

1.Ventilasi Mouth to mouth

2. Ventilasi Mouth to nose


23

3. Ventilasi Mouth to mask

Beberapa penolong lebih menyukai menggunakan alat selama ventilasi dari


mulut ke mulut. Pemakaian alat pelindung harus dianjurkan kepada penolong
yang melakukan CPR yang berada di luar rumah. Dua kategori dari alat yang
tersedia: alat mulut ke sungkup dan penutup wajah (mouth-to-mask dan face
shields). Alat mulut ke sungkup umumnya memiliki katup satu arah sehingga
udara yang dihembuskan oleh penderita tidak masuk ke dalam mulut penolong.
Penutup wajah biasanya tidak memiliki katup ekspirasi dan penderita
mengeluarkan udara diantara penutup dan wajah penderita. Peralatan ini harus
memiliki tahanan yang rendah terhadap aliran gas sehingga tidak mengganggu
ventilasi (McDonald, 2018).

- Circulation

Bila tidak ditemukan nadi selama penilaian, maka dilakukan kompresi jantung
yang efektif, yaitu kompresi dengan kecepatan 100x/menit, dengan kedalaman 4-5
cm, memberikan kesempatan jantung mengembang (pengisisan ventrikel), waktu
kompresi dan relaksasi sama, minimalkan terputusnya kompresi dada, dan rasio
kompresi dan ventilasi 30:2 (McDonald, 2018).

- Pasien dengan SDH memerlukan evaluasi bedah saraf emergensi dan evakuasi
hematoma. Prioritas dalam menangani pasien cedera kepala terfokus pada
pembatasan komplikasi sekunder. Stabilisasi saluran nafas, pernafasan, sirkulasi,
dan vertebra cervicalis harus dilakukan segera. Setiap pasien dengan nilai skala
koma glasgow (GCS, Glasgow Coma Scale) 8 atau kurang, setiap pasien yang
tidak mampu melindungi saluran nafasnya, harus di intubasi dini dengan
menggunakan tehnik secuens cepat untuk membatasi fluktuasi TIK (McDonald,
2018).

a)  Penanganan darurat :

- dekompresi dengan trepanase sederhana.

- kraniotomi untuk mengevakuasi hematom.


24

b)  Terapi medikamentosa

1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital Usahakan agar jalan nafas selalu


babas, bersihkan lendir dan darah yang dapat menghalangi aliran udara
pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian
oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : guna-kan
cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline

2. Mengurangi edema otak Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema
otak:

a. Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah


vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat
membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100
mmHg dan paCO2 diantara 2530 mmHg.

b. Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus


untuk “menarik” air dari ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk
kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang
dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu
singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 1030 menit. Cara ini
berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an bedah. Pada kasus biasa,
harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan
kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.

c. Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya


sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung
menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera
kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini
menstabilkan sawar darah otak. Dosis parenteral yang pernah dicoba juga
bervariasi : Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus
yang diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah
digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10
25

mg.

d. Barbiturat. Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat


ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun;
karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung 20 dari
kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang.
Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat (McDonald,
2018).

3. Terapi operatif dilakukan apabila terdapat :

- Volume hematoma > 30 ml

- Keadaan pasien memburuk

- Pendorongan garis tengah > 3 mm

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk
fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi
operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini disebabkann oleh lesi desak
ruang (McDonald, 2018).

3.7 Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada perdarahan subdural intrakranial


adalah defisit neurologis bahkan kematian, kejang post trauma karena kerusakan
kortikal (biasanya 1-3 bulan setelah trauma kepala), delayed effect termasuk
postconccusion syndrome seperti nyeri kepala, dizziness, vertigo, restlessness,
emosi yang labil dan kertidakmampuan untuk berkonsentrasi dan kelelahan.
Sedangkan komplikasi pada perdarahan epidural di spinal umumnya adalah
spastisitas, nyeri neuropatik dan komplikasi pada sistem berkemih (Liebeskind,
2016).
26

3.6 Prognosis

Prognosis dari penderita SDH ditentukan dari:


- GCS awal saat operasi
- lamanya penderita datang sampai dilakukan operasi
- lesi penyerta di jaringan otak
- serta usia penderita
pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %, makin rendah GCS,
makin jelek prognosenya makin tua pasien makin jelek prognosenya adanya lesi
lain akan memperjelek prognosanya (Liebeskind, 2016).
27

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Telah diperiksa seorang perempuan berumur 80 tahun yang datang ke IGD


RSUD Kanjuruhan Kepanjen tanggal 23 November 2019 pukul 21.00 WIB. Dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang disimpulkan
bahwa diagnosis dari pada Ny. N adalah subdural hematoma.
Dalam penatalaksanaan kasus ini diberikan terapi operatif yaitu craniotomy
dan terapi Farmakologi dengan IVFD NS 1500 cc/hari 20 tpm, Cefotaxime 2 x 1g,
Ketolorac 2 x 30 mg, dan Omeprazole 1 x 40 mg. Terapi non-farmakologi edukasi
kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit dan rencana pengobatan yang
akan diberikan, monitoring GCS ,vital sign, vacum drain dan keluhan pasien.
28

DAFTAR PUSTAKA
Abelsen Nadine, Mitchell, Neurotrauma: Managing Patients with Head Injuries,
A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, Wichester USA:2013.

Astuti E, Saanin S, Edison. 2016. Hubungan Glasgow Coma Scale Dengan


Glasgow Outcome Scale Berdasarkan Lama Waktu Tunggu Operasi Pada Pasien
Perdarahan Epidural. Majalah Kedokteran Andalas ; 39: (2). 50-57.

Cherie Mininger. Epidural Hematoma. Dalam: Michael I. Greennberg, MD, MPH.


Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan. Jilid 1. Edisi: 1. Jakarta: Erlangga; 2008. h.
51.
Khaled CN, Raihan MZ, Ashadullah ATM. Surgical Management of Traumatic
Extradural Haematoma: Experiences with 610 Patients and Prospective Analysis.
Indian journal of neurotrauma 2008;2:75-79.

Liebeskind DS, Lutsterp HL, Hogan EL. Epidural Hematoma.


http://emedicine.medscape.com/article/1137 065-overview#a0199. 2010. Diakses
pada tanggal 18 Desember 2011

Liebeskind David, Lutsep Helmi, Epidural Hematom in Emergency Medicine


www. emedicine.medscape.com/article/824029-overview : 2016

Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono,


Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, p.314

McDonald, D. 2018. Imaging in Epidural Hematoma.


https://emedicine.medscape.com/article/340527-overview

Moore KL., Agur AMR. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta

Netter, F. H., Craig, J. A., Perkins, J., Hansen, J. T., & Koeppen, B. M. (n.d.).
Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology Special Edition:Arteries to Brains
and Meningens, NJ : 2012

Setiyohadi Bambang, Imam Subekti. Pemeriksaan Fisis Umum dalam: Aru


W.Sudoyo,dkk, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta:
InternaPublishing; 2009. h.30

Shah, M. V, Commentary Conservative Management of Epidural Hematoma: Is It


Safe and Is It Cost-Effective?, page 115–116, Indianapolis: 2011

Tamburrelli FC, Meluzio MC, Masci G, Perna A, Burrofato A, Proietti L.


Etiopathogenesis of Traumatic Spinal Epidural Hematoma. Neurospine. 2018
Mar;15(1):101-107. [PMC free article] [PubMed]

Valadka Ab, Narayan RK. Injury to the Cranium. In: Feliciani DV, Moore EE,
Mattox KL. Editors. Trauma 3rd ed. Connecticut: Appleton and Lange; 1999. P
267-70, 273-5.
29

Anda mungkin juga menyukai