Pembimbing :
Disusun oleh :
2018
LEMBAR PENGESAHAN
TEXT BOOK READING
Disusun oleh :
Pembimbing,
Kegunaan DSA
DSA dapat diaplikasikan pada berbagai macam penyakit terutama tentang studi
arteri carotis. Peneliti pada Universitas Wisconson menggunakan DSA sebagai standar
pemeriksaan arteriografi pada anomali arcus aorta, koarktasio aorta dan prosedur pada
anomali arcus aorta, koarktasio aorta dan prosedur vascular bypass. DSA juga dapat
digunakan untuk menggambarkan pembuluh darah abdomen, jantung, paru,
intracerebral dan perifer.
Besarnya potensi, sensitivitas dan spesifitas DSA sebagai alat bantu diagnostik
dan pemeriksaan setelah operasi, maka DSA dapat menggantikan beberapa pemeriksaan
lama seperti periorbital ultra sonography dan thermography. Meskipun DSA memiliki
kemampuan yang lebih rendah daripada angiography, prosedur ini lebih minimal
invasif. Oleh sebab itu, pemeriksaan DSA lebih cepat, nyaman, murah dan berguna
pada pasien dengan akses pembuluh darah yang terbatas. Investigasi dari carotid
arterial disease merupakan pemeriksaan DSA yang paling sering dilakukan diikuti
dengan arteri renalis, arcus aorta , trunkus brachiocephalica, arteri intracranial, aorta
abdomen hingga sirkulasi perifer dan jantung.
DSA dapat digunakan sebagai screening test pada penyakit cerebrovaskular
pada pasien resiko tinggi dan bruit asimtomatik. DSA juga dapat memberikan informasi
anatomis pre-operatif pada pasien yang akan dilakukan reseksi aorta abdomen
aneurisma. Pada prosedur post operatif DSA juga dapat digunakan untuk mengakses
penyebab dari disfungsi transplantasi ginjal.
Teknik pemeriksaan ini pada umumnya digunakan untuk mendiagnosis berbagai
penyakit pembuluh darah, penyakit vaskuler obstruktif yang disebabkan oleh
penyumbatan atau penyempitan dalam lumen arteri dan vena, Aneurisme Otak
(khususnya Aneurisme Intrakranial), pendarahan pada pembuluh darah, Arterio-Venous
malformations (hubungan abnormal antara arteri dan vena), serta memeriksa
vaskularitas tumor kanker. Angiography juga memberikan panduan visual untuk
prosedur intervensional yang dibutuhkan untuk menguraikan atau membuka kembali
arteri yang tersumbat, seperti Prosedur Angioplasti, Arterial Stent, Nephrostomi dan
Biliari. Kontraindikasi pemeriksaan DSA adalah pasien dengan alergi terhadap zat
kontras dan level creatinine yang melebihi 2.5 mg/dL. Indikasi dan Kontraindikasi
1. Sirkulus Wilisi, merupakan anyaman arteri di dasar otak yang dibentuk oleh a.
cerebri media kanan dan kiri yang dihubungkan dengan a. cerebri posterior
kanan dan kiri oleh a. communicant posterior, sedangkan a. cerebri anterior
kanan dengan kiri akan dihubungkan oleh a. communican anterior.
2. Anastomosis a. carotis interna dan a. carotis externa di daerah orbital.
3. Hubungan antara sistem vertebral dengan a. carotis externa.
Sirkulus Willis
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari CVT sangat bervariasi tergantung pada lokasi dan luas
oklusi vena, proses terjadinya oklusi serta tingkat drainase kolateral yang tersedia.Pada
satu pasien, oklusi yang relative terbatas dapat menimbulkan perdarahan
intraparenkimal luas, sedangkan pada pasien lain, oklusi yang luas dapat hampir tidak
menimbulkan gejala.
Efek CVT terhadap status mental agak bervariasi, terhadap beberapa pasien
tidak menunjukkan perubahan pada kesadaran, pada perkembangan yang lain dapat
berkembang menjadi mid confuse dan proses lebih lanjut dapat terjadi koma.
Pada gangguan nervus kranialis dapat ditemukan papilledema, hemianopia dan
parese abducens, kelemahan wajah dan keadaan tuli. Jika thrombosis menyebar ke vena
jugular, dapat berkembang melibatkan nervus kranialis IX,X,XI dan XII dengan
sindrom vena jugular.
Trombosis pada sinus sagitalis superior dapat menimbulkan paralysis unilateral
yang kemudian dapat menyebar ke sisi bagian yang lain (paraplegia). Trombosis sinus
cavernosus dapat menghambat vena optalmica yang berhubungan dengan proptosis dan
edema periorbital ipsilateral. Perdarahan retina dan papiledema juga dapat terjadi.
Paralysis dari gerakan extraocular, ptosis dan menurunnya sensasi rasa adalah bagian
pertama dari gangguan nervus trigeminal.Secara umum berikut beberapa gejala yang
mungkin terjadi :
- Onset dapat tiba-tiba atau perlahan-lahan selama beberapa jam atau beberapa
hari
- Sakit kepala
- Mual dan muntah
- Pandangan kabur
- Defisit neurologis fokal : hemipareses dan hemisensoris, kejang, kelemahan
berbicara (afasia), heminanopia, confuse, penurunan kesadaran.
- Peningkatan tekanan intracranial : papiledema
Pada kasus-kasus thrombosis sinus venosus, perburukan klinis yang nyata dapat
terjadi pada waktu yang sangat singkat, kemungkinan dalam beberapa jam. Keadaan
tersebut biasanya diakibatkan keterlibatan vena internae serebri atau perdarahan
intraparenkim yang luas.
Diagnosa Banding
- Parese Nervus Abducens
- Blood dyscrassias dan stroke
- Sindrom sinus cavernosus
- Head Injury
- HIV-1 berhubungan deng infeksi opportunistic : cytomelovirus ensefalitis
- Intrakranial epidural abses
- Pseudotumor cerebri
- Sarcoidosis dan neuropaty
- Meningitis staphylococcal
- Status epileptikus
- Subdural empiema
- SLE (Systemic Lupuis Erythematosus)
Evaluasi Diagnostik
Diagnosis thrombosis sinus venosus umumnya sulit bahkan bila menggunakan
metode pencitraan modern – CT, MRI dan digital substraction angiography (DSA).
1. Computed Tomography (CT). Kasus akut yang klasik dapat didiagnosa
dengan CT, terutama bila menggunakan CT venografi dengan medium kontras.
Masalah sering disebabkan oleh varian congenital pada anatomi vaskuler, oklusi
yang tidak terlalu luas, dan oleh thrombosis sinus rectus dan vena internae
serebri. Trombosis sinus venosus yang lama juga sulit dinilai dengan CT.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI). MRI saat ini merupakan teknik
diagnostic terpenting untuk evaluasi aliran vena di otak. Pemeriksaan ini
menunjukkan vena pada berbagai bidang, dan dilakukan dengan sekuens
sensitive-aliran untuk memperlihatkan aliran intravena. Resolusinya cukup
tinggi sehingga vena internae serebri dapat terlihat dengan baik.
MRI juga memungkinkan visualisasi parenkim otak. Lokasi dan gambaran lesi
parenkimal dapat memberikan petunjuk mengenai lokasi obstruksi vena: oklusi
venae interna serebri, misalnya menimbulkan lesi talamik yang khas, sedangkan
thrombosis sinus tranversus menimbulkan lesi khas di lobus temporalis. Namun,
kekuatan diagnostic MRI oleh varian anatomi pembuluh darah otak (seperti pasa
CT) dan juga oleh beberapa efek yang berkaitan dengan aliran yang hingga saat
ini belum dipahami. Karena itu, MRI tidak dapat mendeteksi semua kasus
thrombosis sinus venosus, dan kadang-kadang dapat memberikan hasil positif
palsu. Selain itu, pemindaian MRI pada pasien yang tidak kooperatif atau tidak
sadar kadang-kadang sangat sulit dan hasil gambarannya memiliki makna
diagnostic yang rendah. Pada kasus ekstrim, pasien harus dilakukan pemeriksaan
dengan anastesia umum.
3. Digital Substraction Angiography (DSA) intra-arterial. Angiografi atau DSA
intra-arterial dulu satu satunya metode diagnosis thrombosis sinus venosus
dengan pasti. Sayangnya, keterbatasan kegunaan metode ini terbatas pada
kondisi yang persis sama dengna metode lain gagal menunjukan temuan yang
konklusif. DSA tidak lagi digunakan untuk diagnosis thrombosis sinus venosus,
kecuali pada kasus-kasus yang jarang, karena menimbulkan komplikasi yang
lebih tinggi dibandingkan MRI.
RCVS. A, Axial brain CT scan shows bilateral frontoparietal sulcal SAH (white arrowheads). B,
Axial FLAIR image confirms the cSAH (white arrowheads). C, Lateral projection of 3D TOF MRA
shows multiple arterial stenoses and dilations, mainly on the anterior cerebral artery branches
(white arrowheads). D, Lateral projection of a right internal carotid angiogram shows multiple
stenoses and dilations on both anterior cerebral and middle cerebral arteries (black
arrowheads). Note that DSA, even if it showed more clearly the arterial abnormalities, did not
change the previously suspected diagnosis. Follow-up MRA performed at 3 months
demonstrated disappearance of the arterial lesions (not shown).
Case 1. A–B, FLAIR images (9800/152/2300/1) showing hyperintensities sparing the
basal cisterns and involving the sulci of the right convexity, compatible with an acute
subarachnoid hemorrhage.
C, T1-weighted spin echo image (480/9/1) revealing signal changes within the superior
sagittal sinus (arrow).
Case 2.
D, H, Venous phase of the digitized subtracted angiogram (A–P views) of the left
carotid (D) and the left vertebral (H) arteries confirming the occlusion of the left
transverse and superior sagittal sinuses. The right transverse sinus is not seen medially
but fills laterally from venous collaterals and drains into the right sigmoid sinus.
A–D, Large pacchionian granulation at the top of the straight sinus (arrowheads).
Pacchionian granulation is hypointense on reconstructed sagittal and source axial
images (A and B) of 3D contrast-enhanced MP-RAGE (13.5/7/1, TI = 300, flip angle =
15°) and hyperintense on T2-weighted image (C) (3700/96/1). DSA image (D) shows
filling defect in corresponding region (and could be misdiagnosed as a sinus thrombus)
A–D, Diffuse sinus thrombosis (arrows, arrowheads) in a 37-year-old woman with a
history of abruption of placenta and diabetes insipidus. The diagnosis of thrombosis
may be possible from the sagittal MIP image of 2D-TOF MR venography (25/9/1, flip
angle = 30°) (A) and by the indirect finding of lack of visualization of the affected
sinuses. With 3D contrast-enhanced MP-RAGE (13.5/7/1, TI = 300, flip angle = 15°),
however, the reconstructed sagittal and source axial images (B and C) show the extent
and size of the low signal thrombosis (arrows) as well as the atency of the affected
sinuses, which is confirmed on DSA image (D)
A–E, Postoperative sinus thrombosis (arrows) in a 62-year-old man. The coronal source
and MIP images of 2D-TOF MR venography (25/9/1, flip angle = 30°) (A and B) show no
flow signals in the left transverse and sigmoid sinuses, which may be difficult to
differentiate from hypoplasia of the sinuses (see fig 5). The reconstructed coronal and
source axial images (C and D) from a 3D contrast-enhanced MP-RAGE sequence
(13.5/7/1, TI = 300, flip angle = 15°) clearly show the thrombosis in the left
transverse and sigmoid sinuses, which is confirmed on the DSA image (E)
ARTERIOVENOUS MALFORMATION (AVM)
DEFINISI
Malformasi arteriovena (arteriovenous malformation, AVM) adalah suatu
keabnormalan pada pembuluh darah di mana arteri bersambung terus dengan vena tanpa
melalui jaringan kapilari terlebih dahulu. Arteriovenous Malformation adalah kelainan
kongenital dimana arteri dan vena pada permukaan otak atau di parenkim saling
berhubungan secara langsung tanpa melalui pembuluh kapiler.
AVM umumnya terbentuk akibat malfungsi diferensiasi pembuluh darah
primitive pada embrio berusia 3 minggu, dapat terbentuk di bagian otak manapun dan
melibatkan regio permukaan otak dengan substansia alba. Pada gestasi minggu ke-3,
mulai tampak sistem vaskuler yang terdiri dari jaringan yang menjalin ruang-ruang
darah pada mesenkim primitif. Saat ini darah belum bersirkulasi dan pembuluh arteri
dan vena belum dapat diidentifikasi. Selanjutnya sistem vaskuler berkembang secara
bertahap dengan proses penggabungan dan diferensiasi seluler dan sebagai klimaks
terjadi pemisahan arteri-vena.
AVM terdiri atas tiga bagian yaitu feeding arterti, nidus dan draining vein. Nidus
disebut juga sarang karena tampak seperti pembuluh darah yang berbelit – belit.
Feeding artery memiliki lapisan otot yang tidak adekuat dan draining vein cenderung
mengalami dilatasi karena kecepatan aliran darah yang melaluinya. Beberapa orang
lahir dengan nidus yang seiring dengan waktu cenderung melebar karena tekanan yang
besar pada pembuluh arteri tidak dapat dikendalikan oleh vena yang mengalirkannya.
Mengakibatkan kumpulan pembuluh darah besar yang tampak seperti cacing dapat
mengalami perdarahan di masa yang akan datang.
GEJALA
Masalah yang paling banyak dikeluhkan penderita AVM adalah nyeri kepala
dan serangan kejang mendadak dimana setidaknya 15% dari populasi tidak menunjukan
gejala apapun. Gejala lain yang sering ditemukan berupa vertigo, pulsing noise
dikepala, tuli progresif, penurunan penglihatan, confusion, dementia dan halusinasi.
Dan jika AVM terjadi pada lokasi kritis maka AVM dapat menyebabkan sirkulasi
cairan otak terhambat, yang dapat menyebabkan akumulasi cairan di dalam tengkorak
yang beresiko hidrosefalus. Kaku kuduk mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan
intracranial dan rangsangan pada meningen. Pada kasus yang lebih berat dapat berupa
ruptur pembuluh darah sehingga menimbulkan intracranial hemorrhage. Setidaknya
lebih dari setengah pasien dengan AVM menunjukan gejala hemorrhage sebagai
penyebab utama sehingga menimbulkan gejala klinik lain berupa kehilangan kesadaran,
sakit kepala yg tiba-tiba dan hebat, nausea, vomiting, incontinence dan gangguan
penglihatan. Kerusakan lokal pada jaringan otak akibat perdarahan mungkin terjadi
yang dapat menyebabkan kelemahan otot, paralysis, hemiparesis, afasia dan lainnya.
Perdarahan minor tidak menunjukan gejala yang berarti. Umumnya pasien mengalami
pendarahan yang sedikit namun sering. Biasanya penderita mengalami kejang sebelum
mengetahui bahwa mereka menderita AVM. Sebagian pasien menderita nyeri kepala,
yang tidak dihubungkan dengan AVM sebelum diperiksa dengan CT Scan atau MRI.
Pendarahan intrakranial tersebut dapat menyebabkan hilang kesadaran, nyeri kepala
hebat yang mendadak, mual, muntah, ekskresi yang tidak dapat dikendalikan misalnya
defekasi atau urinasi, dan penglihatan kabur. Kaku leher yang dialami dikarenakan
peningkatan tekanan antara tengkorak dengan selaput otak (meninges) yang
menyebabkan iritasi. Perbaikan pada jaringan otak lokal yang pendarahan mungkin saja
terjadi, termasuk kejang, kelemahan otot yang mengenai satu sisi tubuh (hemiparesis),
kehilangan sensasi sentuh pada satu sisi tubuh, maupun defisit kemampuan dalam
memproses bahasa (aphasia). Variasi gejala ini sejalan dengan tipe kerusakan
cerebrovaskular. Secara umum, nyeri kepala yang hebat yang bersamaan dengan kejang
atau hilang kesadaran, merupakan indikasi pertama adanya AVM pada daerah cerebral.
DIAGNOSIS
Diagnosa AVM ditegakkan dengan menggunakan neuroimaging setelah
pemeriksaan terhadap saraf dan pemeriksaan fisik dilakukan. Terdapat 3 teknik utama
untuk menegakkan diagnosa AVM yaitu Computed Tomography (CT), Magnetic
Resonance Imaging (MRI), Cerebral Angiography. CT-scan kepala biasanya merupakan
pemeriksaan awal yang dilakukan karena dapat menunjukan perkiraan dari lokasi
perdarahan. Namun MRI lebih sensitif dari CT-scan karena dapat memberikan
informasi yang lebih baik tentang lokasi dari malformasi tersebut. Untuk mendapatkan
gambaran yang lebih spesifik dari pembuluh darah AVM dapat menggunakan zat
kontras radioaktif yang disuntikkan ke dalam pembuluh darah yang disebut Computed
Tomography Angiogram dan Magnetic Resonance Angiography. Gambaran terbaik
untuk AVM melalui Cerebral Angiography.
GAMBARAN UMUM
Petunjuk diagnostik terbaik “Bag of Black Worm” pada MR dengan minimal atau tanpa
efek massa.
Lokasi :
Ukuran :
IMAGING RECOMMENDATION
A 32-year-old woman with a left frontal-parietal AVM revealed by seizures and treated
by embolization then radiosurgery more than 4 years ago. Residual nidus (arrow) and
venous drainage (arrowhead) are seen on DSA (A) but not on 4D-MRA (B) by both
readers. Retrospectively, the draining vein is visible (arrowhead) on 4D-MRA, but is
not dilated and appears during the venous phase (indistinguishable from cortical veins).
A 16-year-old adolescent girl with a left frontal AVM revealed by transitory neurologic
symptoms; treated by embolization then radiosurgery 2 years and 10 months earlier.
When the drainage is early, the vein dilated, and the nidus compact, depiction is easy.
The residual nidus (arrowhead) and venous drainage (arrow) were visualized by both
readers in DSA (A, B) and 4D-MRA (C, D).
A, Unenhanced brain CT scan (axial section) in a 40-year-old woman with headache.
Right occipital hematoma is seen (white arrow). Note a round hypoattenuated shape
surrounded by the hematoma, corresponding to the intranidal aneurysm (black arrow).
B, Volume rendering reconstruction from the 3D-RA acquisition through the left
vertebral artery, showing a large intranidal aneurysm (white arrow). C and D, Left
vertebral DSA in anteroposterior projection at early phase (C) and late phase (D). At
early phase, an intranidal aneurysm is seen (C, arrow). On late phase, this nidal
aneurysm appears clearly connected to the main draining vein (D, arrowheads),
confirming the venous nature of this intranidal aneurysm.
A and B, Left vertebral artery DSA in lateral projection in a 41-year-old woman with a
ruptured right parieto-occipital bAVM. A, Early phase showing a nidal aneurysm (black
arrow) before filling of the draining vein. B, Intermediate phase showing a second
intranidal aneurysm (white arrow) in addition to the first one (black arrow). Note a
focal venous ectasia on the main draining vein (white dotted arrow). C and D, Selective
DSA in anteroposterior projection from the parieto-occipital branch of the right
posterior cerebral artery through a flow-dependent microcatheter. C, Early phase
showing the filling of both the nidus and an intranidal aneurysm before any venous
filling. D, Intermediate phase showing, in addition to the previously described intranidal
aneurysm (black arrow), a second smaller nidal aneurysm (double arrow) close to the
origin of the main draining vein (arrowheads). Note the presence of a focal venous
ectasia on the main draining vein (black dotted arrow).
1. Farmakologis
Operasi Reseksi
Tindakan operatif sebaiknya dilakukan pada AVM yang ruptur dan diperkirakan
memberikan hasil yang sedikit lebih baik dibandingkan dengan unruptured AVM.
Intervensi bedah merupakan terapi definitif pada AVM. Ukuran, lokasi, perlekatan
dengan daerah sekitarnya, serta konfigurasi vaskular menentukan pertimbangan
perlunya intervensi bedah. Skala Spetzler Martin digunakan sebagai pertimbangan
risiko dan manfaat operasi. Skala Spetzler Martin yang terdiri atas tiga parameter yaitu
ukuran nidus, drainase vena dan kelancaran berbicara (eloquence). Derajat rendah bila
grade 1,2. Derajat tinggi grade 4,5 dan inoperable grade 6.
Embolisasi
Untuk menghindari pendarahan, vasodilatasi lokal (aneurisma) harus
dihilangkan. Embolisasi merupakan penyumbatan pembuluh darah yang AVM. Dengan
x-ray, kateter dikendalikan dari arteri femoralis di daerah paha atas ke daerah AVM
yang diobati. Lalu setelah daerah AVM dicapai, semacam lem atau kadang gulungan
kabel ditempatkan untuk memblok area tersebut. Namun, embolisasi sendiri juga jarang
dengan sempurna memblok aliran darah ke daerah AVM.
Radiosurgery
Radiosurgery dilakukan dengan mengunakan alat yang disebut dengan gamma-
knife, efektif pada AVM yang berukuran < 2 cm, sedangkan pada lesi yang lebih besar
terapi ini kurang responsif. Paling tidak, malformasi dapat hilang selama dua tahun.
Pilihan terapi untuk pasien harus mempertimbangkan risiko yang akan terjadi pada
setiap pilihan terapi. Alternatif terapi baik sebagai terapi tunggal maupun dilakukan
secara bersama-sama:Terapi konservatif
Bila alternatif terapi tidak dapat dilakukan atau risiko terapi terlalu besar,
tindakan konservatif dengan mengobati gejala yang timbul dapat dilakukan pada pasien.
Berbagai keluhan non-hemoragik, seperti sakit kepala ataupun kejang, umumnya
berespons baik terhadap terapi medikamentosa.Pada berbagai literatur, terapi
simptomatik pada unruptured AVM menjadi pilihan, mengingat risiko pasca-operasi
tidak menghilangkan gejala, bahkan dapat memperberat keluhan pasien. Aminoff
membuat suatu skema risiko dan manfaat tindakan operatif sebagai pertimbangan
tatalaksana pada pasien dengan unruptured AVM.
Insidens perdarahan intrakranial akibat ruptur AVM per tahunnya adalah sekitar
1-2%, dan angka kecacatan akibat tindakan operatif juga tinggi, bahkan mempercepat
timbulnya disabilitas pada pasien.Selain itu, keluhan pasien adalah sakit kepala.
Menurut literatur, sakit kepala dan kejang bukan merupakan indikasi tindakan operatif
pada pasien dengan unruptured AVM, karena tidak menghilangkan keluhan sakit kepala
atau menghilangkan kejang pada pasien.
Terapi dengan gamma-knife pada pasien ini juga tidak memungkinkan karena
ukuran lesi yang besar (> 3 cm). Dengan terapi konservatif (dan terapi simptomatik),
risiko ruptur AVM akan menurun seiring pertambahan usia. Terapi bergantung pada
lokasi dan besar AVM serta adakah perdarahan atau tidak.
STROKE ISKEMIK
Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi
sistem saraf pusat fokal atau global yang berkembang cepat ( dalam detik atau menit).
Gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian, berasal dari
gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak
sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi.
Vaskularisasi Otak
MANIFESTASI KLINIK
Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokalisasinya. Sebagian
besar kasus terjadi secara mendadak, sangat cepat, dan menyebabkan kerusakan otak
dalam beberapa menit.
Gejala utama stroke iskemik akibat trombosis serebri ialah timbulnya defisit
neurologik secara mendadak/subakut, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan
kesadaran biasanya tidak menurun. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun.
Sedangkan stroke iskemik akibat emboli serebri didapatkan pada usia lebih muda,
terjadi mendadak dan pada waktu beraktifitas. Kesadaran dapat menurun bila emboli
cukup besar.
Vaskularisasi otak dihubungkan oleh 2 sistem yaitu sistem karotis dan sistem
vertebrobasilaris. Gangguan pada salah satu atau kedua sistem tersebut akan
memberikan gejala klinis tertentu.
DIAGNOSIS
Ditetapkan dari anamnesis dan pemeriksaan neurologis dimana didapatkan
gejala-gejala yang sesuai dengan waktu perjalanan penyakitnya dan gejala serta tanda
yang sesuai dengan daerah pendarahan pembuluh darah otak tertentu.
Anamnesis
Defisit neurologis yang terjadi secara tiba-tiba, saat aktifitas/istirahat, onset,
nyeri kepala/tidak, kejang/tidak, muntah/tidak, kesadaran menurun, serangan pertama
atau berulang. Juga bisa didapatkan informasi mengenai faktor resiko stroke. Faktor
resiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin, ras, dan genetik.
Sementara faktor resiko yang dapat diubah adalah hipertensi, diabetes melitus, penyakit
jantung, riwayat TIA/ stroke sebelumnya, merokok, kolesterol tinggi dalam darah, dan
obesitas.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum, kesadaran (Glasgow Coma Scale), tanda vital.
Pemeriksaan neurologis dapat dilakukan untuk melihat apakah ada deficit neurologis,
tanda-tanda perdarahan, tanda-tanda peningkatan TIK, ataupun tanda-tanda ransang
meninges.
Alat bantu skoring : Skor Hasanuddin
Penggunaan skor Hasanuddin turut dilakukan dalam membantu mendiagnosa
stroke pada sebelum atau tanpa adanya CT scan. Bagi stroke iskemik skornya kurang
atau sama dengan 15.
SKOR HASANUDDIN
Kesadaran Menurun
Menit - 1 jam = 10
1 jam - 24 jam = 7,5
Sesaat tapi pulih kembali = 6
≥ 24 jam = 1
Tidak beraktifitas = 1
Sakit Kepala
Sangat hebat = 10
Hebat = 7,5
Ringan = 1
Tidak ada = 0
Muntah Proyektil
Menit - 1 jam = 10
1 jam - 24 jam = 7,5
> 24 jam = 1
Tidak ada = 0
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium standar biasanya di gunakan untuk menentukan etiologi
yang mencakup urinalisis, darah lengkap, kimia darah, dan serologi. Pemeriksaan yang
sering dilakukan untuk menentukan etiologi yaitu pemeriksaan kadar gula darah, dan
pemeriksaan lipid untuk melihat faktor risiko dislipidemia :
1. Gula darah
Kadar glukosa darah.
Kriteria diagnostik DM
Bukan DM Belum pasti DM DM (mg/dl)
(mg/dl) (mg/dl)
Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma Vena <110 110 – 199 >200
Darah kapiler <90 90 – 199 >200
Kadar glukosa darah puasa
Plasma vena <110 110 – 125 >126
Darah <90 90 – 109 >110
Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk stroke, namun tidak sekuat hipertensi.
Gatler menyatakan bahwa penderita stroke aterotrombotik di jumpai 30% dengan
diabetes mellitus. Diabetes melitus mampu menebalkan pembuluh darah otak yang
besar, menebalnya pembuluh darah otak akan mempersempit diameter pembuluh darah
otak dan akan mengganggu kelancaran aliran darah otak di samping itu, diabetes
melitus dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah) yang
5
lebih berat sehingga berpengaruh terhadap terjadinya stroke.
2. Profil lipid
Kadar Lipid Serum Normal.
Kolesterol Total (mg/dl)
Optimal < 200
Diinginkan 200 –239
Tinggi ≥240
LDL
Optimal < 100
Mendekati optimal 100 –129
Diinginkan 130 –159
Tinggi 160 –189
Sangat tinggi ≥190
HDL
Rendah < 40
Tinggi ≥ 60
Trigliserida
Optimal < 150
Diinginkan 150 –199
Tinggi 200 –449
Sangat tinggi ≥500
Measurements of the degree of stenosis and minimal luminal diameter in both DSA and
HR-MR. The degree of stenosis is 73.9% on HR-MR (normal luminal diameter, 3.18
mm; minimal luminal diameter, 0.83 mm) and 72.7% on DSA (normal luminal
diameter, 2.86 mm; minimal luminal diameter, 0.78 mm).
DSA images in a lateral projection in a case of initial carotid-T occlusion (A). Dynamic
images (delay = 1 second) after successful POS recanalization resulting in 1 proximal
(filled arrow) and 1 intermediate embolus (open arrow) due to PTF (B–D).
DIAGNOSIS BANDING
Stroke Hemoragik
Ensefalopati toksik/metabolik
Ensefalitis
Lesi struktural intrakranial (hematoma subdural, hematoma epidural, tumor
otak)
Kelainan non neurologis / fungsional (contoh: kelainan jiwa)
Trauma kepala
Ensefalopati hipertensif
Migren hemiplegik
Abses otak
Sklerosis multipel.
PENATALAKSANAAN
Stroke adalah suatu kejadian yang berkembang, karena terjadinya jenjang
perubahan metabolik yang menimbulkan kerusakan saraf dengan lama bervariasi setelah
terhentinya aliran darah kesuatu bagian otak. Dengan demikian, untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas perlu dilakukan intervensi secara cepat. Salah satu tugas
terpenting dokter sewaktu menghadapi devisit neurologik akul, fokal, dan non konvulsif
adalah menentukan apakah kausanya perdarahan atau iskemia-infark. Terapi darurat
untuk kedua tipe stroke tersebut berbeda, karena terapi untuk pembentukan trombus
dapat memicu perdarahan pada stroke hemoragik.
1. Mencegah cedera otak akut dengan memuliihkan perfusi kedaerah iskemik non
infark.
2. Membalikkan cedera saraf sedapat mungkin,
3. Mencegah cedera neurologik lebih lanjut dengan melindungi sel dari daerah
penumbra iskemik dari kerusakan lebih lanjut oleh jenjang glutamat.
Terapi pada stroke iskemik dibedakan pada fase akut dan pasca akut.
Fase akut (hari 0-14 sesudah onset penyakit)
Pada stroke iskemik akut, dalam batas-batas waktu tertentu sebagian besar
cedera jaringan neuron dapat dipulihkan.Mempertahankan fungsi jaringan adalah tujuan
7
dari apa yang disebut sebagai strategi neuroprotektif.
Sasaran pengobatan : menyelamatkan neuron yang menderita jangan sampai mati dan
agar proses patologik lainnya yang menyertai tidak mengganggu / mengancam fungsi
otak. Tindakan dan obat yang diberikan haruslah menjamin perfusi darah ke otak tetap
cukup, tidak justru berkurang.
Secara umum dipakai patokan 5B, yaitu :
1. Breathing
Harus dijaga jalan nafas bersih dan longgar, dan bahwa fungsi paru-paru cukup
baik. Pemberian oksigen hanya perlu bila kadar oksigen darah berkurang.3
2. Brain
Posisi kepala diangkat 20-30 derajat.
Udem otak dan kejang harus dihindari. Bila terjadi udem otak, dapat dilihat dari
keadaan penderta yang mengantuk, adanya bradikardi, atau dengan pemeriksaan
funduskopi.3
3. Blood
Kejang harus segera diatasi dengan diazepam/fenitoin iv sesuai protokol yang ada,
lalu diturunkan perlahan.
Ulkus stres : diatasi dengan antagonis reseptor H2
Peneumoni : tindakan fisioterapi dada dan pemberian antibiotik spektrum luas
Tekanan intrakranial yang meninggi diturunkan dengan pemberian Mannitol bolus :
1 g/kg BB dalam 20-30 menit kemudian dilanjutkan dengan 0,25-0,5 g/kg BB
setiap 6 jam selama maksimal 48 jam. Steroid tidak digunakan secara rutin.10
Penatalaksanaan keadaan khusus :
1. Hipertensi
Penurunan tekanan darah pada stroke fase akut hanya bila terdapat salah satu di
bawah ini :
Tekanan sitolik >220 mmHg pada dua kali pengukuran selang 30 menit
Tekanan diastolik >120 mmHg pada dua kali pengukuran selang 30 menit
Tekanan darah arterial rata-rata >130-140 mmHg pada dua kali pengukuran
selang 30 menit
Disertai infark miokard akut/gagal jantung
Penurunan tekanan darah maksimal 20% kecuali pada kondisi keempat, diturunkan
sampai batas hipertensi ringan.
Obat yang direkomendasikan: golongan beta bloker, ACE inhibitor, dan antagonis
kalsium.
2. Hipotensi
Hipotensi harus dikontrol sampai normal dengan dopamin drips dan diobati
penyebabnya.
3. Hiperglikemi
Hiperglikemi harus diturunkan hingga GDS: 100-150 mg% dengan insulin
subkutan selama 2-3 hari pertama.
4. Hipoglikemi
Hipoglikemi diatasi segera dengan dekstrose 40% iv sampai normal dan
penyebabnya diobati,
5. Hiponatremi
1. Fase Akut
Pada fase akut dapat diberikan :
Pentoksifilin infus dalam cairan ringer laktat dosis 8mg/kgbb/hari
Aspirin 80 mg per hari secara oral 48 jam pertama setelah onset
Dapat dipakai neuroprotektor: piracetam, cithicolin, nimodipin.
2. Fase Pasca Akut
Pada fase paska akut dapat diberikan:
Pentoksifilin tablet: 2 x 400 mg
ASA dosis rendah 80-325 mg/hari
Neuroprotektor.
Setelah fase akut berlalu, sasaran pengobatan dititikberatkan pada tindakan
rehabilitasi penderita, dan pencegahan terulangnya strok.
Rehabilitasi :
Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45 tahun, maka
paling penting pada masa ini ialah upaya membetasi sejauh mungkin kecacatan
penderita, fisik dan mental, dengan fisioterapi, ‘terapi wicara’ dan psikoterapi.
Rehabilitasi segera dimulai begitu tekanan darah, denyut nadi, dan pernafasan penderita
stabil.
ANEURISMA
DEFINISI
Aneurisma adalah pelebaran atau menggelembungnya dinding pembuluh darah,
yang didasarkan atas hilangnya dua lapisan dinding pembuluh darah, yaitu tunika media
dan tunika intima, sehingga menyerupai tonjolan atau balon. Dinding pembuluh darah
pada aneurisma ini biasanya menjadi lebih tipis dan mudah pecah.
Pengertian aneurisma yang sesungguhnya adalah dilatasi abnormal dari arteri. Hal
ini harus dibedakan dari “false” aneurisma, dimana terjadi pengumpulan darah disekitar
dinding pembuluh darah akibat trauma. Aneurisma sering terbentuk secara perlahan
selama bertahun-tahun dan sering juga tanpa gejala tetapi jika telah terjadi ruptur maka
ini adalah kegawatdaruratan bedah yang dapat mengancam nyawa.
2
Penyebab tersering dari aneurisma serebral adalah sebagai berikut. Pertama, trauma
pembuluh darah yang diinduksi oleh kelainan hemodinamika dan degeneratif seperti
tekanan darah tinggi. Kedua, penumpukan lemak dan pengapuran pembuluh darah
(aterosklerosis), terutama pada aneurisma tipe fusiformis. Ketiga, kelainan pembuluh
darah seperti displasia fibromuskular. Keempat, aliran darah yang sangat tinggi, seperti
malformasi arteri vena dan fistula. Penyebab lain yang jarang terjadi antara lain karena
trauma, infeksi, obat-obatan, dan tumor (neoplasma primer maupun metastasis)
KLASIFIKASI
Berdasarkan bentuknya, aneurisma dapat dibedakan menjadi aneurisma tipe
fusiformis dan aneurisma tipe sakular atau aneurisma kantung, dan aneurisma tipe
disekting.Tipe aneurisma tipe fusiformis (5–9%). Penderita aneurisma ini mengalami
kelemahan dinding melingkari pembuluh darah setempat sehingga menyerupai badan
botol. Paling sering disebabkan oleh aterosklerosis (penumpukan lemak dalam
pembuluh darah).
Aneurisma tipe sakular atau aneurisma kantung (90–95%). Pada aneurisma ini,
kelemahan hanya pada satu per-mukaan pembuluh darah sehingga dapat berbentuk
seperti kantung dan mempunyai tangkai atau leher. Dari seluruh aneurisma dasar
tengkorak, kurang lebih 90% merupakan aneurisma sakuler. Berdasarkan diameternya
aneurisma sakuler dapat dibedakan atas :
(a) aneurisma sakuler kecil dengan diameter <15 mm;
(b) aneurisma sakuler sedang dengan diameter antara 15–25 mm;
(c) aneurisma sakuler besar dengan diameter <25–50 mm; dan
(d) aneurisma sakuler raksasa dengan diameter>50 mm. Aneurisma Berry adalah
aneurisma sakular yang leher dan batangnya menyerupai buah beri.
Sirkulasi anterior : pembuluh darah arteri komunikans anterior dan arteri cerebri
media
Sirkulasi posterior : pembuluh darah arteri komunikans posterior dan
percabangan arteri basilaris (basilar tip aneurism)
GEJALA
Aneurisma serebral hampir tidak pernah menimbulkan gejala, kecuali terjadi
pembesaran dan menekan salah satu saraf otak, sehingga memberikan gejala sebagai
kelainan saraf otak yang tertekan. Aneurisma yang kecil dan tidak progresif, hanya akan
menimbulkan sedikit bahkan tidak menimbulkan gejala.
Pertanda awal bisa terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa minggu sebelum
aneurisma pecah (ruptur).
Sebelum aneurisma berukuran besar mengalami ruptur, pasien akan mengalami
gejala seperti sakit kepala berdenyut yang mendadak dan berat, mual dan muntah,
gangguan penglihatan (pandangan kabur/ ganda, kelopak mata tidak membuka), kaku
leher, nyeri daerah wajah, kelumpuhan sebelah anggota gerak kaki dan tangan, denyut
jantung dan laju per-napasan naik turun, hilang kesadaran (kejang, koma, kematian),
dan tidak mengalami gejala apapun.
Rupturnya aneurisma serebral dapat menimbulkan pendarahan di dalam selaput
otak (meninges) dan otak sehingga mengakibatkan pendarahan sub-araknoid (PSA) dan
pendarahan intraserebral (PIS), yang keduanya dapat menimbulkan gejala stroke. Juga
dapat terjadi pendarahan ulang, hidrosefalus (akumulasi berlebihan dari cairan otak),
vasospasme (penyempitan pembuluh darah), dan aneurisma multipel.
Risiko ruptur aneurisma serebral tergantung pada besarnya ukuran aneurisma.
Makin besar ukurannya,makin tinggi risiko untuk ruptur. Angka ruptur aneurisma
serebral kira-kira 1,3% per tahun. Sebenarnya dapat dilakukan skrining pencitraan,
tetapi tidak efektif dari segi pembiayaan.
Tingkat keparahan dari pendarahan subaraknoid (PSA) yang terjadi pada ruptur
aneurisma serebral, dapat menggunakan Skala Hunt-Hess:
Derajat 1: asimtomatik (tidak bergejala) atau sakit kepala ringan dan kaku
kuduk ringan (angka harapan hidup sebesar 70%)
Derajat 2: sakit kepala ringan sampai sedang, kaku kuduk, tidak ada
gangguan saraf selain kelumpuhan saraf otak (angka harapan hidup sebesar
60%).
Derajat 3: somnolen (mengantuk) dengan gangguan saraf minimal (angka
harapan hidup 50%).
Derajat 4: stupor, hemiparesis (lumpuh separuh tubuh), awal dari kekakuan
deserebrasi, dan gangguan vegetatif (angka harapan hidup 20%).
Derajat 5: koma dalam, kekakuan deserebrasi (angka harapan hidup 10%).
Derajat 6: mati batang otak (sesuai dengan kriteria pendarahan subaraknoid
derajat 6).
Klasifikasi Fisher Grade mengelompokkan penampakan pendarahan
subaraknoid berdasarkan pemeriksaan CT scan:
A, DSA of the left internal carotid artery at 9 months after treatment of a 7-mm
aneurysm of the anterior communicating artery. The frontal head view shows a large
recanalization (arrow) classified as residual aneurysm (class 3).
B, Contrast-enhanced MR angiograph with MIP reconstruction in the frontal plane
(arrow) demonstrates a residual aneurysm (class 3) in accordance with DSA findings.
A, DSA of the left vertebral artery performed at 12 months after treatment of a 6-mm
aneurysm of the left posterior inferior cerebellar artery. The frontal head view shows
(arrow) an opacification of residual aneurysm (class 3).
B, Contrast-enhanced MR angiograph with MIP reconstruction in the frontal plane
demonstrates (arrow) a residual aneurysm (class 3).
A, DSA of the left internal carotid artery at 11 months after treatment of a 3-mm
aneurysm of the anterior communicating artery. The frontal head view shows a residual
neck (arrow) of 2 mm-diameter (class 2).
B, Contrast-enhanced MR angiograph with MIP reconstruction in the frontal plane
demonstrates (arrow) a residual neck (class 2) in accordance with DSA.
A, DSA of the left internal carotid artery performed at 12 months after treatment of a 3-
mm aneurysm of the anterior communicating artery. The frontal head view shows a
complete obliteration (class 1) at the site of the anterior communicating artery (arrow).
B, Contrast-enhanced MR angiograph with MIP reconstruction in the frontal view
demonstrate a complete obliteration in agreement with DSA findings with minor coil
artifact.
Embolization of experimental wide-necked aneurysms with the liquid embolic I-PVA:
A, Digital subtraction carotid artery angiogram (DSA) of experimental aneurysm (swine
6, right common carotid artery).
B, Aneurysmography performed before embolization confirms blood flow-arrest while a
compliant balloon bridging the aneurysm neck is inflated (arrow indicates tip of the
microcatheter within the aneurysm cavity).
C, First cycle of polymer injection. I-PVA is injected within the first 2 minutes of a
temporary carotid artery occlusion time of 5 minutes total. Note the good visibility of I-
PVA, which accumulates at the tip of the microcatheter, under fluoroscopy.
D, Second cycle of polymer injection. I-PVA enlarges mainly around the microcatheter,
gradually filling the aneurysm cavity.
E, Third cycle of polymer injection after which I-PVA appears to completely fill the
aneurysm.
F, Immediate postembolization DSA demonstrates almost complete occlusion of the
aneurysm with a small neck remnant next to the former microcatheter position (arrow).
Follow-up investigations after 4 weeks.
A, Bicarotid trunk angiogram obtained 4 weeks after embolization reveals bilateral
complete aneurysm occlusion with preserved parent artery patency.
B, Volume-rendered reconstruction of 16-row multisection CT angiogram (MSCTA).
The polymer-filled aneurysms do not produce beam-hardening artifacts, so that
morphology of the parent artery and that of the polymer cast could be evaluated
concomitantly, frequently confirming angiographic findings.
C, Maximum intensity projection (MIP) of MSCTA displaying exclusively the right
carotid artery for closer vessel evaluation. Note the separation between the cast and the
carotid artery on axial sections suggesting the formation of a neointima layer (arrow,
upper left hand corner).
D, Right carotid artery angiogram confirms MSCTA findings, but demonstrates this soft
tissue interposition more clearly (arrow).
E, Axial gadolinium-enhanced T1-weighted 3D fast-spoiled gradient-echo imaging
(FSPGR) allows for a detailed evaluation of the configuration of the polymer cast,
demonstrating a smooth reconstruction of the arterial vessel wall (arrow).
F, 3D time-of-flight MR angiography shows preserved carotid artery patency; no intra-
aneurysmal flow signals were observed.
Case 1. Wide-necked paraophthalmic aneurysm (dome, 5.5 × 8 mm; neck, 5 mm).
A and B, DSA images obtained before (A) and after (B) combined therapy with the self-
expanding stent and GDCs demonstrate complete obliteration. The patient had two
additional aneurysms (at the AcomA and basilar artery) previously treated with GDCs
alone.
C and D, Source images of time-of-flight MR angiography reveal no stent-related
artifacts and normal flow-void signal intensity of the internal carotid artery. Arrows in
D indicate coil mass.
E, Follow-up angiogram after 6 months reveals complete aneurysm occlusion.
Case 2.
A, Angiogram reveals previously coiled recurrent aneurysm (arrows) of the cavernous
internal carotid artery.
B, Angiogram obtained after stent deployment shows immediate stasis of the contrast
material.
C, Angiogram obtained after coiling through the stent interstices shows that the
aneurysm is subtotally occluded.
D, Further thrombosis is noted after 6 months.
Case 3.
A, Anteroposterior and B, lateral DSA views demonstrate a broad-based, previously
clipped, recurrent basilar tip aneurysm encroaching on the left P1 segment.
C, Angiogram reveals immediate stasis of contrast material in the aneurysm after stent
deployment.
D, Angiogram reveals extravasation of contrast material after aneurysm perforation with
the microcatheter (arrows).
E, Posteroanterior and F, lateral final angiograms after treatment show complete
obliteration.
G, Angiogram shows that the right posterior cerebral artery is opacified via the internal
carotid artery.
Case 4.
A, Posteroanterior and B, oblique DSA views show a previously coiled, multilobulated,
recurrent basilar tip aneurysm encroaching the left P1 segment.
C, Unsubtracted image demonstrates the proximal and distal markers (arrows) of the
self-expanding neurovascular stent positioned with the distal end in the left P1 segment
and with the proximal end in the midbasilar artery.
D, Final oblique angiographic view after treatment demonstrates complete obliteration
of the aneurysm.
E, Follow-up angiogram reveals that the aneurysm remained occluded 6 months later
TERAPI
Untuk aneurisma yang belum ruptur, terapi ditujukan untuk mencegah agar
aneurisma tidak ruptur, dan juga agar tidak terjadi penggelembungan lebih lanjut
darivcaneurisma tersebut. Sedangkan untuk aneurisma yang sudah ruptur, tujuan terapi
adalah untuk men-cegah pendarahan lebih lanjut dan mencegah atau membatasi
terjadinya vasospasme. Penderita harus segera dirawat dan tidak boleh melakukan
aktivitas berat. Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang
dipasang selang drainase di dalam otak untuk mengurangi tekanan.
Kliping operatif
Kliping operatif diperkenalkan pada tahun 1937. Terapi ini mencakup
kraniotomi (pembukaan tengkorak), melihat aneurismanya, dan menutup dasar
aneurisma dengan klip yang dipilih khusus sesuai dengan area terjadinya
aneurisma. Pemasangan klip logam kecil di dasar aneurisma bertujuan supaya
bagian dari pembuluh darah yang menggelembung itu tertutup dan tidak bisa
1
dilalui oleh darah. Teknik operasi ini telah berkembang dan menurunkan angka
kekambuhan aneurisma. Indikasi untuk bedah kliping aneurisma, antara lain:
ukuran aneurisma yang besar dan sangat besar
aneurisma dengan leher yang lebar
pembuluh darah yang keluar dari aneurisma
efek massa atau hematoma yang berhubungan dengan aneurisma
aneurisma rekurens setelah koiling endovaskuler
Koiling endovaskuler
Koiling endovaskuler diperkenalkan tahun 1991. Teknik ini dilakukan dengan
pemasangan kateter melalui pembuluh nadi paha (arteri femoralis) menuju aorta,
pembuluh nadi otak, dan akhirnya ke aneurismanya. Dengan bantuan sinar X,
dipasang koil logam di tempat aneurisma pembuluh dara otak tersebut. Ketika
kateter berada di dalam aneurisma, koil platina didorong masuk ke dalam
aneurisma, lalu dilepaskan. Setelah itu dialirkan arus listrik ke koil logam
tersebut, dan diharapkan darah di tempat aneurisma itu akan membeku dan
1
menutupi seluruh aneurisma tersebut. Koil-koil ini akan merangsang reaksi
pembekuan di dalam aneurisma sehingga dapat menghilangkan aneurisma itu
sendiri. Teknik ini hanya memerlukan insisi kecilsebagai tempat masuknya
kateter. Pada kasus aneurisma dengan leher yang lebar, sebuah sten dipasang
pada pembuluh darah nadi sebagai pemegang kumparan, namun studi
pemasangan sten jangka lama dalam pembuluh darah otak belum dilakukan.
Indikasi koiling endovaskuler, antara lain:
pasien dengan derajat klinis yang buruk
pasien dengan keadaan umum yang tidak stabil
pada lokasi aneurisma yang meningkatkan risiko operasi, seperti
sinus kavernosus dan aneurisma di dasar tengkorak
aneurisma berleher kecil di fosa posterior
pasien dengan vasospasme dini
pada kasus aneurisma yang sulit untuk ditetapkan lehernya
risiko operasi tinggi pada pasien dengan aneurisma multipel dengan
lokasi arteri berbeda
INDIKASI OPERASI
Aneurisma yang belum ruptur dilaporkan pada akhirnya ruptur dengan angka kejadian
1–1,4% per tahun. Sebagian besar peneliti menyebutkan bahwa risiko operasi lebih
kecil daripada risiko efek massa dan ruptur aneurisma pada pasien kurang dari usia 65
tahun yang ukuran aneurismanya lebih dari 1 cm. Pengaruh ukuran aneurisma masih
kontroversial.
STROKE HEMORAGIK
PENGERTIAN STROKE DAN STROKE HEMORAGIK
Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang
secara cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke hemoragik adalah stroke
yang terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi
perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak.
A. Perdarahan Intraserebral
Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar setengah dari jumlah
penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama aktivitas. Namun,
pada orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala disfungsi otak
menggambarkan perkembangan yang terus memburuk sebagai perdarahan. Beberapa
gejala, seperti kelemahan, kelumpuhan, hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya
mempengaruhi satu sisi tubuh. Orang mungkin tidak dapat berbicara atau menjadi
bingung. Visi dapat terganggu atau hilang. Mata dapat menunjukkan arah yang berbeda
atau menjadi lumpuh. Mual, muntah, kejang, dan hilangnya kesadaran yang umum dan
dapat terjadi dalam beberapa detik untuk menit.
B. Perdarahan Subaraknoid
Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali menekan
pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya sebelum pecah besar (yang
menyebabkan sakit kepala), menghasilkan tanda-tanda peringatan, seperti berikut:
Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadang-kadang
disebut sakit kepala halilintar)
Sakit pada mata atau daerah fasial
Penglihatan ganda
Kehilangan penglihatan tepi
Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu sebelum pecahnya aneurisma.
Individu harus melaporkan setiap sakit kepala yang tidak biasa ke dokter segera.
Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba parah dan
mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti dengan kehilangan
kesadaran singkat. Hampir setengah dari orang yang terkena meninggal sebelum
mencapai rumah sakit. Beberapa orang tetap berada dalam koma atau tidak sadar dan
sebagian lainnya bangun, merasa bingung, dan mengantuk. Dalam beberapa jam atau
bahkan menit, penderita mungkin menjadi tidak responsif dan sulit untuk dibangunkan.
Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak mengiritasi
lapisan jaringan yang menutupi otak (meninges), menyebabkan leher kaku serta sakit
kepala terus, sering dengan muntah, pusing, dan nyeri pinggang.
Sekitar 25% dari orang yang mengalami gejala-gejala yang mengindikasikan
kerusakan pada bagian tertentu dari otak, seperti berikut:
Kelemahan atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh (paling umum)
Kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh
Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa
Gangguan berat dapat berkembang dan menjadi permanen dalam beberapa menit
atau jam. Demam adalah gejala umum selama 5 sampai 10 hari pertama. Sebuah
perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan beberapa masalah serius lainnya, seperti:
Hydrocephalus: Dalam waktu 24 jam, darah dari perdarahan subaraknoid dapat
membeku. Darah beku dapat mencegah cairan di sekitar otak (cairan
serebrospinal) dari pengeringan seperti biasanya tidak. Akibatnya, darah
terakumulasi dalam otak, peningkatan tekanan dalam tengkorak. Hydrocephalus
mungkin akan menyebabkan gejala seperti sakit kepala, mengantuk,
kebingungan, mual, dan muntah-muntah dan dapat meningkatkan risiko koma dan
kematian.
Vasospasme: Sekitar 3 sampai 10 hari setelah pendarahan itu, arteri di otak dapat
kontrak (kejang), membatasi aliran darah ke otak. Kemudian, jaringan otak tidak
mendapatkan oksigen yang cukup dan dapat mati, seperti pada stroke iskemik.
Vasospasm dapat menyebabkan gejala mirip dengan stroke iskemik, seperti
kelemahan atau hilangnya sensasi pada satu sisi tubuh, kesulitan menggunakan
atau memahami bahasa, vertigo, dan koordinasi terganggu.
Pecah kedua: Kadang-kadang pecah kedua terjadi, biasanya dalam seminggu
Sistem skoring pada no 1 dan 2 dipakai pada kasus SAH primer akibat rupturnya
aneurisma.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis stroke dan
menyingkirkan diagnosis bandingnya. Laboratorium yang dapat dilakukan pada
penderita stroke diantaranya adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan darah,
kadar elektrolit, dan kadar serum glukosa.
Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak adalah
langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam basis kedaruratan.
Pencitraan otak membantu dalam diagnosis adanya perdarahan, serta dapat
menidentifikasi komplikasi seperti perdarahan intraventrikular, edem otak, dan
hidrosefalus. Baik CT non kontras ataupun MRI otak merupakan pilihan yang dapat
digunakan.
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dari
stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke dari patologi
intrakranial lainnya. CT non kontras dapat mengidentifikasi secara virtual hematoma
yang berdiameter lebih dari 1 cm.
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih bisa
diandalkan daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat mengidentifikasi
malformasi vaskular yang mendasari atau lesi yang menyebabkan perdarahan.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah elektrokardiogram (EKG) untuk
memulai memonitor aktivitas hantung. Disritmia jantung dan iskemia miokard memiliki
kejadian signifikan dengan stroke.
Oleh karena tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat di atas, maka untuk
memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem lain, misalnya sistem skoring
yaitu sistem yang berdasarkan gejala klinis yang ada pada saat pasien masuk Rumah
Sakit. Sistem skoring yang sering digunakan antara lain:
8. Kejang
Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan tidak
direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien yang
mungkin timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma arteri serebri
media, kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari risiko
perdarahan ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti konvulsan sebagai profilaksis.
Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV. Initial
dosis 100 mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance 300-400 mg/oral/hari dengan
1
dosis terbagi. Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk menghentikan kejang.
Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada penderita
yang tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada penderita yang
mempunyai faktor-faktor risiko seperti kejang sebelumnya, hematom, infark, atau
aneurisma pada arteri serebri media.
9. Hidrosefalus
a. Akut (obstruksi)
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama.
Kejadiannya kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau
drainase eksternal ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya dapat terjadi
perdarahan ulang dan infeksi.
b. Kronik (komunikan)
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara
temporer atau permanen seperti ventriculo-peritoneal shunt.
Versi orisinal:
= (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x tekanan darah diastolik)
– (0.99 x atheromal) – 3.71.
Versi disederhanakan:
Kesadaran:
Muntah: tidak = 0 ; ya = 1
Pembacaan:
A−C, A 72-year-old man (patient 5) harboring this large incidental dissecting aneurysm
of the proximal basilar trunk is treated with a single PED, with favorable outcome. Six-
month control angiogram shows adequate parent vessel reconstruction, despite the
persistence of a proximal stenotic segment and signs of mild intrastent hyperplasia. The
patient remains asymptomatic, not requiring further treatment. D−F, After 18 months of
follow-up, the angiographic findings remain unchanged, with stable aneurysm
occlusion.
Cerebral arterial vasculitis identified on DSA. A 45-year-old woman who presented
with sulcal SAH (arrow) isolated to the left Sylvian fissure (A). A CTA at the time of
admission demonstrated multifocal arterial narrowing (arrowheads) within the bilateral
anterior and middle cerebral arteries (B). DSA identified more extensive bilateral
arterial irregularity with multifocal narrowing and dilation that was consistent with
vasculitis.
Basilar artery aneurysm identified on repeat CTA and DSA. A 65-year-old woman who
presented with diffuse SAH in the basal cisterns and bilateral Sylvian fissures. Note
hydrocephalus (A and D). A maximum-intensity-projection image from a CTA (B) and
a DSA (C) performed on the day of presentation demonstrate no evidence of an
aneurysm arising from the basilar artery. A follow-up CTA (E) and DSA (F) performed
7 days after presentation demonstrate an aneurysm arising from the posterior aspect of
the basilar artery, consistent with a perforator artery aneurysm.
A 50-year-old man who presented with sudden onset of severe headache, nausea, and
vomiting. A, NCCT demonstrates a diffuse pattern of SAH with extension to the Sylvian
fissures. B, Axial CTA source image did not demonstrate a causative vascular
abnormality. C, Oblique right internal carotid angiogram obtained 1 day after the CTA
demonstrates a 1.5-mm blister right supraclinoid ICA aneurysm. The patient underwent
endovascular aneurysm treatment with the Pipeline Embolization Device (Covidien/ev3
Neurovascular, Irvine, California).
A 52-year-old woman with a history of migraine headaches who presented with sudden
onset of severe frontal headache. A, NCCT demonstrates a peripheral sulcal pattern of
SAH in the left frontal region. B, Axial MRA maximum-intensity-projection image does
not demonstrate a causative vascular abnormality. C, Lateral right external carotid
angiogram obtained 2 days after the MRA demonstrates multiple segmental areas of
luminal narrowing and dilation affecting the right superficial temporal artery
(arrowheads), consistent with vasculopathy. The clinical scenario was consistent with
reversible cerebral vasoconstriction syndrome. D, Lateral right external carotid artery
angiogram obtained 3 months after cessation of the inciting medication demonstrates
resolution of the abnormalities in the right superficial temporal artery.
A 67-year-old woman who presented with sudden onset of severe headache. A, NCCT
demonstrates a diffuse pattern of SAH with extension to the Sylvian fissures and
ventricular system. B, Axial CTA source image did not demonstrate a causative
vascular abnormality. C, Frontal left internal carotid angiogram obtained on the same
day as the CTA did not demonstrate a causative vascular abnormality. D, Frontal left
internal carotid artery angiogram obtained 8 days after the initial CTA demonstrates a 2-
mm anterior communicating artery aneurysm (arrowhead). The patient underwent
aneurysm coiling.
DAFTAR PUSTAKA