Anda di halaman 1dari 78

PRESENTASI TEXT BOOK READING

GAMBARAN DIGITAL SUBTRACTION ANGIOGRAPHY (DSA) PADA


ARTERIOVENOUS MALFORMATION (AVM) DAN CEREBRAL
VENOUS THROMBOSIS (CVT)

Pembimbing :

dr. Hernawan, Sp.S

Disusun oleh :

Titik Fadhilah 1810221003

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN
TEXT BOOK READING

Telah dipersentasikan dan disetujui text book reading dengan judul

GAMBARAN DIGITAL SUBTRACTION ANGIOGRAPHY (DSA) PADA


ARTERIOVENOUS MALFORMATION (AVM) DAN CEREBRAL
VENOUS THROMBOSIS (CVT)

Diajukan untuk memenuhi syarat

mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik

di bagian Ilmu Penyakit Saraf

RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan

pada tanggal : ,November 2018

Disusun oleh :

Titik Fadhilah 1810221003

Purwokerto, November 2018

Pembimbing,

dr. Hernawan, Sp.S


Gambaran umum DSA

Digital subtraction angiography (DSA) merupakan teknologi terbaru yang


digunakan untuk membantu mendiagnosis berbagai macam penyakit vaskuler. DSA
dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran dari arteri pada berbagai tempat di tubuh
dan sangat kontras dengan jaringan tulang dan jaringan lunak disekitarnya. DSA juga
terbukti dapat mengidentifikasi adanya abnormalitas vaskular seperti sumbatan,
stenosis, plak dan aneurisma. Digital Subtraction Angiography (DSA) adalah
pemeriksaan yang memberikan gambar lumen (permukaan bagian dalam) pembuluh
darah, termasuk arteri, vena dan serambi jantung. Gambar ini diperoleh dengan
menggunakan mesin Sinar-X bantuan komputer yang rumit. Media kontras khusus, atau
'dye' (cairan bening dengan kepadatan tinggi) biasanya disuntikkan agar persediaan
darah ke kaki, jantung atau organ tubuh lainnya mudah dilihat.

Kegunaan DSA
DSA dapat diaplikasikan pada berbagai macam penyakit terutama tentang studi
arteri carotis. Peneliti pada Universitas Wisconson menggunakan DSA sebagai standar
pemeriksaan arteriografi pada anomali arcus aorta, koarktasio aorta dan prosedur pada
anomali arcus aorta, koarktasio aorta dan prosedur vascular bypass. DSA juga dapat
digunakan untuk menggambarkan pembuluh darah abdomen, jantung, paru,
intracerebral dan perifer.
Besarnya potensi, sensitivitas dan spesifitas DSA sebagai alat bantu diagnostik
dan pemeriksaan setelah operasi, maka DSA dapat menggantikan beberapa pemeriksaan
lama seperti periorbital ultra sonography dan thermography. Meskipun DSA memiliki
kemampuan yang lebih rendah daripada angiography, prosedur ini lebih minimal
invasif. Oleh sebab itu, pemeriksaan DSA lebih cepat, nyaman, murah dan berguna
pada pasien dengan akses pembuluh darah yang terbatas. Investigasi dari carotid
arterial disease merupakan pemeriksaan DSA yang paling sering dilakukan diikuti
dengan arteri renalis, arcus aorta , trunkus brachiocephalica, arteri intracranial, aorta
abdomen hingga sirkulasi perifer dan jantung.
DSA dapat digunakan sebagai screening test pada penyakit cerebrovaskular
pada pasien resiko tinggi dan bruit asimtomatik. DSA juga dapat memberikan informasi
anatomis pre-operatif pada pasien yang akan dilakukan reseksi aorta abdomen
aneurisma. Pada prosedur post operatif DSA juga dapat digunakan untuk mengakses
penyebab dari disfungsi transplantasi ginjal.
Teknik pemeriksaan ini pada umumnya digunakan untuk mendiagnosis berbagai
penyakit pembuluh darah, penyakit vaskuler obstruktif yang disebabkan oleh
penyumbatan atau penyempitan dalam lumen arteri dan vena, Aneurisme Otak
(khususnya Aneurisme Intrakranial), pendarahan pada pembuluh darah, Arterio-Venous
malformations (hubungan abnormal antara arteri dan vena), serta memeriksa
vaskularitas tumor kanker. Angiography juga memberikan panduan visual untuk
prosedur intervensional yang dibutuhkan untuk menguraikan atau membuka kembali
arteri yang tersumbat, seperti Prosedur Angioplasti, Arterial Stent, Nephrostomi dan
Biliari. Kontraindikasi pemeriksaan DSA adalah pasien dengan alergi terhadap zat
kontras dan level creatinine yang melebihi 2.5 mg/dL. Indikasi dan Kontraindikasi

Anatomi Sistem Vaskularisasi Otak


Anatomi vaskuler otak dapat dibagi menjadi 2 bagian: anterior (carotid system)
dan posterior (vertebrobasilar system). Pada setiap sistem vaskularisasi otak terdapat
tiga komponen, yaitu; arteri-arteri ekstratrakranial, arteri-arteri intrakranial berdiameter
besar dan arteri-arteri perforantes berdiameter kecil. Komponen-komponen arteri ini
mempunyai struktur dan fungsi yang berbeda, sehingga infark yang terjadi pada
komponen-komponen tersebut mempunyai etiologi yang berbeda.

 Pembuluh darah ekstrakranial (misal, a. carotis communis) mempunyai struktur


trilaminar (tunica intima, media dan adventisia) dan berperan sebagai pembuluh
darah kapasitan. Pada pembuluh darah ini mempunyai anatomosis yang terbatas.
 Arteri-arteri intrakranial yang besar (misal a. serebri media) secara bermakna
mempunyai hubungan anastomosis di permukaan piameter otak dan basis
kranium melalui sirkulus Willisi dan sirkulasi khoroid. Tunica adventisia
pembuluh darah ini lebih tipis daripada pembuluh darah ekstrakranial, dan
mengandung jaringan elastik yang lebih sedikit. Selain itu, dengan diameter
yang sama pembuluh darah intrakranial ini lebih kaku daripada pembuluh darah
ekstrakranial.
 Arteri-arteri perforantes yang berdiameter kecil baik yang terletak superfisial
maupun profunda, secara dominan merupakan suatu end-artery dengan
anatomosis yang sangat terbatas, dan merupakan pembuluh darah resisten.

Sistem anterior (Sistem Carotid)


Arteri Carotis communis (ACC) sinistra dipercabangkan langsung dari arkus
aorta sebelah kiri, sedangkan a. carotis communis dekstra dipercabangkan dari a.
innominata (Brachiocephalica). Di leher setinggi kartilago tiroid ACC bercabang
menjadi a. carotis interna (ACI) dan a. carotis eksterna (ACE), yang mana ACI terletak
lebih posterior dari ACE. Percabangan a. carotis communis ini sering disebut sebagai
Bifurkasio carotis mengandung carotid body yang berespon terhadap kenaikan tekanan
partial oksigen arterial (PaO2), aliran darah, pH arterial, dan penurunan PaCO2 serta
suhu tubuh.
Arteri karotis komunis berdekatan dengan serabut saraf simpatis asceden, oleh
karena itu lesi pada ACC (trauma, diseksi arteri atau kadang oklusi thrombus) mampu
menyebabkan paralisis okulosimpatik sudomotor ke daerah wajah.
Arteri karotis interna bercabang menjadi dua bagian yaitu bagian ekstrakranial
dan intrakranial. Bagian ekstrakranial a. karotis interna setelah dipercabangkan didaerah
bifurkasio akan melalui kanalis karotikus untuk memvaskularisasi kavum timpani dan
akan beranastomisis dengan arteri maksilaris interna, salah satu cabang ACE.
Arteri karotis interna bagian intrakranial masuk ke otak melalui kanalis
karotikus, berjalan dalam sinus cavernosus mempercabangkan a. ophtalmika untuk n.
optikus dan retina kemudian akhirnya bercabang menjadi a cerebri anterior dan a.
cerebri media. Keduanya bertanggungjawab memvaskularisasi lobus frontalis, parietal,
dan sebagian temporal. Arteri ini sebelum bercabang menjadi a. cerebri anterior dan a.
cerebri media akan bercabang menjadi a. choroid anterior (AChA). AChA mempunyai
fungsi memvaskularisasi pleksus choroid, juga memberikan cabangnya ke globus
pallidus, hipokampus anterior, uncus kapsula interna bagian posterior serta
mesensefalon bagian anterior. AChA ini akan beranastomisis dengan a. choroid
posterior (cabang dari a. cerebri posterior).
Arteri Cerebri Anterior
Arteri serebri anterior dipercabangkan dari bagian medial ACI di daerah
prosesus clinoideus anterior, arteri ini akan dibagi menjadi 3 bagian. Bagian proksimal
a. cerebri anterior kanan dan kiri dihubungkan oleh a. communican anterior, bagian
medial dan distal arteri ini akan memberikan cabangnya menjadi a. pericallosum
anterior dan a. callosomarginal. Arteri cerebri anterior mempunyai cabang-cabang kecil
yang berupa arteri-arteri perforantes profunda, arteri-arteri ini sering disebut sebagai
arteri medial striata yang bertanggungjawab terhadap vaskularisasi corpus striatum
anterior, capsula interna bagian anterior limb, comisura anterior dan juga
memvaskularisasi traktus serta kiasma optika. Oklusi arteri-arteri medial striata ini
menyebabkan kelemahan wajah dan lengan.

Arteri Cerebri Media


Arteri cereberi media setelah dipercabangkan oleh ACI akan dibagi menjadi
beberapa bagian. Bagian pertama akan berjalan ke lateral diantara atap lobus medial dan
lantai lobus frontalis hingga mencapai fissure lateralis Sylvian. Arteri-arteri
lenticulostriata dipercabangkan dari bagian proksimal ini.
Arteri Lenticulostriata merupakan arteri-arteri perforasi profunda yang
merupakan cabang arteri cerebri media, arteri ini berjumlah antara 6 dan 12 arteri.
Arteri ini berfungsi memvaskularisasi nukleus lentifromis, nukleus caudatus bagian
caput lateral, globus pallidus dan kapsula interna bagian bawah. Oklusi salah satu arteri
lenticulostriata akan menimbulkan infark lakuner karena tidak adanya anastomosis
fungsional antara arteri-arteri perforasi yang berdekatan.
Di daerah fissure lateralis, bagian kedua a. cerebri media akan bercabang
menjadi devisi superior dan anterior. Devisi superior akan memberikan suplai ke lobus
frontal dan lobus parietal, sedangkan devisi inferior akan memsuplai ke lobus temporal.
Bagian terakhir dari a. cerebri media atau arteri-arteri perforantes medullaris akan
dipercabangkan di permukaan hemisfer cerebri, yang akan memvaskularisasi substansia
alba subkortek.
Sistem posterior (Sistem Vertebro Basiler)
Sistem ini berasal dari a. basilaris yang dibentuk oleh a. vertebralis kanan dan
kiri yang berpangkal di a. subklavia. Dia berjalan menuju dasar cranium melalui kanalis
transversalis di columna vertebralis cervikalis, kemudian masuk ke rongga cranium
akan melalui foramen magnum, lalu masing-masing akan mempercabangkan sepasang
a. cerebelli inferior.
Pada batas medulla oblongata dan pons, a. vertebralis kanan dan kiri tadi akan
bersatu menjadi a. basilaris. Arteri basilaris pada tingkat mesencephalon akan
mempercabangkan a. labyrintis, aa. pontis, dan aa. Mesenchepalica, kemudian yang
terakhir akan menjadi sepasang cabang a. cerebri posterior yang memvaskularisasi
lobus oksipitalis dan bagian medial lobus temporalis.

Arteri Cerebri Posterior


Arteri Cerebri Posterior (ACP) merupakan cabang akhir dari a. basilaris. Bagian
proksimal ACP atau bagian precommunican (sebelum a. Communican Posterior
(ACoP) akan bercabang menjadi a. mesencephali paramedian dan a. thalamik-
subthalamik yang akan memvaskularisasi thalamus. Setelah ACoP, a. cerebri posterior
akan mempercabangkan a. thalamogeniculatum dan a. choroid posterior, yang mana
juga akan memvaskularisasi thalamus. ACP ini setelah berjalan kebelakang, di daerah
tentorium cerebella akan bercabang menjadi devisi anterior (memvaskularisasi bagian
medial lobus temporalis) dan devisi posterior (memvaskularisasi fissure calcarina dan
daerah parieto-occipitalis).

Arteri yang memvaskularisasi Cerebellum


Cerebellum divaskularisasi oleh tiga pasang arteri panjang, yang mana arteri-
arteri ini berjalan melingkupi cerebellum. Arteri-arteri tersebut adalah:

 Arteri Cerebellaris Superior (ACS): memvaskularisasi permukaan atas


cerebellum, dipercabangkan oleh a. basilaris tepat sebelum bercabang menjadi a.
cerebri posterior.
 Arteri Cerebellaris Inferior Anterior (ACIS): memvaskularisasi permukaan
anterior, dipercabangkan oleh a. basilaris bagian proksimal, atau dipercabangkan
oleh a. basilaris tepat setelah dibentuk oleh a. vertebralis kanan dan kiri.
 Arteri Cerebellaris Inferior Posterior (ACIP): memvaskularisasi permukaan
inferior, dipercabangkan oleh a. vertebralis tepat sebelum bergabung menjadi a.
basilaris.
Untuk menjamin pemberian darah ke otak, setidaknya ada 3 sistem kolateral antara
sitem carotis dan sistem vertebrobasiler, yaitu:

1. Sirkulus Wilisi, merupakan anyaman arteri di dasar otak yang dibentuk oleh a.
cerebri media kanan dan kiri yang dihubungkan dengan a. cerebri posterior
kanan dan kiri oleh a. communicant posterior, sedangkan a. cerebri anterior
kanan dengan kiri akan dihubungkan oleh a. communican anterior.
2. Anastomosis a. carotis interna dan a. carotis externa di daerah orbital.
3. Hubungan antara sistem vertebral dengan a. carotis externa.

Sirkulus Willis

Arteri yang memvaskularisasi Thalamus


Thalamus mendapatkan vaskularisasi dari beberapa grup arteri.

 Aa. Thalamik-subthalamik (dikenal juga sebagai aa. Paramedian,


thalamoperforantes, dan internal optikus posterior): Arteri-arteri ini
dipercabangkan dari arteri cereberi posterior bagian proksimal. Arteri ini
memvaskularisasi area thalamus posteromedial, fasikulus longitudinal medialis,
dan nukleus intralaminar.
 Aa. Polaris (dikenal juga sebagai a. internal optikus anterior dan
tuberothalamik): Dipercabangkan dari a. communican posterior. Arteri ini
memvaskularisasi area anteromedial dan anterolateral termasuk juga nukleus
dorsomedialis, nukleus retikularis, traktus mamilothalamikus, dan sebagian
nukleus ventrolateral.
 Aa. Thalamogenikulatum: Arteri ini terdiri dari 5-6 cabang yang dipercabangkan
dari arteri cerebri posterior bagian distal, sama seperti aa. Lentikulostriata yang
dipercabangkan oleh arteri cerebri media. Arteri ini memvaskularisasi nukleus
ventro-postero-lateral (VPL) dan ventro-postero-medial (VPM).
 Aa. Choroidal Posterior Media dan Lateral, yang mana juga dipercabangkan
oleh a. cerebri posterior. Arteri ini memvaskularisasi thalamus posterior,
pulvinar, dan corpus geniculatum.
Arteri-arteri yang memvaskularisasi thalamus ini merupakan suatu end-artery, namun
anastomisis bisa terjadi. Oleh karena anastomisis ini adanya lesi patologi thalamus
mempunyai gejala lebih bervariasi daripada infark lakuner.
CEREBRAL VENOUS THROMBOSIS (CVT)
Sinus dura atau sinus venosus merupakan aliran dari vena-vena superfisialis dan
profunda serebri. Sinus dura tersebut terdiri dari: Sinus venosus kranialis, Sinus sagitalis
superior, Sinus rectus, Sinus transverses, Sinus sigmoideus, Sinus kavernosus.
Terjadinya oklusi pada salah satu daerah sinus venosus yang disebabkan oleh thrombus
disebut dengan cerebral sinus venosus thrombosis. Bagian sinus yang paling sering
terkena adalah sinus sagitalis superior (72%) dan sinus lateral (70%). Dalam sepertiga
kasus lebih dari satu sinus yang terlibat namun juga dapat melebitkan lebih dari satu
sinus dan pada kasus yang lebih lanjut lagi disertai dengan keterlibatan vena-vena
serebri.
Nama lain yang juga sering digunakan untuk menyebutkan cerebral sinus venosus
thrombosis yaitu :

- Cerebral venous thrombosis (CVT)


- Cerebral vein thrombosis
- Cerebral venous and sinus thrombosis
- Cerebral venous sinus thrombosis (CVST)
- Cerebral sinovenous thrombosis (CSVT)
- Cerebral vein and dural sinus thrombosis
- Sinus and cerebral vein thrombosis

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari CVT sangat bervariasi tergantung pada lokasi dan luas
oklusi vena, proses terjadinya oklusi serta tingkat drainase kolateral yang tersedia.Pada
satu pasien, oklusi yang relative terbatas dapat menimbulkan perdarahan
intraparenkimal luas, sedangkan pada pasien lain, oklusi yang luas dapat hampir tidak
menimbulkan gejala.
Efek CVT terhadap status mental agak bervariasi, terhadap beberapa pasien
tidak menunjukkan perubahan pada kesadaran, pada perkembangan yang lain dapat
berkembang menjadi mid confuse dan proses lebih lanjut dapat terjadi koma.
Pada gangguan nervus kranialis dapat ditemukan papilledema, hemianopia dan
parese abducens, kelemahan wajah dan keadaan tuli. Jika thrombosis menyebar ke vena
jugular, dapat berkembang melibatkan nervus kranialis IX,X,XI dan XII dengan
sindrom vena jugular.
Trombosis pada sinus sagitalis superior dapat menimbulkan paralysis unilateral
yang kemudian dapat menyebar ke sisi bagian yang lain (paraplegia). Trombosis sinus
cavernosus dapat menghambat vena optalmica yang berhubungan dengan proptosis dan
edema periorbital ipsilateral. Perdarahan retina dan papiledema juga dapat terjadi.
Paralysis dari gerakan extraocular, ptosis dan menurunnya sensasi rasa adalah bagian
pertama dari gangguan nervus trigeminal.Secara umum berikut beberapa gejala yang
mungkin terjadi :
- Onset dapat tiba-tiba atau perlahan-lahan selama beberapa jam atau beberapa
hari
- Sakit kepala
- Mual dan muntah
- Pandangan kabur
- Defisit neurologis fokal : hemipareses dan hemisensoris, kejang, kelemahan
berbicara (afasia), heminanopia, confuse, penurunan kesadaran.
- Peningkatan tekanan intracranial : papiledema

Pada kasus-kasus thrombosis sinus venosus, perburukan klinis yang nyata dapat
terjadi pada waktu yang sangat singkat, kemungkinan dalam beberapa jam. Keadaan
tersebut biasanya diakibatkan keterlibatan vena internae serebri atau perdarahan
intraparenkim yang luas.

Diagnosa Banding
- Parese Nervus Abducens
- Blood dyscrassias dan stroke
- Sindrom sinus cavernosus
- Head Injury
- HIV-1 berhubungan deng infeksi opportunistic : cytomelovirus ensefalitis
- Intrakranial epidural abses
- Pseudotumor cerebri
- Sarcoidosis dan neuropaty
- Meningitis staphylococcal
- Status epileptikus
- Subdural empiema
- SLE (Systemic Lupuis Erythematosus)

Evaluasi Diagnostik
Diagnosis thrombosis sinus venosus umumnya sulit bahkan bila menggunakan
metode pencitraan modern – CT, MRI dan digital substraction angiography (DSA).
1. Computed Tomography (CT). Kasus akut yang klasik dapat didiagnosa
dengan CT, terutama bila menggunakan CT venografi dengan medium kontras.
Masalah sering disebabkan oleh varian congenital pada anatomi vaskuler, oklusi
yang tidak terlalu luas, dan oleh thrombosis sinus rectus dan vena internae
serebri. Trombosis sinus venosus yang lama juga sulit dinilai dengan CT.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI). MRI saat ini merupakan teknik
diagnostic terpenting untuk evaluasi aliran vena di otak. Pemeriksaan ini
menunjukkan vena pada berbagai bidang, dan dilakukan dengan sekuens
sensitive-aliran untuk memperlihatkan aliran intravena. Resolusinya cukup
tinggi sehingga vena internae serebri dapat terlihat dengan baik.
MRI juga memungkinkan visualisasi parenkim otak. Lokasi dan gambaran lesi
parenkimal dapat memberikan petunjuk mengenai lokasi obstruksi vena: oklusi
venae interna serebri, misalnya menimbulkan lesi talamik yang khas, sedangkan
thrombosis sinus tranversus menimbulkan lesi khas di lobus temporalis. Namun,
kekuatan diagnostic MRI oleh varian anatomi pembuluh darah otak (seperti pasa
CT) dan juga oleh beberapa efek yang berkaitan dengan aliran yang hingga saat
ini belum dipahami. Karena itu, MRI tidak dapat mendeteksi semua kasus
thrombosis sinus venosus, dan kadang-kadang dapat memberikan hasil positif
palsu. Selain itu, pemindaian MRI pada pasien yang tidak kooperatif atau tidak
sadar kadang-kadang sangat sulit dan hasil gambarannya memiliki makna
diagnostic yang rendah. Pada kasus ekstrim, pasien harus dilakukan pemeriksaan
dengan anastesia umum.
3. Digital Substraction Angiography (DSA) intra-arterial. Angiografi atau DSA
intra-arterial dulu satu satunya metode diagnosis thrombosis sinus venosus
dengan pasti. Sayangnya, keterbatasan kegunaan metode ini terbatas pada
kondisi yang persis sama dengna metode lain gagal menunjukan temuan yang
konklusif. DSA tidak lagi digunakan untuk diagnosis thrombosis sinus venosus,
kecuali pada kasus-kasus yang jarang, karena menimbulkan komplikasi yang
lebih tinggi dibandingkan MRI.

RCVS. A, Axial brain CT scan shows bilateral frontoparietal sulcal SAH (white arrowheads). B,
Axial FLAIR image confirms the cSAH (white arrowheads). C, Lateral projection of 3D TOF MRA
shows multiple arterial stenoses and dilations, mainly on the anterior cerebral artery branches
(white arrowheads). D, Lateral projection of a right internal carotid angiogram shows multiple
stenoses and dilations on both anterior cerebral and middle cerebral arteries (black
arrowheads). Note that DSA, even if it showed more clearly the arterial abnormalities, did not
change the previously suspected diagnosis. Follow-up MRA performed at 3 months
demonstrated disappearance of the arterial lesions (not shown).
Case 1. A–B, FLAIR images (9800/152/2300/1) showing hyperintensities sparing the
basal cisterns and involving the sulci of the right convexity, compatible with an acute
subarachnoid hemorrhage.

C, T1-weighted spin echo image (480/9/1) revealing signal changes within the superior
sagittal sinus (arrow).

Case 2.

A, E, Plain CT scan showing a bihemispheric subarachnoid hemorrhage,


predominating in the left insular sulci.
B, F, FLAIR images (9800/152/2300/1) showing hyperintensities within
the subarachnoid spaces.

C, FLAIR images (9800/152/2300/1) showing absence of signal changes in the


basal cisterns and revealing a hyperintensity within the left transverse sinus (arrow).
G, T2-weighted image (7000/86.3/2) in the frontal plane confirming the presence of a
hypersignal within the left transverse and superior sagittal sinuses (arrows), raising the
suspicion of sinus thrombosis.

D, H, Venous phase of the digitized subtracted angiogram (A–P views) of the left
carotid (D) and the left vertebral (H) arteries confirming the occlusion of the left
transverse and superior sagittal sinuses. The right transverse sinus is not seen medially
but fills laterally from venous collaterals and drains into the right sigmoid sinus.

A–D, Large pacchionian granulation at the top of the straight sinus (arrowheads).
Pacchionian granulation is hypointense on reconstructed sagittal and source axial
images (A and B) of 3D contrast-enhanced MP-RAGE (13.5/7/1, TI = 300, flip angle =
15°) and hyperintense on T2-weighted image (C) (3700/96/1). DSA image (D) shows
filling defect in corresponding region (and could be misdiagnosed as a sinus thrombus)
A–D, Diffuse sinus thrombosis (arrows, arrowheads) in a 37-year-old woman with a
history of abruption of placenta and diabetes insipidus. The diagnosis of thrombosis
may be possible from the sagittal MIP image of 2D-TOF MR venography (25/9/1, flip
angle = 30°) (A) and by the indirect finding of lack of visualization of the affected
sinuses. With 3D contrast-enhanced MP-RAGE (13.5/7/1, TI = 300, flip angle = 15°),
however, the reconstructed sagittal and source axial images (B and C) show the extent
and size of the low signal thrombosis (arrows) as well as the atency of the affected
sinuses, which is confirmed on DSA image (D)

A–E, Postoperative sinus thrombosis (arrows) in a 62-year-old man. The coronal source
and MIP images of 2D-TOF MR venography (25/9/1, flip angle = 30°) (A and B) show no
flow signals in the left transverse and sigmoid sinuses, which may be difficult to
differentiate from hypoplasia of the sinuses (see fig 5). The reconstructed coronal and
source axial images (C and D) from a 3D contrast-enhanced MP-RAGE sequence
(13.5/7/1, TI = 300, flip angle = 15°) clearly show the thrombosis in the left
transverse and sigmoid sinuses, which is confirmed on the DSA image (E)
ARTERIOVENOUS MALFORMATION (AVM)
DEFINISI
Malformasi arteriovena (arteriovenous malformation, AVM) adalah suatu
keabnormalan pada pembuluh darah di mana arteri bersambung terus dengan vena tanpa
melalui jaringan kapilari terlebih dahulu. Arteriovenous Malformation adalah kelainan
kongenital dimana arteri dan vena pada permukaan otak atau di parenkim saling
berhubungan secara langsung tanpa melalui pembuluh kapiler.
AVM umumnya terbentuk akibat malfungsi diferensiasi pembuluh darah
primitive pada embrio berusia 3 minggu, dapat terbentuk di bagian otak manapun dan
melibatkan regio permukaan otak dengan substansia alba. Pada gestasi minggu ke-3,
mulai tampak sistem vaskuler yang terdiri dari jaringan yang menjalin ruang-ruang
darah pada mesenkim primitif. Saat ini darah belum bersirkulasi dan pembuluh arteri
dan vena belum dapat diidentifikasi. Selanjutnya sistem vaskuler berkembang secara
bertahap dengan proses penggabungan dan diferensiasi seluler dan sebagai klimaks
terjadi pemisahan arteri-vena.
AVM terdiri atas tiga bagian yaitu feeding arterti, nidus dan draining vein. Nidus
disebut juga sarang karena tampak seperti pembuluh darah yang berbelit – belit.
Feeding artery memiliki lapisan otot yang tidak adekuat dan draining vein cenderung
mengalami dilatasi karena kecepatan aliran darah yang melaluinya. Beberapa orang
lahir dengan nidus yang seiring dengan waktu cenderung melebar karena tekanan yang
besar pada pembuluh arteri tidak dapat dikendalikan oleh vena yang mengalirkannya.
Mengakibatkan kumpulan pembuluh darah besar yang tampak seperti cacing dapat
mengalami perdarahan di masa yang akan datang.

GEJALA
Masalah yang paling banyak dikeluhkan penderita AVM adalah nyeri kepala
dan serangan kejang mendadak dimana setidaknya 15% dari populasi tidak menunjukan
gejala apapun. Gejala lain yang sering ditemukan berupa vertigo, pulsing noise
dikepala, tuli progresif, penurunan penglihatan, confusion, dementia dan halusinasi.
Dan jika AVM terjadi pada lokasi kritis maka AVM dapat menyebabkan sirkulasi
cairan otak terhambat, yang dapat menyebabkan akumulasi cairan di dalam tengkorak
yang beresiko hidrosefalus. Kaku kuduk mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan
intracranial dan rangsangan pada meningen. Pada kasus yang lebih berat dapat berupa
ruptur pembuluh darah sehingga menimbulkan intracranial hemorrhage. Setidaknya
lebih dari setengah pasien dengan AVM menunjukan gejala hemorrhage sebagai
penyebab utama sehingga menimbulkan gejala klinik lain berupa kehilangan kesadaran,
sakit kepala yg tiba-tiba dan hebat, nausea, vomiting, incontinence dan gangguan
penglihatan. Kerusakan lokal pada jaringan otak akibat perdarahan mungkin terjadi
yang dapat menyebabkan kelemahan otot, paralysis, hemiparesis, afasia dan lainnya.
Perdarahan minor tidak menunjukan gejala yang berarti. Umumnya pasien mengalami
pendarahan yang sedikit namun sering. Biasanya penderita mengalami kejang sebelum
mengetahui bahwa mereka menderita AVM. Sebagian pasien menderita nyeri kepala,
yang tidak dihubungkan dengan AVM sebelum diperiksa dengan CT Scan atau MRI.
Pendarahan intrakranial tersebut dapat menyebabkan hilang kesadaran, nyeri kepala
hebat yang mendadak, mual, muntah, ekskresi yang tidak dapat dikendalikan misalnya
defekasi atau urinasi, dan penglihatan kabur. Kaku leher yang dialami dikarenakan
peningkatan tekanan antara tengkorak dengan selaput otak (meninges) yang
menyebabkan iritasi. Perbaikan pada jaringan otak lokal yang pendarahan mungkin saja
terjadi, termasuk kejang, kelemahan otot yang mengenai satu sisi tubuh (hemiparesis),
kehilangan sensasi sentuh pada satu sisi tubuh, maupun defisit kemampuan dalam
memproses bahasa (aphasia). Variasi gejala ini sejalan dengan tipe kerusakan
cerebrovaskular. Secara umum, nyeri kepala yang hebat yang bersamaan dengan kejang
atau hilang kesadaran, merupakan indikasi pertama adanya AVM pada daerah cerebral.

DIAGNOSIS
Diagnosa AVM ditegakkan dengan menggunakan neuroimaging setelah
pemeriksaan terhadap saraf dan pemeriksaan fisik dilakukan. Terdapat 3 teknik utama
untuk menegakkan diagnosa AVM yaitu Computed Tomography (CT), Magnetic
Resonance Imaging (MRI), Cerebral Angiography. CT-scan kepala biasanya merupakan
pemeriksaan awal yang dilakukan karena dapat menunjukan perkiraan dari lokasi
perdarahan. Namun MRI lebih sensitif dari CT-scan karena dapat memberikan
informasi yang lebih baik tentang lokasi dari malformasi tersebut. Untuk mendapatkan
gambaran yang lebih spesifik dari pembuluh darah AVM dapat menggunakan zat
kontras radioaktif yang disuntikkan ke dalam pembuluh darah yang disebut Computed
Tomography Angiogram dan Magnetic Resonance Angiography. Gambaran terbaik
untuk AVM melalui Cerebral Angiography.
GAMBARAN UMUM
Petunjuk diagnostik terbaik “Bag of Black Worm” pada MR dengan minimal atau tanpa
efek massa.
Lokasi :

 Bisa terjadi dimanapun di otak dan medula spinalis


 85% di supratentorial , 15% di fossa posterior
 98% soliter, sporadik
 Jarang : Multipel AVM

Ukuran :

 Bervariasi mulai dari mikroskopik hingga besar


 Pada umumnya yang menimbulkan gejala adalah 3-6 cm
 Morfologi : membentuk massa yang terdiri dari pembuluh darah.

IMAGING RECOMMENDATION

 Imaging terbaik : DSA dengan superselective catherization


 Saran prosedur : Standard MR (termasuk contrast-enhanced MRA, GRE
sequences)

Penggunaan scaning komputer tanpa kontras menghasilkan sensitifitas yang


rendah, namun kalsifikasi dan hipointensitas dapat ditemukan; agar lebih dapat terlihat
diakukan pemberian kontras.
Pencitraan resonansi magnetik (MRI) sangat sensitif, menunjukkan hilangnya
sinyal pada area korteks, umumnya dengan hemosiderin yang menujukkan adanya
perdarahan sebelumnya. MRI juga dapat memberikan informasi penting mengenai
lokalisasi dan topografi dari AVM bila intervensi akan dilakukan.
Arteriografi merupakan standar penting untuk menggambarkan anatomi arteri dan vena,
sebagai tambahan, angiografi yang sangat selektif dapat memberi data penting
mengenai fungsi dan fisiologi untuk analisis klinis tindakan. CT scan dengan kontras
dan didapatkan gambaran malformasi arteri vena pada daerah parietal kiri, kemudian
untuk mengetahui anatominya dilakukan angiografi.
An 11-year-old boy with a right pericallosal AVM revealed by hemorrhage and treated
11 months ago by surgery. Residual nidus (arrow) and venous drainage (arrowhead) are
seen on DSA (A, B) but not on 4D-MRA (C, D) by both readers. Retrospectively, a part
of the nidus may be visible (arrow)

A 32-year-old woman with a left frontal-parietal AVM revealed by seizures and treated
by embolization then radiosurgery more than 4 years ago. Residual nidus (arrow) and
venous drainage (arrowhead) are seen on DSA (A) but not on 4D-MRA (B) by both
readers. Retrospectively, the draining vein is visible (arrowhead) on 4D-MRA, but is
not dilated and appears during the venous phase (indistinguishable from cortical veins).
A 16-year-old adolescent girl with a left frontal AVM revealed by transitory neurologic
symptoms; treated by embolization then radiosurgery 2 years and 10 months earlier.
When the drainage is early, the vein dilated, and the nidus compact, depiction is easy.
The residual nidus (arrowhead) and venous drainage (arrow) were visualized by both
readers in DSA (A, B) and 4D-MRA (C, D).
A, Unenhanced brain CT scan (axial section) in a 40-year-old woman with headache.
Right occipital hematoma is seen (white arrow). Note a round hypoattenuated shape
surrounded by the hematoma, corresponding to the intranidal aneurysm (black arrow).
B, Volume rendering reconstruction from the 3D-RA acquisition through the left
vertebral artery, showing a large intranidal aneurysm (white arrow). C and D, Left
vertebral DSA in anteroposterior projection at early phase (C) and late phase (D). At
early phase, an intranidal aneurysm is seen (C, arrow). On late phase, this nidal
aneurysm appears clearly connected to the main draining vein (D, arrowheads),
confirming the venous nature of this intranidal aneurysm.

A and B, Left vertebral artery DSA in lateral projection in a 41-year-old woman with a
ruptured right parieto-occipital bAVM. A, Early phase showing a nidal aneurysm (black
arrow) before filling of the draining vein. B, Intermediate phase showing a second
intranidal aneurysm (white arrow) in addition to the first one (black arrow). Note a
focal venous ectasia on the main draining vein (white dotted arrow). C and D, Selective
DSA in anteroposterior projection from the parieto-occipital branch of the right
posterior cerebral artery through a flow-dependent microcatheter. C, Early phase
showing the filling of both the nidus and an intranidal aneurysm before any venous
filling. D, Intermediate phase showing, in addition to the previously described intranidal
aneurysm (black arrow), a second smaller nidal aneurysm (double arrow) close to the
origin of the main draining vein (arrowheads). Note the presence of a focal venous
ectasia on the main draining vein (black dotted arrow).

A, Unenhanced brain CT scan (axial section) showing a left parieto-occipital hematoma


associated with intraventricular hemorrhage in a 19-year-old woman. B and C, Brain CT
angiography: axial section (B) and sagittal reconstruction (C). Small false aneurysm
arising from the nidus and close to the hematoma is seen on both axial and sagittal
images (B and C, white arrows). The close relationship between the intranidal aneurysm
and the hematoma suggests the aneurysm as being the cause of the bleeding. D–F, Left
vertebral artery DSA in lateral projection at very early phase (D), early phase (E), and
intermediate phase (F). At very early phase, opacification of the nidus is seen, supplied
mainly by the left posterolateral choroidal artery (D, black arrowheads). Note the
opacification of an intranidal aneurysm located at the posterior aspect of the nidus (D,
white arrow) before any substantial filling of the venous drainage. At later phase, the
origin of the draining vein is filling (E, white arrowheads) while the nidal aneurysm is
still visible (E, white arrow). On intermediate phase, stagnation of the nidal aneurysm is
seen (F, white arrow) while the venous drainage is more clearly seen (F, white
arrowheads).
Characteristics of nidal AVMs. A and B, Superficially located nidal AVMs in the frontal
lobes of 2 patients with definite HHT. The lesions lack features such as venous stenoses
or intranidal aneurysms and drain into superficial veins. C, A cerebellar nidal AVM in a
patient with definite HHT, which drains into a superficial cerebellar vein and into the
transverse sinus. D, Diffuse AVM involving a large portion of the right cerebral
hemisphere. The AVM has multiple large venous ectasias and drains into the deep and
superficial venous systems.
A, T1 contrast-enhanced MR image demonstrates a punctate focus of enhancement. The
corresponding angiographic view (B) shows a capillary vascular malformation with a
small draining vein. C, T1 contrast-enhanced MR image shows a punctate focus of
enhancement in the parietal lobe in a patient with definite HHT. D, Cerebral
angiography in this patient shows 2 capillary vascular malformations in the parietal
lobe, one of which was occult on MR imaging. E, T1 contrast-enhanced MR imaging
demonstrates a small focus of enhancement in the right cerebellar hemisphere. F, A
corresponding cerebral angiogram demonstrates a capillary vascular malformation with
a single feeding artery and draining vein.

A, 3D reconstruction of an MRA demonstrates bilateral carotid siphon aneurysms and a


dysplastic right MCA. B, This patient has a 1.5-cm nidal AVM in the left MCA
territory. C, Noncontrast head CT shows diffuse subarachnoid hemorrhage in a patient
with HHT with an 8-mm ruptured anterior communicating artery aneurysm (D).
PENATALAKSANAAN

1. Farmakologis

Pengobatan farmakologis dilakukan untuk mengatasi gejala yang dialami pasien


seperti sakit kepala atau kejang. Terapi ini juga diberikan pada pasien yang tidak dapat
melakukan terapi operatif karena resiko yang terlalu besar. Fenitoin dapat diberikan
untuk mengontrol kejang.
2. Non Farmakologis

Operasi Reseksi
Tindakan operatif sebaiknya dilakukan pada AVM yang ruptur dan diperkirakan
memberikan hasil yang sedikit lebih baik dibandingkan dengan unruptured AVM.
Intervensi bedah merupakan terapi definitif pada AVM. Ukuran, lokasi, perlekatan
dengan daerah sekitarnya, serta konfigurasi vaskular menentukan pertimbangan
perlunya intervensi bedah. Skala Spetzler Martin digunakan sebagai pertimbangan
risiko dan manfaat operasi. Skala Spetzler Martin yang terdiri atas tiga parameter yaitu
ukuran nidus, drainase vena dan kelancaran berbicara (eloquence). Derajat rendah bila
grade 1,2. Derajat tinggi grade 4,5 dan inoperable grade 6.

Kalsifikasi AVM berdasarkan Spetzler Martin


Parameter Skor
Ukuran nidus
< 3 cm 1
Cm 2
>6 cm 3
Drainase Vena
superfisial 0
Profunda 1
Kelancaran berbicara
Tidak lancar 0
Lancar 1

Embolisasi
Untuk menghindari pendarahan, vasodilatasi lokal (aneurisma) harus
dihilangkan. Embolisasi merupakan penyumbatan pembuluh darah yang AVM. Dengan
x-ray, kateter dikendalikan dari arteri femoralis di daerah paha atas ke daerah AVM
yang diobati. Lalu setelah daerah AVM dicapai, semacam lem atau kadang gulungan
kabel ditempatkan untuk memblok area tersebut. Namun, embolisasi sendiri juga jarang
dengan sempurna memblok aliran darah ke daerah AVM.
Radiosurgery
Radiosurgery dilakukan dengan mengunakan alat yang disebut dengan gamma-
knife, efektif pada AVM yang berukuran < 2 cm, sedangkan pada lesi yang lebih besar
terapi ini kurang responsif. Paling tidak, malformasi dapat hilang selama dua tahun.
Pilihan terapi untuk pasien harus mempertimbangkan risiko yang akan terjadi pada
setiap pilihan terapi. Alternatif terapi baik sebagai terapi tunggal maupun dilakukan
secara bersama-sama:Terapi konservatif
Bila alternatif terapi tidak dapat dilakukan atau risiko terapi terlalu besar,
tindakan konservatif dengan mengobati gejala yang timbul dapat dilakukan pada pasien.
Berbagai keluhan non-hemoragik, seperti sakit kepala ataupun kejang, umumnya
berespons baik terhadap terapi medikamentosa.Pada berbagai literatur, terapi
simptomatik pada unruptured AVM menjadi pilihan, mengingat risiko pasca-operasi
tidak menghilangkan gejala, bahkan dapat memperberat keluhan pasien. Aminoff
membuat suatu skema risiko dan manfaat tindakan operatif sebagai pertimbangan
tatalaksana pada pasien dengan unruptured AVM.
Insidens perdarahan intrakranial akibat ruptur AVM per tahunnya adalah sekitar
1-2%, dan angka kecacatan akibat tindakan operatif juga tinggi, bahkan mempercepat
timbulnya disabilitas pada pasien.Selain itu, keluhan pasien adalah sakit kepala.
Menurut literatur, sakit kepala dan kejang bukan merupakan indikasi tindakan operatif
pada pasien dengan unruptured AVM, karena tidak menghilangkan keluhan sakit kepala
atau menghilangkan kejang pada pasien.
Terapi dengan gamma-knife pada pasien ini juga tidak memungkinkan karena
ukuran lesi yang besar (> 3 cm). Dengan terapi konservatif (dan terapi simptomatik),
risiko ruptur AVM akan menurun seiring pertambahan usia. Terapi bergantung pada
lokasi dan besar AVM serta adakah perdarahan atau tidak.
STROKE ISKEMIK

Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi
sistem saraf pusat fokal atau global yang berkembang cepat ( dalam detik atau menit).
Gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian, berasal dari
gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak
sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi.

Vaskularisasi Otak

MANIFESTASI KLINIK
Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokalisasinya. Sebagian
besar kasus terjadi secara mendadak, sangat cepat, dan menyebabkan kerusakan otak
dalam beberapa menit.
Gejala utama stroke iskemik akibat trombosis serebri ialah timbulnya defisit
neurologik secara mendadak/subakut, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan
kesadaran biasanya tidak menurun. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun.
Sedangkan stroke iskemik akibat emboli serebri didapatkan pada usia lebih muda,
terjadi mendadak dan pada waktu beraktifitas. Kesadaran dapat menurun bila emboli
cukup besar.
Vaskularisasi otak dihubungkan oleh 2 sistem yaitu sistem karotis dan sistem
vertebrobasilaris. Gangguan pada salah satu atau kedua sistem tersebut akan
memberikan gejala klinis tertentu.

DIAGNOSIS
Ditetapkan dari anamnesis dan pemeriksaan neurologis dimana didapatkan
gejala-gejala yang sesuai dengan waktu perjalanan penyakitnya dan gejala serta tanda
yang sesuai dengan daerah pendarahan pembuluh darah otak tertentu.
Anamnesis
Defisit neurologis yang terjadi secara tiba-tiba, saat aktifitas/istirahat, onset,
nyeri kepala/tidak, kejang/tidak, muntah/tidak, kesadaran menurun, serangan pertama
atau berulang. Juga bisa didapatkan informasi mengenai faktor resiko stroke. Faktor
resiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin, ras, dan genetik.
Sementara faktor resiko yang dapat diubah adalah hipertensi, diabetes melitus, penyakit
jantung, riwayat TIA/ stroke sebelumnya, merokok, kolesterol tinggi dalam darah, dan
obesitas.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum, kesadaran (Glasgow Coma Scale), tanda vital.
Pemeriksaan neurologis dapat dilakukan untuk melihat apakah ada deficit neurologis,
tanda-tanda perdarahan, tanda-tanda peningkatan TIK, ataupun tanda-tanda ransang
meninges.
Alat bantu skoring : Skor Hasanuddin
Penggunaan skor Hasanuddin turut dilakukan dalam membantu mendiagnosa
stroke pada sebelum atau tanpa adanya CT scan. Bagi stroke iskemik skornya kurang
atau sama dengan 15.
SKOR HASANUDDIN
Kesadaran Menurun

 Menit - 1 jam = 10
 1 jam - 24 jam = 7,5
 Sesaat tapi pulih kembali = 6
 ≥ 24 jam = 1
 Tidak beraktifitas = 1

Sakit Kepala

 Sangat hebat = 10
 Hebat = 7,5
 Ringan = 1
 Tidak ada = 0

Muntah Proyektil

 Menit - 1 jam = 10
 1 jam - 24 jam = 7,5
 > 24 jam = 1
 Tidak ada = 0

Tekanan Darah Saat Serangan

 > 220/110 = 7,5


 < 220/110 = 1

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium standar biasanya di gunakan untuk menentukan etiologi
yang mencakup urinalisis, darah lengkap, kimia darah, dan serologi. Pemeriksaan yang
sering dilakukan untuk menentukan etiologi yaitu pemeriksaan kadar gula darah, dan
pemeriksaan lipid untuk melihat faktor risiko dislipidemia :
1. Gula darah
Kadar glukosa darah.
Kriteria diagnostik DM
Bukan DM Belum pasti DM DM (mg/dl)
(mg/dl) (mg/dl)
Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma Vena <110 110 – 199 >200
Darah kapiler <90 90 – 199 >200
Kadar glukosa darah puasa
Plasma vena <110 110 – 125 >126
Darah <90 90 – 109 >110
Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk stroke, namun tidak sekuat hipertensi.
Gatler menyatakan bahwa penderita stroke aterotrombotik di jumpai 30% dengan
diabetes mellitus. Diabetes melitus mampu menebalkan pembuluh darah otak yang
besar, menebalnya pembuluh darah otak akan mempersempit diameter pembuluh darah
otak dan akan mengganggu kelancaran aliran darah otak di samping itu, diabetes
melitus dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah) yang
5
lebih berat sehingga berpengaruh terhadap terjadinya stroke.

2. Profil lipid
Kadar Lipid Serum Normal.
Kolesterol Total (mg/dl)
Optimal < 200
Diinginkan 200 –239
Tinggi ≥240
LDL
Optimal < 100
Mendekati optimal 100 –129
Diinginkan 130 –159
Tinggi 160 –189
Sangat tinggi ≥190
HDL
Rendah < 40
Tinggi ≥ 60
Trigliserida
Optimal < 150
Diinginkan 150 –199
Tinggi 200 –449
Sangat tinggi ≥500

LDL adalah lipoprotein yang paling banyak mengandung kolesterol. LDL


merupakan komponen utama kolesterol serum yang menyebabkan peningkatan risiko
aterosklerosis, HDL berperan memobilisasi kolesterol dari ateroma yang sudah ada dan
memindahkannya ke hati untuk diekskresikan ke empedu , oleh karena itu kadar HDL
yang tinggi mempunyai efek protektif dan dengan cara inilah kolesterol dapat di
turunkan, namun penurunan kadar HDL merupakan faktor yang meningkatkan
terjadinya aterosklerosis dan stroke.
Pemeriksaan lain yang dapat di lakukan adalah dengan menggunakan teknik
pencitraan diantaranya yaitu :
1. CT scan
Penggunaan CT-Scan adalah untuk mendapatkan etiologi dari stroke yang
terjadi. Pada stroke non-hemoragik, ditemukan gambaran lesi hipodens dalam parenkim
12
otak. Sedangkan dengan pemeriksaan MRI menunjukkan area hipointens.

CT scan stroke iskemik


2. MRI (magnetic resonance imaging)
Lebih sensitif dibandingkan dg CT scan dalam mendeteksi stroke non
hemoragik rigan, bahkan pada stadium dini, meskipun tidak pada setiap kasus. Alat ini
kurang peka dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi perdarahan intrakranium
ringan.
3. Ultrasonografi dan MRA (magnetic resonance angiography)
Pemindaian arteri karotis dilakukan dengan ultrasonografi (menggunakan
gelombang suara untuk menciptakan citra), MRA digunakan untuk mencari
kemungkinan penyempitan arteri atau bekuan di arteri utama, MRA khususnya
bermanfaat untuk mengidentifikasi aneurisma intrakranium dan malformasi pembuluh
darah otak.
4. Angiografi otak
Merupakan penyuntikan suatu bahan yang tampak dalam citra sinar-X ke dalam
arteri-arteri otak. Pemotretan dengan sinar-X kemudian dapat memperlihatkan
pembuluh-pembuluh darah di leher dan kepala.
Examples of DSA- and CTA-based collateral scores in 3 different patients. Images
were selected by a maximum amount of contrast in the middle cerebral artery for CTA
and adequate opacity in the venous phase for DSA. In the left column, the CTA image
is shown (A1–C1); in the middle column, the anteroposterior DSA (A2–C2); and in the
right column, the lateral DSA (A3–C3). A1–A3, Patient A with a right-sided M1
occlusion, which DSA assessed as grade 3, and CTA, as grade 3. B1–B3, Patient B with
a left-sided M1 occlusion, which DSA assessed as grade 1, and CTA, as grade 3. C1–
C3, Patient C with a left-sided M1 occlusion, which DSA assessed as grade 3 collateral
flow, and CTA, as grade 1.

Measurements of the degree of stenosis and minimal luminal diameter in both DSA and
HR-MR. The degree of stenosis is 73.9% on HR-MR (normal luminal diameter, 3.18
mm; minimal luminal diameter, 0.83 mm) and 72.7% on DSA (normal luminal
diameter, 2.86 mm; minimal luminal diameter, 0.78 mm).
DSA images in a lateral projection in a case of initial carotid-T occlusion (A). Dynamic
images (delay = 1 second) after successful POS recanalization resulting in 1 proximal
(filled arrow) and 1 intermediate embolus (open arrow) due to PTF (B–D).

DSA images in a lateral projection in a case of initial M1 occlusion (A). Dynamic


images (delay = 1 second) after successful recanalization of the POS, resulting in 1
intermediate (open arrow) and 2 distal emboli (filled arrows) due to PTF (B–D).
Illustrative case (patient 13). A and B, Lateral DSA images demonstrate a tapered and
severely narrowed left ICA dissection with flow limitation that extends across the
cervical segment into the skull base. C, Anteroposterior DSA image of an aspiration
thrombectomy catheter navigated across the left ICA cervical dissection and placed just
proximal to the M1 segment thromboembolus. D, Lateral DSA image demonstrates
successful thrombolysis/thrombectomy, resulting in complete recanalization and
eventual TICI 3 reperfusion of the left MCA distribution. E–H, Serial anteroposterior
DSA images demonstrate stent reconstruction of the long-segment left ICA dissection
after MCA thrombectomy, distal to the petrocavernous junction into the proximal
cervical left ICA, resulting in near-normal vessel caliber, with no residual stenosis or
flow limitation. Note spontaneous thrombosis of the carotid pseudoaneurysm (arrow)
and no residual subintimal contrast in the midcervical segment after stent-induced
apposition of the intimal flap.

Menurut perjalanan penyakitnya, diagnosis dapat dibedakan menjadi :


1. Transient Ischemic Attack (TIA)
Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di
otak yang akan menghilang dalam waktu 24 jam. Diagnosa T.I.A berimplikasi
bahwa lesi vascular yang terjadi bersifat reversible dan disebabkan embolisasi.
2. Reversible Ishemic Neurological Deficit (RIND).
Gejala neurologik yeng timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24
jam, tapi tidak lebih dari seminggu. Ini menggambarkan gejala yang beransur-ansur
dan bertahap. RIND ini pula berimplikasi bahwa lesi intravaskular yang sedang
menyumbat arteri serebral berupa timbunan oleh fibrin dan trombosit.
3. Stroke In Evolution
Gejala klinis semakin lama semakin berat. Ini dikarenakan gangguan aliran darah
yang makin berat.
4. Completed Stroke
Gejala klinis sudah menetap. Kasus completed stroke ini ialah hemiplegi dimana
sudah memperlihatkan sesisi yang sudah tidak ada progresi lagi. Dalam hal ini,
kesadaran tidak terganggu.

DIAGNOSIS BANDING
 Stroke Hemoragik
 Ensefalopati toksik/metabolik
 Ensefalitis
 Lesi struktural intrakranial (hematoma subdural, hematoma epidural, tumor
otak)
 Kelainan non neurologis / fungsional (contoh: kelainan jiwa)
 Trauma kepala
 Ensefalopati hipertensif
 Migren hemiplegik
 Abses otak
 Sklerosis multipel.

PENATALAKSANAAN
Stroke adalah suatu kejadian yang berkembang, karena terjadinya jenjang
perubahan metabolik yang menimbulkan kerusakan saraf dengan lama bervariasi setelah
terhentinya aliran darah kesuatu bagian otak. Dengan demikian, untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas perlu dilakukan intervensi secara cepat. Salah satu tugas
terpenting dokter sewaktu menghadapi devisit neurologik akul, fokal, dan non konvulsif
adalah menentukan apakah kausanya perdarahan atau iskemia-infark. Terapi darurat
untuk kedua tipe stroke tersebut berbeda, karena terapi untuk pembentukan trombus
dapat memicu perdarahan pada stroke hemoragik.

Pendekatan pada terapi darurat memiliki tiga tujuan :

1. Mencegah cedera otak akut dengan memuliihkan perfusi kedaerah iskemik non
infark.
2. Membalikkan cedera saraf sedapat mungkin,
3. Mencegah cedera neurologik lebih lanjut dengan melindungi sel dari daerah
penumbra iskemik dari kerusakan lebih lanjut oleh jenjang glutamat.

Terapi pada stroke iskemik dibedakan pada fase akut dan pasca akut.
Fase akut (hari 0-14 sesudah onset penyakit)
Pada stroke iskemik akut, dalam batas-batas waktu tertentu sebagian besar
cedera jaringan neuron dapat dipulihkan.Mempertahankan fungsi jaringan adalah tujuan
7
dari apa yang disebut sebagai strategi neuroprotektif.
Sasaran pengobatan : menyelamatkan neuron yang menderita jangan sampai mati dan
agar proses patologik lainnya yang menyertai tidak mengganggu / mengancam fungsi
otak. Tindakan dan obat yang diberikan haruslah menjamin perfusi darah ke otak tetap
cukup, tidak justru berkurang.
Secara umum dipakai patokan 5B, yaitu :
1. Breathing
Harus dijaga jalan nafas bersih dan longgar, dan bahwa fungsi paru-paru cukup
baik. Pemberian oksigen hanya perlu bila kadar oksigen darah berkurang.3
2. Brain
Posisi kepala diangkat 20-30 derajat.
Udem otak dan kejang harus dihindari. Bila terjadi udem otak, dapat dilihat dari
keadaan penderta yang mengantuk, adanya bradikardi, atau dengan pemeriksaan
funduskopi.3
3. Blood

 Jantung harus berfungsi baik, bila perlu pantau EKG.


 Tekanan darah dipertahankan pada tingkat optimal, dipantau jangan sampai
menurunkan perfusi otak.
 Kadar Hb harus dijaga cukup baik untuk metabolisme otak
 Kadar gula yang tinggi pada fase akut, tidak diturunkan dengan drastis, lebih-
lebih pada penderita dengan diabetes mellitus lama.
 Keseimbangan elektrolit dijaga.
4. Bowel
Defekasi dan nutrisi harus diperhatikan. Nutrisi per oral hanya boleh diberikan
setelah hasil tes fungsi menelan baik. Bila tidak baik atau pasien tidak sadar,
dianjurkan melalui pipa nasogastrik.
5. Bladder
Jika terjadi inkontinensia, kandung kemih dikosongkan dengan kateter intermiten
steril atau kateter tetap yang steril, maksimal 5-7 hari diganti, disertai latihan buli-
buli.
Penatalaksanaan komplikasi :

Kejang harus segera diatasi dengan diazepam/fenitoin iv sesuai protokol yang ada,
lalu diturunkan perlahan.
Ulkus stres : diatasi dengan antagonis reseptor H2
Peneumoni : tindakan fisioterapi dada dan pemberian antibiotik spektrum luas
Tekanan intrakranial yang meninggi diturunkan dengan pemberian Mannitol bolus :
1 g/kg BB dalam 20-30 menit kemudian dilanjutkan dengan 0,25-0,5 g/kg BB
setiap 6 jam selama maksimal 48 jam. Steroid tidak digunakan secara rutin.10
Penatalaksanaan keadaan khusus :
1. Hipertensi
Penurunan tekanan darah pada stroke fase akut hanya bila terdapat salah satu di
bawah ini :

 Tekanan sitolik >220 mmHg pada dua kali pengukuran selang 30 menit
 Tekanan diastolik >120 mmHg pada dua kali pengukuran selang 30 menit
 Tekanan darah arterial rata-rata >130-140 mmHg pada dua kali pengukuran
selang 30 menit
 Disertai infark miokard akut/gagal jantung
Penurunan tekanan darah maksimal 20% kecuali pada kondisi keempat, diturunkan
sampai batas hipertensi ringan.
Obat yang direkomendasikan: golongan beta bloker, ACE inhibitor, dan antagonis
kalsium.
2. Hipotensi
Hipotensi harus dikontrol sampai normal dengan dopamin drips dan diobati
penyebabnya.
3. Hiperglikemi
Hiperglikemi harus diturunkan hingga GDS: 100-150 mg% dengan insulin
subkutan selama 2-3 hari pertama.
4. Hipoglikemi
Hipoglikemi diatasi segera dengan dekstrose 40% iv sampai normal dan
penyebabnya diobati,
5. Hiponatremi

1. Fase Akut
Pada fase akut dapat diberikan :
 Pentoksifilin infus dalam cairan ringer laktat dosis 8mg/kgbb/hari
 Aspirin 80 mg per hari secara oral 48 jam pertama setelah onset
 Dapat dipakai neuroprotektor: piracetam, cithicolin, nimodipin.
2. Fase Pasca Akut
Pada fase paska akut dapat diberikan:
 Pentoksifilin tablet: 2 x 400 mg 
ASA dosis rendah 80-325 mg/hari 
Neuroprotektor.
Setelah fase akut berlalu, sasaran pengobatan dititikberatkan pada tindakan
rehabilitasi penderita, dan pencegahan terulangnya strok.
Rehabilitasi :
Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45 tahun, maka
paling penting pada masa ini ialah upaya membetasi sejauh mungkin kecacatan
penderita, fisik dan mental, dengan fisioterapi, ‘terapi wicara’ dan psikoterapi.
Rehabilitasi segera dimulai begitu tekanan darah, denyut nadi, dan pernafasan penderita
stabil.

 Memperbaiki fungsi motoris, bicara, dan fungsi lain yang terganggu


 Adaptasi mental, sosial dari penderita stroke, sehingga hubungan interpersonal
menjadi normal
 Sedapat mungkin harus dapat melakukan aktivitas sehari-hari.

 Mulai sedini mungkin


 Sistematis
 Ditingkatkan secara bertahap
 Rehabilitasi yang spesifik sesuai dengan defisit yang
ada. Terapi Preventif :
Tujuannya untuk mencegah terulangnya atau timbulnya serangan baru. Ini dapat
dicapai dengan jalan antara lain mengobati dan menghindari faktor-faktor risiko strok :
1. Pengobatan hipertensi
2. Mengobati diabetes mellitus
3. Menghindari rokok, obesitas, stress, dll
4. Berolahraga teratur.

ANEURISMA
DEFINISI
Aneurisma adalah pelebaran atau menggelembungnya dinding pembuluh darah,
yang didasarkan atas hilangnya dua lapisan dinding pembuluh darah, yaitu tunika media
dan tunika intima, sehingga menyerupai tonjolan atau balon. Dinding pembuluh darah
pada aneurisma ini biasanya menjadi lebih tipis dan mudah pecah.
Pengertian aneurisma yang sesungguhnya adalah dilatasi abnormal dari arteri. Hal
ini harus dibedakan dari “false” aneurisma, dimana terjadi pengumpulan darah disekitar
dinding pembuluh darah akibat trauma. Aneurisma sering terbentuk secara perlahan
selama bertahun-tahun dan sering juga tanpa gejala tetapi jika telah terjadi ruptur maka
ini adalah kegawatdaruratan bedah yang dapat mengancam nyawa.
2
Penyebab tersering dari aneurisma serebral adalah sebagai berikut. Pertama, trauma
pembuluh darah yang diinduksi oleh kelainan hemodinamika dan degeneratif seperti
tekanan darah tinggi. Kedua, penumpukan lemak dan pengapuran pembuluh darah
(aterosklerosis), terutama pada aneurisma tipe fusiformis. Ketiga, kelainan pembuluh
darah seperti displasia fibromuskular. Keempat, aliran darah yang sangat tinggi, seperti
malformasi arteri vena dan fistula. Penyebab lain yang jarang terjadi antara lain karena
trauma, infeksi, obat-obatan, dan tumor (neoplasma primer maupun metastasis)

KLASIFIKASI
Berdasarkan bentuknya, aneurisma dapat dibedakan menjadi aneurisma tipe
fusiformis dan aneurisma tipe sakular atau aneurisma kantung, dan aneurisma tipe
disekting.Tipe aneurisma tipe fusiformis (5–9%). Penderita aneurisma ini mengalami
kelemahan dinding melingkari pembuluh darah setempat sehingga menyerupai badan
botol. Paling sering disebabkan oleh aterosklerosis (penumpukan lemak dalam
pembuluh darah).
Aneurisma tipe sakular atau aneurisma kantung (90–95%). Pada aneurisma ini,
kelemahan hanya pada satu per-mukaan pembuluh darah sehingga dapat berbentuk
seperti kantung dan mempunyai tangkai atau leher. Dari seluruh aneurisma dasar
tengkorak, kurang lebih 90% merupakan aneurisma sakuler. Berdasarkan diameternya
aneurisma sakuler dapat dibedakan atas :
(a) aneurisma sakuler kecil dengan diameter <15 mm;
(b) aneurisma sakuler sedang dengan diameter antara 15–25 mm;
(c) aneurisma sakuler besar dengan diameter <25–50 mm; dan
(d) aneurisma sakuler raksasa dengan diameter>50 mm. Aneurisma Berry adalah
aneurisma sakular yang leher dan batangnya menyerupai buah beri.

Aneurisma tipe disekting (<1%).

Gambar 1. a. Aneurisma sakuler dengan leher sempit, b. Aneurisma sakuler


dengan leher lebar, c. Aneurisma fusiform

Menurut besarnya, maka aneurisma otak dibagi menjadi 5 bagian :

 Baby (ukuran <2 mm)


 Small (2-6 mm)
 Medium (6-15 mm)
 Large (15-25 mm)
 Giant (>25 mm)

Sedangkan menurut penyebabnya, aneurisma otak dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu:

 Kongenital (aneurisma sakuler) 4,9%


 Aneurisma mikotik (septik) 2,6%
 Aneurisma arteriosklerotik
 Aneurisma traumatik 5-76,8%
Laporan otopsi insidensi aneurisma kongenital sebesar 4,9 – 20%, yang terdiri
dari 15% multipel dan 85% soliter. Lokasi aneurisma kongenital dilaporkan 85 – 90% di
a. cerebri anterior / communicans anterior; 20 – 30% di a. cerebri media; 10 – 15% di a.
vertebro-basilaris.
Tempat yang biasanya timbul aneurisma adalah pada daerah :

 Sirkulasi anterior : pembuluh darah arteri komunikans anterior dan arteri cerebri
media
 Sirkulasi posterior : pembuluh darah arteri komunikans posterior dan
percabangan arteri basilaris (basilar tip aneurism)

GEJALA
Aneurisma serebral hampir tidak pernah menimbulkan gejala, kecuali terjadi
pembesaran dan menekan salah satu saraf otak, sehingga memberikan gejala sebagai
kelainan saraf otak yang tertekan. Aneurisma yang kecil dan tidak progresif, hanya akan
menimbulkan sedikit bahkan tidak menimbulkan gejala.
Pertanda awal bisa terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa minggu sebelum
aneurisma pecah (ruptur).
Sebelum aneurisma berukuran besar mengalami ruptur, pasien akan mengalami
gejala seperti sakit kepala berdenyut yang mendadak dan berat, mual dan muntah,
gangguan penglihatan (pandangan kabur/ ganda, kelopak mata tidak membuka), kaku
leher, nyeri daerah wajah, kelumpuhan sebelah anggota gerak kaki dan tangan, denyut
jantung dan laju per-napasan naik turun, hilang kesadaran (kejang, koma, kematian),
dan tidak mengalami gejala apapun.
Rupturnya aneurisma serebral dapat menimbulkan pendarahan di dalam selaput
otak (meninges) dan otak sehingga mengakibatkan pendarahan sub-araknoid (PSA) dan
pendarahan intraserebral (PIS), yang keduanya dapat menimbulkan gejala stroke. Juga
dapat terjadi pendarahan ulang, hidrosefalus (akumulasi berlebihan dari cairan otak),
vasospasme (penyempitan pembuluh darah), dan aneurisma multipel.
Risiko ruptur aneurisma serebral tergantung pada besarnya ukuran aneurisma.
Makin besar ukurannya,makin tinggi risiko untuk ruptur. Angka ruptur aneurisma
serebral kira-kira 1,3% per tahun. Sebenarnya dapat dilakukan skrining pencitraan,
tetapi tidak efektif dari segi pembiayaan.
Tingkat keparahan dari pendarahan subaraknoid (PSA) yang terjadi pada ruptur
aneurisma serebral, dapat menggunakan Skala Hunt-Hess:

 Derajat 1: asimtomatik (tidak bergejala) atau sakit kepala ringan dan kaku
kuduk ringan (angka harapan hidup sebesar 70%)
 Derajat 2: sakit kepala ringan sampai sedang, kaku kuduk, tidak ada
gangguan saraf selain kelumpuhan saraf otak (angka harapan hidup sebesar
60%).
 Derajat 3: somnolen (mengantuk) dengan gangguan saraf minimal (angka
harapan hidup 50%).
 Derajat 4: stupor, hemiparesis (lumpuh separuh tubuh), awal dari kekakuan
deserebrasi, dan gangguan vegetatif (angka harapan hidup 20%).
 Derajat 5: koma dalam, kekakuan deserebrasi (angka harapan hidup 10%).
 Derajat 6: mati batang otak (sesuai dengan kriteria pendarahan subaraknoid
derajat 6).
Klasifikasi Fisher Grade mengelompokkan penampakan pendarahan
subaraknoid berdasarkan pemeriksaan CT scan:

 Derajat 1: tidak ada pendarahan.


 Derajat 2: pendarahan subaraknoid dengan ketebalan <1 mm
 Derajat 3: pendarahan subaraknoid dengan ketebalan >1 mm
 Derajat 4: pendarahan subaraknoid tanpa memandang tebal pendarahan tetapi
disertai pendarahan intraventrikuler atau perluasan pendarahan ke jaringan otak
(lapisan parenkim otak)

Skala World Federation of Neurosurgical Society (WFNS) antara lain:

 Derajat 1: GCS 15, dengan tidak adanya defisit


 Derajat 2: GCS 13–14, tanpa defisit motorik
 Derajat 3: GCS 13–14, dengan defisit motorik
 Derajat 4: GCS 7–12, dengan atau tanpa defisit motorik
 Derajat 5: GCS 3–6, dengan atau tanpa defisit motorik

Klasifikasi Fisher Grade lebih jelas mendeskripsikan pendarahan subaraknoid


(PSH) untuk memprediksi vasospasme simtomatik, tetapi kurang berguna dalam hal
prognostik dibandingkan dengan Skala Hunt-Hess. Semua sistem penilaian derajat
klinis, berguna untuk menentukan indikasi dan waktu dilakukannya tatalaksana operasi.
Untuk penilaian akurat mengenai tingkat keparahan pendarahan subaraknoid, sistem
penilaian derajat klinis ini juga harus dilengkapi dengan pertimbangan terhadap keadaan
5
umum pasien, lokasi, serta ukuran aneurisma yang ruptur.
DIAGNOSIS
Di negara maju, aneurisma pada stadium dini lebih banyak ditemukan. Hal ini
karena banyak orang yang menjalani pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI),
sehingga aneurisma pada tingkat awal dapat terlihat jelas. Kadang aneurisma tidak
sengaja ditemukan saat pemeriksaan kesehatan dengan menggunakan CT scan, MRI
atau angiogram. Diagnosis pasti aneurisma pembuluh darah otak, beserta lokasi dan
ukuran aneurisma dapat ditetapkan dengan menggunakan pemeriksaan angiogram yang
juga dipakai sebagai panduan dalam pembedahan. Biasanya pungsi lumbal tidak perlu
dilakukan, kecuali jika diduga
terdapat meningitis atau infeksi lainnya. Jika diperlukan, bisa dilakukan pungsi lumbal
untuk melihat keberadaan darah di dalam cairan serebrospinal. Kemungkinan juga bisa
terjadi leukositosis yang tidak terlalu berarti

A, DSA of the left internal carotid artery at 9 months after treatment of a 7-mm
aneurysm of the anterior communicating artery. The frontal head view shows a large
recanalization (arrow) classified as residual aneurysm (class 3).
B, Contrast-enhanced MR angiograph with MIP reconstruction in the frontal plane
(arrow) demonstrates a residual aneurysm (class 3) in accordance with DSA findings.

A, DSA of the left vertebral artery performed at 12 months after treatment of a 6-mm
aneurysm of the left posterior inferior cerebellar artery. The frontal head view shows
(arrow) an opacification of residual aneurysm (class 3).
B, Contrast-enhanced MR angiograph with MIP reconstruction in the frontal plane
demonstrates (arrow) a residual aneurysm (class 3).
A, DSA of the left internal carotid artery at 11 months after treatment of a 3-mm
aneurysm of the anterior communicating artery. The frontal head view shows a residual
neck (arrow) of 2 mm-diameter (class 2).
B, Contrast-enhanced MR angiograph with MIP reconstruction in the frontal plane
demonstrates (arrow) a residual neck (class 2) in accordance with DSA.

A, DSA of the left internal carotid artery performed at 12 months after treatment of a 3-
mm aneurysm of the anterior communicating artery. The frontal head view shows a
complete obliteration (class 1) at the site of the anterior communicating artery (arrow).
B, Contrast-enhanced MR angiograph with MIP reconstruction in the frontal view
demonstrate a complete obliteration in agreement with DSA findings with minor coil
artifact.
Embolization of experimental wide-necked aneurysms with the liquid embolic I-PVA:
A, Digital subtraction carotid artery angiogram (DSA) of experimental aneurysm (swine
6, right common carotid artery).
B, Aneurysmography performed before embolization confirms blood flow-arrest while a
compliant balloon bridging the aneurysm neck is inflated (arrow indicates tip of the
microcatheter within the aneurysm cavity).
C, First cycle of polymer injection. I-PVA is injected within the first 2 minutes of a
temporary carotid artery occlusion time of 5 minutes total. Note the good visibility of I-
PVA, which accumulates at the tip of the microcatheter, under fluoroscopy.
D, Second cycle of polymer injection. I-PVA enlarges mainly around the microcatheter,
gradually filling the aneurysm cavity.
E, Third cycle of polymer injection after which I-PVA appears to completely fill the
aneurysm.
F, Immediate postembolization DSA demonstrates almost complete occlusion of the
aneurysm with a small neck remnant next to the former microcatheter position (arrow).
Follow-up investigations after 4 weeks.
A, Bicarotid trunk angiogram obtained 4 weeks after embolization reveals bilateral
complete aneurysm occlusion with preserved parent artery patency.
B, Volume-rendered reconstruction of 16-row multisection CT angiogram (MSCTA).
The polymer-filled aneurysms do not produce beam-hardening artifacts, so that
morphology of the parent artery and that of the polymer cast could be evaluated
concomitantly, frequently confirming angiographic findings.
C, Maximum intensity projection (MIP) of MSCTA displaying exclusively the right
carotid artery for closer vessel evaluation. Note the separation between the cast and the
carotid artery on axial sections suggesting the formation of a neointima layer (arrow,
upper left hand corner).
D, Right carotid artery angiogram confirms MSCTA findings, but demonstrates this soft
tissue interposition more clearly (arrow).
E, Axial gadolinium-enhanced T1-weighted 3D fast-spoiled gradient-echo imaging
(FSPGR) allows for a detailed evaluation of the configuration of the polymer cast,
demonstrating a smooth reconstruction of the arterial vessel wall (arrow).
F, 3D time-of-flight MR angiography shows preserved carotid artery patency; no intra-
aneurysmal flow signals were observed.
Case 1. Wide-necked paraophthalmic aneurysm (dome, 5.5 × 8 mm; neck, 5 mm).

A and B, DSA images obtained before (A) and after (B) combined therapy with the self-
expanding stent and GDCs demonstrate complete obliteration. The patient had two
additional aneurysms (at the AcomA and basilar artery) previously treated with GDCs
alone.
C and D, Source images of time-of-flight MR angiography reveal no stent-related
artifacts and normal flow-void signal intensity of the internal carotid artery. Arrows in
D indicate coil mass.
E, Follow-up angiogram after 6 months reveals complete aneurysm occlusion.

Case 2.
A, Angiogram reveals previously coiled recurrent aneurysm (arrows) of the cavernous
internal carotid artery.
B, Angiogram obtained after stent deployment shows immediate stasis of the contrast
material.
C, Angiogram obtained after coiling through the stent interstices shows that the
aneurysm is subtotally occluded.
D, Further thrombosis is noted after 6 months.

Case 3.
A, Anteroposterior and B, lateral DSA views demonstrate a broad-based, previously
clipped, recurrent basilar tip aneurysm encroaching on the left P1 segment.
C, Angiogram reveals immediate stasis of contrast material in the aneurysm after stent
deployment.
D, Angiogram reveals extravasation of contrast material after aneurysm perforation with
the microcatheter (arrows).
E, Posteroanterior and F, lateral final angiograms after treatment show complete
obliteration.
G, Angiogram shows that the right posterior cerebral artery is opacified via the internal
carotid artery.
Case 4.
A, Posteroanterior and B, oblique DSA views show a previously coiled, multilobulated,
recurrent basilar tip aneurysm encroaching the left P1 segment.
C, Unsubtracted image demonstrates the proximal and distal markers (arrows) of the
self-expanding neurovascular stent positioned with the distal end in the left P1 segment
and with the proximal end in the midbasilar artery.
D, Final oblique angiographic view after treatment demonstrates complete obliteration
of the aneurysm.
E, Follow-up angiogram reveals that the aneurysm remained occluded 6 months later

TERAPI
Untuk aneurisma yang belum ruptur, terapi ditujukan untuk mencegah agar
aneurisma tidak ruptur, dan juga agar tidak terjadi penggelembungan lebih lanjut
darivcaneurisma tersebut. Sedangkan untuk aneurisma yang sudah ruptur, tujuan terapi
adalah untuk men-cegah pendarahan lebih lanjut dan mencegah atau membatasi
terjadinya vasospasme. Penderita harus segera dirawat dan tidak boleh melakukan
aktivitas berat. Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang
dipasang selang drainase di dalam otak untuk mengurangi tekanan.

Terapi darurat untuk pasien yang mengalami ruptur aneurisma serebral


mencakup pemulihan fungsi pernapasan dan mengurangi tekanan dalam rongga
tengkorak (tekanan intrakranial). Saat ini, ada dua alternatif
terapi untuk tatalaksana aneurisma serebral, yaitu kliping operatif dan koiling
endovaskuler. Jika memungkinkan, kedua jenis terapi ini dilakukan pada 24 jam
pertama setelah pendarahan untuk mengatasi aneurisma yang ruptur, serta mengurangi
risiko pendarahan ulang.

 Kliping operatif
Kliping operatif diperkenalkan pada tahun 1937. Terapi ini mencakup
kraniotomi (pembukaan tengkorak), melihat aneurismanya, dan menutup dasar
aneurisma dengan klip yang dipilih khusus sesuai dengan area terjadinya
aneurisma. Pemasangan klip logam kecil di dasar aneurisma bertujuan supaya
bagian dari pembuluh darah yang menggelembung itu tertutup dan tidak bisa
1
dilalui oleh darah. Teknik operasi ini telah berkembang dan menurunkan angka
kekambuhan aneurisma. Indikasi untuk bedah kliping aneurisma, antara lain:
 ukuran aneurisma yang besar dan sangat besar
 aneurisma dengan leher yang lebar
 pembuluh darah yang keluar dari aneurisma
 efek massa atau hematoma yang berhubungan dengan aneurisma
 aneurisma rekurens setelah koiling endovaskuler
 Koiling endovaskuler
Koiling endovaskuler diperkenalkan tahun 1991. Teknik ini dilakukan dengan
pemasangan kateter melalui pembuluh nadi paha (arteri femoralis) menuju aorta,
pembuluh nadi otak, dan akhirnya ke aneurismanya. Dengan bantuan sinar X,
dipasang koil logam di tempat aneurisma pembuluh dara otak tersebut. Ketika
kateter berada di dalam aneurisma, koil platina didorong masuk ke dalam
aneurisma, lalu dilepaskan. Setelah itu dialirkan arus listrik ke koil logam
tersebut, dan diharapkan darah di tempat aneurisma itu akan membeku dan
1
menutupi seluruh aneurisma tersebut. Koil-koil ini akan merangsang reaksi
pembekuan di dalam aneurisma sehingga dapat menghilangkan aneurisma itu
sendiri. Teknik ini hanya memerlukan insisi kecilsebagai tempat masuknya
kateter. Pada kasus aneurisma dengan leher yang lebar, sebuah sten dipasang
pada pembuluh darah nadi sebagai pemegang kumparan, namun studi
pemasangan sten jangka lama dalam pembuluh darah otak belum dilakukan.
Indikasi koiling endovaskuler, antara lain:
 pasien dengan derajat klinis yang buruk
 pasien dengan keadaan umum yang tidak stabil
 pada lokasi aneurisma yang meningkatkan risiko operasi, seperti
sinus kavernosus dan aneurisma di dasar tengkorak
 aneurisma berleher kecil di fosa posterior
 pasien dengan vasospasme dini
 pada kasus aneurisma yang sulit untuk ditetapkan lehernya
 risiko operasi tinggi pada pasien dengan aneurisma multipel dengan
lokasi arteri berbeda

INDIKASI OPERASI

 Untuk aneurisma simtomatik yang belum ruptur


 Operasi biasanya diindikasikan untuk pasien dengan aneurisma simtomatik
yang belum ruptur karena angka kejadian rupturnya tinggi. Sebagian besar
aneurisma simtomatik memiliki ukuran yang besar. Pasien dengan aneurisma
berukuran besar, meningkatkan risiko operasi, tetapi risiko yang ditimbulkan
akan lebih besar jika aneurisma tersebut ruptur.Untuk aneurisma
asimtomatik
 Risiko rupturnya aneurisma meningkat, tergantung pada ukuran aneurisma.
Tetapi belum diketahui ukuran aneurisma yang meningkatkan risiko ruptur.

Aneurisma yang belum ruptur dilaporkan pada akhirnya ruptur dengan angka kejadian
1–1,4% per tahun. Sebagian besar peneliti menyebutkan bahwa risiko operasi lebih
kecil daripada risiko efek massa dan ruptur aneurisma pada pasien kurang dari usia 65
tahun yang ukuran aneurismanya lebih dari 1 cm. Pengaruh ukuran aneurisma masih
kontroversial.

STROKE HEMORAGIK
PENGERTIAN STROKE DAN STROKE HEMORAGIK
Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang
secara cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke hemoragik adalah stroke
yang terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi
perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak.

GEJALA KLINIS STROKE HEMORAGIK


Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan
perdarahan intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke iskemik,
hipertensi biasanya ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau koma lebih umum
pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik. Seringkali, hal ini
disebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Meningismus dapat terjadi akibat adanya
darah dalam ventrikel.
Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang terlibat.
Jika belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang terdiri dari
hemiparesis kanan, kerugian hemisensory kanan, meninggalkan tatapan preferensi,
bidang visual kana terpotong, dan aphasia mungkin terjadi. Jika belahan nondominant
(biasanya kanan) terlibat, sebuah sindrom hemiparesis kiri, kerugian hemisensory kiri,
preferensi tatapan ke kanan, dan memotong bidang visual kiri. Sindrom belahan
nondominant juga dapat mengakibatkan pengabaian dan kekurangan perhatian pada sisi
kiri.
Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan
kompresi batang otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam tingkat
kesadaran, apnea, dan kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan cerebellar atau
batang otak antara lain: ekstremitas ataksia, vertigo atau tinnitus, mual dan muntah,
hemiparesis atau quadriparesis, hemisensori atau kehilangan sensori dari semua empat
anggota, gerakan mata yang mengakibatkan kelainan diplopia atau nistagmus,
kelemahan orofaringeal atau disfagia, wajah ipsilateral dan kontralateral tubuh.

A. Perdarahan Intraserebral
Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar setengah dari jumlah
penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama aktivitas. Namun,
pada orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala disfungsi otak
menggambarkan perkembangan yang terus memburuk sebagai perdarahan. Beberapa
gejala, seperti kelemahan, kelumpuhan, hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya
mempengaruhi satu sisi tubuh. Orang mungkin tidak dapat berbicara atau menjadi
bingung. Visi dapat terganggu atau hilang. Mata dapat menunjukkan arah yang berbeda
atau menjadi lumpuh. Mual, muntah, kejang, dan hilangnya kesadaran yang umum dan
dapat terjadi dalam beberapa detik untuk menit.

B. Perdarahan Subaraknoid
Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali menekan
pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya sebelum pecah besar (yang
menyebabkan sakit kepala), menghasilkan tanda-tanda peringatan, seperti berikut:
 Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadang-kadang
disebut sakit kepala halilintar)
 Sakit pada mata atau daerah fasial
 Penglihatan ganda
 Kehilangan penglihatan tepi
Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu sebelum pecahnya aneurisma.
Individu harus melaporkan setiap sakit kepala yang tidak biasa ke dokter segera.
Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba parah dan
mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti dengan kehilangan
kesadaran singkat. Hampir setengah dari orang yang terkena meninggal sebelum
mencapai rumah sakit. Beberapa orang tetap berada dalam koma atau tidak sadar dan
sebagian lainnya bangun, merasa bingung, dan mengantuk. Dalam beberapa jam atau
bahkan menit, penderita mungkin menjadi tidak responsif dan sulit untuk dibangunkan.
Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak mengiritasi
lapisan jaringan yang menutupi otak (meninges), menyebabkan leher kaku serta sakit
kepala terus, sering dengan muntah, pusing, dan nyeri pinggang.
Sekitar 25% dari orang yang mengalami gejala-gejala yang mengindikasikan
kerusakan pada bagian tertentu dari otak, seperti berikut:
Kelemahan atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh (paling umum)
Kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh
Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa
Gangguan berat dapat berkembang dan menjadi permanen dalam beberapa menit
atau jam. Demam adalah gejala umum selama 5 sampai 10 hari pertama. Sebuah
perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan beberapa masalah serius lainnya, seperti:
 Hydrocephalus: Dalam waktu 24 jam, darah dari perdarahan subaraknoid dapat
membeku. Darah beku dapat mencegah cairan di sekitar otak (cairan
serebrospinal) dari pengeringan seperti biasanya tidak. Akibatnya, darah
terakumulasi dalam otak, peningkatan tekanan dalam tengkorak. Hydrocephalus
mungkin akan menyebabkan gejala seperti sakit kepala, mengantuk,
kebingungan, mual, dan muntah-muntah dan dapat meningkatkan risiko koma dan
kematian.
 Vasospasme: Sekitar 3 sampai 10 hari setelah pendarahan itu, arteri di otak dapat
kontrak (kejang), membatasi aliran darah ke otak. Kemudian, jaringan otak tidak
mendapatkan oksigen yang cukup dan dapat mati, seperti pada stroke iskemik.
Vasospasm dapat menyebabkan gejala mirip dengan stroke iskemik, seperti
kelemahan atau hilangnya sensasi pada satu sisi tubuh, kesulitan menggunakan
atau memahami bahasa, vertigo, dan koordinasi terganggu.
 Pecah kedua: Kadang-kadang pecah kedua terjadi, biasanya dalam seminggu

DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG STROKE HEMORAGIK


Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan keluhan utama
pasien. Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain:
hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak,
diplopia. Vertigo, afasia, disfagia, disartria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran
yang keseluruhannya terjadi secara mendadak.
Pada manifestasi perdarahan intraserebral, terdapat pembagian berdasarkan
Luessenhop et al. Pembagian ini juga berguna dalam menentukan prognosis pada pasien
stroke dengan perdarahan intraserebral.
Khusus untuk manifestasi perdarahan subaraknoid, pada banyak studi mengenai
perdarahan subaraknoid ini dipakai sistem skoring untuk menentukan berat tidaknya
keadaan perdarahan subaraknoid ini dan dihubungkan dengan keluaran pasien. Sistem
grading yang dipakai antara lain :
 Hunt & Hess Grading of Sub-Arachnoid Hemorrhage
Grade Kriteria
I Asimptomatik atau minimal sakit keoala atau leher kaku
II Sakit kepala sedang hingga berat, kaku kuduk, tidak ada defisit
neurologis
III Mengantuk, kebingungan, atau gejala fokal ringan
IV Stupor, hemiparese sedang hingga berat, kadang ada gejala deselerasi
awal
V Koma

 WFNS SAH grade


WFNS grade GCS Score Major facal deficit
0
1 15 -
2 13-14 -
3 13-14 +
4 7-12 + or -
5 3-6 + or -

Sistem skoring pada no 1 dan 2 dipakai pada kasus SAH primer akibat rupturnya
aneurisma.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis stroke dan
menyingkirkan diagnosis bandingnya. Laboratorium yang dapat dilakukan pada
penderita stroke diantaranya adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan darah,
kadar elektrolit, dan kadar serum glukosa.
Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak adalah
langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam basis kedaruratan.
Pencitraan otak membantu dalam diagnosis adanya perdarahan, serta dapat
menidentifikasi komplikasi seperti perdarahan intraventrikular, edem otak, dan
hidrosefalus. Baik CT non kontras ataupun MRI otak merupakan pilihan yang dapat
digunakan.
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dari
stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke dari patologi
intrakranial lainnya. CT non kontras dapat mengidentifikasi secara virtual hematoma
yang berdiameter lebih dari 1 cm.
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih bisa
diandalkan daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat mengidentifikasi
malformasi vaskular yang mendasari atau lesi yang menyebabkan perdarahan.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah elektrokardiogram (EKG) untuk
memulai memonitor aktivitas hantung. Disritmia jantung dan iskemia miokard memiliki
kejadian signifikan dengan stroke.
Oleh karena tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat di atas, maka untuk
memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem lain, misalnya sistem skoring
yaitu sistem yang berdasarkan gejala klinis yang ada pada saat pasien masuk Rumah
Sakit. Sistem skoring yang sering digunakan antara lain:

PENATALAKSANAAN STROKE HEMORAGIK


A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
1. Evaluasi cepat dan diagnosis
2. Terapi umum (suportif)
a. stabilisai jalan napas dan pernapasan
b. stabilisasi hemodinamik/sirkulasi
c. pemeriksaan awal fisik umum
d. pengendalian peninggian TIK
e. penanganan transformasi hemoragik
f. pengendalian kejang
g. pengendalian suhu tubuh
h. pemeriksaan penunjang

B. Penatalaksanaan Stroke Perdarahan Intra Serebral (PIS)


Terapi medik pada PIS akut:
a. Terapi hemostatik
 Eptacog alfa (recombinant activated factor VII [rF VIIa]) adalah obat
haemostasis yang dianjurkan untuk pasien hemofilia yang resisten terhadap
pengobatan faktor VIII replacement dan juga bermanfaat untuk penderita
dengan fungsi koagulasi yang normal.
 Aminocaproic acid terbuktitidak mempunyai efek menguntungkan.
 Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya adalah highly-
significant, tapi tidak ada perbedaan bila pemberian dilakukan setelah lebih
dari 3 jam.
b. Reversal of anticoagulation
 Pasien PIS akibat dari pemakaian warfarin harus secepatnya diberikan fresh
frozen plasma atau prothrombic complex concentrate dan vitamin K.
 Prothrombic-complex concentrates suatu konsentrat dari vitamin K
dependent coagulation factor II, VII, IX, dan X, menormalkan INR lebih
cepat dibandingkan FFP dan dengan jumlah volume lebih rendah sehingga
aman untuk jantung dan ginjal.
 Dosis tunggal intravena rFVIIa 10-90µg/kg pada pasien PIS yang memakai
warfarin dapat menormalkan INR dalam beberapa menit. Pemberian obat ini
harus tetap diikuti dengan coagulation-factor replacement dan vitamin K
karena efeknya hanya beberapa jam.
 Pasien PIS akibat penggunaan unfractionated atau low moleculer weight
heparin diberikan Protamine Sulfat, dan pasien dengan trombositopenia atau
adanya gangguan fungsi platelet dapat diberikan dosis tunggal
Desmopressin, transfusi platelet, atau keduanya.
 Pada pasien yang memang harus menggunakan antikoagulan maka
pemberian obat dapat dimulai pada hari ke-7-14 setelah erjadinya
perdarahan.
c. Tindakan bedah pada PIS berdasarkan EBM

 Keputusan mengenai apakah dioperasi dan kapan dioperasi masih tetap


kontroversial.
 Tidak dioperasi bila:

Pasien dengan perdarahan kecil (<10cm3) atau defisit neurologis
minimal.

Pasien dengan GCS <4. Meskipun pasien GCS <4 dengan perdarahan
intraserebral disertai kompresi batang otak masih mungkin untuk life
saving.
 Dioperasi bila:

Pasien dengan perdarahan serebelar >3cm dengan perburukan klinis atau
kompresi batang otak dan hidrosefalus dari obstruksi ventrikel harus
secepatnya dibedah.

PIS dengan lesi struktural seperti aneurisma malformasi AV atau
angioma cavernosa dibedah jika mempunyai harapan outcome yang baik
dan lesi strukturnya terjangkau.

Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang s/d besar yang
memburuk.

Pembedahan untuk mengevakuasi hematoma terhadap pasien usia muda
3
dengan perdarahan lobar yang luas (>50cm ) masih menguntungkan.

B. Penatalaksanaan Perdarahan Sub Arakhnoid


1. Pedoman Tatalaksana
a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA):
 Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk untuk
upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.
 Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30
dengan lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan O2 2-3
L/menit.
 Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.
 Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-
kelainan neurologi yang timbul.
b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih
intensif:
 Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di ruang
gawat darurat.
 Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalang
nafas yang adekuat.
 Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.
 Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan
penilaian status neurologi.

2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA


b. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan antihipertensi saja
tidak direkomendasikan untuk mencegah perdarahan ulang setelah terjadi PSA,
namun kedua hal tersebut sering dipakai dalam pengobatan pasien dengan PSA.
c. Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan pada
keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk terjadinya
vasospasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada operasi yang ditunda.
d. Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan ulang.
e. Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.

3. Operasi pada aneurisma yang rupture


b. Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan ulang
setelah rupture aneurisma pada PSA.
c. Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan ulang setelah
PSA, banyak penelitian memperlihatkan bahwa secara keseluruhan hasil akhir
tidak berbeda dengan operasi yang ditunda. Operasi yang segera dianjurkan pada
pasien dengan grade yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit.
Untuk keadaan klinis lain, operasi yang segera atau ditunda direkomendasikan
tergantung pada situasi klinik khusus.
d. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi untuk
perdarahan ulang.

4. Tatalaksana pencegahan vasospasme


a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-3 atau
secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin oral
terbukti memperbaiki deficit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme.
Calcium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau intravena tidak
bermakna.
b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H yaitu
hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan tujuan mempertahankan
“cerebral perfusion pressure” sehingga dapat mengurangi terjadinya iskemia
serebral akibat vasospasme. Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya
perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping.
c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu bermakna.
d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada pasien-
pasien yang gagal dengan terapi konvensional.
e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:
 Pencegahan vasospasme:
 Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.
 3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.
 Jaga keseimbangan cairan.
 Delayed vasospasm:
 Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.
 Berikan 5% Albumin 250 mL IV.
 Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge pressure 12-
14 mmHg.
2
 Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m .
 Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.

Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang sering


dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau tranexamid acid
dengan dosis 6-12 g/hari.
6. Antihipertensi
a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah
sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90 mmHg
(sebelum tindakan operasi aneurisma clipping).
b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan TDD
lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.
c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2 mg/menit
sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse dosisnya 50-200
mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan karena menyebabkan
vasodilatasi dan memberikan efek takikardi.
d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan
vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra yang
mungkin terjadi akibat vasospasme.
7. Hiponatremi
Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu
diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1
1
mEq/L/jam dan tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama.
Ada yang menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau 0,4
mg dalam 200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya dihindari
karena menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan untuk
pengobatan hiponatremi.

8. Kejang
Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan tidak
direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien yang
mungkin timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma arteri serebri
media, kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari risiko
perdarahan ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti konvulsan sebagai profilaksis.
Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV. Initial
dosis 100 mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance 300-400 mg/oral/hari dengan
1
dosis terbagi. Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk menghentikan kejang.
Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada penderita
yang tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada penderita yang
mempunyai faktor-faktor risiko seperti kejang sebelumnya, hematom, infark, atau
aneurisma pada arteri serebri media.

9. Hidrosefalus
a. Akut (obstruksi)
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama.
Kejadiannya kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau
drainase eksternal ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya dapat terjadi
perdarahan ulang dan infeksi.
b. Kronik (komunikan)
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara
temporer atau permanen seperti ventriculo-peritoneal shunt.

10. Terapi Tambahan


a. Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara regular.
Mencegah trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau pneumatic
compression devices.
b. Analgesik:
 Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.
 Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.
 Tylanol dengan kodein.
 Hindari asetosal.
 Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:
 Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.
 Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam.
 Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.
 Propofol 3-10 mg/kg/jam.
 Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan:
 Antagonis H2
 Antasida
 Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.
 Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali sehari.
 Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.

KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS STROKE HEMORAGIK


Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi adalah komplikasi yang paling
ditakutkan pada perdarahan intraserebral. Perburukan edem serebri sering
mengakibatkan deteoriasi pada 24-48 jam pertama. Perdarahan awal juga berhubungan
dengan deteorisasi neurologis, dan perluasan dari hematoma tersebut adalah penyebab
paling sering deteorisasi neurologis dalam 3 jam pertama. Pada pasien yang dalam
keadaan waspada, 25% akan mengalami penurunan kesadaran dalam 24 jam pertama.
Kejang setelah stroke dapat muncul. Selain dari hal-hal yang telah disebutkan diatas,
stroke sendiri adalah penyebab utama dari disabilitas permanen.
Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke dan lokasi serta
ukuran dari perdarahan. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah berhubungan
dengan prognosis yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi. Apabila terdapat
volume darah yang besar dan pertumbuhan dari volume hematoma, prognosis biasanya
buruk dan outcome fungsionalnya juga sangat buruk dengan tingkat mortalitas yang
tinggi. Adanya darah dalam ventrikel bisa meningkatkan resiko kematian dua kali lipat.
Pasien yang menggunakan antikoagulasi oral yang berhubungan dengan perdarahan
intraserebral juga memiliki outcome fungsional yang buruk dan tingkat mortilitas yang
tinggi.

PENCEGAHAN STROKE HEMORAGIK


Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan mengatasi
berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat maupun kelompok risiko
tinggi yang berlum pernah terserang stroke. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan
adalah:

 Mengatur pola makan yang sehat


 Melakukan olah raga yang teratur
 Menghentikan rokok
 Menhindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat
 Memelihara berat badan yang layak
 Perhatikan pemakaian kontrasepsi oral bagi yang beresiko tinggi
 Penanganan stres dan beristirahat yang cukup
 Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat advis dokter dalam hal diet dan obat
 Pemakaian antiplatelet
Pada pencehagan sekunder stroke, yang harus dilakukan adalah pengendalian
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dan pengendalian faktor risiko yang dapat
dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes mellitus, riwayat TIA, dislipidemia, dan
sebagainya.
Siriraj Hospital Score

Versi orisinal:

= (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x tekanan darah diastolik)
– (0.99 x atheromal) – 3.71.

Versi disederhanakan:

= (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan darah diastolik) – (3


x atheroma) – 12.

Kesadaran:

Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2

Muntah: tidak = 0 ; ya = 1

Sakit kepala dalam 2 jam: tidak = 0 ; ya = 1 Tanda-tanda ateroma:

tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1 (anamnesis diabetes;

angina; klaudikasio intermitten)

Pembacaan:

Skor > 1 : Perdarahan otak

< -1: Infark otak

Stroke dapat didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit lain seperti:


ensefalitis, meningitis, migrain, neoplasma otak, hipernatremia, stroke iskemik,
perdarahan subaraknoid, hematoma subdural, kedaruratan hipertensif, hipoglikemia,
labirinitis, dan Transient Ischemic Attack (TIA).
This 33-year-old man (patient 16) presented with headache 2 days following an episode
of mild head trauma. A, Brain CT demonstrates a small hematoma adjacent to the brain
stem. Both CTA and MR angiography were negative for vascular abnormalities. B,
Cerebral DSA shows an atypical fusiform dilation of the proximal segment of the PICA,
associated with a blister-like aneurysm intimately related to the previous hemorrhage
site. C and D, This lesion, probably dissecting in origin, is also demonstrated by
tridimensional virtual EndoView (C) and was treated 1 week after ictus with a single
PED (D). E−H, Immediate control 3D DSA confirms adequate endoluminal
reconstruction of the PICA (E), which remains stable 9 months after treatment (F−H).

A−C, A 72-year-old man (patient 5) harboring this large incidental dissecting aneurysm
of the proximal basilar trunk is treated with a single PED, with favorable outcome. Six-
month control angiogram shows adequate parent vessel reconstruction, despite the
persistence of a proximal stenotic segment and signs of mild intrastent hyperplasia. The
patient remains asymptomatic, not requiring further treatment. D−F, After 18 months of
follow-up, the angiographic findings remain unchanged, with stable aneurysm
occlusion.
Cerebral arterial vasculitis identified on DSA. A 45-year-old woman who presented
with sulcal SAH (arrow) isolated to the left Sylvian fissure (A). A CTA at the time of
admission demonstrated multifocal arterial narrowing (arrowheads) within the bilateral
anterior and middle cerebral arteries (B). DSA identified more extensive bilateral
arterial irregularity with multifocal narrowing and dilation that was consistent with
vasculitis.

Supraclinoid internal carotid artery aneurysm identified on repeat DSA. A 72-year-old


man who presented with perimesencephalic SAH that is localized near the right clinoid
process (A). An initial CTA performed on the day of presentation did not identify a
lesion responsible for the SAH (B). DSA performed on the day after presentation
demonstrates relative narrowing of the right supraclinoid internal carotid artery, the
right middle cerebral artery, and the right anterior cerebral artery in the anteroposterior
(C) and lateral (D) projections, which was thought to represent early vaspospasm. A
follow-up DSA was performed 7 days after presentation, which demonstrates an
irregular saccular outpouching (arrows) arising from the supraclinoid internal carotid
artery in the anteroposterior (E) and lateral (F) projections, consistent with a dissecting
aneurysm.

Basilar artery aneurysm identified on repeat CTA and DSA. A 65-year-old woman who
presented with diffuse SAH in the basal cisterns and bilateral Sylvian fissures. Note
hydrocephalus (A and D). A maximum-intensity-projection image from a CTA (B) and
a DSA (C) performed on the day of presentation demonstrate no evidence of an
aneurysm arising from the basilar artery. A follow-up CTA (E) and DSA (F) performed
7 days after presentation demonstrate an aneurysm arising from the posterior aspect of
the basilar artery, consistent with a perforator artery aneurysm.

A 58-year-old woman with a known allergy to iodinated contrast material who


presented with acute onset of severe headache. A, NCCT demonstrates a diffuse pattern
of SAH centered in the posterior aspect of the basal cisterns with extension to the
occipital and parietal sulci. B, MRA source image in the region of the hemorrhage does
not demonstrate a causative vascular abnormality. C, Oblique left vertebral angiogram
obtained 1 day after the MRA and following premedication with steroids demonstrates a
small DAVF deriving arterial supply from an enlarged meningeal branch of the left
vertebral artery (arrow) and with early venous drainage to the straight sinus
(arrowheads). The DAVF was treated with radiosurgery.
A 71-year-old man who presented with the worst headache of his life. A, NCCT
demonstrates a diffuse pattern of SAH in the basal cisterns. B, Axial CTA source image
was initially interpreted as not demonstrating a causative vascular abnormality for the
hemorrhage. In retrospect, a small aneurysm is present in the lateral aspect of the left
internal auditory canal (arrowhead). C, Frontal right vertebral angiogram obtained 1 day
after the CTA demonstrates a small pial AVM in the region of the left cerebellopontine
angle (arrow) with an associated 2-mm feeding artery aneurysm from a distal branch of
an enlarged left anterior inferior cerebellar artery (arrowhead). The patient underwent
aneurysm coiling followed by radiosurgery of the AVM nidus.

A 50-year-old man who presented with sudden onset of severe headache, nausea, and
vomiting. A, NCCT demonstrates a diffuse pattern of SAH with extension to the Sylvian
fissures. B, Axial CTA source image did not demonstrate a causative vascular
abnormality. C, Oblique right internal carotid angiogram obtained 1 day after the CTA
demonstrates a 1.5-mm blister right supraclinoid ICA aneurysm. The patient underwent
endovascular aneurysm treatment with the Pipeline Embolization Device (Covidien/ev3
Neurovascular, Irvine, California).
A 52-year-old woman with a history of migraine headaches who presented with sudden
onset of severe frontal headache. A, NCCT demonstrates a peripheral sulcal pattern of
SAH in the left frontal region. B, Axial MRA maximum-intensity-projection image does
not demonstrate a causative vascular abnormality. C, Lateral right external carotid
angiogram obtained 2 days after the MRA demonstrates multiple segmental areas of
luminal narrowing and dilation affecting the right superficial temporal artery
(arrowheads), consistent with vasculopathy. The clinical scenario was consistent with
reversible cerebral vasoconstriction syndrome. D, Lateral right external carotid artery
angiogram obtained 3 months after cessation of the inciting medication demonstrates
resolution of the abnormalities in the right superficial temporal artery.

A 67-year-old woman who presented with sudden onset of severe headache. A, NCCT
demonstrates a diffuse pattern of SAH with extension to the Sylvian fissures and
ventricular system. B, Axial CTA source image did not demonstrate a causative
vascular abnormality. C, Frontal left internal carotid angiogram obtained on the same
day as the CTA did not demonstrate a causative vascular abnormality. D, Frontal left
internal carotid artery angiogram obtained 8 days after the initial CTA demonstrates a 2-
mm anterior communicating artery aneurysm (arrowhead). The patient underwent
aneurysm coiling.
DAFTAR PUSTAKA

American Roentgen Ray Society. (2010). Atlanta: Current Imaging Assessment


and Treatment of Intracranial Aneurysms.
Brass LM. Stroke: Anatomi Vaskularisasi Otak. Available at
http://www.med.yale.edu/library/heartbk/18.pdf. Accessed on 25th September 2018.
Gofir A. Evidence Based Medicine. Jakarta: Pustaka Cendekia Press, 2009.
Heit, Jeremy. (2016). Imaging of Intracranial Hemorrhage. Stanford University
Hospital: Department of Radiology.
Kilburg, Craig. (2017). Advanced imaging in acute ischemic stroke. Utah:
Departments of Neurosurgery.
Moore, K. L., Dalley, A. F., & Agur, A. M. R. (2010). Clinically Oriented
Anatomy (6th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Princeton University (2000), Introduction in Digital Subtraction Angiography.
https://www.princeton.edu/~ota/disk2/1985/8506/850605.PDF [Diakses 30 September
2018]
Simons, Barbara: Imaging of Cerebral Venous Thrombosis: Current Techniques
Spectrum of Findings and Diagnostic Pitfalls. Available
http://www.radiologyassistant.nl/en/p4befacb3e4691/cerebral-venous-thrombosis.html..
Accessed on 1st October 2018.
Smith WS, Johnston SC. Cerebrovascular Diseases. In: Harrison’s Neurology in
Clinical Medicine. California: University of California, San Framsisco, 2006: 233-271
Subash, Kumar. (2006). The Brain Arterio-Venous Malformations (BAVMs): A
pictorial essay with emphasis on role of imaging in management. Ahmedabad:
Department of Radiodiagnosis & Imaging, B. J. Medical College, Civil Hospital
Toyota S, Iwaisako K, Takimoto H, Yoshimine T (2007). Intravenous 3D Digital
Subtraction Angiography in the Diagnosis of Unruptured Intracranial Aneurysms.
AJNR: Osaka, Japan

Anda mungkin juga menyukai