Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

“Ruptur Tendon Achilles Dextra”

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Akhir Kepaniteraan Klinik Madya di SMF
Ilmu BedahRumah Sakit Umum DaerahJayapura

Oleh:
Indriani, S.Ked
NIM : 0130840272

Pembimbing:
dr. Chris Andra, Sp.B

SMF ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA-PAPUA
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan, diterima dan disetujui oleh Penguji Fakultas Kedokteran


Universitas Cenderawasih sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian akhir Kepaniteraan
Klinik Madya pada SMF Ilmu Bedah RSUD Jayapura, dengan juduL Laporan Kasus :
‘’Ruptur Tendon Achilles Dextra"
Nama : Indriani S.Ked
NIM : 0130840272
Yang dilaksanakan pada:
Hari : Jumat
Tanggal : 11 Oktober 2019
Tempat : RSUD Yowari

Mengesahkan,
Penguji

dr. Chris Andra, Sp.B

2
LEMBAR PENILAIAN LAPORAN KASUS

Nama : INDRIANI

Nim : 0130840272

Pada:

Hari : Jumat

Tanggal : 11 - 10 - 2019

Tempat :RSUD YOWARI

Jayapura, 11 Oktober 2019

Pembimbing

dr. Chris Andra, Sp.B

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tendon Achilles merupakan tendon yang paling tebal dan kuat di tubuh
manusia. Seperti tendon lainnya, tendon ini dapat mengalami ruptur. Kejadian ruptur
tendon Achilles mengalami peningkatan akibat meningkatnya aktifitas fisik dan olah
raga, terutama pada usia 30 dan 40 tahunan. Secara statistik, 18 dari 100,000 ruptur
tendon Achilles terjadi setiap tahunnya
Ruptur tendon Achilles akut umumnya terjadi pada laki-laki pada dekade 3
dan 4 yang melakukan aktifitas fisik dan olahraga secara intermiten. Terapi ruptur
tendon Achilles akut terdiri dari terapi operatif dan terapi konservatif. Pendukung
terapi konservatif mengemukakan bahwa aposisi tendon yang didapatkan dengan
memposisikan kaki pada plantar fleksi, cukup untuk memulai proses penyembuhan
tendon yang rupture.
Terapi konservatif juga dapat menghindari pasien dari risiko yang dapat
timbul akibat operasi, seperti infeksi, nekrosis kulit, dan sinus infeksius. Mayoritas
klinisi yang memilih terapi operatif, mengemukakan bahwa terapi konservatif
memiliki tingkat ruptur ulang yang tinggi. Faktor yang dikemukakan di atas
membuktikan masih belum adanya kesepakatan antara klinisi dalam melakukan
tatalaksana ruptur tendon akut

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomis
Origo tendon Achilles berasal dari otot gastrocnemius dan soleus. Dua
otot ini membentuk Triceps Surae pada bagian distal yang berfungsi sebagai platar
flexor pada persendian kaki melalui tendon Achilles. Peredaran darah pada tendon
ini berasal dari arteri peroneus yang mensuplai darah pada bagian tengah, dan
arteri tibialis posterior yang mensuplai darah pada bagian proksimal dan distal.
2.2 Definisi dan Etiologi
Ruptur tendon Achilles adalah robekan komplet atau parsial pada tendon
Achilles, yaitu tendon yang menghubungkan otot betis dengan kalkaneus.
Penyakit ini dilaporkan lebih sering terjadi pada laki-laki, terutama setelah
aktivitas olahraga. Selain faktor mekanik (misalnya intensitas olahraga berlebih),
ruptur tendon Achilles juga dapat disebabkan proses degenerasi tendon.

2.6 Patofisiologi

Patofisiologi ruptur tendon Achilles berkaitan dengan degenerasi tendon


dan faktor mekanik. Dilaporkan bahwa 1 dari 3 ruptur tendon Achilles disebabkan
oleh pembebanan eksentrik yang cepat atau aktivitas berbasis pilometrik eksplosif.
Faktor Mekanik
Faktor mekanik yang menyebabkan mudahnya terjadi ruptur tendon Achilles
adalah adanya intensitas aktivitas atau olahraga berlebihan, mikrotrauma kronis,
overpronasi tendon, dan insufisiensi otot gastroknemius atau soleus. Pada kondisi
normal, komposisi otot paling banyak adalah kolagen tipe I. Namun, adanya stres
dan trauma tendon menyebabkan kompensasi berupa peningkatan kolagen tipe III
yang kurang kuat jika meregang sehingga memudahkan terjadinya ruptur.
Degenerasi
Penyebab terjadinya degenerasi tendon adalah, antara lain:
 Pengaruh usia : Pertambahan usia menyebabkan kondisi hipo/avaskular yang
menyebabkan fragilitas tendon meningkat dan durasi penyembuhan menjadi
lebih lama

5
 Kondisi medis : beberapa penyakit dapat menyebabkan percepatan degenerasi
tendon, misalnya rheumatoid arthritis, penyakit genetik dengan abnormalitas
kolagen, dislipidemia, dialisis jangka panjang, diabetes mellitus, dan
transplantasi ginjal
 Penggunaan fluorokuinolon : fluorokuinolon (seperti ciprofloxacin dan
levofloxacin) akan menurunkan transkripsi dekorin. Dekorin merupakan
proteoglikan yang berfungsi dalam pertumbuhan jaringan dan
mempertahankan kekuatan tendon. Berkurangnya dekorin akan menyebabkan
perubahan struktur dan mengubah biokimia otot sehingga mudah terjadi
ruptur.
 Kortikosteroid : Penggunaan kortikosteroid baik oral maupun injeksi akan
menekan fibroblast dan menghambat pertumbuhan jaringan sehingga durasi
penyembuhan lebih lama. Selain itu, masking effect akibat penggunaan
kortikosteroid membuat pasien akan meningkatkan aktivitas melebihi
kemampuan yang tentunya berisiko membuat ruptur tendon

2.7 Manifestasi Klinis

Gejala cedera pada tendon achilles yang paling umum yaitu:


 Sakit luar biasa pada otot kaki bagian bawah.
 Nyeri saat berjalan, terutama ketika mencoba jalan .
 Nyeri kemudian dapat berkurang dan kemudian diikuti keluhan sulit
melakukan plantar fleksi.
 Pembengkakan pada betis.
 Tidak bisa berjingkat

2.8 Pemeriksaan Penunjang

USG
Ultrasonografi/USG dan Magnetic resonance imaging/MRI merupakan
pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, namun tidak
dianjurkan dipakai sebagai pemeriksaan rutin. USG dapat memberikan penilaian
dinamis dari tendon dan dapat mengevaluasi neovaskularisasi jaringan. USG juga
dapat digunakan untuk membimbing prosedur perkutan. USG memiliki
sensitivitas 100% dan spesifisitas 90% untuk diagnosis ruptur tendon Achilles.

6
MRI
MRI bermanfaat dalam diagnosis gangguan tendon karena dapat mendeteksi
kelainan pada seluruh unit alat gerak, termasuk tendon, kalkaneus, insersi
Achilles, bursa retrocalcaneal, jaringan peritendinous, dan persimpangan
muskulotendinous. Temuan MRI juga berkorelasi dengan temuan intraoperatif
dan berguna untuk perencanaan bedah.

2.10 Diagnosis
Diagnosis ruptur tendon Achilles dapat ditegakkan secara klinis, serta ditunjang
dengan pemeriksaan MRI dan USG.

Anamnesis
Pada anamnesis, perlu ditanyakan bagaimana riwayat kejadian, apakah ada
riwayat cedera pada tungkai bawah, riwayat pengobatan, riwayat merokok, durasi
timbul gejala, aktivitas sehari-hari, frekuensi, dan intensitas olahraga.
Ruptur tendon Achilles akan memberikan gejala nyeri seperti ditembak atau
dipukul yang muncul mendadak di tumit. Tanda lainnya adalah terdapat audible
pop/snap saat bermanuver, pembengkakan betis, kekakuan otot, dan sulit
berjinjit.

Pemeriksaan Fisik
Kunci pemeriksaan fisik pada gangguan muskular adalah look, feel dan move.
 Look : lihat gait pasien, kemudian lakukan inspeksi kulit dan lihat apakah
terdapat pembengkakan, ecchymosis, dan benjolan pada otot.
 Feel : palpasi tendon untuk merasakan kekenyalan dan bentuk otot, apakah
terdapat nyeri tekan atau teraba gap, letak gap umumnya berada pada 2-6 cm di
atas tulang calcaneus. Namun gap bisa tidak teraba jika terdapat pembengkakan.
 Move: lakukan penilaian Range Of Motion (ROM) baik aktif dan pasif serta
bandingkan kekuatan otot dengan kontralateral. Jika terjadi ruptur, kekuatan
plantarfleksi menurun sedangkan pergerakan pasif dan aktif dorsofleksi tidak
terpengaruh

Pedoman American Academy of Orthopaedic Surgeons (AAOS)


menyarankan pemeriksaan Thompson test dilakukan untuk menegakkan
diagnosis. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah Matles test, Copeland
test, dan O’Brien test.

Thompson Test
Tes ini disebut juga Simmond test atau Calf-squeeze test. Cara pemeriksaan
adalah pasien dibaringkan posisi telungkup dengan kedua kaki dan pergelangan
kaki menggantung. Kemudian pegang betis seperti gerakan memeras.

7
Pemeriksaan dinyatakan positif jika tidak terjadi plantar fleksi pada kaki.
Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 98% dan spesifisitas 93.

Matles Test
Tes ini dilakukan dengan pasien dalam posisi telungkup, lutut fleksi sebesar 90
derajat. Ruptur tendon Achilles ditandai dengan posisi kaki menjadi netral atau
dorsofleksi .

Copeland Test

Cara pemeriksaan adalah pasien berbaring telungkup dengan kedua kaki dan
pergelangan kaki menggantung di meja periksa. Kemudian
letakkan sphygmomanometer di pertengahan betis, pompa sampai tekanan 100
mmHg lalu dorsifleksikan pergelangan kaki. Pada kondisi normal, tekanan akan
naik sampai 140 mmHg, namun jika terdapat ruptur tendon Achilles maka
kenaikan tidak ada atau hanya sedikit

O’Brien Needle Test


Tes ini lebih invasif dan jarang dilakukan. Tes ini memasukkan jarum kira-kira
10 cm pada insersi kalkaneus, kemudian dilakukan plantarfleksi pasif.
Normalnya, jarum bergerak ke arah berlawanan sementara pada ruptur tendon
Achilles, posisi jarum tetap sama

2.11 Diagnosis Banding


Diagnosis banding pada ruptur tendon Achilles antara lain tendinopati,
retrocalcaneal bursitis, dan paratenonitis
Achilles Tendinopati
Sama seperti ruptur tendon Achilles, pada kondisi ini juga didapati nyeri dan
kekakuan tendon. Perbedaannya, pada achilles tendinopati, terdapat krepitasi
dan penebalan tendon.
Retrocalcaneal Bursitis
Nyeri pada tumit belakang juga terdapat pada retrocalcaneal bursitis. Untuk
membedakan dengan ruptur tendon Achilles, pada kondisi ini terdapat
penonjolan tulang atau Haglund process.

8
Paratenonitis
Berbeda dengan ruptur tendon Achilles, paratenonitis akan memberikan gejala
nyeri ringan dan tumpul saat plantarfleksi. Nyeri umumnya muncul saat istirahat
dan memburuk dengan aktivitas.

2.10 Penatalaksanaan
Modalitas penatalaksanaan ruptur tendon achilles adalah tata laksana
konservatif dan operatif. tata laksana konservatif adalah dengan imobilisasi
menggunakan bidai dan functional brace. Tindakan operatif dapat berupa open
repair, minimally invasive, percutaneous repair, dan augmented repair.
Pada kasus ruptur tendon Achilles, kompetensi dokter umum hanya sampai pada
penanganan awal. Penanganan selanjutnya dilakukan oleh spesialis ortopedi.
Tata Laksana Konservatif
Penanganan konservatif akan efektif jika cedera terjadi kurang dari 72 jam pada
kondisi :
 Non atlet

 Pasien usia > 65 tahun

 Memiliki kebiasan merokok

 Pola hidup sedenter

 Obesitas

 Memiliki kontraindikasi operasi misalnya diabetes mellitus, neuropati, dan


imunokompromais

Imobilisasi dilakukan dengan menggunakan cast atau functional


brace selama 8-12 minggu. Efek imobilisasi adalah atrofi otot, kekakuan sendi,
produktivitas berkurang, dan memperpanjang masa rehabilitasi. Imobilisasi lebih
dari 8 minggu tidak direkomendasikan karena meningkatkan risiko ruptur
ulangan, deep vein thrombosis, serta penurunan atau kehilangan koordinasi dan
propriosepsi
Pemasangan, plaster cast di bawah lutut umumnya cukup. Pada awal
terapi, kaki diposisikan dalam plantarfleksi penuh dan tidak menumpu beban.
Kemudian, dalam 8-12 minggu kaki perlahan-lahan diubah hingga posisi netral.
Kelemahan metode konservatif adalah lebih sering terjadi ruptur ulangan,
kekuatan dan ketahanan otot lebih rendah, serta lebih sering terjadi elongasi
tendon.

9
Pembedahan
Penanganan operatif dilaporkan menurunkan risiko ruptur ulangan, hasil
kekuatan otot lebih baik, dan durasi rehabilitasi lebih cepat dibandingkan tata
laksana konservatif. Pilihan pembedahan dianjurkan pada beberapa kondisi
antara lain:

 Pasien muda dengan usia < 40 tahun

 Gaya hidup aktif dan butuh mobilitas tinggi

 Kasus ruptur kronik

 Gap lebih dari 5 mm


 Gejala memburuk, menetap, atau berulang setelah 6 bulan ditangani secara
konservatif.

Teknik pembedahan terdiri atas 4 jenis, antara lain open repair, percutaneous
repair, minimally invasive, dan augmented repair.

Open Repair

Metode ini lebih dipilih pada pasien muda, gaya hidup aktif, atau atlet
profesional karena durasi rehabilitasi lebih cepat, risiko ruptur berulang paling
rendah, tidak mencederai saraf dan hasil jangka panjang lebih baik. Namun,
tingkat komplikasi pascaoperasi paling tinggi.

Percutaneous Repair

Teknik ini juga disukai pada atlet karena waktu penyembuhan paling cepat. Insisi
minimal membuat efek kosmetik paling baik dan dapat menggunakan anestesi
lokal. Akan tetapi, pilihan pembedahan dengan teknik ini harus dilakukan
sesegera mungkin setelah cedera. Selain itu, tindakan ini membutuhkan keahlian
dan instrumentasi khusus. Komplikasi cedera nervus suralis sering terjadi.
Namun, cedera saraf dapat dihindari dengan bantuan USG dan endoskopi.

Minimally Invasive/Mini Open Repair

Teknik ini merupakan perpaduan antara open repair dan percutaneous repair.
Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan teknik ini adalah insidensi
ruptur ulang lebih rendah dibandingkan open repair, dapat meningkatkan
kekuatan otot, risiko cedera saraf minimal, dan durasi penyembuhan lebih cepat.
Risiko dehisensi luka lebih rendah dibandingkan open repair.

10
Augmented Repair

Augmentasi diperlukan jika ukuran defek lebih dari 3 cm dan pada ruptur yang
kronis.Teknik ini dilakukan dengan menggunakan graft atau flap. Penggunaan
graft atau flap akan membantu penyembuhan dan memperkuat tendon.

2.13 Komplikasi
Meskipun hampir keseluruhan operasi menghasilkan outcome yang baik
dan fungsional, namun komplikasi yang signifikan masih tetap dapat terjadi.
Salah satu variabel dalam operasi rekonstruksi adalah menentukan tegangan yang
optimal pada tendon yang diperbaiki. Jika kompleks tendon terlalu tegang, maka
pasien akan mengalami kesulitan dalam berjalan, jika terlalu longgar kekutan
tendon achiles tidak adekuat.
Penentu utama dari hasil yang baik adalah kemampuan pasien untuk berdiri
dengan mengangkat tumit pada satu tungkai yang cidera. Pada kebanyakan kasus,
kondisi ini dapat dicapai sekitar 6 bulan pasca operasi, tetapi hasil ini tidak
mungkin didapatkan jika rekonstruksi menghasilkan kondisi tendon yang terlalu
lentur atau tidak cukup tegang.
2.14 Prognosis
Prognosis ditentukan dari pencapaian fungsional. Secara umum, mayoritas pasien
dapat kembali berolahraga dan bekerja. Tetapi, perlu dicatat bahwa kebanyakan
tetap mengeluhkan disfungsi fungsional hingga 2 tahun setelah pengobatan.

11
BAB III
LAPORANKASUS

 Identitas Pasien
Nama : Ny. Salamin Yando
Umur : 36 tahun
Alamat : Yahokimo
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Menikah
No.RM : 17 01 30
Tanggal masuk : 05 Oktober 2019
Tanggal Pemeriksaan : 05 Okteber 2019
 Anamnesis
a) Keluhan utama : Kaki kanan susah di gerakkan
b) Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluhkan kaki kananya tidak bisa di gerakkan dan terasa kram sejam 5 hari
sebelum masuk RS. Awalnya kaki pasien terkbentur batu dan terdapat luka pada bagian
tungkai.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat dirawat di RS : Disangkal
 Riwayat DM : Disangkal
 Riwayat hipertensi : Disangkal
 Riwayat batuk lama atau pengobatan 6 bulan : Disangkal
 Riwayat Sakit jantung : Disangkal
 RiwayatAlergi obat : Disangkal
 Riwayat Asma : Disangkal
 Riwayat trauma : Disangkal

d) Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat sakit serupa : Disangkal
 Riwayat DM : Disangkal
 Riwayat hipertensi : Disangkal

12
 Riwayat Sakit jantung : Disangkal

e) Riwayat Pribadi:
 Kebiasaan olahraga :-
 Riwayat minum obat-obatan : Disangkal
 Kebiasaan merokok : Disangkal
 Riwayat minum alkohol : Disangkal

f) Riwayat Sosial Ekonomi :


g) Anamnesis Sistem
 Keluhan utama : Pasien mengeluhkan kaki kanan tidak bias digerakan
 Kepala : Sakit kepala (-),jejas(-), leher kaku (-).
 Mata : Penglihatan kabur (-), pandangan ganda (-), pandangan
berputar (-), berkunang-kunang (-), oedem palpebral (-/-), Mata berwarna kuning (-)
 Hidung : Pilek (-), mimisan (-), tersumbat (-)
 Telinga : Pendengaran berkurang (-), berdenging (-), keluar cairan (-),
darah (-).
 Mulut : Sariawan (-), luka pada sudut bibir (-), bibir pecah-pecah (-),
gusi berdarah (-), mulut kering(-), terasa pahit (-)
 Tenggorokan : sering haus (-), Sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-).
 Sistem serebrospinal : pusing (-), demam (-), kejang (-), penurunan kesadaran (-)
hari pertama.
 Sistem respirasi :Sesak nafas (-), batuk (-), dahak (-), batuk darah (-), mengi (-
), tidur mendengkur (-).
 Sistem kardiovaskuler :Sesak nafas bertambah saat beraktivitas (-), nyeri dada(-),
berdebar-debar (-), keringat dingin (-)
 Sistem gastrointestinal :Mual (-), muntah (-), perut mulilit (-), diare (-), nyeri
ulu hati (-), nafsu makan menurun (-).
 Sistem muskuloskeletal :Nyeri otot (-), memar (-) kulit melepuh (-) nyeri sendi (-),
kaku otot (-).
 Sistem genitourinaria :Sering kencing(-),nyeri saat kencing(+),keluar darah (-),
berpasir (-), kencing nanah(-), sulit memulai kencing (-), warna kencing kuning jernih
(-), anyang-anyangan(-), berwarna seperti teh (-).
 Ekstremitas :
13
Atas : Kesemutan(-), bengkak kedua tangan (-), sakit sendi (-),
panas (-), berkeringat (-), palmar eritema (-)
Bawah : Luka (+), gemetar (-), ujung jari dingin(-),
kesemutan di kaki (-), kebas (+) kaki kanan, sakit sendi (-
), bengkak (+) kaki kanan

 Sistem neuropsikiatri :Kejang (-), gelisah (-), kesemutan (-),mengigau (-), emosi
tidak stabil (-)
 Sistem Integumentum : Kulit kuning (-), pucat (-), gatal (-), bercakmerah kehitaman
di bagian dada, punggung, tangan dan kaki (-).

 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 05/10/2019 di IGD RSUD YOWARI
SENTANI.
a) Keadaanumum :Tampak kesakitan sedang
b) Kesadaran : Compos Mentis
c) GCS : E : 4 M : 6 V: 5
d) Vital sign
 TD : 100/70 mmHg
 Nadi : 85x/menit (regular, isi dan tegangan cukup)
 RR : 20x/menit
 SPO2 : 97%
 Suhu : 36,80 C (axiller)
e) Status Internus
 Kepala : kesan normocephal, kaku kuduk (-), meningeal sign (-)
 Mata:
 konjungtiva anemis (-/-)
 sklera ikterik (-/-)
 Hidung:
 napas cuping hidung (-)
 nyeri tekan (-)
 krepitasi (-)
 Sekret (-)
 septum deviasi (-)

14
 konka: hiperemis (-) dan deformitas (-)
 Mulut:
 sianosis (-)
 Pursed lips-breathing (-)
 lidah kotor (-)
 uvula simetris
 tonsil (T1/T1), hiperemis (-),kriptemelebar (-)
 Telinga:
 Sekret (-/-)
 Serumen (-/-)
 Laserasi (-/-).
 Leher:
 nyeri tekan trakea (-)
 pembesaran limfonodi (-/-)
 Pembesaran tiroid (-/-)
 Pergerakan otot bantu pernafasan (-)
 Peningkatan JVP (-)
 Thoraks
 Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak, ICS melebar (-)
Palpasi : ictus cordisteraba, kuatangkat (-), ICS melebar (-)
Perkusi :
kiri bawah : ICS V, 2 cm ke medial linea midclavicularis sinistra
kiri atas : ICS II linea sternalis sinistra
kanan atas : ICS II linea sternalis dextra
pinggang jantung : SIC III linea parasternalis sinistra
Kesan : konfigurasi jantung normal
Auskultasi :Suara jantung murni: Suara I dan Suara II reguler.
Suara jantung tambahan gallop (-), murmur (-)

15
 Pulmo
PULMO DEXTRA SINISTRA
Depan
1. Inspeksi
Bentuk dada Normal Normal
Hemitorak Simetris Simetris
Warna Sama dengan warna Sama dengan warna
sekitar. sekitar.
2. Palpasi
Ny eri tekan Tidak ada nyeri tekan Tidak ada nyeri tekan
Stem fremitus Normal Normal
3. Perkusi sonor seluruh lapang paru sonor di basal paru
4. Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan
 Wheezing - -
 Ronki kasar - -
 RBH - -
 Stridor - -
Belakang
1. Inspeksi
Warna Sama dengan warna sekitar Sama dengan warna sekitar
2. Palpasi
Nyeri tekan (-) (-)
Stem Fremitus Tidak ada pengerasan dan Tidak ada pengerasan dan
pelemahan pelemahan
3. Perkusi
Lapang paru sonor seluruh lapang paru Sonor di lapang paru
4. Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan
 Wheezing - -

16
 Ronki kasar - -
 RBH - -
 Stridor - -

 Abdomen

Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada,spider nevi (-), sikatriks (-),
striae (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Perkusi : pekak beralih (-), pekak sisi (-),

Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrik (-), nyeri tekan epigastrium (-), hepar
tidak teraba, lien tidak teraba, rovsing sign (-), nyeri menjalar ke
punggung (-), turgor kembali cepat

 Ekstremitas

Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- +/-
Sianosis -/- -/-
Reflek fisiologis N N
Reflek patologis - -

Pemeriksaan status Lokalis


Inspeksi : Pada inpeksi di dapatkan terdapat luka pada atas tungkai kaki kanan deisertai
pembengkakan pada kaki kanan yang tertutup perban
Palpasi : pada palpasi nyeri tekan (+)

 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
 Darah rutin pada tanggal 05/10/2019

17
Jenis Nilai normal Hasil Keterangan

Pemeriksaan

Hb (g/dl) 12,0- 16,0 14.6

Lekosit (rb/mm3) 4,0- 10,0 11.1

Eritrosit (jt/mm3) 3,5 - 5,50 6.14

Hematokrit (%) 37 – 54 53,9

Trombosit (rb/mm3) 150 – 400 318

MCV 80 – 100 80,1

MCH 26– 34 28,5

MCHC 32 – 36 35,5 ( L)

Limfosit 0,8 – 4,0 1.55

CT 2'00"

BT 7'30"

Malaria -

18
 Diagnosis

Rupture Tendon Achilles Dextra


 Tatalaksana
Operatif : tindakan pembedahan yang dilakukan repair prosedur
Medikamentosa :

IVFD RL 1000cc / 24 jam


Inj. Antrain 3 x 1 grm
Inj. Ceftriaxone 2 x 1 grm
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg

 Prognosis
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

19
BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosa pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan


fisik. Pada anamnesa didapatkan luka pada kaki kanan dengan riwayat cidera terkena
batu sebelumnya. Pasien juga mengeluhkan terjadi kekakuakn otot serta kaki
kanannya sulit untuk digerakkan. Pada inpeksi di dapatkan terdapat luka pada atas
tungkai kaki kanan deisertai pembengkakan pada kaki kanan.

Pada kasus ini tatalaksana yang di lakukan adalah tindakan operatif dengan
melalukan repeir tendon. Rekonstruksi bedah dinilai paling tepat untuk
mengembalikan fungsi tendon. tetapi tatalaksana non-bedah lebih dianjurkan untuk
pasien dengan kondisi kulit yang buruk, riwayat merokok, komplikasi jaringan lunak
akibat dari operasi sebelumnya, dan diabetes mellitus menahun. Banyak teknik bedah
untuk tatalaksana ruptur achiles neglected. Tujuan utama dari setiap tindakan bedah
adalah untuk mengembalikan fungsi dan kekuatan dari otot kompleks
gastrocnemeussoleus dengan menyusun ulang hubungan length-tension yang optimal

Prognosis ditentukan dari pencapaian fungsional. Secara umum, mayoritas


pasien dapat kembali berolahraga dan bekerja. Tetapi, perlu dicatat bahwa
kebanyakan tetap mengeluhkan disfungsi fungsional hingga 2 tahun setelah
pengobatan. Prognosis pada kasus ini yaitu dubia ad bonam dikarenakan penanganan
yang cepat dan baik.

20
BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
 Diagnosa pada kasus ini adalah rupture tendon Achilles yang ditegakkan
berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan fisik.
 Pada kasus ini tatalaksana yang di lakukan adalah tindakan operatif dengan
melalukan repeir tendon karena dinilai paling tepat untuk mengembalikan
fungsi tendon.

21
DAFTAR PUSTAKA

Barford, Achilles Tendon Rupture, Assessment Of Non-Operative Treatment. 2014, 61(4),


4837
Febrian R, 2019. “ Ruptur Tendon Achilles Akut: Antara Tatalaksana Konservatif atau
Operatif. J Indon Med Asoc, Volume 69: No: 4 April 2019 .

Rahmadian R, 2018. “Repair Ruptur Tendon Achiles Neglected dengan Teknik Lindholm
Modifikasi”. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7.

Asplund CA, Best TM. Achilles tendon disorders. BMJ, 2013. 346: f1262–f1262. Doi :
10.1136/ bmj.f1262

Moesbar N, 2006. Penanganan Cedera Tendon Achilles Dengan Mersilene Tape. Majalah
Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
Hess GW. Achilles Tendon Rupture. Foot & Ankle Specialist, 2009. 3(1): 29–32.
doi:10.1177/1938640009355191
Reiman M, C. Burgi, E. Strube, et al., 2014. The Utility Of Clinical Measures For The
Diagnosis Of Achilles Tendon Injuries: A Systematic Review With Meta-Analysis.
2014.49(6):820–829 doi: 10.4085/1062-6050-49.3.36
Gulati V, M. Jaggard, S. S. A-Namri, et al. World Journal Of Orthopedics. 2015 May 18;
6(4): 380-386

22

Anda mungkin juga menyukai