Anda di halaman 1dari 25

JOURNAL READING

PEDIATRIC TRAUMATIC BRAIN INJURY-A REVIEW OF


MANAGEMENT STRATEGIES

DISUSUN OLEH :

ARISKI PRATAMA JOHAN, S. Ked I4061172043


UMI NURRAHMAH, S.Ked I4061162020

PEMBIMBING
DR. SONNY G.R. SARAGIH, SP. BS

SMF BEDAH RUMAH SAKIT DR. ABDUL AZIZ SINGKAWANG


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
SINGKAWANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Cedera otak karena trauma/ Traumatic Brain Injury (TBI) adalah tantangan
yang menakutkan yang dihadapi oleh ahli bedah saraf dari seluruh dunia. Di antara
spektrum cedera yang termasuk dalam kategori TBI, perdarahan subarachnoid
karena trauma/ Traumatic Subarachnoid Hemorrhage (tSAH) adalah salah satu
penyebab utama morbiditas dan gangguan fungsional.1
Kecelakaan lalu lalu lintas mencapai sekitar angka 59% penyumbang kasus
TBI, dan diperkirakan bahwa dengan kecenderungan ini, itu akan menjadi
penyebab kematian nomor lima di India pada tahun 2030. Insiden cedera kepala
bervariasi dari 67 hingga 317 per 100.000 orang, dan tingkat mortalitas berkisar
dari sekitar 4% -8% untuk cedera sedang hingga sekitar 50% untuk cedera kepala
berat. Subarachnoid hemorrhage (SAH) adalah komponen integral dari TBI, dan
trauma adalah penyebab paling umum dari SAH. Insiden tSAH bervariasi dari 26-
53% pada pasien dengan TBI.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Ruang Subarachnoid


Ruang subarachnoid (antara arachnoid dan pia mater) berisi CSF
(cerebrospinal fluid), sel trabecular, arteri, dan vena. Adapun fungsi dari ruang
subarachnoid yang menjadi tempat mengalirnya CSF adalah berikut:
a. Sebagai pendukung dan bantalan sumsum tulang belakang dan otak.
Meskipun umumnya dinyatakan bahwa otak "mengapung" di CSF, otak
ditahan di ruang subarachnoid yang diisi CSF oleh trabekula araknoid.
b. Memenuhi beberapa fungsi yang biasanya disediakan oleh sistem limfatik
c. Memiliki volume sekitar 150 mL di ruang subarachnoid
d. Diproduksi oleh pleksus koroid di ventrikel otak
e. Diproduksi dengan kecepatan sekitar 500–700 mL / hari
f. Diserap kembali sebagian besar oleh granulasi arakhnoid dan dengan
kapiler CNS (central nervus system) kecil.2
Gambar 2.1. Lapisan meningen manusia: potongan coronal. 2

Gambar 2.2. Ruang subarachnoid memisahkan dua lapisan meningen, yaitu lapisan
arachnoidmater dan piamater. Tekanan CSF membuat arakhnoid menyesuaikan dengan
lapisan duramater di wilayah sagital superior sinus dan lacuna vena yang berdekatan. 3
Gambar 2.3. Meninges sistem saraf pusat, Sirkulasi cairan serebrospinal, dan Granulasi
arachnoid.2
2.2 Traumatic Subarachnoid hemorrhage
2.2.1 Definisi
Subarachnoid hemorrhage (tSAH) adalah komponen integral dari TBI, dan
trauma adalah penyebab paling umum dari SAH. Traumatic Subarachnoid
hemorrhage (tSAH) pertama kali didefinisikan oleh Wilks sebagai "sanguinous
meningeal effusion" pada tahun 1859. Adapun pengertian lainnya ialah merupakan
suatu kejadian saat adanya darah pada rongga subaraknoid yang disebabkan oleh
proses patologis yang dalam hal ini disebabkan karena cedera otak karena trauma.1
2.2.2 Patofisiologi
Etiologi tSAH tidak diketahui tetapi mekanisme yang mungkin terjadi adalah
sebagai berikut: (1) percepatan rotasi menyebabkan gerakan osilator otak yang
tahan berlangsung dalam waktu singkat-lama; (2) peregangan arteri vertebrobasilar
karena hiperekstensi; (3) peningkatan tekanan intra-arteri secara tiba-tiba dari
pukulan ke arteri karotis servikal; (4) robeknya pembuluh darah penghubung atau
pembuluh darah; dan, (5) difusi darah dari suatu luka memar ke ruang
subarachnoid. Terkadang, tidak ada penyebab yang bisa ditemukan.
SAH dapat ditemukan terkait adanya luka memar/ Contusion atau dan
hematoma subdural, yang menyebar keluar dari sekitar laserasi dan luka tembus.
Adapun tSAH dapat terjadi di permukaan ventral batang otak (basilar SAH).
Setelah terjadi SAH, cairan serebrospinal (CSF) menunjukkan respons
polimorfonuklear dalam waktu 24 jam, yang menjadi menonjol dalam waktu 48
jam. Setelah 48 jam, limfosit dan makrofag mulai menggantikan leukosit
polimorfonuklear. Makrofag fagositosis sel darah merah (sel darah merah), dan
fagosit yang sarat lipid dapat bertahan selama bertahun-tahun di arachnoidal
meninges dan ruang Virchow-Robin. tSAH dapat mengganggu penyerapan CSF
dan dapat menyebabkan hidrosefalus. Vasospasme pasca-trauma (PTV) adalah
yang menjadi pemicu sekunder signifikan terhadap otak yang cedera. Biasanya
berkembang antara 12 jam dan 5 hari setelah cedera dan berlangsung antara 12 jam
dan 30 hari. Hal ini juga dapat terjadi dengan cara yang lebih lambat dan mungkin
melibatkan arteri sirkulasi anterior dan posterior. Martin dan koleganya telah
mengusulkan adanya tiga tahap sirkulasi yang berbeda setelah cedera kepala berat:
Fase I (hipoperfusi), fase II (hiperemia), dan fase III (vasospasme).
a. Fase I: fase ini terjadi pada hari cedera (hari 0) dan dijabarkan dengan: (1)
aliran darah serebral/ cerebral blood flow (CBF) yang rendah; (2)
kecepatan arteri serebral media/ middle cerebral artery (MCA) normal; (3)
hemispheric index normal (rasio kecepatan MCA terhadap kecepatan arteri
karotid internal); dan, (4) perbedaan arteriovenosa/ arteriovenous
difference of oxygenation (AVDO) yang normal.
b. Fase II: Fase ini terjadi antara hari 1-3: (1) terjadi peningkatan CBF; (2)
AVDO turun; (3) kecepatan MCA meningkat; dan, (4) hemispheric index
tetap kurang dari 3.
c. Fase III: Fase ini terjadi antara hari 4-15: (1) terjadi penurunan CBF; (2)
ada peningkatan lebih lanjut dalam kecepatan MCA; (3) ada peningkatan
hemispheric index yang signifikan.
Mekanisme vasospasme sampai saat ini masih kurang dipahami. Pada tSAH
dapat terjadi di lokasi yang berbeda dan mungkin memiliki waktu yang bervariasi
dibandingkan dengan SAH karena aneurisma (aSAH). Hal ini mungkin melibatkan
ruang supratentorial, konveksitas, sulkus, dan interhemispheric. Pada tSAH, post
traumatic vasospasm (PTV) terjadi lebih awal dan dengan resolusi lebih awal
daripada aSAH. Namun PTV tidak selalu terkait dengan SAH.1
2.2.3 Klasifikasi
Skor khusus yang digunakan untuk mengklasifikasikan tSAH adalah sebagai
berikut:1
a. Klasifikasi Fisher: Fisher mengklasifikasikan wujud SAH pada CT scan.
b. Klasifikasi Morris-Marshall: Berdasarkan temuan CT scan, tSAH juga
diklasifikasikan sebagai: Grade 0: Tidak ada bukti yang tampak pada CT
scan adanya perdarahan subarachnoid traumatis (tSAH); Grade 1: tSAH
hanya muncul di satu lokasi; Grade 2: tSAH hadir hanya di satu lokasi,
tetapi kuantitas darah mengisi struktur tersebut, atau tSAH berada di dua
situs, namun darah tidak mengisi keduanya; Grade 3: tSAH hadir di dua
tempat termasuk tentorium, penuh dengan darah; dan, Grade 4: tSAH
hadir di tiga atau lebih situs, tanpa memandang kuantitas darah.
c. Klasifikasi Greene dkk.,: (1) SAH tipis kurang dari atau sama dengan 5
mm; (2) SAH tebal lebih besar dari 5 mm; (3) SAH tipis dengan lesi terkait
massa; dan, (4) SAH tebal dengan lesi terkait massa.

Gambar 2.4. Klasifikasi Fisher untuk menilai grade atau tingkat SAH.1
Gambar 2.5. Klasifikasi Morris-Marshall untuk menilai derajat tSAH.1

Gambar 2.6. Klasifikasi Green dkk., untuk menilai derajat tSAH.1


2.2.4 Manifestasi Klinis
Gejala ciri dari SAH adalah sakit kepala hebat, pasien umumnya
menggambarkan gejala tersebut sebagai sakit kepala terparah seseorang dalam
kehidupannya. Fotofobia, meningismus, muntah dan sinkop segera terjadi. Jika
sakit kepala hebat adalah satu-satunya gejala, kemungkinan SAH hanya 10%.
Adapun gejala lainnya kurang spesifik namun dapat ditemukan termasuk
kehilangan kesadaran sementara, cranial nerve palsies, diffuse weakness, diplopia,
ptosis, dan kejang. Gejala-gejala khas SAH muncul dari darah di subarachnoid
ruang yang mengiritasi meninges dan spinal nerve roots, yang mungkin
menghasilkan adanya tanda Kernig atau Brudzinski. Pemeriksaan funduskopi
sering didapatkan perdarahan mata (20-40%) diklasifikasikan ke dalam tiga
kategori: perdarahan subhyaloid atau preretinal (11% -33%), perdarahan vitreous
juga disebut sindrom Terson (4% -27%), dan perdarahan intra-retina.4
2.2.5 Diagnosis
Pemeriksaan neurologis harus mengevaluasi tingkat kesadaran (dalam hal ini
GCS), ukuran pupil dan reaksi, respons motorik, dan refleks. Trauma ke sumsum
tulang belakang, dada, dan perut harus disingkirkan. Tes diagnostik yang paling
sering digunakan adalah CT scan non-kontras otak. CT adalah radiografi yang
sangat sensitif mendeteksi SAH akut tetapi tidak harus diandalkan sebagai satu-
satunya alat investigasi. Model CT scan generasi lama dapat mendeteksi SAH akut
sekitar 93% -95% dalam 24 jam pertama setelah timbulnya gejala. Sensitivitas CT
scan untuk SAH menurun seiring waktu dikarenakan produk darah menyebar ke
dalam CSF, bekuan darah melarut dan darah diserap kembali ke dalam cairan tulang
belakang. CT scanner modern merupakan pendeteksi SAH yang lebih sensitif
dengan laporan sensitivitas 100% hingga 5 hari setelah onset gejala dan sensitivitas
keseluruhan 99,7% (95% CI: 98,1% -99,9%) dan spesifisitas 100% (98,2%-100%).
Meski memiliki sensitivitas dan spesifitas tinggi, apabila dicurigai SAH namun
dengan pemeriksaan CT scan negatif masih membutuhkan analisis CSF melalui
pungsi lumbal untuk mengkonfirmasi ada tidaknya sel darah merah dan
xanthochromia sebagai tanda SAH. Pada CT scan, tSAH ditemukan paling banyak
dalam pola campuran yang melibatkan belahan otak dan basal cistern (39,31%),
sulkus kortikal (33,33%), diikuti oleh ruang interhemispheric (11,96%).1,4
2.2.6 Tatalaksana
Penanganan yang dapat diberikan untuk pasein dengan tSAH ialah sebagai
berikut:2
a. Pasien harus dikelola di pusat bedah saraf khusus. Kateterisasi kandung
kemih, nutrisi enteral dini, analgesia, dan obat antiemetik dan antiepilepsi
sangat penting pada bagian awal perawatan.
b. Perawatan intensif umum termasuk menjaga kepala pasien tetap tinggi,
menghindari kompresi vena leher, sering memutar pasien, fisioterapi, dan
perawatan mulut, usus, dan kandung kemih.
c. Manajemen tSAH harus ditargetkan untuk menghindari cedera sekunder,
pemeliharaan tekanan perfusi serebral, mengoptimalkan oksigenasi otak,
dan pemantauan multimodal untuk mencapai target terapeutik.
d. Unit perawatan intensif harus mencakup monitoring tekanan intrakranial,
saturasi oksigen vena jugular bulb, dan tissue oxygen tension monitoring;
mikrodialisis serebral; ultrasonografi Doppler transkranial; ventilasi
mekanis; dukungan hemodinamik; terapi hiperosmolar; Terapi Lund;
profilaksis ulkus stres; dan walaupun jarang, barbiturat koma untuk
mengontrol tekanan intrakranial yang meningkat.
Adapun tatalaksana pada komplikasi spesifik terkait dengan tSAH adalah
sebagai berikut:1,5
1. Cairan dan elektrolit
Gangguan elektrolit sering terlihat di hadapan tSAH. Kerusakan sumbu
hipotalamus-hipofisis merupakan faktor utama yang berkontribusi.
Tujuannya adalah untuk mempertahankan euvolemia menjadi hipervolemia
moderat. Normal saline (NS) adalah solusi yang direkomendasikan. Solusi
hipotonik, seperti ½ NS, ¼ NS, 5% dextrose dalam air (D5% W), D5% ½ NS,
D5% ¼ NS, atau Ringer laktat, harus dihindari.
2. Vasospasme
Hanya 3,9% -16,6% pasien dengan tSAH dengan radiografi atau TCD
didiagnosis vasopasme serebral yang mengalami defisiensi neurologi serta
dapat dirujuk, dibandingkan dengan 17% -40% pasien dengan vasospasme
sekunder pada aSAH. Andalan pengobatan vasospasme yang terkait dengan
aSAH, harus digunakan secara rasional dalam tSAH. Agen-agen ini mungkin
berbahaya dalam tSAH dan dapat memperburuk edema serebral, yang
merupakan masalah yang lebih signifikan dalam TBI daripada di aSAH.
Calcium channel blockers telah menunjukkan beberapa bukti dalam
menurunkan angka kematian atau kecacatan berat pada pasien dengan tSAH,
tetapi mekanisme kerja mereka belum sepenuhnya diketahui. Dosis pada
dewasa dengan dosis peroral untuk mencegah defisit neurologis pada pasien
dengan SAH ialah 60 mg setiap 4 jam selama 21 hari. Pada iskemik defisit
neurologis dengan SAH melalui intravena dosis awalnya dengan 1 mg/jam
pada 2 jam pertama. Jika tekanan darah tidak turun terlalu parah dosis
dinaikkan 2mg/jam hingga 14 hari.
3. Hidrosepalus
Di antara pasien yang mengembangkan hidrosefalus sekunder, kontusio
(73,6%) dan tSAH (50%) adalah temuan yang paling umum. Pada 11,96%
kejadian hidrosefalus di tSAH. Faktor-faktor penting yang mempengaruhi
perkembangan hidrosefalus adalah bertambahnya usia, skor GCS rendah saat
masuk, serta adanya perdarahan intraventrikular dan/atau tSAH berat. [24]
Hydrocephalus biasanya dari jenis komunikasi dan dikelola oleh shunting
ventrikuloperitoneal.
BAB III
PENYAJIAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Jenis kelamin : laki-laki
Tanggal lahir : 1 Agustus 1986
Umur : 32 tahun
Tanggal Masuk RS : 15 Agustus 2018

II. Anamnesis
Keluhan Utama:
Nyeri Kepala
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala sejak kurang lebih 5 jam SMRS setelah
terjatuh dari pohon rambutan. Nyeri kepala dirasakan semakin memberat dan terus
menerus muncul. Keluhan nyeri kepala yang dirasakan seperti dicengkram kuat.
Mual (+), Muntah (+) kurang lebih 3 kali berisi lendir bening dan sedikit makanan.
BAB (+) 2 hari yang lalu, BAK (+) DBN.
Riwayat Penyakit Dahulu: pernah jatuh di wc dan mengalami trauma kepala . CT
Scan Kepala (+) oleh dokter didiagnosa cephalgia sekunder ec SAH (subarachnoid
hemorage) CT scan (+) tanggal 2/8/2018
Riwayat Penyakit Keluarga: -

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran: Compos Mentis
GCS: 15, E4V5M6
TD: 110/70 mmHg
RR: 20x/ menit
HR: 84x/ menit
Suhu: 36,7
Status Generalis:
Mata: Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Leher: Pembesaran KGB (-)
Pulmo: Vesikular (-/-), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Cor: S1S2 Reg, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: Soepl, NT (-), BU (+)
Genitalia/ Anus: Benjolan di Anus kurang lebih 3 cm, hiperemis (-)
Ekstremitas: Akral hangat, CRT <2 detik

IV. Pemeriksaan penunjang


Tanggal 15/8/2018
RBC : 4,46
WBC : 9700
Thrombosit : 220.000
Htc : 37,2
Hb :12,8
CT-Scan non contrast ke -1 Tanggal 02/8/2018
CT-Scan non contrast ke -2 Tanggal 16/8/2018
CT-Scan non contrast ke -3 Tanggal 25/8/2018
V. Diagnosis
Cephalgia Sekunder ec SAH
VI. Tatalaksana
Inj. Nimodipin 2,5 ml /jam via sp (sring pump)
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg/12jam
Inj. Tramadol 2 x1 amp iv dalam PBNS (piggy bag normal saline) 100 cc
Inf. Mersitrofil 12 gram / 24 jam.
VII. Follow-UP
16 Agustus 2018
S: Nyeri kepala, mual berkurang
O: CM, meringis
A: cephalgia sekunder ec SAH
P: IVFD RL 20 tpm
Inj. Nimodipin 2,5 ml /jam via sp (sring pump)
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg/12jam
Inj. Tramadol 2 x1 amp iv dalam PBNS (piggy bag normal saline) 100 cc
Inf. Mersitrofil 12 gram / 24 jam.
Po Bethahistine 3 x 1
Telah dilakukan CT-Scan kepala tanpa kontras

17 Agustus 2018
S: Nyeri kepala
O: CM, meringis
A: cephalgia sekunder ec SAH
P: IVFD RL 20 tpm
Inj. Nimodipin 2,5 ml /jam via sp (sring pump)
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg/12jam
Inj. Tramadol 2 x1 amp iv dalam PBNS (piggy bag normal saline) 100 cc
Inf. Mersitrofil 12 gram / 24 jam.
18 Agustus 2018
S: Nyeri kepala, mual, muntah 1x saat malam
O: CM, meringis
A: cephalgia sekunder ec SAH
P: IVFD RL 20 tpm
Inj. Nimodipin 2,5 ml /jam via sp (sring pump)
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg/12jam
Inj. Tramadol 2 x1 amp iv dalam PBNS (piggy bag normal saline) 100 cc
Inf. Mersitrofil 12 gram / 24 jam.
Po. Bethahistine 3x1

19 Agustus 2018
S: Nyeri kepala dirasakan tidak berkurang, mual berkurang
O: CM, meringis
A: cephalgia sekunder ec SAH
P: IVFD RL 20 tpm
Inj. Nimodipin 2,5 ml /jam via sp (sring pump)
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg/12jam
Inj. Tramadol 2 x1 amp iv dalam PBNS (piggy bag normal saline) 100 cc
Inf. Mersitrofil 12 gram / 24 jam.

20 Agustus 2018
S: Nyeri kepala berkurang sedikit
O: CM, meringis
A: cephalgia sekunder ec SAH
P: IVFD RL 20 tpm
Inj. Nimodipin 2,5 ml /jam vias sp(sring pump)
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg/12jam
Inj. Tramadol 2 x1 amp iv dalam PBNS (piggy bag normal saline) 100 cc
Inf. Mersitrofil 12 gram / 24 jam.
21 Agustus 2018
S: Nyeri kepala (+)
O: CM, meringis
A: cephalgia sekunder ec SAH
P: IVFD RL 20 tpm
Inj. Nimodipin 2,5 ml /jam via sp (sring pump)
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg/12jam
Inj. Tramadol 2 x1 amp iv dalam PBNS (piggy bag normal saline) 100 cc
Inf. Mersitrofil 12 gram / 24 jam.
Hasil CT Scan (+)

22 Agustus 2018
S: Nyeri kepala berkurang
O: CM, meringis
A: cephalgia sekunder ec SAH
P: IVFD RL 20 tpm
Inj. Nimodipin 2,5 ml /jam via sp (sring pump)
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg/12jam
Inj. Tramadol 2 x1 amp iv dalam PBNS (piggy bag normal saline) 100 cc
Inf. Mersitrofil 12 gram / 24 jam.

23 Agustus 2018
S: Nyeri kepala berkurang
O: CM, meringis
A: cephalgia sekunder ec SAH
P: IVFD RL 20 tpm
Inj. Nimodipin 2,5 ml /jam via sp (sring pump)
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg/12jam
Inj. Tramadol 2 x1 amp iv dalam PBNS (piggy bag normal saline) 100 cc
Inf. Mersitrofil 12 gram / 24 jam.
24 Agustus 2018
S: Nyeri kepala (+) dirasakan sama dengan hari yang lalu
O: CM, meringis
A: cephalgia sekunder ec SAH
P: IVFD RL 20 tpm
Inj. Nimodipin 2,5 ml /jam via sp (sring pump)
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg/12jam
Inj. Tramadol 2 x1 amp iv dalam PBNS (piggy bag normal saline) 100 cc
Inf. Mersitrofil 12 gram / 24 jam.

25 Agustus 2018
S: Nyeri kepala (+) dirasakan sama dengan hari yang lalu
O: CM, meringis
A: cephalgia sekunder ec SAH
P: IVFD RL 20 tpm
Inj. Nimodipin 2,5 ml /jam via sp (sring pump)
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg/12jam
Inj. Tramadol 2 x1 amp iv dalam PBNS (piggy bag normal saline) 100 cc
Inf. Mersitrofil 12 gram / 24 jam.
Pro. CT-Scan ulang tanpa kontras

26 Agustus 2018
S: Nyeri kepala (+) dirasakan sama dengan hari yang lalu
O: CM, meringis
A: cephalgia sekunder ec SAH
P: IVFD RL 20 tpm
Inj. Nimodipin 2,5 ml /jam via sp (sring pump)
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg/12jam
Inj. Tramadol 2 x1 amp iv dalam PBNS (piggy bag normal saline) 100 cc
Inf. Mersitrofil 12 gram / 24 jam.
27 Agustus 2018
S: Nyeri kepala (+) dirasakan sama dengan hari yang lalu
O: CM, meringis
A: cephalgia sekunder ec SAH
P: IVFD RL 20 tpm
Inj. Nimodipin 2,5 ml /jam via sp (sring pump) (stop)
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg/12jam
Inj. Tramadol 2 x1 amp iv dalam PBNS (piggy bag normal saline) 100 cc
Inf. Mersitrofil 12 gram / 24 jam.
Po. Bethahistine 3x1
Hasil CT Scan (+)

28 Agustus 2018
S: Nyeri kepala (+) dirasakan menguat, kejang (+), Muntah (+)
O: CM, meringis
A: cephalgia sekunder ec SAH
P: IVFD RL 20 tpm
Inj. Phenytoin 100mg/8jam dalam PBNS 100 cc
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg/12jam
Inj. Tramadol 2 x1 amp iv dalam PBNS (piggy bag normal saline) 100 cc
Inf. Mersitrofil 12 gram / 24 jam.
Po. Bethahistine 3x1
Rencana Besok BLPL

29 Agustus 2018
S: Nyeri kepala (+) berkurang
O: CM
A: cephalgia sekunder ec SAH
P: IVFD RL 20 tpm
Inj. Phenytoin 100mg/8jam dalam PBNS 100 cc
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg/12jam
Inj. Tramadol 2 x1 amp iv dalam PBNS (piggy bag normal saline) 100 cc
Inf. Mersitrofil 12 gram / 24 jam.
BPLP
BAB IV
PEMBAHASAN

Ruang subarachnoid (antara arachnoid dan pia mater) berisi CSF


(cerebrospinal fluid), sel trabecular, arteri, dan vena. Selain fungsi pentingnya
menjadi ruang vaskularisasi dan tempat mengalirnya CSF, ruang subarachnoid juga
berperan sebagai pendukung dan bantalan sumsum tulang belakang dan otak.
Meskipun umumnya dinyatakan bahwa otak "mengapung" di CSF, otak ditahan di
ruang subarachnoid yang diisi CSF oleh trabekula araknoid.
Etiologi tSAH tidak diketahui tetapi mekanisme yang mungkin terjadi adalah
sebagai berikut: (1) percepatan rotasi menyebabkan gerakan osilator otak yang
tahan berlangsung dalam waktu singkat-lama; (2) peregangan arteri vertebrobasilar
karena hiperekstensi; (3) peningkatan tekanan intra-arteri secara tiba-tiba dari
pukulan ke arteri karotis servikal; (4) robeknya pembuluh darah penghubung atau
pembuluh darah; dan, (5) difusi darah dari suatu luka memar ke ruang
subarachnoid. Terkadang, tidak ada penyebab yang bisa ditemukan. Adanya darah
dalam ruang subarachnoid dapat mengiritasi meningen dan menimbulkan tanda
patoligis seperti kernig dan brudzinski
Tatalaksana yang dapat diberikan berupa penanganan yang kurang lebih sama
dengan manajemen pada TBI. Manajemen tSAH harus ditargetkan untuk
menghindari cedera sekunder, pemeliharaan tekanan perfusi serebral,
mengoptimalkan oksigenasi otak, dan pemantauan multimodal untuk mencapai
target terapeutik. Adapun tatalaksana pada komplikasi spesifik terkait dengan tSAH
adalah (1) Pencegahan ketidak seimbangan cairan dan elektrolit, (2) Pencegahan
terjadinya vasospasme, dan (3) Hidrocepalus.1
BAB V
KESIMPULAN

Traumatic subarachnoid hemorrhage (tSAH) merupakan kejadian yang biasa


ditemui dalam TBI. Traumatic subarachnoid hemorrhage adalah salah satu faktor
penting yang mempengaruhi hasil keseluruhan pada pasien cedera kepala. Bukti
telah menunjukkan bahwa tSAH memiliki efek signifikan pada hasil cedera kepala
yang jauh lebih banyak daripada yang disadari. Hal ini diketahui sangat merugikan
kemajuan klinis pasien. Merekam sejarah atau riwayat penyakit dengan rinci adalah
salah satu faktor kunci dalam membedakan aSAH dari tSAH.1
Protokol manajemen tetap kurang lebih sama dengan TBI pada umumnya.
Tujuannya adalah mencegah komplikasi seperti diselectrolytemia, vasospasme, dan
hidrosefalus serta yang terpenting cedera otak sekunder. Pasien dengan tSAH
seharusnya berikan nimodipine selama 2-3 minggu. Skor GCS tetap merupakan
parameter yang paling penting untuk menilai hasil neurologis. Karena tSAH adalah
salah satu faktor penyumbang penting dalam prognosis TBI, patofisiologinya dan
komplikasi yang diantisipasi harus dipahami dengan benar.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Modi NJ, Agrawal M, Sinha VD. Post-traumatic subarachnoid hemorrhage:


A review. Neurology India. 2016 Feb 1;64(7):8.
2. Hansen JT. Netter's Clinical Anatomy E-Book. Elsevier Health Sciences;
2017 Dec 13.
3. Moore KL, Dalley AF, Agur AM. Clinically oriented anatomy. Lippincott
Williams & Wilkins; 2013 Feb 13.
4. Simpson VM, Deshaies EM. Diagnosis and initial management of
subarachnoid haemorrhage. OA Emergency Medicine. 2013:1-1.
5. Sun J, Zheng J, Wang F, Zhang G, Wu J. Effect of hyperbaric oxygen
combined with nimodipine on treatment of diffuse brain injury. Experimental
and therapeutic medicine. 2018 Jun 1;15(6):4651-8.

Anda mungkin juga menyukai