Anda di halaman 1dari 28

Laporan Kasus

EPIDURAL HEMATOMA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Oleh :
Andi Nadya Sahnaz
21804101050

Pembimbing :
dr. Yahya Ari Pramono, Sp.BS

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


LABORATORIUM ILMU BEDAH SYARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM
MALANG RSUD KANJURUHAN KEPANJEN
2019
2

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas limpahan


rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus
yang berjudul “Epidural Hematoma” dengan lancar.
Di dalam tulisan ini, disajikan pokok-pokok bahasan yang meliputi
deskripsi dan pembahasan laporan kasus pasien dengan “Epidural
Hematoma”.
Dengan selesainya tugas laporan kasus ini penulis menyampaikan
ucapan terimakasih yang kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan laporan kasus ini.
Sangat disadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini, masih
banyak kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar tulisan ini
bermanfaat bagi yang membutuhkan.

` Kepanjen, 21 Oktober 2019

Penulis
3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Later Belakang

Cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak dari keseluruhan


angka kematian yang diakibatkan trauma. Data pasien trauma kepala akibat
kecelakaan maupun akibat tindak kekerasan yang dibawa ke instalasi gawat
darurat dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Berdasarkan data, 2% dari
seluruh kasus cedera kepala adalah hematoma epidural (EDH), dan sekitar 5-15%
pada pasien dengan cedera kepala berat adalah EDH. Epidural Hematoma (EDH)
merupakan jenis yang paling banyak menjadi perhatian para klinisi dan peneliti
karena frekuensi kejadiannya yang tinggi (Astuti et al, 2016)

Pada umumnya EDH disebabkan oleh trauma kepala, meskipun pada beberapa
kasus disebabkan oleh keadaan lain seperti sickle cell disease. Kejadian EDH di
antara pasien trauma diperkirakan antara 2.7% hingga 4.1%. Bagaimanapun juga
kejadian koma di antara pasien trauma lebih tinggi, yaitu sekitar 9% sampai 15%
(Khaled et al, 2008)

Epidural hematom (EDH) merupakan kumpulan darah di antara duramater dan


calvaria akibat trauma. Epidural hematoma merupakan kasus yang paling
emergensi di divisi bedah saraf karena progresivitasnya yang cepat karena
durameter melekat erat pada sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim
otak menyebabkan mudah herniasi trans- dan infra-tentorial. Oleh karena itu
setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri kepala yang
berlangsung lama dan progresif memberat, harus segera dirawat dan diperiksa
dengan teliti (Markam, 2005).

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimanakah anatomi dari tulang tengkorak dan otak ?


1.2.2 Apakah definisi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, penatalakasanaan,
komplikasi dan prognosis dari epidural hematoma ?
4

1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk mengetahui dan memahami anatomi dari tulang tengkorak dan
otak.
1.3.2 Untuk mengetahui dan memahami definisi, etiologi, patofisiologi,
diagnosis, penatalakasanaan, komplikasi dan prognosis dari epidural
hematoma.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis


Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan penulis serta pembaca tentang penyakit epidural hematoma.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan landasan ilmiah
dalam penanganan pasien dengan epidural hematoma.
5

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. A
Usia : 22 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Alamat : Poncokusumo
Pendidikan terakhir : Mahasiswa
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal MRS : 05-10-2019
Tanggal Periksa : 08 Oktober 2019
No RM : 479***

2.2 Anamnesis

1. Keluhan Utama : Nyeri kepala


2. Kejadian yang berhubungan dengan keluhan utama : Pasien mengalami
kecelakaan lalu lintas tunggal.
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Tn.A datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen tanggal 5 oktober 2019
pukul 22.00 dengan keluhan nyeri pada kepala setelah mengalami
kecelakaan lalu lintas tunggal dengan menabrak tumpukan pasir pada jam
19.30. Pasien tidak menggunakan helm, dan menurut orang sekitar, pasien
jatuh dengan kepala membentur aspal terlebih dahulu dan pingsan sesaat
setelah kejadian. Keluhan nyeri kepala dirasakan di bagian kiri depan.
Selain itu pasien juga muntah 2 kali, mimisan, keluar darah dari telinga
dan memar pada kedua mata dan dagu, Saat dilakukan anamnesa dan
pemeriksaan pasien mengetahui tempat, waktu dan orang.
6

4. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat penyakit paru : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga :


- Hipertensi : disangkal
- DM : disangkal
- Asma : disangkal
- Stroke : disangkal
- Penyakit jantung : disangkal
- Penyakit paru : disangkal

6. Riwayat Kebiasaan

1.Makanan/Minuman : 3x sehari
2.Riwayat minum alkohol :-
3.Riwayat merokok :-
4.Olahraga : Jarang

7. Riwayat Alergi

1. Riwayat alergi obat : disangkal


2. Riwayat alergi makanan : disangkal
3. Riwayat alergi suhu : disangkal
4. Riwayat alergi debu : disangkal

8. Riwayat pengobatan :-
9. Riwayat ekonomi : Menengah
7

2.3 Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum : Lemah


2. Kesadaran : Komposmentis GCS E4V5M6
3. Tanda Vital
a. Tensi : 113/54mmHg
b. Nadi : 96x/menit, reguler
c. RR : 20x/menit, reguler
d. Suhu : 36.7 oC

4. Kulit
Warna kulit sawo matang, turgor kulit normal, ikterik (-), pucat (-), ptechie
(-)
5. Kepala
Bentuk normosephalic, luka (+), rambut tidak mudah dicabut, makula (-),
papula (-), nodul (-), edem (+)
6. Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), katarak
(-/-), edema palpebra (+/+), cowong (-/-), pupil isokor, diameter 3mm,
radang (-/-), lagoftalmus (-/-)
7. Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), rhinorea (+/+), deformitas (-/-)
8. Mulut
Sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), tremor (-), gusi berdarah (-)
9. Telinga
Sekret (-/-), pendengaran berkurang (-/-)
10. Tenggorokan hiperemi (-), tonsil membesar (-/-)
11. Leher
Trakea ditengah, pembesaran KGB (-)
12. Thoraks
Inspeksi umum :
Bentuk simetris, retraksi supraklavikula (-), retraksi interkostal (-),
pembesaran kelenjar limfe (-), jaringan parut (-), bekas luka (-), warna
kulit normal.
Cor : I : ictus cordis tak tampak
8

P : ictus cordis tak kuat angkat


P : batas kiri atas : ICS II linea para steralis sinistra
batas kanan atas : ICS II linea para strenalis dekstra
batas kiri bawah : ICS V linea medio clavicularis sinistra
batas kanan bawah : ICS IV linea para sternal dekstra
(batas jantung kesan tidak melebar)
A : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo :
I : Pengembangan dada kanan sama dengan kiri, benjolan (-), luka (-)
P : Fremitus taktil kanan sama dengan kiri, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
P : Sonor/sonor
A : suara dasar vesikuler di semua lapang paru suara tambahan
Rhonki Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -
- - - -
13. Abdomen
I : dinding perut tampak datar
A : bising usus normal
P : supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, pembesaran lien (-)
P : timpani seluruh lapang perut, shifting dullness (-), undulasi (-)
14. Sistem Collumna Vertebralis:
I : sulit dievaluasi
P : sulit dievaluasi
15. Ekstremitas:
Atas : Akral dingin (-/-), Edema (-/-), ulkus (-/-)
Bawah : Akral dingin (-/-), Edema (-/-), ulkus (-/-)
16. Sistem genetalia: tidak dilakukan

2.4 Pemeriksaan Neurologis


1. Kesan Umum
- Kesadaran : Compos mentis (GCS 456)
- Pembicaraan : disartria (-), monoton (-), scanning (-), afasia (-).
9

- Kepala : bentuk normal, simetris, sikap paksa (-).


- Wajah : mask face (-), myopati (-), fullmoon face (-).
2. Pemeriksaan Meningen: kaku kuduk (sde), brudzinski I (sde), kernig sign
(-), dan brudzinski II (-), laseque (-).
3. Pemeriksaan Saraf Kranialis
a. Nervus I : tidak dilakukan
b. Nervus II : tidak dilakukan
c. Nervus III,IV,VI : Pupil
Bentuk (bulat/bulat),
Perbedaan lebar (isokor/isokor)
Lebar (3mm/3mm) Celah mata
Ptosis (-/-)
Lagoftalmus (-/-)
d. Nervus V : Sensasi pada wajah : sde
Refleks kornea : tdl
Mengunyah : sde
e. Nervus VII : sde
f. Nervus VIII : tidak dilakukan
g. Nervus IX : tidak dilakukan
h. Nervus X : tidak dilakukan
i. Nervus XI : tidak dilakukan
j. Nervus XII : sde
4. Pemeriksaan Motorik
- Kekuatan motorik
5 5
5 5
- Lateralisasi : tidak ada

5. Pemeriksaan Sensorik : tidak dilakukan

6. Pemeriksaan Refleks
- R. Fisiologis : BPR +2/+2, TPR +2/+2 , APR +2/+2, KPR +2/+2
- R. Patologis : Babinski -/- Oppenheim -/- Chaddock -/- Hoffman-/-
Tromner -/-
10

2.5 Differensial Diagnosis


1. Epidural hematoma
2. Sub dural hematoma
3. Intra cerebral hematoma

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Jenis Hasil Normal Satuan
Pemeriksaan

Hemoglobin 12,3 13.4-17.7 g/dl

Lekosit 17.660 4.300-10.300 sel/cmm

Eritrosit 4,08 4.0 – 5.5 jt/mm3

Trombosit 308.000 142.000 – 424.000 sel/cmm

Hematokrit 36.3 40-47 %

GDS 185 <200 mg/dl

PT 15.5 9.4-11.3 Detik

aPTT 31.1 24.6-30.6 Detik

HbsAg Non Reaktif Non Reaktif

- Rontgen Thorax : Dalam batas normal.


- CT Scan Kepala
11

2.7 Resume
Tn.A datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen tanggal 5 oktober 2019
pukul 22.00 dengan keluhan nyeri pada kepala setelah mengalami kecelakaan lalu
lintas tunggal dengan menabrak tumpukan pasir pada jam 19.30. Pasien tidak
menggunakan helm, dan menurut orang sekitar, pasien jatuh dengan kepala
membentur aspal terlebih dahulu dan pingsan sesaat setelah kejadian. Keluhan
nyeri kepala dirasakan di bagian kiri depan. Selain itu pasien juga muntah 2 kali,
mimisan, keluar darah dari telinga dan memar pada kedua mata dan dagu, Saat
dilakukan anamnesa dan pemeriksaan pasien mengetahui tempat, waktu dan
orang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, GCS E4V5M6. Tensi
113/54 mmHg; Nadi 96x/menit, reguler; RR 20x/menit, reguler; Suhu 36,7oC.
Pada pemeriksaan fisik di kepala didapatkan terdapat abrasi di daerah orbitalis,
oralis, buccalis dan kontusio pada daerah orbitalis dan mentalis. Sedangkan, pada
pemeriksaan neurologis tidak didapakan kelainan. Pada pemeriksaan darah
lengkap didapatkan hasil leukositosis dan pada pemeriksaan CT scan didapatkan
gambaran hiperdens berbentuk cembung pada frontal sinistra.
12

2.8 Diagnosa Kerja


Epidural hematoma

2.9 Penatalaksanaan
Rencana terapi:
1. Terapi Operatif
 Craniotomy
2. Terapi Farmakologi
 IVFD NS 1500 cc/hari 20 tpm
 Cefotaxime 2 x 1g
 Ketolorac 2 x 30 mg
 Omeprazole 1 x 40 mg
3. Terapi Non-farmakologi
 Edukasi kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit dan
rencana pengobatan yang akan diberikan.
 Monitoring GCS ,vital sign, vacum drain dan keluhan pasien
 Elevasi kepala tidur (30 derajat)  mengurangi tekanan
intrakranial.

2.10 Prognosis
Dubia at bonam
13

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi

Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari linea nuchalis superior pada
os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit
kepala meluas lewat fascia temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri
dari lima lapis jaringan yang terdiri atas skin (kulit), connective tissue (jaringan
ikat), aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica), loose connective tissue
(jaringan ikat spons) dan pericranium. Lapisan tersebut biasa disebut dengan scalp
(Moore & Agur, 2002).

Otak depan atau prosencephalon (supratentoria) terdiri telencephalon (Dua


belahan otak dan struktur garis tengah yang menghubungkan) dan diencephalon.
Otak tengah atau mesencephalon terletak di antara otak depan dan otak belakang.
Melewati melalui cerebelli tentorium. Otak belakang atau rhombencephalon
(infratentorial) terdiri dari pons, medula oblongata dan otak kecil. Di bagian
pertengahan otak, pons dan medulla bersama-sama membuat batang otak. Panjang
medulla spinalis sekitar 45 cm diorang dewasa.Medulla spinalis meruncing pada
ujung bawah, konus medularis,berakhir pada level vertebra L3 , dan pada tingkat
intervertebralis L1-2diskus orang dewasa. Dengan demikian, pungsi lumbal harus
selalu dilakukan pada atau di bawah L3-4. Konus medullaris berakhir dengan
terminale filum benang, terutama terdiri dari glial dan jaringan ikat,yang, pada
14

gilirannya, berjalan melalui kantung lumbar di tengah-tengah dorsal dan ventral


akar tulang belakangsaraf, secara kolektif disebut cauda equina("Ekor kuda"), dan
kemudian menempel pada dorsal permukaan tulang ekor. Leher, toraks,lumbal,
dan sakral bagian dari medulla spinalis didefinisikan menurut divisi segmental
dari kolom tulang belakang dan saraf tulang belakang. Meningen adalah selaput
yang menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri atas tiga lapisan yaitu
duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras dan
tidak melekat pada selaput arakhnoid dibawahnya sehingga terdapat suatu ruang
potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan arakhnoid, dimana
sering terjadi perdarahan subdural. Selain itu juga terdapat ruang potensial
diantara duramater dan tulang kranium yang disebut ruang epidural atau
extradural. Lapisan kedua dari meningen di bawah duramter yang tipis dan
tembus pandang disebut arakhnoimater. Lapisan ketiga adalah piamater yang
melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi
dalam ruang subarakhnoid. Parenkim otak dibagi menjadi serebrum (otak besar),
serebelum (otak kecil) dan batang otak. Tentorium merupakan struktur yang
membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (fossa kranii anterior dan
fossa kranii media) dan ruang infratentorial (fossa kranii posterior) (Netter, 2012).

3.2 Definisi
Epidural hematoma adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang
umumnya terjadi karena fraktur calvaria akibat cedera kepala sehingga
menyebabkan pecahnya pembuluh darah dan darah terakumulasi dalam ruang
antara duramater dan calvaria (Liebeskind, 2011).
15

Sebagian besar EDH berlokasi di daerah temporoparietal (70-80%),


sedangkan 10% EDH berlokasi di frontal maupun oksipital. Biasanya disertai
dengan terjadi fraktur kranium (85-96%) pada daerah yang sama. Perdarahan
yang terjadi dikarenakan robeknya arteri meningea media atau cabang-cabangnya,
namun kadang dapat juga berasal dari vena. Volume EDH biasanya stabil, dan
mencapai volume maksimum hanya beberapa menit setelah trauma, tetapi pada
9% penderita ditemukan progresivitas perdarahan sampai 24 jam pertama. Pada
epidural hematom, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan duramater.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang Arteri
Meningea Media robek. Robekan ini sering terjadi bila terdapat fraktur tulang
tengkorak di daerah yang bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah
frontal atau oksipital (Valadka, 1999)

3.3 Etiologi

Penyebab dari EDH dapat berupa traumatik maupun non-traumatik. Pada


kebanyakan kasus yang berkaitan dengan mekanisme trauma, didapatkan dari
kecelakaan kendaraan bermotor, kekerasan fisik atau jatuh dari ketinggian.
Sedangkan pada mekanisme non traumatik disebabkan karena infeksi,
koagulopati, tumor perdarahan, dan malformasi vaskular (Tamburrelli, 2018)

3.4 Patofisiologi
Cedera disebabkan oleh laserasi arteri meningea media atau sinus dura,
dengan atau tanpa disertai fraktur tengkorak. Perdarahan dari EDH dapat
menyebabkan kompresi, pergeseran, dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan duramater.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang
arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang
tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal
atau oksipital. Arteri meningea media masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum melalui durameter dan tulang di permukaan dan os temporale.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan EDH, desakan oleh hematoma akan
melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar (McDonald, 2018).
16

Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada


lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim
medis. Tekanan dari herniasi pada sirkulasi arteria yang mengatur formation
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini
terdapat nuklei saraf cranial ketiga (oculomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan
respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
Babinsky positif. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak
akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang
besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intrakranial antara lain
gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan. Karena perdarahan ini berasal
dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama makin
besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar
dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan
nyeri kepala yang progresif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun.
Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi
kecelakaan disebut lucid interval. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera
primer yang ringan pada EDH. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya
hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak
terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah
mengalami fase sadar (McDonald, 2018).

Sumber perdarahan :

Arteri meningea media ( lucid interval : 2 – 3 jam ) 


Sinus duramatis 


Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi


a.diploica 
dan v.diploica.

17

3.4 Diagnosis

Diagnosis dari epidural hematoma ditegakkan berdasarkan gejala klinis,


pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.

3.4.1 Gejala Klinis

Pasien dengan EDH mengalami hilang kesadaran singkat setelah trauma kepala,
di ikuti interval lusid dan kemunduran neurologik. Gejala yang sangat menonjol
ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini
seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga
tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini
harus di observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang
bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul
bersaman pada saat terjadi cedera kepala (Mininger, 2008)

Gejala yang sering tampak :

- Penurunan kesadaran hingga koma 


- Bingung 


- Penglihatan kabur 


- Susah bicara 


- Nyeri kepala yang hebat 


- Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala. 


- Mual 


- Pusing 


- Berkeringat 


- Pucat 


- Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar. 



18

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese
atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah
tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala
respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi
rostrocaudal batang otak. Jika EDH disertai dengan cedera otak seperti memar
otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya
menjadi kabur (Mininger, 2008).

3.4.2 Pemeriksaan Fisik

- Periksa Kesadaran.

Tingkat kesadaran penderita dapat dinilai dengan cara yang biasa dipakai (sadar,
somnolent, sopor, coma) atau menggunakan (Setiyohadi, 2009) :

a) Evaluasi dengan menggunakan metode AVPU, yaitu :

A : Alert, sadar 


V : Vocal, adanya respon terhadap stimuli vokal 


P : Painful, adanya respon hanya pada rangsang nyeri 


U: Unresponsive, tidak ada respon sama sekali. 


b) Evaluasi dengan Skala Koma


Glasgow (GCS)
19

Interpretasi :


Nilai tertinggi : E + M + V = 13 - 15 (responsiveness)

Nilai sedang : E + M + V = 9 - 12)

Nilai terendah : E + M + V = 3-8 (coma)

c) Penilaian neurologis sangat penting terutama pada aktivitas motorik,


pembukaan mata, respon verbal, reaktivitas dan ukuran pupil, parese nervus
kranialis dan tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau hemiplegia
(Setiyohadi, 2009)

3.4.3 Pemeriksaan Penunjang

Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala


lebih mudah dikenali.

- Foto Polos Kepala

Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai EDH.
Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami
trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus
arteria meningea media (McDonald, 2018).

- Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi


cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single)
tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling
sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens),
berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur
pada area epidural hematoma. Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90
HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah(McDonald, 2018).
20

- Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser


posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak
dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan
batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah
satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan
diagnosis (McDonald, 2018).

- Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang penting dikerjakan diantaranya
1. Darah lengkap : penting untuk menilai kadar trombosit dan hematokrit
terkait perdarahan non traumatik juga menilai adanya penanda infeksi
untuk menyingkirkan diagnose banding
2. Faal hemostasis : penting untuk menilai ada tidaknya gangguan
koagulopati
3. Serum elektrolit, tes fungsi ginjal, tes fungsi hepar, kadar glukosa
darah juga perlu diperiksa untuk menemukan adanya komplikasi
metabolik perdarahan epidural intrakranial maupun spinal
4. Toksikologi dan kadar alkohol dalam darah juga perlu diperiksa
terkait penyebab trauma kepala
dan adanya sindroma putus obat
5. Golongan darah : penting untuk
21

persiapan transfusi dan tindakan operatif darurat (Liebeskind, 2016 ;


Shah, 2011 ; Abelsen, 2013).

3.4.4 Pemeriksaan penunjang lain perdarahan epidural


Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan diantaranya angiografi, lumbal
pungsi, electroencephalography (EEG) dan somatosensory evoked potential
(SSEP) pada perdarahan epidural spinal. Angiografi dapat dikerjakan bila ada
kecurigaan adanya malformasi vaskular. Lumbal pungsi tidak rutin dikerjakan
karena informasi yang didapatkan hanya sedikit. SSEP perlu dikerjakan pada
perdarahan epidural spinal untuk penilaian prognosis maupun selama
intraoperative (Liebeskind, 2016).

3.5 Penatalaksanaan

Pada keadaan gawat darurat,lakukan Langkah-langkah berikut, yaitu ABCDE


(airway and C-spine control, breathing, circulation and hemorrhage control,
disability, exposure/environment). Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran
jalan napas. Ini meliputi pemeriksaan adanya sumbatan jalan napas yang dapat
disebabkan benda asing, adanya fraktur mandibula atau kerusakan trakea/larings.
Harus diperhatikan pula secara cermat mengenai kelainan yang mungkin terdapat
pada vertebra servikalis dan apabila ditemukan kelainan, harus dicegah gerakan
yang berlebihan pada tempat ini dan diberikan alat bantu. Pada penderita yang
dapat berbicara, dapat dianggap jalan napas bersih, walaupun demikian penilaian
ulang terhadap airway harus tetap dilakukan (McDonald, 2018).

Telinga didekatkan ke mulut dan hidung penderita sambil menjaga jalan napas
tetap terbuka. Kemudian pada saat yang sama mengamati dada penderita dengan
cara look, listen, and feel (McDonald, 2018).

- Lihat (Look). Apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya menurun.


Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kekurangan oksigenasi
dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku dan kulit sekitar mulut. Lihat adanya
retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang apabila ada merupakan
bukti tambahan adanya gangguan airway.
22

- Dengar (listen). Adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang berbunyi (napas


tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara mendengkur (snoring),
berkumur (gurgling) dan bersiul (crowing sound, stridor) mungkin berhubungan
dengan sumbatan parsial pada faring atau laring. Penderita yang melawan dan
berkata-kata kasar (gaduh gelisah) mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh
dianggap karena keracunan/mabuk.

-Raba (feel). Lokasi trakea dan dengan cepat menentukan apakah trakea ada
ditengah serta merasakan adanya atau tidaknya hembusan nafas penderita.

Pemberian bantuan napas bisa dilakukan dengan cara :

1.Ventilasi Mouth to mouth

2. Ventilasi Mouth to nose

3. Ventilasi Mouth to mask

Beberapa penolong lebih menyukai menggunakan alat selama ventilasi dari


mulut ke mulut. Pemakaian alat pelindung harus dianjurkan kepada penolong
yang melakukan CPR yang berada di luar rumah. Dua kategori dari alat yang
tersedia: alat mulut ke sungkup dan penutup wajah (mouth-to-mask dan face
shields). Alat mulut ke sungkup umumnya memiliki katup satu arah sehingga
udara yang dihembuskan oleh penderita tidak masuk ke dalam mulut penolong.
Penutup wajah biasanya tidak memiliki katup ekspirasi dan penderita
mengeluarkan udara diantara penutup dan wajah penderita. Peralatan ini harus
memiliki tahanan yang rendah terhadap aliran gas sehingga tidak mengganggu
ventilasi (McDonald, 2018).

- Circulation


Bila tidak ditemukan nadi selama penilaian, maka dilakukan kompresi jantung
yang efektif, yaitu kompresi dengan kecepatan 100x/menit, dengan kedalaman 4-5
cm, memberikan kesempatan jantung mengembang (pengisisan ventrikel), waktu
kompresi dan relaksasi sama, minimalkan terputusnya kompresi dada, dan rasio
23

kompresi dan ventilasi 30:2 (McDonald, 2018).

- Pasien dengan EDH memerlukan evaluasi bedah saraf emergensi dan evakuasi
hematoma. Prioritas dalam menangani pasien cedera kepala terfokus pada
pembatasan komplikasi sekunder. Stabilisasi saluran nafas, pernafasan, sirkulasi,
dan vertebra cervicalis harus dilakukan segera. Setiap pasien dengan nilai skala
koma glasgow (GCS, Glasgow Coma Scale) 8 atau kurang, setiap pasien yang
tidak mampu melindungi saluran nafasnya, harus di intubasi dini dengan
menggunakan tehnik secuens cepat untuk membatasi fluktuasi TIK (McDonald,
2018).

a) Penanganan darurat :

- dekompresi dengan trepanase sederhana. 


- kraniotomi untuk mengevakuasi hematom. 


o
b) Terapi medikamentosa 
Elevasi kepala 30 dari tempat tidur setelah
memastikan tidak ada cedera 
spinal atau gunakan posisi trendelenburg
terbalik untuk mengurangi tekanan intrakranial (TIK) dan meningkatkan
drainase vena.

Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan


dexametason (dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap jam), manitol 2%
(dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri yang
terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam memilih mana yang terbaik.
Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan memberikan fenitoin
dengan sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus
epileptogenic dan untuk menggunakan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan
karbamazepin. Tri – hidroksimetil – amino – metana (THAM) merupakan suatu
buffer yang dapat masuk kedalam susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih
superior dari natrium bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan
intracranial (TIK). Barbiturat dapat digunakan untuk mengatasi tekanan
intracranial yang meninggi dan mempunyai efek protektif terhadap otak dari
24

anoksia dan iskemik. Dosis yang biasa diterapkan adalah diawali dengan 10
mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 3
jam serta drips 1 mg/kgBB/jam untuk mencapai kadar serum 3 – 4 mg%
(McDonald, 2018).

c) Terapi operatif
Operasi dilakukan apabila terdapat :

- Volume hematoma > 30 ml 


- Keadaan pasien memburuk 


- Pendorongan garis tengah > 3 mm 


Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan 
untuk
fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi
operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini disebabkann oleh lesi desak
ruang (McDonald, 2018).

Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume (McDonald,
2018). :

- > 25 cc = desak ruang supra tentorial 


- > 10 cc = desak ruang infratentorial 


- > 5 cc = desak ruang thalamus 


Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan
(McDonald, 2018). :

- Penurunan klinis 


- Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm



dengan penurunan klinis yang progresif. 


- Tebal EDH > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan



klinis yang progresif. 

25

3.6 Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada perdarahan epidural intrakranial


adalah defisit neurologis bahkan kematian, kejang post trauma karena kerusakan
kortikal (biasanya 1-3 bulan setelah trauma kepala), delayed effect termasuk
postconccusion syndrome seperti nyeri kepala, dizziness, vertigo, restlessness,
emosi yang labil dan kertidakmampuan untuk berkonsentrasi dan kelelahan.
Sedangkan komplikasi pada perdarahan epidural di spinal umumnya adalah
spastisitas, nyeri neuropatik dan komplikasi pada sistem berkemih (Liebeskind,
2016).

3.7 Prognosis

Prognosis pasien dengan perdarahan epidural tergantung pada usia,


kesadaran awal masuk (GCS), perberatan klinis, perberatan yang tertunda antara
saat trauma dan intervensi bedah. Pada perdarahan epidural di spinal prognosis
tergantung pada keterlibatan medulla spinalis (Liebeskind, 2016).
26

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Telah diperiksa seorang laki-laki berumur 22 tahun yang datang ke IGD


RSUD Kanjuruhan Kepanjen tanggal 5 oktober 2019 pukul 22.00 WIB. Dari hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa
diagnosis dari pada Tn.A adalah epidural hematoma.
Dalam penatalaksanaan kasus ini diberikan terapi operatif yaitu craniotomy
dan terapi Farmakologi dengan IVFD NS 1500 cc/hari 20 tpm, Cefotaxime 2 x 1g,
Ketolorac 2 x 30 mg, dan Omeprazole 1 x 40 mg. Terapi non-farmakologi edukasi
kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit dan rencana pengobatan yang
akan diberikan, monitoring GCS ,vital sign, vacum drain dan keluhan pasien.
27

DAFTAR PUSTAKA
Abelsen Nadine, Mitchell, Neurotrauma: Managing Patients with Head Injuries,
A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, Wichester USA:2013.

Astuti E, Saanin S, Edison. 2016. Hubungan Glasgow Coma Scale Dengan


Glasgow Outcome Scale Berdasarkan Lama Waktu Tunggu Operasi Pada Pasien
Perdarahan Epidural. Majalah Kedokteran Andalas ; 39: (2). 50-57.

Cherie Mininger. Epidural Hematoma. Dalam: Michael I. Greennberg, MD, MPH.


Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan. Jilid 1. Edisi: 1. Jakarta: Erlangga; 2008. h.
51. 

Khaled CN, Raihan MZ, Ashadullah ATM. Surgical Management of Traumatic
Extradural Haematoma: Experiences with 610 Patients and Prospective Analysis.
Indian journal of neurotrauma 2008;2:75-79. 


Liebeskind DS, Lutsterp HL, Hogan EL. Epidural 
Hematoma.


http://emedicine.medscape.com/article/1137 065-overview#a0199. 2010. Diakses
pada tanggal 18 Desember 2011 


Liebeskind David, Lutsep Helmi, Epidural Hematom in Emergency Medicine


www. emedicine.medscape.com/article/824029-overview : 2016

Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono,


Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, p.314 


McDonald, D. 2018. Imaging in Epidural Hematoma.


https://emedicine.medscape.com/article/340527-overview

Moore KL., Agur AMR. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta

Netter, F. H., Craig, J. A., Perkins, J., Hansen, J. T., & Koeppen, B. M. (n.d.).
Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology Special Edition:Arteries to Brains
and Meningens, NJ : 2012

Setiyohadi Bambang, Imam Subekti. Pemeriksaan Fisis Umum dalam: Aru


W.Sudoyo,dkk, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta:
InternaPublishing; 2009. h.30 

28

Shah, M. V, Commentary Conservative Management of Epidural Hematoma: Is It


Safe and Is It Cost-Effective?, page 115–116, Indianapolis: 2011

Tamburrelli FC, Meluzio MC, Masci G, Perna A, Burrofato A, Proietti L.


Etiopathogenesis of Traumatic Spinal Epidural Hematoma. Neurospine. 2018
Mar;15(1):101-107. [PMC free article] [PubMed]

Valadka Ab, Narayan RK. Injury to the Cranium. In: Feliciani DV, Moore EE,
Mattox KL. Editors. Trauma 3rd ed. Connecticut: Appleton and Lange; 1999. P
267-70, 273-5. 


Anda mungkin juga menyukai