Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

TN. R 63 TAHUN DENGAN DM TIPE 2, HIPERGLIKEMIA DAN


SINDROM KORONER AKUT

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Stase Komprehensif


Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Mayong

Diajukan Kepada :

dr. Ali Rohmad

Disusun Oleh:

Indah Aprilia Dwi Mahanani H2A013016P

STASE KOMPREHENSIF RS PKU MUHAMMADIYAH MAYONG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

1
PERIODE 7 JANUARI - 2 FEBRUARI 2019

LEMBAR PENGESAHAN STASE KOMPREHENSIF


Laporan Kasus

TN. R 63 TAHUN DENGAN DM TIPE 2, HIPERGLIKEMIA DAN


SINDROM KORONER AKUT

Disusun untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Stase Komprehensif

RS PKU Muhammadiyah Mayong

Disusun Oleh:

Indah Aprilia Dwi Mahanani


H2A013016P

Telah disetujui oleh Pembimbing:


Tanggal : ...........................................

Pembimbing Klinik

Stase Komprehensif

dr. Ali Rohmad

2
BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : Tn.R
b. Umur : 63 tahun
c. Jenis kelamin : Laki-laki
d. Agama : Islam
e. Suku : Jawa
f. Alamat : Pule, Mayong Jepara
g. Pekerjaan : Petani
h. Status : Menikah
i. No RM : 0917XX
j. Tanggal masuk : 13 Januari 2019
k. Biaya pengobatan : BPJS PBI

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis tgl 14 Januari 2019
jam 09.00 WIB di IGD RS PKU Muhammadiyah Mayong
a. Keluhan utama : lemes
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS PKU Muhammadiyah Mayong dengan
keluhan badan terasa lemas. Lemas dirasakan seluruh tubuh sejak 4 hari
yang lalu. Lemas dirasakan terus menerus dan semakin memberat.
Tidak terdapat faktor yang memperberat dan memperingan keluhan
pasien. Pasien tidak mau makan sejak 4 hari yang lalu namun masih
mau minum. Keluhan disertai dengan keringat dingin, sering haus(-),
sering lapar(-),sering BAK(-), kulit gatal (-), pandangan kabur (-),nyeri
dada (-), nyeri ulu hati (-), nyeri kepala(-), sesak napas (-), mual (-),
muntah (-), nyeri pigastrium (-), kejang (-), BAK dan BAB tidak ada

3
keluhan. Selama observasi di IGD pasien mengalami penurunan
kesadaran. Pasien masih memberikan respon dengan rangsang suara
kemudian diperiksa gula darah sewaktu dengan hasil 397 mg/dL dan
pemeriksaan elektrokardiogram didapatkan kesan STEMI inferior.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat DM : Diakui oleh keluarga pasien.
Pasien menderita DM sejak 4 tahun yang lalu dengan pengobatan
rutin (glibencamid) dan kontrol setiap bulan ke Puskesmas
- Riwayat Hipertensi : Disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
- Riwayat Asma : Disangkal
- Riwayat penggunaan obat-obatan dan jamu : Disangkal
- Riwayat Alergi Obat dan Makanan : Disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat Hipertensi : Disangkal
- Riwayat DM : Disangkal
- Riwayat Asma : Disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang petani, kurang lebih sejak 1 bulan
pasien hanya beraktivitas di rumah karena tidak dapat bekerja seperti
sebelumnya. Biaya pengobatan menggunakan BPJS PBI. Kesan
ekonomi kurang.
f. Riwayat Pribadi
Pasien memiliki riwayat merokok sejak usia kurang lebih 20 tahun
yang lalu. Pasien dapat menghabiskan 1 bungkus rokok kterek dalam
sehari namun sejak 1 tahun ini pasien berhenti merokok. Pasien tidak
mengonsumsi minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang. Pasien
makan 3x sehari dengan mengurangi konsumsi nasi dan terkadang
masih mengonsumsi teh manis.
4
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 14 Januari 2019 Jam 09.15 WIB
di IGD RS PKU Muhammadiyah Mayong
 Keadaan Umum : tampak gaduh gelisah
 Kesadaran (GCS) : E3M5V5
 Vital Sign
- TD : 153/120 mmHg
- Nadi : 44 x/menit, isi dan tegangan cukup
- RR : 32 x/menit
- Suhu : 36,0º C
 Status Generalis
a. Kepala
Bentuk oval, simetris, warna rambut hitam, tanda trauma (-).
b. Mata
Eksophtalmus (-/-), edema palpebra (-/-), sklera ikterik (-/-),
konjunctiva palpebra anemis (-/-), pupil isokor, reflek cahaya (+/+).
c. Hidung
Bagian luar hidung tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang
dalam perabaan baik, mukosa hiperemis (-/-), epistaksis (-/-), nafas
cuping hidung (-/-).
d. Telinga
Kedua meatus acusticus eksternus normal, sekret (-/-), serumen (+/+).
e. Mulut
Bibir sianosis (-), bibir kering (-).
f. Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),
otot bantu nafas (-), JVP sulit dinilai

5
g. Thorax
Paru
Dextra Sinistra
Paru Depan
Inspeksi Hemithorax simetris
Retraksi (-)
Palpasi Stem fremitus kanan = kiri Stem fremitus kanan = kiri
Pelebaran SIC (-) Pelebaran SIC (-)
Arcus costa normal Arcus costa normal
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi Suara dasar paru vesikuler (+), Suara dasar paru vesikuler (+),
wheezing (-), ronkhi (-) wheezing (-), ronkhi (-)
Paru Belakang ( sulit dinilai)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba ICS V linea mid clavicula sinistra dan
kuat angkat. Pulsus parasternal (-). Sternal lift (-). Pulsus epigastrium
(-). Thrill (-)
Perkusi :
 Batas kanan jantung : ICS V linea midclavicula dextra
 Batas atas jantung : ICS II parasternalis sinistra
 Pinggang jantung : ICS III linea parasternal sinistra
 Batas kiri bawah jantung : ICS V linea media clavicularis
sinistra
Kesan: batas jantung normal
Auskultasi: Bunyi jantung I & II murni, bising jantung (-), gallop (-),
pericardial friction rub (-).
h. Abdomen
Inspeksi : cembung, warna kulit sama dengan sekitar
Auskultasi: Bising usus (+) N, bruit hepar (-), metalic sound (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen (+), pekak sisi (+) N
Palpasi : Supel, hepatomegali (-) dan splenomegali (-), ginjal tidak
teraba

6
i. Extremitas
Extremitas Superior Extremitas Inferior
Oedem -/- -/-
Capillary refill < 2’’ < 2’’
Akral dingin -/- -/-
Tremor -/- -/-

j. Reflek patologis
Refleks babinski (-)
Refleks chaddok (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium Hematologi (14 Januari 2019)

Jenis Hasil Satuan Nilai Normal


Darah Rutin
Leukosit 9.100 /uL 4500-11000

Eritrosit 4.24 106/uL 3.8 – 5.2


Hemoglobin L 13,6 g/dL 14.0 – 16.0

Hematokrit L 36,2 % 40 – 48
MCV 85,4 fL 82-95
MCH 31,2 Pg 27-31
MCHC 37,6 g/dL 32 – 37
Trombosit 222 103/uL 150 – 450
Diff Count
Eosinofil - % 1–3
Basofil - % 0–1
Segmen H 81 % 50 – 70
Limfosit 13 % 20 – 40
Monosit 6 % 2 – 10
Kimia Klinik

Glukosa Darah H 397 mg/dL 70-150


Sewaktu

7
Ureum H 106,1 mg/dL 10-50

Kreatinin H 27 mg/dL 0.6-1.3


CKMB H 33 U/L <2

2. Elektrokardiografi

Hasil : Sinus bradikardia (32 bpm)


ST elevasi di lead II, III, avF
ST depresi di lead I, avL, V5,V6
Kesan: STEMI inferior

V. RESUME
Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien lemas sejak 4 hari yang
lalu disertai keringat dingin kemudian pasien mengalami penurunan
kesadaran. Pasien memilki riwayat DM sejak 4 tahun yang lalu yang
terkontrol dengan konsumsi obat glibenkamid dan riwayat merokok
selama kurang lebih 40 tahun dengan jumlah 1 bungkus rokok kretek
dalam sehari.

8
Pada pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum tampak gaduh
gelisah dengan tanda-tanda vital antara lain tekanan darah 153/120 mmHg
(hipertensi), nadi 44x/menit (bradikardi), laju napas 32x/menit (takipneu)
dan suhu 36⁰C (hipotermi).
Dari pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan hemoglobin
13,6 g/dL (anemia), hematokrit 36,2 %,GDS 397 mg/dL (hiperglikemia),
ureum 106,1 mg/dL (meningkat)., kreatinin 27 mg/dL (meningkat). dan
CKMB 33 (meningkat). Pemeriksaan EKG Sinus bradikardia (32 bpm),
ST elevasi di lead II, III, avF dan ST depresi di lead I, avL, V5,V6 dan
kesan STEMI inferior.

VI. DIAGNOSIS
DM tipe 2 dengan hiperglikemi DD KAD, HONK
Sindrom Koroner Akut DD STEMI, NSTEMI, UAP

VII. PENATALAKSANAAN AWAL


a. Ip Tx
 O2 nasal kanul 3 liter per menut
 Infus NaCl 20 tpm
 Injeksi insulin sub cutan 20 unit
 Isosorbit Dinitrat (ISDN) 3 x 5 mg
 Clopidogrel 1x 300 mg (loading) selanjutnya 1 x 75 mg
 Aspilet 160 mg (loading) selanjutnya 1 x 80 mg
 Morfin 3 x 1 tab
 Injeksi intravena Heparin bolus 3000 unit
 Injeksi iv sulfas atropin 3 x 0,5 mg
 Rujuk ICU

9
 Usulan : pemeriksaan Troponin T dan I, pemeriksaan EKG ulang
setelah 1 jam pemberian obat dan pemeriksaan GDS ulang setelah
4 jam pemberian insulin
b. Ip Mx
 Monitoring KU, TTV, GDS, EKG
 Monitoring pemberian terapi medikamentosa
c. Ip Ex
 Menjelaskan penyakit yang diderita pasien kepada keluarga
 Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan dan perlu rujukan ke
Rumah Sakit yang memiliki ruang perawatan intensif (ICU)
 Menjelaskan pengobatan dan komplikasi

VIII. PROGNOSIS

Quo ad Vitam : dubia ad bonam


Quo ad Sanam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus
1. Definisi dan Etiologi
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.1
2. Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM
tipe-2. Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini
dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver
dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya
otot, liver dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam
patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan
yang disebutnya sebagai the ominous octet.1
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan
hal (omnious octet) berikut:1,2
a. Kegagalan sel beta pancreas
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah
sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini
adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.

11
b. Liver
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan
basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat
yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
gluconeogenesis.
c. Otot
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin
yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin
sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan
sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja
di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
d. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak
bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan
merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity.
Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
e. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like
polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten
terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa

12
menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah
kelompok DPP-4 inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan
karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-glukosidase yang memecah
polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus
dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang
bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah
akarbosa.
f. Sel Alpha Pancreas:
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam
plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang
normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat
reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin.
g. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 g glukosa
sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa yang terfiltrasi ini akan
diserap kembali melalui SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter)
pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan
di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,
sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2 ini akan menghambat
penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan
dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2
inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satunya.

13
h. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu
yang obes baik yang DM maupun non DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
mengacu akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.
Obat yang bekerja di jalur ini adalah GLP-1 agonis, amylin, dan
bromokriptin.
3. Diagnosis
Kriteria diagnosis diabetes melitus :1,2
a. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam. ATAU
b. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan
klasik. ATAU
c. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban 75 gram. ATAU
d. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode High-
Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Tabel 1. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan
prediabetes.1
Glukosa Plasma 2
Gula Darah Puasa
Diagnosis HbA1c (%) jam setelah TTGO
(mg/dL)
(mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200
Prediabetes 5,7 – 6,4 100 – 125 140 – 199
Normal < 5,7 < 100 < 140

14
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis diabetes melitus.1
Bukan DM Belum Pasti DM DM
Kadar glukosa Plasma vena < 100 100 – 199 ≥ 200
darah sewaktu Darah kapiler < 90 90 – 99 ≥ 200
(mg/dL)
Kadar glukosa Plasma vena <100 100 – 125 ≥ 126
darah puasa Darah kapiler <90 90 – 99 ≥ 100
(mg/dL)

4. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Pengelolaan pasien secara komprehensif.
a. Langkah-Langkah Penatalaksanaan Umum4
Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama,
yang meliputi :
1) Riwayat Penyakit
2) Pemeriksaan Fisik
3) Evaluasi Laboratorium
a) Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan 2 jam TTGO.
b) Pemeriksaan HbA1c.
4) Penapisan Komplikasi
5) Langkah-Langkah Penatalaksanaan Khusus1
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat
(terapi nutrisi medis dan aktifitas fisik) bersamaan dengan intervensi
farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau
disuntikkan. Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai obat
tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan
dekompensasi metabolik berat, misalnya : ketoasidosis, stress berat,
berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus
segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda, dan gejala
hipoglikemia, dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.

15
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tersebut dapat dilakukan
setelah mendapat pelatihan khusus.
1) Edukasi
Terapi Nutrisi Medis (TNM)
a) Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari: Karbohidrat
sebesar 45 – 65% total asupan energy, lemak dianjurkan sekitar
20 - 25% kebutuhan kalori, dan tidak diperkenankan melebihi
30% total asupan energy, Protein sebesar 10 – 20% total
asupan energi.
b) Natrium
c) Serat
d) Pemanis Alternatif
2) Jasmani
secara teratur sebanyak 3-5 kali per minggu selama sekitar
30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan
tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar
glukosa darah <100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi
karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk
menunda latihan jasmani. Latihan jasmani yang dianjurkan seperti:
jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang. yang disertai
komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan
dengan masing-masing individu.4
3) Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan
makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis
terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.4
a) Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral
dibagi menjadi 5 golongan:
16
- Pemacu sekresi insulin : Sulfonilurea dan Glinid
- Peningkat sensitivitas terhadap insulin : Metformin dan
Tiazolindindion
- Penghambat absorpsi glukosa di saluran pencernaan :
Penghambat glukosidase Alfa
- Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
- Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Tabel 2. Profil obat anti hiperglikemia oral yang tersedia di

Indonesia
b) Obat Anti Hiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis
GLP-1 dan kombinasi insulin dan agonis GLP-1.
- Insulin
 Insulin diperlukan pada keadaan:
o HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi
metabolik
17
o Penurunan berat badan yang cepat
o Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
o Krisis Hiperglikemia
o Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
o Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark
miokard akut, stroke)
o Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional
yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
o Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
o Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
o Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Gambar 2. Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2 di Indonesia4


5. Kriteria Pengendalian DM4
Kriteria pengendalian diasarkan pada hasil pemeriksaan kadar
glukosa, kadar HbA1C, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik
adalah apabila kadar glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1c mencapai

18
kadar yang diharapkan, serta status gizi maupun tekanan darah sesuai
target yang ditentukan.

Tabel 4. Sasaran Pengendalian DM2

6. Penyulit Diabetes Melitus


a. Penyulit Akut1
1) Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut
diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah
yang tinggi (300-600 mg/dl), disertai tanda dan gejala asidosis dan
plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320
mOs/ml) dan terjadi peningkatan anion gap.
Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) adalah suatu
keadaan dimana terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi
(600-1200 mg/dl), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas
plasma sangat meningkat (330-380 mOs/ml), plasma keton (+/-),
aniongap normal atau sedikit meningkat.

19
Catatan: Kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut
mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, sehingga
memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan
penatalaksanaan yang memadai.
2) Hipoglikemia1
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa
darah < 70 mg/dl. Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi
glukosa serum dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem
otonom, seperti adanya whipple’s triad:
a) Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
b) Kadar glukosa darah yang rendah
c) Gejala berkurang dengan pengobatan.
3) Penyulit Menahun1
a) Makroangiopati
- Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
- Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering
terjadi pada penyandang DM. Gejala tipikal yang biasa
muncul pertama kali adalah nyeri pada saat beraktivitas dan
berkurang saat istirahat (claudicatio intermittent), namun
sering juga tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik pada kaki
merupakan kelainan yang dapat ditemukan pada penderita.
- Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke
hemoragik.
b) Mikroangiopati
- Retinopati diabetik
- Nefropati Diabetik
- Neuropati

20
B. Sindrom Koroner Akut
1. Pengertian

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah


kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah
sakit dan angka kematian yang tinggi.3
Sindrom koroner akut merupakan sekumpulan gejala yang
diakhibatkan oleh gangguan aliran darah pembuluh darah koroner secara
akut. Umumnya disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah koroner
akibat plak aterosklerosis yang lalu mengalami perobekan dan hal ini
memicu terjadinya gumpalan-gumpalan darah (thrombosis).4
2. Klasifikasi

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom
Koroner Akut dibagi menjadi.3,4,5
a. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment
elevation myocardial infarction)
b. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST
segment elevation myocardial infarction)
c. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI)


merupakan indicator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner.
Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan
aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa
menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner
perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan
angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua
sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak
memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.4

21
3. Patofisiologi

Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma


pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan
dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang
menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi
trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya
trombosit (white tromhbus). Trombus ini akan menyumbat liang
pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi
mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal.
Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan
vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium.
Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit
menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).5

Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh


darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang
dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot
jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan
kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning
(setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan
bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak
mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami
SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria
epikardial (Angina Prinzmetal).5

Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus,


dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi
Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam,
anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.2,5
22
d. Manifestasi klinik
Terbentuknya trombus akibat proses patofisiologi SKA
menyebabkan darah sulit mengalir ke otot jantung dan daerah yang
diperdarahi menjadi terancam mati. Gejala yang khas dari SKA adalah
rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada
(angina). Lokasi nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan
berlangsung selama lebih dari 20 menit. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke
rahang bawah, leher, bahu atau lengan serta ke punggung. Nyeri dapat
timbul pada waktu istirahat, nyeri ini dapat pula timbul pada penderita
yang sebelumnya belum pernah mengalami hal ini atau penderita yang
pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola serangannya menjadi
lebih berat atau lebih sering. Selain gejala gejala yang khas tersebut, bisa
juga terjadi penderita hanya mengeluh seolah pencernaannya yang
terganggu atau hanya berupa nyeri yang terasa di ulu hati. Keluhan diatas
dapat disertai dengan sesak, muntah atau keringat dingin. SKA dapat
bermanifestasi sebagai angina tidak stabil atau serangan jantung dan
dapat berakhibat kematian.5

23
e. Tatalaksana5
Berdasarkan kualitas nyeri dada, anamnesa dan pemeriksaan fisik
terarah serta gambaran EKG, pasien dikelompokan menjadi salah satu
dari: STEMI, NSTEMI dan kemungkinan bukan SKA.
1) Penanganan Awal
Penanganan awal dimulai dengan pemberian beberapa terapi
medikamentosa yang telah terbukti dapat memperbaiki prognosis
jangka panjang seperti pemberian antiplatelet jangka panjang untuk
menurunkan risiko thrombosis arteri koroner berulang, penyekat beta
dan statin.
1. Oksigen dianjurkan bila saturasi O₂ perifer < 90%.
2. Pemberian aspirin sebagai antiplatelet dengan dosis 160-320 mg
3. Nitrogliserin, isosorbid dinitrat diberikan secara sublingual
4. Morphine diberikan untuk mengatasi nyeri dada dan ansietas.
5. Clopidogral dapat diberikan dengan dosis loading 300 mg
dilanjutkan dengan 75 mg per hari
2) Revaskularisasi Koroner
Pada pasien dengan risiko tinggi menjalani kematian dan kejadian
kardivaskular, pemeriksaan angiografi koroner dengan tujuan untuk
revaskularisasi (strategi invasif) telah terbukti mengatasi simptom,
memperpendek hari perawatan dan memperbaiki prognosis.
3) Intervensi Koroner Perkutan (PCI)
Intervensi koroner perkutan (PCI) umumnya menggunakan
stent/cincin untuk mengurangi kejadian oklusi tiba-tiba (abrupt closure)
dan penyempitan kembali.
4) Intervensi Bedah: Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
Proses trombosis merupakan target terapi antiplatelet dan
antikoagulan, sehingga bila pasien menjalani CABG risiko perdarahan

24
dan komplikasi perioperatif lebih tinggi. Secara umum bila
memungkinkan, CABG dilakukan setelah minimal 48-72 jam.

25
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien lemas dan keringat dingin


kemudian pasien mengalami penurunan kesadaran. Pasien memilki riwayat DM
yang terkontrol dengan konsumsi obat glibenkamid dan riwayat merokok selama
kurang lebih 40 tahun dengan jumlah 1 bungkus rokok kretek dalam sehari. Pada
pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum tampak gaduh gelisah dengan
tanda-tanda vital antara lain tekanan darah 153/120 mmHg (hipertensi), nadi
44x/menit (bradikardi), laju napas 32x/menit (takipneu) dan suhu 36⁰C
(hipotermi). Dari pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan GDS 397
mg/dL (hiperglikemia), ureum 106,1 mg/dL (meningkat), kreatinin 27 mg/dL
(meningkat). dan CKMB 33 (meningkat). Pemeriksaan EKG Sinus bradikardia
(32 bpm), ST elevasi di lead II, III, avF dan ST depresi di lead I, avL, V5,V6 dan
kesan STEMI inferior.
Diagnosis DM tipe 2 dengan hiperglikemia ditegakkan berdasarkan gejala
yang didapatkan dari anamnesis yaitu lemas, keringat dingin, memiliki riwayat
DM yang terkontrol dengan pengobatan OHO dengan hasil pemeriksaan GDS 397
mg/dL (hiperglikemia).
Sedangkan diagnosis ditegakkan Sindrom Koroner Akut berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis pasien
tidak mengeluh nyeri dada, hanya mengeluh lemas dengan faktor risiko berupa
merokok dan menderita DM. Pada kasus dicurigai terjadi SKA atipikal atau
equivalen karena tidak terdapat gejala yang khas pada SKA yaitu nyeri dada. Pada
DM dapat terjadi peningkatan free fatty acid (FFA) atau asam lemak bebas. Kadar
Glukosa darah yang tinggi dan FFA akan meningkatkan glukoneogenesis di hepar
dan resistensi insulin di perifer. Hiperglikemia akut yang terjadi akan
memperlambat aliran darah dan meningkatkan produksi oksigen radikal bebas
(stres oksidatif) yang akan menurunkan aliran darah koroner.

26
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bradikardi. Bradikardi pada kasus dapat
disebabkan karena terjadi infark inferior berdasarkan hasil EKG. Infark pada
daerah inferior dapat melibatkan dinding posterior sehingga dapat mengganggu
pompa ventrikel kanan dan mengakibatkan bradikardi. Pada pemeriksaan EKG
didapatkan kesan STEMI inferior dan pemeriksaan enzim jantung berupa CKMB
meningkat. CKMB merupakan pemeriksaan marka jantung yang meningkat saat
terjadi iskemia atau infark miokardium. Terdapat pemeriksaan marka jantung lain
yang memiliki spesifitas dan sensitifitas lebih tinggi daripada CKMB yaitu
Troponin. Pada kasus tidak terdapat hasil pemeriksaan troponin.
Pasien diberikan suplementasi oksigen dengan nasal kanul 3 liter per menit
bertujuan untuk meningkatkan suplai oksigen ke sel-sel yang membutuhkan
karena hipoksia. Namun pada PERKI tahun 2018 suplementasi oksigen
diindikasikan pada pasien dengan saturasi oksigen < 90%. Pemberian insulin pada
kasus 20 unit bertujuan untuk mengatasi hiperglikemia. ISDN berfungsi sebagai
vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat memperbaiki aliran darah koroner.
Morfin diberikan untuk mengatasi nyeri dan ansietas pada pasien. Aspirin dan
Clopidrogel merupakan antiplatelet yang berfungsi mencegah agregasi trombosit.
Pemberian sulfas atropin berfungsi untuk mengatasi bradikardia dengan cara
menghambat aktivitas parasimpatik. Pemberian heparin berfungsi sebagai
antikoagulan.

Daftar pustaka

27
1. Rudjianto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A, Sanusi H, Lindarto D,
dkk. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia 2015. Jakarta : PB Perkeni. 2015.

2. WHO.Diabetes. (http://www.who.int/topics/diabetes_mellitus/en/).

3. Irmalita (2002). Infark miokard. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo SK,
Roebiono PS (eds). Buku ajar kardiolodi. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 173-181.

4. PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. 2018.

28

Anda mungkin juga menyukai