Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

ACUTE PULMONARY EDEMA DAN CARDIORENAL


SYNDROME TYPE 2

DISUSUN OLEH:
Aprindo Donatus, S. Ked

PEMBIMBING:
dr. Sherly Yosephina F., Sp. JP
dr. Vita Karima Fadhilah

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KARDIOVASKULAR DAN BANTUAN JANTUNG LANJUT
RUMKIT TK. II 03.05.01 DUSTIRA CIMAHI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
CIMAHI
2019
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah Disetujui Laporan Kasus dengan Judul:


Acute Pulmonary Edema dan Cardiorenal Syndrome

Disusun sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kardiovaskular dan Bantuan Jantung Lanjut

Cimahi, November 2019


Pembimbing Disusun Oleh

dr. Sherly Yosephina F., Sp. JP Aprindo Donatus


I4061152018
BAB I
PENYAJIAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Tn. S
2. Usia : 63 tahun
3. Pekerjaan : Pensiunan Polri
4. Agama : Islam
5. Alamat : Batujajar, Bandung Barat
6. Status Pernikahan : Menikah
7. Tanggal Masuk RS : 1 November 2019
8. Tanggal periksa : 6 November 2019

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Sesak dirasakan terus-menerus, baik saat beraktivitas
maupun saat beristirahat. Sesak sudah sering dirasakan oleh pasien dan
bersifat kekambuhan. Pasien juga mengaku bahwa tidak mampu untuk naik
turun tangga dan berjalan terlalu jauh, tidur malam menggunakan 2-3
bantal, serta sering terbangun malam hari dari tidur dikarenakan sesak.
Pasien juga mengaku mengalami bengkak di wajah dan kedua kaki dan
tangan, terutama saat bangun tidur dan beraktifitas. Bengkak dirasakan
mulai timbul sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit dan semakin
memberat. Keluhan nyeri dada yang menjalar dan seperti tertimpa benda
berat disangkal. Keluarga pasien menyangkal selama seminggu ini pasien
pernah mengalami demam, serta makan dan minum pasien tidak ada
masalah. Pasien mengonsumsi obat-obatan rutin, namun kondisi pasien
tidak membaik sehingga pasien datang ke poliklinik jantung (Jumat,
01/11/2019) untuk berobat dan mengontrol penyakit pasien.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat kencing manis sejak 2005. Pasien dan
keluarga mengaku rutin mengonsumsi obat gula darah. Tahun 2013 pasien
didiagnosis mengalami penyakit pembengkakan jantung dan sejak itu
berhenti merokok. Pasien juga mengaku mengalami stroke sejak 3 bulan
yang lalu, serta pernah mengalami serangan jantung.

4. Riwayat Pengobatan
Pasien rutin kontrol dan mengonsumsi obat untuk penyakit yang
dideritanya. Obat-obatan yang sering dikonsumsi oleh pasien adalah
Furosemide, Nitrokaf, ISDN, Ramipril, Akarbose, dan Glikuidon.

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu pasien memiliki riwayat darah tinggi. Ibu pasien meninggal
karena serangan jantung di usia ± 60 tahun. Sedangkan ayah pasien sudah
meninggal dan tidak diketahui riwayat penyakit yang pernah dialami.

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan pensiunan polri. Pasien sudah tidak bekerja,
keseharian pasien hanya beraktivitas dirumah. Pasien mengaku mengalami
keterbatasan dalam beraktivitas (misalnya naik turun tangga, berjalan terlalu
jauh, dan bekerja mengangkat terlalu berat) karena penyakit yang
dideritanya. Biaya pengobatan pasien menggunakan BPJS.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 6 November 2019 (Pukul 09.15 WIB)
1. Tanda-tanda Vital
 Kesadaran: Compos Mentis (E4M6V5)
 Keadaaan Umum: Tampak Sakit Berat
 Tekanan Darah: 160/80 mmHg
 Frekuensi Nadi: 80 x/m
 Frekuensi Napas: 29 x/m
 Saturasi Oksigen: 98 %, via NRM 12 lpm O2
 Suhu: 36,6°C
 Berat Badan: 69 kg

2. Pemeriksaan Generalis
a) Kepala : normocephal
b) Mata : konjungtiva anemis (+), Sklera Ikterik (-
), pupil isokor 3 mm / 3 mm refleks
cahaya langsung (+/+), refleks cahaya
tidak langsung (+/+).
c) Leher : JVP meningkat, perbesaran KGB (-)
d) Thorak
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris statis
dan dinamis, ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Fremitus taktil simetris, thrill (-)
Perkusi : sonor di kedua lapang paru, redup di
basal paru kanan kiri (posterior), batas
jantung kanan ICS IV linea
midklavivula, batas jantung kiri di ICS
V linea anterior aksilaris, batas jantung
kanan atas di ICS 2 linea parasternal
dextra, dan batas jantung kiri atas di ICS
2 linea parasternalis sinistra
Auskultrasi : suara napas dasar bronkovesikuler,
ronkhi (+) di basal kedua lapang paru,
bunyi jantung S1 S2 reguler, murmur(-),
gallop (-)
e) Abdomen:
Inspeksi : Datar, massa (-), jejas (-), massa (-)
Auskultrasi : Bising Usus (+) 6x per menit
Palpasi : Nyeri (-), massa (-) hepar dan lien tidak
teraba, shifting dullness (-)
Perkusi : Timpani di semua lapang perut
f) Ekstremitas : CRT < 2”, akral hangat, pitting edema di
kedua ekstermitas atas dan bawah

3. Pemeriksaan Neurologis
a) Nervus Kranialis
 N. II dalam batas normal
 N. III, IV, VI: Normal
 N.VII
o Mengerutkan dahi: simetris
o Menutup kelopak mata: simetris
o Gerakan tersenyum: sudut bibir kiri lebih rendah
o Menyeringai: sudut bibir kiri lebih rendah
o Mencucu: sulit dilakukan
 N.XII: Kesan lidah deviasi ke kiri
b) Pemeriksaan Motorik
 Ekstermitas Atas : 5555 / 4444
 Ekstremitas Bawah : 5555/ 4444
c) Pemeriksaan Sensorik: tidak dievaluasi
d) Refleks Fisiologis:
 Biceps :+2 / +2
 Triceps : +2 / +2
 Patella : +2 / +2
 Achiles : +2 / +2
e) Refleks patologis
 Babinski :-/-
 Chaddock :-/-
 Gordon :-/-
 Openheim :-/-
f) Pemeriksaan Meningeal Sign
 Kaku kuduk :-
 Burdzinski :-
 Laseq :-/-
 Kernig :-/-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Darah
a) Hematologi Rutin (01/11/19 – 07/11/19)
- RBC : 3.5 - 3.4 (4.0 - 5.5 x 106 /uL)
- HGB : 9.4 - 9.2 (13.0 - 18.0 g/dL)
- HCT : 28.8 - 27.7 (38.0 – 51.0%)
- WBC : 6.4 - 7.9 (4.0 -10.0 x 103 /uL)
- PLT : 329 – 280 (150 – 450 x 103 /uL)
- MCV : 82.3 - 81.7 (75.0 – 100.0 fL)
- MCH : 26.9 - 27.1 (25.0 – 32.0 Pq)
b) Fungsi Ginjal (01/11/19 – 03/11/19 – 04/11/19 – 07/11/19)
- Ureum : 65 – 95 – 102 – 104 (10-50 mg/dL)
- Kreatinin : 3.6 – 4.6 – 4.4 – 3.9 (0.9 – 1.3 mg/dL)
- Creatinin Clearance (04/11/19): 28

eGFR: 16.04 – 20.49 mL/min/1.73m2 (CKD St. IV) / Konsul TS Sp. PD


c) Kimia Darah (01/11/19 – 04/11/19)
- Elektrolit
Natrium : 139 – 139 (136-145 mmol/L)
Kalium : 4.8 – 4.3 (3.6-5.2 mmol/L)
Clorida : 114 – 112 (98-106 mmol/L)
- GDS (01/11/19 – 02/19/19 – 10/11/19): 113 – 180 – 113 mg/dL
- GDP (05/11/19): 123 mg/dL

2. Urinalisa
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Makroskopis
Warna Kuning Keruh Kuning Jernih
Berat Jenis 1.025 1.005-1.030
pH 6.0 5.0-8.0
Kimiawi
Protein 2+ Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen 0.2 <2.0 mg/dL
Keton Urin Negatif Negatif
Darah Samar 3+ Negatif
Nitrit Positif Negatif
Sedimen Urin
Leukosit 7-8 0-5
Eritrosit Banyak 0-3
Epitel 3-5 0-5
Silinder Granular (+) -
Kristal -
Lain-lain Bakteri (+) -
3. Analisis Gas Darah
Diperiksa tanggal 05/10/2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
pH 7.366 7.350-7.450
pCO2 28.3 mmHg 35.0-45.0
pO2 128.0 mmHg 83.0-108.0
HCO3 16.5 mmol/L 22.0-26.0
SO2 99.0 % 95.0-99.0
BE (Base Excess) -7.10 mmol/L (-) 2.00 – 3.00
TCO2 17.4 mmol/L 23.0 -27.0
Temperatur 36.0 Celcius
Pengambilan Sampel 11.00 WIB
Terima Sampel 11.15 WIB
Tipe Sampel ARTERI
Kesimpulan: Asidosis Metabolik Terkompensasi Sempurna

4. EKG
a) 01 November 2019

Interpretasi:
- Irama : Sinus rhytm ECG
- HR : 94 x/m, reguler
- Aksis : LAD
- PR Interval : 0.20”
- Kompleks QRS : 0.04”-0.08”
- QT interval : 0.24”-0.28”
- Abnormality :
Kesimpulan: Sinus rhytm ECG with LAD, OMI di Anterolateral, dan
RVH
b) 05 November 2019

Interpretasi:
- Irama : Sinus rhytm ECG
- HR : 79 x/m, reguler
- Aksis : LAD
- PR Interval : 0.20”
- Kompleks QRS : 0.04”
- QT interval : 0.28”
- Abnormality : q-wave di lead V3-V6, S persistent

Kesimpulan: Sinus rhytm ECG with LAD, OMI di Anterolateral, dan


RVH

c) 13 November 2019
Interpretasi:
- Irama : Sinus Ryhtm
- HR : 83 x/m reguler
- Aksis : LAD
- PR Interval : 0.20”
- Kompleks QRS : 0.08”
- QT interval : 0.28”
- Abnormality : q-wave di lead V3-V6, S-Persistent
Kesimpulan: Sinus rhytm ECG with LAD, OMI di Anterolateral, dan
RVH

5. Foto Thoraks
a) Thorax AP tanggal 01/11/19
Kesimpulan:
- Suspect kardiomegali curiga dengan edema paru /dd
bronkopneumonia / Konsul TS Sp. Paru

b) Thorax AP tanggal 05/11/19

Kesimpulan:
- Kardiomegali dengan edema paru dan suspect efusi pleura bilateral
/dd penebalan pleura
6. USG Urologi

Kesimpulan:
- Gambaran proses kronik (CKD) ginjal bilateral disertai kista ginjal
dextra
- Pembesaran prostat
- VU dalam batas normal saat ini

E. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : Acute Pulmonary Edema & Cardiorenal Syndrome Type 2
Etiologis : Asidosis Metabolik
Anatomis : Kardiomegali dan diffuse parenkimal renal disease

F. TATALAKSANA
1. Rawat Inap
a) Cardiology
- O2 via NRM 10-12 tpm
- Inf. NTG 30 ug/menit (titrasi sesuai klinis, 20-70 ug)
- Inj. Lasix 20 mg/jam (titrasi sesuai klinis: sesak dan UO)
- PO. Spironolakton 1 x 25 tab
- PO. Adalat Oros 1 x 30 mg tab
- PO. Aptor 1 x 100 mg tab
- PO. Avesco 1 x 20 mg tab
- Observasi Urin Output (target > 1cc/kgBB/jam)
b) Interna Medicine
- PO. Asam Folat 3 x 1 caps
- PO. Nocid 3 x 1 tab
- PO. Calcido 3 x 1 tab
c) Pulmonology
- Inf. Moxifloxacine 1 x 400 mg
2. Rawat Jalan
- PO. Furosemide 3 x 40 mg tab
- PO. (initial) Concor 1 x 0.625 mg tab
- PO. Adalat Oros 1 x 30 mg tab
- PO. Aptor 1 x 100 mg tab
- PO. Avesco 1 x 20 mg tab

G. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad malam
Ad Functionam : ad malam
Ad Sanactionam : ad malam
BAB II
PEMBAHASAN

A. RESUME MEDIS
Laki-laki 63 tahun datang dengan keluhan dispnea sejak 1 hari SMRS.
Dispnea disertai edema di wajah dan ekstremitas sejak 6 hari SMRS. Pasien
juga mengeluhkan orthopnea, dan paroxysmal nocturnal dispnea, dan.
Diketahui pasien memiliki riwayat merokok, mengalami diabetes melitus,
gagal jantung, dan stroke. Pasien mengonsumsi obat-obatan seperti Nitrokaf,
ISDN, Ramipril, Akarbose, dan Glikuidon dengan rutin. Ibu pasien meninggal
di usia 60 tahun akibat serangan jantung.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien mengalami
hipertensi, takipnea, konjungtiva anemis, terdapat peningkatan JVP, kesan
kardiomegali, suara napas bronkovesikuler, ronkhi di basal kedua lapang paru,
dan pitting edema. Pemeriksaan neurologis terhadap pasien di dapatkan kesan
parese hemiparese sinistra, parese N.VII perifer sinistra, dan pasere N.XII
sinistra.
Pasien kemudian menjalani beberapa pemeriksaan penunjang dan
didapatkan hasil anemia normokrom normositer, nilai GFR 16.04 – 20.49
mL/min/1.73m2, hiperglikemia, urinalisa menunjukkan proses infeksi, asidosis
metabolik terkompensasi sempurna, gambaran EKG memberikan kesan OMI
anterolateral dan RVH, foto thoraks menunjukan adanya kardiomegali dan
edema paru, serta proses kronik ginjal bilateral.

B. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Acute Pulmonary Edema
Gagal jantung merupakan sindrom klinis yang diakibatkan oleh
abnormalitas struktur dan/atau fungsi jantung yang mengakibatkan
penurunan cardiac output dan/atau peningkatan tekanan intrakardiak saat
istirahat maupun beraktivitas. Oleh karena gagal jantung merupakan
sindroma klinis, maka terdapat kumpulan tanda dan gejala sebagai akibat
terjadinya perubahan fungsi dan/atau kelainan anatomi jantung. Adapun
tanda dan gejala tersebut adalah seperti gambar berikut ini. 1

Gambar 2.1 Tanda dan Gejala Gagal Jantung


Pasien sebelumnya datang diketahui memiliki riwayat gagal jantung
sejak tahun 2013 dan datang dengan keluhan sesak napas (breathlessness),
edema tungkai, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea. Keluhan
tersebut sesuai dengan gejala tipikal gagal jantung. Pada pemeriksaan fisik
diperoleh adanya peningkatan JVP yang juga merupakan tanda tipikal gagal
jantung. Pasien tampak sesak berat dan membutuhkan bantuan oksigen (via
NRM 12 lpm O2), serta diperoleh suara ronkhi pada pemeriksaan fisik paru.
Temuan tersebut menandakan adanya perburukan dari gejala dan tanda
gagal jantung yang bersifat mengancam nyawa. Kondisi demikian dikenal
sebagai gagal jantung akut.1
Gagal jantung akut mengalami pergesaran makna dan dapat
mepresentasikan beberapa kondisi. Gagal jantung akut atau lebih dikenal
sebagai acute heart failure syndrome (AHFS) memiliki 6 presentasi klinis
yang mengalami generalisasi seperti gambar 2.2 berikut ini. 2

Gambar 2.2 Presentasi Klinis Acute Heart Failure Syndromes


The EuroHeart Failure Survey II (EHFS II) mengelompokan Kondisi
AHFS menjadi 6 presentasi klinis, yaitu:3
a) Decompensated chronic heart failure, ditandai dengan perburukan
tanda dan gejala dekongesti.
b) Acute pulmonary edema, ditandai dengan distress napas yang berat,
hipoksemia, dan gambaran kongesti paru-paru pada foto thoraks.
c) Hypertensive heart disease, sebagai akibat CHF itu sendiri atau
menyebabkan CHF itu sendiri.
d) Cardiogenic shock, ditandai dengan tekanan darah yang rendah dan
mengakibatkan hipoperfusi organ.
e) Isolated right-sided heart failure, ditandai dengan kongesti sistemik
yang ditandai dengan edema perifer dan peningkatan JVP, namun tidak
ditemukan tanda kongesti paru pada pemeriksaan foto thoraks.
f) ACS and HF, ditandai dengan keluhan angina tipikat dan morfologi
EKG yang menunjukkan suatu proses iskemik/infark atau peningkatan
nilai troponin.
Jelas pada pasien ini menggambarkan distress napas yang berat,
yaitu keluhan sesak yang semakin memberat dan saturasi oksigen yang
buruk. Hal ini juga ditandai oleh ditemukannya gambaran edema pulmonal
pada pemeriksaan foto thoraks.

2. Cardiorenal Syndrome Type 2


Cardiorenal syndrome merupakan gangguan pada jantung dan ginjal
baik yang bersifat akut ataupun kronik yang memengaruhi satu sama lain.
Karena terdapat hubungan keterkaitan antara keduanya, maka Cardiorenal
syndrome dibedakan menjadi 5 tipe berdasarkan hubungan sebab akibat,
seperti berikut ini.4

Gambar 2.3 Klasifikasi Cardiorenal syndrome5

Cardiorenal syndrome type 2 merupakan gangguan kronik jantung


(CHF) yang menyebabkan kerusakan kronik pada ginjal (CKD). Chronic
kidney disease didefinisikan sebagai suatu kerusakan pada struktur atau
fungsi ginjal yang berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa disertai
penurunan glomerular filtration rate (GFR). CKD didiagnosis berdasarkan
peningkatan dari rasio albumin-creatinin urinary excretion, penurunan nilai
GFR, atau gejala klinis CKD lainnya.7 Pasien ini didiagnosa CKD stage IV
berdasarkan temuan klinis, yaitu konjungtiva anemis, anemia normokrom
normositer, dan penurunan nilai GFR (16.04 – 20.49 mL/min/1.73m2).
Selain itu, pada hasil pemeriksaan urinalisa pasien juga ditemukan protein
2+. Hasil ini dapat dijadikan dasar bahwa setidaknya sudah terjadi
kebocoran protein, meskipun tidak diketahu nilai albumin-creatinin urine
excretion ratio. Hasil USG menunjukkan terjadinya proses kronik pada
ginjal bilateral. Proses CKD pada pasien dipengaruhi oleh HF yang sudah
dialami pasien sejak 2013, mekanisme terjadinya akan dijelaskan lebih
lanjut dibagian selanjutnya.

3. Patofisiologi
Acute Pulmonary Edema (APE)
Patofisiologi terjadinya AHFS merupakan suatu proses yang
kompleks dan melibatkan banyak faktor. Adapun proses tersebut terlihat
pada gambar berikut ini.3
Gambar 2.4 Patofisiologi AHFS
Gejala kongesti pada gagal ginjal jantung merupakan manifestasi
dari peningkatan tekanan intrakardiak akibat kegagalan ventrikel kanan
memompakan darah sehingga menurunkan cardiac ouput dan
meningkatkan tekanan atrium kiri dan vena pulmonal. Peningkatan tenakan
atrium kiri dan vena pulmonal akan mengakibatkan peningkatan preload
yang mengakibatkan terjadinya edema pulmonal. Manifestasi dari edema
pulmonal adalah hipoksia, yang nantinya akan merangsang aktivasi
neurohormonal dan proses inflamasi. Kedua proses ini meningkatkan
vasokontriksi dan kebocoran alveolar-capillary yang memperparah gejala
edema pulmonal itu sendiri.3,7
Gambar 2.5 patofisologi APE

Seperti telah dijelaskan bahwa APE merupakan bagian dari AHFS


yang merupakan perburukan dan gejala dan tanda kongesti pada pasien
gagal jantung, serta ditemukan gambaran edema pulmonal pada
pemeriksaan foto thoraks. Terjadiya AHFS tidak lepas dari adanya faktor
pencetus yang mengakibatkan perburukan gejala kongesti pada pasien gagal
jantung. Berdasarkan ESC: Acute and Chronic Heart Failure Guidelines
2016, faktor pencetus tersebut meliputi CHAMP (acute Coronary
syndrome, Hypertension emergency, acute Mechanical cause, Pulmonary
embolism).1 Sedangkan dalam buku Braunwald’s Heart Disease, faktor
pencetus AHFS salah satunya adalah gagal ginjal. 3 Komplikasi gagal ginjal
akan mengakibatkan beberapa hal berikut ini (gambar 2.6), dan overload
cairan sebagai hasil akhir yang memperberat kongesti pada pasien gagal
jantung.6
Gambar 2.6 Komplikasi CKD6

Cardiorenal Syndrome Type 2


Mekanisme CKD pada CHF dapat dijelaskan seperti ditunjukkan
oleh bagan berikut ini.

Gambar 2.7 Patofisiologi CRS type 28

Pada orang dengan gagal jantung kronik, akan terjadi proses


hipoperfusi jaringan yang jelek. Hipoperfusi ini terjadi dikarenakan
kegagalan ventrikel kanan dalam memompa darah ke seluruh tubuh,
termasuk ke organ ginjal. Hal tersebut akan mengaktifkan sistem
neurohormonal di ginjal sebagai upaya kompensasi hipoperfusi yang terjadi.
Aliran darah yang tidak adekuat di pembuluh darah ginjal akan
mengaktifkan aksis RAAS. Sistem RAAS ini merespon dengan menahan
natrium di tubulus proksimal agar terjadi retensi cairan di pembuluh ginjal.
Namun, proses ini mengakibatkan oliguria, peningkatan preload pada pasien
CHF, dan meningkatkan beban kerja ventrikel kanan. Sehingga gejala
kongesti akan semakin buruk.5,8 Selain itu, pasien juga memiliki riwayat
DM, hipertensi, dan merokok. Ketiga faktor resiko ini dikenal sebagai faktor
terbentuknya atherosclerosis yang akan meningkatkan proses
perkembangan CKD.8

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tujuan dilakukannya pemeriksaan penunjang selain sebagai diagnostik,
juga sebagai landasan mencari faktor pencetus dan menentukan terapi yang
tepat.
Acute Pulmonary Edema
ESC: Acute and Chronic Heart Failure Guidelines 2016,
merekomendasikan bahwa setiap pasien yang datang dengan keluhan dispnea
akut dan kecurigaan mengarah kepada Acute Heart Failure, hendak dilakukan
pemeriksaan penunjang sebagai berikut.1

Gambar 2.8 Rekomendasi Pemeriksaan Diagnostik pada Pasien AHF

1. Kadar Natriuretic Peptide Plasma


Kadar NP plasma diperiksa pada semua pasien dengan keluhan
dispnea akut dan kecurigaan AHF dengan tujuan untuk membedakan AHF
yang disebabkan oleh kelainan jantung dan bukan berasal dari jantung.
Pemeriksaan NPs memiliki sensitivitas yang sangat tinggi, sehingga apabila
hasil menunjukkan kadar normal, maka sudah dapat dipastikan penyebab
AHF bukan berasal dari jantung.1

2. EKG
EKG penting untuk menilai kejadian ACS pada AHF. Hal ini
berimplementasi pada tatalaksana AHF. 1

3. Foto Thoraks
Selain untuk menentukan presentasi AHF berupa edema pulmonal,
foto thoraks juga bertujuan untuk menilai ada atau tidaknya penyakit paru
yang menyertai, misalnya COPD, Infeksi, Asma, dan neoplasma.1

4. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dimaksud adalah: kadar troponin,
fungsi ginjal (BUN, creatinine, atau urea), Elektrolit (Sodium, Potassium),
Fungsi Hati, Fungsi Tiroid, dan Glukosa darah. Tujuan utama dari semua
pemeriksaan ini adalah mendukung menentukan penyebab AHF, tingkat
keparahan penyakit,1

5. Echocardiography
Direkomendasikan untuk dilakukan segera pada pasien dengan AHF
dengan hemodinamik tidak stabil dan <48 jam untuk menilai fungsi dan
struktur jantung.

Cardiorenal Syndrome Type 2


The American Diabetes Association, 2019 merekomendasikan bahwa
monitoring laboratorium berikut ini penting untuk dilakukan, dengan tujuan
menilai proses terapi dan status fungsi ginjal.
Gambar 2.9 Laboratorium Monitoring pada Pasien CKD

D. PENDEKATAN ASESMEN
1. Acute Pulmonary Edema
Pasien dengan presentasi AHFS telah dijelaskan memiliki 6
presentasi klinis. Bagan berikut ini digunakan untuk membantu
mengelompokkan AHFS tersebut berdasarkan temuan klinis dan Acute
Pulmonary Edema dikelompokkan ke dalam spectrum klinis warm-wet.1

Gambar 2.10 Presentasi Klinis AHF

Warm-dry memiliki arti bahwa perfusi oksigen ke perifer masih


adekuat, namun tanda dan gejala kongesti menonjol akibat peningkatan
preload. Retensi cairan ini kemudian menyebabkan orthopnea, paroxysmal
nocturnal dyspnea, edema pulmonal, peningkatan JVP, dan edema perifer,
sehingga pasien menjadi sesak dan penurunan saturasi oksigen yang
signifikan. Kegawatdaruratan pada pasien berupa ancaman gagal napas
harus diperhatikan dikarenakan cairan mengganggu perfusi oksigen.1

ESC: Acute and Chronic Heart Failure Guidelines 2016,


merekomendasikan alur pendekatan pasien dengan AHF. Algoritma ini
dibuat dengan tujuan pengelompokkan pasien berdasarkan
kegawatdaruratan dan terapi yang akan diberikan. Berikut algoritma
pendekatan pasien dengan AHF.1

Gambar 2.11 Algoritma Pendekatan Pasien dengan AHF


Pasien ini dikelompokkan ke dalam kelompok warm-dry dengan
manifestasi acute pulmonary edema. Pada pemeriksaan ditemukan
akumulasi cairan yang memperburuk gejala kongesti, sehingga tatalaksana
yang diberikan adalah kelompok cardiac-type, yaitu pemberian diuretik,
vasodilator, dan ultrafiltrasi jika diperlukan. Rekomendasi berikut juga
penting, mengingat tanda dan gejala kongesti yang menonjol dari pasien.
Sehingga dalam asesmen pasien diperlukan monitoring saturasi oksigen
(pemasangan alat saturasi dan pemantauan berkala), dan terapi oksigen
(diberikan O2 12 lpm via NRM). Pemeriksaan AGD juga dilakukan, dan
sampel berasal dari darah arteri dengan tujuan menyingkirkan kemungkinan
syok kardiogenik.1

Gambar 2.12 Rekomendasi Terapi Oksigen dan Penggunaan Ventilator


pada AHF

Pasien juga dirawat di ICCU, dengan indikasi sesuai dengan ESC:


Acute and Chronic Heart Failure Guidelines 2016, sebagai berikut:1
a) Pasien dengan dispnea yang persisten dan signifikan atau hemodinamik
tidak stabil harus dipindahkan ke bagian yang tersedia fasilitas
resusitasi jika diperlukan.
b) Untuk semua pasien resiko tinggi (misalnya pasien dengan dispnea
yang persisten dan hemodinamik tidak stabil, aritmia rekuren, AHF dan
ACS).
c) Mencakup salah satu dari kriteria ICU/ICCU berikut ini:
- Membutuhkan intubasi
- Tanda dan gejala hipoperfusi
- Saturasi oksigen < 90%
- Menggunakan otot bantu napas saat bernapas atau RR > 25 x/m
- HR < 40 x/m atau > 130 x/m, atau SBP <90 mmHg.

2. Cardiorenal Syndrome Type 2


CRS ditegakkan dengan pendekatan klinis melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini diketahui
sudah mengalami gagal jantung sejak 2013 dan sejak itu rutin mengonsumsi
obat-obatan. Tidak diketahui riwayat CKD sebelumnya dan CKD
ditegakkan setelah pasien masuk rumah sakit saat ini. Oleh karena itu,
disimpulkan bahwa pasien ini dikelompokkan ke dalam CRS tipe 2 dengan
mekanisme patofisiologi yang terlah dijelaskan dia atas. Dasar asesmen
CRS adalah managemen retensi cairan dan kongesti yang timbul. Berikut
algoritma strategi managemen stastus kongesti pasien CRS.5

Gambar 2.13 Strategi Managemen Pasien CRS


3. Asidosis Metabolik
Hasil analisis gas darah pasien menunjukkan bahwa terjadinya
asidosis metabolik yang terkompensasi sempurna. Asidosis metabolik pada
pasien ini diakibatkan oleh gagal ginjal yang diderita oleh pasien. Berikut
pendekatan pada pasien asidosis metabolik. 9

Gambar 2.14 Pendekatan Pasien dengan Asidosis Metabolik

Observasi pasien selama perawatan menunjukkan bahwa meskipun


pemberian loop diuretik yang adekuat berhasil tercapai nilai diuresis yang
ditargetkan, namun pasien masih mengelukan sesak. Hal dapat diakibatkan
kompensasi respiratori berupa hiperkapnea terharap asidosis metabolik
yang terjadi, dengan tujuan membuang kelebihan asam.

E. TATALAKSANA FARMAKOLOGI
1. Diuretik
Diuretik merupakan landasan utama dalam tatalaksana pasien
dengan acute pulmonary edema yang menunjukkan gejala kongesti dan
overload cairan. Penggunaan diuretik dalam tatalaksana Acute Heart
Failure sesuai rekomendasi dari ESC: Acute and Chronic Heart Failure
Guidelines 2016 adalah sebagai berikut.
Gambar 2.15 Rekomendasi Penggunaan Diuretik pada Pasien AHF

Golongan loop diuretik, yaitu furosemide merupakan first-line pada


AHF. Dosis penggunaan furosemide dianjurkan dosis terkecil yang
memberikan efek dekongesti yang adekuat, disesuaikan dengan dosis oral
diuretic sebelumnya dan fungsi ginjal pasien. Studi DOSE menyatakan
bahwa bioavaibilitas furosemide oral lebih rendah sehingga penggunaan
furosemide intravena harus 2.5 kali dosis oral. 1 Sumber berbeda
berpendapat bahwa dosis inisiasi furosemide pada acute pulmonary edema
adalah 40-80 mg. Pemberian dapat diberikan secara bolus lambat yang
diulangi selama 20 menit, atau diberikan secara intravena berkala. Cara
pemberian ini tidak memengaruhi efektivitas obat. Berikut rekomendasi
dosis furosemide yang di berikan pada pasien acute heart failure.10

Gambar 2.16 Rekomendasi Dosis Furosemide pada Pasien APE

Pada pasien selain mengalami acute pulmonary edema, juga


mengalami CRS type 2 dengan CKD St. IV, sehingga penggunaan
Furosemide harus menjadi perhatian. Berikut merupakan dosis pemberisan
furosemide pada pasien dengan ganguan ginjal berdasarkan nilai creatinine
clearance.11

Gambar 2.17 Rekomendasi Penggunaan Loop Diuretik Pada Pasien CRS

Pada pasien ini diketahui nilai creatinine clearance adalah 28


mL/min, sehingga pada penggunaan intravena, maka dianjurkan
pemberiannya adalah loading dose 40 mg, dilanjutkan 10 mg / jam, jika
tidak adekuat, maka dapat ditingkatkan hingga 20 mg / jam. 11 Tatalaksana
yang diberikan pada pasien ini sesuai dengan guideline yaitu inf. Lasix 20
mg/jam, dan menunjukkan hasil diuresis yang baik. Tujuan dari peningkatan
dosis ini adalah untuk menghindari terjadinya resistensi diuretik.

2. Vasodilator/Nitrat
ESC: Acute and Chronic Heart Failure Guidelines 2016,
menyatakan bahwa dalam hal menangani kongesti pada pasien AHF, maka
diberika intravena diuretik diikuti dengan pemberian nitrat sebagai
vasodilator apabilan tensi memungkinkan. Rekomendasi tersebut dapat
dilihat pada gambar 2.18 berikut ini.1
Gambar 2.18 Rekomendasi Pemberian Vasodilator pada AHF

Vasodilator merupakan terapi selanjutnya yang sering digunakan


untuk menghilangkan gejala. Penggunaan vasodilator ini memiliki dua
keuntungan yaitu mengoptimalkan preload dan mengurangi afterload.
Vasodilator tidak boleh diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik
< 90 mmHg, serta harus diperhatikan penggunaannya pada pasien dengan
gangguan stenosis mitral atau aorta. Berikut merupakan rekomendasi dosis
vasodilator dari ESC: Acute and Chronic Heart Failure Guidelines 2016.1

Gambar 2.19 Dosis Pemberian Vasodilator pada AHF

Studi lain melaporkan bahwa, perbandingan penggunaan nitrat


dengan nitrat + furosemide, furosemide + morfin, dan furosemide, tidak
terdapat perbedaan yang signifikan pada resiko kebutuhan ventilasi
mekanik.11 Pada pasien ini diberikan Inf. NTG 20 ug/min, maka sesuai
dengan rekomendasi.

3. ACEI/ARB
Pasien ini masuk ke ruangan ICCU dengan asesmen acute
pulmonary edema dan CRS type 2. Sesuai dengan rekomendasi dari ESC:
Acute and Chronic Heart Failure Guidelines 2016, maka ACEI dan ARB
tidak direkomendasikan, dikarenakan kondisi gagal ginjal pada pasien.
Gambar 2.20 Terapi yang Tidak Direkomendasikan Pada Pasien Gagal
Jantung yang Disertai Penyakit Lainnya

Pemberian ACEI/ARB tidak direkomendasikan pada kondisi


hiperkalemia (K+ > 5 mmol/L) dan penurunan fungsi ginjal yang signifikaan
(eGFR < 30 mL/min/1.73m2 atau nilai creatini >2.5 mg/dL).1

4. Betablocker
ESC: Acute and Chronic Heart Failure Guidelines 2016,
menyatakan bahwa pemberian betablocker dapat munurunkan angka
morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung. Pemberian betablocker pada
pasien gagal jantung stabil diberikan pada dosis rendah, dan dipertahankan
pada dosis optimal sesuai pasien. Pada kondisi akut, betablocker harus
diberikan segera setelah tanda dan gejala kongesti mengalami perbaikan
yang adekuat.1
Gambar 2.21 Rekomendasi Terapi Pada Gagal Jantung dengan Reduced
Ejection Fraction

5. CCB
CCB nondihidroferidin tidak diindikasikan untuk terapi pasien
dengan HFrEF. Diltiazem dan verapamil tidak aman digunakan pada pasien
dengan HFrEF. CCB dihidroferidin yang memiliki evidence aman
digunakan pada pasien dengan HFrEF adalah amlodipine dan felodipin.
Oleh karena itu, dapat digunakan pada pasien gagal jantung apabila terdapat
indikasi yang mendesak.1

6. Anti Hiperglikemia
Berdasarkan American Diabetes Association, 2019 strategi
tatalaksana diabetes melitus dapat dilihat pada bagan berikut ini.
Gambar 2.22 Algoritma Managemen DM

Metformin kontraindikasi diberikan pada pasien CKD dengan eGFR


< 30 mL/min/1.73m2. Hal ini dikaitkan dengan insidensi terjadinya asidosis
laktat. Obat golongan tiazolidindion tidak boleh diberikan pada pasien AHF
dengan CKD karena menyebabkan retensi garam dan cairan yang akan
memperburuk gejala kongesti pasien.6
American Diabetes Association, 2019 merekomendasikan beberapa
pilihan terapi antihiperglikemia yang dapat diberikan pada pasien gagal
jantung dengan CKD, yaitu:6
a) SGLT2i (Sodium-Glucose Cotransporter 2 Inhibitors), misalnya
canagliflozin dan empaglifozin.
b) DPP-4i (Dipeptidylpeptidase-4 Inhibitor), misalnya gliptin.
c) GLP-1 (Glukagon Like Peptide-1), misalnya Ecenatide, Liraglutide,
dan Semaglutide.
d) Basal Insulin
e) SU, sebaiknya golongan terbaru misalnya glipuzid dan glipurid.

ESC: Acute and Chronic Heart Failure Guidelines 2016,


menyatakan bahwa empagliflozin mengurangi resiko hospitalisasi dan
angka mortalitas pada pasien HF, namun tidak mengurangi resiko stroke dan
pasien resiko CVD.1 American Diabetes Association menyatakan bahwa
efikasi canagliflozin lebih tinggi karena dapat diberikan pada pasien CKD
dengan eGFR ≥ 30 mL/min/1.73 m2 bila dibandingkan dengan
Empagliflozin diberikan jika nilai eGFR ≥ 45 mL/min/1.73 m2.6
Golongan DDP4i dan GLP-1 tidak mengurangi dan bahkan dapat
meningkatkan resiko CVD dan memperburuk gagal jantung. Data mengenai
keamanan kedua golongan ini terbatas. Insulin dan SU diyakini dapat
memperburuk gejala gagal jantung dan diperlukan pemantauan selama
penggunaan.1
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang pasien laki-laki 63 tahun didiagnosis dengan Acute Pulmonary
Edema dan Cardiorenal Syndrome Type 2. Prinsip utama tatalaksana pasien
adalah mengurangi kongesti pasien untuk memperbaiki gejala pada pasien
dengan memperhatikan keamanan obat pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. ESC. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure. European Heart Journal (2016) 37, 2129–2200.
2. ESC. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2008. European Heart Journal, Volume 29, Issue 19, October 2008,
Pages 2388–2442.
3. Bonow, RO, dkk. Braunwald's Heart Disease, Ninth Edition, Volume 1.
Philadelphia: Elsevier, 2012.
4. Ronco, C, dkk. Cardiorenal Syndrome. Journal of the American College of
Cardiology, 2008, Vol. 52, No. 19.
5. Rangaswami, J. Cardiorenal Syndrome: Classification, Pathophysiology,
Diagnosis, and Treatment Strategies: A Scientific Statement From the
American Heart Association. American Heart Association, Circulation.
2019;139:e840–e878.
6. American Diabetes Association. Microvascular Complications and Foot Care:
Standards of Medical Care in Diabetesd2019. Diabetes Care 2019;42(Suppl.
1):S124–S138.
7. Lilly LS, Harvard Medical School, editors. Pathophysiology of the Heart
Disease: a Collaborative Project of Medical Student dan Faculty. Edition 6.
Philadelphia: Wolters Kluwer, 2016.
8. McCullough, PA & Ahmad, A. Cadiorenal Syndromes. World J Cardiol 2011
January 26; 3(1):1-9 ISSN 1949-8462.
9. Ortega LM, Arora S. Metabolic acidosis and progression of chronic kidney
disease : incidence, pathogenesis, and therapeutic therapy. Revista Nefrologia
2012 ; 32(6).
10. Thind, GS, dkk. Acute cardiorenal syndrome: Mechanisms and clinical
implications. Cleveland Clinic Journal Of Medicine, 2018; Vol. 85, No.3.
11. Purvey, M dan Allen, G. Managing acute pulmonary oedema. Australian
Prescriber, 2017; Vol.40, No.2.

Anda mungkin juga menyukai