PENDAHULUAN
Penurunan kesadaran merupakan kasus gawat darurat yang sering dijumpai di unit
gawat darurat pada berbagai pelayaan rumah sakit. Penurunan kesadaran dapat
disebabkan gangguan pada otak dan sekitarnya atau karena pengaruh gangguan
metabolik. Penurunan kesadaran dapat terjadi secara akut/cepat atau secara
kronik/progresif. Penurunan kesadaran yang terjadi secara cepat ini yang biasanya
merupakan kasus gawat darurat dan butuh penanganan sesegera mungkin.1
Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua hemisfer
serebri dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Jika terjadi kelainan pada
kedua sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun fungsional akan
mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai tingkatan. Ascending
Reticular Activating System merupakan suatu rangkaian atau network system yang dari
kaudal medulla spinalis menuju rostral yaitu diensefalon melalui brain stem sehingga
kelainan yang mengenai lintasan ARAS tersebut berada diantara medulla, pons,
mesencephalon menuju ke subthalamus, hipothalamus, thalamus dan akan
menimbulkan penurunan derajat kesadaran. Neurotransmiter yang berperan pada ARAS
antara lain neurotransmiter kolinergik, monoaminergik dan gamma aminobutyric acid
(GABA). 1
Korteks serebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan saraf pusat di mana
kedua korteks ini berperan dalam kesadaran akan diri terhadap lingkngan atau input-
input rangsangan sensoris, hal ini disebut juga sebagai awareness. Respon gangguan
kesadaran pada kelainan di ARAS merupakan kelainan yang berpengaruh kepada sistem
arousal yaitu respon primitif yang merupakan manifestasi rangkaian inti-inti di batang
otak dan serabut-serabut saraf pada susunan saraf. 1
Kegawatdaruratan di bidang neurologi lainnya adalah status epileptikus (SE).
Walaupun di Indonesia belum merupakan problem kesehatan masyarakat yang besar.
Status epileptikus merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan neurologis dengan
morbiditas dan mortalitas yang bergantung pada durasi kejang. Kejadian status
epileptikus dilaporkan berkisar antara 10 per 100.000 sampai 40 per 100.000. Insidensi
tertinggi terjadi pada usia di bawah 10 tahun (14,3 per 100.000) dan pada usia lebih dari
50 tahun (28,4 per 100.000) dengan angka kematian tertinggi pada populasi lansia.2
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai
akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten yang disebabkan oleh
lepasnya muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal
dan disebabkan oleh berbagai etiologi.3
Status epileptikus adalah kejang yang bersifat kontinyu, berulang dan disertai
gangguan kesadaran. Durasi kejang yang diakui oleh para ahli adalah berlangsung lebih
dari 30 menit. Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena terjadi
terus menerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat, kesulitan
bernapas dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas sehingga apabila status
epileptikus tidak dapat ditangani segera, maka besar kemungkinan dapat terjadi
kerusakan jaringan otak yang permanen dan dapat menyebabkan kematian.4
Oleh karena itu, gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat
mungkin. Rata-rata 15% penderita meninggal, walaupun pengobatan dilakukan secara
tepat. Lebih kurang 60-80% penderita yang bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam
akan menderita cacat neurologis atau berlanjut menjadi penderita epilepsi.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penurunan Kesadaran
1. Definisi
Kesadaran adalah suatu keadaan dimana seseorang sadar penuh atas
dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Komponen yang dapat dinilai dari
suatu keadaan sadar yaitu kualitas kesadaran itu sendiri dan isinya. Isi
kesadaran menggambarkan keseluruhan dari fungsi korteks serebri, termasuk
fungsi kognitif dan sikap dalam merespon suatu rangsangan. Pasien dengan
gangguan isi kesadaran biasanya tampak sadar penuh, namun tidak dapat
merespon dengan baik beberapa rangsangan, seperti membedakan warna, raut
wajah, mengenali bahasa atau simbol, sehingga sering kali dikatakan bahwa
penderita tampak bingung.5
Penurunan kesadaran atau koma menjadi petunjuk kegagalan fungsi
integritas otak dan sebagai “final common pathway” dari gagal organ seperti
kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak
dengan akibat kematian. Jadi, bila terjadi penurunan kesadaran maka terjadi
disregulasi dan disfungsi otak dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi
tubuh.6 Gangguan kesadaran merupakan keadaan individu yang tidak dapat
mengenali tanggapan yang adekuat terhadap rangsangan visual, auditorik dan
sensorik. Dalam beberapa kasus, kesadaran tidak hanya mengalami penurunan,
namun dapat terganggu baik secara akut maupun secara kronik/ progresif.
Terganggunya kesadaran secara akut lebih berbahaya dibandingkan
terganggunya kesadaran yang bersifat progresif. Terganggunya kesadaran
secara progresif/kronik, antara lain:7
1. Dementia, penurunan mental secara progeresif yang dikarenakan kelainan
organic, namun tidak selalu diikuti penurunan kesadaran. Penurunan mental
yang tersering adalah penurunan fungsi kognitif terutama dalam hal
memori/ ingatan, namun dapat juga disertai gangguan dalam berbahasa dan
kendala dalam melakukan/ menyelesaikan/ menyusun suatu masalah.
2. Hypersomnia, keadaan dimana pasien tampak tidur secara normal namun
saat terbangun, kesadaran tampak menurun/tidak sadar penuh.
3. Abulia, keadaan dimana pasien tampak acuh terhadap lingkungan sekitar
(lack of will) dan merespon secara lambat terhadap rangsangan verbal.
Sering kali respon tidak sesuai dengan percakapan atau gerakan yang
diperintahkan, namun tidak ada gangguan fungsi kognitif pada pasien.
4. Akinetic mutism, merupakan keadaan dimana pasien lebih banyak diam dan
tidak awas terhadap diri sendiri (alert-appearing immobility).
5. The minimally conscious state (MCS), keadaan dimana terdapat penurunan
kesadaran yang drastis/berat tetapi pasien dapat mengenali diri sendiri dan
keadaaan sekitar. Keadaan ini biasanya timbul pada pasien yang mengalami
perbaikan dari keadaan koma atau perburukan dari kelainan neurologis yang
progresif.
6. Vegetative state (VS), bukan merupakan tanda perbaikan dari pasien yang
mengalami penurunan kesadaran, meskipun tampak mata pasien terbuka,
namun pasien tetap dalam keadaan koma. Pada keadaan ini regulasi pada
batang otak dipertahankan oleh fungsi kardiopulmoner dan saraf otonom,
tidak seperti pada pasien koma dimana hemisfer cerebri dan batang otak
mengalami kegagalan fungsi. Keadaan ini dapat mengalami perbaikan
namun dapat juga menetap (persistent vegetative state). Dikatakan
persistent vegetative state jika keadaan vegetative menetap selama lebih dari
30 hari.
7. Brain death, merupakan keadaan irreversible dimana semua fungsi otak
mengalami kegagalan, sehingga tubuh tidak mampu mempertahankan
fungsi jantung dan paru yang menyuplai oksigen dan nutrisi ke organ-organ
tubuh. Kematian otak tidak hanya terjadi pada hemisfer otak, namun juga
dapat terjadi pada batang otak.
2. Anatomi Kesadaran
Kesadaran diatur oleh Ascending Reticular Activating System (ARAS)
dan kedua hemisfer otak. ARAS terdiri dari beberapa jaras saraf yang
menghubungkan batang otak dengan korteks serebri. Batang otak terdiri dari
medulla oblongata, pons dan mesensefalon.8
Gambar 1. Jalur ARAS8
ARAS terdiri dari akson sensori yang menuju korteks serebral, baik secara
langsung ataupun melewati talamus. Banyak stimulus sensori yang dapat
mengaktivasi ARAS seperti stimulus visual, stimulus auditori, aktivitas mental,
stimulus nyeri, sentuhan, dan stimulus tekanan, serta reseptor di sistem limbik
dan kepala yang menjaga kita tetap awas terhadap posisi tubuh.8
3. Patofisiologi
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara
menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan
oleh gangguan ARAS di batang otak, terhadap formasio retikularis di thalamus,
hipotalamus maupun mesensefalon.5
Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni gangguan
derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan isi (kualitas,
awareness, alertness) kesadaran. Adanya lesi yang dapat mengganggu interaksi
ARAS dengan korteks serebri, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan
metabolik akan mengakibatkan menurunnya kesadaran.1
Gambar 2. Patofisiologi penurunan kesadaran8
1. Gangguan metabolik toksik
Fungsi dan metabolisme otak sangat bergantung pada tercukupinya
penyediaan oksigen. Adanya penurunan aliran darah otak (ADO), akan
menyebabkan terjadinya kompensasi dengan menaikkan ekstraksi oksigen
(O2) dari aliran darah. Apabila ADO turun lebih rendah lagi, maka akan
terjadi penurunan konsumsi oksigen secara proporsional.4
Glukosa merupakan satu-satunya substrat yang digunakan otak dan
teroksidasi menjadi karbondioksida (CO2) dan air. Untuk memelihara
integritas neuronal, diperlukan penyediaan ATP yang konstan untuk
menjaga keseimbangan elektrolit.4
O2 dan glukosa memegang peranan penting dalam memelihara
keutuhan kesadaran. Namun, penyediaan O2 dan glukosa tidak terganggu,
kesadaran individu dapat terganggu oleh adanya gangguan asam basa darah,
elektrolit, osmolalitas, ataupun defisiensi vitamin.4 Proses metabolik
melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri. Koma disebabkan
kegagalan difus dari metabolisme saraf.4
a. Ensefalopati metabolik primer
Penyakit degenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya
metabolisme sel saraf dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer.
b. Ensefalopati metabolik sekunder
Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak,
yang mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan
elektrolit ataupun keracunan. Pada koma metabolik ini biasanya ditandai
dengan gangguan sistem motorik simetris dan tetap utuhnya refleks
pupil (kecuali pasien mempergunakan glutethmide atau atropin), juga
utuhnya gerakan-gerakan ekstraokuler (kecuali pasien mempergunakan
barbiturat).1
Tes darah biasanya abnormal, lesi otak unilateral tidak menyebabkan
stupor dan koma. Jika tidak ada kompresi ke sisi kontralateral batang otak
lesi setempat pada otak menimbulkan koma karena terputusnya ARAS.
Sedangkan koma pada gangguan metabolik terjadi karena pengaruh difus
terhadap ARAS dan korteks serebri.3
2. Gangguan Struktur Intrakranial
Penurunan kesadaran akibat gangguan fungsi atau lesi struktural
formasio retikularis di daerah mesensefalon dan diensefalon (pusat
penggalak kesadaran) disebut koma diensefalik. Secara anatomik, koma
diensefalik dibagi menjadi dua bagian utama, ialah koma akibat lesi
supratentorial dan lesi infratentorial.4
a. Koma supratentorial1
1. Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri,
sedangkan batang otak tetap normal.
2. Lesi struktural supratentorial (hemisfer).
Adanya massa yang mengambil tempat di dalam kranium (hemisfer
serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor otak, abses dan
hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran struktur di
sekitarnya, terjadilah herniasi girus singuli, herniasi transtentorial
sentral dan herniasi unkus.
a. Herniasi girus singuli
Herniasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kontralateral
menyebabkan tekanan pada pembuluh darah serta jaringan otak,
mengakibatkan iskemi dan edema.
b. Herniasi transtentorial/ sentral
Herniasi transtentorial atau sentral adalah hasil akhir dari proses
desak ruang rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli
basalis; secara berurutan menekan disensefalon, mesensefalon,
pons dan medulla oblongata melalui celah tentorium.
c. Herniasi unkus
Herniasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa kranii
media atau lobus temporalis; lobus temporalis mendesak unkus
dan girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke atas tepi bebas
tentorium yang akhirnya menekan mesensefalon.
a. Koma infratentorial1
Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma.
1. Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/ serta
merusak pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi,
perdarahan dan nekrosis. Misalnya pada stroke, tumor, cedera kepala
dan sebagainya.
2. Proses di luar batang otak yang menekan ARAS
a. Langsung menekan pons
b. Herniasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melalui celah
tentorium dan menekan tegmentum mesensefalon.
c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnum dan
menekan medulla oblongata.
5. Klasifikasi
Gangguan kesadaran dibagi 3, yaitu gangguan kesadaran tanpa disertai
kelainan fokal/ lateralisasi dan tanpa disertai kaku kuduk; gangguan kesadaran
tanpa disertai kelainan fokal/ lateralisasi disertai dengan kaku kuduk; dan
gangguan kesadaran disertai dengan kelainan fokal.8
1. Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal dan kaku kuduk
a. Gangguan iskemik
b. Gangguan metabolik
c. Intoksikasi
d. Infeksi sistemis
e. Hipertermia
f. Epilepsi
2. Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal tapi disertai kaku kuduk
a. Perdarahan subarakhnoid
b. Radang selaput otak
c. Radang otak
3. Gangguan kesadaran dengan kelainan fokal
a. Tumor otak
b. Perdarahan otak
c. Infark otak
d. Abses otak
6. Komplikasi
Keadaan koma tanpa perbaikan dapat berlanjut masuk dalam keadaan mati
batang otak. Kriteria kematian batang otak antara lain koma dinyatakan positif,
penyebab koma diketahui, arefl eks batang otak dinyatakan positif, tidak adanya
respons motorik, dan apnea dinyatakan positif. Adapun kondisi yang segera
mengancam kehidupan terdiri atas peninggian tekanan intrakranial, herniasi dan
kompresi otak dan meningoensefalitis/ ensefalitis.8
B. Status Epileptikus
1. Definisi
Lebih dari satu dekade lalu, Epilepsy Foundation of America (EFA)
mendefinisikan SE sebagai kejang yang terus-menerus selama paling sedikit 30
menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran di
antaranya. Definisi ini telah diterima secara luas, walaupun beberapa ahli
mempertimbangkan bahwa durasi kejang lebih singkat dapat merupakan suatu
SE. Untuk alasan praktis, pasien dianggap sebagai SE jika kejang terus-menerus
lebih dari 5 menit.10
Pokdi Epilepsi Perdossi mendefinisikan Status epileptikus (SE) adalah
bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit, atau adanya dua bangkitan
atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan
kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai
bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. SE
merupakan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan dan terapi
segera guna menghentikan bangkitan (dalam waktu 30 menit). Dikenal dua tipe
SE; SE konvusif (terdapat bangkitan motorik) dan SE non-konfusif (tidak
terdapat bangkitan motorik).11
Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5
menit, atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran
diantara bangkitan. Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi
saat aktivitas bangkitan elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan
gejala klinis nonmotorik termasuk perubahan perilaku atau “ awareness”.11
3. Klasifikasi
Saat ini, ada beberapa versi pengklasifikasian SE sebagai berikut
(Treiman):13
1. Generalized Convulsive SE
Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya. Generalized mengacu
pada aktivitas listrik kortikal yang berlebihan, sedangkan convulsive
mengacu kepada aktivitas motorik suatu kejang.
2. Subtle SE
Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang bertahan saat tidak ada
respons motorik. Terminologi ini dapat membingungkan, karena subtle SE
seperti tipe NCSE (Non-convulsive Status Epilepticus). Walaupun secara
definisi subtle SE merupakan nonconvulsive, namun harus dibedakan dari
NCSE lain. Subtle SE merupakan keadaan berbahaya, sulit diobati, dan
mempunyai prognosis yang buruk.
3. Nonconvulsive SE
NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan complex
partial SE. Perbedaan 2 tipe ini sangat penting dalam tatalaksana, etiologi,
dan prognosis; focal motor SE mempunyai prognosis lebih buruk.
4. Simple Partial SE
Secara definisi, simple partial SE terdiri dari kejang yang terlokalisasi pada
area korteks serebri dan tidak menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda
dengan convulsive SE, simple partial SE tidak dihubungkan dengan
mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Secara tradisional, SE dapat diklasifikasikan menjadi convulsive dan
nonconvulsive, namun istilah ini dapat tidak tepat. Skema baru klasifikasi ILAE
(International League Against Epilepsy) telah menolak penggunaan istilah
nonconvulsive, karena dapat merupakan suatu keadaan yang beragam seperti
kejang fokal pada limbik SE ataupun generalized seperti absence SE. Di
samping itu, keadaan convulsive, khususnya kejang mioklonik, dapat terlihat
pada non-convulsive SE, misalnya kejang di kelopak mata atau perioral. Skema
ILAE 2001 mendefinisikan SE sebagai aktivitas kejang yang terus-menerus dan
mengklasifikasikan SE menjadi dua kategori, yaitu generalized dan focal SE.
Laporan ILAE Core Group (2006) mengklasifikasikan bermacam-macam tipe
SE (Tabel 1), serta berusaha menghindari istilah generalized dan focal.14
4. Epidemiologi
Insidens SE di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu setiap
tahun, sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda dan 86 per 100.000 untuk
usia lanjut. Dua penelitian restropektif di Jerman mendapatkan insidens 17,1 per
100.000 per tahun. Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari) pada penelitian
Richmond berkisar 22%. Kematian pada anak hanya 3%, sedangkan pada
dewasa 26%. Populasi yang lebih tua mempunyai mortalitas hingga 38%.
Mortalitas tergantung dari durasi kejang, usia onset kejang, dan etiologi. Pasien
stroke dan anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi. Sedangkan pasien
dengan etiologi penghentian alkohol atau kadar obat antiepilepsi dalam darah
yang rendah, mempunyai mortalitas relatif rendah.15
5. Etiologi
SE sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem saraf
pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat
antiepilepsi dalam darah yang rendah. Etiologi tidak jelas pada sekitar 20%
kasus.
Secara umum etiologi status epileptikus dibagi menjadi
1. Simtomatis: penyebab diketahui
a. Akut: stroke, intoksikasi, malaria, ensefalitis, infeksi
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumya: post trauma, post
ensefalitis, post stroke
c. Kelainan neurologi progresif seperti tumor orak, penyakit
neurodegeneratif, dll
2. Idiopatik / kriptogenis : penyebab tidak dapat diketahui
Gangguan serebrovaskuler merupakan penyebab SE tersering di negara
maju, sedangkan di negara berkembang penyebab tersering karena infeksi
susunan saraf pusat. Etiologi SE sangat penting sebagai prediktor mortalitas
dan morbiditas.16
6. Patofisiologi
SE tonik-klonik mempunyai 2 fase sebagai berikut:17
1. Fase 1: Kompensasi
Selama fase ini, metabolisme serebral meningkat, tetapi mekanisme
fisiologis cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik, dan jaringan otak
terlindungi dari hipoksia atau kerusakan metabolisme. Perubahan fisiologis
utama terkait dengan meningkatnya aliran darah dan metabolisme otak,
aktivitas otonom, dan perubahan kardiovaskuler.
2. Fase 2: Dekompensasi
Selama fase ini, tuntutan metabolik serebral sangat meningkat dan tidak
dapat sepenuhnya tercukupi, sehingga menyebabkan hipoksia dan
perubahan metabolik sistemik. Perubahan autonom tetap berlangsung dan
fungsi kardiorespirasi dapat gagal mempertahankan homeostasis.
7. Manifestasi Klinis
SE dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistemik hasil peningkatan
kebutuhan metabolik akibat kejang berulang dan perubahan autonom termasuk
takikardi, aritmia, hipotensi, dilatasi pupil, dan hipertermia. Perubahan sistemik
termasuk hipoksia, hiperkapnia, hipoglikemia, asidosis metabolik, dan
gangguan elektrolit memerlukan intervensi medis. Kehilangan autoregulasi
serebral dan kerusakan neuron dimulai setelah 30 menit aktivitas kejang yang
terus menerus.16
8. Diagnosis 6,12
1. Anamnesis
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut:
a. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?
Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab
kejang. Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab
sekunder gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan
malformasi kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada
usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul
serangan kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan
patologis di otak seperti stroke atau tumor otak dsb.
b. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak
pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala
peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul
disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila muncul sebelum
serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian “
aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak.
Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu”
dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang
mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan
penglihatan sementara mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi
lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak didahului
dengan “aura” hal ini disebabkan terdapat gangguan pada kedua
hemisfer , tetapi jika “aura” dilaporkan oleh pasien sebelum serangan
kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.
c. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien
bukan dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik
tentu pasien tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu
wawancara dilakukan dengan saksi mata yang mengetahui serangan
kejang berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi?
Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik
yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama
serangan kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada
serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan “automatism” pada satu
sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah
lidah tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang
berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan
mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari
lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau
gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat
menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan
penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai
dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan
kejang parsial kompleks.
d. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung?
Periode sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan
istilah “post ictal period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum
tonik klonik pasien lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran
yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami
serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah
serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan
adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan
kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan.
Pada “Absens“ khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan
kejang.
e. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan
kejang tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada
waktu terjaga dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat
terjadi setiap waktu, sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya
muncul pada waktu malam hari.
f. Apakah ada faktor pencetus? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh
karena kurang tidur, cahaya yang berkedip, menstruasi, faktor makan
dan minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum
obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara
tertentu, “drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan
mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun
keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan kejang.
g. Bagaimana frekwensi serangan kejang? Informasi ini dapat membantu
untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat
obat-obat anti kejang.
h. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang?
Pertanyaan ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah
mendapat obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah
obat tersebut yang sedang digunakan spesifik bermanfaat?
i. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan
menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan
menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara lengkap.
j. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan
kejang? Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka
ditubuh akibat serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi
tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka
ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin ada “aura“ , sehingga
dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk
mengurangi bahaya terjadinya luka.
k. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat?
Dengan mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat
darurat dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu
terjadi yang mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan
pasien, ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan
penyakit lain yang menyertai.
Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu ditanyakan
kepada pasien maupun saksi:
a. Family history
b. Past history
c. Systemic history
d. Alcoholic history
e. Drug history
f. Focal neurological symptoms and signs
2. Pemeriksaan Fisik dan Neurologi
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada
pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher
untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular
sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh
karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi
penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan
neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis, fungsi
motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti
hemiparese, distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema
mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area
otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh
karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin,
lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang
terjadi ”Dysmorphism“ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan
kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin
memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral
automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis
ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus
kontralateral dilobus temporalis.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam mengklasifikasikan tipe
epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama pemriksaan
EEG rutin. Namun kejang tetap dapat memberikan konfirmasi tentang
kehadiran aktifitas listrik yang abnormal, informasi tentang tipe gangguan
kejang, dan lokasi spesifik kejang fokal. Pada pemeriksaan EEG rutin, tidur
dan bangun, hanya terdapat 50% dari seluruh pasien epilepsi yang akan
terdeteksi dengan hasil yang abnormal. EEG sebenarnya bukan merupakan
tes untuk menegakkan diagnosa epilepsi secara langsung. EEG hanya
membantu dalam penegakan diagnosa dan membantu pembedaan antara
kejang umum dan kejang fokal. Tetapi yang harus diingat:
a. 10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal yang
ringan dan non spesifik seperti gelombang lambat di salah satu atau
kedua lobus temporal-menurut sumber lain terdapat 2% populasi yang
tidak pernah mengeluh kejang memberikan gambaran abnormal pada
EEG;
b. 30% pasien dengan epilepsi akan memiliki gambaran EEG yang normal
pada masa interval kejang berkurang menjadi 20% jika EEG
dimasukkan pada periode tidur.
Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif
palsu maupun negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam
menginterpretasinya. Perekaman EEG yang dilanjutkan pada pasien dengan
aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu dalam penegakan
diagnosis dengan kasus yang sangat sulit dengan serangan yang sering,
karena memperlihatkan gambaran selama serangan kejang terjadi. Namun
dengan metode ini pun masih terdapat kemungkinan negatif palsu, dengan
10% kejang fokal yang timbul di dalam sebuah lipatan korteks serebri dan
yang gagal memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan EEG.
Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan, adalah
bagian yang penting dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di beberapa kasus
epilepsi tipe yang tidak menentu. Mungkin tidak begitu penting pada pasien
kejang umum yang telah dikonfirmasi dengan EEG. Pemeriksaan lainnya
seperti glukosa, kalsium, dan ECG jarang memberikan informasi yang
dibutuhkan.
Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan pemeriksaan di
atas, memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala klinis secara
seksama untuk menegakkan diagnosa dengan tetap memperhatikan hasil
dari pemeriksaan EEG.
g. Tatalaksana
Penatalaksanaan Umum
Prinsip penatalaksanaan SE adalah menghentikan aktivitas kejang baik
klinis maupun elektroensefalografik (EEG). Penatalaksanaan SE meliputi
penggunaan obat intravena yang poten, sehingga dapat menimbulkan efek
samping yang serius. Oleh karena itu, langkah awal adalah memastikan bahwa
pasien sedang mengalami SE. Kejang tunggal yang pulih tidak membutuhkan
tatalaksana, namun jika diagnosis SE ditegakkan harus ditatalaksana secepat
mungkin.11
Penilaian awal jalan napas dan oksigenasi sangat penting. Jika jalan napas
telah bebas, intubasi tidak harus segera dilakukan, tekanan darah dan nadi harus
diobservasi. Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari tanda lesi fokal
intrakranial.11
Langkah selanjutnya mendapatkan akses intravena, pengambilan sampel
darah untuk penilaian serum elektrolit, ureum, glukosa, kadar obat antiepilepsi
dalam darah, skrining toksisitas obat, dan hitung darah lengkap. Infus cairan
isotonik harus sudah diberikan. Hipoglikemia merupakan pencetus status
epileptikus yang reversibel, glukosa 50 ml 50% dapat diberikan jika diduga
suatu hipoglikemia. Tiamin dapat diberikan untuk mencegah ensefalopati
Wernicke. 11
Setelah pemberian oksigen, kadar gas darah seharusnya diukur untuk
memastikan oksigenasi sudah adekuat. Asidosis, hiperpireksia, dan hipertensi
tidak perlu ditangani, karena merupakan keadaan umum pada tahap awal SE
dan akan membaik setelah penatalaksanaan umum dilakukan. 11
Pencitraan CT scan direkomendasikan setelah stabilisasi jalan napas dan
sirkulasi. Jika hasil pencitraan negatif, pungsi lumbal dapat dipertimbangkan
untuk menyingkirkan etiologi infeksi. 11
Continuous EEG (cEEG) sangat berguna pada penatalaksanaan SE di
ruang intensive care unit (ICU), dilakukan dalam satu jam sejak onset jika
kejang masih berlanjut. Ini bermanfaat untuk mempertahankan dosis obat
antiepilepsi selama titrasi dan mendeteksi berulangnya kejang. Indikasi
penggunaan cEEG pada SE adalah kejang klinis yang masih berlangsung atau
SE yang tidak pulih dalam 10 menit, koma, postcardiac arrest, dugaan
nonconvulsive SE pada pasien dengan perubahan kesadaran. Durasi cEEG
seharusnya paling sedikit dalam 48 jam. 11
Terapi obat-obatan
Sampai saat ini belum ada konsensus baku penatalaksanaan SE berkaitan
dengan pemilihan obat dan dosis. Tidak ada obat yang ideal untuk tatalaksana
SE. Banyak penulis setuju bahwa lorazepam (0,1 mg/kgBB) atau diazepam
(0,15 mg/kgBB) dapat diberikan pada tahap awal, disusul fenitoin (15-20 mg/
kgBB) atau fosfenitoin (18-20 mg/kgBB). Jika benzodiazepin dan fenitoin
gagal, fenobarbital dapat diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB, namun harus
mendapatkan perhatian khusus karena dapat menyebabkan depresi pernapasan.
Jika kejang tetap berlanjut, pertimbangkan pemberian anestesi umum, dapat
digunakan agen seperti midazolam, propofol, atau pentobarbital.12
1. Benzodiazepin
a. Diazepam
Diazepam merupakan obat pilihan pertama (level evidence A pada
banyak penelitian). Obat memasuki otak secara cepat, setelah 15-20
menit akan terdistribusi ke tubuh. Walaupun terdistribusi cepat,
eliminasi waktu paruh mendekati 24 jam. Sangat berpotensi sedatif jika
terakumulasi dalam tubuh pada pemberian berulang. Diazepam dengan
dosis 5-10 mg intravena dapat menghentikan kejang pada sekitar 75%
kasus. Diazepam dapat diberikan secara intramuskuler atau rektal. Efek
samping termasuk depresi pernapasan, hipotensi, sedasi, iritasi jaringan
lokal. Sangat berpotensi hipotensi dan depresi napas jika diberikan
bersamaan obat antiepilepsi lain, khususnya barbiturat. Walaupun
demikian, diazepam masih merupakan obat penting dalam manajeman
SE karena efeknya yang cepat dan berspektrum luas.
b. Lorazepam
Lorazepam merupakan pilihan golongan benzodiazepin untuk
menajemen SE. Lorazepam berbeda dengan diazepam dalam beberapa
hal. Obat ini kurang larut dalam lemak dibandingkan diazepam dengan
waktu paruh dua hingga tiga jam dibandingkan diazepam yang 15 menit,
sehingga mempunyai durasi lebih lama. Lorazepam juga mengikat
reseptor GABAergic lebih kuat daripada diazepam, sehingga durasi
aksinya lebih lama. Efek antikonvulsan lorazepam berlangsung 6-12 jam
pada rentang dosis 4-8 mg. Agen ini berspektrum luas dan berhasil
menghentikan kejang pada 75-80% kasus. Efek sampingnya sangat
identik dengan diazepam. Oleh karena itu, lorazepam juga merupakan
pilihan untuk manjemen SE.
c. Midazolam
Midazolam merupakan golongan benzodiazepin yang bereaksi cepat,
penetrasi cepat melewati sawar darah otak, dan durasi yang singkat.
Midazolam dapat digunakan sebagai agen alternatif untuk SE refrakter.
Walaupun midazolam jarang merupakan pilihan pertama untuk kejang
akut di Amerika Serikat, obat ini sangat umum digunakan di Eropa.
2. Agen Antikonvulsan
a. Fenitoin
Fenitoin merupakan salah satu obat yang efektif mengobati kejang akut
dan SE. Disamping itu, obat ini sangat efektif pada manajemen epilepsi
kronik, khususnya pada kejang umum sekunder dan kejang parsial.
Keuntungan utama fenitoin adalah efek sedasinya yang minim. Namun,
sejumlah efek samping serius dapat muncul seperti aritmia dan
hipotensi, khususnya pada pasien di atas usia 40 tahun. Efek tersebut
sangat dihubungkan dengan pemberian obat yang terlalu cepat. Di
samping itu, iritasi lokal, flebitis, dan pusing dapat muncul pada
pemberian intravena. Fenitoin sebaiknya tidak dicampur dengan
dekstrosa 5%, melainkan salin normal untuk menghindari pembentukan
kristal.
b. Fosfenitoin
Fosfenitoin adalah prodrug dari fenitoin yang larut dalam air yang akan
dikonversi menjadi fenitoin setelah diberikan secara intravena. Seperti
fenitoin, fosfenitoin digunakan dalam tatalaksana kejang akut tonik-
klonik umum atau parsial. Fosfenitoin dikonversi menjadi fenitoin
dalam waktu 8 sampai 15 menit. Dimetabolisme oleh hati dan
mempunyai waktu paruh 14 jam. Karena 1,5 mg fosfenitoin ekuivalen
dengan 1 mg fenitoin, maka dosis, konsentrasi, dan kecepatan infus
intravena digambarkan sebagai phenytoin equivalent (PE). Dosis awal
15 sampai 20 mg PE per kgBB, dan diberikan dengan kecepatan 150 mg
PE per menit, kecepatan pemberian infus tiga kali lebih cepat dari
fenitoin intravena. Fosfenitoin lebih disukai, karena bekerja lebih cepat
dan iritasi vena yang lebih minimal (menghindari risiko purple-glove
syndrome yang terjadi pada fenitoin). Efek samping dari fosfenitoin
termasuk parestesia dan pruritus, namun muncul jika diberikan dalam
pemberian yang terlalu cepat. Pemberian intravena dihubungkan dengan
hipotensi, sehingga monitoring jantung dan tekanan darah yang ketat
dilakukan. Walaupun fosfenitoin lebih baik daripada fenitoin, namun
kelemahannya adalah harga yang mahal dan tidak terdapat di semua
rumah sakit.
3. Barbiturat
a. Fenobarbital
Fenobarbital digunakan setelah benzodiazepin atau fenitoin gagal
mengontrol SE. Loading dose 15 sampai 20 mg per kgBB. Karena
fenobarbital dosis tinggi bersifat sedatif, proteksi jalan napas sangat
penting, dan risiko aspirasi merupakan perhatian khusus. Fenobarbital
intravena juga dihubungkan dengan hipotensi sistemik. Jika dilakukan
pemberian intramuskuler, maka dilakukan pada otot besar, seperti
gluteus maximus. Defisit neurolgis permanen dapat timbul jika
diinjeksikan berdekatan dengan saraf tepi. Saat ini, untuk penanganan
SE refrakter lebih sering digunakan agen lain (midazolam, propofol,
pentobarbital) daripada fenobarbital.
b. Pentobarbital
Merupakan barbiturat kerja singkat yang bersifat sedatif, hipnotif, dan
besifat antikonvulsan. Digunakan hanya untuk SE refrakter, jika agen
lain gagal untuk menghentikan kejang. Pasien membutuhkan intubasi
dan dukungan ventilasi. Dibandingkan fenobarbital, pentobarbital
mempunyai penetrasi yang lebih cepat dan waktu paruh yang lebih
singkat, sehingga dapat sadar lebih cepat dari koma ketika penyapihan
(weaning). Efektivitas pentobarbital lebih tinggi daripada propofol
dalam mengakhiri SE refrakter. Suatu studi mendapatkan tingkat
keberhasilan pentobarbital yang tinggi (92% dengan perbandingan 80%
untuk midazolam dan 73% untuk propofol). Namun demikian, sangat
dihubungkan dengan tingginya kejadian hipotensi dibandingkan
midazolam dan propofol (77% vs 42% dan 30%).
4. Anestesi Umum
Salah satu obat-obatan anestesi yang sering digunakan untuk manajemen SE
adalah propofol Propofol merupakan suatu senyawa fenolik yang tidak
berhubungan dengan obat anti-konvulsan lain. Propofol sangat larut dalam
lemak, sehingga dapat bereaksi dengan cepat, mempunyai sifat anestesi jika
diberikan secara intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB, sangat efektif dan
nontoksik. Beberapa publikasi melaporkan penggunaan infus jangka
panjang propofol dapat diterapkan pada SE. Propofol dapat menyebabkan
depresi napas dan depresi serebral, sehingga membutuhkan intubasi dan
ventilasi. Hipotensi mungkin membutuhkan penatalaksanaan segera.
Penggunaan jangka panjang (atau dosis tinggi >5 mg/kg/jam dalam 48 jam)
dapat menyebabkan asidosis, aritmia jantung, dan rabdomiolisis (propofol
infusion syndrome) yang fatal, khususnya pada anak usia muda, sehingga
propofol sebaiknya tidak digunakan digunakan pada kelompok ini.
Pada pasien yang ditatalaksana dengan infus kontinu obat antiepilepsi
harus diteruskan 12 sampai 24 jam setelah kejang berhenti. Jika selama periode
tapering off terdapat kejang, maka pengobatan dengan infus kontinu harus
diperpanjang dengan memperhatikan adanya kejang baik secara klinis maupun
EEG. Jika tidak ada kejang, maka tapering off dapat diteruskan.11
Tabel 2. Dosis obat lini pertama, kedua dan ketiga dalam penanganan status
epileptikus18
BAB III
PENUTUP
Kondisi tidak sadar dan koma merupakan masalah umum dalam kedokteran.
Penurunan kesadaran merupakan kondisi mental dan perilaku dari menurunnya
pemahaman, rasionalitas, dan kapasitas motivasi. Evaluasi cepat dan penatalaksanaan
kegawatdaruratan perlu dilakukan secara bersamaan dan sediini mungkin untuk
mengurangi mortalitas dan morbiditas.
Status epileptikus juga merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan neurologis
dengan morbiditas dan mortalitas yang bergantung pada durasi kejang. Terapi status
epileptikus yang tepat dan cepat akan mengurangi mortalitas dan morbiditas. Pedoman
saat ini merekomendasikan penggunaan benzodiazepin sebagai terapi lini pertama status
epileptikus, fosphenytoin, asam valproat dan levetiracetam sebagai lini kedua serta agen
anastesi sebagai pengobatan lini ketiga.
DAFTAR PUSTAKA