Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Penurunan kesadaran merupakan kasus gawat darurat yang sering dijumpai di unit
gawat darurat pada berbagai pelayaan rumah sakit. Penurunan kesadaran dapat
disebabkan gangguan pada otak dan sekitarnya atau karena pengaruh gangguan
metabolik. Penurunan kesadaran dapat terjadi secara akut/cepat atau secara
kronik/progresif. Penurunan kesadaran yang terjadi secara cepat ini yang biasanya
merupakan kasus gawat darurat dan butuh penanganan sesegera mungkin.1
Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua hemisfer
serebri dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Jika terjadi kelainan pada
kedua sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun fungsional akan
mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai tingkatan. Ascending
Reticular Activating System merupakan suatu rangkaian atau network system yang dari
kaudal medulla spinalis menuju rostral yaitu diensefalon melalui brain stem sehingga
kelainan yang mengenai lintasan ARAS tersebut berada diantara medulla, pons,
mesencephalon menuju ke subthalamus, hipothalamus, thalamus dan akan
menimbulkan penurunan derajat kesadaran. Neurotransmiter yang berperan pada ARAS
antara lain neurotransmiter kolinergik, monoaminergik dan gamma aminobutyric acid
(GABA). 1
Korteks serebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan saraf pusat di mana
kedua korteks ini berperan dalam kesadaran akan diri terhadap lingkngan atau input-
input rangsangan sensoris, hal ini disebut juga sebagai awareness. Respon gangguan
kesadaran pada kelainan di ARAS merupakan kelainan yang berpengaruh kepada sistem
arousal yaitu respon primitif yang merupakan manifestasi rangkaian inti-inti di batang
otak dan serabut-serabut saraf pada susunan saraf. 1
Kegawatdaruratan di bidang neurologi lainnya adalah status epileptikus (SE).
Walaupun di Indonesia belum merupakan problem kesehatan masyarakat yang besar.
Status epileptikus merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan neurologis dengan
morbiditas dan mortalitas yang bergantung pada durasi kejang. Kejadian status
epileptikus dilaporkan berkisar antara 10 per 100.000 sampai 40 per 100.000. Insidensi
tertinggi terjadi pada usia di bawah 10 tahun (14,3 per 100.000) dan pada usia lebih dari
50 tahun (28,4 per 100.000) dengan angka kematian tertinggi pada populasi lansia.2
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai
akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten yang disebabkan oleh
lepasnya muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal
dan disebabkan oleh berbagai etiologi.3
Status epileptikus adalah kejang yang bersifat kontinyu, berulang dan disertai
gangguan kesadaran. Durasi kejang yang diakui oleh para ahli adalah berlangsung lebih
dari 30 menit. Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena terjadi
terus menerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat, kesulitan
bernapas dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas sehingga apabila status
epileptikus tidak dapat ditangani segera, maka besar kemungkinan dapat terjadi
kerusakan jaringan otak yang permanen dan dapat menyebabkan kematian.4
Oleh karena itu, gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat
mungkin. Rata-rata 15% penderita meninggal, walaupun pengobatan dilakukan secara
tepat. Lebih kurang 60-80% penderita yang bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam
akan menderita cacat neurologis atau berlanjut menjadi penderita epilepsi.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penurunan Kesadaran
1. Definisi
Kesadaran adalah suatu keadaan dimana seseorang sadar penuh atas
dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Komponen yang dapat dinilai dari
suatu keadaan sadar yaitu kualitas kesadaran itu sendiri dan isinya. Isi
kesadaran menggambarkan keseluruhan dari fungsi korteks serebri, termasuk
fungsi kognitif dan sikap dalam merespon suatu rangsangan. Pasien dengan
gangguan isi kesadaran biasanya tampak sadar penuh, namun tidak dapat
merespon dengan baik beberapa rangsangan, seperti membedakan warna, raut
wajah, mengenali bahasa atau simbol, sehingga sering kali dikatakan bahwa
penderita tampak bingung.5
Penurunan kesadaran atau koma menjadi petunjuk kegagalan fungsi
integritas otak dan sebagai “final common pathway” dari gagal organ seperti
kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak
dengan akibat kematian. Jadi, bila terjadi penurunan kesadaran maka terjadi
disregulasi dan disfungsi otak dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi
tubuh.6 Gangguan kesadaran merupakan keadaan individu yang tidak dapat
mengenali tanggapan yang adekuat terhadap rangsangan visual, auditorik dan
sensorik. Dalam beberapa kasus, kesadaran tidak hanya mengalami penurunan,
namun dapat terganggu baik secara akut maupun secara kronik/ progresif.
Terganggunya kesadaran secara akut lebih berbahaya dibandingkan
terganggunya kesadaran yang bersifat progresif. Terganggunya kesadaran
secara progresif/kronik, antara lain:7
1. Dementia, penurunan mental secara progeresif yang dikarenakan kelainan
organic, namun tidak selalu diikuti penurunan kesadaran. Penurunan mental
yang tersering adalah penurunan fungsi kognitif terutama dalam hal
memori/ ingatan, namun dapat juga disertai gangguan dalam berbahasa dan
kendala dalam melakukan/ menyelesaikan/ menyusun suatu masalah.
2. Hypersomnia, keadaan dimana pasien tampak tidur secara normal namun
saat terbangun, kesadaran tampak menurun/tidak sadar penuh.
3. Abulia, keadaan dimana pasien tampak acuh terhadap lingkungan sekitar
(lack of will) dan merespon secara lambat terhadap rangsangan verbal.
Sering kali respon tidak sesuai dengan percakapan atau gerakan yang
diperintahkan, namun tidak ada gangguan fungsi kognitif pada pasien.
4. Akinetic mutism, merupakan keadaan dimana pasien lebih banyak diam dan
tidak awas terhadap diri sendiri (alert-appearing immobility).
5. The minimally conscious state (MCS), keadaan dimana terdapat penurunan
kesadaran yang drastis/berat tetapi pasien dapat mengenali diri sendiri dan
keadaaan sekitar. Keadaan ini biasanya timbul pada pasien yang mengalami
perbaikan dari keadaan koma atau perburukan dari kelainan neurologis yang
progresif.
6. Vegetative state (VS), bukan merupakan tanda perbaikan dari pasien yang
mengalami penurunan kesadaran, meskipun tampak mata pasien terbuka,
namun pasien tetap dalam keadaan koma. Pada keadaan ini regulasi pada
batang otak dipertahankan oleh fungsi kardiopulmoner dan saraf otonom,
tidak seperti pada pasien koma dimana hemisfer cerebri dan batang otak
mengalami kegagalan fungsi. Keadaan ini dapat mengalami perbaikan
namun dapat juga menetap (persistent vegetative state). Dikatakan
persistent vegetative state jika keadaan vegetative menetap selama lebih dari
30 hari.
7. Brain death, merupakan keadaan irreversible dimana semua fungsi otak
mengalami kegagalan, sehingga tubuh tidak mampu mempertahankan
fungsi jantung dan paru yang menyuplai oksigen dan nutrisi ke organ-organ
tubuh. Kematian otak tidak hanya terjadi pada hemisfer otak, namun juga
dapat terjadi pada batang otak.

2. Anatomi Kesadaran
Kesadaran diatur oleh Ascending Reticular Activating System (ARAS)
dan kedua hemisfer otak. ARAS terdiri dari beberapa jaras saraf yang
menghubungkan batang otak dengan korteks serebri. Batang otak terdiri dari
medulla oblongata, pons dan mesensefalon.8
Gambar 1. Jalur ARAS8
ARAS terdiri dari akson sensori yang menuju korteks serebral, baik secara
langsung ataupun melewati talamus. Banyak stimulus sensori yang dapat
mengaktivasi ARAS seperti stimulus visual, stimulus auditori, aktivitas mental,
stimulus nyeri, sentuhan, dan stimulus tekanan, serta reseptor di sistem limbik
dan kepala yang menjaga kita tetap awas terhadap posisi tubuh.8

3. Patofisiologi
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara
menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan
oleh gangguan ARAS di batang otak, terhadap formasio retikularis di thalamus,
hipotalamus maupun mesensefalon.5
Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni gangguan
derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan isi (kualitas,
awareness, alertness) kesadaran. Adanya lesi yang dapat mengganggu interaksi
ARAS dengan korteks serebri, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan
metabolik akan mengakibatkan menurunnya kesadaran.1
Gambar 2. Patofisiologi penurunan kesadaran8
1. Gangguan metabolik toksik
Fungsi dan metabolisme otak sangat bergantung pada tercukupinya
penyediaan oksigen. Adanya penurunan aliran darah otak (ADO), akan
menyebabkan terjadinya kompensasi dengan menaikkan ekstraksi oksigen
(O2) dari aliran darah. Apabila ADO turun lebih rendah lagi, maka akan
terjadi penurunan konsumsi oksigen secara proporsional.4
Glukosa merupakan satu-satunya substrat yang digunakan otak dan
teroksidasi menjadi karbondioksida (CO2) dan air. Untuk memelihara
integritas neuronal, diperlukan penyediaan ATP yang konstan untuk
menjaga keseimbangan elektrolit.4
O2 dan glukosa memegang peranan penting dalam memelihara
keutuhan kesadaran. Namun, penyediaan O2 dan glukosa tidak terganggu,
kesadaran individu dapat terganggu oleh adanya gangguan asam basa darah,
elektrolit, osmolalitas, ataupun defisiensi vitamin.4 Proses metabolik
melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri. Koma disebabkan
kegagalan difus dari metabolisme saraf.4
a. Ensefalopati metabolik primer
Penyakit degenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya
metabolisme sel saraf dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer.
b. Ensefalopati metabolik sekunder
Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak,
yang mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan
elektrolit ataupun keracunan. Pada koma metabolik ini biasanya ditandai
dengan gangguan sistem motorik simetris dan tetap utuhnya refleks
pupil (kecuali pasien mempergunakan glutethmide atau atropin), juga
utuhnya gerakan-gerakan ekstraokuler (kecuali pasien mempergunakan
barbiturat).1
Tes darah biasanya abnormal, lesi otak unilateral tidak menyebabkan
stupor dan koma. Jika tidak ada kompresi ke sisi kontralateral batang otak
lesi setempat pada otak menimbulkan koma karena terputusnya ARAS.
Sedangkan koma pada gangguan metabolik terjadi karena pengaruh difus
terhadap ARAS dan korteks serebri.3
2. Gangguan Struktur Intrakranial
Penurunan kesadaran akibat gangguan fungsi atau lesi struktural
formasio retikularis di daerah mesensefalon dan diensefalon (pusat
penggalak kesadaran) disebut koma diensefalik. Secara anatomik, koma
diensefalik dibagi menjadi dua bagian utama, ialah koma akibat lesi
supratentorial dan lesi infratentorial.4
a. Koma supratentorial1
1. Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri,
sedangkan batang otak tetap normal.
2. Lesi struktural supratentorial (hemisfer).
Adanya massa yang mengambil tempat di dalam kranium (hemisfer
serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor otak, abses dan
hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran struktur di
sekitarnya, terjadilah herniasi girus singuli, herniasi transtentorial
sentral dan herniasi unkus.
a. Herniasi girus singuli
Herniasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kontralateral
menyebabkan tekanan pada pembuluh darah serta jaringan otak,
mengakibatkan iskemi dan edema.
b. Herniasi transtentorial/ sentral
Herniasi transtentorial atau sentral adalah hasil akhir dari proses
desak ruang rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli
basalis; secara berurutan menekan disensefalon, mesensefalon,
pons dan medulla oblongata melalui celah tentorium.
c. Herniasi unkus
Herniasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa kranii
media atau lobus temporalis; lobus temporalis mendesak unkus
dan girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke atas tepi bebas
tentorium yang akhirnya menekan mesensefalon.
a. Koma infratentorial1
Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma.
1. Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/ serta
merusak pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi,
perdarahan dan nekrosis. Misalnya pada stroke, tumor, cedera kepala
dan sebagainya.
2. Proses di luar batang otak yang menekan ARAS
a. Langsung menekan pons
b. Herniasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melalui celah
tentorium dan menekan tegmentum mesensefalon.
c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnum dan
menekan medulla oblongata.

4. Penilaian Tingkat Kesadaran


1. Secara Kualitatif 3
a. Kompos mentis
Keadaan seseorang dalam keadaan sadar sepenuhnya, dapat bereaksi
secara optimal terhadap seluruh rangsangan dan dapat menjawab
pertanyaan tentang dirinya dan lingkungannya. Pada kompos mentis ini
aksi dan reaksi bersifat adekuat yang tepat dan sesuai.
b. Somnolen
Keadaan seseorang dalam keadaan mengantuk dan cenderung tertidur.
Masih dapat dibangunkan dan menjawab pertanyaan dengan rangsangan
verbal walaupun sedikit bingung, tampak gelisah, orientasi terhadap
sekitarnya menurun dan cenderung untuk tidur kembali.
c. Sopor/Stupor
Keadaan hilang kesadaran, hanya berbaring dan mata tertutup, tidak
menunjukkan reaksi bila dibangunkan, kecuali dengan rangsangan nyeri.
Hanya dapat bersuara satu-dua kata bila dirangsang nyeri. Motorik
hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri.
d. Semikoma/soporokoma
Keadaan dimana mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara
kuat, hanya dapat mengerang tanpa arti, motorik hanya berupa gerakan
primitif.
e. Koma
Keadaan hilang kesadaran, tidak menunjukkan reaksi walaupun dengan
semua rangsangan (verbal, taktil dan nyeri) dari luar. Karakteristik koma
adalah tidak adanya arousal dan awareness terhadap diri sendiri dan
lingkungannya. Pada pasien koma hanya terlihat mata tertutup, tidak
berbicaraa dan tidak ada pergerakan sebagai respon terhadap rangsangan
auditori, taktil dan nyeri.
2. Secara Kuantitatif 3
Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow
Coma Scale (GCS) yang meliputi pemeriksaan dan penilaian untuk Mata
(E), Motorik (M) dan Verbal (V). pemeriksaan ini mempunyai nilai
terendah 3 dan nilai tertinggi 15.

5. Klasifikasi
Gangguan kesadaran dibagi 3, yaitu gangguan kesadaran tanpa disertai
kelainan fokal/ lateralisasi dan tanpa disertai kaku kuduk; gangguan kesadaran
tanpa disertai kelainan fokal/ lateralisasi disertai dengan kaku kuduk; dan
gangguan kesadaran disertai dengan kelainan fokal.8
1. Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal dan kaku kuduk
a. Gangguan iskemik
b. Gangguan metabolik
c. Intoksikasi
d. Infeksi sistemis
e. Hipertermia
f. Epilepsi
2. Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal tapi disertai kaku kuduk
a. Perdarahan subarakhnoid
b. Radang selaput otak
c. Radang otak
3. Gangguan kesadaran dengan kelainan fokal
a. Tumor otak
b. Perdarahan otak
c. Infark otak
d. Abses otak

6. Komplikasi
Keadaan koma tanpa perbaikan dapat berlanjut masuk dalam keadaan mati
batang otak. Kriteria kematian batang otak antara lain koma dinyatakan positif,
penyebab koma diketahui, arefl eks batang otak dinyatakan positif, tidak adanya
respons motorik, dan apnea dinyatakan positif. Adapun kondisi yang segera
mengancam kehidupan terdiri atas peninggian tekanan intrakranial, herniasi dan
kompresi otak dan meningoensefalitis/ ensefalitis.8

7. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis kesadaran menurun didasarkan atas:7
1. Anamnesis
Dalam melakukan anamnesis perlu dicantumkan dari siapa anamnesis
tersebut didapat, biasanya anamnesis yang terbaik didapat dari orang yang
selalu berada bersama penderita. Untuk itu diperlukan riwayat perjalanan
penyakit, riwayat trauma, riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat-
obatan, riwayat kelainan kejiwaan. Dari anamnesis ini, seringkali menjadi
kunci utama dalam mendiagnosis penderita dengan kesadaran menurun1.
2. Pemeriksaan fisik umum
Dalam melakukan pemeriksaan fisik umum harus diamati:
a. Tanda vital
Pemeriksaan tanda vital: perhatikan jalan nafas, tipe pernafasannya dan
perhatikan tentang sirkulasi yang meliputi: tekanan darah, denyut nadi
dan ada tidaknya aritmia.
b. Bau nafas
Pemeriksa harus dapat mengidentifikasi foetor breath hepatic yang
disebabkan penyakit hati, urino smell yang disebabkan karena penyakit
ginjal atau fruity smell yang disebabkan karena ketoasidosis.
c. Pemeriksaan kulit
Pada pemeriksaan kulit, perlu diamati tanda-tanda trauma, stigmata
kelainan hati dan stigmata lainnya termasuk krepitasi dan jejas
suntikan. Pada penderita dengan trauma, kepala pemeriksaan leher itu,
harus dilakukan dengan sangat berhati-hati atau tidak boleh dilakukan
jikalau diduga adanya fraktur servikal. Jika kemungkinan itu tidak ada,
maka lakukan pemeriksaan kaku kuduk dan lakukan auskultasi karotis
untuk mencari ada tidaknya bruit.
d. Kepala
Perhatikan ada tidaknya hematom, laserasi dan fraktur.
e. Leher
Perhatikan kaku kuduk dan jangan manipulasi bila dicurigai fraktur
servikal (jejas, kelumpuhan 4 ekstremitas, trauma di daerah muka).
f. Toraks/ abdomen dan ekstremitas
Perhatikan ada tidaknya fraktur.
3. Pemeriksaan fisik neurologis
Pemeriksaan fisik neurologis bertujuan menentukan kedalaman koma secara
kualitatif dan kuantitatif serta mengetahui lokasi proses koma. Pemeriksaan
neurologis meliputi derajat kesadaran dan pemeriksaan motorik2.
a. Umum
1. Buka kelopak mata menentukan dalamnya koma
2. Deviasi kepala dan lirikan menunjukkan lesi hemisfer ipsilateral
3. Perhatikan mioklonus (proses metabolik), twitching otot berirama
(aktivitas seizure) atau tetani (spontan, spasmus otot lama).
b. Level kesadaran
Ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif.
1. Kualitatif (apatis, somnolen, delirium, spoor dan koma)
2. Kuantitatif (menggunakan GCS)
c. Pupil
Diperiksa: ukuran, reaktivitas cahaya
1. Simetris/ reaktivitas cahaya normal, petunjuk bahwa integritas
mesensefalon baik. Pupil reaksi normal, reflek kornea dan
okulosefalik, dicurigai suatu koma metabolik
2. Mid posisi (2-5 mm), fixed dan irregular, lesi mesenfalon fokal.
3. Pupil reaktif pint-point, pada kerusakan pons, intoksikasi opiat
kolinergik.
4. Dilatasi unilateral dan fixed, terjadi herniasi.
5. Pupil bilateral fixed dan dilatasi, herniasi sentral, hipoksik-iskemi
global, keracunan barbiturat.
d. Funduskopi
e. Refleks okulosefalik (dolls eye manuevre)
f. Refleks okulo vestibuler
g. Refleks kornea
h. Refleks muntah
i. Respons motorik
j. Refleks fisiologik dan patologik
4. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan gas darah, berguna untuk melihat oksigenasi di dalam
darah, juga untuk melihat gangguan keseimbangan asam basa.
b. Pemeriksaan darah, meliputi darah perifer lengkap (DPL), keton, faal
hati, faal ginjal dan elektrolit.
c. Pemeriksaan toksikologi, dari bahan urine darah dan bilasan lambung.
d. Pemeriksaan khusus meliputi pungsi lumbal, CT scan kepala, EEG,
EKG, foto toraks dan foto kepala.
5. Diagnosis banding penurunan kesadaran karena metabolik dan struktural2
Menentukan kelainan neurologi perlu untuk evaluasi dan manajemen
penderita. Pada penderita dengan penurunan kesadaran, dapat ditentukan
apakah akibat kelainan struktur, toksik atau metabolik. Pada koma akibat
gangguan struktur mempengaruhi fungsi ARAS langsung atau tidak
langsung. ARAS merupakan kumpulan neuron polisinaptik yang terletak
pada pusat medulla, pons dan mesensefalon, sedangkan penurunan
kesadaran karena kelainan metabolik terjadi karena memengaruhi energi
neuronal atau terputusnya aktivitas membran neuronal atau multifaktor.
Diagnosis banding dapat ditentukan melalui pemeriksaan pernafasan,
pergerakan spontan, evaluasi saraf kranial dan respons motorik terhadap
stimuli.
a. Pola pernafasan
Mengetahui pola pernafasan akan membantu letak lesi dan kadang
menentukan jenis gangguan.
1. Respirasi cheyne stoke
Pernafasan ini makin lama makin dalam kemudian mendangkal dan
diselingi apnoe. Keadaan seperti ini dijumpai pada disfungsi
hemisfer bilateral sedangkan batang otak masih baik. Pernafasan ini
dapat merupakan gejala pertama herniasi transtentorial. Selain itu,
pola pernafasan ini dapat juga disebabkan gangguan metabolik dan
gangguan jantung.
2. Respirasi hiperventilasi neurogen sentral
Pernafasan cepat dan dalam, frekuensi kira-kira 25 per menit. Dalam
hal ini, lesi biasanya pada tegmentum batang otak (antara
mesensefalon dan pons). Ambang respirasi rendah, pada
pemeriksaan darah ada alkalosis respirasi, PCO2 arterial rendah, pH
meningkat dan ada hipoksia ringan. Pemberian O2 tidak akan
mengubah pola pernafasan. Biasanya didapatkan pada infark
mesensefalon, pontin, anoksia atau hipoglikemia yang melibatkan
daerah ini dan kompresi mesensefalon karena herniasi transtentorial.
3. Respirasi apneustik
Terdapat inspirasi memanjang diikuti apnoe pada saat ekspirasi
dengan frekuensi 1-11/2 per menit kemudian diikuti oleh pernafasan
kluster.
4. Respirasi kluster
Ditandai respirasi berkelompok diikuti apnoe. Biasanya terjadi pada
kerusakan pons varolii.
5. Respirasi ataksik (irregular)
Ditandai oleh pola pernafasan yang tidak teratur, baik dalam atau
iramanya. Kerusakan terdapat di pusat pernafasan medulla oblongata
dan merupakan keadaan preterminal.
b. Pergerakan spontan
Perlu melakukan observasi pasien waktu istirahat. Pergerakan abnormal
seperti twitching, mioklonus, tremor merupakan petunjuk gangguan
toksik/ metabolik. Apabila tampak pergerakan spontan dengan asimetrik
(tungkai bawah rotasi keluar menunjukkan defisit fokal motorik).
Komponen brain stem dari ARAS masih baik bila tampak mengunyah,
berkedip dan menguap spontan dan dapat membantu lokalisasi penyebab
koma.
c. Pemeriksaan saraf kranial
Jika pada pemeriksaan saraf kranial (saraf okular) tampak asimetrik
dicurigai lesi struktural. Umumnya pasien koma dengan reflek brain
stem normal maka menunjukkan kegagalan kortikal difus dengan
penyebab metabolik. Obat-obatan seperti barbiturat, diphenylhydantion,
diazepam, antidepresan trisiklik dan intoksikasi etanol dapat menekan
refleks okular tetapi refleks pupil tetap baik. Impending herniasi ditandai
oleh pola pernafasan tidak teratur, pupil miosis dan refleks pupil
menurun.
d. Repons motorik terhadap stimuli
Defisit fokal motorik biasanya menunjukkan kerusakan struktur,
sedangkan dekortikasi/deserebrasi dapat terjadi pada kelainan metabolik
toksik atau kerusakan struktural. Gerakan-gerakan abnormal seperti
tremor dan mioklonus sering terjadi pada gangguan metabolik toksik.
8. Diagnosis
a. Evaluasi Awal dan Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
1) Pertahankan patensi jalan nafas serta ventilasi dan sirkulasi yang adekuat.
Ventilasi yang adekuat dapat dinilai dari tidak adanya sianosis, laju
pernafasan > 8 x/menit, adanya suara nafas pada auskultasi dan hasi
pemeriksaan analisis gas darah. Jika didapatkan adanya ventilasi yang
tidak adekuat, pasien membutuhkan ventilasi mekanik. Lakukan
pemeriksaan nadi dan tekanan darah sebagai penilaian cepat sirkulasi.
Gangguan sirkulasi harus ditangani dengan pemberian cairan intravena,
vasopressor dan obat antiaritmia bila diindikasikan.
2) Lakukan pemasangan infus dan ambil sampel darah untuk dilakukan
pemeriksaan glukosa darah, elektrolit, fungsi hepar dan ginjal, PT, aPTT,
darah lengkap dan toksikologi.
3) Berikan cairan intravena dan dextrose, thiamin serta naloxone bila
diindikasikan. Setiap pasien koma diberikan 25 gram dextrose intravenal,
biasanya diberikan 50 mL cairan dextrose 50% untuk mengatasi
kemungkinan hipoglikemia. Tetapi pada pemberian dextrose dapat
menginduksi atau memperburuk kondisi ensefalopatin wernicke pada
pasien dengan defisiensi thiamine, semua pasien koma juga harus
mendaatkan 100 mg thiamine intravena. Untuk mengatasi kemungkinan
overdosis opioid, naloxon diberikan dengan dosis 0,4 – 1,2 mg.
4) Lakukan pemeriksaan analisis gas darah dan pH. Pemeriksaan ini dapat
dignakan untuk membantu menilai ventilasi, sehingga memberikan
pentunjuk adanya penyebab metabolik.
5) Atasi kejang.9
b. Anamnesis
Hal paling penting yang ditanyakan dari anamnesis adalah onset
penurunan kesadaran. Onset tiba-tiba menunjukkan adanya etiologi vaskular
seperti stroke batang otak atau perdarahan subarachnoid. Onset progres cepat
disertai tanda lateralisasi (menit ke beberapa jam) menunjukkan perdarahan
intraserebral. Onset yang berlangsung dalam beberapa hari dan minggu
disebabkan oleh tumor, abses atau perdarahan subdural kronis. Riwayat
penyakit komorbid juga perlu ditanyakan khususunya yang berpengaruh
terhadap penurunan kesadaran (sirosis, CKD, PPOK, epilepsi, dan gangguan
psikiatri).6
c. Pemeriksaan Fisik Umum
1) Tanda trauma seperti racoon eyes, battle sign, hemotympanum, dan
rhinorrhea atau otorhea. Palpasi pada kepala juga dapat menemukan
adanya fraktur depresi dan pembengkakan jaringan lunak.
2) Pemeriksaan tanda vital: tekanan darah yang tinggi menujukkan adanya
hipertensi lama yang menjadi predisposisi perdarahan intraserebral dan
stroke.
3) Pemeriksaan tanda rangsang meningeal dapat menunjukkan diagnosis
yang mengarah ke meningitis dan perdarahan subarachnoid.9
d. Pemeriksaan Neurologis
1) Pemeriksaan derajat kesadaran, secara kulitatif atau kuantitatif (GCS)
2) Observasi umum: gerakan otomatik, gerakan mioklonik, letak lengan dan
tungkai
3) Pengamatan pola pernapasan
4) Kelainan pupil besar pupil, perbandingan besar, refleks pupil
5) Reflek sefalik batang otak: gerakan mata boneka, refleks okulovestibular,
refleks kornea
6) Reaksi terhadap rangsangan nyeri
7) Fungsi traktus piramidalis (UMN): kelumpuhan, refleks tendon, tonus
otot.9

Tabel 1. Pemeriksaan neurologis


9. Tatalaksana
a. Terapi Non-Farmakologik
1) Life saving, bebaskan jalan nafas, berikan oksigen
2) Pantau tanda vital
3) Jaga fungsi otak optimal
4) Pasang kateter
5) Perhatikan nutrisi, pasang NGT dan berikan cairan infus
6) Perhatikan sirkulasi darah optimal
7) Turunkan tekanan intrakranial
8) Perbaiki keseimbangan cairan elektrolit
9) Perhatikan suhu tubuh
b. Terapi Farmakologik
1) Tindakan operasi pada perdarahan epidural
2) Antibiotik dosis tinggi pada meningoensefalitis bakteri
3) Turunkan tekanan darah pada hipertensi ensefalopati
4) Diazepam iv 10 mg pada status epileptikus
5) Bolus dextrose 40% IV pada hipoglikemi.9

B. Status Epileptikus
1. Definisi
Lebih dari satu dekade lalu, Epilepsy Foundation of America (EFA)
mendefinisikan SE sebagai kejang yang terus-menerus selama paling sedikit 30
menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran di
antaranya. Definisi ini telah diterima secara luas, walaupun beberapa ahli
mempertimbangkan bahwa durasi kejang lebih singkat dapat merupakan suatu
SE. Untuk alasan praktis, pasien dianggap sebagai SE jika kejang terus-menerus
lebih dari 5 menit.10
Pokdi Epilepsi Perdossi mendefinisikan Status epileptikus (SE) adalah
bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit, atau adanya dua bangkitan
atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan
kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai
bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. SE
merupakan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan dan terapi
segera guna menghentikan bangkitan (dalam waktu 30 menit). Dikenal dua tipe
SE; SE konvusif (terdapat bangkitan motorik) dan SE non-konfusif (tidak
terdapat bangkitan motorik).11
Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5
menit, atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran
diantara bangkitan. Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi
saat aktivitas bangkitan elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan
gejala klinis nonmotorik termasuk perubahan perilaku atau “ awareness”.11

2. Fisiologi Impuls Saraf


Sel saraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran.
Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial
intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat
potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini
akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membran
ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+, K + dan
Ca++. Bila sel syaraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik akan
mengakibatkan menurunnya potensial membran.12
Penurunan potensial membran ini akan menyebabkan permeabilitas
membran terhadap ion Na+ akan meningkat, sehingga Na+ akan lebih banyak
masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan potensial membran
masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+, sehingga
selisih potensial kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial yang
demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon lokal. Bila rangsangan
cukup kuat perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing level),
maka permiabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat secara besar-
besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi
ini akan dihantarkan ke sel syaraf berikutnya melalui sinap dengan perantara zat
kimia yang dikenal dengan neurotransmiter. Bila perangsangan telah selesai,
maka permiabilitas membran kembali ke keadaan istiahat, dengan cara Na+
akan kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa
Na-K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen. 12
Neurotransmitter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron dan
disimpan dalam gelembung sinaptik pada ujung akson. Zat kimia ini dilepaskan
dari ujung akson terminal dan juga direabsorbsi untuk daur ulang.
Neurotransmiter merupakan cara komunikasi antar neuron. Setiap neuron
melepaskan satu transmitter. Zat – zat kimia ini menyebabkan perubahan
permeabilitas sel neuron, sehingga neuron menjadi lebih kurang dapat
menyalurkan impuls. Diketahui atau diduga terdapat sekitar tiga puluh macam
neurotransmitter, diantaranya adalah Norephinephrin, Acetylcholin, Dopamin,
Serotonin, Asam Gama-Aminobutirat (GABA) dan Glisin. 12
Komponen listrik dari transmisi saraf menangani transmisi impuls du
sepanjang neuron. Permeabilitas membran sel neuron terhadap ion natrium dan
kalium bervariasi dan dipengaruhi oleh perobahan kimia serta listrik dalam
neuron tersebut (terutama neurotransmitter dan stimulus organ reseptor). 12
Gambar 3. Delapan langkah sintesis gamma aminobutyric (GABA) 11
Tempat–tempat dimana neuron mengadakan kontak dengan dengan neuron
lain atau dengan organ –organ efektor disebut sinaps. Sinaps merupakan satu –
satunya tempat dimana suatu impuls dapat lewat dari suatu neuron ke neuron
lainnya atau efektor. Ruang antara satu neuron dan neuron berikutnya ( atau
organ efektor ) dikenal dengan nama celah sinaptik (synaptic cleft). Neuron
yang menghantarkan impuls saraf menuju ke sinaps disebut neuron
prasinaptik.Neuron yang membawa impuls dari sinaps disebut neuron
postsinaptik. 11

Gambar 4. Struktur neuron motorik12


Dalam keadaan istirahat, permeabillitas membran sel menciptakan kadar
kalium intrasel yang tinggi dan kadar natrium intra sel yang rendah, bahkan
pada pada kadar natrium extrasel yang tinggi. Impuls listrik timbul oleh
pemisahan muatan akibat perbedaan kadar ion intrasel dan extrasel yang
dibatasi membran sel. Potensial aksi yang terjadi atau impuls pada saat terjadi
depolarisasi dialirkan ke ujung saraf dan mencapai ujung akson ( akson terminal
). Saat potensial aksi mencapai akson terminal akan dikeluarkanlah
neurotransmitter, yang melintasi synaps dan dapat saja merangsang saraf
berikutnya. 12
1. Timbulnya kontraksi otot
Timbulnya kontraksi pada otot rangka mulai dengan potensial aksi dalam
serabut – serabut otot. Potensial aksi ini menimbulkan arus listrik yang
menyebar ke bagian dalam serabut, dimana menyebabkan dilepaskannya
ion–ion kalsium dari retikulum sarkoplasma. Selanjutnya ion kalsium
menimbulkan peristiwa–peristiwa kimia proses kontraksi.
2. Perangsangan serabut otot rangka oleh saraf
Dalam fungsi tubuh normal, serabut–serabut otot rangka dirangsang oleh
serabut–serabut saraf besar bermielin. Serabut–serabut saraf ini melekat
pada serabut serabut otot rangka dalam hubungan saraf otot (neuromuscular
junction) yang terletak di pertengahan otot. Ketika potensial aksi sampai
pada neuromuscular junction, terjadi depolarisasi dari membran saraf,
menyebabkan dilepaskan Acethylcholin, kemudian akan terikat pada motor
end plate membrane, menyebabkan terjadinya pelepasan ion kalsium yang
menyebabkan terjadinya ikatan Actin – Myosin yang akhirnya
menyebabkan kontraksi otot. Oleh karena itu potensial aksi menyebar dari
tengah serabut ke arah kedua ujungnya, sehingga kontraksi hampir
bersamaan terjadi di seluruh sarkomer otot.

3. Klasifikasi
Saat ini, ada beberapa versi pengklasifikasian SE sebagai berikut
(Treiman):13
1. Generalized Convulsive SE
Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya. Generalized mengacu
pada aktivitas listrik kortikal yang berlebihan, sedangkan convulsive
mengacu kepada aktivitas motorik suatu kejang.
2. Subtle SE
Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang bertahan saat tidak ada
respons motorik. Terminologi ini dapat membingungkan, karena subtle SE
seperti tipe NCSE (Non-convulsive Status Epilepticus). Walaupun secara
definisi subtle SE merupakan nonconvulsive, namun harus dibedakan dari
NCSE lain. Subtle SE merupakan keadaan berbahaya, sulit diobati, dan
mempunyai prognosis yang buruk.
3. Nonconvulsive SE
NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan complex
partial SE. Perbedaan 2 tipe ini sangat penting dalam tatalaksana, etiologi,
dan prognosis; focal motor SE mempunyai prognosis lebih buruk.
4. Simple Partial SE
Secara definisi, simple partial SE terdiri dari kejang yang terlokalisasi pada
area korteks serebri dan tidak menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda
dengan convulsive SE, simple partial SE tidak dihubungkan dengan
mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Secara tradisional, SE dapat diklasifikasikan menjadi convulsive dan
nonconvulsive, namun istilah ini dapat tidak tepat. Skema baru klasifikasi ILAE
(International League Against Epilepsy) telah menolak penggunaan istilah
nonconvulsive, karena dapat merupakan suatu keadaan yang beragam seperti
kejang fokal pada limbik SE ataupun generalized seperti absence SE. Di
samping itu, keadaan convulsive, khususnya kejang mioklonik, dapat terlihat
pada non-convulsive SE, misalnya kejang di kelopak mata atau perioral. Skema
ILAE 2001 mendefinisikan SE sebagai aktivitas kejang yang terus-menerus dan
mengklasifikasikan SE menjadi dua kategori, yaitu generalized dan focal SE.
Laporan ILAE Core Group (2006) mengklasifikasikan bermacam-macam tipe
SE (Tabel 1), serta berusaha menghindari istilah generalized dan focal.14

4. Epidemiologi
Insidens SE di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu setiap
tahun, sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda dan 86 per 100.000 untuk
usia lanjut. Dua penelitian restropektif di Jerman mendapatkan insidens 17,1 per
100.000 per tahun. Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari) pada penelitian
Richmond berkisar 22%. Kematian pada anak hanya 3%, sedangkan pada
dewasa 26%. Populasi yang lebih tua mempunyai mortalitas hingga 38%.
Mortalitas tergantung dari durasi kejang, usia onset kejang, dan etiologi. Pasien
stroke dan anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi. Sedangkan pasien
dengan etiologi penghentian alkohol atau kadar obat antiepilepsi dalam darah
yang rendah, mempunyai mortalitas relatif rendah.15

5. Etiologi
SE sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem saraf
pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat
antiepilepsi dalam darah yang rendah. Etiologi tidak jelas pada sekitar 20%
kasus.
Secara umum etiologi status epileptikus dibagi menjadi
1. Simtomatis: penyebab diketahui
a. Akut: stroke, intoksikasi, malaria, ensefalitis, infeksi
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumya: post trauma, post
ensefalitis, post stroke
c. Kelainan neurologi progresif seperti tumor orak, penyakit
neurodegeneratif, dll
2. Idiopatik / kriptogenis : penyebab tidak dapat diketahui
Gangguan serebrovaskuler merupakan penyebab SE tersering di negara
maju, sedangkan di negara berkembang penyebab tersering karena infeksi
susunan saraf pusat. Etiologi SE sangat penting sebagai prediktor mortalitas
dan morbiditas.16

6. Patofisiologi
SE tonik-klonik mempunyai 2 fase sebagai berikut:17
1. Fase 1: Kompensasi
Selama fase ini, metabolisme serebral meningkat, tetapi mekanisme
fisiologis cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik, dan jaringan otak
terlindungi dari hipoksia atau kerusakan metabolisme. Perubahan fisiologis
utama terkait dengan meningkatnya aliran darah dan metabolisme otak,
aktivitas otonom, dan perubahan kardiovaskuler.
2. Fase 2: Dekompensasi
Selama fase ini, tuntutan metabolik serebral sangat meningkat dan tidak
dapat sepenuhnya tercukupi, sehingga menyebabkan hipoksia dan
perubahan metabolik sistemik. Perubahan autonom tetap berlangsung dan
fungsi kardiorespirasi dapat gagal mempertahankan homeostasis.

Gambar 5. Perubahan sistemik selama SE tonik-klonik17

7. Manifestasi Klinis
SE dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistemik hasil peningkatan
kebutuhan metabolik akibat kejang berulang dan perubahan autonom termasuk
takikardi, aritmia, hipotensi, dilatasi pupil, dan hipertermia. Perubahan sistemik
termasuk hipoksia, hiperkapnia, hipoglikemia, asidosis metabolik, dan
gangguan elektrolit memerlukan intervensi medis. Kehilangan autoregulasi
serebral dan kerusakan neuron dimulai setelah 30 menit aktivitas kejang yang
terus menerus.16

8. Diagnosis 6,12
1. Anamnesis
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut:
a. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?
Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab
kejang. Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab
sekunder gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan
malformasi kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada
usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul
serangan kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan
patologis di otak seperti stroke atau tumor otak dsb.
b. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak
pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala
peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul
disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila muncul sebelum
serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian “
aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak.
Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu”
dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang
mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan
penglihatan sementara mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi
lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak didahului
dengan “aura” hal ini disebabkan terdapat gangguan pada kedua
hemisfer , tetapi jika “aura” dilaporkan oleh pasien sebelum serangan
kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.
c. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien
bukan dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik
tentu pasien tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu
wawancara dilakukan dengan saksi mata yang mengetahui serangan
kejang berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi?
Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik
yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama
serangan kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada
serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan “automatism” pada satu
sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah
lidah tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang
berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan
mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari
lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau
gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat
menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan
penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai
dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan
kejang parsial kompleks.
d. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung?
Periode sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan
istilah “post ictal period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum
tonik klonik pasien lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran
yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami
serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah
serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan
adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan
kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan.
Pada “Absens“ khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan
kejang.
e. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan
kejang tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada
waktu terjaga dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat
terjadi setiap waktu, sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya
muncul pada waktu malam hari.
f. Apakah ada faktor pencetus? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh
karena kurang tidur, cahaya yang berkedip, menstruasi, faktor makan
dan minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum
obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara
tertentu, “drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan
mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun
keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan kejang.
g. Bagaimana frekwensi serangan kejang? Informasi ini dapat membantu
untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat
obat-obat anti kejang.
h. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang?
Pertanyaan ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah
mendapat obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah
obat tersebut yang sedang digunakan spesifik bermanfaat?
i. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan
menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan
menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara lengkap.
j. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan
kejang? Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka
ditubuh akibat serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi
tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka
ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin ada “aura“ , sehingga
dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk
mengurangi bahaya terjadinya luka.
k. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat?
Dengan mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat
darurat dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu
terjadi yang mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan
pasien, ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan
penyakit lain yang menyertai.
Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu ditanyakan
kepada pasien maupun saksi:
a. Family history
b. Past history
c. Systemic history
d. Alcoholic history
e. Drug history
f. Focal neurological symptoms and signs
2. Pemeriksaan Fisik dan Neurologi
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada
pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher
untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular
sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh
karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi
penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan
neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis, fungsi
motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti
hemiparese, distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema
mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area
otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh
karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin,
lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang
terjadi ”Dysmorphism“ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan
kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin
memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral
automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis
ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus
kontralateral dilobus temporalis.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam mengklasifikasikan tipe
epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama pemriksaan
EEG rutin. Namun kejang tetap dapat memberikan konfirmasi tentang
kehadiran aktifitas listrik yang abnormal, informasi tentang tipe gangguan
kejang, dan lokasi spesifik kejang fokal. Pada pemeriksaan EEG rutin, tidur
dan bangun, hanya terdapat 50% dari seluruh pasien epilepsi yang akan
terdeteksi dengan hasil yang abnormal. EEG sebenarnya bukan merupakan
tes untuk menegakkan diagnosa epilepsi secara langsung. EEG hanya
membantu dalam penegakan diagnosa dan membantu pembedaan antara
kejang umum dan kejang fokal. Tetapi yang harus diingat:
a. 10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal yang
ringan dan non spesifik seperti gelombang lambat di salah satu atau
kedua lobus temporal-menurut sumber lain terdapat 2% populasi yang
tidak pernah mengeluh kejang memberikan gambaran abnormal pada
EEG;
b. 30% pasien dengan epilepsi akan memiliki gambaran EEG yang normal
pada masa interval kejang berkurang menjadi 20% jika EEG
dimasukkan pada periode tidur.
Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif
palsu maupun negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam
menginterpretasinya. Perekaman EEG yang dilanjutkan pada pasien dengan
aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu dalam penegakan
diagnosis dengan kasus yang sangat sulit dengan serangan yang sering,
karena memperlihatkan gambaran selama serangan kejang terjadi. Namun
dengan metode ini pun masih terdapat kemungkinan negatif palsu, dengan
10% kejang fokal yang timbul di dalam sebuah lipatan korteks serebri dan
yang gagal memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan EEG.
Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan, adalah
bagian yang penting dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di beberapa kasus
epilepsi tipe yang tidak menentu. Mungkin tidak begitu penting pada pasien
kejang umum yang telah dikonfirmasi dengan EEG. Pemeriksaan lainnya
seperti glukosa, kalsium, dan ECG jarang memberikan informasi yang
dibutuhkan.
Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan pemeriksaan di
atas, memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala klinis secara
seksama untuk menegakkan diagnosa dengan tetap memperhatikan hasil
dari pemeriksaan EEG.

g. Tatalaksana
Penatalaksanaan Umum
Prinsip penatalaksanaan SE adalah menghentikan aktivitas kejang baik
klinis maupun elektroensefalografik (EEG). Penatalaksanaan SE meliputi
penggunaan obat intravena yang poten, sehingga dapat menimbulkan efek
samping yang serius. Oleh karena itu, langkah awal adalah memastikan bahwa
pasien sedang mengalami SE. Kejang tunggal yang pulih tidak membutuhkan
tatalaksana, namun jika diagnosis SE ditegakkan harus ditatalaksana secepat
mungkin.11

Gambar 6. Algoritma penatalaksanaan status epileptikus17


Gambar 7. Algoritma penatalaksanaan status epileptikus pada anak17

Penilaian awal jalan napas dan oksigenasi sangat penting. Jika jalan napas
telah bebas, intubasi tidak harus segera dilakukan, tekanan darah dan nadi harus
diobservasi. Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari tanda lesi fokal
intrakranial.11
Langkah selanjutnya mendapatkan akses intravena, pengambilan sampel
darah untuk penilaian serum elektrolit, ureum, glukosa, kadar obat antiepilepsi
dalam darah, skrining toksisitas obat, dan hitung darah lengkap. Infus cairan
isotonik harus sudah diberikan. Hipoglikemia merupakan pencetus status
epileptikus yang reversibel, glukosa 50 ml 50% dapat diberikan jika diduga
suatu hipoglikemia. Tiamin dapat diberikan untuk mencegah ensefalopati
Wernicke. 11
Setelah pemberian oksigen, kadar gas darah seharusnya diukur untuk
memastikan oksigenasi sudah adekuat. Asidosis, hiperpireksia, dan hipertensi
tidak perlu ditangani, karena merupakan keadaan umum pada tahap awal SE
dan akan membaik setelah penatalaksanaan umum dilakukan. 11
Pencitraan CT scan direkomendasikan setelah stabilisasi jalan napas dan
sirkulasi. Jika hasil pencitraan negatif, pungsi lumbal dapat dipertimbangkan
untuk menyingkirkan etiologi infeksi. 11
Continuous EEG (cEEG) sangat berguna pada penatalaksanaan SE di
ruang intensive care unit (ICU), dilakukan dalam satu jam sejak onset jika
kejang masih berlanjut. Ini bermanfaat untuk mempertahankan dosis obat
antiepilepsi selama titrasi dan mendeteksi berulangnya kejang. Indikasi
penggunaan cEEG pada SE adalah kejang klinis yang masih berlangsung atau
SE yang tidak pulih dalam 10 menit, koma, postcardiac arrest, dugaan
nonconvulsive SE pada pasien dengan perubahan kesadaran. Durasi cEEG
seharusnya paling sedikit dalam 48 jam. 11

Terapi obat-obatan
Sampai saat ini belum ada konsensus baku penatalaksanaan SE berkaitan
dengan pemilihan obat dan dosis. Tidak ada obat yang ideal untuk tatalaksana
SE. Banyak penulis setuju bahwa lorazepam (0,1 mg/kgBB) atau diazepam
(0,15 mg/kgBB) dapat diberikan pada tahap awal, disusul fenitoin (15-20 mg/
kgBB) atau fosfenitoin (18-20 mg/kgBB). Jika benzodiazepin dan fenitoin
gagal, fenobarbital dapat diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB, namun harus
mendapatkan perhatian khusus karena dapat menyebabkan depresi pernapasan.
Jika kejang tetap berlanjut, pertimbangkan pemberian anestesi umum, dapat
digunakan agen seperti midazolam, propofol, atau pentobarbital.12
1. Benzodiazepin
a. Diazepam
Diazepam merupakan obat pilihan pertama (level evidence A pada
banyak penelitian). Obat memasuki otak secara cepat, setelah 15-20
menit akan terdistribusi ke tubuh. Walaupun terdistribusi cepat,
eliminasi waktu paruh mendekati 24 jam. Sangat berpotensi sedatif jika
terakumulasi dalam tubuh pada pemberian berulang. Diazepam dengan
dosis 5-10 mg intravena dapat menghentikan kejang pada sekitar 75%
kasus. Diazepam dapat diberikan secara intramuskuler atau rektal. Efek
samping termasuk depresi pernapasan, hipotensi, sedasi, iritasi jaringan
lokal. Sangat berpotensi hipotensi dan depresi napas jika diberikan
bersamaan obat antiepilepsi lain, khususnya barbiturat. Walaupun
demikian, diazepam masih merupakan obat penting dalam manajeman
SE karena efeknya yang cepat dan berspektrum luas.
b. Lorazepam
Lorazepam merupakan pilihan golongan benzodiazepin untuk
menajemen SE. Lorazepam berbeda dengan diazepam dalam beberapa
hal. Obat ini kurang larut dalam lemak dibandingkan diazepam dengan
waktu paruh dua hingga tiga jam dibandingkan diazepam yang 15 menit,
sehingga mempunyai durasi lebih lama. Lorazepam juga mengikat
reseptor GABAergic lebih kuat daripada diazepam, sehingga durasi
aksinya lebih lama. Efek antikonvulsan lorazepam berlangsung 6-12 jam
pada rentang dosis 4-8 mg. Agen ini berspektrum luas dan berhasil
menghentikan kejang pada 75-80% kasus. Efek sampingnya sangat
identik dengan diazepam. Oleh karena itu, lorazepam juga merupakan
pilihan untuk manjemen SE.
c. Midazolam
Midazolam merupakan golongan benzodiazepin yang bereaksi cepat,
penetrasi cepat melewati sawar darah otak, dan durasi yang singkat.
Midazolam dapat digunakan sebagai agen alternatif untuk SE refrakter.
Walaupun midazolam jarang merupakan pilihan pertama untuk kejang
akut di Amerika Serikat, obat ini sangat umum digunakan di Eropa.
2. Agen Antikonvulsan
a. Fenitoin
Fenitoin merupakan salah satu obat yang efektif mengobati kejang akut
dan SE. Disamping itu, obat ini sangat efektif pada manajemen epilepsi
kronik, khususnya pada kejang umum sekunder dan kejang parsial.
Keuntungan utama fenitoin adalah efek sedasinya yang minim. Namun,
sejumlah efek samping serius dapat muncul seperti aritmia dan
hipotensi, khususnya pada pasien di atas usia 40 tahun. Efek tersebut
sangat dihubungkan dengan pemberian obat yang terlalu cepat. Di
samping itu, iritasi lokal, flebitis, dan pusing dapat muncul pada
pemberian intravena. Fenitoin sebaiknya tidak dicampur dengan
dekstrosa 5%, melainkan salin normal untuk menghindari pembentukan
kristal.
b. Fosfenitoin
Fosfenitoin adalah prodrug dari fenitoin yang larut dalam air yang akan
dikonversi menjadi fenitoin setelah diberikan secara intravena. Seperti
fenitoin, fosfenitoin digunakan dalam tatalaksana kejang akut tonik-
klonik umum atau parsial. Fosfenitoin dikonversi menjadi fenitoin
dalam waktu 8 sampai 15 menit. Dimetabolisme oleh hati dan
mempunyai waktu paruh 14 jam. Karena 1,5 mg fosfenitoin ekuivalen
dengan 1 mg fenitoin, maka dosis, konsentrasi, dan kecepatan infus
intravena digambarkan sebagai phenytoin equivalent (PE). Dosis awal
15 sampai 20 mg PE per kgBB, dan diberikan dengan kecepatan 150 mg
PE per menit, kecepatan pemberian infus tiga kali lebih cepat dari
fenitoin intravena. Fosfenitoin lebih disukai, karena bekerja lebih cepat
dan iritasi vena yang lebih minimal (menghindari risiko purple-glove
syndrome yang terjadi pada fenitoin). Efek samping dari fosfenitoin
termasuk parestesia dan pruritus, namun muncul jika diberikan dalam
pemberian yang terlalu cepat. Pemberian intravena dihubungkan dengan
hipotensi, sehingga monitoring jantung dan tekanan darah yang ketat
dilakukan. Walaupun fosfenitoin lebih baik daripada fenitoin, namun
kelemahannya adalah harga yang mahal dan tidak terdapat di semua
rumah sakit.
3. Barbiturat
a. Fenobarbital
Fenobarbital digunakan setelah benzodiazepin atau fenitoin gagal
mengontrol SE. Loading dose 15 sampai 20 mg per kgBB. Karena
fenobarbital dosis tinggi bersifat sedatif, proteksi jalan napas sangat
penting, dan risiko aspirasi merupakan perhatian khusus. Fenobarbital
intravena juga dihubungkan dengan hipotensi sistemik. Jika dilakukan
pemberian intramuskuler, maka dilakukan pada otot besar, seperti
gluteus maximus. Defisit neurolgis permanen dapat timbul jika
diinjeksikan berdekatan dengan saraf tepi. Saat ini, untuk penanganan
SE refrakter lebih sering digunakan agen lain (midazolam, propofol,
pentobarbital) daripada fenobarbital.

b. Pentobarbital
Merupakan barbiturat kerja singkat yang bersifat sedatif, hipnotif, dan
besifat antikonvulsan. Digunakan hanya untuk SE refrakter, jika agen
lain gagal untuk menghentikan kejang. Pasien membutuhkan intubasi
dan dukungan ventilasi. Dibandingkan fenobarbital, pentobarbital
mempunyai penetrasi yang lebih cepat dan waktu paruh yang lebih
singkat, sehingga dapat sadar lebih cepat dari koma ketika penyapihan
(weaning). Efektivitas pentobarbital lebih tinggi daripada propofol
dalam mengakhiri SE refrakter. Suatu studi mendapatkan tingkat
keberhasilan pentobarbital yang tinggi (92% dengan perbandingan 80%
untuk midazolam dan 73% untuk propofol). Namun demikian, sangat
dihubungkan dengan tingginya kejadian hipotensi dibandingkan
midazolam dan propofol (77% vs 42% dan 30%).
4. Anestesi Umum
Salah satu obat-obatan anestesi yang sering digunakan untuk manajemen SE
adalah propofol Propofol merupakan suatu senyawa fenolik yang tidak
berhubungan dengan obat anti-konvulsan lain. Propofol sangat larut dalam
lemak, sehingga dapat bereaksi dengan cepat, mempunyai sifat anestesi jika
diberikan secara intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB, sangat efektif dan
nontoksik. Beberapa publikasi melaporkan penggunaan infus jangka
panjang propofol dapat diterapkan pada SE. Propofol dapat menyebabkan
depresi napas dan depresi serebral, sehingga membutuhkan intubasi dan
ventilasi. Hipotensi mungkin membutuhkan penatalaksanaan segera.
Penggunaan jangka panjang (atau dosis tinggi >5 mg/kg/jam dalam 48 jam)
dapat menyebabkan asidosis, aritmia jantung, dan rabdomiolisis (propofol
infusion syndrome) yang fatal, khususnya pada anak usia muda, sehingga
propofol sebaiknya tidak digunakan digunakan pada kelompok ini.
Pada pasien yang ditatalaksana dengan infus kontinu obat antiepilepsi
harus diteruskan 12 sampai 24 jam setelah kejang berhenti. Jika selama periode
tapering off terdapat kejang, maka pengobatan dengan infus kontinu harus
diperpanjang dengan memperhatikan adanya kejang baik secara klinis maupun
EEG. Jika tidak ada kejang, maka tapering off dapat diteruskan.11

Tabel 2. Dosis obat lini pertama, kedua dan ketiga dalam penanganan status
epileptikus18
BAB III
PENUTUP

Kondisi tidak sadar dan koma merupakan masalah umum dalam kedokteran.
Penurunan kesadaran merupakan kondisi mental dan perilaku dari menurunnya
pemahaman, rasionalitas, dan kapasitas motivasi. Evaluasi cepat dan penatalaksanaan
kegawatdaruratan perlu dilakukan secara bersamaan dan sediini mungkin untuk
mengurangi mortalitas dan morbiditas.
Status epileptikus juga merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan neurologis
dengan morbiditas dan mortalitas yang bergantung pada durasi kejang. Terapi status
epileptikus yang tepat dan cepat akan mengurangi mortalitas dan morbiditas. Pedoman
saat ini merekomendasikan penggunaan benzodiazepin sebagai terapi lini pertama status
epileptikus, fosphenytoin, asam valproat dan levetiracetam sebagai lini kedua serta agen
anastesi sebagai pengobatan lini ketiga.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harris S. Penatalaksanaan Pada Kesadaran Menurun dalam Updates in


Neuroemergencies. Jakarta: Penerbit FKUI; 2004. Hal.1-7
2. Dham BS, Hunter K, Rincon F. The Epidemiology of Status Epilepticus in the
United States. Neurocrit Care. 2014 Jun;20(3):476–83.
3. Adams RD, Victor M, Ropper AH.Principles of Neurology. 10th edition. New
York: McGraw-Hill;2014
4. Ahmed Z, Spencer S.S (2004): An Approach to the Evaluation of a Patient for
Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.
5. Posner JB, Schiff ND, Saper CB, Plum F, Plum and Posner Diagnosis of Stupor
and Coma fourth edition, Oxford University Press, Oxford, 2007; 38-42
6. Harsono. 2005. Koma dalam Buku Ajar Neurologi. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
7. Plum, F. Posner, JB. Saper, CB. Schiff, ND. Plum and Posner’s Diagnosis of
Stupor and Coma. Oxford University Press. New York.2007. Hal. 5-9.
8. Kenneth W. Lindsay, Ian Bone. Neurology and neurology illustrated. 3rd edition.
London: Churchill Livingstone; 1997
9. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Clinical Neurology. 9th ed. New York:
McGraw Hill Education; 2015.
10. Rilianto B. Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus. CDK-233. 10(42); 2015.
11. Pokdi Epilepsi Perdossi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. 5th ed. Kusumastuti K,
Gunadharma S, Kustiowati E, editors. Surabaya: Airlangga University Press; 2014.
12. Priguna Sidharta, M.D., Ph. D. Neurologi Klinik Dalam Praktek Umum. Hal 320 -
321, Jakarta : PT Dian Rakyat, 2008.
13. Roth Jl. Status epilepticus [Internet]. 2014 Apr 28 [cited 2014 Aug 1]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/1164462-overview
14. Panayiotopolus CP. Status epilepticus. A clinical guide to epileptic syndrome and
their treatment. Springer; 2010: 65-91.
15. Chen JWY, Wasterlain CG. Status epilepticus: Pathophysiology and managemenet
in adults. Lancet Neurology; 6: 246-56.
16. Lowenstein DH. Current concepts: Status epilepticus. N Engl J Med. 1998;
338(14): 970.
17. Glauser T, Shinnar S, Gloss D, Alldredge B, Arya R, Bainbridge J, et al. Evidence-
Based Guideline: Treatment of Convulsive Status Epilepticus in Children and
Adults: Report of the Guideline Committee of the American Epilepsy Society.
Epilepsy Curr. 2016 Jan;16(1):48–61.
18. Hantus S. Epilepsy Emergencies: Contin Lifelong Learn Neurol. 2016 Feb;22(1,
Epilepsy):173–90.

Anda mungkin juga menyukai