STROKE HEMORAGIK
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT sebab karena
rahmatNya, laporan kasus yang berjudul “STROKE HEMORAGIK” ini dapat
terselesaikan. Laporan kasus ini dibuat agar penulis dan teman–teman sesama
dokter dapat memahami tentang gejala klinis yang sering muncul ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Alfindra Tamin, Sp.S selaku
pembimbing dalam laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh
dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik
kedepannya. Akhir kata, semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi kita semua dan
dapat menambah informasi serta pengetahuan kita.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
Sebanyak 80% kasus stroke hemoragik spontan dimana kerusakan diakibatkan
pecahnya pembuluh darah arteri akibat hipertensi kronis atau angiopati amiloid.4
Stroke hemoragik memiliki faktor risiko penyebab yang hamper sama
dengan keadaan stroke iskemik, namun penanganannya sangat berbeda. Stroke
hemoragik didominasi oleh gejala peningkatan TIK yang membutuhkan
penanganan segera sebagai tindakan life saving. Oleh karena itu, penegakan
diagnosis patologis stroke sangat penting untuk memberikan tatalaksana yang
tepat, sehingga didapatkan keluaran yang lebih baik.3
5
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. K
Usia : 47 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen
Alamat : Jaya Sekernan
Pekerjaan : IRT
MRS : 02 Agustus 2022 (21.00 WIB)
6
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat keluhan serupa tidak ada
- Riwayat hipertensi (+). Sejak ±1 tahun yang lalu, tidak terkontrol,
tidak rutin minum obat, keluarga pasien lupa nama obat hipertensi
yang dikonsumsi pasien sebelumnya
- Riwayat DM disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung disangkal
- Riwayat trauma disangkal
- Riwayat kolesterol tinggi disangkal
7
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat, isokor, ± 3 mm/± 3 mm, refleks cahaya
(+/+)
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa kering (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Dada : Simetris kanan=kiri
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba, di ICS V linea midclavicula
sinistra
Perkusi :
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, gallop (-), murmur (-)
Paru :
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), fremitus taktil sama
kanan dan kiri
Perkusi : Fremitus vokal sama kiri dan kanan, Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Cembung, distensi (-), massa (-).
Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien
tidak teraba
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas :
Superior :Akral hangat, edema (-)/(-), CRT < 2 detik
8
Inferior :Akral hangat, edema (-)/(-), CRT < 2 detik
3. Status Neurologi
1. Kesadaran kualitatif : compos mentis
2. Kesadaran kuantitatif (GCS) : E4V5M6
3. Kepala
a. Bentuk : Normocephal
b. Simetri : (+)
c. Pulsasi : (-)
4. Tanda Rangsang meningeal
a. Kaku kuduk :-
b. Brudzinsky 1 :-
c. Brudzinsky 2 :-
d. Brudzinsky 3 : -|-
e. Brudzinsky 4 : -|-
f. Laseque : -/-
g. Kernig : -/-
a. Nervus kranialis
Nervus Kranialis Kanan Kiri
N I (Olfaktorius)
Subjektif Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Objektif (dengan bahan) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N II (Optikus)
Tajam penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapangan pandang Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Melihat warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N III (Okulomotorius)
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Pergerakan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal
9
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil :
bentuk Bulat, isokor, 3 mm Bulat, isokor, 3 mm
reflex cahaya + +
reflex konvergensi + +
N IV (Trochlearis)
Pergerakan bola mata ke Dalam batas normal Dalam batas normal
bawah-dalam
Diplopia Tidak ada Tidak ada
N V (Trigeminus)
Motorik
Otot Masseter Dalam batas normal Dalam batas normal
Otot Temporal Dalam batas normal Dalam batas normal
Otot Pterygoideus Dalam batas normal Dalam batas normal
Sensorik
Oftalmikus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Maksila Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Mandibula Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N VI (Abdusen)
Pergerakan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal
(lateral)
Diplopia Tidak ada Tidak ada
N VII (Fasialis)
Mengerutkan dahi Simetris Simetris
Menutup mata Normal Normal
Memperlihatkan gigi Tertinggal Normal
Senyum Tertinggal Normal
Sensasi lidah 2/3 depan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
10
N VIII (Vestibularis)
Suara berbisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Detik arloji Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rinne test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Weber test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Swabach test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
N IX (Glossofaringeus)
Sensasi lidah 1/3 blkg Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks muntah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N X (Vagus)
Arkus faring Tidak dilakukan
Menelan Sulit menelan
Refleks muntah Tidak dilakukan
N XI (Assesorius)
Menoleh ke kanan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Menoleh ke kiri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Mengangkat bahu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N XII (Hipoglosus)
Kedudukan lidah Deviasi ke kanan
dijulurkan
Atropi papil Tidak dilakukan
Disartria +
Tremor lidah Tidak dilakukan
11
Sensibilitas
Raba normal normal
Nyeri normal normal
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks Fisiologis
Biseps + +
Triseps + +
Refleks Patologis
Hoffman-Tromner - -
Sensibilitas
Raba normal normal
Nyeri normal normal
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks Fisiologis
Patella ++ +
Achilles + +
Refleks Patologis
Babinsky - -
Oppenheim - -
Chaddock - -
Schaefer - -
12
Rosolimo - -
c.Gerakan Abnormal
Tremor : (-)
Atetosis : (-)
Miokloni : (-)
Khorea : (-)
Rigiditas : (-)
13
2. Radiologi (02 Agustus 2022)
CT-SCAN kepala non kontras
14
Hasil :
- Tampak lesi hiperdens pada lobus parietotemporal kiri disertai
edema serebri
- Differensiasi substansia alba dan grisea tampak normal
- Sulkus kortikalis dan fissura sylvii regio lesi menyempit
- Ventrikel kiri-kanan, III dan IV tampak normal
- Cisterna tampak normal
- Tak tampak midline shifting
- Batang otak dan cerebellum baik
Kesan :
ICH Parietotemporal kiri
V. DIAGNOSA
Diagnosa Klinis : Hemiparese dextra + paralisis N. VII dan XII tipe
sentral dextra e.c Stroke Hemoragik
Diagnosa Topis : Hemisfer cerebri sinistra
Diagnosa Etiologi : Vaskular
Diagnosa sekunder : Hipertensi tak terkontrol
Diagnosa banding : Stroke non hemoragik
AVM
SOL
15
VI. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa :
a. Pemantuan kesadaran, Tanda vital dan gejala defisit neurologis
b. Bedrest
c. Menjaga tekanan intrakranial : Elevasi kepala 30 derajat, memposisikan
pasien dengan menghindari penekanan vena jugular, menghindari
hipertermia.
d. Edukasi keluarga :
1. Penjelasan mengenai faktor resiko dan pencegahan stroke berulang
2. Edukasi untuk mencegah stroke berulang seperti :
Menjaga tekanan darah terkontrol : kelola stres, olahraga, menjaga
berat badan yang ideal, membatasi konsumsi natrium dan alkohol,
mengkonsumsi obat antihipertensi
Mengurangi konsumsi makanan berlemak untuk mencegah pasien
memiliki kolesterol yang tinggi
Menjaga kadar gula darah : mengurangi mengkonsumsi makanan dan
minuman yang manis
e. Kebutuhan nutrisi : 20-25kkal/kg/hari. Berat badan pasien ±55 kg=
1375kkal/hari. dibagi menjadi karbohidrat (50-60%)= 825, lemak (25-
30%)=412,5, dan protein (10-20%)= 275
Medikamentosa :
- O2 NC 2-4 LPM
- IVFD RL 20 tpm
- Manitol infus 4 x 125 cc
- Inj. Citicoline IV 4 x 500 mg
- Inj. Mecobalamin IV 2 x 1 amp
- Inj. As. Tranexamat IV3 x 250 mg
- Inj. Fenitoin IV 2 x 100 mg pelan
16
- PO Aspilet tab 1 x 80 mg (hari pertama)
VII. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad malam
17
kepala kiri - N: 63 x/m amp.
- RR: 20 x/m Inj. As. Tranexamat IV
- T: 36,4˚C 3 x 250 mg
Kekuatan Inj. Fenitoin IV 2 x
4 5 100 mg
4 5 Konsul Sp.BS
18
- N: 66 x/m amp.
- RR: 20 x/m Inj. As. Tranexamat IV
- T: 36,3˚C 3 x 250 mg
Kekuatan Inj. Fenitoin IV 2 x
4 5 100 mg
4 5 Konsul Sp.BS
06/08/22 • Lemah - KU: Tampak Hemiparese Elevasi kepala 30
anggota sakit sedang dextra + derajat
gerak - Kesadaran: paralisis N. VII IVFD RL 20 tpm
kanan Compos mentis dan XII dextra Infus manitol 1 x 125
• Nyeri - GCS : 15 (E4 tipe sentral e.c cc
kepala kiri V5M6) SH Inj. Citicoline IV 4 x
- TD:143/97 500 mg
mmHg Inj. Mecobalamin 2 x 1
- N: 63 x/m amp.
- RR: 20 x/m Inj. As. Tranexamat IV
- T: 36,5˚C 3 x 250 mg
Kekuatan
Inj. Fenitoin IV 2 x
4 5
100 mg
4 5
Konsul Sp.BS
07/08/22 • Lemah - KU: Tampak Hemiparese Elevasi kepala 30
anggota sakit sedang dextra + derajat
gerak - Kesadaran: paralisis N. VII IVFD RL 20 tpm
kanan Compos mentis dan XII dextra Infus manitol 1 x 125
• Nyeri - GCS : 15 (E4 tipe sentral e.c cc
kepala kiri V5M6) SH Inj. Citicoline IV 4 x
- TD:149/93 500 mg
mmHg Inj. Mecobalamin 2 x 1
- N: 64 x/m amp.
- RR: 20 x/m Inj. As. Tranexamat IV
19
- T: 36,5˚C 3 x 250 mg
Kekuatan Inj. Fenitoin IV 2 x
4 5 100 mg
4 5 Jawaban Sp.BS :
- Observasi dan
terapi konservatif
08/08/22 • Lemah - KU: Tampak Hemiparese Elevasi kepala 30
anggota sakit sedang dextra + derajat
gerak - Kesadaran: paralisis N. VII IVFD RL 20 tpm
kanan Compos mentis dan XII dextra Infus manitol 1 x 125
• Nyeri - GCS : 15 (E4 tipe sentral e.c cc
kepala kiri V5M6) SH Inj. Citicoline IV 4 x
- TD:127/83 500 mg
mmHg Inj. Mecobalamin 2 x 1
- N: 68 x/m amp.
- RR: 20 x/m Inj. As. Tranexamat IV
- T: 36,5˚C 3 x 250 mg
Kekuatan
Inj. Fenitoin IV 2 x
4 5
100 mg
4 5
Rencana pulang
09/08/22 Pasien
pulang
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Stroke Hemoragik
A. Definisi
Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi apabila lesi vaskular
intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang
subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak. 5
20
Stroke hemoragik terjadi bila pembuluh darah di otak pecah atau
mengalami kebocoran, sehingga terjadi perdarahan ke dalam otak. Bagian otak
yang dipengaruhi oleh pendarahan dapat menjadi rusak, dan darah dapat
terakumulasi sehingga memberikan tekanan pada otak. Jumlah perdarahan
menentukan keparahan stroke. 6
B. Epidemiologi
Secara umum, angka kaejadian stroke semakin meningkat. Berdasarkan
data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia terdapat peningkatan prevalensi stroke dari 8,3 (tahun 2007) menjadi
12,2 (tahun 2013) per 1000 penduduk.3
Angka kejadian stroke hemoragik di Asia lebih tinggi dibandingkan di
negara Barat. Hal ini dapat disebabkan tingginya angka kejadian hipertensi pada
populasi Asia. Berdasarkan data Stroke registry di Indonesia, yang di mulai sejak
tahun 2012 sebagai kerjasama antara perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI) dengan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014 didapatkan 5411 kasus
stroke akut dari 18 RS dengan angka kejadian stroke hemoragik sebesar 33%.3
21
sistolik kurang dengan meningkatnya umur, sehingga ia
menjadi kurang kuat, meskipun masih penting dan bisa
diobati, faktor risiko ini pada orang tua.
Jenis Kelamin Infark otak dan stroke terjadi sekitar 30% lebih sering pada
laki-laki berbanding perempuan, perbedaan seks bahkan
lebih tinggi sebelum usia 65.
Riwayat keluarga Terdapat lima kali lipat peningkatan prevalensi stroke
antara kembar monozigotik dibandingkan dengan
pasangan kembar laki-laki dizigotik yang menunjukkan
kecenderungan genetik untuk stroke. Pada 1913 penelitian
kohort kelahiran Swedia menunjukkan tiga kali lipat
peningkatan kejadian stroke pada laki-laki yang ibu
kandungnya meninggal akibat stroke, dibandingkan dengan
laki-laki tanpa riwayat ibu yang mengalami stroke. Riwayat
keluarga juga tampaknya berperan dalam kematian stroke
antara populasi Kaukasia kelas menengah atas di
California.
Diabetes mellitus Setelah faktor risiko stroke yang lain telah dikendalikan,
diabetes meningkatkan risiko stroke tromboemboli sekitar
dua kali lipat hingga tiga kali lipat berbanding orang-orang
tanpa diabetes. Diabetes dapat mempengaruhi individu
untuk mendapat iskemia serebral melalui percepatan
aterosklerosis pembuluh darah yang besar, seperti arteri
koronari, arteri karotid atau dengan, efek lokal pada
mikrosirkulasi serebral.
Penyakit jantung Individu dengan penyakit jantung dari jenis apa pun
memiliki lebih dari dua kali lipat risiko stroke
dibandingkan dengan mereka yang fungsi jantungnya
normal.
22
Indikator kuat kedua dari keberadaan penyakit difus
vaskular aterosklerotik dan potensi sumber emboli dari
thrombi mural karena miocard infarction.
Lainnya :
Berbagai lesi jantung lainnya telah dikaitkan dengan stroke,
seperti prolaps katup mitral, patent foramen ovale, defek
septum atrium, aneurisma septum atrium, dan lesi
aterosklerotik dan trombotik dari ascending aorta.
Merokok Beberapa laporan, termasuk meta-analisis angka studi,
menunjukkan bahwa merokok jelas menyebabkan
peningkatan risiko stroke untuk segala usia dan
kedua jenis kelamin, tingkat risiko berhubungan dengan
jumlah batang rokok yang dihisap, dan penghentian
merokok mengurangi risiko, dengan resiko kembali seperti
bukan perokok dalam masa lima tahun setelah penghentian.
Peningkatan Penigkatan viskositas menyebabkan gejala stroke ketika
hematokrit hematokrit melebihi 55%. Penentu utama viskositas darah
keseluruhan adalah dari isi sel darah merah;
plasma protein, terutamanya fibrinogen, memainkan
peranan penting. Ketika meningkat viskositas hasil dari
polisitemia, hyperfibrinogenemia, atau paraproteinemia,
biasanya menyebabkan gejala umum, seperti sakit kepala,
kelesuan, tinnitus, dan penglihatan kabur. Infark otak fokal
23
dan oklusi vena retina jauh kurang umum, dan dapat
mengikuti disfungsi trombosit akibat trombositosis.
Perdarahan Intraserebral dan subarachnoid kadang-kadang
dapat terjadi.
Penyalahgunaan Obat yang telah berhubungan dengan stroke termasuk
obat methamphetamines, norepinefrin, LSD, heroin, dan kokain.
Amfetamin menyebabkan sebuah vaskulitis nekrosis yang
dapat mengakibatkan pendarahan petechial menyebar, atau
fokus bidang iskemia dan infark. Heroin dapat timbulkan
sebuah hipersensitivitas vaskular menyebabkan alergi.
Perdarahan subarachnoid dan difarction otak telah
dilaporkan setelah penggunaan kokain.
Hiperlipidemia Meskipun tingkat kolesterol tinggi telah jelas berhubungan
dengan penyakit jantung koroner, mereka sehubungan
dengan stroke kurang jelas. Peningkatan kolesterol tidak
muncul untuk menjadi faktor risiko untuk aterosklerosis
karotis, khususnya pada laki-laki di bawah 55 tahun.
Kejadian hiperkolesterolemia menurun dengan
bertambahnya usia. Kolesterol berkaitan dengan perdarahan
intraserebral atau perdarahan subarachnoid. Tidak ada
hubungan yang jelas antara tingkat kolesterol dan infark
lakunar.
Diet Konsumsi alkohol :
Ada peningkatan risiko infark otak, dan perdarahan
subarakhnoid dikaitkan dengan penyalahgunaan alkohol
pada orang dewasa muda. Mekanisme dimana etanol dapat
menghasilkan stroke termasuk efek pada darah tekanan,
platelet, osmolalitas plasma, hematokrit, dan sel-sel darah
merah. Selain itu, alkohol bisa menyebabkan
miokardiopati, aritmia, dan perubahan di darah aliran otak
dan autoregulasi.
24
Kegemukan :
Diukur dengan berat tubuh relatif atau body mass indexs,
obesitas telah secara konsisten meramalkan berikutnya
stroke. Asosiasi dengan stroke dapat dijelaskan sebagian
oleh adanya hipertensi dan diabetes. Sebuah berat relatif
lebih dari 30% di atas rata-rata kontributor independen ke-
atherosklerotik infark otak berikutnya.
Infeksi Infeksi meningeal dapat mengakibatkan infark serebral
melalui pengembangan perubahan inflamasi dalam dinding
pembuluh darah. Sifilis meningovaskular dan
mucormycosis dapat menyebabkan arteritis otak dan infark.
D. Patofisiologi3
Patofisiologi stroke hemoragik umumnya didahului oleh kerusakan
dinding pembuluh darah kecil di otak akibat hipertensi. Penelitian membuktikan
bahwa hipertensi kronik dapat menyebabkan terbentuknya aneurisma pada
pembuluh darah kecil di otak. Proses turbulensi aliran darah mengakibatkan
terbentuknya nekrosis fibrinoid, yaitu nekrosis sel/jaringan dengan akumulasi
matriks fibrin. Terjadi pula herniasi dinding arteriol dan ruptur tunika intima,
sehingga terbentuk mikroaneurisma yang disebut Charcot-Bouchard.
Mikroaneurisma ini dapat pecah seketika saat tekanan darah arteri meningkat
mendadak.
Pada beberapa kasus, pecahnya pembuluh darah tidak didahului oleh
terbentuknya aneurisma, namun semata-mata karena peningkatan tekanan darah
yang mendadak.
Pada kondisi normal, otak mempunyai system autoregu!asi pembuluh
darah serebral untuk mempertahankan aliran darah ke otak. Jika tekanan darah
sistemik meningkat, sistem ini bekerja melakukan vasokonstriksi pembuluh darah
serebral. Sebaliknya, bila tekanan darah sistemik menurun, akan terjadi
vasodilatasi pembuluh darah serebral. Pada kasus hipertensi, tekanan darah
25
meningkat cukup tinggi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya proses hialinisasi pada dinding pembuluh darah,
sehingga pembuluh darah akan kehilangan elastisitasnya. Kondisi ini berbahaya
karena pembuluh darah serebral tidak lagi bisa menyesuaikan diri dengan
fluktuasi tekanan darah sistemik, kenaikan tekanan darah secara mendadak akan
dapat tnenyebabkan pecahnya pembuluh darah.
Darah yang keluar akan terakumulasi dan membentuk bekuan darah
(hematom) di parenkim otak. Volume hematom tersebut akan bertambah,
sehingga memberikan efek desak ruang, menekan parenkim otak, serta
menyebabkan peningkatan TIK. Hal ini akan memperburuk kondisi klinis pasien,
yang umumnya berlangsung dalam 24-48 jam onset, akibat perdarahan yang terus
berlangsung dengan edema disekitarnya, serta efek desak ruang hematom yang
mengganggu metabolisme dan aliran darah.
Pada hematom yang besar, efek desak ruang menyebabkan pergeseran
garis tengah (midline shift) dan herniasi otak yang pada akhirnya mengakibatkan
iskemia dan perdarahan sekunder. Pergeseran tersebut juga dapat menekan sistem
ventrikel otak dan mengakibatkan hidrosefalus sekunder. Kondisi seperti ini
sering terjadi pada kasus strcke hemoragik akibat pecahnya pembuluh darah arteri
serebri posterior dan anterior. Keadaan tersebut akan semakin meningkatkan TIK
dan meningkatkan tekanan vena di sinus-sinus duramater. Sebagai kompensasi
untuk mempertahankan perfusi otak, tekanan arteri juga akan meningkat. Dengan
demikian, akan didapatkan peningkatan tekanan darah sistemik pascastroke.
26
keseimbangan antara TIK, luasnya hematom, efek desak ruang pada jaringan otak,
dan berhentinya perdarahan. TIK dapat berkurang seiring dengan berkurangnya
volume hematom akibat perdarahan yang telah berhenti atau hematom masuk ke
ruang ventrikel. Selain itu, efek desak ruang juga disebabkan oleh edema di
sekitar hematom (perihematomal). Pada beberapa kasus yang mengalami
perburukan setelah kondisi klinis stabil dalam 24-48 jam pertama, di duga
mengalami perluasan edema perihematomal.
Beberapa gejala klinis stroke hemoragik antara lain nyeri kepala,
penurunan kesadaran, muntah, kejang, kaku kuduk, serta gejala lain seperti
aritmia jantung dan edem paru. Nyeri kepala merupakan gejala yang paling sering
dikeluhkan, berkaitan dengan lokasi dan luasnya lesi perdarahan, yaitu pada
stroke hemoragik di daerah lobaris, serebelum, dan lokasi yang berdekatan dengan
struktur permukaan meningen. Pada perdarahan kecil di parenkim otak yang tidak
memiliki serabut nyeri, tidak terdapat nyeri kepala saat fase awal perdarahan.
Namun seiring perluasan hematom yang menyebabkan peningkatan TIK dan efek
desak ruang, keluhan nyeri baru muncul yang biasanya disertai muntah dan
penurunan kesadaran.
Penurunan kesadaran terjadi pada stroke hemoragik yang besar atau
berlokasi di batang otak. Hal ini disebabkan efek desak ruang dan peningkatan
TIK, serta keterlibatan struktur reticulating activating system (RAS) di batang
otak. Muntah juga akibat peningkatan TIK atau kerusakan lokal di ventrikel
keempat, biasanya ada perdarahan sirkulasi posterior. Kejang merupakan gejala
yang dikaitkan dengan lokasi perdarahan. Lokasi yang bersifat epileptogenik
antara lain perdarahan lobar, gray white matter function di korteks serebri dan
putamen.
Gejala lain yang dapat terjadi adalah kaku kuduk, aritmia jantung dan
edema paru. Kaku kuduk dapat terjadi pada perdarahan di talamus, kaudatus dan
serebelum. Aritmia jantung dan edema paru biasanya berhubungan dengan
peningkatan TIK dan pelepasan katekolamin.
F. Penegakan Diagnosis3
27
Penegakan diagnosis stroke dilakukan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik umum dan neurologis, serta pemeriksaan penunjuang. Hal
terpenting adalah menentukan tipe stroke; stroke iskemik atau perdarahan. Hal ini
berkaitan dengan tatalaksana yang sangat berbeda diantara keduanya, sehingga
kesalahan akan mengakibatkan morbiditas bahkan mortalitas.
Dalam anamnesis, hal yang perlu ditanyakan meliputi identitas,
kronologis terjadinya keluhan, faktor risiko pada pasien maupun keluarga dan
kondisi sosial ekonomi pasien. Dari anamnesis seharusnya didapatkan informasi
apakah keluahan terjadi secara tiba-tiba, saat pasien beraktivitas, atau saat pasien
baru bangun tidur. Pada stroke hemoragik, pasien umumnya berada dalam kondisi
sedang beraktivitas atau emosi yang tidak terkontrol. Durasi sejak serangan
hingga dibawa ke pusat kesehatan juga merupakan hal penting yang turut
menentukan prognosis.
Keluhan yang dialami pasien juga dapat menuntun proses penegakan
diagnosis. Pasien dengan keluhan sakit kepala disertaia muntah (tanpa mual) dan
penurunan kesadaran, umumnya mengarahkan kecurigaan kepada stroke
hemoragik dengan peningkatan TIK akibat efek desak ruang. Meskipun demikian,
pada stroke hemoragik dengan volume perdarahan kecil, gejala dapat menyerupai
stroke iskemik tanpa ditemukan tanda-tanda peningkatan TIK. Perlu ditanyakan
juga faktor risiko stroke yang ada pada pasien dan keluarganya, seperti diabetes
mellitus, hipertensi, dislipidemia, obesitas, penyakit jantung, dan pola hidup.
(merokok, alkohol, obat-obatan)
Pemeriksaan fisik dimulai dengan keadaan umum, kesadaran, dan tanda
vital. Pada stroke hemoragik, keadaan umum pasien bisa lebih buruk
dibandingkan dengan kasus stroke iskemik. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan
kepala, mata, telinga, hidung dan tenggorokan (THT), dada (terutama jantung),
abdomen, dan ekstremitas. Pemeriksaan ekstremitas bertujuan terutama untuk
mencari edema tungkai akibat thrombosis vena dalam atau gagal jantung.
Pada pemeriksaan tekanan darah, perlu dibandingkan tekanan darah di
ekstremitas kiri dan kanan, serta bagian tubuh atas dan bawah dengan cara
menghitung rerata tekanan darah arteri (mean arterial blood pressure/ MABP),
28
karena akan mempengaruhi tatalaksana stroke. Pola pernapasan merupakan
merupakan hal penting yang harus diperhatikan, karena dapat menjadi petunjuk
lokasi perdarahan, misalnya : Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik, klaster,
apneuristik, atau ataksik.
Pemeriksaan neurologis awal adakah penilaian tingkat kesadaran dengan
skala koma Glasgow (GCS), yang selanjutnya dipantau secara berkala. Kemudian
diikuti pemeriksaan reflex batang otak meliputi reaksi pupil terhadap cahaya,
reflex kornea, dan reflex okulosefalik. Setelah itu dilakukan pemeriksaan nervus
kranialis. Satu persatu serta motorik untuk menilai trofi, tonus, dan kekuatan otot,
dilanjutkan reflex fisiologis dan reflex patologis. Hasil pemeriksaan motorik
dibandingkan kanan dan kiri, serta atas dan bawah guna menentukan luas dan
lokasi lesi. Selanjutnya pemeriksaan sensorik dan pemeriksaan otonom.
Penggunaan sistem skor dapat bermanfaat bila tidak terdapat fasilitas
pencitraan otak yang dapat membedakan secara jelas patologi penyebab stroke.
Skor stroke siriraj merupakan sistem penskoran yang sering digunakan untuk
membedakan stroke iskemik atau hemoragik.
Sistem penskoran :
(2,5 x kesadaran) + (2 x vomitus) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan diastolik) –
(3 x ateroma) – 12
Interpretasi :
Skor < 1 = Stroke iskemik
Skor > 1 = Stroke hemoragik
Skor -1 s/d 1 = meragukan
29
Ada
1
Tidak ada 0
Nyeri kepala
Ada 1
Tidak ada
0
Ateroma Ada DM, hipertensi, angina atau penyakit pembuluh
1
darah
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita stroke
diantaranya adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan darah, kadar elektrolit
dan kadar serum glukosa.
Pencitraan otak menggunakan CT scan merupakan gold standart dalam
diagnosis stroke hemoragik. CT scan lebih unggul dalam mendeteksi perdarahan
lansung berdasarkan gambaran hiperdensitas di parenkim otak dibandingkan MRI
yang memerlukan perbandingan beberapa sekuens gambar. Selain itu,
pemeriksaan CT scan membutuhkan waktu yang lebih singkat dengan harga yang
lebih ekonomis.
Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan gelombang magnetik
untuk membuat gambaran otak. Gambar yang dihasilkan MRI jauh lebih detail
jika dibandingkan dengan CT scan, tetapi ini bukanlah pemeriksaan garis depan
untuk stroke.
Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) untuk memonitor aktivitas
jantung. Disritmia jantung dan iskemia miokard memiliki kejadian signifikan
dengan stroke.
G. Penatalaksanaan2,3
Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan
morbiditas dan menurunkan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan.
Salah satu upaya yang berperan penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah
30
pengenalan gejala-gejala stroke dan penanganan stroke secara dini yang dimulai
dari penanganan prahospital yang cepat dan tepat.
Terapi umum
1. Stabilisasi jalan napas dan pernapasan
a. Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis, nadi, tekanan
darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada
pasien dengan defisit neurologis yang nyata
b. Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95%
c. Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang
tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami
penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas
2. Stabilisasi Hemodinamik
a. Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena
b. Optimalisasi tekanan darah
c. Pemasangan central venous catheter (CVC) bila diperlukan, untuk
memantau kecukupan cairan serta sebagai sarana memasukkan cairan dan
nutrisi dengan target tekanan 5-12mmHg.
31
3) Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
4) Jaga normovolernia
5) Osmoterapi atas indikasi
Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4 - 6 jam
dengan target ≤ 310 mOsrn/L. Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali
dalam sehari selama pemberian osmoterapi. Agen osmoterapi lain yang
dapat digunakan adalah NaCl 3%.
Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB i.v.
6) Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg).
Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif
5. Tatalaksana Cairan
a. Pada umumnya kebutuhan cairan 30ml/kgBB/hari (parenteral maupun
enteral)
b. Pemberian cairan isotonic seperti NaCl 0,9% untuk menjaga euvolemia.
Tekanan vena sentral dipertahankan antar 5-12mmHg
c. Perhatikan keseimbangan cairan dengan melakukan pengukuran cairan
masuk dan keluar secara ketat.
d. Elektrolit harus selalu diperiksa dan diatasi bila terjadi kekurangan
32
e. Gangguan keseimbangan asam basa harus segera dikoreksi dengan monitor
analisis gas darah.
6. Nutrisi
a. Pemberian nutrisi enteral harus dilakukan sedini mungkin bila tidak terjadi
perdarahan lambung
b. Jika terjadi komplikasi perdarahan lambung, maka pemberian nutrisi enteral
dapat ditunda sampai terjadi perbaikan dan sisa caiaran lambung dalam 2
jam pertama ≤150 cc. evaluasi cairan lambung yang dialirkan dalam 2 jam.
c. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan
diberikan melalui pipa nasogastric.
d. Jika tidak terdapat gangguan pencernaan atau residu lambung ≤150 cc,
maka dapat diberikan nutrisi enteral 30 cc perjam dalam 3 jam pertama. Jika
toleransi baik, berupa tidak terdapatnya residu dalam pipa nasogastric pada
saat jam berikutnya, maka dapat dilanjutkan pemberian makanan enteral.
Pemberian nutrisi enteral selanjutnya disesuaikan dengan target kebutuhan
yang tebagi dalam 6 kali perhari.
e. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori adlaha 20-25 kkal/kg/hari dengan
komposisi :
- Komposisi 50-60% dari total kalori
- Lemak 25-30%
- Protein 10-20%
a. Jika kemungkinan pemakaian pipa nasogastric diperkirakan >6 minggu
pertimbangkan untu percutaneous endoscopic gastrotomy (PEG).
b. Pada keadaan pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, boleh
diberikan secara parenteral.
33
b. Pemberian antibiotic atas indikasi sesuai dengan tes kultur dan sensitivitas
kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola kuman.
c. Pencegahan decubitus dengan mobilisasi terbats dan/atau memakai kasur
antidekubitus,
d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru dengan intermittent
pneumatic compression, tidak direkomendasikan penggunaan compression
stocking.
e. Pencegahan tromboemboli vena pada pasien imobilisasi setelah 1-4 hari
onset, dapat diberikan low molecular weight heparin (LMWH) dosis rendah
subkutan atau unfractionated heparin, setelah terdokumentasi tidak lagi
perdarahan.
f. Antikoagulan sistemik atau pemasangan vena kava filter dapat diindikasikan
pada pasien dengan gejala trombosis vena dalam atau emboli paru.
Pemilihan harus mempertimbangkan beberapa faktor, seperti waktu sejak
onset stroke, stabilitas hematom, penyebab perdarahan, dan kondisi umum
pasien.
34
f. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi
intermiten.
g. Rehabilitasi.
h. Edukasi keluarga.
9. Pengendalian Kejang
a. Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat IV 5-20mg dan diikuti oleh
fenitoin loadinc dose 15-20mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum
50mg/menit
b. Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ruang rawat intensif
(intensive care unit/ICU).
Terapi Khusus
1. Perawatan di Unit Stroke
Perawatan di unit stroke akan menurnkan kematian dan dependesi
dibandingkan dengan perawatan di bangsal biasa. Penderita dengan stroke
hemoragik di supratentorial seharusnya di rawat di unit stroke. Diagnosis dan
2. Koreksi Koagulapati
a. Melakukan pemeriksaan hemostasis antara lain prothrombin time (PT),
activated partial thrombin time (APTT), international normalized ratio
(INR) dan trombosit, serta koreksi secepat mungkin jika didapatkan
kelainan.
b. Pasien dengan defisiensi berat faktor koagulasi atau trombositopenia berat
harus diberikan factor replacement therapy atau trombosit. sebaiknya
mendapat terapi penggantian factor koagulasi atau trombosit.
c. Pasien dengan peningkatan INR karena penggunaan antagonis vitamin K
(VKA), maka VKA harus dihentikan. Diberikan terapi untuk penggantian
faktor pembekuan yang bersifat vitamin K-dependent dan memperbaiki
INR, serta mendapat vitamin K intravena. Prothrombin complex
concentrates (PCC) memiliki efek samping lebih sedikit dan memperbaiki
35
INR lebih cepat dibandingkan Fresh Frozen Plasma (FFP), sehingga lebih
dianjurkan.
3. Tekanan Darah
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin
tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keadaan neurologis.
Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam
24 jam pertama setelah awitan serangan stroke. Berbagai Guideline (AHA/ASA
2007 dan ESO 2009) merekomendasikan penurunan tekanan darah yang tinggi
pada stroke perdarahan akut agar dilakukan secara hati-hati dengan
memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini.
a. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila TDS >200 mmHg
atau Mean Arterial Preassure (MAP) >150 mmHg, tekanan darah
diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara
kontiniu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
b. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala
dan tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan
intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan pemantauan
tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.
c. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan
tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara
hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau
intermitten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP
110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pada studi INTERACT 2010,
penurunan TDS hingga 140 mmHg masih diperbolehkan.
d. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg,
penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup
aman. Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100mmHg.
e. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah
pada penderita stroke perdarahan intraserebral.
36
f. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol
dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena,
digunakan dalam upaya diatas.
g. Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan
peningkatan tekanan intrakranial, meskipun bukan kontraindikasi mutlak.
h. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga
lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target
organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru,
gagal ginjal akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut
adalah 15-25% pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam
pertama.
4. Penatalaksanaan Bedah
Evakuasi rutin hematom dengan pembedahan seharusnya tidak dilakukan.
Tidak didapatkan bukti evakuasi hematom nemperbaiki keluaran dan tidak
didapatkan data mengenai kraniektomi dekompressi memperbaiki keluaran setelah
perdarahan intrakranial. Kraniotomi yang sangat dini dapat disertai peningkatan
risiko perdarahan berulang. Namun demikian, tindakan bedah yang dilakukan
lebih awal (early surgery) dapat bermanfaat pada pasien dengan GCS 9-12. Pada
prinsipnya, pengambilan keputusan tergantung lokasi dan ukuran hematom dan
status neurologis penderita.
Secara umum indikasi bedah pada perdarahan intraserebral sebagai
berikut:
a. Hematom serebelar dengan diameter >3cm yang disertai penekanan
batang otak dan atau hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel seharusnya
dilakukan dengan sesegara mungkin.
b. Pendarahan dengan kelainan struktur seperti aneurisma atau
malformasi arteriovena (MAV).
c. Perdarahan lobaris dengan ukuran sedang-besar yang terletak dekat
dengan korteks (<1cm) pada pasien berusia <45 tahun dengan GCS 9-
37
12, dapat dipertimbangkan evakuasi hematom supratentorial dengan
kraniotomi standar.
d. Evakuasi rutin hematom supratentorial dengan kraniotomi standar
dalam 96 jam tidak direkomendasikan kecuali pada hematom lcbaris
1cm dari korteks.
7. Rehabilitasi Medik
Selayaknya stroke iskemik, fisioterapi dan mobilisasi cepat sangat dianjurkan
pada mereka stabil secara klinis.
B. Epidemiologi
38
Angka kejadian berkisar antara 12-15 per 100.000 penduduk per tahun dan
lebih sering di jumpai pada laki-laki, usia tua dan orang Asia Afrika. 8
C. Etiologi
Penyebab utama stroke ICH dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu : 8
1. Faktor anatomic pembuluh darah otak :
Arteriovenous Malformation
Microaneurisma
Amyloid angiopathy
Cerebral venous occlusive disease (CVOD)
2. Faktor hemodinamik
Hipertensi
3. Faktor hemostatic
Penggunaan terapi obat antikoagulan
D. Patofisiologi
Mekanisme ICH yang sering terjadi adalah faktor hemodinamik yang
berupa peningkatan tekanan darah. Hipertensi kronis menyebabkan pembuluh
darah arteriol yang berdiameter 100-400 mikrometer mengalami perubahan yang
patologik. Perubahan tersebut berupa lipohyalinosis, fragmentasi, nekrosis
fibrinoid dan mikroaneurisma (Charcoat Bouchard) pada arteria perforans kecil di
otak. Kenaikan tekanan darah secara mendadak ini dapat menginduksi pecahnya
pembuluh darah. Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka akan menyebabkan
perdarahan. Perdarahan dapat berlanjut dan jika volume perdarahan besar
sehingga akan menyebabkan kerusakan pada struktur anatomi otak justru
menyebabkan gejala klinis. Perdarahan yang luas ini menyebabkan destruksi
jaringan otak, peningkatan tekanan intracranial (TIK), penurunan perfusi ke otak,
gangguan drainase otak dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak. 8
39
Perdarahan intraserebral berlaku secara mendadak. Setengah daripada
jumlah penderita mengeluh serangan dimulai dengan nyeri kepala yang berat dan
sering sewaktu melakukan aktivitas. Namun pada penderita yang usianya lebih
lanjut nyeri kepalanya lebih ringan atau tidak ada. Gejala disfungsi
menggambarkan perkembangan yang terus memburuk daripada perdarahan.
Gejala stroke ICH meliputi kelemahan atau kelumpuhan setengah badan,
kesemutan, hilang sensasi atau mati rasa setengah badan. Selain itu, setengah
orang juga mengalami sulit berbicara atau bicara pelo, mulutnya merot ke
samping, merasa bingung, masalah penglihatan, mual, muntah, kejang dan
kehilangan kesadaran secara umum. 8
F. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum dan tanda vital, meliputi : 8
a. Penurunan kesadaran
b. Gangguan bicara dan memahami (Dysarthria dan afasia)
c. Tekanan darah meningkat
Pemeriksaan neurologi, meliputi :
a. Gangguan N.VII dan N.XII sentral
b. Kelemahan atau kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh
c. Hemihiperestesi
d. Reflex fisiologis pada sisi lumpuh meningkat
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksan penunjang untuk memastikan stroke intraserebral adalah sebagai
berikut:
1) Pemeriksaan Radiologi
a. CT scan kepala : didapat gambaran hipedense
b. MRI kepala : lebih sensitif dari CT scan
c. MR Angiografi serebral : aneurisme atau malformasi vaskuler
d. Xray thorax
2) Pemeriksaan Laboratorium
40
a. Pemeriksaan gula darah : gula darah bisa meningkat karena keadaan
hiperglikemia
b. Pemeriksaan darah lengkap : untuk mencari kelainan hemostatic pada
darah
c. Pemeriksaan faktor pembekuan darah (bila ada indikasi)
H. Tatalaksana
Terapi pada stroke pendarahan intraserebral merangkumi : 8
1. Evaluasi cepat dan diagnosis
2. Terapi umum (suportif)
a. stabilisasi jalan napas dan pernapasan
b. stabilisasi hemodinamik/sirkulasi
c. pemeriksaan awal fisik umum
d. pengendalian peninggian TIK
e. penanganan transformasi hemoragik
f. pengendalian kejang
g. pengendalian suhu tubuh
41
2) ICH dengan lesi struktural seperti aneurisma malformasi AV atau angioma
cavernosa dibedah jika mempunyai harapan outcome yang baik dan lesi
strukturnya terjangkau.
3) Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang sehingga besar yang
memburuk.
4) Pembedahan untuk mengevaluasi hematoma terhadap pasien usia muda
dengan perdarahan lobar yang luas (>50cm3) masih menguntungkan.
BAB IV
ANALISA KASUS
42
biasa sehingga pasien tidak berobat. Keluhan dirasakan memberat ± 2 hari SMRS
pukul 08.00 pagi saat sedang beraktivitas. Pasien merasa anggota gerak kanan
lemah. Tangan kanan tidak dapat digerakkan sama sekali, dan kaki kanan terasa
berat. Pasien tidak dapat berjalan sendiri, sehingga harus dibantu oleh anggota
keluarga. Pasien juga merasa bicaranya pelo, sulit menelan dan wajah sisi kanan
sulit untuk digerakkan. Pasien kemudian dibawa ke RS Sengeti dan dirujuk ke
poli saraf RS DKT untuk penanganan lebih lanjut. Menurut pengakuan pasien, ia
juga sering merasa nyeri kepala kiri hilang timbul namun masih dapat beraktivitas
seperti biasa. Pasien lupa sejak kapan mulai sering nyeri kepala. Muntah (-),
kejang (-), demam (-), riwayat terjatuh/terbentuk dikepala (-)
Keluhan yang dialami pasien dapat menuntun proses penegakan diagnosis.
Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien dengan keluhan kelemahan anggota
gerak kanan secara mendadak saat beraktivitas, bicara pelo dan sering nyeri
kepala kiri hilang timbul, kecurigaan kepada stroke hemoragik dengan
peningkatan tekanan intrakranial akibat efek desak ruang. Kemudian ditunjang
dengan perhitungan menggunakan algoritma gajah mada yaitu didapatkan nyeri
kepala (+) yang mengarah pada kejadian stroke hemoragik dengan perdarahan
intraserebral. Pada stroke hemoragik, pasien umumnya berada dalam kondisi
sedang beraktivitas atau emosi yang tidak terkontrol. Faktor resiko yang ada pada
pasien ini dapat meningkatkan resiko terjadinya stroke adalah hipertensi tak
terkontrol. Dimana dikatakan bahwa faktor resiko stroke adalah 1) berkaitan
dengan usia, angka kejadian stroke meningkat seiring dengan bertambahnya usia
2) berkaitan dengan jenis kelamin, stroke terjadi sekitar 30% lebih sering pada
laki-laki dibanding perempuan, 3) berkaitan dengan merokok, beberapa laporan
termasuk meta-analisis angka studi, menunjukkan bahwa merokok jelas
menyebabkan peningkatan risiko stroke untuk segala usia dan kedua jenis
kelamin. Kandungan rokok berupa nikotin dapat mempengaruhi sistem saraf
simpatis yang akan meningkatkan tekanan darah, dan 4) berkaitan dengan
hipertensi, hipertensi dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada pembuluh
darah berupa penebalan tunika intima dan peningkatan permeabilitas endotel.
Pada pasien ini hipertensi pasien sejak ± 1 tahun yang lalu, pasien sudah sering
43
merasakan gejala dari hipertensi seperti sering sakit kepala yang hilang timbul
namun pasien tidak rutin minum obat.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan kesadaran compos mentis. Dari
pemeriksaan nervus cranialis, didapatkan paralisis N. VII dan XII dextra tipe
sentral. Dari pemeriksaan motorik didapatkan kekuatan motorik ekstremitas kanan
atas dan bawah yaitu 3/5. Pada pasien ini tidak ada riwayat trauma sehingga
diagnosis banding teratas adalah stroke. Pada pasien ini dicurigai adanya lesi pada
UMN. Lesi di UMN dapat disebabkan oleh adanya stroke hemoragik atau non
hemoragik.
Pemeriksaan penunjang berupa CT Scan Kepala non kontras. Untuk
mengetahui jenis stroke secara pasti harus dilakukan pemeriksaan penunjang
berupa CT scan kepala, dimana CT scan merupakan gold standard dari penegakan
diagnosa stroke hemoragik. Dari hasil CT Scan Kepala non kontras, didapatkan
hasil Intracerebral Haemorrhage di lobus parietotemporal sinistra. Hal ini sesuai
dengan gejala klinis pasien, dimana terjadi kelemahan di sisi kanan yang mana
terjadinya persilangan di decussatio piramidalis yang akan menyebabkan
kelemahan pada sisi kontralateral. Dari algortima gajah mada, ditemukan Nyeri
kepala dari 3 kriteria algortima gajah mada yang juga mengarahkan kepada
Intracerebral Haemorrhage.
Tatalaksana pada pasien ini meliputi non farmakologi dan farmakologi.
Non farmakologi berupa melakukan stabilisasi jalan nafas, bedrest, pemantauan
kesadaran, tanda vital dan gejala defisit neurologis, menjaga peningkatan tekanan
intrakranial dengan mengelevasi kepala 30º, menghindari penekanan vena
jugularis dan menghindari hipertermia. Jika terjadi gangguan menelan atau pasien
dalam keadaan tidak sadar (kesadaran menurun), perlu dilakukan pemasangan
pipa nasogastrik untuk mencegah terjadinya aspirasi pada pemberian makanan
serta edukasi keluarga. Edukasi keluarga terutama penting untuk mengontrol
faktor resiko pada pasien ini berupa tekanan darah yang tidak terkontrol.
Kemudian medikamentosanya berupa penilaian primary survey terutama
stabilisasikan pernafasan dan hemodinamik mencegah hipoksia. Pada pasien ini
dapat diberikan oksigen NC 2-4 LPM untuk menjaga saturasi oksigen >94%.
44
Untuk menjaga hemodinamik pada pasien ini diberikan IVFD ringer laktat dengan
tujuan menjaga euvolemi. Untuk menurunkan TIK dapat diberikan manitol 20%
dengan dosis awal 0,5-1 gr/kgBB dilanjutkan dosis rumatan 4-6 x
0,25-0,5gr/kgBB. Pada pasien ini diberikan manitol infus 4 x 125 cc dan
diturunkan hingga 1 x 125 cc. Manitol adalah diuretik osmotik yang bekerja
menurunkan tekanan intrakranial dengan menurunkan total air dalam tubuh lebih
dari total kation tubuh sehingga menurunkan volume intraseluler. Pada pasien ini
juga diberikan Inj. Citicoline 2 x 500 mg IV. Citicoline adalah bentuk eksogen
dari citydine-5-dihoshokoline yang digunakan pada biosintesis membran,
membatasi kematian/ disfungsi neuron setelah lesi SSP dan mencoba untuk
mempertahankan interaksi seluler di dalam otak sehingga fungsi neuronal tidak
terganggu dan meminimalkan lesi dengan menstabilkan membran dan mengurangi
pembentukan radikal bebas. Pasien juga di berikan inj. Mecobalamin 2 x 500 mg
IV. Mecobalamin adalah obat golongan nootropik dan neurotropik yang
merupakan bentuk vitamin B12 dengan fungsi sebagai pemicu kerja otak serta
dapat membantu memperbaiki fungsi otak akibat penurunan kesadaran.
Mecobalamin dapat meningkatkan metabolisme asam nukleat, protein dan lemak.
Pasien diberikan terapi Inj. As. Tranexamat 3 x 250 mg IV yang merupakan
golongan anti fibrinolitik. Pemberian asam traneksamat adalah mencegah
terjadinya perdarahan ulang pasca serangan stroke perdarahan. Perdarahan ulang
adalah outcome buruk yang mengakibatkan penurunan kesadaran bahkan
kematian. Pemberian asam tranekamat pada stroke perdarahan dapat mengurangi
perdarahan akan tetapi berpotensi menyebabkan iskemia serebral yang dapat
memperburuk kondisi psien. Penggunaan asam traneksamat tidak dianjurkan lebih
dari 8 hari, karena mengakibatkan timbulnya thrombus (asam traneksamat
mengganggu melarutnya fibrin sehingga menghambat aktivasi plasminogen dan
fibrinolisis). Pasien diberikan terapi Inj. Fenitoin 2 x 100 mg IV pelan. Fenitoin di
gunakan sebagai anti kejang dan profilaksis kejang. Pasien dengan stroke
perdarahan rawan terjadinya kejang. Pasien sempat diberikan aspilet 1 x 80 mg
karena kecurigaan awal pada stroke non hemoragik, sehingga pasien diberikan
45
antiplatelet. Antiplateet adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit
sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus pada sistem arteri.
BAB V
KESIMPULAN
46
detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala atau tanda yang
sesuai dengan daerah yang terganggu. Pada kasus ini stroke yang terjadi adalah
stroke hemoragik. Stroke hemoragik terjadi bila pembuluh darah di otak pecah
atau mengalami kebocoran, sehingga terjadi perdarahan ke dalam otak. Bagian
otak yang dipengaruhi oleh pendarahan dapat menjadi rusak, dan darah dapat
terakumulasi sehingga memberikan tekanan pada otak.
Banyak faktor resiko yang mengakibatkan seseorang terkena stroke yaitu
umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, merokok dan konsumsi alkohol, hipertensi,
diabetes mellitus, penyakit jantung, hiperlipidemia, peningkatan hematokrit,
penyalahgunaan obat dan infeksi. Pada pasien ini terdapat faktor resiko berupa
usia, jenis kelamin, hipertensi dan merokok.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini sudah memenuhi gejala dan tanda klinis
yang mengarah pada stroke hemoragik sehingga dibutuhkan pencitraan otak
menggunakan CT scan yang merupakan gold standard dalam mendiagnosis stroke
hemoragik.
DAFTAR PUSTAKA
47
2. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Guideline Stroke 2011. EdisiRevisi. Perhimpunan DokterSpesialis Saraf
Indonesia: Jakarta, 2011
3. Aninditha. Buku ajar neurologi. Jakarta: Departemen neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia RS Cipto Mangunkusumo. 2017
4. Haynes, E., Pancioli, A., Shaw, G., & Woo, D. 2012. Peripheral
Leucocytes and Intracerebral Hemorrhage. Opeolu Ohio Edu, 22: 221-228
5. Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
ed.6.EGC, Jakarta. 2006
6. Parmet, S., Tiffany, J.G., Richard, M.G. 2004. Hemmorhagic stroke. J of
American Medical Association. 15(292):1916.
7. Sotirios AT,. Differential Diagnosis in Neurology and Neurosurgery.New
York. Thieme Stuttgart. 2000
8. Munir, B. Neurologi dasar edisi kedua. Malang: Fakultas Universitas
Brawijaya
48