Stroke Haemoragik
Disusun Oleh :
Dosen Pembimbing :
dr. Mirna Marhami Iskandar, Sp.S
UNIVERSITAS JAMBI
2020
2
HALAMAN PENGESAHAN
DISUSUN OLEH
PEMBIMBING
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT sebab karena
rahmatNya, laporan kasus yang berjudul “Stroke Haemoragik ” ini dapat
terselesaikan. Laporan kasus ini dibuat agar penulis dan teman–teman sesama
coass periode ini dapat memahami tentang gejala klinis yang sering muncul ini.
Selain itu juga sebagai tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu penyakit Saraf RSUD Raden Mattaher Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Mirna Marhami Iskandar,
Sp.S selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya
pembimbing dalam laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh
dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik
kedepannya. Akhir kata, semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi kita semua
dan dapat menambah informasi serta pengetahuan kita.
Penulis
BAB I
PENDAHULUA
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki - laki
Usia : 58 tahun
Alamat : Teluk Pengkah, Tanjung jabung
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai swasta
Pendidikan : SMA
Suku Bangsa : WNI
Tanggal Masuk RS : 24 Juli 2020 , Pukul 19.36
Ruang Perawatan : Neurologi
DAFTAR MASALAH
Paralisis N VII
2 24 Juli 2020 -
tipe sentral
1. Keluhan Utama :
Kelemahan pada anggota gerak sebelah kanan sejak ± 3 jam SMRS
Riwayat kebiasaan :
- Riwayat merokok (+) 1/2 bungkus/ hari selama 23 th. berhenti 7 th yang lalu
- Riwayat mengkonsumsi makanan bersantan dan berlemak jarang
2. Status Generalis
Kepala : Normocephal (+)
Mata : Edema palpebra (-/-), conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-
/-), pupil bulat, isokor, ± 3 mm/± 3 mm, refleks cahaya (+)/(+),
katarak -/-
THT : Dalam batas normal
Mulut : Mulut mencong ke kanan (+) Bibir sianosis (-), mukosa kering (-),
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI-VII
Perkusi : Batas atas : ICS II Linea Parasternalis Sinistra
Batas kiri : ICS VI Linea Mid Clavikula Sinistra
Batas kanan : ICS V Linea Parasternalis Dextra
Auskultasi: BJ I dan BJ II regular, gallop (-),murmur(-)
Paru
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), fremitus taktil sama kanan dan kiri
Perkusi : Fremitus vokal sama kiri dan kanan, Sonor +/+
Auskultasi: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), masa (-).
Palpasi : Soepel, undulasi (-), shifting dullness (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi: Bising usus (+) normal
3. Status Psikitus
Cara berpikir : sulit dinilai
Perasaan hati : biasa
Tingkah laku : Normoaktif
Ingatan : baik
Kecerdasan : baik
4. Status Neurologi
1. Kesadaran kualitatif :
2. Kesadaran kuantitatif: E3M6Vn/t
3. Kepala
a. Bentuk : Normocephal
b. Nyeri tekan : (-)
c. Simetri : (+)
d. Pulsasi : (-)
N.II (Opticus)
N.III (Oculomotorius)
Refleks Cahaya
Langsung + +
Refleks Cahaya Tidak
Langsung + +
Melihat Kembar - -
(diplopia)
N. IV (Trochlearis)
Melihat Kembar
- -
N. V (Trigeminus)
Membuka mulut + +
Mengunyah + +
Menggigit Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Oftalmikus + +
Maksila + +
Mandibula + +
Refleks Kornea + +
N. VI (Abducent)
N. VII (Facialis)
Pemeriksaan Keterangan
N VIII (Vestibulocohlearis)
Rinne test + +
N IX (Glossopharingeus)
N X (Vagus)
N XI (Assesorius)
N XII (Hipoglossus)
Pergerakan
lemah aktif
Kekuatan 1 5
Tonus atoni Normal
Taktil - +
Nyeri - +
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lokalis - +
Biseps ++ -
Triseps ++ -
Refleks Patologis Kanan Kiri
Nyeri - +
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lokalis - +
E. Gerakan Abnormal
Tremor : (-)
Atetosis : (-)
Miokloni : (-)
Khorea : (-)
Rigiditas : (-)
F. Alat Vegetatif
Miksi : Tidak dilakukan
Defekasi : Tidak dilakukan
G. Test Tambahan
Test Nafziger : Tidak dilakukan
Tes Valsava : Tidak dilakukan
H. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Rutin (24 Juli 2020)
Parameter Hasil Nilai Rujukan
WBC 14,4 x103/mm3 4-10 x 103/mm3
RBC 6,09 x 106/mm3 3,5 -5,5 x 106/mm3
HGB 16,2 g/dl 11-16 g/dl
HCT 49,9 % 35-50 %
PLT 315 x 103/mm3 100-300 x 103/mm3
GDS 117 g/dl <200 g/dl
Kesan:
- Kardiomegali
- Susp Bronchopneumonia
I. Diagnosis Klinis : Hemiplegi dextra et parase nervus VII dan et parase XII tipe
J. Terapi
Non Farmakologi
- Elevasi kepala 30 derajat
- Pasang kateter
- Pasang NGT
- Konsul ke dokter Sp.S
Farmakologi
- O2 3 liter Nasal Canul
- IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
- Inf. Manitol 20% 4 x 125 cc
- Inj. Omeprazole 2 x 40 mg
- PO. Candesartan 1x 8 mg
- Inj citicoline 2 x 1 gr
III. PROGNOSIS
Quoa ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
IV. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Tanggal S O A P
(+) RR:
20x/m
T: 37˚C
SpO2 : 99% dengan
O2 3 L
PF neurologi
N.VII
Lipatan nasolabial
(tidak simetris)
mencucu (-)
menggembungkan pipi
(-) menggerutkan dahi
(+)
N.XII
Deviasi lidah (+)
Mejulurkan lidah (-)
Kelumpuhan - KU: Tampak sakit Hemiplegi dextra
25-07-
et parase n.VII et
2020 anggota gerak sedang
parase n.XII tipe IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
Jam 7.55 kanan(+) - Kesadaran: UMN et afasia
Inj omz 2x1
wib motorik ec ICH
Tidak bisa somnolen
Drip manitol 4 x 125 cc
bicara (+) - GCS 9 (E3VntM6) Hipertensi stage
Kateter
- TV: II
Penurunan
kesadaran (+) TD: 170/100 mmHg Onset hari ke 2
T : 36,8 ˚C
PF neurologi
N.VII
Lipatan nasolabial
(tidak simetris)
mencucu (-)
menggembungkan pipi
(-) menggerutkan dahi
(+)
N.XII
Deviasi lidah (+)
Mejulurkan lidah (-)
(-)
PF neurologi
N.VII
Lipatan nasolabial
(tidak simetris)
mencucu (-)
menggembungkan pipi
(-) menggerutkan dahi
(+)
N.XII
Deviasi lidah (+)
Mejulurkan
lidah (-)
27-07-2020 Kelemahan KU : Tampak sakit Hemiplegi dextra
Pukul IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
et parase n.VII et
07.55 wib anggota ringan
parase n.XII tipe Inj omz 2x1
gerak - kesadaran : UMN et afasia
Drip manitol 4 x 125 cc
motorik ec ICH
kanan(+) Compos mentis
Kateter
Tidak bisa - GCS 10 (E4VntM6) Hipertensi stage
II
bicara (+) - TV:
PF neurologi
N.VII
Lipatan nasolabial
(tidak simetris)
mencucu (-)
menggembungkan pipi
(-) menggerutkan dahi
(+)
N.XII
Deviasi lidah (+)
Mejulurkan lidah (-)
29-07-2020 Kelumpuhan KU : Tampak sakit Hemiplegi dextra
Pukul IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
et parase n.VII et
07.55 wib anggota ringan
parase n.XII tipe Inj omz 2x1
gerak - kesadaran : UMN et afasia
Drip manitol 4 x 50 cc
motorik ec ICH
kanan(+) Compos mentis
Candesartan 1x8mg
Tidak bisa - GCS 10 (E4VntM6) Hipertensi stage
II
bicara (+) - TV:
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang
secara cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa
adanya penyebab lain yang jelas selain vascular.6 Stroke hemoragik adalah stroke
yang terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi
perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak.5
3.2 Epidemiologi
Kejadian stroke di Amerika Serikat memiliki insidensi yaitu 500.000
pertahunnya diama 10-15% merupakan stroke hemoragik khususnya perdarahan
intraserebral. Mortalitas dan morbiditas pada stroke perdarahan hemoragik lebih
berat dari pada stroke iskemik. Dilaporkan hanya sekitar 20% saja pasien yang
mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya. Selain itu ada sekitar 40-80%
akhirnya meninggal pada 30 hari pertama setelah serangan dan sekitar 50%
meninggal pada 48 jam pertama. Penelitian menunjukkan dari 251 penderita
stroke, ada 47% wanita dan 53% laki-laki dengan rata-rata umur 69 tahun (78%)
berumur lebih dari 60 tahun. Pasien dengan umur lebih dari 75 tahun dan berjenis
kelamin laki-laki menunjukkan outcome yang lebih buruk.6
3.3 Etiologi
Penyebab terbanyak dari perdarahan intraerebral adalah hipertensi (72-
81%). Perdarahan intraserebral spontan yang tidak berhubungan dengan
hipertensi, biasanya berhubungan dengan diskrasia darah, hemartroma,
neoplasma, aneurisma, AVM, tumor otak metastasis, pengobatan dengan
antikoagulans, gangguan koagulasi seperti pada leukemia atau trombositopenia,
serebralarteritis, amyloid angiopathy dan adiksi narkotika.7
Perdarahan intraserebral dapat disebabkan oleh :
1. Hipertensi
Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid yang
memperlemah dinding pembuluh darah yang kemudian menyebabkan ruptur
intima dan menimbulkan aneurisma. Selanjutnya dapat menyebabkan
mikrohematoma dan edema. Hipertensi kronik dapat juga menimbulkan
sneurisma-aneurisma kecil (diameternya 1 mm) yang tersebar di sepanjang
pembuluh darah, aneurisma ini dikenal sebagai aneurisma Charcot Bouchard.
2. Cerebral Amyloid Angiopathy
Cerebral Amyloid Angiopathy adalah suatu perubahan vaskular yang unik
ditandai oleh adanya deposit amiloid di dalam tunika media dan tunika
adventisia pada arteri kecil dan arteri sedang di hemisfer serebral. Arteri-
arteri yang terkena biasanya adalah arteri-arteri kortical superfisial dan arteri-
arteri leptomening. Sehingga perdarahan lebih sering di daerah subkortikal
lobar ketimbang daerah basal ganglia. Deposit amiloid menyebabkan dinding
arteri menjadi lemah sehingga kemudian pecah dan terjadi perdarahan
intraserebral. Di samping hipertensi, amyloid angiopathy dianggap faktor
penyebab kedua terjadinya perdarahan intraserebral pada penderita lanjut
usia.
3. Neoplasma intrakranial.
Akibat nekrosis dan perdarahan oleh jaringan neoplasma yang
hipervaskular.Perdarahan di putamen, thalamus, dan pons biasanya akibat
ruptur a. lentikulostriata, a. thalamoperforating dan kelompok basilar-
paramedian. Sedangkan perdarahan di serebelum biasanya terdapat di daerah
nukleus dentatus yang mendapat pendarahan dari cabang a. serebelaris
superior dan a. serecelaris inferior anterior.7
3.5 Klasifikasi
Menurut WHO 1987, Stroke homoragik dibagi dalam :
1. Perdarahan sub arachnoid
2. Perdarahan intraserebral
3. Perdarahan intracranial non spesifik yang lain misalnya perdarahan
epidural.
3.6 Patofiologi
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400
micrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut.
Arteriol – arteriol dari cabang lentikulostriata, cabang arteriotalamus dan cabang
paramedian arteri vertebrobasilar mengalami perubahan degenerative yang sama,
perubahan arteriosklerotik pembuluh darah kecil, terutama pada cabang-cabang
arteri serebri media, yang mensuplai ke dalam basal ganglia dan kapsula interna.
Pembuluh-pembuluh darah ini menjadi lemah, sehingga terjadi robekan dan
reduplikasi pada lamina interna, hialinisasi lapisan media dan akhirnya terbentuk
aneurisma kecil yang dikenal dengan aneurisma Charcot-Bouchard. Hal yang
sama dapat terjadi pembuluh darah yang mensuplai pons dan serebelum.
Rupturnya satu dari pembuluh darah yang lemah menyebabkan perdarahan ke
dalam substansi otak.9
Kenaikan tekanan darah yang terjadi secara tiba – tiba atau kenaikan
dalam jumlah yang secara mencolok dapat menginduksi pecahnya pembuluh
darah terutama pada pagi hari dan sore hari . Jika pembuluh darah tersebut pecah,
maka perdarahan dapat berlanjut sampai dengan 6 jam dan jika volumenya besar
akan merusak struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala klinis. Jika
perdarahan yang timbul kecil, maka massa darah hanya dapat merusak dan
menyela di antara selaput akson white matter(dissecan splitting) tanpa
merusaknya. Pada keadaan ini absorpsi darah akan diikuti pulihnya fungsi
neurologi. Sedangkan pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak,
peningkatan tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan
herniasi otak pada falks serebri atau lewat foramen magnum.
Kematian dapat disebabkan karena kompresi batang otak, hemisfer otak
dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.
Kerusakan parenkima otak, akibat volume perdarahan yang relative banyak akan
mengakibatkan peninggian tekanan intrakranial dan menyebabkan menurunnya
tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak. Elemen vasoaktif darah
yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi,
menyebabkan neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan
lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Bila volume darah lebih
dari 60 cc maka
risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan
lobar. Sedangkan bila terjadi perdarahan serebellar dengan volume antara 30 – 60
cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75% tetapi volume darah 5 cc dan
terdapat di daerah pons sudah berakibat fatal.10
3.8 Diagnosis
Penegakan diagnosis stroke dilakukan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik umum dan neurologis, serta pemeriksaan penunjuang. Hal
terpenting adalah menentukan tipe stroke; stroke iskemik atau perdarahan. Hal ini
berkaitan dengan tatalaksana yang sangat berbeda diantara keduanya, sehingga
kesalahan akan megnakibatkan morbiditas bahkan mortalitas.
Dalam anamnesis, hal yang perlu ditanyakan meliputi identitas, kronologis
terjadinya keluhan, faktor risiko pada pasien maupun keluarga dan kondisi sosial
ekonomi pasien. Dari anamnesis seharusnya didapatkan informasi apakah
keluahan terjadi secara tiba-tiba, saat pasien beraktivitas, atau saat pasien baru
bangun tidur. Pada stroke hemoragik, pasien umumnya berada dalam kondisi
sedang beraktivitas atau emosi yang tidak terkontrol. Durasi sejak serangan
hingga dibawa ke pusat kesehatan juga merupakan hal penting yang turut
menentukan prognosis.
Keluhan yang dialami pasien juga dapat menuntun proses penegakan
diagnosis. Pasien dengan keluhan sakit kepala disertaia muntah (tanpa mual) dan
penurunan kesadaran, umumnya mengarahkan kecurigaan kepada stroke
hemoragik dengan peningkatan TIK akibat efek desak ruang. Meskipun demikian,
pada stroke hemoragik dengan volume perdarahan kecil, gejala dapat menyerupai
stroke iskemik tanpa ditemukan tanda-tanda peningkatan TIK. Perlu ditanyakan
juga faktor risiko stroke yang ada pada pasien dan keluarganya, seperti diabetes
mellitus, hipertensi, dislipidemia, obesitas, penyakit jantung, dan pola hidup.
(merokok, alcohol, obat-obatan)
Pemeriksaan fisik
Dimulai dengan keadaan umum, kesadaran, dan tanda vital. Pada stroke
hemoragik, keadaan umum pasien bisa lebih buruk dibandingkan dengan
kasus stroke iskemik. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan kepala, mata,
telinga, hidung dan tenggorokan (THT), dada (terutama jantung), abdomen,
dan ekstremitas. Pemeriksaan ekstremitas bertujuan terutama untuk mencari
edema tungkai akibat thrombosis vena dalam atau gagal jantung.
Pada pemeriksaan tekanan darah, perlu dibandingkan tekanan darah di
kstremitas kiri dan kanan, serta bagian tubuh atas dan bawah dengan cara
menghitung rerata tekanan darah arteri (mean arterial blood pressure/
MABP), karena akan mempengaruhi tatalaksana stroke. Pola pernapasan
merupakan merupakan hal penting yang harus diperhatikan, karena dapat
menjadi petunjuk lokasi perdarahan, misalnya : Cheyne Stokes, hiperventilasi
neurogenik, klaster, apneuristik, atau ataksik.
Pemeriksaan neurologis awal
Adakah penilaian tingkat kesadaran dengan skala koma Glasgow (GCS),
yang selanjutnya dipantau secara berkala. Kemudian diikuti pemeriksaan
reflex batang otak meliputi reaksi pupil terhadap cahaya, reflex kornea, dan
reflex okulosefalik. Setelah itu dilakukan pemeriksaan nervus kranialis. Satu
persatu serta motorik untuk menilai trofi, tonus, dan kekuatan otot,
dilanjutkan reflex fisiologis dan reflex patologis. Hasil pemeriksaan motorik
dibandingkan kanan dan kiri, serta atas dan bawah guna menentukan luas dan
lokasi lesi. Selanjutnya pemeriksaan sensorik dan pemeriksaan autonom.
Penggunaan sistem skor dapat bermanfaat bila tidak terdapat fasilitas
pencitraan otak yang dapat membedakan secara jelas patologi penyebab
stroke. Skor stroke siriraj merupakan sistem penskoran yang sering
digunakan untuk membedakan stoke iskemik atau hemoragik.
Sistem Penskoran :
Interpretasi :
Skor < -1 = stroke iskemik
Skor > 1 = Sroke hemoragik
Skor -1 – 1 = meragukan
Tabel 1. Keterangan siriraj Skor13
Keterangan Komponen skor
Kompos mentis 0
Kesadaran Somnolen 1
Sopor/koma 2
Tidak ada 0
Vomitus
Ada 1
Tidak ada 0
Nyeri kepala
Ada 1
Tidak ada
0
Ateroma Ada DM, hipertensi, angina atau penyakit pembuluh
1
darah
3.10 Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan
morbiditas dan menurunkan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan.
Salah satu upaya yang berperan penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah
pengenalan gejala-gejala stroke dan penanganan stroke secara dini yang dimulai
dari penanganan prahospital yang cepat dan tepat.2
Tatalaksana Umum2
1. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis, nadi,
tekanan darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72
jam, pada pasien dengan defisit neurologis yang nyata
Pembetian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen
< 95%
Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada
pasien yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang
mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan
gangguan jalan napas
2. Stabilisasi Hemodinamik
Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena
Optimalisasi tekanan darah
Bila tekanan darah sistolik <120mmHg dan cairan sudah mencukupi,
maka obat-obatan vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti
dopamine dosis sedang/tinggi, norepinefrin dan epinefrin dengan
target tekanan darah sistolik berkisar 140mmHg
Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24
jam pertama setelah serangan stroke iskemik.
Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya.
Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan saline normal dan
aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curah jantung
sekuncup harus dikoreksi.
3. Penanganan TIK
Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral
harus dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda
neurologis pada hari-hari pertama setelah serangan stroke.
Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS<9 dan
penderita yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan
TIK
Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan
CPP>70 mmHg.
Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan
intrakranial meliputi :
1. Tinggikan posisi kepala 20o – 30o
2. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
3. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
4. Hindari hipertermia
5. Jaga normovolernia
6. Osmoterapi atas indikasi
Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi
setiap 4 - 6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L. Osmolalitas
sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian
osmoterapi.
Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1
mg/kgBB i.v.
7. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg).
Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan
operatif
4. Pengendalian Suhu Tubuh
Pengendalian Suhu Tubuh Setiap pederita stroke yang disertai
demam harus diobati dengan antipiretika dan diatasi penyebabnya.
Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC atau 37,5
o
C
Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan
kultur dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan
antibiotik.
Jika memakai kateter ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus
dilakukan untuk mendeteksi meningitis.
Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic.
Tatalaksana Khusus2
1. Diagnosis dan Penilaian Gawat Darurat pada Perdarahan Intrakranial dan
Penyebabnya
a. Pemeriksaan pencitraan yang cepat dengan CT atau MRI
direkomendasikan untuk membedakan stroke iskemik dengan
perdarahan intracranial
b. Angiografi CT dan CT dengan kontras dapat dipertimbangkan untuk
membantu mengidentifikasi pasien dengan risiko perluasan
hematoma. Bila secara klinis atau radiologis terdapat kecurigaan
yang mengarah ke lesi structural termasuk malformasi vaskuler dan
tumor, sebaiknya dilakukan angiografi CT, venografi CT, CT dengan
kontras, MRI dengan kontras, MRA, dan venografi MR.
2. Tatalaksana Medis Perdarahan Intrakranial
a. Pasien dengan defisiensi berat factor koagulasi atau trombositopenia
berat sebaiknya mendapat erapi penggantian factor koagulasi atau
trombosit.
b. Pasien dengan perdarahan intracranial dan peningkatan INR terkait
obat antikoagulan oral sebaiknya tidak diberikan walfarin, tetapi
mendapat terapi untuk menggganti vitamin K-dependent factor dan
mengkoreksi INR, serta mendapat vitamin K intravena. Konsentrat
kompleks protrombin tidak menunjukkan perbaikan keluaran
dibandingkan dengan Fresh Frozen Plasma (FFP). Namun,
pemberian konsentrat kompleks protrombin dapat mengurangi
komplikasi dibandingkan dengan FFP dan dapat dipertimbangkan
sebagai alternative FFP .
3. Tekanan Darah
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan
rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga
neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan
sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke.
Berbagai Gudeline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan
penuurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke perdarahan akut agar
dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi di
bawah ini
Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila TDS >200
mmHg atau Mean Arterial Preassure (MAP) >150 mmHg, tekanan
darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena
secara kontiniu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan
gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan
pemantauan tekanan intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu atau
intermiten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.
Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai
gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah
diturunkan secara hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi
intravena kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan darah
setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90
mmHg. Pada studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140
mmHg masih diperbolehkan.
Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220
mmHg, penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140
mmHg cukup aman. Setelah kraniotomi, target MAP adalah
100mmHg.
Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan
darah pada penderita stroke perdarahan intraserebral.
Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta
(labetalol dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan
diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya diatas.
Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena
mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial, meskipun bukan
kontraindikasi mutlak..
o Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan
hingga lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang
mengancam target organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark
miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati
hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam
pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.
4. Penanganan di Rumah Sakit dan Pencegahaan Kerusakan Otak Sekunder
a. Pemantauan awal dan penanganan pasien penrdarahan intracranial
sebaiknya dilakukan di ICU dengan dokter dan perawat yang
memiliki keahlian perawatan intensif neurosains
• Citicoline
Citicoline merupakan molekul organik kompleks yang terdiri dari ribosa, pirofosfat,
sitosin dan kolin yang mempunyai peran penting dalam metabolisme sel dan
berpartisipasi dalam biosintesis fosfolipid membran sel. Hal ini merupakan
prekursor molekul penting untuk sintesis fosfatidilkolin serta komponen penting
dalam integritas membran sel dan untuk perbaikan. Kolin merupakan basa nitrogen
trimethylated yang masuk tiga jalur metabolik utama: (1) sintesis fosfolipid melalui
phosphorylcholine; (2) sintesis asetilkolin; dan (3) oksidasi betaine, yang berfungsi
sebagai donor metil. Citicoline meningkatkan metabolisme otak dengan
meningkatkan sintesis asetilkolin dan memulihkan fosfolipid konten di otak.
Citicoline digunakan sebagai insufisiensi otak dan beberapa gangguan neurologis
lainnya, seperti stroke, trauma otak, dan penyakit parkinson. Citicoline dapat
melewati sawar darah otak dan memperbaiki gangguan otak yang terkait. Citicoline
meningkatkan penurunan memori, konsentrasi, kemampuan belajar, kewaspadaan,
cedera otak, penyakit alzheimer, sakit kepala, pusing, dan tinnitus, meningkatkan
fungsi kognitif, glaukoma, penyakit Parkinson, vaskular demensia. Dosis citicoline
optimal ialah 500 mg per hari dan dapat naik menjadi 2.000 mg. Dapat disimpulkan
bahwa citicoline secara sederhana dapat meningkatkan memori dan perilaku pada
hasil akhirnya.14
• Diuretik Osmotik
Diuretik osmotik secara bebas disaring di glomerulus, reabsorpsi terbatas oleh
tubulus ginjal, dan farmakologi. Diuretik osmotik diberikan dalam dosis yang
cukup untuk meningkatkan secara signifikan osmolalitas plasma dan cairan tubular.
Diuretik osmotic memberikan empat sifat farmakokinetik yaitu diuretik-gliserin
(osmoglyn), mononitrate (ismotic), manitol (osmitrol), dan urea (ureaphil). Tempat
mekanisme aksi diuretik osmotik adalah lengkung Henle. Adanya ekstraksi air dari
kompartemen intraseluler dapat memperluas volume cairan ekstraseluler sehingga
menurunkan kekentalan darah, dan menghambat pelepasan renin. Efek ini akan
meningkatkan aliran darah di medula ginjal serta menghilangkan NaCl dan urea
dari medula ginjal sehingga mengurangi tonisitas meduler. 14
Efek terapi osmotik terhadap tekanan intrakranial diduga dapat menyebabkan
penyusutan otak setelah pergeseran air keluar dari substansi otak. Berbagai zat yang
digunakan sebagai terapi osmotik, antara lain urea, gliserol, sorbitol, manitol, dan
salin hipertonik. Meskipun efektif, urea tidak lagi digunakan karena memiliki
berbagai efek samping termasuk mual, muntah, diare, hemoglobinuria, koagulopati,
dan rebound hipertensi intrakranial. Gliserol dan sorbitol dapat menurunkan
tekanan intrakranial akan tetapi dapat menyebabkan hiperglikemia yang signifikan.
Manitol cukup efektif dan aman serta direkomendasikan oleh Brain Trauma
Foundation dan European Brain Injury Consortium sebagai terapi osmotik
pilihan.Pasien dengan udem serebri dan kenaikan tekanan intrakranial dapat diberi
larutan hipertonik mannitol (diuresis osmotik). Mannitol 25% dapat diberikan
dalam dosis 0,5 – 1 g/kgBB dalam waktu 2-10 menit parenteral. 14
• Antikoagulan
Antikoagulan merupakan obat yang biasa digunakan untuk mencegah pembentukan
gumpalan darah berbahaya yang mengakibatkan stroke. Sering disebut “pengencer
darah,” antikoagulan merupakan obat pertama yang diresepkan oleh dokter setelah
stroke. Dengan mengurangi kemampuan darah untuk membeku dan dengan
demikian mengurangi kemungkinan antikoagulan emboli koroner atau pembuluh
darah yang sering digunakan pada pasien yang sudah berisiko tinggi untuk stroke.
Berikut adalah informasi tentang jenis tertentu antikoagulan digunakan untuk
pencegahan stroke. 14
Warfarin merupakan vitamin K antagonis yang menghambat γ-karboksilasi faktor
pembekuan II, VII, IX, dan X. Efeknya diukur dengan rasio normalisasi
internasional (INR), yang merupakan waktu protrombin pasiendibagi dengan rata-
rata PT normal, indeks sensitivitas internasional reagen yang digunakan: (1) INR =
2,0-3,0 biasanya terapi; beberapa katup jantung (mis Starr-Edwards) membutuhkan
INR dari 3,0-4,0 , (2) INR ≤2.0 memberikan tindakan terapeutik yang tidak
memadai dan kelebihan trombosis, (3) INR> 3.0 dikaitkan dengan peningkatan
resiko perdarahan.Meskipun warfarin cepat menghambat vitamin K, penggumpalan
atau plak protein yang produksinya akan terhambat dan memiliki waktu paruh
setengah. Hal ini diperlukan penahan untuk menunda terjadinya tindakan terapeutik
(perpanjangan INR) selama beberapa hari. Oleh karena itu, jika antikoagulan
diperlukan untuk memiliki efek langsung, heparin dan/atau warfarin harus
digunakan. Efek samping dari terapi warfarin meliputi pendarahan yang dapat
terjadi dimana saja atau meluas ke pembuluh lain. 14
Pada pasien yang mengalami perdarahan intrakranial atau pendarahan
subarakhnoid, semua jenis koagulan dan antiplatelet harus dihentikan selama
periode akut sekurang-kurangnya 1 sampai 2 minggu dan segera mengatasi efek
dari warfarin dengan fresh frozen plasma atau dengan konsentrat protombin
kompleks dan vitamin K. Protamin sulfat harus diberikan untuk mengatasi
perdarahan intrakranial akibat pemberian heparin, dengan dosis tergantung pada
lamanya pemberian heparin pada penderita tersebut. Untuk pasien dengan infark
hemoragik, pemberian antikoagulan dapat diteruskan tergantung kepada keadaan
klinis yang spesifik dan indikasi penggunaan terapi antikoagulan. 14
• Antifibrinolitik (trombolitik)
Obat fibrinolitik biasanya diberikan secara intravena sehingga memberikan efek
yang cepat. Golongan obat ini dapat dengan cepat melisiskan trombus dengan
mengaktifkan plasminogen untuk membentuk plasmin yang merupakan enzim
proteolitik untuk mendegradasi fibrin dan melarutkan trombus. Efek samping utama
dari trombolitik adalah perdarahan, mual, muntah, dan obat streptokinase dapat
menimbulkan reaksi alergi. Perdarahan biasanya dibatasi lokasinya untuk
pemberian suntikan, akan tetapi terkadang stroke terjadi. Percobaan telah
menunjukkan bahwa PCI (percutaneous coronary intervention) lebih efektif
terhadap terapi lysis ketika dilakukan dalam waktu 90 menit dari pengobatan medis
pertama. Streptokinase bukan merupakan enzim melainkan mengikat plasminogen
yang beredar untuk membentuk kompleks aktivator yang mengkonversi
plasminogen lebih lanjut menjadi plasmin. Karena terdapat kelebihan inhibitor
plasmin dalam darah yang besar dapat menetralisir plasmin yang beredar sehingga
perdarahan menjadi tidak terlalu parah. Dalam trombus konsentrasi inhibitor
plasmin rendah, dan begitu juga streptokinase memiliki beberapa selektivitas
terhadap plak. 14
• Antihipertensi
• Antidislipidemia
3.11 Komplikasi
Komplikasi pada stroke perdarahan terdiri dari
Komplikasi intracranial
Kerniasi,
Peningkatan TIK
Kejang
Komplikasi ekstracranial
Dekubitus
Sepsis
Komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke iskemik meliputi edema
serebral, transformasi hemoragik, dan kejang.
1. Edema serebral yang signifikan setelah stroke iskemik bisa terjadi meskipun agak
jarang (10-20%)
2. Indikator awal iskemik yang tampak pada CT scan tanpa kontras adalah indikator
independen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi lain untuk
mengurangi tekanan intrakranial dapat dimanfaatkan dalam situasi darurat, meskipun
kegunaannya dalam pembengkakan sekunder stroke iskemik lebih lanjut belum
diketahui. Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark mereka.
Hal ini diperkirakan terjadi pada 5% dari stroke iskemik yang tidak rumit, tanpa
adanya trombolitik. Transformasi hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan penurunan
neurologis dan berkisar dari peteki kecil sampai perdarahan hematoma yang
memerlukan evakuasi.
3. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Post-stroke
iskemik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang mengalami
serangan stroke berkembang menjadi chronic seizure disorders. Kejang sekunder dari
stroke iskemik harus dikelola dengan cara yang sama seperti gangguan kejang lain
14
yang timbul sebagai akibat neurologis injury.
3.12 Prognosis
Pada stroke hemoragik prognosis dipengaruhi oleh : letak, ukuran dan derajat
kesadaran
a. Letak
Perdarahan di putamen mortalitas yang dilaporkan 37%, perdarahan
thalamus 50% dan perdarahan lobus (frontal, temporal dan oksipital) 46%.
b. Ukuran
Ukuran perdarahan sangat berpengaruh pada mortalitas. Untuk perdarahan
putamen atau area striata, penampang 3 cm atau lebih, motralitas dapat
mencapai 100%. Demikian pula dengan perdarahan thalamus yang
berukuran 2-3cm, perdarahan di pons penampang diatas 1cm dan
perdarahan serebelum penampang lebih besar dari 3cm. perdarahan-
perdarahan dengan ukuran-ukuran yang lebih kecil, prognosisnya lebih
baik.
c. Derajat Kesadaran
Mortalitas pasien yang kesadarannya masih baik, kurang dari 10-30%.
Sedangkan yang koma 75-100%. Unutk pasien dengan tingkat kesadaran
spoor atau koma, mortalitasnya dapat mencapai 80-90%.14
3.13 Pencegahan
Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan
mengatasi berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat maupun kelompok
risiko tinggi yang berlum pernah terserang stroke. Beberapa pencegahan yang dapat
dilakukan adalah:
1. Mengatur pola makan yang sehat
2. Penanganan stres dan beristirahat yang cukup
3. Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat advis dokter dalam hal diet dan obat
4. Melakukan olah raga yang teratur
5. Menghentikan rokok
6. Menghindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat
7. Memelihara berat badan yang layak
8. Perhatikan pemakaian kontrasepsi oral bagi yang beresiko tinggi
9. Pemakaian antiplatelet
Pada pencegahan sekunder stroke, yang harus dilakukan adalah pengendalian faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dan pengendalian faktor risiko yang dapat
dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes mellitus, riwayat TIA, dyslipidemia. 14
3.14. Afasia
a. Definisi
Aphasia merupakan kelainan bahasa yang akibatnya mempengaruhi pemahaman dan
ekspresi individu dalam berkomunikasi (mendengarkan, membaca, berbicara, menulis,
isyarat, gambar, dan perhitungan). Gangguan ini biasanya mengenai semua modalitas bahasa,
meliputi berbicara spontan, pengertian bahasa, pengulangan, penamaan, membaca, dan
menulis ). Afasia adalah gangguan komunikasi yang disebabkan oleh kerusakan pada bagian
otak yang mengandung bahasa (biasanya di hemisfer serebri kiri otak). Individu yang
mengalami kerusakan pada sisi kanan hemisfer serebri kanan otak mungkin memiliki
kesulitan tambahan di luar masalah bicara dan bahasa. Afasia dapat menyebabkan kesulitan
dalam berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis, tetapi tidak mempengaruhi
kecerdasan. Individu dengan afasia mungkin juga memiliki masalah lain, seperti disartria,
apraxia, dan masalah menelan.15,16
b. Klasifikasi dan gejala klinis
Klasifikasi afasia menurut Goodglass dan Kaplan 1972 dalam Kusumoputro 2013
adalah sebagai berikut ;
1) Afasia broca
Merupakan sindrome afasia yang paling sering ditemui, mudah dikenal dengan gejala
utama adalah kesulitan dalam bertutur kata. Merupakan sindrom afasia perisylvian dengan
afasia wernicke dan afasia konduksi.
2) Afasia wernicke
Merupakan sindrome afasia yang cukup banyak ditemui. Ciri khas afasia wernicke
adalah bicara spontan yang fluent, masih dalam batas normal atau meningkat. Adanya logorea
yaitu berbicara yang terus menerus sehingga sulit untuk dihentikan.
3) Afasia anomik
Merupakan sindrome afasia yang paling ringan. Termasuk dalam sindrom afasia tidak
terlokalisasikan bersama afasia global, yang mempunyai arti bahwa tipe afasia ini tidak
memiliki lokalisasi tertentu.
4) Afasia konduksi
Merupakan tipe sindrome afasia yang tidak terlalu sering ditemui. Ciri khas afasia
konduksi adalah kemampuan modalitas bahasa untuk pengulangan yang buruk.
7) Afasia murni 17
3) Afasia Global
Penyebab afasia ini adalah luas lesi yang merusak hampir semua daerah bahasa. Lesi
terjadi karena oklusi arteri karotis interna atau arteri serebri media didaerah pangkalnya.
Merupakan jenis afasia yang paling berat dan kemungkinan pulih berat. Tanda yang muncul
adalah bicara spontan berkurang dan bersifat stereotip (berulang dan monoton). Kemampuan
komprehensif sangat terbatas bahkan menghilang, seperti hanya mengenal nama dia saja
maupun satu, dua kata. Kemampuan repetisi, membaca, menulis terganggu berat.18
BAB IV
ANALISIS MASALAH
Pasien laki-laki 58 tahun datang dengan keluhan kelemahan anggota gerak kanan sejak ±
3 jam SMRS. Keluhan muncul mendadak pada saat pasien beraktivitas yaitu saat sedang saat
pasien sedang berjalan kaki kerumah tentangga, tiba – tiba pasien merasa kepalanya berdenyut
dan nyeri diikuti dengan kelemahan pada kaki kanan lalu tangan kanan. Dan pasien hampir
terjatuh kearah sebelah kanan namun ditahan oleh anaknya yang melihat kejadian pada saat itu.
Menurut istrinya saat itu mulut pasien terlihat miring dan pasien tidak bisa bicara secara
mendadak, kemudian pasien dibaringkan ditempat tidur. Istri pasien mengaku pasien bingung
saat di ajak bicara saat kejadian. Kemudian pasien juga mengalami Istri pasien langsung
membawa pasien ke RSUD Raden Mattaher.
Riwayat trauma kepala (-), kejang (-), penglihatan kabur (-), penglihatan dua (-),
gangguan pendengaran (-), gangguan penciuman (–), gangguan pengecapan disangkal. Buang air
kecil dan buang air besar tidak ada keluhan. Keluhan tidak dapat menggerakkan anggota gerak
kanan ini merupakan keluhan yang pertama. Pasien mengaku jarang cek kesehatan dan tau
memiliki hipertensi sejak ±3 bulan yang lalu, obat yang biasa pasien komsumsi captopril tablet,
tetapi pasien tidak rutin minum obat maupun kontrol ke puskesmas.
Berdasarkan anamnesis, pasien datang dengan keluhan utama kelemahan anggota gerak
kanan dengan onset mendadak atau tiba – tiba. Parese atau plegi yang bersifat mendadak hanya
memiliki dua etiologi yang mungkin yaitu vaskuler dan trauma, namun parese pada pasien ini
tidak didahului oleh trauma, maka diagnosa banding teratas di tahap ini adalah stroke yang
disebabkan oleh gangguan vaskuler. Stroke sendiri adalah suatu gangguan fungsi saraf akut yang
disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah otak yang terjadi secara mendadak dalam beberapa
detik atau secara cepat dalam beberapa jam yang menyebabkan gangguan baik fokal ataupun
global. Hal ini sesuai dengan kondisi keluhan utama pada pasien ini. Namun, tipe lesi berupa
UMN atau LMN harus dikonfirmasi kembali dengan pemeriksaan fisik.
Pasien juga mengeluhkan keluhan muncul saat beraktivitas. Aktivitas memicu terjadinya
tekanan darah yang meningkat secara tiba – tiba sehingga dapat menyebabkan pecahnya
pembuluh darah pada otak. Keluhan disertai pula dengan nyeri kepala berdenyut, Berdasarkan
literature, nyeri kepala merupakan tanda – tanda peningkatan tekanan intracranial. Satu – satunya
peningkatan tekanan intracranial yang terjadi dalam waktu yang cepat adalah karena adanya
perdarahan, maka sejauh ini diagnosa yang paling memungkinkan adalah stroke hemoragik. Hal
ini akan dikonfirmasi kembali dengan algoritma gajah mada dan siriraj stroke score setelah
dilakukan pemeriksaan fisik.
Selanjutnya, berdasarkan anamnesis kepada pasien dan keluarga, pasien mengalami
penurunan kesadaran semenjak kejadian hingga dibawa ke rumah sakit. Namun tidak tejadi
lucid interval, maka perdarahan subarachnoid dan pendarahan epidural untuk sementara dapat
disingkirkan dan dikonfirmasi kembali dengan pemeriksaan fisik. Sejauh ini, diagnosa yang
paling memungkinkan adalah stroke hemoragik ec perdarahan intraserebral.
Menurut istrinya setelah kejadian itu pasien tidak bisa berbicara namun bisa mengerti
dan mendengar apa yang dibicarakan dan sebelumnya pasien bisa bicara dengan normal. Hal ini
menunjukkan terjadi afasia motoric dominannya disebabkan oleh lesi di lobus frontalis di area
broca yaitu brodman 44 dan 45. Penglihatan kabur, penglihatan dua, gangguan pendengaran,
gangguan penciuman, gangguan pengecapan disangkal. Hal ini menunjukkan tidak ada gangguan
sensorik nervus cranialis pasien. Namun hal tersebut di atas harus dikonfirmasi kembali dengan
pemeriksaan fisik nervus cranialis. Buang air kecil dan buang air besar tidak ada keluhan, hal ini
menunjukkan tidak terdapat gangguan fungsi vegetatif pada pasien ini.
Selain itu, dari anamnesis didapatkan pasien berjenis kelamin laki – laki dan berusia 58
tahun sehingga dua hal ini meningkatkan risiko terjadinya stroke. Pasien mempunyai riwayat
hipertensi sehingga meningkatkan stroke.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran GCS 9 (E3M6Vnt), TD 160/100 mmHg
dan tanda vital lain dalam batas normal. Berdasarkan Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi
2019 oleh PERHI, pasien ini didiagnosa dengan hipertensi grade II.
Dari pemeriksaan status generalisata pupil isokor namun mulut tampak miring ke kanan,
dan didapatkan adanya deviasi lidah kekanan hal ini menunjukkan adanya kelainan pada nervus
cranialis VII dan XII namun tetap harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan nervus cranialis
sedangkan yang lainnya didapatkan dalam batas normal. Selanjutnya Pada pemeriksaan tanda
rangsang meningeal didapatkan hasil negatif yang menunjukkan tidak ada keterlibatan
meningen, maka kemungkinan perdarahan subarachnoid dapat disingkirkan. Dan didapatkan
adanya refleks patologis yang positif. Yaitu refleks babinski.
Pada pemeriksaan kekuatan motorik, didapatkan pergerakan menurun pada ekstremitas
superior et inferior dextra dengan kekuatan 1, atoni, dan eutrofi. Berdasarkan literature, kondisi
ini disebut hemiplegia sinistra dan merujuk pada lesi UMN karena kelemahan motorik disertai
dengan eutrofi sedangkan pada lesi LMN akan cenderung ditemukan kondisi atrofi. Namun
sekali lagi, hal ini harus kembali dikonfirmasi dengan pemeriksaan neurologis lainnya.
Pada pemeriksaan sensorik, didapatkan sensibilitas taktil menurun dan sensibilitas nyeri
juga menurun pada sisi wajah, ekstremitas atas, dan ekstremitas bawah sebelah kanan. Kondisi
ini disebut hemihipestesi dextra. Hal ini merujuk pada keadaan adanya gangguan pada pusat
sensoris di otak, yaitu lobus parietal.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa kelumpuhan anggota gerak pada
pasien ini merupakan tipe UMN dimana didapatkan adanya refleks patologis yang positif. Maka
sesuai teori, pada pasien ini ditegakkan diagnosa klinis berupa hemiplegia dextra et paresis
nervus VII dextra et parese nervus XII dextra tipe UMN ec stroke.
Selanjutnya ditentukan apakah stroke yang dialami Tn. S adalah stroke iskemik dan stroke
hemoragik berdasarkan tanda dan gejala klinis yang telah diamati. Berdasarkan literature, hal ini
dapat dilakukan dengan mengikuti algoritma gajah mada dan juga siriraj stroke score. Pada
pasien ini didapatkan adanya penurunan kesadaran, nyeri kepala dan refleks babinsky yang
positif.
Kondisi Tn. S memenuhi 2 dari 3 kriteria yang dinilai pada algoritma gajah mada, maka
dasar penegakan diagnosa stroke hemoragik pada Tn. S semakin kuat.
Berdasarkan Siriraj Stroke Score, skor > 1 merujuk pada stroke hemoragik
Siriraj Stroke Skor pada Tn. S:
1. Kesadaran : 1x 2,5 = 2,5
2. Muntah :0x2 = 0
3. Nyeri Kepala : 1x 2 = 2
4. Tekanan darah : diastolic 100 x 0,1 = 9
5. Ateroma (DM, Angina pectoris) : 1 x -3 = -3
6. Konstante : - 12
Jumlah : 2,5 + 0 + 2+ 10– 3 – 12 = -0,5
Interpretasi skor -0,5 berarti perlu CT Scan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pada Tn. S ditegakkan diagnose klinis
berupa hemiplegia dextra et paresis nervus VII dextra et parese nervus XII dextra tipe UMN ec
stroke suspek ICH
Diagnosis pasien ini didasarkan karena dari anamnesis kelumpuhan anggota gerak yang
terjadi secara mendadak ketika sedang beraktivitas, nyeri kepala, reflek patologis (+), ada
penurunan kesadaran, tidak ada tanda rangsang meningeal. Adanya kelumpuhan pada anggota
gerak dextra disebabkan karena adanya perdarahan intracranial. Perdarahan intrakranial dapat
terjadi karena adanya peningkatan tekanan darah yang terjadi secara tiba – tiba sehingga sering
terjadi pada saat sedang beraktivitas. Diduga terjadi kerusakan di daerah motorik dan sensorik di
hemisfer serebri sinistra sehingga ditegakkan diagnosa topis berupa hemisfer serebri dextra.
Diagnosa etiologi pada pasien ini adalah vascular dan diagnosa sekunder hipertensi grade II.
Pada pemeriksaan penunjang, pada pemeriksaan darah rutin ditemukan leukosit 14,4.
Peningkatan leukosit disini bisa terjadi karena perdarahan yang terjadi di otak. Pasien disarankan
untuk dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu CT Scan kepala sebagai gold standard penegakan
diagnose stroke. didapatkan hasil adanya perdarahan Intraserebral sinistra.
Pasien ini kemudian dirawat, bed rest dengan kepala diposisikan 30 derajat, diberikan
terapi medikamentosa dan fisioterapi. Medikamentosa yang diberikan berupa O2 3L /menit via
nasal canul, IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i, Inf. Manitol 20% 4 x 125 cc, Inj. Omeprazole 2 x 40 mg,
PO. Candesartan 1x 8 mg, Inj citicoline 2 x 1 gr. Oksigen diberikan pada stroke akut untuk
menjaga saturasi > 95%. Cairan yang diberikan berupa NaCl 0.9% sesuai dengan guideline
stroke akut yang dianjurkan oleh PERDOSI. Infus manitol diberikan untuk mengendalikan
peningkatan tekanan intracranial pada pasien ini dengan dosis yaitu 0,25 – 0,5 gr/kgBB diulang
setiap 4 – 6 jam. Untuk mencegah timbulnya mual dan muntah akibat dari asam lambung pada
pasien ini maka diberikan golongan proton pump inhibitor yaitu omeprazole infus 2 x 40 mg.
Tekanan darah dibutuhkan pada pasien stroke untuk mempertahankan perfusi jaringan.
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak dianjurkan
karena kemungkinan dapat memperburuk kerusakan neurologis akibat hipoperfusi pada jaringan
otak. Sehingga Pasien ini diberikan antihipertensi pada hari ke-5 karena tekanan darah 160
mmHg untuk systole dan 100 mmHg untuk diastole yaitu candesartan peroral 1 x 8 mg.
Citicoline 2 x 1 gr diberikan untuk meningkatkan metabolisme otak dengan meningkatkan
sintesis asetilkolin dan memulihkan fosfolipid konten di otak. Selanjutnya dilakukan pemantauan
kesadaran, tanda – tanda vital, dan status neurologis termasuk kejang. Terapi ini sesuai dengan
teori penatalaksanaan stroke hemoragik.
BAB V
KESIMPULA
17. Goodglass, Harold dab edith Kaplan. (1972). Boston aphasia examination
Philadelphia ; lea dan febiger
18. Lumbantobing, S.M. (2011). Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental .
cetakan 14. Jakarta : Balai Penerbit FKUI