Anda di halaman 1dari 61

Case Report Session

*Kepaniteraan Klinik Senior/Juli 2020

** Pembimbing/dr. Mirna Marhami Iskandar, Sp.S

Stroke Haemoragik

Disusun Oleh :

Salsabela fithri, S.Ked

Ririn hayu pangestu, S.Ked

Akhmad gustianza, S.ked

Dosen Pembimbing :
dr. Mirna Marhami Iskandar, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF RSUD RADEN MATTAHER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2020
2

HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session


Stroke Haemoragik

DISUSUN OLEH

Salsabela fithri, S.Ked

Ririn hayu pangestu, S.Ked

Akhmad gustianza, S.ked

Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Raden Mattaher/ Fakultas Kedokteran


dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan

dipresentasikan Jambi, Juli 2020

PEMBIMBING

dr. Mirna Marhami Iskandar, Sp.S


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT sebab karena
rahmatNya, laporan kasus yang berjudul “Stroke Haemoragik ” ini dapat
terselesaikan. Laporan kasus ini dibuat agar penulis dan teman–teman sesama
coass periode ini dapat memahami tentang gejala klinis yang sering muncul ini.
Selain itu juga sebagai tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu penyakit Saraf RSUD Raden Mattaher Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Mirna Marhami Iskandar,
Sp.S selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya
pembimbing dalam laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh
dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik
kedepannya. Akhir kata, semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi kita semua
dan dapat menambah informasi serta pengetahuan kita.

Jambi, Juli 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUA

Menurut World Health Organization (WHO) stroke adalah manifestasi


klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun global, yang berlangsung
dengan cepat dan lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian tanpa
ditemukannya penyakit selain daripada gangguan vaskular.1 Berdasarkan kelainan
patologisnya, stroke dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stroke hemoragik dan
stroke non hemoragik (stroke iskemik). Stroke hemoragik diakibatkan oleh
pecahnya pembuluh darah di otak, sedangkan stroke non hemoragik disebabkan
oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan terhentinya
pasokan oksigen dan glukosa ke otak.1
Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 795.000 orang mengalami stroke
yang baru atau berulang. Dari jumlah tersebut, sekitar 610.000 merupakan
serangan awal, dan 185.000 merupakan stroke berulang. Studi epidemiologi
menunjukkan bahwa sekitar 87% dari stroke di Amerika Serikat ialah iskemik,
10% sekunder untuk perdarahan intraserebral, dan lainnya 3% mungkin menjadi
sekunder untuk perdarahan subaraknoid.1
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan
kanker. Sebanyak 28,5% penderita meninggal dunia dan sisanya menderita
kelumpuhan sebagian atau total. Hanya 15% saja yang dapat sembuh total dari
serangan stroke dan kecacatan. Jumlah penderita stroke di Indonesia terus
meningkat. Pada Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) jumlah penderita stroke di
tahun 2007 usia 45‐54 sekitar 8 persen, sedangkan pada tahun 2013 mencapai 10
persen. Jumlah penderita stroke usia 55‐64 tahun pada Riskesdas 2007 sebanyak
15 persen, sedangkan pada Riskesdas 2013 mencapai 24 persen.1
Secara garis besar faktor risiko stroke dibagi atas faktor risiko yang dapat
dimodifikasi (modifable) dan yang tidak dapat di modifikasi (nonmodifable).
Faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah hipertensi,
penyakit jantung (fibrilasi atrium), diabetes mellitus, merokok, mengkonsumsi
alkohol, hiperlipidemia, kurang aktifitas, dan stenosis arteri karotis. Sedangkan
faktor risiko
yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, ras/suku, dan faktor
genetik.1
Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi karena pembuluh darah di
otak pecah sehingga timbul iskhemik dan hipoksia di hilir. Penyebab stroke
hemoragik antara lain: hipertensi, pecahnya aneurisma, malformasi arteri venosa.
Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga
terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun. Stroke hemoragik
adalah pembuluh darah otak yang pecah sehingga menghambat aliran darah yang
normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan kemudian
merusaknya.2
BAB II
KASUS BANGSAL NEUROLOGI
RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

I. IDENTITAS PASIEN
 Nama : Tn. S
 Jenis Kelamin : Laki - laki
 Usia : 58 tahun
 Alamat : Teluk Pengkah, Tanjung jabung
 Status Perkawinan : Menikah
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Pegawai swasta
 Pendidikan : SMA
 Suku Bangsa : WNI
 Tanggal Masuk RS : 24 Juli 2020 , Pukul 19.36
 Ruang Perawatan : Neurologi

DAFTAR MASALAH

No. Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif Tanggal

1. Penurunan 24 Juli 2020 -


kesadaran

Paralisis N VII
2 24 Juli 2020 -
tipe sentral

3 Paralisis N XII 24 Juli 2020

4 Hemiplegi dextra 24 Juli 2020 -

5 Afasia motorik 24 Juli 2020

6 Hipertensi stage II 24 Juli 2020 -


II. DATA SUBYEKTIF
Alloanamnesis dilakukan kepada istri pasien pada tanggal 25 Juli 2020

1. Keluhan Utama :
Kelemahan pada anggota gerak sebelah kanan sejak ± 3 jam SMRS

2. Riwayat Penyakit Sekarang


 Lokasi : Lengan kanan dan tungkai kanan
 Onset : Mendadak saat pasien sedang berjalan kaki kerumah tentangga
 Kualitas : Lengan kanan dan tungkai kanan tidak dapat diangkat, digeser, maupun
digerakkan
 Kuantitas : Pasien tidak dapat berjalan sendiri serta tidak dapat melakukan aktivitas
seperti biasa, pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk kebutuhan dasar misalnya
makan dan berganti pakaian.
 Kronologis :
Pasien laki-laki 58 tahun datang dengan keluhan kelemahan anggota gerak kanan
sejak ± 3 jam SMRS. Keluhan muncul mendadak pada saat pasien beraktivitas yaitu saat
sedang saat pasien sedang berjalan kaki kerumah tentangga, tiba – tiba pasien merasa
kepalanya berdenyut dan nyeri diikuti dengan kelemahan pada kaki kanan lalu tangan kanan.
Dan pasien hampir terjatuh kearah sebelah kanan namun ditahan oleh anaknya yang melihat
kejadian pada saat itu. Menurut istrinya saat itu mulut pasien terlihat miring dan pasien tidak
bisa bicara secara mendadak, kemudian pasien dibaringkan ditempat tidur. Istri pasien
mengaku pasien bingung saat di ajak bicara saat kejadian. Kemudian pasien juga mengalami
Istri pasien langsung membawa pasien ke RSUD Raden Mattaher.
Riwayat trauma kepala (-), kejang (-), penglihatan kabur (-), penglihatan dua (-), gangguan
pendengaran (-), gangguan penciuman (–), gangguan pengecapan disangkal. Buang air kecil
dan buang air besar tidak ada keluhan. Keluhan tidak dapat menggerakkan anggota gerak
kanan ini merupakan keluhan yang pertama. Pasien mengaku jarang cek kesehatan dan tau
memiliki hipertensi sejak ±3 bulan yang lalu, obat yang biasa pasien komsumsi captopril
tablet, tetapi pasien tidak rutin minum obat maupun kontrol ke puskesmas.
 Gejala Penyerta : mulut mencong ke kiri, tidak bisa bicara (+)
 Faktor yang memperberat : tekanan darah tinggi
 Faktor yang memperingan : (-)
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat keluhan seperti ini (-)
 Riwayat hipertensi diketahui (+) sejak 3 bulan yang lalu, namun tidak terkontrol.
Minum obat hanya saat keluhan nyeri kepala timbul. Nama Obat catopril

 Riwayat diabetes melitus (-)

 Riwayat trauma (-)


 Riwayat kolestrol (-)
 Riwayat alergi obat-obatan (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat stroke (+) ayah
 Riwayat DM (-)

Riwayat Sosial Ekonomi


 Pasien sudah menikah dan saat ini tinggal bersama istrinya
 Pasien merupakan seorang guru mengaji dengan status ekonomi pasien menengah
kebawah.

Riwayat kebiasaan :
- Riwayat merokok (+) 1/2 bungkus/ hari selama 23 th. berhenti 7 th yang lalu
- Riwayat mengkonsumsi makanan bersantan dan berlemak jarang

III. PEMERIKSAAN FISIK (OBJEKTIF)


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 24 Juli 2020
1. Keadaan Umum dan Tanda Vital
 Kesadaran : Coma GCS : 9 ( E3Vnt M6) somnolen
 Tekanan Darah : 160/100 mmHg
 Nadi : 90 kali/ menit
 Respirasi : 20 kali/ menit, pernapasan regular
 Suhu : 37°C
 SpO2 : 99 % dengan O2 3 Liter

2. Status Generalis
Kepala : Normocephal (+)
Mata : Edema palpebra (-/-), conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-
/-), pupil bulat, isokor,  ± 3 mm/± 3 mm, refleks cahaya (+)/(+),
katarak -/-
THT : Dalam batas normal
Mulut : Mulut mencong ke kanan (+) Bibir sianosis (-), mukosa kering (-),
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI-VII
Perkusi : Batas atas : ICS II Linea Parasternalis Sinistra
Batas kiri : ICS VI Linea Mid Clavikula Sinistra
Batas kanan : ICS V Linea Parasternalis Dextra
Auskultasi: BJ I dan BJ II regular, gallop (-),murmur(-)
Paru
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), fremitus taktil sama kanan dan kiri
Perkusi : Fremitus vokal sama kiri dan kanan, Sonor +/+
Auskultasi: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), masa (-).
Palpasi : Soepel, undulasi (-), shifting dullness (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan


Ekstremitas:
Superior : Akral hangat, edema (-)/(-), sianosis (-)/(-)
Inferior : Akral hangat, edema (-)/(-), sianosis (-)/(-)

3. Status Psikitus
Cara berpikir : sulit dinilai
Perasaan hati : biasa
Tingkah laku : Normoaktif
Ingatan : baik
Kecerdasan : baik
4. Status Neurologi
1. Kesadaran kualitatif :
2. Kesadaran kuantitatif: E3M6Vn/t
3. Kepala
a. Bentuk : Normocephal
b. Nyeri tekan : (-)
c. Simetri : (+)
d. Pulsasi : (-)

4. Tanda Rangsang Meningeal


a. Kakukuduk :-
b. Brudzinski 1 :-
c. Brudzinski 2 : -/-
d. Brudzinski 3 : -/-
e. Brudzinski 4 : -/-

5. Tanda Rangsang Radikuler


a. Leseque : -/-
b. Kernig : -/-
c. Patrick : -/-
d. Kontra Patrick : -/-

6. Pemeriksaan Nervus Cranialis


N.I (Olfactorius)

Pemeriksaan Kanan Kiri

Subjektif Normal Normal

Degan bahan Normal Normal

N.II (Opticus)

Pemeriksaan Kanan Kiri

Tajam Penglihatan 6/60 6/60


Lapang Pandang Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

Melihat Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Fundus Okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.III (Oculomotorius)

Pemeriksaan Kanan Kiri

Sela mata simetris Simetris

Ptosis Tidak ada Tidak ada


Pergerakan bola mata normal Normal

Nistagmus Tidak ada Tidak ada

Strabismus Tidak ada Tidak ada


Ekso/endophtalmus Tidak ada Tidak ada
Bulat, ±3mm Bulat, ±3mm
Pupil : Bentuk, Besar

Refleks Cahaya
Langsung + +
Refleks Cahaya Tidak
Langsung + +
Melihat Kembar - -
(diplopia)

N. IV (Trochlearis)

Pemeriksaan Kanan Kiri

Pergerakan bola mata


ke bawah-dalam +
+

Melihat Kembar
- -

N. V (Trigeminus)

Pemeriksaan Kanan Kiri

Membuka mulut + +

Mengunyah + +
Menggigit Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

Sensibilitas Muka Kanan Kiri

Oftalmikus + +
Maksila + +
Mandibula + +
Refleks Kornea + +

N. VI (Abducent)

Pemeriksaan Kanan Kiri

Pergerakan bola mata ke lateral normal normal

Melihat Kembar Tidak ada Tidak ada

N. VII (Facialis)
Pemeriksaan Keterangan

Sudut bibir Deviasi ke kanan


Mengerutkan dahi Normal
Senyum memperlihatkan gigi Tidak bisa
Menutup mata Normal
Bersiul Tidak bisa
Daya perasa 2/3 anterior lidah Tidak dapat dinilai
Plica nasolabialis Tidak simetris

N VIII (Vestibulocohlearis)

Pemeriksaan Kanan Kiri

Detik Arloji normal normal

Rinne test + +

Weber test Tidak ada Tidak ada


lateralisasi lateralisasi
Swabach test normal normal
Nistagmus - -

N IX (Glossopharingeus)

Pemeriksaan Kan Kiri


an
Daya perasa 1/3
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
posterior lidah
Sensibilitas faring normal Normal
Refleks Muntah Baik Baik

N X (Vagus)

Pemeriksaan Kanan Kiri

Arkus faring Simetris Simetris


Disfonia normal normal
Menalan Baik Baik

Refleks muntah baik Baik

N XI (Assesorius)

Pemeriksaan Kanan Kiri

Mengangkat bahu baik Baik


Memalingkan kepala baik Baik

N XII (Hipoglossus)

Pemeriksaan Kanan Kiri

Pergerakan lidah deviasi -


Tremor lidah Tidak ada Tidak ada
Atrofi Papil Tidak ada Tidak ada
Artikulasi Tidak dapat dinilai

7. Badan dan Anggota Gerak


A. Badan

Motorik Kanan Kiri

Respirasi Simetris Simetris


Duduk Tidak dapat Tidak dapat
dinilai dinilai
Bentuk kolumna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensibilitas Kanan Kiri
Taktil - +
Nyeri - +
Lokalis - +

B. Anggota Gerak Atas

Motorik Kanan Kiri

Pergerakan
lemah aktif
Kekuatan 1 5
Tonus atoni Normal

Arm Dropping Test Lengan kanan jatuh lebih


dahulu dari lengan kiri
Sensibilitas Kanan Kiri

Taktil - +
Nyeri - +
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lokalis - +

Refleks Fisiologis Kanan Kiri

Biseps ++ -
Triseps ++ -
Refleks Patologis Kanan Kiri

Hoffman-Tromner (-) (-)

C. Anggota Gerak Bawah

Motorik Kanan Kiri

Pergerakan lemah Aktif


Kekuatan 1 5
Tonus atoni Normal

Knee Droppimg Test Tungkai kanan jatuh lebih


dahulu dari tungkai kiri
Sensibilitas Kanan Kiri
Taktil - +

Nyeri - +
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lokalis - +

Refleks Fisiologis Kanan Kiri

Patella Sulit untuk dinilai Sulit untuk


dinilai
Achilles ++ -
Refleks Patologis Kanan Kiri

Babinsky (+) (-)


Chaddock (-) (-)
Rosolimo (-) (-)
Mendel-Bechtrew (-) (-)
Schaefer (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)
Test Provokasi Kanan Kiri
Test Laseque (-) (-)
Test Patrick (-) (-)
kontra patrick (-) (-)
D. Koordinasi, Gait, Keseimbangan
 Cara berjalan : Tidak dilakukan
 Test Romberg : Tidak dilakukan
 Disdiadokinesis : Tidak dilakukan
 Ataksia : Tidak dilakukan
 Rebound phenomen : Tidak dilakukan
 Dismetria : Tidak dilakukan

E. Gerakan Abnormal
 Tremor : (-)
 Atetosis : (-)
 Miokloni : (-)
 Khorea : (-)
 Rigiditas : (-)

F. Alat Vegetatif
Miksi : Tidak dilakukan
Defekasi : Tidak dilakukan

G. Test Tambahan
Test Nafziger : Tidak dilakukan
Tes Valsava : Tidak dilakukan

H. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Rutin (24 Juli 2020)
Parameter Hasil Nilai Rujukan
WBC 14,4 x103/mm3 4-10 x 103/mm3
RBC 6,09 x 106/mm3 3,5 -5,5 x 106/mm3
HGB 16,2 g/dl 11-16 g/dl
HCT 49,9 % 35-50 %
PLT 315 x 103/mm3 100-300 x 103/mm3
GDS 117 g/dl <200 g/dl

b. Kimia Darah (24 Juli 2020)


Parameter Hasil Nilai Rujukan
Asam Urat 7,6 mg/dl 2,6-7,2 mg/dl
Kolesterol 166 mg/dl <200 mg/dl
Trigliserida 62 mg/dl <150 mg/dl
HDL 54 mg/dl >34 mg/dl
LDL 111 mg/dl <99 mg/dl

c. Faal Ginjal (264Juli 2020)


Parameter Hasil Nilai Rujukan
Ureum 17 mg/dl 15-39 mg/dl
Kreatinin 1,2 mg/dl 0,6-1,3 mg/dl

d. Elektrolit (24 Juli 2020)

Parameter Hasil Nilai Rujukan


Natrium 137,7 mmol/L 136-146 mmol/L
Kalium 4,34 mmol/L 3,34-5,10 mmol/L
Chlorida 100,7 mmol/L 98,0-106,0 mmol/L
e. Pemeriksaan Radiologi (24-07- 2020)
Pemeriksaan CT scan Kepala tanpa
Kontras
Kesan :intra serebral haemoregik
Ich vol : 34,5,cc
Pemeriksaan Radiografi Toraks Proyeksi AP (24-07-2020)

Kesan:
- Kardiomegali

- Susp Bronchopneumonia

I. Diagnosis Klinis : Hemiplegi dextra et parase nervus VII dan et parase XII tipe

UMN et afasia motorik ec ICH

Diagnosis Topis : Intra cerebri sinistra

Diagnosis Etiologi: Vaskuler

Diagnosis sekunder : Hipertensi stage II

Siriraj Stroke Score (SSS)


(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x vomitus) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan
diastolic) – (3 x petanda ateroma) -12
Keterangan :
Derajat kesadaran : 0 = kompos mentis
1 = somnolen
2 = sopor/koma
Vomitus : 0 = tidak ada
1 = ada
Nyeri kepala : 0 = tidak ada
1 = ada
Ateroma : 0 = tidak ada
1= salah satu atau lebih :
diabetes, angina, penyakit pembuluh darah
Skor > 1 : Perdarahan
Skor -1 s.d 1 : Perlu CT Scan
Skor < -1 : Infark cerebri

Siriraj Stroke Skor pada Tn. S:


1. Kesadaran : 1x 2,5 = 2,5
2. Muntah :0x2 = 0
3. Nyeri Kepala : 1x 2 =2
4. Tekanan darah : diastolic 100 x 0,1 = 9
5. Ateroma (DM, Angina pectoris) : 1 x -3 = -3
6. Konstante : - 12
Jumlah : 2,5 + 0 + 2+ 10– 3 – 12 = -0,5
Interpretasi skor -0,5 berarti perlu CT Scan

Algoritme Gadjah Mada


Penurunan Nyeri kepala Babinski Jenis stroke
kesadaran
+ + + Perdarahan
(+ 2 dari 3)
+ - - Perdarahan
- + - Perdarahan
- - + Iskemik
- - - Iskemik

Pada Tn.S didapatkan penurunan kesadaran +, nyeri kepala +, babinski +


Interpretasi : Stroke hemoragik

J. Terapi
Non Farmakologi
- Elevasi kepala 30 derajat
- Pasang kateter
- Pasang NGT
- Konsul ke dokter Sp.S

Farmakologi
- O2 3 liter Nasal Canul
- IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
- Inf. Manitol 20% 4 x 125 cc
- Inj. Omeprazole 2 x 40 mg
- PO. Candesartan 1x 8 mg
- Inj citicoline 2 x 1 gr

III. PROGNOSIS
 Quoa ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad fungsionam : dubia ad malam
 Quo ad sanationam : dubia ad malam
IV. RIWAYAT PERKEMBANGAN

Tanggal S O A P

Kelumpuhan - KU: Tampak sakit Hemiplegi dextra


24- 07-  O2 3 liter Nasal Canul
et parase n.VII et
2020 anggota gerak berat
parase n.XII tipe  IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
Jam kanan(+) - Kesadaran: UMN et afasia
 Inj omz 1x1
20.00 motorik ec ICH
Tidak bisa somnolen
 Drip manitol 4 x 125 cc
bicara (+) - GCS 9 (E3VntM6) Hipertensi stage
 Kateter,
- TV: II
Penurunan
 NGT (menolak)
kesadaran (+) TD: 160/90 mmHg Onset hari ke 1
Nyeri kepala N: 90x/m

(+) RR:
20x/m

T: 37˚C
SpO2 : 99% dengan
O2 3 L

PF neurologi
N.VII
Lipatan nasolabial
(tidak simetris)
mencucu (-)
menggembungkan pipi
(-) menggerutkan dahi
(+)
N.XII
Deviasi lidah (+)
Mejulurkan lidah (-)
Kelumpuhan - KU: Tampak sakit Hemiplegi dextra
25-07-
et parase n.VII et
2020 anggota gerak sedang
parase n.XII tipe  IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
Jam 7.55 kanan(+) - Kesadaran: UMN et afasia
 Inj omz 2x1
wib motorik ec ICH
Tidak bisa somnolen
 Drip manitol 4 x 125 cc
bicara (+) - GCS 9 (E3VntM6) Hipertensi stage
 Kateter
- TV: II
Penurunan
kesadaran (+) TD: 170/100 mmHg Onset hari ke 2

Nyeri kepala (-) N: 60x/m


RR: 20 x/m
SpO2 :
97%

T : 36,8 ˚C
PF neurologi
N.VII
Lipatan nasolabial
(tidak simetris)
mencucu (-)
menggembungkan pipi
(-) menggerutkan dahi
(+)
N.XII
Deviasi lidah (+)
Mejulurkan lidah (-)

26-07-2020 Kelumpuhan - KU: Tampak sakit Hemiplegi dextra


07.55 wib sedang  IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
et parase n.VII et
anggota
- Kesadaran: parase n.XII tipe  Inj omz 2x1
gerak UMN et afasia
Compos mentis  Drip manitol 4 x 125 cc
motorik ec ICH
kanan(+)
- GCS 10 (E4VntM6)  Kateter
Tidak bisa Hipertensi stage
- TV:
II
bicara (+)
TD: 190/100 mmHg
Penurunan N: 72x/m Onset hari ke 3
kesadaran RR: 20x/m
(-) T: 36,2 ˚C
Nyeri kepala SpO2 : 98%

(-)
PF neurologi
N.VII
Lipatan nasolabial
(tidak simetris)
mencucu (-)
menggembungkan pipi
(-) menggerutkan dahi
(+)
N.XII
Deviasi lidah (+)
Mejulurkan
lidah (-)
27-07-2020 Kelemahan KU : Tampak sakit Hemiplegi dextra
Pukul  IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
et parase n.VII et
07.55 wib anggota ringan
parase n.XII tipe  Inj omz 2x1
gerak - kesadaran : UMN et afasia
 Drip manitol 4 x 125 cc
motorik ec ICH
kanan(+) Compos mentis
 Kateter
Tidak bisa - GCS 10 (E4VntM6) Hipertensi stage
II
bicara (+) - TV:

Penurunan TD : Onset hari ke 4


kesadaran 170/90;
(-) N: 72x/m,
Nyeri kepala
RR: 24 x/m
(-)
T : 35,9 ˚C
SpO2 : 97%
PF neurologi
N.VII
Lipatan nasolabial
(tidak simetris)
mencucu (-)
menggembungkan pipi
(-) menggerutkan dahi
(+)
N.XII
Deviasi lidah (+)
Mejulurkan
lidah (-)
28-07-2020 Kelemahan KU : Tampak sakit Hemiplegi dextra
Pukul  IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
et parase n.VII et
07.55 wib anggota ringan
parase n.XII tipe  Inj omz 2x1
gerak - kesadaran : UMN et afasia
 Drip manitol 4 x 125 cc
motorik ec ICH
kanan(+) Compos mentis
 Candesartan 1x8 mg
Tidak bisa - GCS 10 (E4VntM6) Hipertensi stage
II
bicara (+) - TV:

Penurunan TD : Onset hari ke 5


kesadaran 160/90;
(-) N: 70x/m,
Nyeri kepala
RR: 21 x/m
(-)
T : 36,7˚C
SpO2 : 99%

PF neurologi
N.VII
Lipatan nasolabial
(tidak simetris)
mencucu (-)
menggembungkan pipi
(-) menggerutkan dahi
(+)
N.XII
Deviasi lidah (+)
Mejulurkan lidah (-)
29-07-2020 Kelumpuhan KU : Tampak sakit Hemiplegi dextra
Pukul  IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
et parase n.VII et
07.55 wib anggota ringan
parase n.XII tipe  Inj omz 2x1
gerak - kesadaran : UMN et afasia
 Drip manitol 4 x 50 cc
motorik ec ICH
kanan(+) Compos mentis
 Candesartan 1x8mg
Tidak bisa - GCS 10 (E4VntM6) Hipertensi stage
II
bicara (+) - TV:

Penurunan TD : Onset hari ke 6


kesadaran 150/90;
(-) N: 65x/m,
Nyeri kepala
RR: 19x/m
(-)
T : 36,6˚C
SpO2 : 97%
PF neurologi
N.VII
Lipatan nasolabial
(tidak simetris)
mencucu (-)
menggembungkan pipi
(-) menggerutkan dahi
(+)
N.XII
Deviasi lidah (+)
Mejulurkan lidah (+)
30-07-2020 Kelumpuhan KU : Tampak sakit Hemiplegi dextra
Pukul  IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
et parase n.VII et
14.00 wib anggota ringan
parase n.XII tipe  Inj omz 2x1
gerak - kesadaran : UMN et afasia
 Drip manitol 3 x 50 cc
motorik ec ICH
kanan(+) Compos mentis
 Candesartan 1x16mg
Tidak bisa - GCS 10 (E4VntM6) Hipertensi stage
 Citicolin 2x1 gr
II
bicara (+) - TV:

Penurunan TD : Onset hari ke 7


kesadaran 130/90;
(-) N: 71x/m,
Nyeri kepala
RR: 22x/m
(-)
T : 36,6˚C
SpO2 : 97%
PF neurologi
N.VII
Lipatan nasolabial
(tidak simetris)
mencucu (-)
menggembungkan pipi
(-) menggerutkan dahi
(+)
N.XII
Deviasi lidah (+)
Mejulurkan lidah (+)
31-07-2020 Kelumpuhan KU : Tampak sakit Hemiplegi dextra
Pukul  IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
et parase n.VII et
14.00 wib anggota ringan
parase n.XII tipe  Inj omz 2x1
gerak - kesadaran : UMN et afasia
 Drip manitol 3 x 50 cc
motorik ec ICH
kanan(+) Compos mentis
 Candesartan 1x16mg
Tidak bisa - GCS 10 (E4VntM6) Hipertensi stage
 Citicolin 2x1 gr
II
bicara (+) - TV:

Penurunan TD : 130/90; Onset hari ke 8


kesadaran N: 71x/m,
(-) RR: 22x/m
Nyeri kepala T : 36,6˚C
(-) SpO2 : 97%
PF neurologi
N.VII
Lipatan nasolabial
(tidak simetris)
mencucu (-)
menggembungkan
pipi (-) menggerutkan
dahi (+)
N.XII
Deviasi lidah (+)
Mejulurkan lidah (+)
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang
secara cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa
adanya penyebab lain yang jelas selain vascular.6 Stroke hemoragik adalah stroke
yang terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi
perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak.5

3.2 Epidemiologi
Kejadian stroke di Amerika Serikat memiliki insidensi yaitu 500.000
pertahunnya diama 10-15% merupakan stroke hemoragik khususnya perdarahan
intraserebral. Mortalitas dan morbiditas pada stroke perdarahan hemoragik lebih
berat dari pada stroke iskemik. Dilaporkan hanya sekitar 20% saja pasien yang
mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya. Selain itu ada sekitar 40-80%
akhirnya meninggal pada 30 hari pertama setelah serangan dan sekitar 50%
meninggal pada 48 jam pertama. Penelitian menunjukkan dari 251 penderita
stroke, ada 47% wanita dan 53% laki-laki dengan rata-rata umur 69 tahun (78%)
berumur lebih dari 60 tahun. Pasien dengan umur lebih dari 75 tahun dan berjenis
kelamin laki-laki menunjukkan outcome yang lebih buruk.6

3.3 Etiologi
Penyebab terbanyak dari perdarahan intraerebral adalah hipertensi (72-
81%). Perdarahan intraserebral spontan yang tidak berhubungan dengan
hipertensi, biasanya berhubungan dengan diskrasia darah, hemartroma,
neoplasma, aneurisma, AVM, tumor otak metastasis, pengobatan dengan
antikoagulans, gangguan koagulasi seperti pada leukemia atau trombositopenia,
serebralarteritis, amyloid angiopathy dan adiksi narkotika.7
Perdarahan intraserebral dapat disebabkan oleh :
1. Hipertensi
Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid yang
memperlemah dinding pembuluh darah yang kemudian menyebabkan ruptur
intima dan menimbulkan aneurisma. Selanjutnya dapat menyebabkan
mikrohematoma dan edema. Hipertensi kronik dapat juga menimbulkan
sneurisma-aneurisma kecil (diameternya 1 mm) yang tersebar di sepanjang
pembuluh darah, aneurisma ini dikenal sebagai aneurisma Charcot Bouchard.
2. Cerebral Amyloid Angiopathy
Cerebral Amyloid Angiopathy adalah suatu perubahan vaskular yang unik
ditandai oleh adanya deposit amiloid di dalam tunika media dan tunika
adventisia pada arteri kecil dan arteri sedang di hemisfer serebral. Arteri-
arteri yang terkena biasanya adalah arteri-arteri kortical superfisial dan arteri-
arteri leptomening. Sehingga perdarahan lebih sering di daerah subkortikal
lobar ketimbang daerah basal ganglia. Deposit amiloid menyebabkan dinding
arteri menjadi lemah sehingga kemudian pecah dan terjadi perdarahan
intraserebral. Di samping hipertensi, amyloid angiopathy dianggap faktor
penyebab kedua terjadinya perdarahan intraserebral pada penderita lanjut
usia.
3. Neoplasma intrakranial.
Akibat nekrosis dan perdarahan oleh jaringan neoplasma yang
hipervaskular.Perdarahan di putamen, thalamus, dan pons biasanya akibat
ruptur a. lentikulostriata, a. thalamoperforating dan kelompok basilar-
paramedian. Sedangkan perdarahan di serebelum biasanya terdapat di daerah
nukleus dentatus yang mendapat pendarahan dari cabang a. serebelaris
superior dan a. serecelaris inferior anterior.7

3.4 Faktor Risiko


1. Umur
Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke. Sekitar 30%
dari stroke terjadi sebelum usia 65; 70% terjadi pada mereka yang 65 ke atas.
Risiko stroke adalah dua kali ganda untuk setiap 10 tahun di atas 55 tahun.
2. Hipertensi
Risiko stroke berkaitan dengan tingkat sistolik hipertensi. Hal ini berlaku
untuk kedua jenis kelamin, semua umur, dan untuk resiko perdarahan,
atherothrombotik, dan stroke lakunar, menariknya, risiko stroke pada tingkat
hipertensi sistolik kurang dengan meningkatnya umur, sehingga ia menjadi
kurang kuat, meskipun masih penting dan bisa diobati, faktor risiko ini pada
orang tua.
3. Jenis Kelamin
Infark otak dan stroke terjadi sekitar 30% lebih sering pada laki-laki
berbanding perempuan, perbedaan seks bahkan lebih tinggi sebelum usia 65.
4. Riwayat keluarga
Terdapat lima kali lipat peningkatan prevalensi stroke antara kembar
monozigotik dibandingkan dengan pasangan kembar laki-laki dizigotik yang
menunjukkan kecenderungan genetik untuk stroke. Pada 1913 penelitian
kohort kelahiran Swedia menunjukkan tiga kali lipat peningkatan kejadian
stroke pada laki-laki yang ibu kandungnya meninggal akibat stroke,
dibandingkan dengan laki-laki tanpa riwayat ibu yang mengalami stroke.
Riwayat keluarga juga tampaknya berperan dalam kematian stroke antara
populasi Kaukasia kelas menengah atas di California.
5. Diabetes Melitus
Setelah faktor risiko stroke yang lain telah dikendalikan, diabetes
meningkatkan risiko stroke tromboemboli sekitar dua kali lipat hingga tiga
kali lipat berbanding orang-orang tanpa diabetes. Diabetes dapat
mempengaruhi individu untuk mendapat iskemia serebral melalui percepatan
aterosklerosis pembuluh darah yang besar, seperti arteri koronari, arteri
karotid atau dengan, efek lokal pada mikrosirkulasi serebral.
6. Penyakit Jantung
Individu dengan penyakit jantung dari jenis apa pun memiliki lebih dari dua
kali lipat risiko stroke dibandingkan dengan mereka yang fungsi jantungnya
normal.
 Penyakit Arteri koroner :
Indikator kuat kedua dari keberadaan penyakit difus vaskular
aterosklerotik dan potensi sumber emboli dari thrombi mural karena
miocard infarction.
 Gagal Jantung kongestif, penyakit jantung hipertensi :
Berhubungan dengan meningkatnya kejadian stroke
 Fibrilasi atrial :
Sangat terkait dengan stroke emboli dan fibrilasi atrial
karena penyakit jantung rematik; meningkatkan risiko stroke sebesar 17
kali.
 Lainnya :
Berbagai lesi jantung lainnya telah dikaitkan dengan stroke, seperti
prolaps katup mitral, patent foramen ovale, defek septum atrium,
aneurisma septum atrium, dan lesi aterosklerotik dan trombotik dari
ascending aorta.
7. Merokok
Beberapa laporan, termasuk meta-analisis angka studi, menunjukkan bahwa
merokok jelas menyebabkan peningkatan risiko stroke untuk segala usia dan
kedua jenis kelamin, tingkat risiko berhubungan dengan jumlah batang rokok
yang dihisap, dan penghentian merokok mengurangi risiko, dengan resiko
kembali seperti bukan perokok dalam masa lima tahun setelah penghentian.
8. Peningkatan Hematokrit
Penigkatan viskositas menyebabkan gejala stroke ketika hematokrit melebihi
55%. Penentu utama viskositas darah keseluruhan adalah dari isi sel darah
merah; plasma protein, terutamanya fibrinogen, memainkan peranan penting.
Ketika meningkat viskositas hasil dari polisitemia, hyperfibrinogenemia, atau
paraproteinemia, biasanya menyebabkan gejala umum, seperti sakit kepala,
kelesuan, tinnitus, dan penglihatan kabur. Infark otak fokal dan oklusi vena
retina jauh kurang umum, dan dapat mengikuti disfungsi trombosit akibat
trombositosis. Perdarahan Intraserebral dan subarachnoid kadang-kadang
dapat terjadi.
9. Peningkatan tingkat fibrinogen dan kelainan system pembekuan
Tingkat fibrinogen tinggi merupakan faktor risiko untuk stroke trombotik.
Kelainan sistem pembekuan darah juga telah dicatat, seperti antitrombin III
dan kekurangan protein C serta protein S dan berhubungan dengan vena
thrombotic.
10. Penyalahgunaan obat
Obat yang telah berhubungan dengan stroke termasuk methamphetamines,
norepinefrin, LSD, heroin, dan kokain. Amfetamin menyebabkan sebuah
vaskulitis nekrosis yang dapat mengakibatkan pendarahan petechial
menyebar, atau fokus bidang iskemia dan infark. Heroin dapat timbulkan
sebuah hipersensitivitas vaskular menyebabkan alergi . Perdarahan
subarachnoid dan difarction otak telah dilaporkan setelah penggunaan kokain
11. Hiperlipidemia
Meskipun tingkat kolesterol tinggi telah jelas berhubungan dengan penyakit
jantung koroner, mereka sehubungan dengan stroke kurang jelas. Peningkatan
kolesterol tidak muncul untuk menjadi faktor risiko untuk aterosklerosis
karotis, khususnya pada laki-laki di bawah 55 tahun. Kejadian
hiperkolesterolemia menurun dengan bertambahnya usia. Kolesterol berkaitan
dengan perdarahan intraserebral atau perdarahan subarachnoid. Tidak ada
hubungan yang jelas antara tingkat kolesterol dan infark lakunar.
12. Kontrasepsi Oral
Pil KB, estrogen tinggi yang dilaporkan meningkatkan risiko stroke pada
wanita muda. Penurunan kandungan estrogen menurunkan masalah ini, tetapi
tidak dihilangkan sama sekali. Ini adalah faktor risiko paling kuat pada wanita
yang lebih dari 35 tahun . Mekanisme diduga meningkat koagulasi, karena
stimulasi estrogen tentang produksi protein liver, atau jarang penyebab
autoimun
13. Diet
 Konsumsi alkohol :
Ada peningkatan risiko infark otak, dan perdarahan subarakhnoid
dikaitkan dengan penyalahgunaan alkohol pada orang dewasa muda.
Mekanisme dimana etanol dapat menghasilkan stroke termasuk efek pada
darah tekanan, platelet, osmolalitas plasma, hematokrit, dan sel-sel darah
merah. Selain itu, alkohol bisa menyebabkan miokardiopati, aritmia, dan
perubahan di darah aliran otak dan autoregulasi.
 Kegemukan :
Diukur dengan berat tubuh relatif atau body mass indexs, obesitas telah
secara konsisten meramalkan berikutnya stroke. Asosiasi dengan stroke
dapat dijelaskan sebagian oleh adanya hipertensi dan diabetes. Sebuah
berat relatif lebih dari 30% di atas rata-rata kontributor independen ke-
atherosklerotik infark otak berikutnya.
14. Infeksi
Infeksi meningeal dapat mengakibatkan infark serebral melalui
pengembangan perubahan inflamasi dalam dinding pembuluh darah. Sifilis
meningovaskular dan mucormycosis dapat menyebabkan arteritis otak dan
infark.
15. Sirkardian dan faktor musim
Variasi sirkadian dari stroke iskemik, puncaknya antara pagi dan siang hari.
Hal ini telah menimbulkan hipotesis bahwa perubahan diurnal fungsi platelet
dan fibrinosis mungkin relevan untuk stroke. Hubungan antara variasi iklim
musiman dan stroke iskemik telah didalihkan. Peningkatan dalam arahan
untuk infark otak diamati di Iowa. Suhu lingkungan rata-rata menunjukkan
korelasi negatif dengan kejadian cerebral infark di Jepang. Variasi suhu
musiman telah berhubungan dengan resiko lebih tinggi cerebral infark dalam
usia 40-64 tahun pada penderita yang nonhipertensif, dan pada orang dengan
kolesterol serum bawah 160mg/dL.8

3.5 Klasifikasi
Menurut WHO 1987, Stroke homoragik dibagi dalam :
1. Perdarahan sub arachnoid
2. Perdarahan intraserebral
3. Perdarahan intracranial non spesifik yang lain misalnya perdarahan
epidural.
3.6 Patofiologi
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400
micrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut.
Arteriol – arteriol dari cabang lentikulostriata, cabang arteriotalamus dan cabang
paramedian arteri vertebrobasilar mengalami perubahan degenerative yang sama,
perubahan arteriosklerotik pembuluh darah kecil, terutama pada cabang-cabang
arteri serebri media, yang mensuplai ke dalam basal ganglia dan kapsula interna.
Pembuluh-pembuluh darah ini menjadi lemah, sehingga terjadi robekan dan
reduplikasi pada lamina interna, hialinisasi lapisan media dan akhirnya terbentuk
aneurisma kecil yang dikenal dengan aneurisma Charcot-Bouchard. Hal yang
sama dapat terjadi pembuluh darah yang mensuplai pons dan serebelum.
Rupturnya satu dari pembuluh darah yang lemah menyebabkan perdarahan ke
dalam substansi otak.9
Kenaikan tekanan darah yang terjadi secara tiba – tiba atau kenaikan
dalam jumlah yang secara mencolok dapat menginduksi pecahnya pembuluh
darah terutama pada pagi hari dan sore hari . Jika pembuluh darah tersebut pecah,
maka perdarahan dapat berlanjut sampai dengan 6 jam dan jika volumenya besar
akan merusak struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala klinis. Jika
perdarahan yang timbul kecil, maka massa darah hanya dapat merusak dan
menyela di antara selaput akson white matter(dissecan splitting) tanpa
merusaknya. Pada keadaan ini absorpsi darah akan diikuti pulihnya fungsi
neurologi. Sedangkan pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak,
peningkatan tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan
herniasi otak pada falks serebri atau lewat foramen magnum.
Kematian dapat disebabkan karena kompresi batang otak, hemisfer otak
dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.
Kerusakan parenkima otak, akibat volume perdarahan yang relative banyak akan
mengakibatkan peninggian tekanan intrakranial dan menyebabkan menurunnya
tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak. Elemen vasoaktif darah
yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi,
menyebabkan neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan
lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Bila volume darah lebih
dari 60 cc maka
risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan
lobar. Sedangkan bila terjadi perdarahan serebellar dengan volume antara 30 – 60
cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75% tetapi volume darah 5 cc dan
terdapat di daerah pons sudah berakibat fatal.10

3.7 Manifestasi Klinis


Penurunan level kesadaran biasanya akan terlihat pada pasien dengan
perdarahan besar dan hal ini menyebabkan peningkatan tekanan Intracranial dan
menekan langsung dan distorsi dari thalamus dan batang otak.Mayoritas pasien
mengalami nyeri kepala akut dan penurunan kesadaran yang berkembang cepat
sampai keadaan koma. Pada pemeriksaaan biasanya di dapati hipertensi kronik.
Gejala dan tanda tergantung lokasi perdarahan. Herniasi uncal dengan hiliangnya
fungsi batang otak dapat terjadi. Pasien yang selamat secara bertahap mengalami
pemulihan kesadaran dalam beberapa hari. Pasien dengan perdarahan pada lobus
temporal atau lobus frontal dapat mengalami seizure tiba-tiba yang dapat diikuti
kelumpuhan kontralateral.11
Pasien usia tua dengan tekanan darah normal yang mengalami ICH atau
perdarahan intraserebellar karena amyloid angiopathy biasanya telah menderita
penyakit Alzheimer atau demensia progresif tipe Alzheimer dan dalam
perjalanannnya perdarahan dapat memasuki rongga subarachnoid.11
Kejadian muntah banyak terjadi pada perdarahan intraserebral dan
perdarahan subarakhnoid dibandingkan dengan stroke iskemik. Sebanyak 33%
kasus perdarahan intraserebral mengeluhkan nyeri kepala dan penderita koma
dijumpai sebanyak 24% kasus dibandingkan dengan stroke iskemik dengan
presentasi 0 – 4% .12

3.8 Diagnosis
Penegakan diagnosis stroke dilakukan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik umum dan neurologis, serta pemeriksaan penunjuang. Hal
terpenting adalah menentukan tipe stroke; stroke iskemik atau perdarahan. Hal ini
berkaitan dengan tatalaksana yang sangat berbeda diantara keduanya, sehingga
kesalahan akan megnakibatkan morbiditas bahkan mortalitas.
Dalam anamnesis, hal yang perlu ditanyakan meliputi identitas, kronologis
terjadinya keluhan, faktor risiko pada pasien maupun keluarga dan kondisi sosial
ekonomi pasien. Dari anamnesis seharusnya didapatkan informasi apakah
keluahan terjadi secara tiba-tiba, saat pasien beraktivitas, atau saat pasien baru
bangun tidur. Pada stroke hemoragik, pasien umumnya berada dalam kondisi
sedang beraktivitas atau emosi yang tidak terkontrol. Durasi sejak serangan
hingga dibawa ke pusat kesehatan juga merupakan hal penting yang turut
menentukan prognosis.
Keluhan yang dialami pasien juga dapat menuntun proses penegakan
diagnosis. Pasien dengan keluhan sakit kepala disertaia muntah (tanpa mual) dan
penurunan kesadaran, umumnya mengarahkan kecurigaan kepada stroke
hemoragik dengan peningkatan TIK akibat efek desak ruang. Meskipun demikian,
pada stroke hemoragik dengan volume perdarahan kecil, gejala dapat menyerupai
stroke iskemik tanpa ditemukan tanda-tanda peningkatan TIK. Perlu ditanyakan
juga faktor risiko stroke yang ada pada pasien dan keluarganya, seperti diabetes
mellitus, hipertensi, dislipidemia, obesitas, penyakit jantung, dan pola hidup.
(merokok, alcohol, obat-obatan)

 Pemeriksaan fisik
Dimulai dengan keadaan umum, kesadaran, dan tanda vital. Pada stroke
hemoragik, keadaan umum pasien bisa lebih buruk dibandingkan dengan
kasus stroke iskemik. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan kepala, mata,
telinga, hidung dan tenggorokan (THT), dada (terutama jantung), abdomen,
dan ekstremitas. Pemeriksaan ekstremitas bertujuan terutama untuk mencari
edema tungkai akibat thrombosis vena dalam atau gagal jantung.
Pada pemeriksaan tekanan darah, perlu dibandingkan tekanan darah di
kstremitas kiri dan kanan, serta bagian tubuh atas dan bawah dengan cara
menghitung rerata tekanan darah arteri (mean arterial blood pressure/
MABP), karena akan mempengaruhi tatalaksana stroke. Pola pernapasan
merupakan merupakan hal penting yang harus diperhatikan, karena dapat
menjadi petunjuk lokasi perdarahan, misalnya : Cheyne Stokes, hiperventilasi
neurogenik, klaster, apneuristik, atau ataksik.
 Pemeriksaan neurologis awal
Adakah penilaian tingkat kesadaran dengan skala koma Glasgow (GCS),
yang selanjutnya dipantau secara berkala. Kemudian diikuti pemeriksaan
reflex batang otak meliputi reaksi pupil terhadap cahaya, reflex kornea, dan
reflex okulosefalik. Setelah itu dilakukan pemeriksaan nervus kranialis. Satu
persatu serta motorik untuk menilai trofi, tonus, dan kekuatan otot,
dilanjutkan reflex fisiologis dan reflex patologis. Hasil pemeriksaan motorik
dibandingkan kanan dan kiri, serta atas dan bawah guna menentukan luas dan
lokasi lesi. Selanjutnya pemeriksaan sensorik dan pemeriksaan autonom.
Penggunaan sistem skor dapat bermanfaat bila tidak terdapat fasilitas
pencitraan otak yang dapat membedakan secara jelas patologi penyebab
stroke. Skor stroke siriraj merupakan sistem penskoran yang sering
digunakan untuk membedakan stoke iskemik atau hemoragik.

 Sistem Penskoran :

(2,5 x kesadaran) + (2 x vomitus) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan


diastolic) – (3 x ateroma) – 12

Interpretasi :
Skor < -1 = stroke iskemik
Skor > 1 = Sroke hemoragik
Skor -1 – 1 = meragukan
Tabel 1. Keterangan siriraj Skor13
Keterangan Komponen skor
Kompos mentis 0
Kesadaran Somnolen 1
Sopor/koma 2
Tidak ada 0
Vomitus
Ada 1
Tidak ada 0
Nyeri kepala
Ada 1
Tidak ada
0
Ateroma Ada DM, hipertensi, angina atau penyakit pembuluh
1
darah

3.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Computized tomography (CT scan)

Pencitraan otak menggunakan CT-Scan merupakan gold standart dalam


diagnosis stroke hemoragik. CT scan lebih unggul dalam mendeteksi
perdarahan lansung berdasarkan gambaran hiperdens di parenkim otak
dibandingkan MRI yang memerlukan perbandingan beberapa sekuens
gambar. Selain itu, pemeriksaan CT scan membutuhkan waktu yang lebih
singkat dengan harga yang lebih ekonomis.
2. MRI scan:
Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan gelombang magnetik
untuk membuat gambaran otak. Gambar yang dihasilkan MRI jauh lebih
detail jika dibandingkan dengan CT scan, tetapi ini bukanlah pemeriksaan
garis depan untuk stroke.
3. Metode lain teknologi MRI:
Suatu MRI scan dapat juga digunakan untuk secara spesifik melihat
pembuluh darah secara non invasif (tanpa menggunakan pipa atau injeksi),
suatu prosedur yang disebut MRA (Magnetic Resonance Angiogram).
4. Pemeriksaan laboratorium
meliputi, gula darah, darah lengkap, pemeriksaan faktor pembekuan darah
(bila ada indikasi), pemeriksaan kimia darah, dan elektrolit.
5. Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) untuk menilai kelainan jantung.

3.10 Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan
morbiditas dan menurunkan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan.
Salah satu upaya yang berperan penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah
pengenalan gejala-gejala stroke dan penanganan stroke secara dini yang dimulai
dari penanganan prahospital yang cepat dan tepat.2
 Tatalaksana Umum2
1. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
 Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis, nadi,
tekanan darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72
jam, pada pasien dengan defisit neurologis yang nyata
 Pembetian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen
< 95%
 Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada
pasien yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang
mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan
gangguan jalan napas
2. Stabilisasi Hemodinamik
 Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena
 Optimalisasi tekanan darah
 Bila tekanan darah sistolik <120mmHg dan cairan sudah mencukupi,
maka obat-obatan vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti
dopamine dosis sedang/tinggi, norepinefrin dan epinefrin dengan
target tekanan darah sistolik berkisar 140mmHg
 Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24
jam pertama setelah serangan stroke iskemik.
 Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya.
Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan saline normal dan
aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curah jantung
sekuncup harus dikoreksi.
3. Penanganan TIK
 Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral
harus dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda
neurologis pada hari-hari pertama setelah serangan stroke.
 Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS<9 dan
penderita yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan
TIK
 Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan
CPP>70 mmHg.
 Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan
intrakranial meliputi :
1. Tinggikan posisi kepala 20o – 30o
2. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
3. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
4. Hindari hipertermia
5. Jaga normovolernia
6. Osmoterapi atas indikasi
 Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi
setiap 4 - 6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L. Osmolalitas
sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian
osmoterapi.
 Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1
mg/kgBB i.v.
7. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg).
Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan
operatif
4. Pengendalian Suhu Tubuh
 Pengendalian Suhu Tubuh Setiap pederita stroke yang disertai
demam harus diobati dengan antipiretika dan diatasi penyebabnya.
 Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC atau 37,5
o
C
 Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan
kultur dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan
antibiotik.
Jika memakai kateter ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus
dilakukan untuk mendeteksi meningitis.
 Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic.

 Tatalaksana Khusus2
1. Diagnosis dan Penilaian Gawat Darurat pada Perdarahan Intrakranial dan
Penyebabnya
a. Pemeriksaan pencitraan yang cepat dengan CT atau MRI
direkomendasikan untuk membedakan stroke iskemik dengan
perdarahan intracranial
b. Angiografi CT dan CT dengan kontras dapat dipertimbangkan untuk
membantu mengidentifikasi pasien dengan risiko perluasan
hematoma. Bila secara klinis atau radiologis terdapat kecurigaan
yang mengarah ke lesi structural termasuk malformasi vaskuler dan
tumor, sebaiknya dilakukan angiografi CT, venografi CT, CT dengan
kontras, MRI dengan kontras, MRA, dan venografi MR.
2. Tatalaksana Medis Perdarahan Intrakranial
a. Pasien dengan defisiensi berat factor koagulasi atau trombositopenia
berat sebaiknya mendapat erapi penggantian factor koagulasi atau
trombosit.
b. Pasien dengan perdarahan intracranial dan peningkatan INR terkait
obat antikoagulan oral sebaiknya tidak diberikan walfarin, tetapi
mendapat terapi untuk menggganti vitamin K-dependent factor dan
mengkoreksi INR, serta mendapat vitamin K intravena. Konsentrat
kompleks protrombin tidak menunjukkan perbaikan keluaran
dibandingkan dengan Fresh Frozen Plasma (FFP). Namun,
pemberian konsentrat kompleks protrombin dapat mengurangi
komplikasi dibandingkan dengan FFP dan dapat dipertimbangkan
sebagai alternative FFP .
3. Tekanan Darah
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan
rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga
neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan
sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke.
Berbagai Gudeline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan
penuurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke perdarahan akut agar
dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi di
bawah ini
 Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila TDS >200
mmHg atau Mean Arterial Preassure (MAP) >150 mmHg, tekanan
darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena
secara kontiniu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
 Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan
gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan
pemantauan tekanan intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu atau
intermiten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.
 Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai
gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah
diturunkan secara hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi
intravena kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan darah
setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90
mmHg. Pada studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140
mmHg masih diperbolehkan.
 Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220
mmHg, penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140
mmHg cukup aman. Setelah kraniotomi, target MAP adalah
100mmHg.
 Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan
darah pada penderita stroke perdarahan intraserebral.
 Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta
(labetalol dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan
diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya diatas.
 Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena
mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial, meskipun bukan
kontraindikasi mutlak..
o Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan
hingga lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang
mengancam target organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark
miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati
hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam
pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.
4. Penanganan di Rumah Sakit dan Pencegahaan Kerusakan Otak Sekunder
a. Pemantauan awal dan penanganan pasien penrdarahan intracranial
sebaiknya dilakukan di ICU dengan dokter dan perawat yang
memiliki keahlian perawatan intensif neurosains

b. Pengontrolan edema serebri, edema serebri terjadi pada 15 persen


pasien dengan stroke non hemoragik dan mencapai puncak
keparahan 72-96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi dan
pemberian manitol rutin digunakan untuk mengurangi tekanan
intrakranial dengan cepat.
c. Penanganan Glukosa
d. Obat kejang dan antiepilepsi
Kejang sebaiknya diterapi dengan obat antiepilepsi. Pemantauan
EEG secara kontinu dapat diindikasikan pada pasien perdarahan
intrakrranial dengan kesadaran menurun tanpa mempertimbangkan
kerusakan otak yang terjadi. Pasien dengan perubahan status
kesadaran yang didapatkan gelombang epiloptogenik pada EEG
sebaiknya diterapi dengan obat antiepilepsi. Pemberian
antikonvulsan profilaksis tidak direkomendasikan.
5. Prosedur/Operasi
a. Penanganan dan Pemantauan Tekanan Intrakranial
 Pasien dengan skor GCS <8, dengan tanda klinis herniasi
transtentorial,atau dengan perdarahan intraventrikuler yang luas
atau hidrosefalus, dapat dipertimbangkan untuk penanganan dan
Pemantauan tekanan intrakranial. Tekanan perfusi otak 50-70
mmHg dapat dipertahankan tergantung pada status otoregulasi
otak.
 Drainase ventrikular sebagai tata laksana hidrosefalus dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan penurunan tingkat
kesadaran.
b. Perdarahan Intraventikuler
Walaupun pemberian intraventrikuler recombinant tissue-type
plasminogen activator (rTPA) untuk melisiskan bekuan darah
intraventrikuler memiliki tingkat komplikasi yang cukup rendah,
efikasi dan keamanan dari tata laksana ini masih belum pasti dan
dalam tahap penelitian.
c. Evakuasi hematom
 Pada sebagian besar pasien dengan perdarahan intrakranial,
kegunaan tindakan operasi masih belum pasti.
 Pasien dengan perdarahan serebral yang mengalami perburukan
neurologis, atau yang terdapat kompresi batang otak, dan atau
hidrosefalus akibat obstruksi ventirkel sebaiknya menjalani
operasi evakuasi bekuan darah secepatnnya. Tata laksana awal
pada pasien tersebut dengan drainase ventrikuler saja tanpa
evakuasi bekuan darah tidak direkomendasikan.
 Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat
di 1 cm dari permukaan, evakuasi perdarahan intrakranial
supratentorial dengan kraniotomi standar dapat
dipertimbangkan.
6. Rehabilitasi dan pemulihan
Mengingat potensi yang serius dari perdarahan intrakranial berupa
kecacatan yang berat, serius dan kompleks, semua pasien sebaiknya
dilakukan rehabilitasi secara multidisiplin. Jika memungkinkan ,
rehabilitasi dapat dilakukan sedini mungkin dan berlanjut disarana
rehabilitasi komunitas, sebagai bagian dari program terkoordinasi yang
baik antara perawatan di rumah sakit dengan perawatan berbasis rumah
sakit dengan perawatan berbasis rumah (Home care) untuk meningkatkan
pemulihan.14

7. Obat yang biasa digunakan


• Neuroprotektan
Neuroprotektan secara khusus didefinisikan sebagai "perlindungan neuron" dan
berpotensi digunakan untuk melindungi otak dalam sejumlah kondisi otak yang
berbeda termasuk penyakit parkinson, cedera otak traumatis dan stroke iskemik.
Secara farmakologis dapat mencegah pembentukan gumpalan seperti antitrombotik
atau antiplatelets, dan untuk memecah gumpalan seperti trombolitik, juga dapat
menghasilkan pelindung saraf, golongan ini terutama menargetkan pembuluh darah
otak yang disebut neuroprotektan ekstrinsik atau tidak langsung. Dalam kaskade ini,
banyak target molekul farmakologi dapat dimodulasi untuk menghasilkan pelindung
saraf. Beberapa peristiwa molekuler yang dapat ditargetkan oleh neuroprotektan
meliputi antara lain: pelepasan glutamat, aktivasi reseptor glutamat, excitotoxicity,
masuknya Ca2 + ke dalam sel, disfungsi mitokondria, aktivasi enzim intraseluler,
produksi radikal bebas, produksi oksida nitrat, apoptosis, dan inflamasi. Dikenal dua
jenis obat-obat neuroprotektanseperti piracetam dan citicoline yang didasarkan pada
patogenesis kerusakan sel otak yaitu (1) mencegah kematian sel akibat iskemik injuri
(2) mencegah kematian sel akibat reperfusi injuri.14

• Citicoline
Citicoline merupakan molekul organik kompleks yang terdiri dari ribosa, pirofosfat,
sitosin dan kolin yang mempunyai peran penting dalam metabolisme sel dan
berpartisipasi dalam biosintesis fosfolipid membran sel. Hal ini merupakan
prekursor molekul penting untuk sintesis fosfatidilkolin serta komponen penting
dalam integritas membran sel dan untuk perbaikan. Kolin merupakan basa nitrogen
trimethylated yang masuk tiga jalur metabolik utama: (1) sintesis fosfolipid melalui
phosphorylcholine; (2) sintesis asetilkolin; dan (3) oksidasi betaine, yang berfungsi
sebagai donor metil. Citicoline meningkatkan metabolisme otak dengan
meningkatkan sintesis asetilkolin dan memulihkan fosfolipid konten di otak.
Citicoline digunakan sebagai insufisiensi otak dan beberapa gangguan neurologis
lainnya, seperti stroke, trauma otak, dan penyakit parkinson. Citicoline dapat
melewati sawar darah otak dan memperbaiki gangguan otak yang terkait. Citicoline
meningkatkan penurunan memori, konsentrasi, kemampuan belajar, kewaspadaan,
cedera otak, penyakit alzheimer, sakit kepala, pusing, dan tinnitus, meningkatkan
fungsi kognitif, glaukoma, penyakit Parkinson, vaskular demensia. Dosis citicoline
optimal ialah 500 mg per hari dan dapat naik menjadi 2.000 mg. Dapat disimpulkan
bahwa citicoline secara sederhana dapat meningkatkan memori dan perilaku pada
hasil akhirnya.14

• Diuretik Osmotik
Diuretik osmotik secara bebas disaring di glomerulus, reabsorpsi terbatas oleh
tubulus ginjal, dan farmakologi. Diuretik osmotik diberikan dalam dosis yang
cukup untuk meningkatkan secara signifikan osmolalitas plasma dan cairan tubular.
Diuretik osmotic memberikan empat sifat farmakokinetik yaitu diuretik-gliserin
(osmoglyn), mononitrate (ismotic), manitol (osmitrol), dan urea (ureaphil). Tempat
mekanisme aksi diuretik osmotik adalah lengkung Henle. Adanya ekstraksi air dari
kompartemen intraseluler dapat memperluas volume cairan ekstraseluler sehingga
menurunkan kekentalan darah, dan menghambat pelepasan renin. Efek ini akan
meningkatkan aliran darah di medula ginjal serta menghilangkan NaCl dan urea
dari medula ginjal sehingga mengurangi tonisitas meduler. 14
Efek terapi osmotik terhadap tekanan intrakranial diduga dapat menyebabkan
penyusutan otak setelah pergeseran air keluar dari substansi otak. Berbagai zat yang
digunakan sebagai terapi osmotik, antara lain urea, gliserol, sorbitol, manitol, dan
salin hipertonik. Meskipun efektif, urea tidak lagi digunakan karena memiliki
berbagai efek samping termasuk mual, muntah, diare, hemoglobinuria, koagulopati,
dan rebound hipertensi intrakranial. Gliserol dan sorbitol dapat menurunkan
tekanan intrakranial akan tetapi dapat menyebabkan hiperglikemia yang signifikan.
Manitol cukup efektif dan aman serta direkomendasikan oleh Brain Trauma
Foundation dan European Brain Injury Consortium sebagai terapi osmotik
pilihan.Pasien dengan udem serebri dan kenaikan tekanan intrakranial dapat diberi
larutan hipertonik mannitol (diuresis osmotik). Mannitol 25% dapat diberikan
dalam dosis 0,5 – 1 g/kgBB dalam waktu 2-10 menit parenteral. 14

• Antikoagulan
Antikoagulan merupakan obat yang biasa digunakan untuk mencegah pembentukan
gumpalan darah berbahaya yang mengakibatkan stroke. Sering disebut “pengencer
darah,” antikoagulan merupakan obat pertama yang diresepkan oleh dokter setelah
stroke. Dengan mengurangi kemampuan darah untuk membeku dan dengan
demikian mengurangi kemungkinan antikoagulan emboli koroner atau pembuluh
darah yang sering digunakan pada pasien yang sudah berisiko tinggi untuk stroke.
Berikut adalah informasi tentang jenis tertentu antikoagulan digunakan untuk
pencegahan stroke. 14
Warfarin merupakan vitamin K antagonis yang menghambat γ-karboksilasi faktor
pembekuan II, VII, IX, dan X. Efeknya diukur dengan rasio normalisasi
internasional (INR), yang merupakan waktu protrombin pasiendibagi dengan rata-
rata PT normal, indeks sensitivitas internasional reagen yang digunakan: (1) INR =
2,0-3,0 biasanya terapi; beberapa katup jantung (mis Starr-Edwards) membutuhkan
INR dari 3,0-4,0 , (2) INR ≤2.0 memberikan tindakan terapeutik yang tidak
memadai dan kelebihan trombosis, (3) INR> 3.0 dikaitkan dengan peningkatan
resiko perdarahan.Meskipun warfarin cepat menghambat vitamin K, penggumpalan
atau plak protein yang produksinya akan terhambat dan memiliki waktu paruh
setengah. Hal ini diperlukan penahan untuk menunda terjadinya tindakan terapeutik
(perpanjangan INR) selama beberapa hari. Oleh karena itu, jika antikoagulan
diperlukan untuk memiliki efek langsung, heparin dan/atau warfarin harus
digunakan. Efek samping dari terapi warfarin meliputi pendarahan yang dapat
terjadi dimana saja atau meluas ke pembuluh lain. 14
Pada pasien yang mengalami perdarahan intrakranial atau pendarahan
subarakhnoid, semua jenis koagulan dan antiplatelet harus dihentikan selama
periode akut sekurang-kurangnya 1 sampai 2 minggu dan segera mengatasi efek
dari warfarin dengan fresh frozen plasma atau dengan konsentrat protombin
kompleks dan vitamin K. Protamin sulfat harus diberikan untuk mengatasi
perdarahan intrakranial akibat pemberian heparin, dengan dosis tergantung pada
lamanya pemberian heparin pada penderita tersebut. Untuk pasien dengan infark
hemoragik, pemberian antikoagulan dapat diteruskan tergantung kepada keadaan
klinis yang spesifik dan indikasi penggunaan terapi antikoagulan. 14

• Antifibrinolitik (trombolitik)
Obat fibrinolitik biasanya diberikan secara intravena sehingga memberikan efek
yang cepat. Golongan obat ini dapat dengan cepat melisiskan trombus dengan
mengaktifkan plasminogen untuk membentuk plasmin yang merupakan enzim
proteolitik untuk mendegradasi fibrin dan melarutkan trombus. Efek samping utama
dari trombolitik adalah perdarahan, mual, muntah, dan obat streptokinase dapat
menimbulkan reaksi alergi. Perdarahan biasanya dibatasi lokasinya untuk
pemberian suntikan, akan tetapi terkadang stroke terjadi. Percobaan telah
menunjukkan bahwa PCI (percutaneous coronary intervention) lebih efektif
terhadap terapi lysis ketika dilakukan dalam waktu 90 menit dari pengobatan medis
pertama. Streptokinase bukan merupakan enzim melainkan mengikat plasminogen
yang beredar untuk membentuk kompleks aktivator yang mengkonversi
plasminogen lebih lanjut menjadi plasmin. Karena terdapat kelebihan inhibitor
plasmin dalam darah yang besar dapat menetralisir plasmin yang beredar sehingga
perdarahan menjadi tidak terlalu parah. Dalam trombus konsentrasi inhibitor
plasmin rendah, dan begitu juga streptokinase memiliki beberapa selektivitas
terhadap plak. 14

• Antihipertensi

Berdasarkan PERDOSSI 2011 mengenai guideline stroke sebagian besar (70-94%)


pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah sistolik >140 mmHg.
Sebesar 22,5- 27,6% diantaranya mengalami peningkatan tekanan darah sistolik
>180 mmHg. Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai
tindakan rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga
neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan
sendirinya dalam 24 jam pertama setelah serangan stroke. Pada pasien stroke
intracerebral hemorrhage(ICH) akut, apabila TDS >200 mmHg atau Mean Arterial
Preassure (MAP) >150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan
obat antihipertensi intravena secara kontiniu dengan pemantauan tekanan darah
setiap 5 menit. Pada pasien subarachnoid hemorrhage (SAH) aneurismal, tekanan
darah harus dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi
serebral untuk mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang Pada pasien
subarachnoid hemorrhage (SAH) akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-
160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan sebagai target TDS
dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual,
tergantung pada usia pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan
kardiovaskular. 14
Calcium channel blockersdapat mengurangi resistensi perifer dan tekanan darah
yang tinggi. Mekanisme kerja CCB(calsium channel blocker) pada hipertensi
menghambat masuknya kalsium ke dalam sel otot polos arteri. Verapamil,
diltiazem, dan golongan dihidropiridin (amlodipine, felodipin, isradipin,
nicardipine, nifedipine, dan nisoldipin) sama-sama efektif dalam menurunkan
tekanan darah, dan saat ini banyak disetujui untuk digunakan di Amerika Serikat.
Nifedipine dan agen dihidropiridin lain yang lebih selektif sebagai vasodilator dan
efek depresan pada jantung lebih rendah dari verapamil dan diltiazem. Pada
beberapa studi epidemiologi peningkatan resiko infark miokard atau kematian
terjadi pada pasien yang menerima short-acting nifedipine untuk hipertensi. Oleh
karena itu disarankan bahwa dihidropiridin oral short-acting tidak boleh digunakan
untuk hipertensi .Sustained release kalsium bekerja pada tekanan darah lebih tepat
untuk pengobatan hipertensi kronis. 14
Nimodipine dan nicardipine adalah obat calcium channel blocker (CCB) yang
terbukti bermanfaat selama pengobatan perdarahan akut subaraknoid sebagai
profilaksis untuk membantu mencegah spasme.Calcium channel blocker
(nimodipin) telah diakui dalam berbagai panduan penatalaksanaan perdarahan
subaraknoid karena dapat memperbaiki keluaran fungsional pasien apabila
vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini menyatakan bahwa hal
ini terkait dengan efek neuroprotektif dari nimodipin. 14

• Antidislipidemia

Tingginya kadar kolesterol dan LDL dapat meningkatkan resiko arterosklerosis.


Aterosklerosis mempengaruhi berbagai daerah sirkulasi istimewa dan memiliki
manifestasi klinis yang tergantung pada hambatan aliran darah tertentu yang
terkena dampak. Salah satunya yaitu aterosklerosis pada arteri yang memasok darah
ke sistem saraf pusat yang dapat menimbulkan stroke. Untuk itu, diperlukan terapi
obat dalam pengelolaan dislipidemia, meningkatkan profil lemak, memperlambat
perkembangan arterosklerosis, menstabilkan plak yang akan pecah, mengurangi
resiko thrombosis arteri, dan memperbaiki prognosis.
Tujuan terapi farmakologis pada dislipidemia terutama ditujukan untuk penurunan
kolesterol LDL, meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan kadar trigliserida.
Salah satu obat yang direkomendasikan NCEP ATP-III (National Cholesterol
Education Program Adult Treatment Panel III) adalah HMG CoA reduktase
inhibitor (statin). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa statin tidak hanya aman
namun dapat memberikan toleransi yang baik, tetapi juga secara bermakna dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat kardiovaskular. Oleh karena kadar
LDL kolesterol kuat sekali kaitannya dengan kelainan asterosklerosis, maka
diasumsikan bahwa terapi statin utamanya memakai patokan penurunan kadar
kolesterol tersebut. 14

3.11 Komplikasi
Komplikasi pada stroke perdarahan terdiri dari
 Komplikasi intracranial
 Kerniasi,
 Peningkatan TIK
 Kejang
 Komplikasi ekstracranial
 Dekubitus
 Sepsis

Komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke iskemik meliputi edema
serebral, transformasi hemoragik, dan kejang.
1. Edema serebral yang signifikan setelah stroke iskemik bisa terjadi meskipun agak
jarang (10-20%)
2. Indikator awal iskemik yang tampak pada CT scan tanpa kontras adalah indikator
independen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi lain untuk
mengurangi tekanan intrakranial dapat dimanfaatkan dalam situasi darurat, meskipun
kegunaannya dalam pembengkakan sekunder stroke iskemik lebih lanjut belum
diketahui. Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark mereka.
Hal ini diperkirakan terjadi pada 5% dari stroke iskemik yang tidak rumit, tanpa
adanya trombolitik. Transformasi hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan penurunan
neurologis dan berkisar dari peteki kecil sampai perdarahan hematoma yang
memerlukan evakuasi.
3. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Post-stroke
iskemik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang mengalami
serangan stroke berkembang menjadi chronic seizure disorders. Kejang sekunder dari
stroke iskemik harus dikelola dengan cara yang sama seperti gangguan kejang lain
14
yang timbul sebagai akibat neurologis injury.

3.12 Prognosis
Pada stroke hemoragik prognosis dipengaruhi oleh : letak, ukuran dan derajat
kesadaran

a. Letak
Perdarahan di putamen mortalitas yang dilaporkan 37%, perdarahan
thalamus 50% dan perdarahan lobus (frontal, temporal dan oksipital) 46%.
b. Ukuran
Ukuran perdarahan sangat berpengaruh pada mortalitas. Untuk perdarahan
putamen atau area striata, penampang 3 cm atau lebih, motralitas dapat
mencapai 100%. Demikian pula dengan perdarahan thalamus yang
berukuran 2-3cm, perdarahan di pons penampang diatas 1cm dan
perdarahan serebelum penampang lebih besar dari 3cm. perdarahan-
perdarahan dengan ukuran-ukuran yang lebih kecil, prognosisnya lebih
baik.
c. Derajat Kesadaran
Mortalitas pasien yang kesadarannya masih baik, kurang dari 10-30%.
Sedangkan yang koma 75-100%. Unutk pasien dengan tingkat kesadaran
spoor atau koma, mortalitasnya dapat mencapai 80-90%.14

3.13 Pencegahan

Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan
mengatasi berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat maupun kelompok
risiko tinggi yang berlum pernah terserang stroke. Beberapa pencegahan yang dapat
dilakukan adalah:
1. Mengatur pola makan yang sehat
2. Penanganan stres dan beristirahat yang cukup
3. Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat advis dokter dalam hal diet dan obat
4. Melakukan olah raga yang teratur
5. Menghentikan rokok
6. Menghindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat
7. Memelihara berat badan yang layak
8. Perhatikan pemakaian kontrasepsi oral bagi yang beresiko tinggi
9. Pemakaian antiplatelet
Pada pencegahan sekunder stroke, yang harus dilakukan adalah pengendalian faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dan pengendalian faktor risiko yang dapat
dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes mellitus, riwayat TIA, dyslipidemia. 14
3.14. Afasia
a. Definisi
Aphasia merupakan kelainan bahasa yang akibatnya mempengaruhi pemahaman dan
ekspresi individu dalam berkomunikasi (mendengarkan, membaca, berbicara, menulis,
isyarat, gambar, dan perhitungan). Gangguan ini biasanya mengenai semua modalitas bahasa,
meliputi berbicara spontan, pengertian bahasa, pengulangan, penamaan, membaca, dan
menulis ). Afasia adalah gangguan komunikasi yang disebabkan oleh kerusakan pada bagian
otak yang mengandung bahasa (biasanya di hemisfer serebri kiri otak). Individu yang
mengalami kerusakan pada sisi kanan hemisfer serebri kanan otak mungkin memiliki
kesulitan tambahan di luar masalah bicara dan bahasa. Afasia dapat menyebabkan kesulitan
dalam berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis, tetapi tidak mempengaruhi
kecerdasan. Individu dengan afasia mungkin juga memiliki masalah lain, seperti disartria,
apraxia, dan masalah menelan.15,16
b. Klasifikasi dan gejala klinis

Klasifikasi afasia menurut Goodglass dan Kaplan 1972 dalam Kusumoputro 2013
adalah sebagai berikut ;

1) Afasia broca

Merupakan sindrome afasia yang paling sering ditemui, mudah dikenal dengan gejala
utama adalah kesulitan dalam bertutur kata. Merupakan sindrom afasia perisylvian dengan
afasia wernicke dan afasia konduksi.

2) Afasia wernicke

Merupakan sindrome afasia yang cukup banyak ditemui. Ciri khas afasia wernicke
adalah bicara spontan yang fluent, masih dalam batas normal atau meningkat. Adanya logorea
yaitu berbicara yang terus menerus sehingga sulit untuk dihentikan.

3) Afasia anomik
Merupakan sindrome afasia yang paling ringan. Termasuk dalam sindrom afasia tidak
terlokalisasikan bersama afasia global, yang mempunyai arti bahwa tipe afasia ini tidak
memiliki lokalisasi tertentu.

4) Afasia konduksi
Merupakan tipe sindrome afasia yang tidak terlalu sering ditemui. Ciri khas afasia
konduksi adalah kemampuan modalitas bahasa untuk pengulangan yang buruk.

5) Afasia transkortikal sensorik dan motorik


Bersama dengan afasia transkortikal motorik merupakan sindrome afasia borderson
yaitu afasia yang letak lesi berada di pinggiran area bahasa perisylvian di hemisfer kiri.
Penyebab afasia tipe ini adanya stroke yang mengenai area borderson (perbatasan) antara
teritori arterial serebral media, arteri serebral anterior dan posterior. Ciri khas afasia.
Transkortikal motorik adalah kemampuan bicara adalah nonfluen dengan curah verbal
disartris, terbata – bata, mengulang – ulang, bahkan gagap. Pengertian bahasa relatif baik, dan
pengulangan baik sampai normal. Afasia transkortikal sensorik yang kemampuan bicara fluen
dengan parafasia neologistik dan semantik, sering kali terdapat pembicaraan kosong.
Pengertian bahasa kurang sekali, dan pengulangan baik sampai sempurna. Sedangkan
kemampuan penamaan, membaca, dan menulis kedua afasia ini (transkortikal sensorik dan
motorik) memiliki karakteristik yang sama yaitu kurang.

6) Aleksia tanpa agrafia

7) Afasia murni 17

Sedangkan menurut Lumbantobing (2011) adalah sebagai berikut ;


1) Afasia sensoris (wernicke)
Afasia ini terjadi ketika terdapat gangguan pada girus temporal superior. Tanda –
tanda yang muncul dari afasia wernicke adalah adanya ketidakmampuan dalam memahami
bahasa lisan dan pasien tidak akan memahami jawaban benar atau salah dari pertanyaan
tersebut. Pasien tidak mampu memahami tentang perkataan yang diucapkan itu benar atau
salah. Selain tidak mampu memahami kata, pasien juga tidak mampu menamai sesuatu,
terganggu dalam mebaca dan menulis, repetisi (pengulangan) juga terganggu.

2) Afasia motorik (broca)


Afasia ini disebabkan karena lesi di hemisfer dominan di lobus frontalis dan diarea ini
terdapat area broca yaitu di area operkulum frontal (area brodman 45 dan 44) dan massa alba
frontal dalam (tidak meliputi area korteks motorik bawah dan massa alba preventrikuler
tengah). Tanda yang akan dialami adalah kesulitan menyusun fikiran, perasaan, dan kemauan
menjadi simbol yang bermakna yang dapat difahami orang lain. Berbicara lisan tidak lancar,
terjeda/terputus – putus dan orang lain sering tidak dapat mengerti. Kalimat pembicaraan
pendek dan monoton. Pasien akan sering mengucapkan kata benda dan kata kerja dan tidak
menggunakan grammar. Mampu memahami dan mengintepretasi stimulus yang diberikan,
namun kesulitan dalam mengekspresikan. Pasien akan susah dalam penulisan atau juga
disebut dengan disgraphia. Kemampuan mengulang dan membaca terganggu.

3) Afasia Global
Penyebab afasia ini adalah luas lesi yang merusak hampir semua daerah bahasa. Lesi
terjadi karena oklusi arteri karotis interna atau arteri serebri media didaerah pangkalnya.
Merupakan jenis afasia yang paling berat dan kemungkinan pulih berat. Tanda yang muncul
adalah bicara spontan berkurang dan bersifat stereotip (berulang dan monoton). Kemampuan
komprehensif sangat terbatas bahkan menghilang, seperti hanya mengenal nama dia saja
maupun satu, dua kata. Kemampuan repetisi, membaca, menulis terganggu berat.18
BAB IV

ANALISIS MASALAH

Pasien laki-laki 58 tahun datang dengan keluhan kelemahan anggota gerak kanan sejak ±
3 jam SMRS. Keluhan muncul mendadak pada saat pasien beraktivitas yaitu saat sedang saat
pasien sedang berjalan kaki kerumah tentangga, tiba – tiba pasien merasa kepalanya berdenyut
dan nyeri diikuti dengan kelemahan pada kaki kanan lalu tangan kanan. Dan pasien hampir
terjatuh kearah sebelah kanan namun ditahan oleh anaknya yang melihat kejadian pada saat itu.
Menurut istrinya saat itu mulut pasien terlihat miring dan pasien tidak bisa bicara secara
mendadak, kemudian pasien dibaringkan ditempat tidur. Istri pasien mengaku pasien bingung
saat di ajak bicara saat kejadian. Kemudian pasien juga mengalami Istri pasien langsung
membawa pasien ke RSUD Raden Mattaher.
Riwayat trauma kepala (-), kejang (-), penglihatan kabur (-), penglihatan dua (-),
gangguan pendengaran (-), gangguan penciuman (–), gangguan pengecapan disangkal. Buang air
kecil dan buang air besar tidak ada keluhan. Keluhan tidak dapat menggerakkan anggota gerak
kanan ini merupakan keluhan yang pertama. Pasien mengaku jarang cek kesehatan dan tau
memiliki hipertensi sejak ±3 bulan yang lalu, obat yang biasa pasien komsumsi captopril tablet,
tetapi pasien tidak rutin minum obat maupun kontrol ke puskesmas.
Berdasarkan anamnesis, pasien datang dengan keluhan utama kelemahan anggota gerak
kanan dengan onset mendadak atau tiba – tiba. Parese atau plegi yang bersifat mendadak hanya
memiliki dua etiologi yang mungkin yaitu vaskuler dan trauma, namun parese pada pasien ini
tidak didahului oleh trauma, maka diagnosa banding teratas di tahap ini adalah stroke yang
disebabkan oleh gangguan vaskuler. Stroke sendiri adalah suatu gangguan fungsi saraf akut yang
disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah otak yang terjadi secara mendadak dalam beberapa
detik atau secara cepat dalam beberapa jam yang menyebabkan gangguan baik fokal ataupun
global. Hal ini sesuai dengan kondisi keluhan utama pada pasien ini. Namun, tipe lesi berupa
UMN atau LMN harus dikonfirmasi kembali dengan pemeriksaan fisik.
Pasien juga mengeluhkan keluhan muncul saat beraktivitas. Aktivitas memicu terjadinya
tekanan darah yang meningkat secara tiba – tiba sehingga dapat menyebabkan pecahnya
pembuluh darah pada otak. Keluhan disertai pula dengan nyeri kepala berdenyut, Berdasarkan
literature, nyeri kepala merupakan tanda – tanda peningkatan tekanan intracranial. Satu – satunya
peningkatan tekanan intracranial yang terjadi dalam waktu yang cepat adalah karena adanya
perdarahan, maka sejauh ini diagnosa yang paling memungkinkan adalah stroke hemoragik. Hal
ini akan dikonfirmasi kembali dengan algoritma gajah mada dan siriraj stroke score setelah
dilakukan pemeriksaan fisik.
Selanjutnya, berdasarkan anamnesis kepada pasien dan keluarga, pasien mengalami
penurunan kesadaran semenjak kejadian hingga dibawa ke rumah sakit. Namun tidak tejadi
lucid interval, maka perdarahan subarachnoid dan pendarahan epidural untuk sementara dapat
disingkirkan dan dikonfirmasi kembali dengan pemeriksaan fisik. Sejauh ini, diagnosa yang
paling memungkinkan adalah stroke hemoragik ec perdarahan intraserebral.
Menurut istrinya setelah kejadian itu pasien tidak bisa berbicara namun bisa mengerti
dan mendengar apa yang dibicarakan dan sebelumnya pasien bisa bicara dengan normal. Hal ini
menunjukkan terjadi afasia motoric dominannya disebabkan oleh lesi di lobus frontalis di area
broca yaitu brodman 44 dan 45. Penglihatan kabur, penglihatan dua, gangguan pendengaran,
gangguan penciuman, gangguan pengecapan disangkal. Hal ini menunjukkan tidak ada gangguan
sensorik nervus cranialis pasien. Namun hal tersebut di atas harus dikonfirmasi kembali dengan
pemeriksaan fisik nervus cranialis. Buang air kecil dan buang air besar tidak ada keluhan, hal ini
menunjukkan tidak terdapat gangguan fungsi vegetatif pada pasien ini.
Selain itu, dari anamnesis didapatkan pasien berjenis kelamin laki – laki dan berusia 58
tahun sehingga dua hal ini meningkatkan risiko terjadinya stroke. Pasien mempunyai riwayat
hipertensi sehingga meningkatkan stroke.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran GCS 9 (E3M6Vnt), TD 160/100 mmHg
dan tanda vital lain dalam batas normal. Berdasarkan Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi
2019 oleh PERHI, pasien ini didiagnosa dengan hipertensi grade II.
Dari pemeriksaan status generalisata pupil isokor namun mulut tampak miring ke kanan,
dan didapatkan adanya deviasi lidah kekanan hal ini menunjukkan adanya kelainan pada nervus
cranialis VII dan XII namun tetap harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan nervus cranialis
sedangkan yang lainnya didapatkan dalam batas normal. Selanjutnya Pada pemeriksaan tanda
rangsang meningeal didapatkan hasil negatif yang menunjukkan tidak ada keterlibatan
meningen, maka kemungkinan perdarahan subarachnoid dapat disingkirkan. Dan didapatkan
adanya refleks patologis yang positif. Yaitu refleks babinski.
Pada pemeriksaan kekuatan motorik, didapatkan pergerakan menurun pada ekstremitas
superior et inferior dextra dengan kekuatan 1, atoni, dan eutrofi. Berdasarkan literature, kondisi
ini disebut hemiplegia sinistra dan merujuk pada lesi UMN karena kelemahan motorik disertai
dengan eutrofi sedangkan pada lesi LMN akan cenderung ditemukan kondisi atrofi. Namun
sekali lagi, hal ini harus kembali dikonfirmasi dengan pemeriksaan neurologis lainnya.
Pada pemeriksaan sensorik, didapatkan sensibilitas taktil menurun dan sensibilitas nyeri
juga menurun pada sisi wajah, ekstremitas atas, dan ekstremitas bawah sebelah kanan. Kondisi
ini disebut hemihipestesi dextra. Hal ini merujuk pada keadaan adanya gangguan pada pusat
sensoris di otak, yaitu lobus parietal.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa kelumpuhan anggota gerak pada
pasien ini merupakan tipe UMN dimana didapatkan adanya refleks patologis yang positif. Maka
sesuai teori, pada pasien ini ditegakkan diagnosa klinis berupa hemiplegia dextra et paresis
nervus VII dextra et parese nervus XII dextra tipe UMN ec stroke.
Selanjutnya ditentukan apakah stroke yang dialami Tn. S adalah stroke iskemik dan stroke
hemoragik berdasarkan tanda dan gejala klinis yang telah diamati. Berdasarkan literature, hal ini
dapat dilakukan dengan mengikuti algoritma gajah mada dan juga siriraj stroke score. Pada
pasien ini didapatkan adanya penurunan kesadaran, nyeri kepala dan refleks babinsky yang
positif.
Kondisi Tn. S memenuhi 2 dari 3 kriteria yang dinilai pada algoritma gajah mada, maka
dasar penegakan diagnosa stroke hemoragik pada Tn. S semakin kuat.

Berdasarkan Siriraj Stroke Score, skor > 1 merujuk pada stroke hemoragik
Siriraj Stroke Skor pada Tn. S:
1. Kesadaran : 1x 2,5 = 2,5
2. Muntah :0x2 = 0
3. Nyeri Kepala : 1x 2 = 2
4. Tekanan darah : diastolic 100 x 0,1 = 9
5. Ateroma (DM, Angina pectoris) : 1 x -3 = -3
6. Konstante : - 12
Jumlah : 2,5 + 0 + 2+ 10– 3 – 12 = -0,5
Interpretasi skor -0,5 berarti perlu CT Scan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pada Tn. S ditegakkan diagnose klinis
berupa hemiplegia dextra et paresis nervus VII dextra et parese nervus XII dextra tipe UMN ec
stroke suspek ICH
Diagnosis pasien ini didasarkan karena dari anamnesis kelumpuhan anggota gerak yang
terjadi secara mendadak ketika sedang beraktivitas, nyeri kepala, reflek patologis (+), ada
penurunan kesadaran, tidak ada tanda rangsang meningeal. Adanya kelumpuhan pada anggota
gerak dextra disebabkan karena adanya perdarahan intracranial. Perdarahan intrakranial dapat
terjadi karena adanya peningkatan tekanan darah yang terjadi secara tiba – tiba sehingga sering
terjadi pada saat sedang beraktivitas. Diduga terjadi kerusakan di daerah motorik dan sensorik di
hemisfer serebri sinistra sehingga ditegakkan diagnosa topis berupa hemisfer serebri dextra.
Diagnosa etiologi pada pasien ini adalah vascular dan diagnosa sekunder hipertensi grade II.

Pada pemeriksaan penunjang, pada pemeriksaan darah rutin ditemukan leukosit 14,4.
Peningkatan leukosit disini bisa terjadi karena perdarahan yang terjadi di otak. Pasien disarankan
untuk dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu CT Scan kepala sebagai gold standard penegakan
diagnose stroke. didapatkan hasil adanya perdarahan Intraserebral sinistra.

Pasien ini kemudian dirawat, bed rest dengan kepala diposisikan 30 derajat, diberikan
terapi medikamentosa dan fisioterapi. Medikamentosa yang diberikan berupa O2 3L /menit via
nasal canul, IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i, Inf. Manitol 20% 4 x 125 cc, Inj. Omeprazole 2 x 40 mg,
PO. Candesartan 1x 8 mg, Inj citicoline 2 x 1 gr. Oksigen diberikan pada stroke akut untuk
menjaga saturasi > 95%. Cairan yang diberikan berupa NaCl 0.9% sesuai dengan guideline
stroke akut yang dianjurkan oleh PERDOSI. Infus manitol diberikan untuk mengendalikan
peningkatan tekanan intracranial pada pasien ini dengan dosis yaitu 0,25 – 0,5 gr/kgBB diulang
setiap 4 – 6 jam. Untuk mencegah timbulnya mual dan muntah akibat dari asam lambung pada
pasien ini maka diberikan golongan proton pump inhibitor yaitu omeprazole infus 2 x 40 mg.
Tekanan darah dibutuhkan pada pasien stroke untuk mempertahankan perfusi jaringan.
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak dianjurkan
karena kemungkinan dapat memperburuk kerusakan neurologis akibat hipoperfusi pada jaringan
otak. Sehingga Pasien ini diberikan antihipertensi pada hari ke-5 karena tekanan darah 160
mmHg untuk systole dan 100 mmHg untuk diastole yaitu candesartan peroral 1 x 8 mg.
Citicoline 2 x 1 gr diberikan untuk meningkatkan metabolisme otak dengan meningkatkan
sintesis asetilkolin dan memulihkan fosfolipid konten di otak. Selanjutnya dilakukan pemantauan
kesadaran, tanda – tanda vital, dan status neurologis termasuk kejang. Terapi ini sesuai dengan
teori penatalaksanaan stroke hemoragik.
BAB V

KESIMPULA

Stroke hemoragik adalah ekstravasasi darah yang berlangsung spontan dan


mendadak ke dalam parenkim otak yang bukan disebabkan oleh trauma (non
traumatis). Stroke hemoragik umumnya di dahului oleh kerusakan dinding
pembuluh darah kecil otak akibat hipertensi.3,4
Hipertensi merupakan penyebab terbanyak (72-81%). Perdarahan
intraserebral spontan yang tidak berhubungan dengan hipertensi, biasanya
berhubungan dengan diskrasia darah, hemartroma, neoplasma, aneurisma, AVM,
tumor otak metastasis,pengobatan dengan antikoagulans, gangguan koagulasi
seperti pada leukemia atau trombositopenia, serebralarteritis, amyloid angiopathy
dan adiksi narkotika.9
Banyak faktor resiko yang mengakibatkan seseorang terkena stroke yaitu :
Tidak dapat dimodifikasi (usia, jenis kelamin, gen, ras) dan dapat dimodifikasi
(riwayat stroke, penyakit jantung coroner, hipertensi, diabetes mellitus, TIA,
hiperdislipidemia, obesitas,merokok).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda klinis serta
gambaran radiologis. Pencitraan dengan CT-Scan mendukung penegakan
diagnosis stroke hemoragik. Penatalaksanaan stroke hemoragik terdiri dari
penatalaksanaan umum dan khusus.
Prognosis stroke hemoragik dipengaruhi oleh letak, ukuran dan derajat
kesadaran.
DAFTAR PUSTAKA

1. Qurbany ZT, Wibowo A. Stroke hemoragic ec hipertensi grade II. J


Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|114.
2. Handoko TA. A 50 Years Old Man with Hemorhage Stroke. Fakultas
kedokteran, universitas lampung.
3. Haynes, E., Pancioli, A., Shaw, G., & Woo, D. 2012. Peripheral
Leucocytes and Intracerebral Hemorrhage. Opeolu Ohio Edu, 22: 221-228
Price, Sylvia
A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ed.6.EGC, Jakarta.
2006
4. Nasissi, Denise. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape, 2010.
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/793821-overview.
Access on : March , 2020.
5. Perdarahan Intraserebral Hipertensif Abdul Gofar Sastrodiningrat Divisi
Ilmu Bedah Saraf Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, MedanSuplemen Majalah Kedokteran
Nusantara Volume 39 y No. 3
6. Sotirios AT,. Differential Diagnosis in Neurology and Neurosurgery.New
York. Thieme Stuttgart. 2000
7. Chakrabarty, Arundhaty, Shivane Aditya. Pathology of intracerebral
haemorrhage. National Health Service UK.2008.
8. Qureshi AI, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer HH, Hondo H, Hanley DF.
Spontaneous intracerebral hemorrhage. N Engl J Med
9. Caplan, L.R. Caplan’s Stroke : A Clinical Approach. 3 rd ed. Butterworth-
Heinemann. Boston. 2000.
10. Carhuapoma, J.R.; Mayer, S.A.; Hanley, D.F. Intracerebral
Hemorrhage.Cambridge University Press. New York. 2010
11. Mesiano, taufik. Stroje Hemoragik. Dalam buku ajar Neurologi UI buku 2.
Penerbit Kedokteran Indonesia. Tanggerang : 2017
12. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Guideline Stroke 2011. EdisiRevisi. Perhimpunan DokterSpesialis Saraf
Indonesia: Jakarta, 2011
13. Setiawan. Stroke Hemoragik dalam Stroke pengelolaan mutakhir. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang : 1992.

14. Widjaja, Linardi, 1993, patofisiologi dan penatalaksaan Stroke. Surabaya :


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

15. Kusumoputro, S. (2013). Afasia : Gangguan Berkomunikasi Pasca Stroke


Otak. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI – Press).

16. Thiel, Alexander., and Anna, Zumbansen. (2016). ―The Pathophysiology


of Post-Stroke Aphasia: A Network Approach.‖ Edited by Roy Hamilton.
Restorative Neurology and Neuroscience 34 (4): 507–18.
https://doi.org/10.3233/RNN-150632.

17. Goodglass, Harold dab edith Kaplan. (1972). Boston aphasia examination
Philadelphia ; lea dan febiger

18. Lumbantobing, S.M. (2011). Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental .
cetakan 14. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai