Anda di halaman 1dari 38

Referat

GAMBARAN RADIOLOGI PADA PENYAKIT


HYPERTENSIVE HEART
DISEASE

Oleh:
Faldi Pramayudha, S.Ked.
71 2018 001

Pembimbing:
dr. Nurmalia, Sp.Rad

DEPARTEMEN ILMU RADIOLOGI


RSK. DR. RIVAI ABDULLAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020

HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul:
GAMBARAN RADIOLOGI PADA PENYAKIT
HYPERTENSIVE HEART DISEASE

Oleh:
Faldi Pramayudha, S.Ked.
71 2018 001

Telah dilaksanakan pada bulan Juni 2020 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu radiologi
RSK. DR. Rivai Abdullah Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Juni 2020


Pembimbing

dr. Nurmalia, Sp. Rad

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
“Gambaran Radiologi Pada Hypertensive Heart Disease” sebagai salah satu
syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Radiologi RSK. DR.
Rivai Abdullah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Nurmalia, Sp.Rad, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik di SMF
Ilmu Radiologi RSK. DR. Rivai Abdullah Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang yang telah memberikan masukan,
arahan, serta bimbingan dalam penyelesaian Referat ini.
2. Rekan-rekan dokter muda atas kerja samanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga Referat ini
dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran.

Palembang, Juni 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...............................................................................................6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1Hipertensi.........................................................................................................8
2.1.1Definisi ..............................................................................................8
2.1.2Etiologi...............................................................................................8
2.1.3Patofisiologi.......................................................................................9
2.2 Hypertensive Heart Disease………………………………………………10
2.2.1Definisi……………………………………………………………..10
2.2.2Etiologi……………………………………………………………. 10
2.2.3Patofisiologi.………………………………………………………..10
2.2.4Faktor Risiko………………………………………………………..13
2.2.5Diagnosis……………...…………………………………………….15
2.2.6Penatalaksanaan…………………………………………………….19
2.2.7Prognosis……………………………………………………………22
2.3 radiologi Jantung……………………………………………………………22
2.3.1Jantung Normal……………………………………………………23
2.3.2Pembesaran Jantung………………………………………………25
2.3.3Gambaran Radiologi CHF…………………………………………28

iv
BAB III. KESIMPULAN………………………………………………………...36
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................37

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Latar Belakang Bangsa Indonesia sedang berkembang menuju masyarakat
industri. Perubahan ke arah masyarakat industri memberi andil terhadap
perubahan pola gaya hidup, sosial ekonomi yang pada gilirannya dapat memacu
meningkatnya penyakit tidak menular. Adanya perubahan dalam pola kehidupan
tersebut menyebabkan terjadinya transisi epidemiologi penyakit yang ditunjukkan
dengan adanya kecenderungan perubahan pola kcsakitan dan pola penyakit utama
penyebab kematian, dimana terdapat penurunan prevalensi penyakit infcksi,
sedangkan prevalensi penyakit non infeksi atau degeneratif seperti hipertensi,
stroke dan kanker justru semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan
meningkatnya usia harapan hidup penduduk, sehingga dewasa ini lebih sering
dijumpai penduduk berusia lanjut. Pada tahun 2000 jumlah penduduk lansia (>60
tahun) di seluruh dunia sekitar 6,8% dari total populasi penduduk dunia dan
jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun
2025.
Dari data USA-Bereau of the Census, di Indonesia diperkirakan akan
mengalami pertambahan warga lansia terbesar seluruh dunia, antara tahim 1990-
2025 yaitu sebesar 414%.
Salah satu penyakit degeneralif pada lanjut usia yang menjadi masalah
kesehatan adalah penyakit hipertensi. Hipertensi adalah keadaan peningkatan
tekanan darah secara abnormal dan berlangsung selama beberapa waktu yang
dapat diketahui melalui beberapa kali pengukuran tekanan darah.
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah
>I40 mmHg (tekanan sistolik) dan atau > 90 mmHg (tekanan diastolik).
Menurut laporan pertemuan WHO di Jenewa pada tahun 2002, didapatkan
angka prevalensi penyakit hipertensi di dunia adalah 15-37%. Setengah dari
populasi tersebut berusia lebih dari 60 tahun. Sedangkan menurut laporan dari

6
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004 prevalensi hipertensi pada dewasa
7,4% terjadi pada pria dan 9,1% terjadi pada perempuan.
Baik tekanan rerata maupun prevalensi kenaikan tensi akan naik dengan
bertambahnya usia. Master dkk dalam studi pustaka menemukan prevalensi
hipertensi 30-65% pada orang-orang usia lanjut. National Health Documentation
di USA menemukan prevalensi 15-27% pada orang-orang usia 65 tahun keatas.
Dari survey hipertensi yang telah diadakan di Indonesia selama ini, prevalensi
hipertensi pada orang-orang di Indonesia lebih dari 20% pada kelompok umur 50
tahun ke atas.
Dari 20% penderita hipertensi di Indonesia, hanya 4% yang merupakan
hipertensi terkontrol. Tingginya prevalensi hipertensi yang tidak terkontrol ini
akan menyebabkan gangguan pada organ-organ lain yang berhubungan dengan
sistem-sistem tersebut seperti otak, ginjal, mata, jantung, aorta dan pembuluh
darah tepi.
Penyulit pada jantung dan manifestasi klinisnya ini dinamakan penyakit
jantung hipertensi atau hypertensive heart disease. Hypertensive heart disease
merupakan penyebab nomor satu kematian akibat hipertensi. WHO melaporkan
bahwa di Indonesia angka kematian akibat hipertensi heart disease mencapai 42,3
per 1000 kematian.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC
Vil) hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik > 120 mmHg dan atau
tekanan darah diastolik >80 mmHg dan diklasiftkasikan menjadi kelompok
normal, prehipertensi, hipertensi derajat satu, dan derajat dua. Berikut ini adalah
tabel klasifikasi tekanan darah bcrdasarkan JNC VII.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7

2.1.2 Etiologi
Berdasarkan etiologinya hipertensi dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Hipertensi primer Hipertensi primer adalah hipertensi tanpa kelainan
dasar patologi yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi esensial.
Penyebabnya multifaktorial meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor
genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress,
reaktivasi pembuluh darah terhadap vasokonstriktor, resistensi insulin dan Iain-
Iain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain yaitu diet, kebiasaan
merokok dan stress emosi.

8
2. Hipertensi sekunder Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang
disebabkan atau akibat adanya penyakit lain. Hipertensi ini sekitar 5-10% dari
semua kasus hipertensi. Termasuk dalam kelompok ini yaitu hipertensi akibat
penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,
hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cashing, feokromositoma, koarktasio
aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lainnya.

2.1.3 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin
II dari angiotensin I oleh angiotensin converting enzyme (ACE). ACE memegang
pcran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Angiotensinogen yang
dihasilkan oleh hati diubah oleh hormon renin yang diproduksi oleh ginjal
menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah
menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam
menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah
meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi
di hipotalamus (kelenjar piluitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur
osmolalitas dan volume urin. dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin
yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi
osmolalitasnya. Untuk mengenccrkannya, volume cairan ekstraseluler akan
ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya,
volume darah meningkat yang pada akhimya akan meningkatkan tekanan darah.
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aidosteron dari korteks adrenal.
Aidosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada
ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aidosteron akan mengurangi
ekskresi NaCI (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya
konscntrasi NaCI akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume
cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan
darah. Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan sangat
komplek. Faktor-faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap perfusi

9
jaringan yang adekuat meliputi mediator hormon, aktivitas vaskuler, volume
sirkulasi darah, kaliber vaskuler.
viskositas darah, curah jantung, elaslisitas pembuluh darah dan stimulasi
neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa faktor meliputi
faktor genetik, asupan garam dalam diet, tingkat stress dapat berinteraksi untuk
mcmuncuikan gejaia hipertensi. Perjalanan penyakit hipertensi esensial
berkembang dari hipertensi yang kadang-kadang muncul menjadi hipertensi yang
persisten. Setelah periode asimtomatik yang lama, hipertensi persisten
berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan organ
target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat.

2.2 Hypertensive Heart Disease


2.2.1 Definisi Hypertensive heart disease
Adalah suatu istilah yang digunakan secara umum untuk penyakit jantung
seperti hipertropi ventrikel kiri, penyakit arteri koroner, aritmia jantung, dan gagal
jantung kongestif yang disebabkan oleh efek peninggian tekanan darah kronis.

2.2.2 Etiologi
Penyebab dari hypertensive heart disease adalah hipertensi kronis,akan
tetapi penyebab dari hipertensi sangat bervariasi.

2.2.3 Patofisiologi
Patotisiologi dari hypertensive heart disease adalah satu hal kompleks
yang melibatkan banyak Faktor yang saling mempengaruhi, yaitu hemodinamik,
struktural, neuroendokrin, seluler. dan faktor molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor
ini memegang peranan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya. di sisi
lain peningkatan tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor
tersebut. Peningkatan tekanan darah menyebabkan perubahan yang merugikan
pada struktur dan fungsi jantung melalui 2 cara yaitu secara langsung melalui
peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui nuerohormonal terkait
dan perubahan vaskular. Efek hipertensi terhadap jantung berbeda-beda, pada

10
jantung dapat terjadi hipertropi ventrikel kiri, abnormalitas atrium kiri, penyakit
katup, gagal jantung, iskemik miokard, dan aritmia kardia. Patofisiologi berbagai
efek hipertensi terhadap jantung berbeda-beda dan akan dijelaskan pada bagian
ini.

1 . Hipertrofi ventrikel kiri


Pada pasien dengan hipertensi, 15-20% mengalami hipertrofi ventrikel kiri
(HVK). Risiko HVK meningkat dua kali lipat pada pasien obesitas. Prevalensi
HVK berdasarkan penemuan lewat RKG (bukan merupakan alat pemeriksaan
yang sensitiv) pada saat menegakkan diagnosis hipertensi sangatlah bervariasi.
Penelitian telah menunjukkan hubungan langsung antara derajat dan lama
berlangsungnya peningkatan tekanan darah dengan HVK.
HVK didefinisikan sebagai suatu penambahan massa pada ventrikel kiri,
sebagai respon miosit terhadap berbagai rangsangan yang menyertai peningkatan
tekanan darah. Hipertrofi miosit dapat terjadi sebagai kompensasi terhadap
peningkatan afterload. Rangsangan mekanik dan neurohormonal yang menyertai
hipertensi dapat menyebabkan aktivasi pertumbuhan sel-sel otot jantung, ekspresi
gen (beberapa gen diberi ekspresi secara primer dalam perkembangan miosit
Janin), dan HVK. Sebagai tambahan, aktivasi sistem renin-angiotensin melalui
aksi angiotensin II pada reseptor angiotensin I mendorong pertumbuhan sel-sel
interstisial dan komponen matrik sel. Jadi, perkembangan HVK dipengaruhi oleh
hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara miosit dan struktur inlerstisium
skeleton cordis.
Berbagai jenis pola HVK telah dijelaskan, termasuk remodeling
konsentrik, HVK konsentrik, dan HVK eksentrik. HVK konscntrik adalah
peningkatan pada kctebalan dan massa ventrikel kiri disertai peningkatan tekanan
dan volume diastolik ventrikel kiri, umumnya ditemukan pada pasien dengan
hipertensi. Bandingkan dengan HVK eksentrik, di mana pcncbalan vcntrikel kiri
tidak merata namun hanya terjadi pada sisi tertentu, misalnya pada septum. LVH
konsentrik merupakan pertanda prognosis yang buruk pada kasus hiperetensi.
Pada awalnya proses HVK merupakan kompensasi perlindungan sebagai respon

11
terhadap peningkatan tekanan dinding ventrikel untuk mempertahankan cardiac
output yang adekuat, namun HVK kemudian mendorong terjadinya disfungsi
diastolik otot jantung, dan akhirnya menyebabkan disfungsi sistolik otot jantung.

2. Abnormalitas Atrium Kiri


Sering kali tidak terduga, perubahan struktur dan fungsi atrium kiri sangat
umum tcrjadi pada pasien dengan hipertensi. Peningkatan afterload membebani
atrium kiri lewat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri sebagai
tambahan untuk meningkatkan tekanan darah yang menyebabkan gangguan pada
fungsi atrium kiri ditambah peningkatan ukuran dan penebalan atrium kiri.
Peningkatan ukuran atrium kiri pada kasus hipertensi yang tidak disertai penyakit
katup jantung atau disfungsi sistolik menunjukkan kronisitas hipertensi dan
mungkin berhubungan dengan beratnya disfungsi diastolik ventrikel kiri. Sebagai
tambahan, perubahan struktur ini menjadi faktor predisposisi terjadinya atrial
fibrilasi pada pasien-pasien tersebut. Atrial fibrilasi, dengan hilangnya kontribusi
atrium pada disftingsi diastolik, dapat mempercepat terjadinya gagal jantung.

3. Gagal Jantung
Gagal jantung adalah komplikasi umum dari peningkatan tekanan darah
yang kronik. Hipertensi sebagai penyebab gagal jantung kongestif seringkali tidak
diketahui, sebagian karena saat gagal jantung terjadi, ventrikel kiri yang
mengalami disfungsi tidak mampu menghasilkan tekanan darah yang tinggi, hal
ini yang menjadi penyebab gagal jantung tersebut. Prevalensi disfungsi diastolik
yang asimtomatik pada pasien dengan hipertensi dan tanpa HVK (Hipertensi
Ventrikel Kiri) adalah sekitar 33%. Peningkatan afterload yang kronis dan
terjadinya HVK dapat memberi pengaruh buruk terhadap fase awal relaksasi dan
fase kompensasi lambat dari diastolik ventrikel.
Disfungsi diastolik umumnya terjadi pada seseorang dengan hipertensi.
Disfungsi diastolik biasanya disertai dengan HVK. Sebagai tambahan, selain
peningkatan afterload, faktor-faktor lain yang ikut berperan dalam proses
terjadinya disfungsi diastolik adalah penyakit arteri koroner, penuaan, disfungsi

12
sistolik, dan abnormalitas struktur seperti fibrosis dan HVK. Disfungsi sistolik
yang asimtomatik biasanya Juga terjadi. Pada bagian akhir penyakit, HVK gagal
mengkompensasi dengan meningkatkan cardiac output dalam menghadapi
peningkatan tekanan darah, kemudian ventrikel kiri mulai berdilatasi untuk
mempertahankan cardiac output. Saat penyakit ini memasuki tahap akhir, fungsi
sistolik ventrikel kiri menurun. Hal ini menyebabkan peningkatan lebih jauh pada
aktivasi neurohormonal dan sistem renin angiotensin, yang menyebabkan
peningkatan retensi garam dan cairan serta meningkatkan vasokontriksi perifer.
Apoptosis, atau program kematian sel, distimulasi oleh hipertrofi miosit
dan ketidakseimbangan antara stimulan dan penghambat, disadari sebagai
pemegang peran penting dalam transisi dari tahap kompensata menjadi
dekompensata. Pasien menjadi simptomatik selama tahap asimtomatik dari
disfungsi sistolik atau diastolik ventrikel kiri, jantung menerima perubahan pada
kondisi afterload dan masih dapat terkompensasi. Peningkatan tekanan darah yang
tiba-tiba dapat menyebabkan edema paru akut tanpa perlu perubahan pada fraksi
ejeksi ventrikel kiri. Secara umum, perkembangan dilatasi atau disftingsi ventrikel
kiri yang asimtomatik maupun yang simtomatik melambangkan kcmunduran yang
cepat pada status klinis dan menandakan peningkatan risiko kematian. Sebagai
tambahan, seiain disfungsi vcntrikel kiri, penebalan dan disfungsi diastolik
ventrikel kanan juga terjadi sebagai hasil dari penebalan septum dan disfungsi
ventrikel kiri.

2.2.4 Faktor Resiko


Faktor resiko penyakit penyakit kardiovaskuler pada hipertensi adalah
sebagai berikut:
1. Usia
Prevalensi hipertensi meningkat seiring dengan perubahan usia. Lebih dari
50% pada orang berusia 60-69 tahun dan lebih dari 70% pada usia 70 tahun atau
lebih menderita hipertensi. Prevalensi hypertensive heart disease juga mengikuti
pola ini yang juga akan dipengaruhi oleh beratnya hipertensi itu sendiri. Pada
penelitian Rama Chandran S. Vassan, dkk pada Framingham heart study

13
ditemukan bahwa seseorang yang memiliki tekanan darah normal dan tinggi
(tekanan darah sistolik 130-139 mmHg atau diastolik 85-89 mmHg), maka pada
usia 35-64 tahun setelah 10 tahun, insiden menderita penyakit kardiovaskuler
sekitar 4% pada wanita dan 8% pada pria, sedangkan pada subjek yang berusia
65-90 tahun insiden penyakit kardiovaskuler ini akan meningkat pada kedua jenis
kelamin yaitu 25% pada wanita dan 18% pada pria.
Setelah usia 45 tahun, dinding arteri akan mengalami penebalan oleh
karena adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh
darah akan berangsur menyempit dan menjadi kaku. Tekanan darah sistolik
meningkat karena kelenturan pembuluh darah besar yang berkurang kepada
penambahan usia sampai dekade ke 7. Sedangkan tekanan darah diastolik
meningkat sampai dekade kelima dan keenam kemudian menetap atau cenderung
menurun. Seiain itu pada usia lanjut akan menyebabkan beberapa perubahan
fisiologis seperti peningkatan resistensi perifer dan aktivasi aktivitas simpatik,
penurunan sensitivitas reflek baroreseptor dan peran ginjal karena penurunan
aliran darah dan laju filtrasi glomerulus pada ginjal.
2. Jenis kelamin
Dibawah usia 55 tahun, prevalensi hipertensi lebih tinggi pada pria dari
pada wanita dan akan lebih tinggi lagi pada wanita setelah usia 55 tahun.
Perempuan relative kebal terhadap hipertensi sampai usia setelah menopause
dilindungi oleh hormon esterogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High
Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor
pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan
esterogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia
premenopause.
3. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskuler prematur (laki-
laki kurang dari 55 tahun, perempuan kurang dari 65 tahun.
4. Derajat Hipertensi
Risiko penyakit kardiovaskuler pada penderita hipertensi tentu akan
dipengaruhi derajat hipertensi itu sendiri. Pada penelitian Ramachandran S.

14
Vasan, dkk pada Framingham heart study ditemukan bahwa seseorang yang
memiliki tekanan darah normal tinggi ( tekanan darah sistolik 130-139 mmHg
atau tekanan diastolik 85-89 mmHg) memiliki faktor risisko 2,5 kali pada wanita
dan 1,6 kali pada pria untuk mengalami penyakit kardiovaskuler dibandingkan
dengan seseorang yang memiliki tekanan darah normal (tekanan darah sistolik
120-129 mmHg atau tekanan darah diastoli 80-84 mmHg) yang hanya memiliki
risiko menderita penyakit kardiovaskuler sebesar 1,5 lipat pada wanita dan 1,3
kali lipat pada pria.
5. Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat
dihubungkan dengan insiden hipertensi maligna yang akan berlanjut menjadi
hypertensive heart disease. Merokok dapat merangsang proses ateroskelerosis
karena efek langsung terhadap dinding arteri. Karbon monoksida dapat
menyebabkan hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi
katekolamin yang dapat mcnambah reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan
pada dinding arteri. Pada penelitian Framingham heart study tahun 2008
ditemukan bahwa laki-laki perokok memiliki resiko penyakit kardiovaskuler
sebesar 3,3% dan pada wanita perokok sebesar 2,0%.

2.2.5 Diagnosis
1. Gejala dan tanda-Tanda Klinik
Gejaia dan tanda-tanda fisik hypertensive heart disease tergantung dari
durasi. tingkat kcparahan dan tipe dari penyakilnya sendiri. Sebelum menegakkan
diagnosis hypertensive heart disease harus ditemukan adanya hipertensi, faktor-
faktor risiko terjadinya hipertensi dan etiologi untuk hipertensi sekunder. Berikut
ini akan dituliskan gejala dan tanda fisik pada hypertensive heart disease.
a. Gagal jantung
Diagnosis gagal jantung kongestif dapat ditegakkan berdasarkan kriteria
Framigham seperti berikut:
Kriteria mayor
1) Paroksimal noktural dipsnea

15
2) Distensi vena leher
3) Ronki paru
4) Kardiomcgali
5) Edema paru akut
6) Gallop S3
7) Peninggian tekanan vena jugularis
8) Rcfluks hcpatojugular

Kriteria minor
1) Edema ckstremitas
2) Batuk malam hari
3) Dispnea d'etTort
4) Hepatomegali
5) Efusi pleura
6) Penurunan kapasitas vital paru 1/3 dari normal
7) rakikardia(>120/menit)
Mayor atau minor Penurunan berat badan >4,5 kg dalam 5 hari
pengobatan.
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2
kritcria minor.
Klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association
(NYHA) biasanya digunakan untuk menyatakan hubungan antara awitan
gejaia dan derajat latihan fisik.

Tabel 3. Klasifikasi Fungsional Gagal Jantung NYHA

16
b. Iskemia Miokard
Angina adalah komplikasi yang sering terjadi pada pasien
penderita hypertensive heart disease yang ttdak dapat dibedakan dari
faktor penyebab miokard iskemik lainnya. Gejaia angina biasanya berupa
nyeri dada substernal yang lebih dari 15 menit. Jika angina terjadi >20
menit biasanya sudah terjadi miokard infark. Nyeri dada scring
digambarkan seperti diremas, tcrtimpa beban berat yang menyebar ke
leher, rahang, punggung atas atau lengan kiri. Selain itu nyeri sering
diprovokasi emosi atau aktivitas dan dapat dihilangkan dengan istirahat
atau nitrogliserin sublingual. Pemeriksaan pada penderita angina pektoris
dalam keadaan serangan dapat ditemukan bunyi jantung ketiga, keempat
dan sering ditemukan bising sislolik di apeks. Diantara serangan tidak
ditemukan tanda fisik apa-apa. Penderita juga bisa datang dengan gejala
sindroma koroner akut seperti miokard infark dengan ST elevasi atau
miokard infark tanpa ST elevasi.

c. Aritmia
Aritmia jantung dapat menyebabkan berbagai gejala seperti
palpitasi, sinkop. fibrilasi atrium, ventrikular takikardi dan sudden cardiac
death.
2. Tes Laboratorium
Berdasarkan rekomendasi JNC VII. pemeriksaan laboratorium
yang perlu dilakukan sebelum memulai pengobalan hipertensi meliputi
urinalisis, glukosa darah dan hematokrit, potassium serum, kreatinin,
kalsium dan profil lipid (setelah 9-12 jam puasa) meliputi kadar kolesterol
total, LDL, HDL, dan trigliserida. Tes laboratorium yang lebih ekstensif
dapat dilakukan bagi pasien dengan hipertensi resistan. Pengobatan yang
nyata atau ketika evaluasi klinis menunjukkan bentuk hipertensi sekunder.
Selain pemeriksaan laboratorium untuk hipertensi, juga perlu dilakukan

17
pemeriksaan kimia darah untuk pcnyakit jantung seperti CKMB, CK,
LDH, SCOT, SGPT.

3. Elektrokardiogram (EKG)
Hipertropi ventrikel kiri, hipertropi atrium kiri, fibrilasi atrium dan
iskemik atau infark miokard sering ditemukan pada penderita hypertensive
heart disease. Gangguan-gangguan pada jantung ini dapat dideteksi
melalui EKG. Adapun gambaran EKGnya sebagai berikut:
a. Hipertropi ventrikel kiri
Gambaran EKG hipcrtroti ventrikel kiri sebagai berikut:
1) Hipertropi ventrikel kiri disertai P-mitral.
2) Tinggi gelombang R pada V5 atau V6 >27 mm (27 m V)
3) Gelombang S di VI + gelombang R di V5 atau V6 >35 mm
4) DI V5 atau V6, VAT >0,05 detik
5) Segmen ST depresi dan gelombang T inverted (strain) di
sadapan I, aVL, V5 dan V6.
6) Terdapat deviasi aksis ke kiri (>30)
7) Rl + Sill -> 25 mm (> 2,5 m V)
8) R (I,I1 atau III) + S (1,11 atau III) - > 20 mm (>2,0 m V)
9) S VI atau SV2 + R V5 atau R V6 ->35 mm (>3,5 m V)
Atau kriteria hipertropi ventrikel kiri dapat ditegakkan bila kriteria
I dan 2 ditemukan:
1) Kriteria 1 Rl atau Sill - >20 mm (>2,0 mV) atau Rl+SIII->25
mm(>2,5 mV) S VI atau SV2 + R V5 atau R V6 - > 35 mm (>3,5
mV)
2) Kriteria 2 Aksis antara -15^ dan -30° atau deviasi ke kiri > -30°
atau segmen ST depresi di sadapan yang memiliki amplitude
gelombang R tinggi.

b. Hipertropi Atrium Kiri

18
Gambaran EKG hipertropi atrium kiri atau sering disebut dengan P
mitral sebagai berikut:
1) Durasinya >0,I2 detik dan sering berbentuk sela gunung pada
sadapan I, II, aVL, dan V4-V6.
2) Pada VI atau V2, kedalamannya >l mm dan durasinya >0,04
detik.
c. Iskemik/ Infark Miokard
Gambaran EKG pada iskemik miokard ditandai dengan adanya
hiperakut gelombang T atau depresi segmen ST disertai T inverted
atau hanya T inverted. Sedangkan gambaran EKG pada infark
miokard bisa ditemukan elevasi segmen ST. T inverted dan Q
patologis.
d. Fibrilasi atrium Gambaran EKG fibrilasi atrial ditandai sebagai
berikut:
1) Irama: tidak teratur
2) Frekuensi: bervariasi
3) Gelombang P: jumlahnya tidak dapat di identtfikasi
4) Interval P-R: tidak dapat dihitung
(Basha, 1998).

2.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien hipertensi meliputi dua aspek yaitu
pengobatan untuk hipertensi, pencegahan dan pengobatan untuk hypertensive
heart disease. Berdasarkan JNC VII, target penurunan tekanan darah <l 40/90
mmHg pada pasien tanpa komplikasi hipertensi, <130/85 mmHg pada pasien yang
disertai penyakit diabetes dan penyakit ginjal yang kadar proteinurianya <1
gram/24 jam dan < 125/75 mmHg pada penderita yang disertai penyakit ginjal
pada kadar proteinurianya lebih dari I gram/24 jam.
Pengobatan hipertensi dan hypertensive heart disease meliputi obat-obat
antihipertensi seperti thiazide, beta blocker, calcium channel blockers, ACE
inhibitor, angiotensin reseptor blocker dan direct vasodilator sperti hidralazin.

19
Berikut ini penjelasan untuk beberapa tarmakoterapi pada penderita hipertensi dan
hypertensive heart disease:
1. Lebih dari dua pertiga penderita hipertensi tidak dapat dikontrol dengan
obat antihipertensi tunggal dan dibutukan dua atau lebih obat antihipertensi dari
kelas yang berbeda. Ketika tekanan darah lebih dari 20/lOmmHg diatas target
tekanan darah yang akan dicapai, sebaiknya dipertimbangkan menggunakan 2
obat antihipertensi.
2. Diuretik thiazide biasanya diberikan pada pasien hipertensi tanpa
komplikasi, baik tunggal ataupun dikombinasi dengan obat anti hipertensi lainnya.
3. Calcium channel blocker efektif untuk hipertensi sistolik pada pasien
lanjut usia. Kombinasi antara ACE inhibitor dengan dehydropyridine lebih
bermanfaat dari pada kombinasi antara ACE inhibitor dengan diuretict thiazide
dalam menurunkan resiko penyakit kardiovaskular.
4. ACE inhibitor adalah obat lini pertama pada pasien dengan diabetes
atau disfungsi sistolik. Angiotensin reseptor blocker dapat digunakan sebagai
altematif dari ACE inhibitor.
5. Beta blocker adalah obat lini pertama pada penderita gagal jantung
karena disfungsi sislolik ventrikel kiri, penderita dengan pcnyakit jantung iskemik
dengan atau tanpa riwayat miokard infark dan pada pcndcrita dengan tiroksikosis.
Farmakoterapi pada hypertensive heart disease tergantung dari gangguan
yang ditemukan pada jantung. Berikut ini beberapa penjelasan farmakolerapi
hypertensive heart disease berdasarkan gangguan pada jantung.
1. Farmakoterapi hipertropi ventrikel kiri
ACE-inhibitor lebih bermanfaat dari pada obat golongan lainnya untuk hipertropi
ventrikel kiri.
2. Farmakoterapi disfungsi diastolik ventrikel kiri
a. Beberapa obat antihipertensi scpcrti ACE Inhibitor dan beta blocker bermanfaat
pada penderita disfungsi diastolik yang asimptomatik dan simtomatik dan pada
penderita gagal jantung simtomatik.
b. Angiotensin reseptor bkx:ker, candesartan terbukti dapat menurunkan lama
rawat inap penderita gagal jantung diastolik.

20
c. Penggunaan diuretic dan nitrat harus dipantau pada pasien gagal jantung karena
disfungsi diastolik. Obat ini dapat menyebabkan hipotensi berat karena
menurunkan preload yang diperlukan untuk tekanan pengisian ventrikel kiri yang
adekuat.
d. Hidralazin dapat menyebabkan hipotensi berat pada pasien gagal jantung
karena disfungsi diastolik.
e. Digoxin dapat meningkatkan kekuatan ventrikel kiri karena meningkatnya
kadar kalium intraseluler.

3. Farmakologi disfungsi ventrikel kiri


a. Diuretik terutama loop diuretic dapat digunakan dalam pengobatan disfungsi
sistolik ventrikel kiri.
b. ACE Inhibitor dapat digunakan untuk mengurangi preload dan afterload dan
untuk menccgah kongesti pulmonal dan sistemik. ACE Inhibitor juga
diindikasikan untuk penderita dengan dilatasi dan disfungsi ventrikel kiri yang
asimptomatik.
c. Beta bloker (kardioselektif atau gabungan alpha dan beta) seperti carvedilol,
metaprolol XL, bisoprolol menunjukkan adanya perbaikan pada fungsi ventrikel
kiri dan menurunkan angka kcsakitan dan kematian gagal jantung.
Penelitian terbaru telah menunjukkan adanya perbaikan pada outcome
pasien penderita gagal jantung NYHA kelas IV dengan pemberian carvedilol.
Sebaliknya obat mulai diberikan ketika tidak ada lagi tanda overload cairan dan
dalam keadaan gagal jantung terkompensasi dengan dosis rendah kemudian
ditingkatkan perlahan dan dipantau secara ketat tanda-tanda memburuknya gagal
jantung.
d. Spironolakton dalam dosis rendah terbukti dapat menurunkan tingkat
morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung kelas III dan IV NYHA yang
sudah menggunakan ACL Inhibitor. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien
post MI dengan diabetes atau fraksi ejeksi ventrikel kiri <40%.

21
e. Farmakoterapi aritmia Pengobatannya tergantung Jenis spesifik aritmianya.
Aritmia yang paling sering ditemui pada penyakit jantung hipertensi adalah
fibrilasi atrium.
Pertimbangkan antikoagulan pada penderita dengan fibrilasi atrium.

2.2.7 Prognosis
Resiko komplikasi tergantung pada seberapa besar hipertropi ventrikel
kiri. Semakin besar ventrikel kiri, semakin besar kemungkinan komplikasi terjadi.
Penatalaksanaan hipertensi dapat mengurangi hipertropi ventrikel kiri sehingga
memperpanjang kemungkinan hidup pasien dengan gagal jantung akibat
hypertensive heart disease. Namun demikian, hypertensive heart disease adalah
penyakit yang serius yang memiliki resiko kematian mendadak.

2.3 Radiologi Jantung


Pemerikasaan jantung dan pembuluh darah terdiri dari 2 macam yaitu non
radiologis dan radiologis. Non radiologis bisa menggunakan eletrokardiogram
dan echocardiogram sedangkan secara radiologis bisa menggunakan X foto
toraks tanpa media kontras, namun ada juga pemerikasaan radiologi dengan
enggunakan kontras seperti angiografi dan MSCT jantung. Pemeriksaan X
foto toraks sering menggunakan proyeksi PA dan lateral namun bisa juga di
tabahkan dengan proyeksi kanan-kiri dengan esophagus diisi barium. Hal ini
dilakukan setelah pasien memenuhi persyaratan sebagai berikut
 Posisi PA
 Simestris
 Inspirasi cukup
 Bentuk dada Normal
 FFD : 1,8 m – 2 m

2.3.1 Jantung Normal

22
Sebuah pemahaman rinci tentang struktur yang membentuk kontur normal
jantung dan mediastinum (kontur cardiomediastinal) pada radiografi dada
sangat penting untuk menilai kelainan yang terdeteksi pada kelainan jantung.
Berikut ini tampilan gambar jantung yang normal:
a. Tampilan Frontal Tampak PA
Batas kanan jantung dari superior ke inferior
 Tonjolan I : (pelebaran sisi mediastinum); vena kava superior
 Tonjolan II : garis lurus munju arkus aorta (aorta ascenden, biasanya
 tak terlihat
 Tonjolan III : terkadang ada (v. Azygos)
 Tonjolan IV : atrium kanan.
Batas kiri jantung dari superior ke inferior
 Tonjolan I ; arkus aorta
 Tonjolan II : arteri pulmonalis (pada anak-anak kadang terasa besar)
 Tonjolan III : aurikel atriu kiri (biasanya tidak menonjol)
 Tonjolan IV : ventrikel kiri

Gambar Cardiomedistinal tampak proyeksi PA


b. Tampak lateral
Batas anterior jantung dari superior ke inferior
 Aorta ascending

23
 Ventrikel kanan outflow track
 Ventrikel kanan

Batas posterior jantung dari superior ke inferior


 Atrium kiri dan vena pulmonalis
 Atrium kanan
 Vena cava inferior (Collins, 2007).

Gambar Cardiomedistinal tampak proyeksi lateral (sinistra et dektra)


Dalam melakukan pembacaan X foto toraks jantung dilakukan
beberapa penilian antara lain yaitu:
a. Konvigurasi
 Batas kanan : parasternal
 Batas kiri : pertengahan klavikula (mid clavikula)
 Batas atas (batas dari arkus aorta): 1-2 c di bawah manubrium sterni
 Batas bawah : sukar ditentukan.
b. Letak atau Situs
Kedudukan orga di dada dan dibawah diafragma. Normalnya yaitu jantung di
hemitoraks kiri dan fundus gaster dan apeks jantung di abdomen sisi kiri (situs
solitus)
c. Ukuran
Untuk menentukan ukuran jantung dengan menggunakan CTR (Cardio
Thoracic Ratio yang telah memuni syarat untuk pemeriksaan jantung

24
2.3.2. Pembesaran Jantung
Dari segi radiologik, cara yang mudah untuk mengukur jantung apakah
membesar atau tidak, adalah dengan membandingkan lebar jantung dan lebar
dada pada foto toraks PA (cardio-thoracis ratio). Pada gambar, diperlihatkan
garis-garis untuk mengukur lebar jantung (a+b) dan lebar dada (c1-c2) (Rasad,
2010)

(normal : 48-50 %)

Pembesaran ruang X foto Proyeksi PA X foto proyeksi Lateral


jantung
Ventrikel Kanan Apeks ke laterokranial, Ruang retrosternal sempit
segmen pulmomnalis
menonjol
Atrium Kanan Batas jantung kanan, Tak memberikan gambaran
meleber ke kanan, lebih khas
dari 1/3 hemithorax kanan
Ventrikel Kiri Apeks ke aterokaudal Retrocardial space distal
sempit
Atrium kiri Doublecontour, penonjolan Retrocardiac space bagian
aurikel atrium atas sempit
kiri, brongkus utama kiri

25
Gambar pembesaran atrium kanan

Gambar pembesaran Ventrikel kanan

26
Gambar pembesaran atrium kiri
Gambar pembesaran ventrikel kiri

Gambar pembesaran ventrikel kiri

2.3.3 Gambaran Radiologi CHF

Dua fitur utama dari radiografi dada berguna dalam evaluasi pasien
dengan gagal jantung kongestif: (1) ukuran dan bentuk siluet jantung, dan
(2) edema di dasar paru-paru.

27
Pada gagal jantung hampir selalu ada dilatasi dari satu atau lebih
pada ruang-ruang di jantung, menghasilkan pembesaran pada
jantung.Dengan perkembangan dari gagal jantung kongestif, atrium kiri
mengalami peningkatan tekanan yang paling pertama. Hal ini menyebabkan
peningkatan tekanan hidrostatik, tekanan kapiler paru serta pembentukan
edema interstitial terutama pada daerah basal paru. Hal ini menyebabkan
peningkatan resistensi vaskuler yang mengalir ke basal paru, menyebabkan
pirau aliran darah ke pembuluh-pembuluh darah pada lobus atas paru-
sehingga menyebabkan adanya peralihan pada vena-vena pada lobus atas.
Pengalihan pada lobus atas dapat didiagnosis dengan radiografi posisi erect
(tegak), pembesaran pembuluh-pembuluh darah pada lobus atas sama
dengan atau melebihi pembuluh-pembuluh darah pada lobus bawah yang
berjarak sama dari hilum (Rasad, 2010).

Peningkatan tekanan vena pulmonalis atau hipertensi pulmonal


berhubungan dengan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) dan
dapat di klasifikasikan menjadi beberapa derajat yang sesuai dengan
gambaran radiologisnya pada foto toraks. Pengklasifikasian ini merupakan
urut-urutan yang terjadi pada CHF. Menurut Elliots, klasifikasi hipertensi
vena pulmonalis dibagi menjadi :

28
1. Stage 1 :
Pada stage 1 PCWP [13-18 mm]. Terjadi redistribusi dari pembuluh
darah paru. Pada foto toraks PA normal, pembuluh darah pada lobus
atas lebih kecil dan sedikit dibanding pembuluh darah pada lobus
bawah paru. Pembuluh darah paru yang beranastomosis memiliki
kapasitas reservoir dan akan mengalir pada vaskular yang tidak
menerima perfusi darah, sehingga menyebabkan terjadinya ditensi pada
vaskular yang telah mendapat perfusi darah. Hal ini mengakibatkan
terjadinya redistribusi pada aliran darah pulmonal. Awalnya terjadi
aliran darah yang sama, kemudian terjadi redistribusi aliran darah dari
lobus bawah menuju lobus atas.
Pada gambaran radiologis tampak redistribusi dari pembuluh darah
paru, kardiomegali, dan broad vascular pedicle.
2. Stage 2 :
Pada stage 2, PCWP [18-25 mm]. Tahap ini ditandai oleh
kebocoran cairan kedalam interlobular dan interstitial peribronkial
sebagai akibat dari meningkatnya tekanan di dalam kapiler paru. Saat
kebocoran cairan masuk ke dalam septum interlobular perifer, akan
tampak gambaran garis Kerley B pada foto toraks. Saat kebocoran
cairan masuk ke dalam interstitial peribronkovaskular, pada foto toraks
akan tampak gambaran penebalan pada dinding bronkus yang disebut
peribronchial cuffing dan pengaburan pembuluh darah paru (perihilar
haze). Selain itu, fisura interlobaris juga akan terlihat menebal pada foto
toraks.
3. Stage 3 :
Pada stage ini, PCWP [> 25 mm]. Tahap ini ditandai dengan
berlanjutnya kebocoran cairan menuju interstitial, yang tidak dapat
dikompensasi oleh drainase limfatik. Hal ini akan mengakibatkan
kebocoran cairan menuju alveoli (edema alveolar) dan kebocoran cairan
menuju cavum pleura (efusi pleura). Pada foto toraks akan tampak
gambaran konsolidasi, air bronchogram, cotton woll appearance, dan
efusi pleura.
4. Stage 4 :
Pada tahap ini terjadi proses hemosiderosis, osifikasi (tampak pada
hipertensi pulmonum yang lama) (Lorraine, 2011).
29
Klasifikasi CHF pada Gambaran Radiologi

Seiring dengan meningkatnya tekanan hidrostatik, terjadilah tanda-


tanda edema interstitial yang diikuti tanda-tanda edema alveolar:

a) Pengaburan dari tepi pembuluh darah


b) Perihilar kabur

Cardiomegali dengan perihilar yang terlihat kabur

c) Peribronchial cuffing :
Gambaran seperti donat kecil. Terjadi akibat akumulasi cairan
interstitial di sekeliling bronkus yang menyebabkan menebalnya
dinding bronkus.

30
Gambar Peribronchial cuffing tampak seperti gambaran donat kecil pada
bronkus.
d) Garis Kerley A :
Berupa gambaran garis yang agak panjang (2-6 cm) yang tampak
seperti garis bercabang dengan arah diagonal dari hilus menuju ke arah
perifer. Munculnya garis ini disebabkan oleh distensi saluran yang
beranastomosis antara pembuluh limfe paru perifer dan sentral. Garis
ini jarang ditemui dibanding garis Kerley B, dan tidak akan tampak
tanpa disertai adanya garis Kerley B atau garis Kerley C.

Gambar Garis kerley A, Garis Kerley B, dan Kerley C

e) Garis Kerley B :
Berupa gambaran garis pendek yang berparalel pada daerah paru
perifer. Garis ini dapat terlihat ketika cairan mengisi dan mendistensi
septum interlobular. Panjangnya kurang dari 1 cm dan paralel antara
31
satu dengan lainnya pada sudut kanan bawah dari pleura. Garis ini bisa
tampak pada semua daerah paru, tapi lebih sering pada paru bagian
basal di sudut costofrenicus pada foto toraks PA.

Gambar garis kerley B tampak berupa garis putih horizontal yang


pendek-pendek pada bagian basal paru

f) Garis Kerley C
Garis ini jarang terlihat dibanding garis yang lain. Bentuk garis ini
pendek dan tipis dengan gambaran reticular yang merepresentasikan
garis Kerley B en face. Munculnya garis ini disebabkan oleh
menebalnya anastomosis pembuluh limfe atau superimpose dari
beberapa garis Kerley B.

g) Efusi pleura
Efusi laminar yang berkumpul di bawah pleura viseral, yakni pada
jaringan ikat longgar antara paru dan pleura.

32
Gambar fusi pleura tampak pada foto torak PA dan lateral

h) Bat’s Wings
Saat tekanan hidrostatik mencapai 25 mmHg, cairan melewati alveoli
dan menyebabkan edema paru. Hal ini dapat terlihat sebagai densitas
alveolar multiple dari setengah bagianbawah paru. Kemungkinan lain,
dapat juga terlihat densitas ruang udara bilateral yang difus dan kurang
tegas/jelas atau densitas perihilar.

33
Gambar Congestive Heart Failure dengan densitas ruang udara perihilar di dalam
distribusi “bat wings” yang mewakili edema paru.

Ilustrasi Gambaran Foto Toraks Pasien CHF

Gambar Congestive Heart Failure

34
Radiografi dada memperlihatkan kardiomegali, pengalihan vena- vena
lobus atas (tanda panah), garis septum (garis Kerley B) terlihat baik di zona
bawah kanan (tanda panah terbuka), dan penebalan/cairan di fisura horizontal
(mata panah). Cairan di fisura horizontal kanan kadang-kadang disebut
“Phantom tumour”, itu bisa menghilang pada pemeriksaan radiologi berikutnya,
bila keadaan pasien membaik.
Penyebab lain yang menyebabkan terjadinya gagal jantung juga memiliki
gambaran radiologis yang berbeda antara satu dengan lainnya, seperti pada
kelainan jantung didapat dan pada kelainan jantung bawaan (Cremers, 2010;
Rasad, 2010).

35
BAB III
KESIMPULAN

1. Hyperyensive Heart Disease,adalah suatu istilah yang digunakan secara umum untuk
penyakit jantung seperti hipertropi ventrikel kiri, penyakit arteri koroner, aritmia jantung,
dan gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh efek peninggian tekanan darah kronis.
2. Penyebab dari hypertensive heart disease adalah hipertensi kronis; akan tetapi, penyebab
dari hipertensi sangat bcrvariasi.
3. Resiko komplikasi tergantung pada seberapa besar hipertropi ventrikel kiri. Semakin
besar ventrikel kiri, semakin besar kemungkinan komplikasi terjadi. Penatalaksanaan
hipertensi dapat mengurangi hipertropi ventrikel kiri sehingga memperpanjang
kemungkinan hidup pasien dengan gagal jantung akibat hypertensive heart disease. Namun
demikian, hypertensive heart disease adalah penyakit yang serius yang memiliki resiko
kematian mendadak.
4. Dari segi radiologik, cara yang mudah untuk mengukur jantung apakah membesar atau
tidak, adalah dengan membandingkan lebar jantung dan lebar dada pada foto toraks PA
(cardio-thoracis ratio). Pada gambar, diperlihatkan garis-garis untuk mengukur lebar
jantung (a+b) dan lebar dada (c1-c2)

36
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Brashaers, Valentina L. Gagal jantung kongestif. Dalam: Aplikasi klinis


patofisiologi, pemeriksaan dan manajemen. 2nd ed. Jakarta: EGC.2007. p53-5.

Collins J, Stern EJ. 2007. Chest radiology, the essentials. Lippincott Williams &
Wilkins. ISBN:0781763142.

Cremers, Simon., Bradshaw, Jennifer., Herfkens, Freek. 2010. Chest X Ray-Heart


Failure. The Radiology Assistant. Publication date : 1-9-2010

Gleadle, Jonathan. 2005. At a Glance : Anamnesis & Pemeriksaan Fisik. Jakarta :


Erlangga.

Guyton, A.C; Hall, J.E; 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
107-128.

H. Gray, Huon, D. Dawkins, Keith, dkk. 2003. Lecture Notes : Kardiologi. Edisi
4. Jakarta : Erlangga Medical Series.

Hartono L. 1995.Petunjuk Membaca Foto Untuk Dokter Umum. Cetakan IV.


Jakarta: EGC.

Horrower, A. and Mc Farlane, G., 1998. Left ventricular hypertrophy in hyper


tension. Am J Med;(S)1B:89-91.

Ismail. Gagal jantung kongestif. [Online] 1 Mei 2009 [akses 18 Juli 2015].
Available from: URL: http://www.gagal-jantung-kongestif.co.id.html.

Kumar, Cotran, Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7 Volume 2.Jakarta :
EGC.

L. brashers, Valentina. 2008. Aplikasi Klinis Patofisiologi pemeriksaan dan


Manajemen. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Lorraine B. Ware, M.D., and Michael A. Matthay, M.D. 2011. Acute Pulmonary
Edema. (Akses 17 Juli 2015) Available from: URL http://www.nejm.org.

Rasad, Sjahriar. 2010. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI

Ribka L, Wowor., Kandou, G.D., Umboh, J.M.L., 2015. Faktor-faktor yang


Mempengaruhi Pembesaran Jantung Kiri (LVH) pada Mahasiswa Pria Peserta
Kepanitraan Klinik Madya Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi.
FK Universitas Sam Ratulan

37
Statters DJ. Malik M. Ward DE. Camm AJ. QT dispersion, problem of
methodology and clinical significance. J. cardiovascular
electrophysiology 1994 Aug. 672-85.

Sudoro, Aru . 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi V.
Jakarta : FKUI.

Wilson, Sylvia A. Price dan Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep


Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC

38

Anda mungkin juga menyukai