Anda di halaman 1dari 23

Referat

SINDROM STEVENS JOHNSON

Oleh:
Faldi Pramayudha, S.Ked.
71 2018 001

Pembimbing:
dr. Riliani Hastuti, Sp.KK

DEPARTEMEN ILMU KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT A. RIVAI ABDULLAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul:
SINDROM STEVENS JOHNSON

Oleh:
Faldi Pramayudha, S.Ked.
71 2018 001

Telah dilaksanakan pada bulan Oktober 2020 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit A. Rivai Abdullah Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Oktober 2020


Pembimbing

dr. Riliani Hastuti, Sp. KK

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
“Sindrom Stevens Johnson” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit A.
Rivai Abdullah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Riliani Hastuti, Sp.KK, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik di
SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit A. Rivai Abdullah
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
yang telah memberikan masukan, arahan, serta bimbingan dalam
penyelesaian Referat ini.
2. Rekan-rekan dokter muda atas kerja samanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan Referat ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Referat ini dapat
bermanfaat bagi semua dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran.

Palembang, Oktober 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan............................................................................................1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi …………….………………………………………………………….3

2.2 Etiologi....................................................................................................3
2.3 Patogenesis..............................................................................................5
2.3.1 Marker Genetik yang Berperan Dalam SJS…………………….5

2.3.2 Obat-obatan,HLA,dan T-Cell Mediated Immunity pada SJS…..6

2.3.3 Keikutsertaa Sel Natural Killer (NK) pada SJS………………..7

2.3.4 Sinyal dan Mediator Berbahaya yang Menginduksi Terjadinya


Apoptosis Keratinosit pada SJS………………………………………7

2.4 Manifestasi Klinis...................................................................................9


2.5 Pemeriksaan Penunjang..........................................................................10
2.6 Diagnosis.................................................................................................11
2.7 Diagnosis Banding..................................................................................11
2.8 Tata Laksana...........................................................................................12
2.9 Pencegahan..............................................................................................14
2.10 Komplikasi............................................................................................14
2.11 Prognosis...............................................................................................14

iv
BAB III. Penutup
3.1 Kesimpulan ......................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................18

v
BAB I
PENDAHULUAN

Steven-Johnson syndrome (SJS) pertama kali ditemukan pada tahun 1922.


Steven-Johnson syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas yang
dimediasi oleh kompleks imun dengan gambaran eritema multiformis yang berat.
Sindrom ini dikenal sebagai eritema multiformis mayor, tetapi banyak literatur
yang tidak setuju dengan pendapat ini.1
Steven-Johnson syndrome (SJS) merupakan reaksi akut pada
mukokutaneus yang mengancam nyawa dengan karakteristik nekrosis dan
hilangnya lapisan epidermis. Steven dan Johnson pertama kali melaporkan dua
kasus erupsi kutaneus diseminata yang berkaitan dengan stomatitis erosif dan
gangguan okular hebat. SJS melibatkan kulit dan membran mukosa. Ketika
muncul gambaran minor yang dapat melibatkan membran mukosa mulut, hidung,
mata, vagina, uretra, gastroinstestinal dan saluran pernafasan bawah yang dapat
berkembang selama perjalanan penyakit. Keterlibatan saluran cerna dan saluran
pernafasan dapat berubah menjadi nekrosis. SJS merupakan gangguan sistemik
serius yang berpotensi meningkatkan morbiditas dan bahkan kematian. Sering
terjadi kesalahan diagnosis pada penyakit ini.1,2
Secara umum, kasus SJS/TEN diperkirakan 1-6 kasus/juta orang per tahun
dan secara respektif diperkirakan 0,4-1,2 kasus/juta orang per tahun. Terdapat
1,89 kasus per tahun yang dilaporkan di Jerman Barat dan Berlin pada tahun
1966. Insidensi yang terendah dilaporkan oleh Chan et al di Singapura. Penyakit
ini dapat mengenai semua usia, yang risikonya meningkat pada usia dekade ke
empat, dengan rasio seks 0,6. Pasien yang terinfeksi HIV, diperkirakan hanya 10
kasus dari 50 kasus SJS/TEN pada pasien HIV dan diperkirakan terdapat 15 kasus
SJS/TEN pada pasien AIDS. Pasien dengan penyakit vaskular dan kanker juga
berisiko tinggi. Secara keseluruhan, angka mortalitas SJS 5-12%.2,3

1
Patofisiologi penyakit ini masih belum jelas, namun sekarang ini obat-
obatan menjadi faktor penyebab utama. Lebih dari 100 jenis obat dilaporkan
menjadi penyebab yang diperkirakan sekitar 70% kasus. Selain itu, peran agen
infeksi juga dilaporkan pada beberapa kasus. Virus herpes simpleks ditemukan
pada beberapa kasus, terutama pada anak-anak. Selain itu, beberapa faktor lain
juga dapat menyebabkan SJS namun kasus ini masih harus diidentifikasi lebih
lanjut.2,3
Tingginya mortalitas SJS/TEN yang dilaporkan, bahkan pada kasus berat
dapat mencapai 30%. Selain itu, karena penggunaan obat yang merupakan
penyebab utama, sehingga diperlukan identifikasi dan pengenalan pada penyakit
ini untuk menghilangkan penyebab dan perbaikan kondisi serta mencegah
kekambuhan dan komplikasinya.4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan tipe reaksi hipersensitivitas
pada mukokutaneus dengan karakteristik nekrosis atau hilangnya lapisan kulit dan
mengenai membran mukosa yang ditentukan berdasarkan persentasi area
permukaan tubuh (Body Surface Area/BSA) yang terjadi karena respon obat-
obatan, infeksi maupun penyakit lainnya.1,2

2.2. ETIOLOGI
Terdapat 4 kategori etiologi pada SJS, yaitu antara lain1 :
1. Infeksi
Hampir setengah pasien dengan SJS dilaporkan dengan infeksi saluran
pernafasan atas. Agen penyebab infeksi dapat berupa bakteri, virus, jamur maupun
protozoa. Bakteri penyebab SJS diantaranya streptokokus beta grup A, difteri,
Brucellosis, mikobakteria, Mycoplasma pneumonia, tuleremia, dan tifoid. Kasus
“incomplete” dilaporkan setelah terdapat infeksi Mycoplasma pneumonia. Virus
penyebab SJS yang dilaporkan antara lain virus herpes simpleks (HSV), AIDS,
virus coxsackie, dan variola. Pada anak, virus penyebab yang teridentifikasi yaitu
virus Epsteins-Barr dan enterovirus. Mungkin juga disebabkan oleh jamur seperti
coccidioidomycosis, dermatofitosis, dan histoflasmosis. Protozoa juga dilaporkan
sebagai penyebab seperti malaria dan trichomoniasis.1,2,3

2. Induksi Obat

3
SJS/TEN paling sering disebabkan obat-obatan. Patogenesisnya
multifaktor dan mungkin disebabkan dinamika antara faktor didapat dan
konstisional yang berkaitan dengan obat maupun metabolismenya. Ditemukan
berbagai macam obat yang telah diidentifikasi dapat menyebabkan SJS/TEN dan
berkaitan dengan penyakit lokal dan peresepan obat. Tabel di bawah ini
merupakan obat-obatan yang dapat menginduksi SJS2,5

Tabel 2.1. Obat-obatan yang dapat menginduksi SJS/TEN2

(Sumber : Allanore IV dan Roujeau JC. 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-


Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis) Dalam Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. Seventh Edition. Volume 1 & 2. United States
of America : Mc-Graw Hill. Companies. Section 6. Hal 349-355.)

3. Kehamilan
Kehamilan dapat menginduksi kehamilan, walaupun kasus SJS pada
kehamilan sangat jarang namun pernah dilaporkan pada wanita usia 23 tahun,
G2A1 usia gestasi 37 minggu, dengan tanda klinis SJS setelah disuntik dengan
cefotaxim. Terdapat juga satu kasus stenosis vaginal diikuti SJS pada kehamilan.
SJS pada kehamilan dapat berakibat fatal karena imunocompromise. Walaupun
demikian, diagnosis awal dan penatalaksanaan yang tepat dapat menyelamatkan
ibu dan anak.

4. Idiopatik
Penyakit ini merupakan penyakit idiopatik (penyebabnya tidak diketahui).
SJS diketahui sebagai sindrom hipersensitivitas kompleks.2

4
2.3. PATOGENESIS
Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya
berbagai faktor. Dalam lebih dari setegah jumlah kasus yang pernah ditemukan,
tidak dapat dipastikan penyebab spesifik dari SJS ini. Walaupun pada umumnya
SJS sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Sekitar 50%
penyebab SJS adalah obat. Peringkat tertinggi adalah obat-obat Sulfonamid,
-lactam, imidazol dan NSAID, sedangkan peringkat menengah adalah
quinolon, antikonvulsan aromatik dan alopurinol. Beberapa faktor penyebab
timbulnya SJS diantaranya: infeksi (virus herpes simplex, dan Mycoplasma
pneumoniae), makanan (coklat), dan vaksinasi. Faktor fisik (udara dingin, sinar
matahari, sinar X) rupanya berperan sebagai pencetus (trigger).2
SJS memiliki karakteristik khas dengan onset akut terjadinya eritema yang
diikuti nekrosis secara meluas dan menyerang epidermis serta membrane mukosa.
Patogenesis SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV. Oleh karena proses hipersensitiftas, maka
terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi: 1) kegagalan fungsi kulit yang
menyebabkan kehilangan cairan, 2) stres hormonal diikuti peningkatan
resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, 3) kegagalan
termoregulasi, 4) kegagalan fungsi imun, dan 5) infeksi.1,2

2.3.1. Marker Genetik yang Beperan dalam SJS


Dalam beberapa tahun terakhir telah banyak laporan kasus yang
membahas mengenai hubungan genetik antara HLA dan SJS. Korelasi kuat antara
dua komponen genetik tersebut pertama kali ditemukan di Han, China, pada tahun
2004. Pasien-pasien SJS yang diinduksi (Carbamazepine) CBZ ditemukan 100%
membawa genetik HLA-B*1502, dan hanya 3% dari pembawa genetik HLA-
B*1502 yang toleransi dengan Carbamazepine. Pada ras Eropa dan Jepang kasus
SJS yang diinduksi CBZ sangat jarang ditemukan. Namun, HLA-B*1502 ternyata
secara unik hanya ditemukan pada orang Han China keturunan Asia dan hal ini

5
mungkin bisa memberi penjelasan tentang resiko yang sangat besar terjadinya SJS
yang diinduksi CBZ di Asia Tenggara dibandingkan Bangsa Eropa dan Jepang.4
Selain itu, ditemukan juga HLA-B*5801yang menjadi marker genetik
pada pasien-pasien SJS yang diinduksi Allupurinol. Dalam penelitian lain juga
disebutkan selain HLA-B*1502, HLA-B*5902, HLA-B*4801, HLA-B*5701,
HLA-DR7, HLA-DQ3, dan HLA-A*0206 mungkin juga memiliki peran penting
sebagai marker genetik penyebab SJS. Namun hal ini masih perlu penelitian lebih
lanjut.3,5

Gambar 2.1. Marker genetik dan sinyalnya pada SJS/TEN


(Sumber : Chung WH dan Hung S. 2010. Genetic Markers and Danger Signals in
Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. J Allergology
International. Vol 59 No. 4. Hal : 325-332)

2.3.2. Obat-obatan, HLA, dan T-Cell Mediated Immunity pada SJS


Patogenesis terjadinya respon sitotoksik pada SJS dimulai akibat
kesalahan pengenalan obat oleh molekul HLA kelas I yang menginisiasi aktivasi

6
sel T dan menyebabkan terjadinya ekspansi klonal sel T sitotoksik CD8+ di kulit.
Hal ini dipengaruhi immun HLA-restricted. Lebih jauh lagi, ditemukan 5 peptida
yang menunjukkan afinitas tinggi penyebab kesalahan pengenalan HLA terhadap
beberapa obat yang lokasinya berada di Antigen Presenting Cell (APC).3,10,11

2.3.3. Keikutsertaan Sel Natural Killer (NK) pada SJS


Selain Sel T sitotoksik, sel Natural Killers juga terlibat dalam terjadinya
SJS. Dalam beberapa penelitian terakhir, disebutkan bahwa granulosin yang
disekresi oleh Sel T Sitotoksik dan sel Natural Killers, merupakan kunci utama
yang bertanggung jawab dalam kematian keratinosit pasa SJS.5

2.3.4. Sinyal dan Mediator Berbahaya yang Menginduksi Terjadinya


Apoptosis Keratinosit pada SJS
1. Apoptosis yang Diinduksi Fas-FasL
Beberapa penelitian menemukan dalam perjalanan terjadinya apoptosis
keratinosit, banyak ditemukan Fas-FasL yang disebut menjadi salah satu faktor
pencetus kematian sel. Namun teori ini masih banyak mengalami perdebatan
karena beberapa peneliti memperkirakan bahwa Fas-Fasl tidak mempengaruhi
apoptosis. Fas-FasL hanya ditemukan disekresikan oleh keratinosit, namun tidak
menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu, temuan ini diperkuat dengan
sebuah penelitian yang mengatakan Fas-FasL tidak berada di permukaan
membran keratinosit, melainkan lebih cenderung melakukan perpindahan ke
permukaan sel selama terjadinya kerusakan keratinosit.3,4

2. Perforin/Granzim B dalam Perjalanan Apoptosis


Dalam cairan pada ruam penyakit TEN, ditemukan granzyme B dalam
konsentrasi tinggi. Perforin dan Granzim B dihasilkan oleh granula sekretori hasil
aktivasi Sel Limfosit T Sitotoksik dan sel NK. Perforin mengikat dan
mengaktifkan sebuah channel di membran sel target untu memasukkan Granzim
B untuk mengkativasi tahapan-tahapan dalam perjalanan apoptosis.3

3. Sinyal dan Sitokin Lain yang Berhubungan dengan Patogenesis SJS

7
Selain yang disebutkan diatas, ada beberapa mediator lain yang berperan
dalam patogenesis SJS antara lain tumor necrosis factor (TNF)-α, interferon
(IFN)-γ, dan interleukin (IL)-10. Lesi berupa bulla pada SJS mensekresi IFN-γ
dan menstimulasi keratinosit untuk mengekspresikan TNF-α, FasL, and IL-10,
sehingga ketiganya ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada cairan bulla sebagai
mekanisme pertahanan melawan sel limfosit T-sitotoksik. TNF-α ini memiliki
mekanisme regulasi terhadap Fas-FasL, sehingga mengaktifasi TNF-reseptor 1
(TNF-R1) dan menginisisasi FADD (Fas-associated death domain protein).3

4. Granulisin Sebagai Faktor Mayor Penyebab Terjadinya Apoptosis


Keratinosit pada SJS
Telah dapat dipastikan bahwa RNA granulosin yang banyak ditemukan
dalam sel-sel yang melepuh merupakan molekul sitotoksik yang paling signifikan
menjadi penyebab apoptosis keratinosit. Analisis Westernblot menunjukkan
bahwa granulosin dalam cairan bulla merupakan bentuk utama sekret 15 kDa.
Secara in vitro granulosin 15 kDa murni dapat mencetus sitotoksisitas secara
signifikan yang menyebabkan terjadinya kulit melepuh pada SJS.3,10,11,12
Meskipun telah banyak penelitian tentang patogenesis SJS, namun masih
banyak hal dari SJS yang tetap menjadi misteri. Sebagai contoh, bagaimana
proses ketikan orang minum obat dapat mencetuskan sekresi granulosin.
Kemudian bagaimana Sel T CD8+/NK bisa menyebabkan sekresi granulosin pada
SJS. Lalu apa hubungan spesifik obat, dengan HLA, dan sinyal-sinyal sitotoksik,
yang semuanya masih perlu penelitian lebih lanjut.3

8
Gambar 2.2. Patogenesis penyebab terjadinya apoptosis
(Sumber : Chung WH dan Hung S. 2010. Genetic Markers and Danger Signals in
Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. J Allergology
International. Vol 59 No. 4. Hal : 325-332)

2.4. MANIFESTASI KLINIS


Gejala klinis SJS dimulai dengan13 :
a. Sindroma prodromal yang non-spesifik dan reaksi konstisional berupa
meningkatnya suhu tubuh (demam), sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan,
nyeri dada, mialgia, sehingga penderita berobat. Dalam keadaan ini, sering
penderita mendapat pengobatan antibiotik dan antiinflamasi sehingga
menyebabkan kesukaran dalam mengidentifikasi obat penyebab SJS.
b. Gejala kulit tampak berupa makula eritematus yang menyerupai morbiliform
rash, timbul pada muka, leher, dagu, tubuh dan ekstremitas. Lesi target
(target lesions) dan bula dengan Nikolsky sign positif sering didapatkan. Lesi
membesar dan bertambah banyak.
c. Kelainan membran mukosa. Bibir, mukosa mulut dirasakan sakit, disertai
kelainan mukosa yang eritematus, sembab dan disertai bula yang kemudian

9
akan pecah sehingga timbul erosi yang tertutup pseudomembrane (necrotic
epithelium dan fibrin). Bibir diliputi massive hemorragic crusts. Kelainan
kelamin juga sering didadapt berupa bula yang hemoragik dan erosi.
SJS, TEN dan eritema multiformis harus dibedakan walaupun penyebab
penyakit dan mekanismenya sama dengan gejala klinis yang hampir sama. Tabel
2.2. dan Gambar 2.1. akan memperlihatkan perbedaan antara ketiganya.1

Tabel 2.2. Klasifikasi berdasarkan reaksi kulit1

(Sumber : Gerull et al. 2011. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson


Syndrome : A Review. Crit Care Med. Vol 39 No. 6. Hal 1-12)

2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang pada SJS antara lain :
1. Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laju nafas dan oksigenasi darah merupakan langkah awal yang
dilakukan di ruang emergensi. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu kadar gas darah
arterial. Kadar bikarbonat di bawah 20 mM mengindikasikan diagnosis yang
buruk. Biasanya hal tersebut disebabkan oleh alkalosis respiratorik yang berkaitan
dengan gangguan spesifik bronkhi dan yang lebih jarang karena asidosis
metabolik.2,14
Hilangnya cairan transdermal masif dikarenakan ketidakseimbangan
elektrolit, hipoalbunemia, dan hiponaproteinemia, insufisiensi renal transien, dan
azotemia prerenal. Meningkatnya kadar BUN juga menjadi tanda kegawatan.

10
Anemia dengan leukositosis sedang dan trombositopenia dapat terjadi.
Pemeriksaan lain yang dianjurkan berdasarkan skor SCORTEN.2
Pemeriksaan kultur darah, kulit dan luka dilakukan untuk menilai insiden
infeksi bakterial pada darah dan sepsis yang berkontribusi terhadap morbiditas
dan mortalitas.1,14

2. Pemeriksaan Histopatologi
Biopsi kulit merupakan pemeriksaan histologi rutin dan imunoflurosensi
yang dilakukan, bahkan jika gejala klinis telah tegak, dan ini merupakan cara
untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada fase awal, gangguan epidermal
memiliki karakteristik apoptosis keratinosit yang tipis pada lapisan suprabasal,
kemudian dengan cepat mengenai sub-epidermal. Infiltrat sel mononuklear tebal
pada dermis papiler juga tampak, terutama direpresentasikan lomfosit dan
monosit. Di antara populasi sel T, limfosit CD8 + dengan fenotipe gambaran sel
sitotoksik yang menunjukkan reaksi imunologi. Eosinofil jarang terlihat. Hasil
imunofloresensi langsung negatif.2

2.6. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan dengan gambaran
histologikal. Gejala klinis khas berupa makula eritematus dan livid pada kulit,
dengan Nikolsky sign positif yang diinduksi tekanan mekanis pada kulit, yang
diikuti beberapa menit sampai jam setelah onset terjadi. Nikolsky sign tidak
spesifik pada SJS/TEN.3,4,14

2.7. DIAGNOSIS BANDING


1. Penyakit yang Memiliki Gejala yang Mirip2
a. Epidermal Nekrolisis Terbatas
- Erythema multiforme major
- Varicella
b. Epidermal Nekrolisis Berat
- Acute Generalized exanthematous pustulosis
- Generalized bullous fixed drug eruption
2. Penyakit yang perlu dipertimbangkan
a. Paraneoplastic pemphigus

11
b. Linear immunoglobulin A bullous disease
c. Pressure blister after coma
d. Phototoxic reaction
e. Graft-versus-host disease
3. Dihindari sebagai diagnosis banding
a. Staphilococcal scaled skin syndrome
b. Thermal burns
c. Purpura fulminans
d. Chemical Toxicity

2.8. TATALAKSANA
SJS adalah penyakit yang mengancam jiwa dan membutuhkan managemen
optimal dengan cepat mendeteksi dan menarik obat yang kemungkinan menjadi
penyebab serta perawatan suportif yang tepat di rumah sakit.
a. Perawatan simtomastis
Pasien dengan gejala di kulit yang tidak terlalu luas atau pasien dengan
SCORTEN 0 sampai 1 dapat ditangani di tempat rawat biasa. Namun jika pasien
mengalami gejalan klinis yang lebih berat dengan nilai SCORTEN yang lebih
tinggi, seharusnya dirawat di Intencif Care Unit atau di Burn Center.
Pengobatan suportif ini terdiri dari pemantauan dan perbaikan
hemodinamik dan pencegahan komplikasi yang dapat mengancam jiwa.
Tujuannya kurang lebih sama dengan penatalaksanaan pada penyakit luka bakar.
Pada kasus epidermal nekrolisis ini, dapat terjadi kehilangan cairan yang
signifikan akibat erosi kulit, yang akhirnya dapat menyebabkan hipovolemik dan
ketidakseimbangan elektrolit.Karena itu harus segera dilakukan pergantian cairan
harian secara adekuat. Jumlah cairan yang diberikan tidak harus sama dengan
kasus pada pasien luka bakar, karena pada kasus SJS tidak terjadi edema
intertisial.
Suhu lingkungan harus diatur diatas 280C sampai 300C (82,40F-860F). Bisa
digunakan tempat tidur khusus yang dapat mengatur suhu pasien untuk membuat
pasien merasa nyaman.

12
Pemberian nutrisi yang adekuat dengan NGT bila diperlukan untuk
mempercepat kesembuhan dan untuk mencegah resiko translokasi bakteri dari
saluran gastrointestinal.
Untuk mengurangi infeksi, diperlukan tindakan aseptik dan penanganan
luka secara hati-hati. Bila perlu dilakukan kultur kulit, darah, dan urin, secara
rutin, untuk melihat bakteri dan jamur yang mungkin menginfeksi.
Pemberian antibiotik sebagai profilaksis tidak terlalu dianjurkan, namun
bila ditemukan tanda-tanda infeksi, antibiotik bisa menjadi pilihan. Bisa diberikan
profilaksis antikoagulan selama perawatan di rumah sakit. Tindakan debridement
pada epidermis yang mengalami nekrosis, tidak terlalu dianjurkan.
Belum ada standar khusus untuk perawatan luka, tetapi tetap sesuai
prosedur antiseptik. Dan ini membutuhkan pengalaman, kehati-hatian, dan
protokol ketat serta penatalaksanaan yang adekuat. Untuk mata, perlu dilakukan
pemeriksaan harian oleh dokter spesialis mata. Bila perlu dibetikan tetes mata,
antibiotik dan antiseptik topical, dan vitamin A setiap 2 jam pada fase akut. Untuk
mulut harus di kompres setiap hari dengan cairan antifungal dan antiseptik.
b. Penatalaksanaan Spesifik
1. Pemberian Kortikosteroid
Pada dasarnya, pemberian kortikosteroid sistemik dalam kasus ini masih
kontroversial. Pada beberapa kasus ditemukan, pemberian steroid pada fase awal
dapat mencegah perburukan gejala penyakit. Namun di beberapa kasus lain,
steroid tidak mamu mencegah progresifitas penyakit, bahkan membuat
meningkatnya mortalitas, terutama akibat sepsis.
2. Imunoglobulin Intravena
Pemberian immunoglobulin belum menjadi standar pengobatan, namun
jika tetap diberikan adalah bertujuan untuk mencegah potensi nefrotoksik.
3. Cyclosporin A
Cyclosporin A merupakan suatu agen immunosupressif yang sangat baik
untuk penatalaksanaan SJS. Obat ini mengaktivasi sitokin T helper 2,
menginhibisi mekanisme sitotoksik CD8+, dan sebagai anti apoptosis efek dengan
menginhibisi Fas-L, faktor nukleus k B, dan TNF-.
4. Plasmaforesis atau Hemodialisis

13
Plasmaforesis atau Hemodialisis digunakan untuk menghilangkan efek
obat penyebab SJS, hasil metabolismenya, atau membuang mediator
inflamasi seperti sitokin.
5. Agen Anti-TNF

2.9. PENCEGAHAN
a. Melakukan patch test pada obat-obat yang akan digunakan yang dicurigai
akan menimbulkan alergi.
b. Berhati-hati dalam penggunaan obat-obatan tertentu.

2.10. KOMPLIKASI
Sepsis merupakan penyebab penting yang mengakibatkan kematian. Erosi
yang luas merupakan risiko infeksi bakteri dan jamur yang dapat menimbulkan
komplikasi pada pernafasan dan gagal multi-organ. Komplikasi pernafasan dan
gagal fungsi organ diperkirakan 15-30% kasus. Jika gagal nafas terjadi, maka
diperlukan ventilator.2,4
Komplikasi pada mata terjadi pada 75% pasien, sehingga terapi awal
sangat dibutuhkan. Hiperpigmentasi dan hipopigmentasi biasa terjadi dan
terkadang terdapat skar dan distrofia kuku. Adhesi genital mengakibatkan
dispareunia, nyeri dan perdarahan. Komplikasi gastrointestinal (misal : striktur
esofagus), bronkial, genitourinaria (nekrosis tubular ginjal, stenosis vagina, dan
lain-lain) dan anal jarang terjadi. Gangguan stres post-trauma juga bisa terjadi,
sehingga dibutuhkan bantuan psikiater. Semua pasien SJS/TEN harus dipantau
perkembangannya untuk menilai komplikasi yang dapat timbul belakangan.2,4

2.11. PROGNOSIS
SJS/TEN merupakan penyakit yang mengancam nyawa. Angka mortalitas
dilaporkan 1-5%, yang meningkat pada pasien yang tua dan area permukaan kulit
yang terkena luas. Lesi biasanya membaik sekitar 1-2 minggu, tanpa infeksi
sekunder. Kebanyakan pasien membaik tanpa gejala sisa. Gejala sisa yang
mungkin muncul berupa simblefaron, sinekia konjungtiva, entropian, tidak
tumbuhnya bulu mata, skar kutaneus, pigmentasi iregular, erupsi nevus, dan erosi

14
persisten pada membran mukosa, fimosis, sinekia vaginal, distrofia kuku, dan
rambut rontok. Gejala sisa yang serius seperti gagal nafas, gagal ginjal, dan
kebutaan menentukan prognosis. Hampir 15% pasien dengan SJS meninggal
karena bakterimia dan sepsis. Skor SCORTEN merupakan varibel yang digunakan
untuk menilai prognosis berdasarkan faktor risiko.1,2,3,4,5

Tabel 2.3. skor SCORTEN

(Sumber : HHF Ho. 2008. Diagnosis and Management Stevens-Johnson


Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. The Hongkong Medical Diary.
Vol.13 No.10)

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan tipe reaksi hipersensitivitas
pada mukokutaneus dengan karakteristik nekrosis atau hilangnya lapisan
kulit dan mengenai membran mukosa.
2. SSJ dapat disebabkan oleh beberapa penyabab yaitu infeksi, obat
obatan, kehamilan atau muncul secara tiba tiba tanpa penyebab (idiopatik)
3. Patogenesis dari SSJ dipengaruhi beberapa faktor seperti genetik,obat
obatan, peran natural killer dan apoptosis jaringan.
4. Manifestasi klinik dari SSJ dimulai dari adanya gejala prodormal diikuti
keterlibatan kulit dan mukosa pada seluruh bagian tubuh.
5. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakan
ddiagnosis SSJ adalah laboratorium dan pemeriksaan Histopatologi.
6. Diagnosis pada pasien SSJ dapat ditegakkan dari pemeriksaan
fisik/klinis dan histopatologi.
7. Diagnosis banding dari SSJ adalah Epidermal Erythema multiforme
major, Varicella, Acute Generalized exanthematous pustulosis,
Generalized bullous fixed drug eruption, Paraneoplastic pemphigus, linear
immunoglobulin A bullous disease, dan pressure blister after coma.
8. Penatalaksanaan SSJ dibagi menjadi dua kategori yaitu perawatan
symptomatis dan perawatan spesifik.
9. Pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjadi SSJ adalah dengan
melakukan patch test pada pasien dengan risiko alergi dan menghindari
obat obatan yang berisiko menimbulkan reaksi alergi.
10. Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien SSJ adalah gangguan pada
gastrointestinal, gastrourinaria, gagal pernafasan, sepsis bahkan sampai ke
kematian.

16
11. Prognosis pada SSJ dapat dinilai berdasarkan usia, keparahan dan luas
permukaan tubuh yang terkena dengan menggunakan SKORTEN.

17
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Siregar. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Edisi ke-2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta Indonesia. 2005.
2. Djuanda, A., dkk. Dermatomikosis. Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi ke-7.Jakarta. Balai Pustaka FakultasKedokteran Universitas Indonesia.
Hal 109-116. 2016.
3. Gudjonsson JE, Elder JT. Fitzpatrick’s Dermatology in general Medicine. 7th
ed. United States of America: The McGaw-Hill Medical Companies. 2008.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).
Dermatofitosis. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin di Indonesia. Jakarta: PERDOSKI. 2017.

18

Anda mungkin juga menyukai