Anda di halaman 1dari 25

Referat

HERPES ZOSTER

Oleh:

Maulia Sari Khairunnisa, S.Ked

04054821820001

Pembimbing:

dr. Susanti Budiamal, SpKK(K), FINSDV, FAADV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul:

Herpes Zoster

Disusun oleh :

Maulia Sari Khairunnisa, S.Ked 04084821820001

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Dermatologi dan Venerologi Universitas Sriwijaya/RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang periode 24 Juni- 29 Juli 2019

Palembang, Juli 2019

Pembimbing

dr. Susanti Budiamal, SpKK(K), FINSDV, FAADV

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Herpes
Zoster” untuk memenuhi tugas referat yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran dan penilaian kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Dermatologi
dan Venerologi Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Susanti Budiamal, SpKK(K), FINSDV, FAADV selaku pembimbing yang telah
membantu memberikan ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa
yang akan datang. Semoga referat ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi
kita semua.

Palembang, Juli 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................1
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................2
KATA PENGANTAR .............................................................................................3
DAFTAR ISI ............................................................................................................4
PENDAHULUAN .................................................................................................. 5
DEFINISI ............................................................................................................... 5
EPIDEMIOLOGI ................................................................................................. ..6
ETIOPATOGENESIS ........................................................................................... ..6
MANIFESTASI KLINIS ..................................................................................... ..9
DIAGNOSIS BANDING ..................................................................................... 12
DIAGNOSIS ........................................................................................................ 13
KOMPLIKASI ......................................................................................................14
TATALAKSANA .................................................................................................19
PENCEGAHAN ................................................................................................... 23
KESIMPULAN .................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25

4
HERPES ZOSTER
Maulia Sari Khairunnisa
Pembimbing: dr. Susanti Budiamal, SpKK(K), FINSDV, FAADV
Bagian/Departemen Dermatologidan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2019

Pendahuluan
Herpes zoster berasal dari Bahasa Yunani yaitu herpein yang berarti merayap
(creep) dan zoster yang berarti ikat pinggang merupakan penyakit neurokutan
dengan manifestasi erupsi vesikuker berkelompok dengan dasar eritematosa
disertai nyeri radikukar unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom.1,2
Herpes zoster terjadi akibat reaktivasi virus varisela zoster yang dorman pada akar
ganglion sensorik pada episode cacar (chickenpox/varicella) sebelumnya.3
Orang dewasa di atas 50 tahun berisiko lebih tinggi untuk mengalami herpes
zoster, mungkin akibat imunosenensi yang terkait dengan usia lanjut, akan tetapi
penyakit ini dapat terjadi pada individu dari segala usia, terutama mereka yang
mengalami supresi imun yang dimediasi sel akibat penyakit ataupun obat.4 Resiko
penyakit meningkat dengan adanya keganasan, transplantasi sumsum tulang/ginjal
atau infeksi HIV.1,5 Komplikasi akibat keterlibatan saraf oftalmik, splanknikus,
serebral, dan motorik dilaporkan pada herpes zoster. Namun komplikasi yang
paling sering adalah neuralgia paska herpes (NPH).4

Definisi
Herpes zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi
erupsi vesikuker berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikukar
unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom.1 Herpes zoster terjadi akibat
reaktivasi virus varisela zoster yang dorman pada akar ganglion sensorik pada
episode cacar (chickenpox/varicella) sebelumnya.3

5
Epidemiologi
Insiden herpes zoster meningkat dengan bertambahnya usia. Dibawah usia 45
tahun, insiden herpes zoster kurang dari 1 per 1000 orang per tahunnya. Angka
kejadiannya empat kali lebih tinggi pada orang yang berusia 75 tahun. Pada ras kulit
putih di atas usia 80 tahun, resiko terkena herpes zoster adalah 10-30%. Secara
keseluruhan, satu dari tiga orang yang tidak divaksinasi akan mengalami herpes
zoster. Insiden herpes zoster rendah pada orang-orang yang tidak termasuk ras kulit
putih. Orang-orang Afrika dan Amerika memiliki peluang empat kali lebih rendah
untuk terkena penyakit ini.5 Resiko penyakit meningkat dengan adanya keganasan,
transplantasi sumsum tulang/ginjal atau infeksi HIV.1,5 Pada pasien dengan infeksi
HIV, insiden penyakit ini mencapai 30 per 1000 orang per tahun.5 Tidak terdapat
predileksi gender. Penyakit ini bersifat menular namun daya tularnya lebih kecil
dibandingkan varisela.1

Etiopatogenesis
Imunitas terhadap virus varisela zoster berperan dalam patogenesis herpes
zoster terutama imunitas selulernya. Pada infeksi primer virus varisela zoster,
partikel virus meninggalkan lesi di kulit dan mukosa melalui saraf sensorik secara
sentripetal menuju ganglion sensorik.6 Virus ini tetap tinggal di dalam ganglion
sensoris saraf spinalis, kranialis, atau otonom selama tahunan (infeksi laten). Pada
saat respon imunitas seluler dan titer antibodi spesifik terhadap virus varisela zoster
menurun (misal oleh karena umur atau penyakit imunosupresif), sampai tidak lagi
efektif mencegah infeksi virus maka partikel virus varisela zoster yang laten
tersebut mengalami reaktivasi.1 Virus memperbayak diri dan menyebar secara
sentrifugal, menyusuri saraf sensorik ke kulit atau mukosa dan menimbulkan ruam
kulit yang terlokalisata di dalam satu dermatom (Gambar 1-2).1,6 Faktor lain
seperti radiasi, trauma fisis, obat-obat tertentu, infeksi lain, atau stres dapat
dianggap sebagai pencetus walaupun belum pasti.1

6
Gambar 1. Varisela dan herpes zoster (A) Pada infeksi primer VZV (varisela atau chicken pox),
virus menginfeksi ganglia sensorik. (B) VZV tetap pada fase laten pada ganglia pada
sisa hidup penderita. (C) pada keadaan menurunnya fungsi imun, VZV mengalami
reaktivasi, dari ganglia sensori ke nervus sensori dan bereplikasi di kulit.6

7
Gambar 2. Dermatom. Proyeksi saraf sensoris pada kutaneus.6

8
Manifestasi klinis
Gejala prodromal herpes zoster berupa sensasi abnormal atau nyeri otot lokal,
nyeri tulang, pegal, parestesia sepanjang dermatom, gatal, rasa terbakar dari ringan
sampai berat yang terjadi sebelum timbulnya erupsi kulit.1,6 Nyeri dapat
menyerupai sakit gigi, pleuritis, infark jantung, nyeri duodenum, kolesistitis, kolik
ginjal, atau empedu, apendisitis. Dapat juga dijumpai gejala konstitusi misalnya
nyeri kepala, malaise, dan demam. Gejala prodromal dapat berlangsung beberapa
hari (1-10 hari, rata-rata 2 hari).1
Erupsi kulit awalnya berupa papul dan plak eritem pada dermatom (Gambar
3).5 Papul tersebut akan berubah menjadi vesikel/bula dalam 24 jam. Setelah 48
jam, vesikel-bula dapat menjadi pustul dan selanjutnya akan menjadi krusta pada
hari ke 7 sampai 10. Lesi terus muncul selama beberapa hari.6 Lesi dapat menjadi
hemoragik, nekrotik, atau bulosa.5 Distribusi lesi bersifat unilateral dan
dermatomal. Dua atau lebih dermatom yang berdekatan dapat terlibat.6 Pada kasus
yang tipikal, vesikel timbul selama 1-5 hari, menjadi pustul, krusta, lalu sembuh.
Durasi total erupsi kulit bergantung pada tiga faktor yaitu usia pasien, keparahan
erupsi, dan adanya penyakit imunosupresi yang mendasari. Total durasi erupsi pada
pasien usia muda sekitar 2-3 minggu, sementara pada pasien usia lanjut, lesi kulit
akibat zoster dapat membutuhkan waktu 6 minggu atau lebih untuk sembuh.
Terbentuknya jaringan parut pada lesi lebih sering pada pasien lanjut usia dan
pasien dengan imunosupresi. Terbentuknya jaringan parut ini berkorelasi dengan
tingkat keparahan erupsi awal. Dapat terjadi meskipun jarang, pasien merasakan
nyeri sepanjang dermatom tanpa disertai lesi pada kulit, hal ini disebut zoster sine
herpete. Tingkat keparahan nyeri berkorelasi dengan luasnya lesi pada kulit, dan
orang yang lebih tua cenderung mengalami nyeri yang lebih berat.5

9
Gambar 3. Herpes zoster, distribusi dermatomal klasik.5

Herpes zoster pada pasien imunosupresi


Pasien dengan keganasan, terutama penyakit Hodgkin dan leukemia, lima kali
lebih beresiko untuk mengalami herpes zoster daripada orang lain pada usia yang
sama. Terdapat insidensi herpes zoster yang lebih tinggi pada pasien yang memiliki
sistem kekebalan tubuh yang kurang, seperti individu yang mengalami
imunosupresi paska transplantasi organ atau akibat penyakit jaringan ikat, atau oleh
pengobatan, terutama kortikosteroid, agen kemoterapi, siklosporin, sirolimus , dan
takrolimus. Pada pasien yang dilakukan transplantasi sel induk untuk leukemia,
hingga 68% pasien akan mengalami herpes zoster dalam 12 bulan pertama. Insiden
kumulatif reaktivasi virus varisela zoster pada kelompok ini dapat melebihi 80%
dalam 3 tahun pertama. Pasien zoster di bawah usia 50 tahun harus ditanyai tentang
faktor risiko HIV, hal ini karena zoster 30 kali lebih sering terjadi pada orang yang
terinfeksi HIV. Pada pasien anak-anak dengan infeksi HIV dan pada anak-anak
yang mengalami imunosupresi, zoster dapat dengan cepat terjadi setelah infeksi
primer varisela.5
Gambaran klinis zoster pada pasien dengan imunosupresi biasanya identik
dengan zoster tipikal, akan tetapi lesi mungkin lebih ulseratif dan nekrotik dan dapat
terbentuk jaringan parut yang lebih parah. Zoster dermatomal dapat muncul,

10
mengalami progresi tanpa diikuti penyembuhan. Zoster multidermatomal lebih
sering terjadi pada pasien yang mengalami imunosupresi. Termasuk varian langka
yaitu “herpes zoster dupleks bilateral” yang terjadi akibat adanya keterlibatan dua
dermatom kontralateral yang berbeda. Penyebaran ke organ viseral dan akibat yang
fatal sangat jarang terjadi pada pasien dengan imunosupresi (sekitar 0,3%), akan
tetapi diseminasi kulit terjadi pada 12% pasien kanker, terutama mereka dengan
keganasan hematologis. Pada pasien yang mengalami transplantasi sumsum tulang
dengan zoster, 25% mengalami zoster mengalami diseminara kulit dan 10-15%
mengalami penyebaran ke viseral. Zoster diseminata dapat dikaitkan dengan
sindrom sekresi hormon antidiuretik yang tidak sesuai (syndrome of inappropriate
antidiuretic hormone secretion/SIADH) dan terjadi bersamaan dengan
hiponatremia, nyeri perut, dan ileus. Gambaran klinis ini kemudian telah dilaporkan
terjadi pada pasien yang melakukan transplantasi sel induk (stem cell). Meskipun
telah dilakukan pengobatan dengan asiklovir IV, SIADH bisa berakibat fatal. Pada
pasien ini, jumlah lesi kulit mungkin sedikit, dan lesi menyerupai papul daripada
vesikel. Persentase kematian pada pasien dengan herpes zoster yang telah menjalani
transplantasi sumsum tulang adalah 5%. Serostatus IgG virus varisela zoster
diperiksa sebelum transplantasi, dan semua pasien seropositif menerima profilaksis
dengan asiklovir 800 mg dua kali sehari, atau valasiklovir 500 mg dua kali sehari,
selama 1 tahun atau lebih jika pasien menerima terapi imunosupresif. Pada pasien
AIDS (acquired immunodeficiency syndrome), komplikasi okular dan neurologis
herpes zoster meningkat. Pasien imunosupresi sering mengalami kekambuhan
zoster, yaitu hingga 25% pada pasien dengan AIDS (Gambar 4).5
Dua pola zoster atipikal telah dijelaskan pada pasien AIDS yaitu lesi
ektimatosa, yang merupakan ulserasi punched-out dengan krusta di bagian tengah,
dan lesi verukosa (Gambar 5).5 Pola-pola ini tidak dilaporkan sebelum terjadinya
epidemi AIDS. Pola klinis atipikal, terutama pola verukosa, dapat berkorelasi
dengan resistensi asiklovir.5

11
Gambar 4. Zoster rekuren pada pasien AIDS.5

Gambar 5. Zoster Verukosa pada pasien AIDS.5

Diagnosis banding
Sebelum ruam muncul, nyeri pada stadium prodromal herpes zoster
terkadang dianggap akibat apendisitis akut, infark miokard, kolesistitis, atau kolik
renal.3,7 Herpes zoster pada awal erupsi dapat didiagnosis banding dengan
dermatitis venetata atau dermatitis kontak.1 Terbentuknya satu plak merah yang

12
disertai nyeri pada awal penyakit dapat mengarahkan diagnosis pada selulitis
sampai timbulnya plak lain pada dermatom atau sampai vesikel terbentuk di
puncaknya. Distribusi dermatom dan adanya nyeri memungkinkan zoster
dibedakan dengan mudah dari herpes simpleks, eksim, dan impetigo.3 Herpes zoster
yang timbul di daerah genetalia memiliki kemiripan dengan herpes simpleks,
sedangkan herpes zoster diseminata dapat mirip dengan varisela.1 Herpes zoster
oftalmikus dapat didiagnosis banding dengan keratitis ulseratif, trigeminal
neuralgia, maupun glaukoma akut sudut tertutup.7

Diagnosis
Diagnosis penyakit herpes zoster sangat jelas karena gambaran klinisnya
memiliki karakteristik tersendiri.1 Stadium prodromal dari infeksi herpes zoster
dapat dipikirkan pada pasien usia lanjut atau pasien imunokompromais yang
mengalami keluhan nyeri unilateral. Pada stadium vesikulasi aktif (timbulnya
erupsi kulit), gambaran klinis penyakit ini sangat khas dan pemeriksaan apusan
Tzanck dapat dengan cepat mengkonfirmasi kecurigaan klinis.5 Pemeriksaan
apusan Tzanck memberikan gambaran multinucleated giant cells dan balloning
degeneration dari keratinosit yang mengindikasikan adanya infeksi herpes.3 Herpes
simplex zosteriform juga dapat memiliki hasil Tzanck positif, akan tetapi jumlah
lesi biasanya lebih terbatas dan tingkat nyeri secara substansial lebih ringan
dibandingkan dengan herpes zoster. Selain tes Tzanck, tes fluoresensi langsung
antibodi (direct fluorescent antibody/DFA) lebih dipilih daripada kultur virus
karena pemeriksaan ini cepat, dapat mengetahui tipe virus, dan memiliki hasil yang
lebih baik daripada kultur. Jika dibandingkan dengan infeksi virus varisela zoster
yang terdokumentasi, pemeriksaan apusan Tzanck memiliki hasil positif sebesar
75% (dengan hasil positif palsu hingga 10% dan variabilitas tinggi, tergantung pada
keterampilan pemeriksa) sementara hasil kultur yang positif hanya 44%. Pengujian
PCR positif sebesar 97%.5 Pemeriksaan dengan teknik polymerase chain reaction
(PCR) merupakan tes diagnosis yang paling sensitif dan spesifik karena dapat
mendeteksi DNA virus varisela zoster dari cairan vesikel. Pemeriksaan kultur virus
mempunyai sensitivitas yang rendah karena virus herpes bersifat labil dan sulit “to

13
recover” dari cairan vesikel. Pemeriksaan DFA lebih cepat serta mempunyai
sensitivitas yang lebih tinggi daripada kultur dan dipakai sebagai tes diagnostik
alternatif bila pemeriksaan PCR tidak tersedia.1 Pada lesi atipikal, biopsi mungkin
diperlukan untuk menunjukkan efek sitopatik virus herpes yang khas. Tes
pewarnaan IP (immuno peroxidase) dapat dilakukan pada jaringan yang difiksasi
parafin untuk mengidentifikasi virus varisela zoster secara spesifik. Apabila
asiklovir gagal secara klinis, kultur virus dan pengujian sensitivitas asiklovir
dilakukan. Pemeriksaan ini tidak terstandarisasi untuk virus varisela zoster seperti
untuk virus herpes simpleks, dan ketersediaannya terbatas.5

Komplikasi
a. Neuralgia paska herpes
Neuralgia paska herpes (NPH) adalah nyeri pada pasien herpes zoster yang
masih menetap setelah rash hilang. 8 Ada yang mengambil waktu 1 bulan, 3
bulan, 4 bulan atau 6 bulan setelah rash hilang, tetapi kebanyakan mengambil
waktu 90-120 hari (3-4 bulan).2,8 Neuralgia paska herpes merupakan komplikasi
yang paling sering dari herpes zoster. Angka kejadiannya meningkat dengan usia
yaitu mengenai lebih dari 30% penderita herpes zoster yang berusia 80 tahun ke
atas.2 Karekteristik nyerinya yaitu konstan atau intermiten, biasanya berat,
seperti terbakar dan terjadi hampir setiap hari. Alodinia (nyeri akibat stimulus
yang normalnya tidak menimbulkan nyeri) dapat dijumpai pada sebagian besar
kasus NPH. Gambaran klinis herpes zoster yang menjadi faktor predisposisi
terjadinya neuralgia paska herpes antara lain beratnya nyeri pada awal onset,
ruam yang ekstensif/luas dan usia di atas 50 tahun.2

b. Herpes zoster oftalmikus


Pada herpes zoster oftalmikus terdapat keterlibatan divisi oftalmik dari
saraf kranial kelima (nervus trigeminus). Herpes zoster oftalmikus terjadi pada
10-25% kasus.2 Jika divisi eksternal dari cabang nasosiliari terlibat, yang
ditandai dengan adanya vesikel di sisi dan ujung hidung (tanda Hutchinson)
(Gambar 6), kemungkinan terdapat keterlibatan mata sebesar 76%. Vesikel

14
pada margin kelopak mata hampir selalu dikaitkan dengan keterlibatan okular.
Pasien dengan zoster oftalmikus harus diperiksa oleh dokter spesialis mata.
Pemberian antivirus sistemik harus segera dilakukan, sambil menunggu evaluasi
oftalmologis. Keterlibatan okuler paling sering terjadi dalam bentuk uveitis
(92%) dan keratitis (50%). Komplikasi yang lebih jarang tetapi lebih parah
diantaranya glaukoma, neuritis optik, ensefalitis, hemiplegia, dan nekrosis retina
akut. Komplikasi ini berkurang dari 50% pasien menjadi 20-30% dengan terapi
antivirus yang efektif. Lesi okular zoster dan komplikasinya cenderung
mengalami kekambuhan, kadang-kadang sampai 10 tahun setelah episode
zoster.5

Gambar 6. Herpes zoster, keterlibatan dermatom divisi oftalmik nervus trigeminus.5

c. Sindroma Ramsay Hunt dan kelainan neurologis lain


Sindrom Ramsay Hunt terjadi akibat keterlibatan nervus fasialis dan
nervus auditorius oleh virus varisela zoster. Peradangan akibat herpes pada
ganglion genikulat diduga menjadi penyebab sindrom ini. Gambaran klinis yaitu
adanya herpes aurikularis (lesi zoster pada telinga eksternal atau membran

15
timpani), kelumpuhan wajah, dan gejala pendengaran. Gejala pendengaran
termasuk tinitus ringan hingga berat, tuli, vertigo, mual dan muntah, dan
nistagmus.5
Neuropati saraf motorik terjadi pada sekitar 3% pasien herpes zoster dan
terjadi tiga kali lebih sering jika zoster dikaitkan dengan adanya keganasan yang
mendasari. Sekitar 75% pasien perlahan pulih, sedangkan 25% lainnya
mengalami beberapa defisit motorik residual. Zoster pada torakal dapat
dikaitkan dengan neuropati motorik dari otot-otot perut yang mengakibatkan
tonjolan di panggul atau perut yang disebut "pseudotumor postherpetic." Jika
dermatom S3, atau lebih jarang S2 atau S4 terlibat, akan terjadi gangguan
berkemih. Demikian pula, pseudo-obstruksi, spasme kolon, dilatasi, obstipasi,
konstipasi, dan penurunan tonus sfingter anal dapat terjadi pada keterlibatan
torakal (T6-T12), lumbar, atau sakral. Nekrosis tulang alveolar maksilaris dan
mandibula dapat terjadi rata-rata 30 hari paska herpes zoster mengenai cabang
maksila atau mandibula dari saraf trigeminal. Kehilangan gigi yang terbatas atau
meluas juga dapat terjadi.5

d. Herpes zoster diseminata


Herpes zoster diseminata didefinisikan sebagai adanya lebih dari 20 lesi di
luar dermatom yang terkena. Penyakit ini terjadi terutama pada orang yang lebih
tua dan pasien dengan keganasan limforetikular atau AIDS. Tingkat antibodi
serum yang rendah terhadap virus varisela zoster merupakan faktor risiko yang
sangat signifikan dalam memprediksi penyebaran penyakit. Lesi dermatomal
kadang-kadang hemoragik atau berupa gangren. Vesikula atau bula yang berada
di luar dermatom, yang biasanya tidak berkelompok, menyerupai varisela dan
sering terdapat umbilikasi dan mungkin hemoragik. Penyebaran viseral ke paru-
paru dan sistem saraf pusat dapat terjadi pada pasien dengan zoster diseminata.
Zoster diseminata membutuhkan evaluasi yang cermat dan terapi antivirus
sistemik. Awalnya, asiklovir IV diberikan, yang dapat diubah menjadi agen
antivirus oral setelah keterlibatan viseral diekslusi dan pasien telah menerima
setidaknya 2-3 hari terapi IV.5

16
e. Infeksi Bakteri
Apabila dicurigai terjadi superinfeksi bakteri, dipertimbangkan pemberian
antibiotik yang efektif terhadap Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pyogenes misalnya seperti flucloxacillin 500 mg setiap enam jam selama tujuh
hari.2

f. Lesi Inflamasi pada Kulit Paska Infeksi Herpes Zoster (Respon Isotopik)
Lesi kulit akibat inflamasi paska zoster pada dermatom yang terkena jarang
terjadi. Lesi biasanya muncul dalam 1 bulan setelah zoster, atau lebih dari 3 bulan
pada kasus yang jarang. Secara klinis, lesi-lesi tersebut biasanya berupa papul
yang rata atasnya atau anular pada dermatom. Secara histologis, papul tersebut
paling sering menunjukkan berbagai pola peradangan granulomatosa dari
granuloma anular yang khas hingga reaksi sarkoid atau bahkan granulomatosa
vaskulitis (Gambar 7). Genom virus persisten belum terdeteksi pada lesi ini, hal
ini menunjukkan bahwa pemberian terapi antivirus yang berkelanjutan tidak
diindikasikan. Glikoprotein virus varisela zoster yang persisten mungkin
merupakan antigen pemicu. Terapi topikal dan intralesi dengan kortikosteroid
bermanfaat, tetapi perjalanan lesi ini umumnya mengalami resolusi spontan. Pada
kasus yang lebih jarang, penyakit kulit inflamasi lain dapat timbul di daerah yang
sebelumnya terkena zoster, termasuk lichen planus, lichen sklerosus, vitiligo,
sarkoma Kaposi, penyakit graftversus-host (GVHD), morfea, dan infiltrat limfoid
jinak atau atipikal. Infiltrat leukemia dan limfoma dapat memengaruhi bekas luka
zoster, seperti terjadinya karsinoma metastatik (inflamasi onkotaksis) atau kanker
kulit nonmelanoma5.

17
Gambar 7. Dermatom yang sebelumnya terkena zoster mengalami dermatitis granuloma yang
secara histologi merupakan anular granuloma.5

g. Komplikasi lain
Herpes zoster dapat dikaitkan dengan komplikasi yang tertunda, banyak di
antaranya disebabkan oleh vaskulopati yang mempengaruhi sistem saraf pusat
(SSP) atau bahkan arteri perifer. Pada kasus yang jarang dapat terjadi stroke yang
bermanifestasi sebagai hemiparesis yang tertunda. Hal ini merupakan
komplikasi serius dari herpes zoster yang terjadi berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan (rata-rata 7 minggu) setelah zoster memengaruhi cabang pertama
saraf trigeminal. Virus varisela zoster mendapatkan akses ke SSP dan
menginfeksi arteri serebral melalui ekstensi langsung di sepanjang cabang
intrakranial dari saraf trigeminal. Pasien datang dengan keluhan sakit kepala dan
hemiplegia. Arteriografi menunjukkan adanya trombosis arteri serebri anterior
atau arteri serebri media. Bentuk vaskulopati ini juga dapat terjadi mengikuti
varisela dan mungkin menjadi penyebab sekitar sepertiga dari stroke iskemik
pada anak-anak. Komplikasi vaskulopati dari virus varisel zoster telah diperluas
mencakup perubahan status mental, afasia, ataksia, kehilangan hemisensorik,
hemianopia dan kehilangan penglihatan monokular. Kehilangan penglihatan
monokular dapat terjadi hingga 6 bulan setelah zoster. Aneurisma, perdarahan
subaraknoid atau serebral, diseksi karotis, dan bahkan penyakit pembuluh darah
perifer adalah bentuk lain dari vaskulopati akibat virus varisela zoster.

18
Vaskulopati mungkin multifokal dan melibatkan arteri besar dan kecil. Pada
lebih dari sepertiga kasus, vaskulopati akibat virus varisela zoster terjadi tanpa
ruam. Magnetic resonance imaging (MRI) hampir selalu abnormal. Diagnosis
dikonfirmasi oleh PCR VZV dan tes antibodi anti-VZV IgG dari cairan
serebrospinal. Penyakit ini disebabkan oleh replikasi aktif virus dalam pembuluh
darah sehingga pengobatannya adalah asiklovir IV, 10–15 mg / kg tiga kali
sehari selama minimal 14 hari. Pada beberapa pasien, antivirus oral diberikan
beberapa bulan jika gejalanya lambat untuk diatasi. Beberapa kortikosteroid
sistemik juga diberikan dalam beberapa kasus.5

Tatalaksana
Tujuan pengobatan herpes zoster adalah untuk mengurangi gejala konstitusi,
meminimalkan nyeri, mengurangi viral shedding, mencegah infeksi sekunder,
mempercepat terbentuknya krusta dan penyembuhan, mencegah diseminasi virus
atau komplikasi lain dan mencegah atau meminimalkan neuralgia paska herpes8.

A. Tatalaksana topikal
Pada herpes zoster fase akut penggunaan losio kalamin dapat meringankan
gejala lokal dan mempercepat pengeringan gejala lokal dan lesi vaskular.
Pengobatan topikal dengan obat antiviral tidak efekif8. Krim atau losio yang
mengandung kortikosteroid tidak digunakan pada lesi akut herpes zoster dan
juga tidak dapat mengurangi resiko terjadinya NPH.1

B. Tatalaksana herpes zoster pada pasien imunokompeten


1. Obat antivirus
Tiga antivirus yang disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) untuk terapi herpes zoster yaitu famsiklovir, valasiklovir
hidrokhlorida dan asiklovir. Bioaviabilitas asiklovir hanya 15-20%, lebih
rendah dibandingkan valasiklovir (65%) dan famsiklovir (77%). Antivirus
famsiklovir 3x500 mg atau valasiklovir 3x1000 mg atau asiklovir 5x800 mg
diberikan sebelum 72 jam awitan lesi selama 7 hari.1

19
Dosis valasiklovir dan famsiklovir harus disesuaikan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. Pada pasien usia lanjut, jika status fungsi
ginjal tidak diketahui, valasiklovir dan famsiklovir dapat dimulai dengan
dosis dua kali sehari (yang hampir sama efektifnya), menunggu evaluasi
fungsi ginjal, atau dapat digunakan asiklovir. Untuk pasien dengan gagal
ginjal (creatinine clearance <25 mL/menit), asiklovir lebih dipilih. Pada
pasien dengan gagal ginjal yang diketahui atau didapat, neurotoksisitas dapat
terjadi pada pemberian asiklovir secara intravena atau terapi valasiklovir oral.
Neurotoksisitas dapat bermanifestasi klinis sebagai halusinasi, disorientasi,
pusing, inkoheren, fotofobia, kesulitan berbicara, delirium, kebingungan,
agitasi, dan delusi kematian. Oleh karena asiklovir dapat mengurangi fungsi
ginjal, tetapi asiklovir dosis tinggi mungkin telah mengurangi fungsi ginjal
pada pasien dengan fungi ginjal yang sebelumnya normal, sehingga
menyebabkan neurotoksisitas.5

2. Kortikosteroid
Nyeri selama episode akut zoster (neuritis zoster akut) mungkin
memiliki komponen inflamasi, sehingga kortikosteroid telah banyak
digunakan selama episode akut.5 Penggunaan kortikosteroid dalam hal ini
masih kontroversial. Prednison yang digunakan bersama asiklovir dapat
mengurangi nyeri akut. Hal ini dapat dilihat dari penurunan derajat neuritis
akibat infeksi virus dan kemungkinan juga menurunkan derajat kerusakan
pada saraf yang terlibat.1 Penggunaan steroid direkomendasikan pada situasi
tertentu seperti nyeri akut zoster, sindroma Ramsay Hunt dan komplikasi
okular. Pemberian awal asiklovir dan steroid telah menunjukkan hasil yang
baik pada dewasa maupun anak-anak yang mengalami sindroma Ramsay
Hunt.4 Pada pasien yang lebih tua, penggunaan kortikosteroid dikaitkan
dengan kualitas hidup yang lebih baik, meningkatkan kualitas tidur, lebih
cepat kembali ke aktivitas biasa, dan mengurangi penggunaan analgesik.
Dosis kortikosteroid sistemik dititrasi, mulai sekitar 1 mg/kg selama 10-14
hari. Kortikosteroid sistemik tidak boleh digunakan pada pasien dengan

20
imunosupresi atau ketika ada kontraindikasi lain. Semua faktor
dipertimbangkan, manfaat terapi kortikosteroid selama zoster akut
tampaknya lebih besar daripada risiko pada pasien yang memenuhi syarat
pengobatan. Pengurangan neuralgia paska herpes oleh kortikosteroid belum
pernah didokumentasikan meskipun banyak penelitian. Hal ini juga berlaku
untuk terapi antivirus, yang mengurangi keparahan dan durasi tetapi tidak
prevalensi neuralgia paska herpes.5
Pada penelitian lain, penambahan kortikosteroid hanya memberi sedikit
manfaat dalam memperbaiki nyeri dan tidak bermanfaat dalam mencegah
NPH, walaupun memberikan perbaikan kualitas hidup. Mengingat
komplikasi terapi kortikosteroid lebih berat daripada keuntungannya,
Depertemen Kesehatan Ilmu Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM tidak
menganjurkan pemberian kortikosteroid pada herpes zoster.1

3. Analgetik
Pasien dengan nyeri akut ringan menunjukkan respon baik terhadap anti
inflamasi non steroid (AINS) seperti asetosal, piroksikam, ibuprofen,
diklofenak atau analgetik non opioid seperti parasetamol, tramadol, asam
mefenamat. Kadang-kadang dibutuhkan opioid (kodein, morfin atau
oksikodon) untuk pasien dengan nyeri kronik hebat.1

4. Antidepresan dan antikonvulsan


Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan bahwa kombinasi terapi
asiklovir dengan antidepresan trisiklik atau gabapentin sejak awal
mengurangi prevalensi NPH.1

C. Tatalaksana herpes zoster pada pasien imunosupresi


Pada pasien dengan imunosupresi, agen antivirus harus selalu diberikan
karena peningkatan risiko penyebaran dan komplikasi herpes zoster. Dosisnya
identik dengan yang digunakan pada inang imunokompeten. Pasien
imunosupresi dengan zoster oftalmikus, zoster diseminata, atau sindrom

21
Ramsay Hunt yang gagal terapi oral harus menerima asiklovir intravena 10
mg/kg tiga kali sehari selama 7 hari, disesuaikan dengan fungsi ginjal.5,8 Jika
infeksi sudah terkontrol, pemberian obat dapat diganti menjadi peroral8.

D. Tatalaksana herpes zoster pada wanita hamil


Asiklovir atau valasiklovir dapat digunakan untuk pengobatan herpes
zoster pada kehamilan.4,8 Asiklovir dianggap sebagai obat pilihan pada awal
kehamilan tanpa meningkatkan risiko terjadinya malformasi kongenital atau
kelahiran prematur. Imunoglobulin varisela zoster sangat diindikasikan untuk
wanita hamil yang rentan terpapar varisela untuk mencegah komplikasi yang
terkait dengan varisela pada kehamilan. Selain itu imunoglobulin varisela zoster
juga diindikasikan pada anak-anak yang imunokompromais yang terpapar virus
varisela zoster.4
Bayi baru lahir yang ibunya mengalami infeksi varisela atau herpes zoster
dalam 5 hari sebelum dan 2 hari setelah melahirkan disarankan untuk menerima
imunoglobulin varisela zoster meskipun ibu pernah diberikan imunoglobulin
varisela zoster sebelumnya. Imunoglobulin varisela zoster tidak perlu diberikan
kepada neonatus sehat yang ibunya menderita varisela selama lebih dari 5 hari
sebelum melahirkan karena anak sudah terlindungi dari varisela oleh antibodi
maternal yang didapat secara transplasenta. Bayi prematur yang terpapar
varisela atau herpes zoster postnatal direkomendasikan untuk diberikan
imunoglobulin varisela zoster karena lemahnya sistem imun dan sedikitnya
kesempatan mendapat antibodi maternal secara transplasenta.4

E. Tatalaksana herpes zoster pada anak


Herpes zoster jarang terjadi pada anak-anak, dan jika terjadi biasanya
ringan. Apabila pada anak masih timbul lesi baru setelah 3 minggu, perlu
dipertimbangkan adanya infeksi maupun imunodefisiensi yang mendasari.
Suspensi asiklovir oral dapat digunakan pada anak-anak. Akan tetapi asiklovir
tidak secara rutin digunakan untuk perawatan pada anak-anak pra-remaja karena
obat ini tidak disetujui untuk kelompok umur tersebut. Pengobatan dengan

22
asiklovir direkomendasikan untuk anak-anak pra-remaja jika mereka mengalami
keterlibatan mata, status imunokompromais, atau keganasan. Jika tidak maka
tidak ada perawatan khusus yang diberikan untuk kelompok usia ini.4
Zoster pada bayi dan neonatus bisa disebabkan oleh infeksi virus varisela
zoster ibu selama kehamilan. Anak-anak dapat mengalami herpes zoster pada
dekade pertama kehidupan akibat infeksi virus varisela zoster sebelum usia 2
bulan. Demikian pula, anak-anak dalam dua dekade pertama kehidupan dapat
terkena herpes zoster akibat infeksi virus varisela zoster yang terjadi sebelum
usia 12 bulan. Menurut rekomendasi pencegahan varisela oleh CDC, vaksin
varisela zoster hanya direkomendasikan untuk anak-anak berusia ≥1 tahun dan
vaksin ini tidak diindikasikan untuk mencegah zoster. Demikian pula, CDC tidak
merekomendasikan vaksin herpes zoster untuk semua pasien berusia <60 tahun.
Tidak ada rekomendasi vaksin untuk anak-anak untuk mencegah infeksi zoster
setelah paparan varisela selama tahun pertama kehidupan.4

Pencegahan
Vaksin yang berasal dari virus yang dilemahkan sama seperti vaksinasi
varisela tetapi pada titer yang jauh lebih tinggi, telah dilisensikan untuk pencegahan
herpes zoster (Zostavax). Dianjurkan pada semua orang berusia 60 tahun atau lebih.
Vaksinasi ini mengurangi insidensi herpes zoster hingga 50%. Vaksinasi pada usia
60 sampai 69 tahun berpengaruh pada penurunan angka kejadian zoster yang lebih
besar daripada vaksinasi di atas usia 70 tahun. Oleh karena ini adalah vaksin virus
hidup, orang yang memakai obat antivirus harus menghentikannya 24 jam sebelum
imunisasi dan tidak meminumnya selama 14 hari setelah imunisasi. Pasien dengan
imunosupresi dapat diimunisasi dengan mengikuti pedoman khusus.5
Pasien yang mengalami herpes zoster bersifat infeksius dan dapat menular ke
pasien lain maupun tim kesehatan. Imunisasi sebelumnya dengan vaksin varicella
dan “titer serologis yang adekuat” mungkin tidak mencegah tertularnya infeksi,
terutama pada pasien dengan imunosupresi. Penutupan lesi kulit secara khusus
dengan pembalut semipermeabel (bukan hanya perban kasa) tampaknya
mengurangi penularan.5

23
Kesimpulan
Herpes zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi
erupsi vesikuker berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikukar
unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom. Herpes zoster terjadi akibat
reaktivasi virus varisela zoster yang dorman pada akar ganglion sensorik pada
episode cacar (chickenpox/varicella) sebelumnya. Insiden herpes zoster meningkat
dengan bertambahnya usia. Resiko penyakit meningkat dengan adanya keganasan,
atau dengan transplantasi sumsum tulang/ginjal atau infeksi HIV.
Gejala prodromal herpes zoster berupa sensasi abnormal atau nyeri otot lokal,
nyeri tulang, pegal, parestesia sepanjang dermatom, gatal, rasa terbakar dari ringan
sampai berat yang terjadi sebelum erupsi kulit. Erupsi kulit awalnya berupa papul
dan plak eritem pada dermatom. Dalam 24 jam, papul tersebut akan berubah
menjadi vesikel/bula. Setelah 48 jam, vesikel-bula dapat menjadi pustul dan
selanjutnya akan menjadi krusta pada hari ke 7 sampai 10. Durasi total erupsi
bergantung pada tiga faktor yaitu usia pasien, keparahan erupsi, dan adanya
penyakit imunosupresi yang mendasari. Komplikasi akibat keterlibatan saraf
oftalmik, splanknikus, serebral, dan motorik dilaporkan pada herpes zoster. Namun
komplikasi yang paling sering adalah neuralgia paska herpes (NPH).
Pemberian tatalaksana herpes zoster terdiri dari terapi topikal dan sistemik.
Terapi topikal antara lain pemberian losio kalamin pada lesi. Terapi sistemik antara
lain pemberian obat antivirus. Tiga antivirus yang disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) untuk terapi herpes zoster yaitu famsiklovir (3x500 mg),
valasiklovir hidrokhlorida (3x1000 mg) dan asiklovir (5x800 mg) yang diberikan
sebelum 72 jam awitan lesi selama 7 hari. Zostavax yang merupakan vaksin untuk
pencegahan herpes zoster, dianjurkan pada semua orang berusia 60 tahun atau lebih.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Pusponegoro EHD. Herpes Zoster. In: Menaldi SL, Bramono K, Indriyatmi W


(Ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2016. p. 121-4.
2. Wehrhahn MC, Dwyer DE. Herpes Zoster: epidemiology, clinical features,
treatment, and prevention. Australian Presciber. 2012; 35(5):143-7.
3. Weller R, Hunter H, Mann M (Ed.). Clinical Dermatology. 5th ed. UK: Wiley
Blackwell; 2015. p. 231-3.
4. Koshy E, Mengting L, Humar H, Jianbo W. Epidemiology, treatment and
prevention of herpes zoster: A comprehensive review. Indian J Dermatol
Venereol Leprol. 2018. 83(3):251-62.
5. James W, Berger TG, dan Elston DM. Andrews’ Disease of The Skin: Clinical
Dermatology 12th Edition. Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 371-6.
6. Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP, Roh EK. Fitzpatrick’s Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology. 8th ed. New York: Mc Graw Hill Education;
2017. p. 696-701.
7. Le P, Rothberg M. Herpes Zoster Infection. BMJ. 2019. 364:1-6.
8. Kartowigno S. Sepuluh Besar Kelompok Penyakit Kulit. 2nd ed. Palembang:
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2012. p. 114-9.

25

Anda mungkin juga menyukai