Anda di halaman 1dari 36

REFERAT KASUS

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


“SIFILIS”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Diajukan Kepada
Pembimbing
dr. Agnes Sri Widayati, Sp.KK

Disusun Oleh
Diva Zabrina Santoso
H3A021047

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN UNIVERSITAS


MUHAMMADIYAH SEMARANG RSUD TUGUREJO SEMARANG
2022
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal, April 2022

Disusun oleh
Diva Zabrina Santoso
H3A021047

Telah disetujui oleh Pembimbing

Nama Pembimbing Tanda Tangan

dr. Agnes Sri Widajati, Sp.KK ……………

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat kasus ini selesai pada waktunya.
Laporan ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian Kepaniteraan Klinik
lmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Penyusunan laporan kasus ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang
turut membantu. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dr. Agnes Sri Widajati, Sp.KK, dr. Sri Windayati,
Sp.KK dan dr. Irma Yasmin, Sp.KK selaku pembimbing, serta kepada teman-teman
di kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin atas kerjasamanya selama
penyusunan laporan ini.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca maupun
bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Semarang, April 2022

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT...................................................................................2
KATA PENGANTAR.............................................................................................................3
DAFTAR ISI...........................................................................................................................4
BAB I.......................................................................................................................................5
PENDAHULUAN...................................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................................6
2.1 Sifilis........................................................................................................................6
2.1.1 Definisi....................................................................................................................6
2.1.2 Epidemiologi...........................................................................................................6
2.1.3 Etiologi....................................................................................................................7
2.1.4 Klasifikasi Sifilis.....................................................................................................7
2.1.5 Patogenesis..............................................................................................................7
2.1.6 Gejala Klinis...........................................................................................................9
2.1.7 Diagnosis...............................................................................................................18
2.1.8 Diagnosis Banding................................................................................................21
2.1.9 Tatalaksana...........................................................................................................26
2.1.10 Komplikasi..........................................................................................................28
2.1.11 Pencegahan..........................................................................................................28
2.1.12 Prognosis.............................................................................................................29
BAB III..................................................................................................................................31
PENUTUP.............................................................................................................................31
3.1 Kesimpulan............................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................33

4
BAB I

PENDAHULUAN

Sifilis merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik yang disebabkan oleh
Treponema palidum. Penularan sifilis melalui hubungan seksual. Penularan juga
dapat terjadi secara vertikal dari ibu kepada janin dalam kandungan atau saat
kelahiran, melalui produk darah atau transfer jaringan yang telah tercemar, kadang-
kadang dapat ditularkan melalui alat kesehatan.1–3

Sifilis melewati beberapa stadium, yaitu stadium primer, stadium sekunder,


stadium tersier dan sifilis yang tidak menunjukkan gejala klinis disebut sebagai sifilis
laten di antara stadium sekunder dan tersier . Stadium laten merupakan stadium sifilis
tanpa gejala klinis sifilis primer ataupun sekunder namun pemeriksaan serologis
menunjukkan hasil yang reaktif.4–7

Sifilis tersebar diseluruh dunia dan telah dikenal sebagai penyakit kelamin
klasik yang dapat dikendalikan dengan baik. Di Amerika Serikat kejadian sifilis dan
sifilis kongenital yang dilaporkan meningkat sejak tahun 1986 dan berlanjut sampai
dengan tahun 1990 dan kemudian menurun sesudah itu. Peningkatan ini terjadi
terutama di kalangan masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah dan di
kalangan anak-anak muda dengan kelompok usia yang paling sering terkena infeksi
adalah golongan usia muda berusia antara 20–29 tahun, yang aktif secara seksual.8–11

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sifilis

2.1.1 Definisi
Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh
Treponema palidum, sangat kronik dan bersifat sistemik. Organisme ini bersifat
anaerob mudah dimatikan oleh sabun, oksigen dan sapranin. Di dalam darah
donor yang disimpan dalam lemari es, Treponema pallidum akan mati dalam
waktu tiga hari tetapi dapat ditularkan melalui tranfusi mengunakan darah segar.
Rute utama penularannya melalui kontak seksual. Pada perjalanannya dapat
menyerang hampir semua organ tubuh termasuk system peredaran darah dan
saraf, dengan manifestasi klinis yang jelas namun terdapat masa laten yang
sepenuhnya asimtomatik,dapat menyerupai banyak penyakit, dan dapat ditularkan
dari ibu ke janin selama kehamilan atau saat kelahiran yang menyebabkan
terjadinya sifilis kongenital.12

2.1.2 Epidemiologi
Di seluruh belahan dunia hingga saat ini sifilis tetap merupakan masalah
kesehatan utama. Angka kejadian infeksi baru (insiden) diperkirakan 112 juta per
tahun di seluruh dunia, terutama di Afrika, Amerika Selatan, China, dan Asia
Tenggara. Di Asia Tenggara diperkirakan terjadi 4 juta infeksi baru per tahun.
Kejadiannya akhir-akhir ini meningkat di negara-negara Eropa terutama pada
kelompok Lelaki Suka sama Lelaki (LSL). Penularan sifilis dari ibu hamil ke
bayinya menyebabkan sifilis kongenital yang merupakan 50% penyebab bayi
lahir mati. Tiap tahun diperkirakan terjadi 500 ribu dan 1,5 juta sifilis kongenital.
Survey Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) tahun 2011 di Indonesia juga
melaporkan prevalensi sifilis masih cukup tinggi. Pada populasi waria, prevalensi

6
sifilis sebesar 25%, WPSL (Wanita Penjaja Seks Langsung) 10%, LSL (lelaki
yang berhubungan seks dengan lelaki) 9%, warga binaan lembaga
pemasyarakatan 5%, pria berisiko tinggi 4%, WPSTL (Wanita Penjaja Seks Tidak
Langsung) 3% dan penasun (Pengguna Narkoba Suntik) 3%.13,14

2.1.3 Etiologi
Treponema pallidum merupakan ordo Spirochaetales, familia
Spirochaetaceae dan genus Treponema. Treponema pallidum berbentuk spiral,
gram negatif dengan panjang kisaran 6 - 15 µm, lebar 0,15 µm dengan diameter
antara 0,09 - 0,18 µm. Terdapat dua lapisan, sitoplasma merupakan lapisan dalam
mengandung mesosom, vakuol ribosom dan bahan nukleoid, lapisan luar yaitu
bahan mukoid. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi
setiap tiga puluh jam. Pembiakan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar
badan. Di luar badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk
transfusi dapat hidup sampai tujuh puluh dua jam.15,16

2.1.4 Klasifikasi Sifilis


Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita (didapat). Sifilis
kongenital dibagi menjadi stadium dini (sebelum dua tahun), stadium lanjut
(sesudah dua tahun), dan stigmata. Sifilis akuisita secara klinis dibagi menjadi
stadium I (SI), stadium II (SII), stadium III (SIII). Lalu secara epidemiologic
menurut WHO dibagi menjadi stadium dini menular (dalam satu tahun sejak
infeksi) yang terdiri atas SI, SII, stadium rekuren, stadium laten dini dan stadium
lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi) yang terdiri atas stadium laten
lanjut dan SIII. Bentuk lain berupa sifilis kardiovaskular dan neurosifilis.12

2.1.5 Patogenesis
Pada sifilis kongenital terjadi akibat dari penularan spirokaeta tranplasenta.
Bayi jarang berkontak langsung dengan Chancre ibu yang menimbulkan infeksi
pasca lahir. Resiko penularan transplasenta bervariasi menurut stadium penyakit
yang diderita oleh ibu. Bila wanita hamil dengan sifilis primer dan sekunder serta

7
spirokaetamia yang tidak diobati, besar kemungkinan untuk menularkan infeksi
pada bayi yang belum dilahirkan dari pada wanita dengan infeksi laten. Penularan
dapat terjadi selama kehamilan. Insiden dari infeksi sifilis kongenital tetap paling
tinggi selama 4 tahun pertama sesudah mendapat infeksi primer, sekunder dan
penyakit laten awal.7

Pada stadium dini, T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau
selaput lendir, biasanya melalui hubungan seksual. Kuman tersebut membiak,
jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrate yang terdiri atas sel-sel limfosit
dan sel-sel plasma, terutama di perivascular, pembuluh darah kecil berproliferasi
di kelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel radang. T. pallidum terletak diantara
endothelium kapiler dan jaringan perivascular di sekitarnya. Enarteritis pembuluh
darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofik endothelium yang menimbulkan
obliterasi lumen (enarteritis obliterans). Kehilangan pendarahan akan
menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S I.

Sebelum S I terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional


secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen
dan menyebar ke semua tampak kemudian. Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi
jaringan sebagai S II, yang terjadi enam sampai delapan minggu sesudah S I. S I
akan sembuh perlahan karena kuman di tempat tersebut jumlahnya berkurang,
kemudian terbentuk fibroblast-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatriks. S
II juga mengalami regresi perlahan dan lalu menghilang.

Pada stadium lanjut tidak disertai gejala, kadang-kadang proses imunitas


gagal mengontrol infeksi sehingga T. pallidum membiak lagi pada tempat S I dan
menimbulkan lesi rekuren atau kuman tersebut menyebar melalui jaringan
menyebabkan reaksi serupa dengan lesi rekuren S II, yang terakhir ini lebih sering
terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut dapat timbul berulang-
ulang tapi pada umumnya tidak melebihi dua tahun. Stadium laten dapat

8
berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema dalam keadaan dorman.
Meskipun demikian antibody tetap ada dalam serum penderita. Keseimbangan
antara treponema dan jaringan dapat sekonyong-konyong berubah, sebabnya
belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat
itu munculah S III berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat
ditemukan T. pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung
bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi guma tersebut
timbul di tempat-tempat lain.

Treponema mencapai system kardiovaskular dan system saraf pada waktu


dini, tetapi kerusakan terjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu
bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan guma
biasanya tidak mendapat gangguan saraf dan kardiovaskular, demikian pula
sebaliknya. Kira-kira dua pertiga kasus dengan stadium laten tidak memberi
gejala.12

2.1.6 Gejala Klinis


A. Sifilis Akuisita

a. Sifilis Dini

1) Sifilis Primer (S 1)

Masa tunas biasanya dua sampai empat minggu. T. Pallidum masuk ke dalam
selaput lendir atau kulit yang telah mengalami lesi/mikrolesi secara langsung,
biasanya melalui senggama. Treponema tersebut akan berkembang biak,
kemudian terjadi penyebaran secara limfogen dan hematogen.

Kelainan kulit dimulai sebagai papul lentikular yang permukaannya segera


menjadi erosi, umumnya kemudian menjadi ulkus. Ulkus tersebut biasanya bulat,
solitar, dasarnya ialah jaringan granulasi berwarna merah dan bersih, di atasnya
hanya tampak serum. Dindingnya tak bergaung, kulit di sekitarnya tidak

9
menunjukkan tanda-tanda radang akut. Yang khas ialah ulkus tersebut indolen
dan teraba indurasi karena itu disebut ulkus durum.17

Kelainan tersebut dinamakan afek primer dan umumnya berlokasi pada


genitalia eksterna. Pada pria tempat yang sering dikenai ialah sulkus koronarius,
sedangkan pada wanita di labia minor dan mayor. Selain itu juga dapat di
ekstragenital, misalnya di lidah, tonsil, dan anus.

Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu.
Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah
bening regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks primer.
Kelenjar tersebut solitar, indolen, tidak lunak, besarnya biasanya lentikular, tidak
supuratif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit di atasnya tidak menunjukkan
tanda-tanda radang akut. lstilah syphilis d'emblee dipakai, jika tidak terdapat afek
primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam, misalnya pada transfusi
darah atau suntikan.12,15,16

Gambar 2.1 Chancre pada batang penis, menunjukkan dasar yang bersih dan
batas yang ditinggikan

10
2) Sifilis Sekunder (S II)

Manifestasi akan timbul pada beberapa minggu atau bulan, muncul gejala
sistemik berupa demam yang tidak terlalu tinggi, malaise, sakit kepala, adenopati,
dan lesi kulit atau mukosa. Lesi sekunder yang terjadi merupakan manifestasi
penyebaran Treponema pallidum secara hematogen dan limfogen.18

Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit,
selaput lendir, dan organ tubuh. Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai
penyakit kulit sehingga disebut the great imitator. Selain memberi kelainan pada
kulit, S II dapat juga memberi kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata,
hepar, tulang, dan saraf. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula,
papula, folikulitis, papuloskuamosa, dan pustul, jarang disertai keluhan gatal. Lesi
dapat ditemukan di trunkus dan ekstermitas, termasuk telapak tangan dan kaki.
Papul biasanya merah atau coklat kemerahan, diskret, diameter 0,5 – 2 cm,
umumnya berskuama tetapi kadang licin. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada
sifilis kongenital.15,18

Kondiloma lata merupakan istilah untuk lesi meninggi (papul), luas, putih
atau abu-abu di daerah yang hangat dan lembab. Kondilomata lata ialah bentuk
yang sangat menular. Lesi sifilis sekunder dapat muncul pada waktu lesi sifilis
primer masih ada. Diagnosis sifilis sekunder ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan serologis yang reaktif dan pemeriksaan lapangan gelap positif.
Treponema pallidum banyak ditemukan pada lesi selaput lendir atau basah seperti
kondiloma lata.15,16,19

Ruam kulit pada sifilis sekunder sukar dibedakan dengan pitiriasis rosea,
psoriasis, terutama jika berskuama, eritema multiforme dan erupsi obat. Diagnosis
sifilis sekunder cukup sulit. Pada umumnya diagnosis ditegakkan berdasarkan
kelainan khas lesi kulit sifilis sekunder ditunjang pemeriksaan serologis.19

11
Gambar 2.2 Kondiloma lata dan papuloskuamous

S II pada mukosa

Biasanya timbul bersama-sama dengan eksantema pada kulit, kelainan pada


mukosa ini disebut enantem, terutama terdapat pada mulut dan tenggorok.
Umumnya berupa macula eritematosa, yang cepat berkonfluensi sehingga
membentuk eritema yang difus, berbatas tegas dan disebut angina sifilitika
eritematosa. Keluhannya nyeri pada tenggorok, terutama pada waktu menelan.
Sering faring juga diserang, sehingga memberi keluhan suara parau. Pada eritema
tersebut kadang-kadang terbentuk bercak putih keabu-abuan, dapat erosif dan
nyeri.

Kelainan lain ialah yang disebut plaque muqueuses (mucous patch), berupa
papul eritematosa, permukaannya datar, biasanya miliar atau lentikular, timbulnya
bersama-sama dengan S II bentuk papul pada kulit. Plaque muqueuses tersebut
dapat juga terletak di selaput lendir alat genital dan biasanya terletak di selaput
lendir alat genital dan biasanya erosif. Umumnya kelainan pada selaput lendir
tidak nyeri, lamanya beberapa minggu.20,21

S II pada rambut

Pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya bersifat
difus dan tidak khas, disebut alopesia difusa. Pada S II yang lanjut dapat terjadi

12
kerontokan setempat, tampak sebagai bercak yang ditumbuhi oleh rambut yang
tipis, jadi tidak botak seluruhnya, seolah-olah seperti digigit ngengat dan disebut
alopesia areolaris. Bercak-bercak tersebut disebabkan oleh roseola/papul, akar
rambut dirusak oleh treponema. Kerusakan tersebut dapat juga terjadi pada alis
mata bagian lateral dan janggut.

3) Sifilis Laten Dini

Sifilis laten yaitu apabila pasien dengan riwayat sifilis dan pemeriksaan
serologis reaktif yang belum mendapat terapi sifilis dan tanpa gejala atau tanda
klinis. Tes serologic darah positif, sedangkan tes likuor serebrospinalis negative.
Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA. Sifilis laten terbagi menjadi dini
dan lanjut, dengan batasan waktu kisaran satu tahun. Dalam perjalanan penyakit
sifilis akan melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup.
Tetapi bukan berarti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan
menjadi sifilis tersier.12,15,16

4) Stadium Rekuren

Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit mirip S II,
maupun serologic yang telah negative menjadi positif. Hal ini terjadi terutama
pada sifilis yang tidak diobati atau yang mendapat pengobatan tidak cukup.
Umumnya bentuk relaps ialah S II, kadang-kadang S I, kadang-kadang relaps
terjadi pada tempat afek primer dan disebut monorecidive. Relaps dapat memberi
kelainan pada mata, tulang, alat dalam, dan susunan saraf. Juga dapat terlahir bayi
dengan sifilis kongenital.

13
b. Sifilis Lanjut

1) Sifilis Laten Lanjut

Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes


serologic. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun, bahkan dapat
seumur hidup. Likuor serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk menyingkirkan
neurosifilis asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta untuk melihat, apakah ada
aorititis.22

Perlu diperiksa pula, apakah ada sikatriks bekas S I pada alat genital atau
leukoderma pada leher yang menunjukkan bekas S II (colar of Venus). Kadang-
kadang terdapat pula banyak kulit hipotrofi lentikular pada badan bekas papul-
papul S II.

2) Sifilis Tersier (S III)

Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah S I.
Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya
melunak, dan destruktif. Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar
telur ayam. Kulit di atasnya mula-mula tidak menunjukkan tanda-tanda radang
akut dan dapat digerakkan. Setelah beberapa bulan mulai melunak, biasanya
mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa
dan livid serta melekat terhadap guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan
keluarlah cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen; pada beberapa kasus
disertai jaringan nekrotik. Guma paling sering terdapat pada daerah kulit kepala
dan dahi. Guma dapat menyebabkan destruksi dari kartilago dan tulang hidung
sehingga menyebabkan saddle nose.23,24

Sifilis tersier terdiri dari tiga grup sindrom yang utama yaitu neurosifilis,
sifilis kardiovaskular, dan sifilis benigna lanjut. Pada perjalanan penyakit
neurosifilis dapat asimptomatik dan sangat jarang terjadi dalam bentuk murni.

14
Infeksi terjadi pada stadium dini. Neurosifilis dibagi menjadi empat macam yaitu;
neurosifilis asimtomatik, sifilis meningovaskular, sifilis parenkim dan guma. Pada
semua jenis neurosifilis, terjadi perubahan berupa endarteritis obliterans pada
ujung pembuluh darah disertai degenerasi parenkimatosa yang mungkin sudah
atau belum menunjukkan gejala saat pemeriksaan.25

Sifilis kardiovaskular disebabkan terutama karena nekrosis aorta yang


berlanjut ke katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta
atau aneurisma, berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini telah
lanjut, akan sangat mudah dikenal.

Sifilis benigna lanjut atau gumma merupakan proses inflamasi proliferasi


granulomatosa yang dapat menyebabkan destruksi pada jaringan yang terkena.
Disebut benigna sebab jarang menyebabkan kematian kecuali bila menyerang
jaringan otak. Gumma mungkin terjadi akibat reaksi hipersensitivitas infeksi
Treponema palidum. Lesi sebagian besar terjadi di kulit dan tulang. Lesi pada
kulit biasanya soliter atau multipel, membentuk lingkaran atau setengah
lingkaran, destruktif dan bersifat kronis, penyembuhan di bagian sentral dan
meluas ke perifer. Lesi pada tulang biasanya berupa periostitis disertai
pembentukan tulang atau osteitis gummatosa disertai kerusakan tulang. Gejala
khas ialah pembengkakan dan sakit. Lokasi terutama pada tulang kepala, tibia,
dan klavikula. Pemeriksaan serologis biasanya reaktif dengan titer tinggi.15,16,19

15
Gambar 2.3 Gumma

Gambar 2.4 Saddle nose

B. Sifilis Kongenital

Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama sifilis
dini sebab banyak T.pallidum beredar dalam dara, treponema masuk secara
hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat masa
kehamilan 10 minggu.

16
Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya ringan. Pada tahun I setelah
infeksi yang tidak diobati terdapat kemungkinan penularan sampai 90%. Jika ibu
menderita sifilis laten dini, kemungkinan bayi sakit 80%, bila sifilis lanjut 30%.

Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada kehamilan yang kemudian
menjadi berkurang. Misalnya pada hamil pertama akan terjadi abortus pada bulan
kelima, berikutnya lahir mati pada bulan kedelapan, berikutnya janin dengan
sifilis kongenital yang akan meninggal dalam beberapa minggu, diikuti oleh dua
sampai tiga bayi yang hidup dengan sifilis kongenital. Akhimya akan lahir
seorang atau lebih bayi yang sehat. Keadaan ini disebut hukum Kossowitz.

Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks), sifilis
kongenital lanjut (tarda), dan stigmata. Batas antara dini dan lanjut ialah dua
tahun. Yang dini bersifat menular, jadi menyerupai S II, sedangkan yang lanjut
berbentuk guma dan tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau
deforrnitas akibat penyembuhan kedua stadium tersebut.12

Pada sifilis kongenital dini, kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada
waktu lahir ialah bula bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki,
kadang-kadang pada tempat lain di badan. Cairan bula mengandung banyak T.
Pallidum. Bayi tampak sakit. Bentuk ini ada kalanya disebut pemfigus sifilitika.
Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa minggu dan
mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau papulo-skuamosa
yang simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur, misalnya anular. Pada
tempat yang lembab papul dapat mengalami erosi seperti kondilomata lata.
Ragades merupakan kelainan umum yang terdapat pada sudut mulut, lubang
hidung, dan anus; bentuknya memancar (radiating).26

Pada sifilis kongenital lanjut, umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima
belas tahun. Guma dapat menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan alat dalam.
Yang khas ialah guma pada hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum

17
nasi akan terjadi perforasi, bila meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga hidung
mengalami kolaps dengan deforrnitas. Guma pada palatum mole dan durum juga
sering terjadi sehingga menyebabkan perforasi pada palatum.26

Pada stigmata lesi dini, gigi Hutchinson merupakan kelainan yang khas, hanya
terdapat pada gigi insisi permanen. Gigi tersebut lebih kecil daripada normal, sisi
gigi konveks, sedangkan daerah untuk menggigit konkaf. Pada stigmata lesi lanjut
terdapat trias Hutchinson yaitu sindrom yang terdiri atas keratitis interstisialis,
gigi Hutchinson, dan kelumpuhan nervus VIII (tuli).27

Gambar 2.5 Ragades dan gigi Hutchinson

2.1.7 Diagnosis
Secara garis besar uji diagnostik sifilis terbagi menjadi tiga kategori
pemeriksaan mikroskopik langsung pada sifilis stadium dini, uji serologis, metode
berdasar biologi molekuler. Untuk menegakkan diagnosis sifilis, diagnosis klinis
harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan mikroskop
lapangan gelap (dark field) merupakan metode paling spesifik dan sensitif untuk
memastikan diagnosis sifilis primer adalah menemukan treponema dengan
gambaran karakteristik yang terlihat pada pemeriksaan mikroskop lapangan gelap
dari cairan yang diambil pada permukaan chancre. Ruam sifilis primer
dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis. Serum diperoleh dari bagian dasar
atau dalam lesi dengan cara menekan lesi sehingga serum akan keluar. Kemudian

18
diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap menggunakan minyak emersi.
Treponema pallidum berbentuk ramping, gerakan aktif.16,28

Uji serologis sifilis pada sifilis meliputi uji serologis non treponema seperti
pemeriksaan Rapid Plasma Reagen (RPR), pemeriksaan Venereal Disease
Research Laboratory (VDRL), dan pemeriksaan Automated Reagen Test (ART),
ketiganya merupakan pemeriksaan untuk mendeteksi ”reagen” terhadap antibodi
dimana antigennya disebut cardiolipin. Antibodi cardiolipin dapat dideteksi pada
serum pasien dengan sifilis aktif dan pada beberapa kondisi lain. Namun, pada
beberapa individu yang memiliki riwayat sifilis dengan kesuksesan terapi
mempertahankan kadar antibodi cardiopilin rendah untuk waktu yang lama,
dengan demikian individu tersebut tergolong ”serofast”. Tes ini mempunyai
positif semu yang tinggi sehingga hasil positif harus dilanjutkan dengan tes
treponema. Tes non-treponemal dianggap positif bila titernya lebih dari 1:4,
mencapai nilai titer tertinggi pada sifilis sekunder dan laten awal, kemudian
menurun sesudahnya. Uji serologis non treponema berfungsi untuk
mengidentifikasi sifilis kasus baru, untuk memantau progresifitas dari sifilis, dan
memantau respon dari terapi antibiotik.29

Uji serologis treponema meliputi Enzym Immunioassay (EIA),


Chemiluminescence Immunoassay (CIA), Flurescent Treponema Antibody
”Absorbed” Assay (FTA-ABS), Treponema Palidum Particle Agglutination
Assay (TP-PA) dan Treponema Palidum Hemaglinination Assay (MHA-TPA).
Uji serologis treponema adalah pemeriksaan terhadap antigen antibodi yang
spesifik terhadap treponema. Tes ini harganya mahal sehingga tidak dapat
digunakan sebagai alat skrining masal dan memiliki nilai positif semu yang
rendah, sehingga tes ini berguna untuk tes konfirmasi pada penderita dengan tes
non-treponemal yang positif. Tes ini dapat menunjukkan hasil positif/reaktif
seumur hidup walaupun terapi sifilis telah berhasil. Tes jenis ini tidak dapat
digunakan untuk membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah diterapi

19
secara adekuat. Tes treponemal hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah
terinfeksi treponema, namun tidak dapat menunjukkan apakah seseorang sedang
mengalami infeksi aktif. Digunakan untuk identifikasi sifilis dan monitoring
terhadap terapi antibiotik.29,30

Uji serologik Anti-T.Palidum IgM antibodi spesifik seperti EIA atau IgM,
19SIgM-FTA-abs test, IgM-immunoblot untuk T. Palidum. Sensivitas dari uji
tersebut rendah pada sifilis aktif. IgM tidak efektif dalam mengetahui stadium
dari sifilis maupun montitoring terapi. Uji serologis tersebut digunakan pada
penilaian sifilis pada bayi baru lahir dan CSF. Many rapid Point of Care (POC)
digunakan untuk mendeteksi antigen treponemal pada individu dengan riwayat
sifilis 20 tahun sebelumnya. Namun uji serologis ini tidak untuk mendeteksi
antibodi cardiopilin (pada pasien dengan sifilis aktif).31

Pemeriksaan VDRL (+) lalu konfirmasi menggunakan pemeriksaan


TPHA/TP-PA dengan hasil jika hasil TPHA non reaktif, dianggap positif palsu.
Jika hasil TPHA reaktif, dilanjutkan pemeriksaan kuantitatif untuk menentukan
titer.

Tabel 2.1 Interpretasi VDRL & TPHA secara kualitatif :

Pemeriksaan Sifilis primer Sifilis sekunder Sifilis laten


Penunjang

RPR / Dapat reaktif atau Reaktif, titer tinggi Reaktif


VDRL non reaktif

TPHA Reaktif Reaktif Reaktif

Interpretasi VDRL secara kuantitatif adalah sebagai berikut nilai titer VDRL
yang sensitif pada stadium laten dan nilainya 1:4. Pada sebuah guideline

20
menyebutkan bahwa hasil titer VDRL reaktif dan nilainya kurang dari 1:8 maka
dapat diinterpretasikan pasien menderita sífilis laten. Hasil titer VDRL > 1:8,
maka dapat di interpretasikan pasien tersebut menderita sifilis primer, sekunder,
atau sífilis latent dini. Pedoman tata laksana sífilis yang di keluarkan oleh
Kementerian Kesehatan juga menyebutkan bahwa, titer serologi non treponema
jika menunjukan hasil 1:2 atau 1:4 maka interpretasi dari hasil tersebut adalah
sífilis laten lanjut dan jika nilainya lebih dari 1:8 maka interpretasinya adalah
sífilis aktif atau sifilis laten dini.

Tabel 2.2 Interpretasi hasil VDRL secara kuantitatif :

Pemeriksaan Penunjang VDRL

Titer < 1:4 (1:2 atau 1:4) Titer > 1:8

Sifilis laten lanjut Sifilis aktif atau sifilis laten dini

Pemeriksaan TPHA secara kuantitatif dilakukan dengan pengenceran antara


1:80 – 1:1024. Nilai normal pemeriksaan TPHA adalah titer 1:80, apabila titer >
1:80 dilakukan terapi pengobatan sifilis.

2.1.8 Diagnosis Banding


A. S I

Dasar diagnosis S I sebagai berikut. Pada anamnesis dapat diketahui masa


inkubasi; gejala konstitusi tidak terdapat, demikian pula gejala setempat yaitu
tidak ada rasa nyeri. Pada afek primer yang penting ialah terdapat erosi/ulkus
yang bersih, solitar, bulat, lonjong, teratur, indolen dengan indurasi; T Pallidum
positif. Kelainan dapat nyeri jika disertai infeksi sekunder. Kelenjar regional

21
dapat membesar, indolen, tidak berkelompok, tidak ada periadenitis, tanpa
supurasi. Tes serologik setelah beberapa minggu bereaksi positif lemah. Sebagai
diagnosis banding dapat dikemukakan berbagai penyakit.12

1) Herpes genitalis

Penyakit ini residif dapat disertai rasa gatal/ nyeri, lesi berupa vesikel di atas
kulit yang eritematosa, berkelompok. Jika telah pecah tampak kelompok erosi,
sering berkonfluensi dan polisiklik, tidak terdapat indurasi.

2) Ulkus piogenik

Akibat trauma misalnya garukan dapat terjadi infeksi piogenik. Ulkus tampak
kotor karena mengandung pus, nyeri, tanpa indurasi. Jika terdapat limfadenitis
regional disertai tanda-tanda radang akut dapat terjadi supurasi yang serentak, dan
terdapat leukositosis pada pemeriksaan darah tepi.

3) Skabies

Pada skabies lesi berbentuk beberapa papul atau vesikel di genitalia ekstema,
terasa gatal pada malam hari. Kelainan yang sama terdapat pula pada tempat
predileksi, misalnya lipat jari tangan, perianal. Orang-orang yang serumah juga
akan menderita penyakit yang sama.

4) Balanitis

Pada balanitis, kelainan berupa erosi superfisial pada glans penis disertai
eritema, tanpa indurasi. Faktor predisposisi; diabetes melitus dan yang tidak
disirkumsisi.

22
5) Limfogranuloma venereum (L.G.V)

Afek primer pada L.G.V. tidak khas, dapat berupa papul, vesikel, pustul,
ulkus, dan biasanya cepat hilang. Yang khas ialah limfadenitis regional, disertai
tanda-tanda radang akut, supurasi tidak serentak, terdapat periadenitis, L.G.V.
disertai gejala konstitusi; demam, malese, dan artralgia.

6) Karsinoma sel skuamosa

Umumnya terjadi pada orang usia lanjut yang tidak disirkumsisi. Kelainan
kulit berupa benjolan-benjolan, terdapat indurasi, mudah berdarah. Untuk
diagnosis, perlu biopsi.

7) Penyakit Behcet

Ulkus superfisial, multipel, biasanya pada skrotum/labia. Terdapat pula


ulserasi pada mulut dan lesi pada mata.

8) Ulkus mole

Penyakit ini kini langka. Ulkus lebih dari satu, disertai tanda-tanda radang
akut, terdapat pus, dindingnya bergaung. Haemophilus Ducreyi positif. Jika
terjadi limfadenitis regional juga disertai tandatanda radang akut, terjadi supurasi
serentak.

B. S II

Dasar diagnosis S II sebagai berikut, S II timbul enam sampai delapan minggu


sesudah S I. Seperti telah dijelaskan, S II ini dapat menyerupai berbagai penyakit
kulit. Untuk membedakannya dengan penyakit lain ada beberapa pegangan. Pada
anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah pernah menderita Iuka di alat genital (S
I) yang tidak nyeri.

23
Klinis yang penting umumnya berupa kelainan tidak gatal. Pada S II dini
kelainan generalisata, hampir simetrik, telapak tangan/ kaki juga dikenai. Pada S
II lambat terdapat kelainan setempatsetempat, berkelompok, dapat tersusun
menurut susunan tertentu, misalnya; arsinar, polisiklik, korimbiformis. Biasanya
terdapat limfadenitis generalisata. Tes serologik positif kuat pada S II dini, lebih
kuat lagi pada S II lanjut.

Seperti telah diterangkan, sifilis dapat menyerupai berbagai penyakit karena


itu diagnosis bandingnya sangat banyak, tetapi hanya sebagian yang akan
diuraikan.12

1) Erupsi obat alergik

Pada anamnesis dapat diketahui timbulnya alergi karena obat yang dapat
disertai demam. Kelainan kulit bermacam-macam, di antaranya berbentuk eritema
sehingga mirip roseala pada S II. Keluhannya gatal, sedangkan pada sifilis
biasanya tidak gatal.

2) Morbili

Kelainan kulit berupa eritema seperti pada S II. Perbedaannya; pada morbili
disertai gejala konstitusi (tampak sakit, demam), kelenjar getah bening tidak
membesar.

3) Pitiriasis rosea

Terdiri atas banyak bercak eritematosa terutama di pinggir dengan skuama


halus, berbentuk lonjong, lentikular, susunannya sejajar dengan lipatan kulit.
Penyakit ini tidak disertai limfadenitis generalisata seperti pada S II.

4) Psoriasis

24
Persamaannya dengan S II: terdapat eritema dan skuama. Pada psoriasis tidak
didapati limfadenitis generalisata; skuama berlapis-lapis serta terdapat tanda
tetesan lilin dan Auspitz.

5) Dermatitis seboroika

Persamaannya dengan S II ialah terdapatnya eritema dan skuama.


Perbedaannya pada dermatitis seboroik; tempat predileksinya pada tempat
seboroik, skuama berminyak dan kekuning-kuningan, tidak disertai limfadenitis
generalisata.

6) Kondiloma akuminatum

Penyakit ini mirip kondiloma lata, kedua-duanya berbentuk papul.


Perbedaannya: pada kondiloma akuminata biasanya permukaannya runcing-
runcing, sedangkan papul pada kondiloma lata permukaannya datar serta
eksudatif.

7) Alopesia areata

Kebotakan setempat; penyakit ini mirip alopesia areolaris pada S II.


Perbedaannya; pada alopesia areata lebih besar (numular) dan hanya beberapa,
sedangkan alopesia areolaris lebih kecil (lentikular) dan banyak serta seperti
digigit ngengat.

C. S III

Kelainan kulit yang utama pada S III ialah guma. Guma juga terdapat pada
penyakit lain: tuberkulosis, frambusia, dan mikosis profunda. Tes serologik pada
S III dapat negatif atau positif lemah, karena itu yang penting ialah anamnesis,
apakah penderita tersangka menderita S I atau S II dan pemeriksaan
histopatologik.

25
Mikosis dalam yang dapat menyerupai S III ialah sporotrikosis dan
aktinomikosis. Perbedaannya: pada sporotrikosis berbentuk nodus yang terletak
sesuai dengan perjalanan pembuluh getah bening, dan pada pembiakan akan
ditemukan jamur penyebabnya. Aktinomikosis sangat jarang di Indonesia.
Penyakit ini juga terdiri atas infiltrat yang melunak seperti guma S III.
Lokalisasinya khas yakni di leher, dada, dan abdomen. Kelainan kulitnya berbeda,
yakni terdapat fister multipel; pada pusnya tampak butir-butir kekuningan yang
disebut sulfur granules. Pada biakan akan tumbuh Actinomyces.

Tuberkulosis kutis gumosa mirip guma S III. Cara membedakannya dengan


pemeriksaan histopatologik. Demikian pula frambusia stadium lanjut.

Guma S III bersifat kronis dan destruktif, karena itu kelainan tersebut mirip
keganasan. Cara membedakannya dengan pemeriksaan histopatologik.12

2.1.9 Tatalaksana
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan
selama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai
sedini mungkin, makin dini hasilnya makin baik. Pada sifilis laten terapi
bermaksud mencegah proses lebih lanjut.

A. Early Syphilis (sifilis stadium dini), sifilis primer, sifilis sekunder

1) Benzatin Penicillin G 2,4 juta unit IM single dose (pemberian dengan 2x


injeksi ditempat berbeda)

2) Aq. Penicillin Procaine G 1,2 juta unit IM sekali sehari selama 10 hari

3) Doxycycline 2 x I00 mg/hari oral selama 14 hari (alternative terapi pada alergi
penisilin tidak hamil)

4) Tetracycline 4 x 500 mg/hari oral selama 14 hari (alternative terapi pada alergi
penisilin tidak hamil)

26
5) Erythromycin 4 x 500 mg/hari oral selama 14 hari (alternative terapi pada
alergi penisilin hamil)

B. Late Syphilis (sifilis tersier)

1) Benzathine Penicillin G 2,4 juta unit IM satu minggu sekali selama 3 minggu

2) Doxycycline 2 x I00 mg/hari oral selama 4 minggu

3) TetracycIine 4 x 500 mg/hari oral selama 4 minggu

C. Latent Syphilis

1) Early latent syphilis: Benzathine Penicillin G 2,4 juta unit IM single dose

2) Late latent syphilis: Benzathine Penicillin G 2,4 juta unit IM satu minggu
sekali selama 3 minggu di hari ke 1, 8, 15

3) Bila alergi terhadap penicillin dapat diberikan:

- Doxycycline 2 x 100 mg/hari oral selama 4 minggu (tidak hamil)

- Tetracycline 4 x 500 mg/hari oral selama 4 minggu

- Erythromycin 4 x 500 mg/hari oral selama 4 minggu. (hamil)32

Kondisi klinis pasien perlu dinilai kembali dan diupayakan untuk mendeteksi
kemungkinan terjadinya reinfeksi dalam periode tahun pertama sesudah
pengobatan. Pasien sifilis dini yang telah mendapat pengobatan benzatin
benzilpenisilin dengan dosis dan cara adekuat, harus dievaluasi kembali secara
klinis dan serologis sesudah tiga bulan pengobatan dengan menggunakan uji
VDRL. Evaluasi kedua dilakukan sesudah enam bulan, dan bila ada indikasi
berdasarkan hasil pemeriksaan pada bulan ke enam tersebut, dapat dievaluasi
kembali sesudah bulan ke-12 untuk dilakukan penilaian kembali kondisi pasien
dan mendeteksi kemungkinan adanya reinfeksi.

27
Semua pasien dengan sifilis kardiovaskular dan neurosifilis dipantau selama
beberapa tahun. Tindak lanjut yang dilaksanakan meliputi hasil penilaian klinis
penyakit, serologis, cairan serebrospinal, dan radiologis.

Pengobatan ulang pasien pada semua stadium penyakit perlu dipertimbangkan


jika tanda-tanda atau gejala klinis sifilis aktif tetap ada atau kambuh kembali,
terdapat peningkatan titer nontreponema atau VDRL tes sampai empat kali
pengenceran dan titer tes VDRL awal yang tinggi (VDRL 1:8 atau lebih) dan
menetap dalam setahun. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan sebelum
pengobatan ulang dilakukan, kecuali pada kasus reinfeksi dan diagnosis sifilis
stadium awal dapat dipastikan.

Pengobatan ulang sifilis dilakukan sesuai dengan rejimen yang telah


ditetapkan untuk sifilis yang telah berlangsung lebih dari dua tahun. Umumnya
hanya satu pengobatan ulang diperlukan karena pengobatan yang diberikan secara
adekuat akan menunjukkan kemajuan bila dipantau dengan tes nontreponema
yang tetap menunjukkan titer rendah.

2.1.10 Komplikasi
Selain berbagai manifestasi yang muncul akibat kerusakan pada seluruh organ
tubuh, terutama pada sifilis tersier, sifilis juga menyebabkan peningkatan
kemungkinan penularan HIV hingga 2-5 kali. Lesi sifilis mudah berdarah
sehingga memudahkan penularan virus HIV saat melakukan hubungan seksual.
Penularan sifilis dari ibu ke bayi pada saat kehamilan juga akan meningkatkan
risiko keguguran dan kematian bayi beberapa hari setelah melahirkan.

2.1.11 Pencegahan
Tidak ada vaksin untuk sifilis. Segala jenis aktivitas seksual merupakan faktor
resiko penularan sifilis. Walaupun kontak langsung dengan lesi aktif merupakan
faktor resiko utama, tidak selalu lesi dapat terlihat sehingga semua penderita
sifilis dianggap mempunyai potensi menularkan sifilis dan harus menggunakan

28
hubungan seksual yang aman. Penderita asimtomatik yang memerlukan
kontrasepsi harus diberikan pengertian mengenai efikasi barrier untuk mencegah
transmisi infeksi menular seksual dan juga HIV. Pasien ini juga harus diberikan
konseling tentang pengurangan perilaku beresiko. Konseling ini juga memberi
pengetahuan tentang perlunya abstinensia seksual, pengurangan jumlah partner
seksusal, dan hubungan seksual aman.

Pada penderita sifilis stadium primer, sekunder atau laten awal; abstinensia
seksual pada penderita dan partner seksualnya dianjurkan hingga terapi pada
keduanya selesai dan respons serologis yang memuaskan dicapai setelah
pengobatan. Sifilis dapat menular dari ibu hamil ke anaknya sehingga tes rutin
skrining sifilis merupakan hal penting yang harus dilakukan pada setiap
kehamilan

Partner notification yang bertujuan menemukan kontak seksual penderita


sifilis dan memberikan pengobatan dini harus dilakukan oleh petugas terlatih.
Pengobatan dini pada semua kontak seksual sifilis dini dengan 2,4 juta unit
Benzatine Penisilin dapat dilakukan walaupun kontak seksual tidak mempunyai
kelainan serologis pada saat pemeriksaan karena sifilis dapat terjadi pada 30%
kontak seksual yang tes serologisnya negatif. Pengobatan kontak dianjurkan
dilakukan pada semua kasus yang kontak seksual dengan penderita sifilis dini
dalam 90 hari terakhir.

2.1.12 Prognosis
Dengan ditemukannya penisilin, maka prognosis sifilis menjadi lebih baik.
Untuk menentukan penyembuhan mikrobiologik, yang berarti bahwa semua T.
Pallidum di badan terbunuh tidaklah mungkin. Penyembuhan berarti sembuh
klinis seumur hidup, tidak menular ke orang lain, T.S.S. pada darah dan likuor
serebrospinalis selalu negative. Jika sifilis tidak diobati, maka hampir
seperempatnya akan kambuh, 5% akan mendapat S III, 10% mengalami sifilis

29
kardiovaskular, neurosifilis pada pria 9% dan pada wanita 5%, 23% akan
meninggal.

Pada sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%. Kelainan
kulit akan sembuh dalam 7-14 hari. Pembesaran kelenjar getah bening akan
menetap berminggu-minggu.

Kegagalan terapi sebanyak 5% pada S I dan S II. Kambuh klinis umumnya


terjadi setahun sesudah terapi, berupa lesi menular pada mulut, tenggorok, dan
regio perianal. Di samping itu dikenal pula kambuh serologik, yang berarti T.S.S.
yang negatif menjadi positif atau yang telah positif menjadi makin positif.
Rupanya kambuh serologik ini mendahului kambuh klinis. Kambuh klinis pada
wanita juga dapat bermanifestasi pada bayi berupa sifilis kongenital.

Pada sifilis laten lanjut prognosisnya baik, prognosis pada sifilis gumatosa
bergantung pada alat yang dikenal dan banyaknya kerusakan. Dengan melihat
hasil T.S.S. pada sifilis lanjut sukar ditentukan prognosisnya. T.S.S. yang tetap
positif lebih daripada 80%, meskipun telah mendapat terapi yang adekuat.
Umumnya titer akan menurun, jika meningkat menunjukkan kambuh dan
memerlukan terapi ulang.

Pada sifilis kardiovaskular, prognosisnya sukar ditentukan. Pada aortitis tanpa


komplikasi prognosisnya baik. Pada payah jantung prognosisnya buruk.
Aneurisma merupakan komplikasi berat karena sekonyong-konyong dapat
mengalami ruptur. Meskipun demikian sebagian penderita dapat hidup sampai 10
tahun atau lebih. Prognosisnya pada wanita lebih baik daripada pria.12

30
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh
Treponema palidum, sangat kronik dan bersifat sistemik. Organisme ini bersifat
anaerob mudah dimatikan oleh sabun, oksigen dan sapranin. Di dalam darah
donor yang disimpan dalam lemari es Treponema pallidum akan mati dalam
waktu tiga hari tetapi dapat ditularkan melalui tranfusi mengunakan darah segar.
Rute utama penularannya melalui kontak seksual. Pada perjalanannya dapat
menyerang hampir semua organ tubuh termasuk system peredaran darah dan
saraf, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat
ditularkan dari ibu ke janin selama kehamilan atau kelahiran yang menyebabkan
terjadinya sifilis kongenital.

Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita (didapat). Sifilis
kongenital dibagi menjadi stadium dini (sebelum dua tahun), stadium lanjut
(sesudah dua tahun), dan stigmata. Sifilis akuisita secara klinis dibagi menjadi
stadium I (SI), stadium II (SII), stadium III (SIII). Lalu secara epidemiologic
menurut WHO dibagi menjadi stadium dini menular (dalam satu tahun sejak
infeksi) yang terdiri atas SI, SII, stadium rekuren, stadium laten dini dan stadium
lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi) yang terdiri atas stadium laten
lanjut dan SIII. Bentuk lain berupa sifilis kardiovaskular dan neurosifilis.

Diantara ketiga stadium tersebut terdapat stadium laten dimana tidak


menimbulkan gejala klinis namun pada pemeriksaan laboratorium menunjukan
hasil positif. Penegakan diagnosis sifilis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang pada sifilis berupa pemeriksaan

31
mikroskopis dan uji serologis. Pemberian antibiotik untuk pengobatan
berdasarkan stadium sifilis. Antibiotik yang digunakan adalah antibiotik golongan
penisilin, namun pada pasien dengan alergi penisilin dapat menggunakan
antibiotik golongan lain sebagai alternatif.

Komplikasi berupa manifestasi yang muncul akibat kerusakan pada seluruh


organ tubuh, terutama pada sifilis tersier, juga menyebabkan peningkatan
kemungkinan penularan HIV. Selain itu juga akan meningkatkan risiko
keguguran dan kematian bayi. Pecegahan dapat dilakukan dengan melakukan
hubungan seksual yang aman. Prognosis untuk sifilis umunya baik. Kegagalan
terapi hanya masih ditemukan pada penderita HIV.

32
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular
Seksual. Kementrian Kesehatan RI Dirjen PP dan PL. 2011.

2. Jesus MBD, Ehlers MM, Dreyer W, Kock NM. Mini Review: Syphilis. J
FORTAMex. 2013. p1787-1798.

3. Meredith E, Clemen MD, Lance N, Charles B, Hicks. Treatment of syphilis a


systematic Review. JAMA 2009; 312:1905–17.

4. Wong T, Singh E, De P. Characteristics of primary and late latent syphilis


cases which were initially non-reactive with the rapid plasma reagen as the
screening test. Int J STD & AIDS 2008;18:464-8.

5. Romawi R. Sifilis laten: diagnosis dan pengobatan. Glob Med Heal Commun
2013;1: 79–86.

6. Castro R, Prieto E, Manata MJ, Botas J, Santo I, Azevedo J, et al. Detection of


treponema pallidum sp pallidum DNA in latent syphilis. Int J STD AIDS
2009;18(12): 842-5.

7. Hook EW. Syphilis. Lancet 2017; 389: 1550–7.

8. Liu A, Zang W, Yuan L, Chai Y, Wang S. Latent syphilis among patients in an


Urban Area of China. Glob J Health Sci 2014;7(3):249–53.

9. Peeling RW, Mabey D, Kamb ML, Chen X, Benzaken AS. Syphilis. Nat Rev
Dis Primers 2017; 3:17073.

10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman tata laksana sifilis


untuk pengendalian sifilis di layanan kesehatan dasar. Kementrian Kesehatan
RI 2013.

33
11. Centers for Disease Control and Prevention MMWR. Syphilis In: Sexualy
Transmitted Disease Treatment Guidelines, 2015. United State: Departement
of Health and Human Service, Atlanta; 2015.

12. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi.
Sifilis. Dalam: Djuanda,Adhi.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2019.h. 455-474.

13. Peterman TA, Collins DE, Aral SO. Responding to the epidemics of syphilis
among men who have sex with men. Introduction to the special issue. Sex
Transm Dis 2005; 32: S1-3.

14. Peterman TA, Heffelfinger JD, Swint EB, Groseclose SL. The changing
epidemiology of syphilis. Sex Transm Dis 2005: 32: S4-10.

15. Holmes KX, Sparling PF, Stam WE, Piot P, Wasserheit J, Corey L, et al. In:
Sexually Transmitted Disease 4rd. New York: McGraw Hill. 2008. p661 – 84.

16. Klausner JD, Hook EW. Current Diagnosis & Treatment Sexually Transmitted
Disease. New York:McGraw Hill Companies, 2007.

17. Hourihan M, Wheeler H, Houghton R, et al. Lessons from the syphilis


outbreak in homosexual men in east London. Sex Transm Infect.
2004;80(6):509-511.

18. Cherneskle T, Augenbraun M, Blank S, Dunn A, Friedenberg E, Hermoso A,


et al. an Update and Riview of the Diagnosis and Management of Syphilis.
NYC Health. p15-17.

19. Sokolovskiy E, Frigo N, Rotanov S, Savicheva A, Dolia O, Kitajeva N, et al.


Guidelines fot the laboratory diagnosis of syphilis in East European countries.
J EADV. 2009;23(1):623-32.

34
20. Golden MR, Marra CM, Holmes KK. Update on syphilis: resurgence of an old
problem. JAMA. 2003;290(11):1510-1514.

21. Rompalo AM, Lawlor J, Seaman P, et al. Modification of syphilitic genital


ulcer manifestations by coexistent HIV infection. Sex Transm Dis.
2001;28(8):448-454.

22. Workowski KA, Bolan GA. Centers for Disease Control and Prevention.
Sexually transmitted diseases treatment guidelines, 2015. MMWR Recomm
Rep. 2015;64(RR-03):1-137.

23. Zeltser R, Kurban AK. Syphilis. Clin Dermatol. 2004;22(6):461-468.

24. Lautenschlager S. Cutaneous manifestations of syphilis: recognition and


management. Am J Clin Dermatol. 2006;7(5):291-304.

25. Marra CM. Update on neurosyphilis. Curr Infect Dis Rep. 2009;11(2):127-134.

26. Jenson HB. Congenital syphilis. Semin Pediatr Infect Dis. 1999;10(3):183-194.

27. Woods CR. Syphilis in children: congenital and acquired. Semin Pediatr Infect
Dis. 2005;16(4):245-257.

28. Department of Health and Human services Centers for Disease Control and
Prevention. Sexually Transmitted Disease Treatment Guidelines, 2010.
MMWR 2010;59(No. RR-12): 26-39.

29. Guidance for Industry. Recommendations for Screening, Testing, and


Management of Blood Donors and Blood and Blood Components Based on
Screening Tests for Syphilis. U.S. Department of Health and Human Services
Food and Drug Administration Center for Biolog.

30. Wiesman j, Lofy K, Terletter S, Goldoft MJ. A Monthly Bulletin on


Epidemiology and Public Health Practice in Washington. Washington State

35
Departemen of Health. J Epitrends. 2014;19(1):1-3.

31. Janier M, Hegyi V, Dupin N, Unemo M, Tiplica GS, Potocnik M, et al. 2014
European Guideline on the Management of Syphilis. J Eur Acad Dermatol
Venereol. 2014 Oct;28(1):1- 29.

32. Airlangga Universitas, ATLAS Penyakit Kulit dan Kelamin, SMF Penyakit
Kulit dan Kelamin Universitas Airlangga, Surabaya, 2007, hal 215 – 220.

36

Anda mungkin juga menyukai