Diajukan Kepada
Pembimbing
dr. Agnes Sri Widayati, Sp.KK
Disusun Oleh
Diva Zabrina Santoso
H3A021047
Disusun oleh
Diva Zabrina Santoso
H3A021047
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat kasus ini selesai pada waktunya.
Laporan ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian Kepaniteraan Klinik
lmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Penyusunan laporan kasus ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang
turut membantu. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dr. Agnes Sri Widajati, Sp.KK, dr. Sri Windayati,
Sp.KK dan dr. Irma Yasmin, Sp.KK selaku pembimbing, serta kepada teman-teman
di kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin atas kerjasamanya selama
penyusunan laporan ini.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca maupun
bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT...................................................................................2
KATA PENGANTAR.............................................................................................................3
DAFTAR ISI...........................................................................................................................4
BAB I.......................................................................................................................................5
PENDAHULUAN...................................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................................6
2.1 Sifilis........................................................................................................................6
2.1.1 Definisi....................................................................................................................6
2.1.2 Epidemiologi...........................................................................................................6
2.1.3 Etiologi....................................................................................................................7
2.1.4 Klasifikasi Sifilis.....................................................................................................7
2.1.5 Patogenesis..............................................................................................................7
2.1.6 Gejala Klinis...........................................................................................................9
2.1.7 Diagnosis...............................................................................................................18
2.1.8 Diagnosis Banding................................................................................................21
2.1.9 Tatalaksana...........................................................................................................26
2.1.10 Komplikasi..........................................................................................................28
2.1.11 Pencegahan..........................................................................................................28
2.1.12 Prognosis.............................................................................................................29
BAB III..................................................................................................................................31
PENUTUP.............................................................................................................................31
3.1 Kesimpulan............................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................33
4
BAB I
PENDAHULUAN
Sifilis merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik yang disebabkan oleh
Treponema palidum. Penularan sifilis melalui hubungan seksual. Penularan juga
dapat terjadi secara vertikal dari ibu kepada janin dalam kandungan atau saat
kelahiran, melalui produk darah atau transfer jaringan yang telah tercemar, kadang-
kadang dapat ditularkan melalui alat kesehatan.1–3
Sifilis tersebar diseluruh dunia dan telah dikenal sebagai penyakit kelamin
klasik yang dapat dikendalikan dengan baik. Di Amerika Serikat kejadian sifilis dan
sifilis kongenital yang dilaporkan meningkat sejak tahun 1986 dan berlanjut sampai
dengan tahun 1990 dan kemudian menurun sesudah itu. Peningkatan ini terjadi
terutama di kalangan masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah dan di
kalangan anak-anak muda dengan kelompok usia yang paling sering terkena infeksi
adalah golongan usia muda berusia antara 20–29 tahun, yang aktif secara seksual.8–11
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sifilis
2.1.1 Definisi
Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh
Treponema palidum, sangat kronik dan bersifat sistemik. Organisme ini bersifat
anaerob mudah dimatikan oleh sabun, oksigen dan sapranin. Di dalam darah
donor yang disimpan dalam lemari es, Treponema pallidum akan mati dalam
waktu tiga hari tetapi dapat ditularkan melalui tranfusi mengunakan darah segar.
Rute utama penularannya melalui kontak seksual. Pada perjalanannya dapat
menyerang hampir semua organ tubuh termasuk system peredaran darah dan
saraf, dengan manifestasi klinis yang jelas namun terdapat masa laten yang
sepenuhnya asimtomatik,dapat menyerupai banyak penyakit, dan dapat ditularkan
dari ibu ke janin selama kehamilan atau saat kelahiran yang menyebabkan
terjadinya sifilis kongenital.12
2.1.2 Epidemiologi
Di seluruh belahan dunia hingga saat ini sifilis tetap merupakan masalah
kesehatan utama. Angka kejadian infeksi baru (insiden) diperkirakan 112 juta per
tahun di seluruh dunia, terutama di Afrika, Amerika Selatan, China, dan Asia
Tenggara. Di Asia Tenggara diperkirakan terjadi 4 juta infeksi baru per tahun.
Kejadiannya akhir-akhir ini meningkat di negara-negara Eropa terutama pada
kelompok Lelaki Suka sama Lelaki (LSL). Penularan sifilis dari ibu hamil ke
bayinya menyebabkan sifilis kongenital yang merupakan 50% penyebab bayi
lahir mati. Tiap tahun diperkirakan terjadi 500 ribu dan 1,5 juta sifilis kongenital.
Survey Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) tahun 2011 di Indonesia juga
melaporkan prevalensi sifilis masih cukup tinggi. Pada populasi waria, prevalensi
6
sifilis sebesar 25%, WPSL (Wanita Penjaja Seks Langsung) 10%, LSL (lelaki
yang berhubungan seks dengan lelaki) 9%, warga binaan lembaga
pemasyarakatan 5%, pria berisiko tinggi 4%, WPSTL (Wanita Penjaja Seks Tidak
Langsung) 3% dan penasun (Pengguna Narkoba Suntik) 3%.13,14
2.1.3 Etiologi
Treponema pallidum merupakan ordo Spirochaetales, familia
Spirochaetaceae dan genus Treponema. Treponema pallidum berbentuk spiral,
gram negatif dengan panjang kisaran 6 - 15 µm, lebar 0,15 µm dengan diameter
antara 0,09 - 0,18 µm. Terdapat dua lapisan, sitoplasma merupakan lapisan dalam
mengandung mesosom, vakuol ribosom dan bahan nukleoid, lapisan luar yaitu
bahan mukoid. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi
setiap tiga puluh jam. Pembiakan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar
badan. Di luar badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk
transfusi dapat hidup sampai tujuh puluh dua jam.15,16
2.1.5 Patogenesis
Pada sifilis kongenital terjadi akibat dari penularan spirokaeta tranplasenta.
Bayi jarang berkontak langsung dengan Chancre ibu yang menimbulkan infeksi
pasca lahir. Resiko penularan transplasenta bervariasi menurut stadium penyakit
yang diderita oleh ibu. Bila wanita hamil dengan sifilis primer dan sekunder serta
7
spirokaetamia yang tidak diobati, besar kemungkinan untuk menularkan infeksi
pada bayi yang belum dilahirkan dari pada wanita dengan infeksi laten. Penularan
dapat terjadi selama kehamilan. Insiden dari infeksi sifilis kongenital tetap paling
tinggi selama 4 tahun pertama sesudah mendapat infeksi primer, sekunder dan
penyakit laten awal.7
Pada stadium dini, T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau
selaput lendir, biasanya melalui hubungan seksual. Kuman tersebut membiak,
jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrate yang terdiri atas sel-sel limfosit
dan sel-sel plasma, terutama di perivascular, pembuluh darah kecil berproliferasi
di kelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel radang. T. pallidum terletak diantara
endothelium kapiler dan jaringan perivascular di sekitarnya. Enarteritis pembuluh
darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofik endothelium yang menimbulkan
obliterasi lumen (enarteritis obliterans). Kehilangan pendarahan akan
menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S I.
8
berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema dalam keadaan dorman.
Meskipun demikian antibody tetap ada dalam serum penderita. Keseimbangan
antara treponema dan jaringan dapat sekonyong-konyong berubah, sebabnya
belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat
itu munculah S III berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat
ditemukan T. pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung
bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi guma tersebut
timbul di tempat-tempat lain.
a. Sifilis Dini
1) Sifilis Primer (S 1)
Masa tunas biasanya dua sampai empat minggu. T. Pallidum masuk ke dalam
selaput lendir atau kulit yang telah mengalami lesi/mikrolesi secara langsung,
biasanya melalui senggama. Treponema tersebut akan berkembang biak,
kemudian terjadi penyebaran secara limfogen dan hematogen.
9
menunjukkan tanda-tanda radang akut. Yang khas ialah ulkus tersebut indolen
dan teraba indurasi karena itu disebut ulkus durum.17
Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu.
Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah
bening regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks primer.
Kelenjar tersebut solitar, indolen, tidak lunak, besarnya biasanya lentikular, tidak
supuratif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit di atasnya tidak menunjukkan
tanda-tanda radang akut. lstilah syphilis d'emblee dipakai, jika tidak terdapat afek
primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam, misalnya pada transfusi
darah atau suntikan.12,15,16
Gambar 2.1 Chancre pada batang penis, menunjukkan dasar yang bersih dan
batas yang ditinggikan
10
2) Sifilis Sekunder (S II)
Manifestasi akan timbul pada beberapa minggu atau bulan, muncul gejala
sistemik berupa demam yang tidak terlalu tinggi, malaise, sakit kepala, adenopati,
dan lesi kulit atau mukosa. Lesi sekunder yang terjadi merupakan manifestasi
penyebaran Treponema pallidum secara hematogen dan limfogen.18
Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit,
selaput lendir, dan organ tubuh. Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai
penyakit kulit sehingga disebut the great imitator. Selain memberi kelainan pada
kulit, S II dapat juga memberi kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata,
hepar, tulang, dan saraf. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula,
papula, folikulitis, papuloskuamosa, dan pustul, jarang disertai keluhan gatal. Lesi
dapat ditemukan di trunkus dan ekstermitas, termasuk telapak tangan dan kaki.
Papul biasanya merah atau coklat kemerahan, diskret, diameter 0,5 – 2 cm,
umumnya berskuama tetapi kadang licin. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada
sifilis kongenital.15,18
Kondiloma lata merupakan istilah untuk lesi meninggi (papul), luas, putih
atau abu-abu di daerah yang hangat dan lembab. Kondilomata lata ialah bentuk
yang sangat menular. Lesi sifilis sekunder dapat muncul pada waktu lesi sifilis
primer masih ada. Diagnosis sifilis sekunder ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan serologis yang reaktif dan pemeriksaan lapangan gelap positif.
Treponema pallidum banyak ditemukan pada lesi selaput lendir atau basah seperti
kondiloma lata.15,16,19
Ruam kulit pada sifilis sekunder sukar dibedakan dengan pitiriasis rosea,
psoriasis, terutama jika berskuama, eritema multiforme dan erupsi obat. Diagnosis
sifilis sekunder cukup sulit. Pada umumnya diagnosis ditegakkan berdasarkan
kelainan khas lesi kulit sifilis sekunder ditunjang pemeriksaan serologis.19
11
Gambar 2.2 Kondiloma lata dan papuloskuamous
S II pada mukosa
Kelainan lain ialah yang disebut plaque muqueuses (mucous patch), berupa
papul eritematosa, permukaannya datar, biasanya miliar atau lentikular, timbulnya
bersama-sama dengan S II bentuk papul pada kulit. Plaque muqueuses tersebut
dapat juga terletak di selaput lendir alat genital dan biasanya terletak di selaput
lendir alat genital dan biasanya erosif. Umumnya kelainan pada selaput lendir
tidak nyeri, lamanya beberapa minggu.20,21
S II pada rambut
Pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya bersifat
difus dan tidak khas, disebut alopesia difusa. Pada S II yang lanjut dapat terjadi
12
kerontokan setempat, tampak sebagai bercak yang ditumbuhi oleh rambut yang
tipis, jadi tidak botak seluruhnya, seolah-olah seperti digigit ngengat dan disebut
alopesia areolaris. Bercak-bercak tersebut disebabkan oleh roseola/papul, akar
rambut dirusak oleh treponema. Kerusakan tersebut dapat juga terjadi pada alis
mata bagian lateral dan janggut.
Sifilis laten yaitu apabila pasien dengan riwayat sifilis dan pemeriksaan
serologis reaktif yang belum mendapat terapi sifilis dan tanpa gejala atau tanda
klinis. Tes serologic darah positif, sedangkan tes likuor serebrospinalis negative.
Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA. Sifilis laten terbagi menjadi dini
dan lanjut, dengan batasan waktu kisaran satu tahun. Dalam perjalanan penyakit
sifilis akan melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup.
Tetapi bukan berarti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan
menjadi sifilis tersier.12,15,16
4) Stadium Rekuren
Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit mirip S II,
maupun serologic yang telah negative menjadi positif. Hal ini terjadi terutama
pada sifilis yang tidak diobati atau yang mendapat pengobatan tidak cukup.
Umumnya bentuk relaps ialah S II, kadang-kadang S I, kadang-kadang relaps
terjadi pada tempat afek primer dan disebut monorecidive. Relaps dapat memberi
kelainan pada mata, tulang, alat dalam, dan susunan saraf. Juga dapat terlahir bayi
dengan sifilis kongenital.
13
b. Sifilis Lanjut
Perlu diperiksa pula, apakah ada sikatriks bekas S I pada alat genital atau
leukoderma pada leher yang menunjukkan bekas S II (colar of Venus). Kadang-
kadang terdapat pula banyak kulit hipotrofi lentikular pada badan bekas papul-
papul S II.
Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah S I.
Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya
melunak, dan destruktif. Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar
telur ayam. Kulit di atasnya mula-mula tidak menunjukkan tanda-tanda radang
akut dan dapat digerakkan. Setelah beberapa bulan mulai melunak, biasanya
mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa
dan livid serta melekat terhadap guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan
keluarlah cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen; pada beberapa kasus
disertai jaringan nekrotik. Guma paling sering terdapat pada daerah kulit kepala
dan dahi. Guma dapat menyebabkan destruksi dari kartilago dan tulang hidung
sehingga menyebabkan saddle nose.23,24
Sifilis tersier terdiri dari tiga grup sindrom yang utama yaitu neurosifilis,
sifilis kardiovaskular, dan sifilis benigna lanjut. Pada perjalanan penyakit
neurosifilis dapat asimptomatik dan sangat jarang terjadi dalam bentuk murni.
14
Infeksi terjadi pada stadium dini. Neurosifilis dibagi menjadi empat macam yaitu;
neurosifilis asimtomatik, sifilis meningovaskular, sifilis parenkim dan guma. Pada
semua jenis neurosifilis, terjadi perubahan berupa endarteritis obliterans pada
ujung pembuluh darah disertai degenerasi parenkimatosa yang mungkin sudah
atau belum menunjukkan gejala saat pemeriksaan.25
15
Gambar 2.3 Gumma
B. Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama sifilis
dini sebab banyak T.pallidum beredar dalam dara, treponema masuk secara
hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat masa
kehamilan 10 minggu.
16
Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya ringan. Pada tahun I setelah
infeksi yang tidak diobati terdapat kemungkinan penularan sampai 90%. Jika ibu
menderita sifilis laten dini, kemungkinan bayi sakit 80%, bila sifilis lanjut 30%.
Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada kehamilan yang kemudian
menjadi berkurang. Misalnya pada hamil pertama akan terjadi abortus pada bulan
kelima, berikutnya lahir mati pada bulan kedelapan, berikutnya janin dengan
sifilis kongenital yang akan meninggal dalam beberapa minggu, diikuti oleh dua
sampai tiga bayi yang hidup dengan sifilis kongenital. Akhimya akan lahir
seorang atau lebih bayi yang sehat. Keadaan ini disebut hukum Kossowitz.
Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks), sifilis
kongenital lanjut (tarda), dan stigmata. Batas antara dini dan lanjut ialah dua
tahun. Yang dini bersifat menular, jadi menyerupai S II, sedangkan yang lanjut
berbentuk guma dan tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau
deforrnitas akibat penyembuhan kedua stadium tersebut.12
Pada sifilis kongenital dini, kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada
waktu lahir ialah bula bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki,
kadang-kadang pada tempat lain di badan. Cairan bula mengandung banyak T.
Pallidum. Bayi tampak sakit. Bentuk ini ada kalanya disebut pemfigus sifilitika.
Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa minggu dan
mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau papulo-skuamosa
yang simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur, misalnya anular. Pada
tempat yang lembab papul dapat mengalami erosi seperti kondilomata lata.
Ragades merupakan kelainan umum yang terdapat pada sudut mulut, lubang
hidung, dan anus; bentuknya memancar (radiating).26
Pada sifilis kongenital lanjut, umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima
belas tahun. Guma dapat menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan alat dalam.
Yang khas ialah guma pada hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum
17
nasi akan terjadi perforasi, bila meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga hidung
mengalami kolaps dengan deforrnitas. Guma pada palatum mole dan durum juga
sering terjadi sehingga menyebabkan perforasi pada palatum.26
Pada stigmata lesi dini, gigi Hutchinson merupakan kelainan yang khas, hanya
terdapat pada gigi insisi permanen. Gigi tersebut lebih kecil daripada normal, sisi
gigi konveks, sedangkan daerah untuk menggigit konkaf. Pada stigmata lesi lanjut
terdapat trias Hutchinson yaitu sindrom yang terdiri atas keratitis interstisialis,
gigi Hutchinson, dan kelumpuhan nervus VIII (tuli).27
2.1.7 Diagnosis
Secara garis besar uji diagnostik sifilis terbagi menjadi tiga kategori
pemeriksaan mikroskopik langsung pada sifilis stadium dini, uji serologis, metode
berdasar biologi molekuler. Untuk menegakkan diagnosis sifilis, diagnosis klinis
harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan mikroskop
lapangan gelap (dark field) merupakan metode paling spesifik dan sensitif untuk
memastikan diagnosis sifilis primer adalah menemukan treponema dengan
gambaran karakteristik yang terlihat pada pemeriksaan mikroskop lapangan gelap
dari cairan yang diambil pada permukaan chancre. Ruam sifilis primer
dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis. Serum diperoleh dari bagian dasar
atau dalam lesi dengan cara menekan lesi sehingga serum akan keluar. Kemudian
18
diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap menggunakan minyak emersi.
Treponema pallidum berbentuk ramping, gerakan aktif.16,28
Uji serologis sifilis pada sifilis meliputi uji serologis non treponema seperti
pemeriksaan Rapid Plasma Reagen (RPR), pemeriksaan Venereal Disease
Research Laboratory (VDRL), dan pemeriksaan Automated Reagen Test (ART),
ketiganya merupakan pemeriksaan untuk mendeteksi ”reagen” terhadap antibodi
dimana antigennya disebut cardiolipin. Antibodi cardiolipin dapat dideteksi pada
serum pasien dengan sifilis aktif dan pada beberapa kondisi lain. Namun, pada
beberapa individu yang memiliki riwayat sifilis dengan kesuksesan terapi
mempertahankan kadar antibodi cardiopilin rendah untuk waktu yang lama,
dengan demikian individu tersebut tergolong ”serofast”. Tes ini mempunyai
positif semu yang tinggi sehingga hasil positif harus dilanjutkan dengan tes
treponema. Tes non-treponemal dianggap positif bila titernya lebih dari 1:4,
mencapai nilai titer tertinggi pada sifilis sekunder dan laten awal, kemudian
menurun sesudahnya. Uji serologis non treponema berfungsi untuk
mengidentifikasi sifilis kasus baru, untuk memantau progresifitas dari sifilis, dan
memantau respon dari terapi antibiotik.29
19
secara adekuat. Tes treponemal hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah
terinfeksi treponema, namun tidak dapat menunjukkan apakah seseorang sedang
mengalami infeksi aktif. Digunakan untuk identifikasi sifilis dan monitoring
terhadap terapi antibiotik.29,30
Uji serologik Anti-T.Palidum IgM antibodi spesifik seperti EIA atau IgM,
19SIgM-FTA-abs test, IgM-immunoblot untuk T. Palidum. Sensivitas dari uji
tersebut rendah pada sifilis aktif. IgM tidak efektif dalam mengetahui stadium
dari sifilis maupun montitoring terapi. Uji serologis tersebut digunakan pada
penilaian sifilis pada bayi baru lahir dan CSF. Many rapid Point of Care (POC)
digunakan untuk mendeteksi antigen treponemal pada individu dengan riwayat
sifilis 20 tahun sebelumnya. Namun uji serologis ini tidak untuk mendeteksi
antibodi cardiopilin (pada pasien dengan sifilis aktif).31
Interpretasi VDRL secara kuantitatif adalah sebagai berikut nilai titer VDRL
yang sensitif pada stadium laten dan nilainya 1:4. Pada sebuah guideline
20
menyebutkan bahwa hasil titer VDRL reaktif dan nilainya kurang dari 1:8 maka
dapat diinterpretasikan pasien menderita sífilis laten. Hasil titer VDRL > 1:8,
maka dapat di interpretasikan pasien tersebut menderita sifilis primer, sekunder,
atau sífilis latent dini. Pedoman tata laksana sífilis yang di keluarkan oleh
Kementerian Kesehatan juga menyebutkan bahwa, titer serologi non treponema
jika menunjukan hasil 1:2 atau 1:4 maka interpretasi dari hasil tersebut adalah
sífilis laten lanjut dan jika nilainya lebih dari 1:8 maka interpretasinya adalah
sífilis aktif atau sifilis laten dini.
21
dapat membesar, indolen, tidak berkelompok, tidak ada periadenitis, tanpa
supurasi. Tes serologik setelah beberapa minggu bereaksi positif lemah. Sebagai
diagnosis banding dapat dikemukakan berbagai penyakit.12
1) Herpes genitalis
Penyakit ini residif dapat disertai rasa gatal/ nyeri, lesi berupa vesikel di atas
kulit yang eritematosa, berkelompok. Jika telah pecah tampak kelompok erosi,
sering berkonfluensi dan polisiklik, tidak terdapat indurasi.
2) Ulkus piogenik
Akibat trauma misalnya garukan dapat terjadi infeksi piogenik. Ulkus tampak
kotor karena mengandung pus, nyeri, tanpa indurasi. Jika terdapat limfadenitis
regional disertai tanda-tanda radang akut dapat terjadi supurasi yang serentak, dan
terdapat leukositosis pada pemeriksaan darah tepi.
3) Skabies
Pada skabies lesi berbentuk beberapa papul atau vesikel di genitalia ekstema,
terasa gatal pada malam hari. Kelainan yang sama terdapat pula pada tempat
predileksi, misalnya lipat jari tangan, perianal. Orang-orang yang serumah juga
akan menderita penyakit yang sama.
4) Balanitis
Pada balanitis, kelainan berupa erosi superfisial pada glans penis disertai
eritema, tanpa indurasi. Faktor predisposisi; diabetes melitus dan yang tidak
disirkumsisi.
22
5) Limfogranuloma venereum (L.G.V)
Afek primer pada L.G.V. tidak khas, dapat berupa papul, vesikel, pustul,
ulkus, dan biasanya cepat hilang. Yang khas ialah limfadenitis regional, disertai
tanda-tanda radang akut, supurasi tidak serentak, terdapat periadenitis, L.G.V.
disertai gejala konstitusi; demam, malese, dan artralgia.
Umumnya terjadi pada orang usia lanjut yang tidak disirkumsisi. Kelainan
kulit berupa benjolan-benjolan, terdapat indurasi, mudah berdarah. Untuk
diagnosis, perlu biopsi.
7) Penyakit Behcet
8) Ulkus mole
Penyakit ini kini langka. Ulkus lebih dari satu, disertai tanda-tanda radang
akut, terdapat pus, dindingnya bergaung. Haemophilus Ducreyi positif. Jika
terjadi limfadenitis regional juga disertai tandatanda radang akut, terjadi supurasi
serentak.
B. S II
23
Klinis yang penting umumnya berupa kelainan tidak gatal. Pada S II dini
kelainan generalisata, hampir simetrik, telapak tangan/ kaki juga dikenai. Pada S
II lambat terdapat kelainan setempatsetempat, berkelompok, dapat tersusun
menurut susunan tertentu, misalnya; arsinar, polisiklik, korimbiformis. Biasanya
terdapat limfadenitis generalisata. Tes serologik positif kuat pada S II dini, lebih
kuat lagi pada S II lanjut.
Pada anamnesis dapat diketahui timbulnya alergi karena obat yang dapat
disertai demam. Kelainan kulit bermacam-macam, di antaranya berbentuk eritema
sehingga mirip roseala pada S II. Keluhannya gatal, sedangkan pada sifilis
biasanya tidak gatal.
2) Morbili
Kelainan kulit berupa eritema seperti pada S II. Perbedaannya; pada morbili
disertai gejala konstitusi (tampak sakit, demam), kelenjar getah bening tidak
membesar.
3) Pitiriasis rosea
4) Psoriasis
24
Persamaannya dengan S II: terdapat eritema dan skuama. Pada psoriasis tidak
didapati limfadenitis generalisata; skuama berlapis-lapis serta terdapat tanda
tetesan lilin dan Auspitz.
5) Dermatitis seboroika
6) Kondiloma akuminatum
7) Alopesia areata
C. S III
Kelainan kulit yang utama pada S III ialah guma. Guma juga terdapat pada
penyakit lain: tuberkulosis, frambusia, dan mikosis profunda. Tes serologik pada
S III dapat negatif atau positif lemah, karena itu yang penting ialah anamnesis,
apakah penderita tersangka menderita S I atau S II dan pemeriksaan
histopatologik.
25
Mikosis dalam yang dapat menyerupai S III ialah sporotrikosis dan
aktinomikosis. Perbedaannya: pada sporotrikosis berbentuk nodus yang terletak
sesuai dengan perjalanan pembuluh getah bening, dan pada pembiakan akan
ditemukan jamur penyebabnya. Aktinomikosis sangat jarang di Indonesia.
Penyakit ini juga terdiri atas infiltrat yang melunak seperti guma S III.
Lokalisasinya khas yakni di leher, dada, dan abdomen. Kelainan kulitnya berbeda,
yakni terdapat fister multipel; pada pusnya tampak butir-butir kekuningan yang
disebut sulfur granules. Pada biakan akan tumbuh Actinomyces.
Guma S III bersifat kronis dan destruktif, karena itu kelainan tersebut mirip
keganasan. Cara membedakannya dengan pemeriksaan histopatologik.12
2.1.9 Tatalaksana
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan
selama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai
sedini mungkin, makin dini hasilnya makin baik. Pada sifilis laten terapi
bermaksud mencegah proses lebih lanjut.
2) Aq. Penicillin Procaine G 1,2 juta unit IM sekali sehari selama 10 hari
3) Doxycycline 2 x I00 mg/hari oral selama 14 hari (alternative terapi pada alergi
penisilin tidak hamil)
4) Tetracycline 4 x 500 mg/hari oral selama 14 hari (alternative terapi pada alergi
penisilin tidak hamil)
26
5) Erythromycin 4 x 500 mg/hari oral selama 14 hari (alternative terapi pada
alergi penisilin hamil)
1) Benzathine Penicillin G 2,4 juta unit IM satu minggu sekali selama 3 minggu
C. Latent Syphilis
1) Early latent syphilis: Benzathine Penicillin G 2,4 juta unit IM single dose
2) Late latent syphilis: Benzathine Penicillin G 2,4 juta unit IM satu minggu
sekali selama 3 minggu di hari ke 1, 8, 15
Kondisi klinis pasien perlu dinilai kembali dan diupayakan untuk mendeteksi
kemungkinan terjadinya reinfeksi dalam periode tahun pertama sesudah
pengobatan. Pasien sifilis dini yang telah mendapat pengobatan benzatin
benzilpenisilin dengan dosis dan cara adekuat, harus dievaluasi kembali secara
klinis dan serologis sesudah tiga bulan pengobatan dengan menggunakan uji
VDRL. Evaluasi kedua dilakukan sesudah enam bulan, dan bila ada indikasi
berdasarkan hasil pemeriksaan pada bulan ke enam tersebut, dapat dievaluasi
kembali sesudah bulan ke-12 untuk dilakukan penilaian kembali kondisi pasien
dan mendeteksi kemungkinan adanya reinfeksi.
27
Semua pasien dengan sifilis kardiovaskular dan neurosifilis dipantau selama
beberapa tahun. Tindak lanjut yang dilaksanakan meliputi hasil penilaian klinis
penyakit, serologis, cairan serebrospinal, dan radiologis.
2.1.10 Komplikasi
Selain berbagai manifestasi yang muncul akibat kerusakan pada seluruh organ
tubuh, terutama pada sifilis tersier, sifilis juga menyebabkan peningkatan
kemungkinan penularan HIV hingga 2-5 kali. Lesi sifilis mudah berdarah
sehingga memudahkan penularan virus HIV saat melakukan hubungan seksual.
Penularan sifilis dari ibu ke bayi pada saat kehamilan juga akan meningkatkan
risiko keguguran dan kematian bayi beberapa hari setelah melahirkan.
2.1.11 Pencegahan
Tidak ada vaksin untuk sifilis. Segala jenis aktivitas seksual merupakan faktor
resiko penularan sifilis. Walaupun kontak langsung dengan lesi aktif merupakan
faktor resiko utama, tidak selalu lesi dapat terlihat sehingga semua penderita
sifilis dianggap mempunyai potensi menularkan sifilis dan harus menggunakan
28
hubungan seksual yang aman. Penderita asimtomatik yang memerlukan
kontrasepsi harus diberikan pengertian mengenai efikasi barrier untuk mencegah
transmisi infeksi menular seksual dan juga HIV. Pasien ini juga harus diberikan
konseling tentang pengurangan perilaku beresiko. Konseling ini juga memberi
pengetahuan tentang perlunya abstinensia seksual, pengurangan jumlah partner
seksusal, dan hubungan seksual aman.
Pada penderita sifilis stadium primer, sekunder atau laten awal; abstinensia
seksual pada penderita dan partner seksualnya dianjurkan hingga terapi pada
keduanya selesai dan respons serologis yang memuaskan dicapai setelah
pengobatan. Sifilis dapat menular dari ibu hamil ke anaknya sehingga tes rutin
skrining sifilis merupakan hal penting yang harus dilakukan pada setiap
kehamilan
2.1.12 Prognosis
Dengan ditemukannya penisilin, maka prognosis sifilis menjadi lebih baik.
Untuk menentukan penyembuhan mikrobiologik, yang berarti bahwa semua T.
Pallidum di badan terbunuh tidaklah mungkin. Penyembuhan berarti sembuh
klinis seumur hidup, tidak menular ke orang lain, T.S.S. pada darah dan likuor
serebrospinalis selalu negative. Jika sifilis tidak diobati, maka hampir
seperempatnya akan kambuh, 5% akan mendapat S III, 10% mengalami sifilis
29
kardiovaskular, neurosifilis pada pria 9% dan pada wanita 5%, 23% akan
meninggal.
Pada sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%. Kelainan
kulit akan sembuh dalam 7-14 hari. Pembesaran kelenjar getah bening akan
menetap berminggu-minggu.
Pada sifilis laten lanjut prognosisnya baik, prognosis pada sifilis gumatosa
bergantung pada alat yang dikenal dan banyaknya kerusakan. Dengan melihat
hasil T.S.S. pada sifilis lanjut sukar ditentukan prognosisnya. T.S.S. yang tetap
positif lebih daripada 80%, meskipun telah mendapat terapi yang adekuat.
Umumnya titer akan menurun, jika meningkat menunjukkan kambuh dan
memerlukan terapi ulang.
30
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh
Treponema palidum, sangat kronik dan bersifat sistemik. Organisme ini bersifat
anaerob mudah dimatikan oleh sabun, oksigen dan sapranin. Di dalam darah
donor yang disimpan dalam lemari es Treponema pallidum akan mati dalam
waktu tiga hari tetapi dapat ditularkan melalui tranfusi mengunakan darah segar.
Rute utama penularannya melalui kontak seksual. Pada perjalanannya dapat
menyerang hampir semua organ tubuh termasuk system peredaran darah dan
saraf, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat
ditularkan dari ibu ke janin selama kehamilan atau kelahiran yang menyebabkan
terjadinya sifilis kongenital.
Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita (didapat). Sifilis
kongenital dibagi menjadi stadium dini (sebelum dua tahun), stadium lanjut
(sesudah dua tahun), dan stigmata. Sifilis akuisita secara klinis dibagi menjadi
stadium I (SI), stadium II (SII), stadium III (SIII). Lalu secara epidemiologic
menurut WHO dibagi menjadi stadium dini menular (dalam satu tahun sejak
infeksi) yang terdiri atas SI, SII, stadium rekuren, stadium laten dini dan stadium
lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi) yang terdiri atas stadium laten
lanjut dan SIII. Bentuk lain berupa sifilis kardiovaskular dan neurosifilis.
31
mikroskopis dan uji serologis. Pemberian antibiotik untuk pengobatan
berdasarkan stadium sifilis. Antibiotik yang digunakan adalah antibiotik golongan
penisilin, namun pada pasien dengan alergi penisilin dapat menggunakan
antibiotik golongan lain sebagai alternatif.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular
Seksual. Kementrian Kesehatan RI Dirjen PP dan PL. 2011.
2. Jesus MBD, Ehlers MM, Dreyer W, Kock NM. Mini Review: Syphilis. J
FORTAMex. 2013. p1787-1798.
5. Romawi R. Sifilis laten: diagnosis dan pengobatan. Glob Med Heal Commun
2013;1: 79–86.
9. Peeling RW, Mabey D, Kamb ML, Chen X, Benzaken AS. Syphilis. Nat Rev
Dis Primers 2017; 3:17073.
33
11. Centers for Disease Control and Prevention MMWR. Syphilis In: Sexualy
Transmitted Disease Treatment Guidelines, 2015. United State: Departement
of Health and Human Service, Atlanta; 2015.
12. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi.
Sifilis. Dalam: Djuanda,Adhi.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2019.h. 455-474.
13. Peterman TA, Collins DE, Aral SO. Responding to the epidemics of syphilis
among men who have sex with men. Introduction to the special issue. Sex
Transm Dis 2005; 32: S1-3.
14. Peterman TA, Heffelfinger JD, Swint EB, Groseclose SL. The changing
epidemiology of syphilis. Sex Transm Dis 2005: 32: S4-10.
15. Holmes KX, Sparling PF, Stam WE, Piot P, Wasserheit J, Corey L, et al. In:
Sexually Transmitted Disease 4rd. New York: McGraw Hill. 2008. p661 – 84.
16. Klausner JD, Hook EW. Current Diagnosis & Treatment Sexually Transmitted
Disease. New York:McGraw Hill Companies, 2007.
34
20. Golden MR, Marra CM, Holmes KK. Update on syphilis: resurgence of an old
problem. JAMA. 2003;290(11):1510-1514.
22. Workowski KA, Bolan GA. Centers for Disease Control and Prevention.
Sexually transmitted diseases treatment guidelines, 2015. MMWR Recomm
Rep. 2015;64(RR-03):1-137.
25. Marra CM. Update on neurosyphilis. Curr Infect Dis Rep. 2009;11(2):127-134.
26. Jenson HB. Congenital syphilis. Semin Pediatr Infect Dis. 1999;10(3):183-194.
27. Woods CR. Syphilis in children: congenital and acquired. Semin Pediatr Infect
Dis. 2005;16(4):245-257.
28. Department of Health and Human services Centers for Disease Control and
Prevention. Sexually Transmitted Disease Treatment Guidelines, 2010.
MMWR 2010;59(No. RR-12): 26-39.
35
Departemen of Health. J Epitrends. 2014;19(1):1-3.
31. Janier M, Hegyi V, Dupin N, Unemo M, Tiplica GS, Potocnik M, et al. 2014
European Guideline on the Management of Syphilis. J Eur Acad Dermatol
Venereol. 2014 Oct;28(1):1- 29.
32. Airlangga Universitas, ATLAS Penyakit Kulit dan Kelamin, SMF Penyakit
Kulit dan Kelamin Universitas Airlangga, Surabaya, 2007, hal 215 – 220.
36