Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

DERMATITIS ATOPIK &


DERMATITIS KONTAK IRITAN e.c SABUN KODOK – e.c SABUN DETTOL

Pembimbing :

dr. Sylvia Marfianti, Sp.KK

Disusun Oleh:

Angga Putra Surya Rahmadhani

(22710075)

I Putu Wahyu Widnyana Yasa


(22710078)

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUD DR. MOH. SALEH KOTA PROBOLINGGO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA 2023

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

JUDUL

“DERMATITIS ATOPIK & DERMATITIS KONTAK IRITAN e.c SABUN


KODOK – e.c SABUN DETTOL”

Telah disetujui dan disahkan pada:

Hari :

Tanggal :

Mengetahui,

Dokter Pembimbing

dr. Sylvia Marfianti, Sp.KK

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat – Nya,
Sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “DERMATITIS
ATOPIK & DERMATITIS KONTAK IRITAN e.c SABUN KODOK – e.c SABUN
DETTOL”. Laporan Kasus ini penulis susun sebagai salah satu tugas kepaniteraan
Klinik SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSUD dr. Moh. Saleh Probolinggo.

Selama menyelesaikan Laporan Kasus ini penulis telah banyak menerima


arahan, bimbingan dan saran dari berbagai pihak serta fasilitas yang membantu
hingga akhir dari penulisan ini. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan trima kasih
yang sebesar – besarnya kepada :

1. dr. Sylvia Marfianti, Sp.KK sebagai dokter pembimbing SMF Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin di RSD dr. Moh. Saleh Probolinggo.
2. Teman – teman sejawat dan berbagai pihak yang telah membantu
menyelesaikan referat ini.

Penulis telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan laporan


kasus ini, namun penulis sadar bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu kritik dan saran akan penulis terima demi hasil makalah yang lebih baik.
Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.

Probolinggo, 15 Mei 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

COVER................................................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................ii

KATA PENGANTAR...........................................................................................iii

DAFTAR ISI......................................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR............................................................................................. v

DAFTAR TABEL ................................................................................................vi

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1

BAB II LAPORAN KASUS .................................................................................3

A. Identifikasi Pasien........................................................................................3

B. Anamnesis....................................................................................................3

C. Pemeriksaan Fisik........................................................................................4

D. Diagnosis......................................................................................................7

E. Diagnosis Banding.......................................................................................7

F. Tatalaksana...................................................................................................8

BAB III PEMBAHASAN .....................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Lesi pada wajah & leher pasien.............................................................5

Gambar 2 Lesi pada kedua tangan pasien..............................................................5

Gambar 3 Lesi pada Lengan kanan pasien.............................................................6

Gambar 4 Lesi pada lengan kiri pasien..................................................................6

Gambar 5 Lesi pada Kaki kanan Pasien.................................................................7

Gambar 6 Lesi pada Kaki kiri pasien.....................................................................7

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Diagnosis DA berdasarkan kriteria Hanifin-Rajka.................................11

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit kronik, inflamasi, yang ditandai

dengan lesi eksematosa gatal dengan episode eksaserbasi dan remisi. DA paling

sering terjadi pada bayi dan anak-anak. Patogenesisnya diduga sebagai interaksi

faktor genetik, disfungsi imun, disfungi sawar epidermis, dan peranan lingkungan

serta agen infeksius. Tiga fase DA yaitu fase bayi, anak-anak, dan dewasa dengan

distribusi lesi yang khas untuk setiap fase (Boodiarja, Siti Aisah. 2018).

Di negara berkembang, 10-20% anak menderita dermatitis atopik dan 60%

diantaranya menetap sampai dewasa. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia,

dan negara industri lain, prevalensi DA pada anak mencapai 10-20%, sedangkan pada

dewasa kira-kira 1-3%. Di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah,

prevalensi DA jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita DA daripada pria

dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi DA,

misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan meningkat,

migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya penggunaan antibiotik, berpotensi

menaikkan jumlah penderita DA (Boodiarja, Siti Aisah. 2018).

Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah peradangan non imunologis pada kulit

(epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap pengaruh faktor ekstrinsik dan/atau

intrinsik yang bersentuhan langsung dengan tubuh. DKI dapat terjadi akibat paparan

bahan kimia yang menimbulkan kelainan klinis berupa eritema multiforme (eritema,

edema, papula, folikel, sisik, likenifikasi) dan pruritus (Sularsito, Sri Adi. Djuanda,

Suria. 2013).

Kasus DKI banyak disebabkan oleh paparan iritan berupa bahan kimia atau
1
pelarut. Peradangan dapat terjadi setelah satu atau paparan yang berulang. Kelainan

kulit yang terjadi tergantung pada molekul, kelarutan dan konsentrasi bahan paparan,

serta waktu kontak. DKI kumulatif biasanya disebabkan oleh iritasi lemah (seperti air,

sabun, deterjen, dll) dengan paparan berulang kali. Gangguan kulit baru muncul

setelah berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun.

Oleh karena itu, waktu dan urutan paparan adalah faktor yang paling penting

(Sularsito, Sri Adi. Djuanda, Suria. 2013).

Berikut ini kami laporkan kasus Dermatitis atopik dan Dermatitis iritan e.c

sabun kodok – e.c sabun dettol pada seorang pasien perempuan berusia 43 tahun di

poli kulit dan kelamin RSUD dr. M.Saleh Kota Probolinggo.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identifikasi Pasien

Nama : Ny. Mursida

Umur : 43 Tahun

Jenis Kelamin :Wanita

Alamat :Probolinggo

Suku :Madura

No. Register :xxxxx

Tgl. Pemeriksaan : 10 Mei 2023

B. Anamnesis

1. Keluhan Utama

Gatal di seluruh tubuh

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan gatal di hampir seluruh tubuh dirasakan sejak kurang lebih

satu bulan yang lalu. Gatal disertai bercak kemerahan yang awalnya muncul di

tangan, kemudian menyebar ke kaki dan wajah. Gatal yang dirasakan pasien

terus-menerus, gatal makin bertambah bila berkeringat dan pada malam hari.

riwayat penggunaan sabun kodok dan sabun Dettol namun setelah pemakaian

pasien merasakan perih dan panas pada area munculnya bercak.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

3
Pasien tidak pernah mengalami sakit yang sama

DM (-) HT (-) Asma (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Dari keluarga tidak ada yang sakit seperti yang dialami oleh pasien.

5. Riyawat Penggunaan Obat

Pasien tidak menkonsumsi obat

6. Riwayat Atopi

Memiliki riwayat atopi bersin-bersin saat cuaca dingin ( Rhinitis Alergi).

7. Riwayat Alergi

Memiliki alergi pada dingin, tidak ada alergi makanan

8. Riwayat psikis

Pasien mudah cemas dan banyak pikiran

C. Pemeriksaan Fisik

1. Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

GCS : 4-5-6

Hygine : Baik

2. Status Dermatologis

L : Leher ,Wajah

4
D : Terlokalisir

R: Plak eritema berbatas tegas bentuk irreguler dengan di atasnya terdapat

skuama tipis transparan.

Gambar 1. Lesi pada wajah dan leher pasien

L : Tangan kiri, Tangan kanan , Lengan kiri, Lengan kanan

D : Terlokalisir

R: Plak eritema berbatas tegas bentuk irreguler di atasnya terdapat skuama

tipis treansparan.

5
Gambar 2. Lesi pada kedua tangan pasien

Gambar 3. Lesi pada lengan kanan pasien

6
Gambar 4. Lesi pada lengan kiri pasien

L : Kaki kanan dan Kaki kiri

D : Terlokalisir

R: Plak eritema berbatas tegas, bentuk irreguler di atasnya terdapat skuama

tebal berwarna putih likenifikasi (+) Erosi (+) Eskoriasi (+)

Gambar 5. Lesi pada kaki kanan pasien

7
Gambar 6. Lesi pada kaki kiri pasien

D. Diagnosis Banding

a. Dermatitis Atopik

b. Dermatitis Kontak Iritan e.c sabun kodok – e.c sabun dettol

c. Liken simpleks Kronis

d. Dermatitis seboroik

E. Diagnosis

Dermatitis Atopik + Dermatitis kontak Iritan kronis e.c Sabun kodok – e.c sabun

dettol

F. Tatalaksana

1. Medikamentosa

 Metyl Prednisolon Tab 2 x 8mg

 Ceterizine Tab 1 x 10mg

 Urea 10% cream 2 dd ue

8
 Dexosimethasone 0,25% 2 dd ue

2. Non Medikamentosa

 Mehentkan penggunaan sabun kodok dan sabun dettol

 Tidak menggaruk karena dapat memperburuk keadaan

 Hindari stress

 Istirahat yang cukup

 Jaga kebersihan lingkungan personal hygiene

 Rutin kontrol ke dokter kulit

9
BAB III

PEMBAHASAN

Dermatitis atopik (DA) adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis

residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama wajah pada

bayi (fase infantil) dan bagian fleksural ekstremitas (pada fase anak), sering

berhubungan dengan peningkatan kadar igE dalam serum dan riwayat atopik pada

keluarga atau penderita (Boodiarja, Siti Aisah. 2018). Pada pasien didapatkan keluhan

pasien datang dengan rasa gatal pada tubuh bagian tangan, kaki, leher, dan wajah

serta pasien mengatakan mempunyai riwayat atopi rhinitis alergi.

Wanita lebih banyak menderita DA daripada pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai

faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi DA, misalnya jumlah keluarga

kecil, pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota,

dan meningkatnya penggunaan antibiotik, berpotensi menaikkan jumlah penderita

DA. Sedangkan rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga,

urutan lahir makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan

melindungi kemungkinan timbulnya DA pada kemudian hari (Boodiarja, Siti Aisah.

2018). Pasien menyangkal pernah mengalami hal serupa sebelumnya.

Dermatitis Atopik cenderung diturunkan, lebih dari seperempat anak dari

seorang ibu yang menderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan 3 bulan

pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih separuh jumlah anak akan

mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua

orang tua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita

DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila DA yang dialami berlanjut hingga masa
10
dewasa, maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira

50% (Boodiarja, Siti Aisah. 2018). Pada pasien mengatakan memiliki Riwayat atopi.

Berbagai faktor interaksi dalam pathogenesis DA, misalnya faktor genetik,

lingkungan, sawar kulit, farmakologik, dan imunologik. Konsep dasar terjadinya DA

adalah melalui reaksi imunologik, yang diperantarai oleh sel-sel yang berasal dari

sumsum tulang. Faktor psikologis dan hygiene dapat merupakan penyebab atai

sebagai dampak DA. Tingkat gangguan psikis pada DA tergolong tinggi, antara lain

rasa cemas, stress dan depresi. Rasa gatal yang hebat memicu garukan yang terus

menerus sehingga menyebabkan kerusakan kulit, cemas bertambah ketika pasien

bertemu dengan saudara, teman. Pasien DA bersifat temperamental, mudah marah,

agresif, frustasi, dan sulit tidur (Boodiarja, Siti Aisah. 2018). Pada pasien didapatkan

Riwayat atopi rhinitis alergi, pasien juga mengatakan sering banyak pikiran (stres),

rasa gatal yang dirasakan pasien sering terjadi apabila berkeringat dan pada malam

hari yang menyebabkan pasien menggaruk secara terus menerus.

11
Tabel 1. Diagnosis DA berdasarkan kriteria Hanifin-Rajka

Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan kriteria Hanifin-Rajka, yaitu

ditemukan 3 kriteria mayor dan sedikitnya 3 kriteria minor. dimana bedasarkan hasil

pemeriksaan klinis dan fisik yang diderita pasien telah telah memenuhi kriteria

tersebut (Boodiarja, Siti Aisah. 2018). Penegakkan diagnosis DA pada pasien

didapatkan kriteria mayor pasien mengalami gatal, distribusi dan morfologi yang

khas, serta riwayat rhinitis alergi pasien. Dan kriteria minor kulit kering, kulit kering

berskuama, dan gatal saat berkeringat. Sehingga pada pasien didapatkan tiga kriteria

mayor dan tiga kriteria minor.


12
Tatalaksana DA yang efektif meliputi kombinasi penghindaran pencetus,

pengurangan gatal menjadi seminimal mungkin, perbaikan sawar kulit, dan obat anti

inflamasi Untuk tatalaksana yang optimal, dibutuhkan kerja sama yang baik tidak

hanya oleh pasien tetapi juga orang-orang terdekat pasien.

Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan nonimunologik

pada kulit yang disebabkan oleh kontak dengan faktor eksogen maupun endogen.

Faktor eksogen berupa bahan-bahan iritan (kimiawi, fisik, maupun biologik) dan

faktor endogen (genetik, jenis kelamin, usia, ras) memegang peranan penting pada

penyakit ini (Sularsito, Sri Adi. Djuanda, Suria. 2013).

Dermatitis kontak iritan secara signifikan lebih sering terjadi pada wanita

dibandingkan pada pria. Tingginya frekuensi dermatitis pada wanita dibandingkan

dengan pria disebabkan oleh faktor lingkungan, bukan faktor genetik. Dermatitis

kontak iritan akibat kerja mempengaruhi wanita hampir dua kali lebih sering daripada

pria, berbeda dengan penyakit akibat kerja lainnya yang lebih banyak menyerang

pria. Kasus DKI banyak disebabkan oleh paparan iritan berupa bahan kimia atau

pelarut. Peradangan dapat terjadi setelah satu atau paparan yang berulang. Kelainan

kulit yang terjadi tergantung pada molekul, kelarutan dan konsentrasi bahan paparan,

serta waktu kontak (Sularsito, Sri Adi. Djuanda, Suria. 2013).

DKI kumulatif biasanya disebabkan oleh iritasi lemah (seperti air, sabun,

deterjen, dll) dengan paparan berulang kali. Gangguan kulit baru muncul setelah

berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Oleh

karena itu, waktu dan urutan paparan adalah faktor yang paling penting. DKI kronis

adalah DKI yang paling umum. Gejalanya meliputi kulit kering, eritema dan skuama,

yang secara bertahap menjadi hiperkeratosis dan fisura dapat terbentuk dengan
13
kontak terus-menerus. Mengatasi dermatitis kontak tidak selalu mudah, karena faktor

penyebab setiap dermatitis banyak dan sering tumpang tindih. Menghindari kontak

kulit dengan bahan iritan adalah strategi pengobatan utama untuk DKI (Sularsito, Sri

Adi. Djuanda, Suria. 2013).

Dermatitis kontak iritan lebih banyak tidak terdeteksi secara klinis disebabkan

karena penyebabnya yang bermacam-macam dan interval waktu antara kontak

dengan bahan iritan serta munculnya ruam tidak dapat diperkirakannya. Dermatitis

muncul segera setelah pajanan dan tingkat keparahannya ditentukan berdasarkan

kuantitas, konsentrasi, dan lamanya terpajan oleh bahan iritan tersebut(Sularsito, Sri

Adi. Djuanda, Suria. 2013). Pada pasien didapatkan dari amanesis pasien

menggunakan sabun kodok dan dettol, pasien merasakan rasa perih dan panas setelah

pemakaian sabun kodok dan dettol tersebut. Didapatkan kulit kering serta skuama

tipis transparan pada tangan, leher, kaki, dan wajah.

Penatalaksanaan dari dermatitis kontak iritan dapat dilakukan dengan

melakukan dengan memproteksi atau menghindakan kulit dari bahan iritan. Selain

itu, prinsip pengobatan penyakit ini adalah dengan menghindari bahan iritan,

melakukan proteksi (seperti penggunaan sarung tangan), dan melakukan substitusi

dalam hal ini, mengganti bahan-bahan iritan dengan bahan lain (Sularsito, Sri Adi.

Djuanda, Suria. 2013).

Pada pasien harus menghindari penggunaan sabun kodok yang merupakan

bahan iritan. Selain itu, beberapa strategi pengobatan yang dapat dilakukan dengan

memberikan glukokortikoid topikal dan per oral, antibiotik dan antihistamin,

pelembab yang digunakan 3-4 kali.

Terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien ini berupa terapi topikal
14
dan sistemik. Obat topikal yang diberikan kortikoseroid Desoksimetason 0,25%

cream dengan pemakaian 2 kali sehari dan jua diberikan pelembab berupa Urea 10%

cream dengan pemakaian 2 kali sehari. Pada pasien juga diberikan pengobatan

sistemik yaitu cetirizine 10 mg 2 kali sehari dan Metilprednisolon tablet 8 mg,

diminum 2 tablet pada pagi hari. Pemberian cetirizine untuk mengurangi rasa gatal

pada kasus gejala dermatitis yang disebabkan oleh bahan iritan tersebut. Antihistamin

diberikan untuk mendapatkan efek sedatif guna mengurangi gejala gatal. Prognosis

pada pasien ini baik apabila tidak terpapar bahan iritan dan pengobatan diberikan

secara teratur namun prognosisnya akan menjadi kurang baik jika bahan iritan

penyebab dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan dengan sempurna.

Selain itu perlu dilakukanterapi non medikamentosa dengan cara:

 Penjelasan kepada pasien, keluarga, dan yang merawat mengenai

penyakit, terapi, edukasi cara merawat kulit, menghindari

penggunaanobat-obat tanpa sepengetahuan dokter.

 Menggunakan sabun netral, pH rendah, hipoalergenik, berpelembap

 Menghindari faktor pencetus: berdasarkan riwayat (hahan iritan, bahan

alergen, suhu ekstrim, makanan, stres)

 Tidak menggaruk lesi agar tidak memperparah keadaan

 Menjaga kebersihan dan self hygine

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Boodiarja, Siti Aisah. 2018. Dermatitis Atopik. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,

editor.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, p. 167-183.

2. Sularsito, Sri Adi. Djuanda, Suria. 2013. Dermatitis Atopik. In: Djuanda A, Hamzah

M. AisuhS, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 6th ed. Jakarta: Badan Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: p. 138-147

3. Eric L. Simpson. Donald Y. M. Leung. Elchenfield Lawrence F. Boguniewicz, Mark.

2019. Dermatitis Atopic. Fitzpatricks's Dermatology In General Medicine. 9th ed.

New York: The McGraw-Hill:p. 363-381.

4. Menaldi SI.SW, Novianto F. Sampurna AT. Dermatitis Kontak. Atlas Berwama dan

Sinopsis Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI; 2015. p: 171-172.

16

Anda mungkin juga menyukai