Anda di halaman 1dari 36

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2023


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

DERMATITIS ATOPIK

Disusun Oleh :

Muh. Ridzky Afdal Massalinri

111 2021 2140

Pembimbing :

Dr. dr. Nurelly N. Waspodo, Sp.KK, FINSDV,FAADV

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KULIT & KELAMIN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Muh. Ridzky Afdal Massalinri
NIM : 111 2021 2140
Universitas : Universitas Muslim Indonesia
Judul : Dermatitis Atopik
Telah menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Dermatitis Atopik”
serta telah disetujui dan telah dibacakan dihadapan supervisor
pembimbing dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Muslim
Indonesia

Menyetujui,
Makassar, April 2023

Dokter Pembimbing Klinik, Penulis,

Dr. dr. Nurelly N. Waspodo, Muh. Ridzky Afdal Massalinri


Sp.KK, FINSDV,FAADV

i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa


karena dengan rahmat,karunia,serta taufik dan hidayah-Nyalah
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan topik
“Dermatitis Atopik” disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan
studi program profesi dokter bagian Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin di
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.
Keberhasilan penyusunan laporan kasus ini adalah berkat
bimbingan,kerja sama,serta bantuan moril dan materil dari berbagai
pihak yang telah diterima penulis sehingga penyusunan laporan kasus
ini dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan yang
setinggi-tingginya secara tulus dan ikhlas kepada Dr. dr. Nurelly N.
Waspodo, Sp.KK, FINSDV,FAADV pembimbing yang telah ikhlas
memberikan petunjuk dan saran serta nasehat penyusunan laporan
kasus ini
Semoga amal dan budi baik dari semua pihak mendapatkan
pahala dan rahmat yang melimpah dari Allah SWT. Sebagai manusia
biasa,penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan baik dalam
penguasaan ilmu maupun pengalaman, sehingga laporan kasus ini
masih jauh dari kesempurnaan. Untuk saran dan kritik yang sifatnya
membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi
penyempurnaan karya tulis ilmiah ini.
Aamiin ya robbal alamin. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Makassar, April 2023

Muh. Ridzky Afdal Massalinri


BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis Atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi kulit (juga

disebut eksim pada beberapa negara) yang paling sering dijumpai pada

bayi dan anak. Penyakit ini dimulai pada usia bayi yang dapat berlanjut

sampai usia dewasa dengan kecenderungan untuk menderita asma,

rhinitis atau keduanya dikemudian hari yang dikenal dengan istilah atopic

march.1

Penyakit ini dinamakan dermatitis atopik oleh karena kebanyakan

penderitanya memberikan reaksi kulit yang didasari oleh Ig E.2 Penyakit ini

tidak dapat disembuhkan 100% dan sering mengalami eksaserbasi, serta

menimbulkan masalah bagi orang tua dan dokter.3 Banyak faktor yang

berperan pada DA, baik faktor eksogen atau endogen maupun kombinasi

keduanya.1,3

Faktor genetic merupakan salah satu faktor yang berperan pada

DA.Faktor eksogen seperti makanan dan alergen hirup (aeroalergen)

banyak dilaporkan sebagai pencetus timbulnya DA. Masih terdapat

perbedaan pendapat mengenai makanan sebagai penyebab tetapi

terdapat bukti bahwa bila makanan dihindarkan maka gejala dermatitis

membaik.3
Alergen hirup seperti tungau debu rumah juga berperan dalam

patogenesis DA terutama pada anak, hal ini berdasarkan beberapa

pengamatan klinis, uji kulit dan kadarIg E spesifik yang tinggi serta

terdapat perbaikan klinis DA setelah penghindaran tungau debu rumah.

Alergen makanan lebih berpengaruh pada usia bayi kurang dari 1 tahun

sedangkan alergen hirup pada usia diatas dua tahun.3


BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

1) Nama :An. AR

2) Jenis Kelamin : perempuan

3) Usia : 9 tahun

4) Pekerjaan :pelajar

5) Alamat :-

6) No. RM :-

2.2 Anamnesis

1) Keluhan Utama : gatal

2) Anamnesis Terpimpin :

Seorang anak perempuan, usia 9 tahun dating dengan

keluhan gatal pada kedua siku tangan, lipat tangan, kedua

lutut, lipat lutut, serta bokong sejak 2 minggu yang lalu, gatal

yang dirasa disertai dengan kulit menjadi kering, berwarna

kehitaman, dimana awalnya 1 bulan yang lalu rasa gatal

yang timbul dirasakan pada kedua siku tangan, semakin

lama rasa gatal dirasakan pada area kedua lipat tangan,

kedua lutut, lipat kaki, serta bokong, sehingga pasien selalu

menggaruk dan menimbulkan warna kemerahan sampai

menjadi kehitaman, Riwayat asma (+), Riwayat penyakit

yang sama dalam keluarga (+), yaitu kakak kandung pasien,


Riwayat pengobatan sebelumnya (+), pasien pernah berobat

ke dokter spesialis kulit dan diberi obat minum (lupa nama

obat), dan obat salep (hidrokortison) yang dioles 2 x 1

sehari, Riwayat kebiasaan, pasien sering menggaruk

kulitnya jika gatal sampai menimbulkan luka.

2.3 Pemeriksaan Fisik dan Status Dermatologi

Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan Umum : sakit ringan

2) Kesadaran : Compos Mentis

3) Tinggi Badan :-

4) Berat Badan : 20 kg

5) IMT :-

6) Tanda-tanda vital :

a) TD : - mmHg

b) Denyut Nadi : 80x/ menit

c) Pernapasan : 20x/ menit

d) Suhu : 36 C

e) SpO2 :-
Status Dermatologis

1) Distribusi : Generalisata

2) Lokasi : Region ekstremitas superior et inferior

3) Bentuk : Reguler

4) Ukuran : Miliar, Lentikular

5) Effloresensi : papul – papul hiperpigmentasi, ekskoriasi

2) Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan prick test : negatif

3) Diagnosa

Dermatitis atopik

4) Terapi

1) Cetrizine 5 mg/ml 2 x 1
2) Mometasone furoat cream 0,01% dioles 2 x 1 sehari

3) Emolien

5) Prognosis

1) Quo ad Vitam : bonam

2) Quo ad Functionam : bonam

3) Quo ad Sanationam : bonam

6) Follow up

Pada kontrol pertama hari kedelapan, tampak lesi baru pada kulit. Status

dermatologis pada regio colli dekstra, tampak effloresensi plak likenifikasi,

papul-papul hiperpigmentasi (gambar 5), regio patella bilateral, tampak

effloresensi papul-papul hiperpigmentasi, pustul, xerosis, krusta (gambar

7), pada regio poplitea bilateral, tampak effloresensi plak likenifikasi, papul

hiperpigmentasi, pustul, xerosis, dan krusta, pada regio gluteus, tampak

effloresensi papul-papul hiperpigmentasi, pustul, dan xerosis (gambar 6.).

Pengobatan pada pasien diberikan kompres nacl 0, 9% satu hari dua kali

kompres selama 5-10 menit, sirup cefadroxil 125 mg/5 ml 3x1, sirup

cetirizine 5 mg/ml 2x1 (jika gatal), mupirocin ointment 5 gr dioles dua kali

sehari (dioles pada daerah pustul), mometason furoat 0, 01% cream, serta

emolien dioles pada tubuh yang kering.


Pada kontrol kedua kelimabelas, sudah tidak ditemukan lesi, Status

dermatologis pada regio colli dekstra, patella, dan poplitea sudah tidak

ditemukan pustul, likenifikasi menipis, dan keluhan gatal berkurang

(gambar 8, 9, dan 10), Pengobatan pada pasien sirup cefadroxil 125

mg/5ml dihentikan, sirup cetirizine 5mg/ml diberikan jika gatal, salep


mupirocin ointment 5 gr dihentikan dan mometasone furoat 0, 01% cream

dan emolien tetap diberikan.


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 . Definisi1,2

Dermatitis Atopik adalah penyakit kulit yang ditandai reaksi

inflamasi dengan gejala papul, vesikel, krusta, skuama, dan pruritus

hebat yang bersifat kronik residif yang didasari oleh faktor herediter

dan lingkungan. Bila bersifat residif biasanya disertai infeksi,

sebagai akibat alergi, faktor psikogenik, atau akibat bahan kimia

atau iritan.

3.2 Epidemiologi14
Estimasi terbaru mengindikasikan bahwa DA adalah problem

kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia, dengan prevalensi

pada anak 10-20% di Amerika, Eropa Utara dan Barat, urban

Afrika, Jepang, Australia dan negara industri lain. Prevalensi DA

pada dewasa berkisar 1-3%. Menariknya, prevalensi DA jauh lebih

kecil di negara agrikultural seperti Cina, EropaTimur, rural Afrika,

dan Asia. Rasio wanita/pria adalah 1.3 : 1.0. Beberapa faktor risiko

potensial yang mendapat perhatian karena disertai dengan

peningkatan DA termasuk keluarga kecil, meningkatnya

penghasilan dan pendidikan baik pada kulit putih maupun hitam,

migrasi dari lingkungan pedesaan ke kota, meningkatnya

pemakaian antibiotik, semuanya dikenal sebagai Western life-style.

Hal tersebut menghasilkan hygiene hypothesis, yaitu bahwa


penyakit alergi mungkin dapat dicegah dengan infeksi pada awal

masa anak yang ditularkan melalui kontak tidak higienis dari

saudaranya.

3.3 . Etiologi dan Patogenesis11,13


DA adalah penyakit kulit inflamatori yang sangat gatal yang

terjadi akibat interaksi komplek antar gen-gen suseptibel

(mengakibatkan tidak efektifnya sawar kulit, kerusakan sistem imun

alami, dan meningkatnya respon imunologik terhadap alergen dan

antigen mikrobial). Menurunnya fungsi sawar kulit akibat

downregulasi gen cornified envelope (filaggrin dan loricrin),

penurunan level ceramid, peningkatan level enzim proteolitik

endogen, dan peningkatan kehilangan cairan trans-epidermal,

selain tidak ada inhibitor terhadap protease endogen.

Penambahan sabun dan detergen ke kulit akan

meningkatkan pH, yang berakibat meningkatkan aktivitas protease

endogen, yang selanjutnya menambah kerusakan fungsi sawar

kulit. Sawar epidermis dapat pula dirusak oleh pajanan protease

eksogen dari house dust mite dan S aureus. Perubahan epidermis

di atas berkontribusi meningkatkan absorpsi alergen dan kolonisasi

mikrobial ke dalam kulit. Menurunnya fungsi sawar kulit dapat

bertindak sebagai lokasi untuk sensitisasi alergen dan merupakan

predisposisi bagi anak untuk mendapat alergi pernafasan di

kemudian hari.
Imunopatologi DA

Kulit pasien DA yang bebas lesi klinis menampakkan

hiperplasia epidermal ringan dan infiltrat perivaskuler yang jarang.

Lesi kulit eksematosa akut ditandai edema interseluler nyata

(spongiosis) epidermis. Sel Langerhans (LC) dan makrofag dalam

lesi kulit dan sedikit dalam kulit tanpa lesi, menampakkan molekul

IgE, selain didapati pula sedikit infiltrat sel T dalam epidermis. Di

dalam dermis dari lesi akut, tampak influx sel T. Infiltrat limfositik

tersebut terdiri terutama atas sel T memori aktif yang membawa

CD3, CD4 dan CD45 RO (bukti dari pajanan sebelumnya dengan

antigen). Eosinofil jarang ditemukan pada DA akut, sedangkan sel

mast dalam jumlah normal dalam stadium degranulasi berbeda.

Lesi kronik likenifikasi ditandai oleh epidermis hiperplastik

dengan pemanjangan rete ridges, hiperkeratosis jelas, dan

spongiosis minimal. Terdapat peningkatan sel LC yang membawa

IgE dalam epidermis, dan makrofag mendominasi infiltrate dermis.

Jumlah sel mast meningkat dan umumnya dalam stadium

degranulasi penuh. Sel netrofil tidak ditemui dalam lesi kulit DA

walaupun terjadi peningkatan kolonisasi dan infeksi S aureus.

Eosinofil meningkat dalam lesi kulit DA kronik, dan sel ini

mengalami sitolisis dan melepas kandungan protein granul ke

dalam dermis atas dari kulit berlesi (major basic protein dengan

pola fibriler). Eosinofil diduga berkontribusi dalam inflamasi alergik


dengan mensekresikan sitokin dan mediator yang meningkatkan

inflamasi alergik dan menginduksi kerusakan jaringan melalui

produksi reactive oxygen intermediate (ROI) dan pelepasan protein

toksik dari granul.

Sitokin dan kemokin

Sitokin TNF-α dan IL-1 dari keratinosit, sel mast, dan sel

dendritik (DC) mengikat reseptor pada endotel vaskuler,

mengaktifkan jalur sinyal, yang berakibat pada induksi molekul

adesi sel endotel vaskuler. Kejadian di atas, mengawali proses

tethering, aktivasi, dan adesi sel radang ke endotel vaskuler

dilanjutkan dengan ekstravasasi sel radang ke dalam kulit. Setelah

berada dalam kulit, sel radang merespon chemotactic gradients

oleh pengaruh kemokin yang muncul dari lokasi kerusakan atau

infeksi.

DA akut disertai dengan produksi sitokin dari sel Th2, IL-4

dan IL-13, yang memediasi pergeseran isotip imunoglobulin ke

sintesis IgE, dan upregulasi ekspresi molekul adesi pada sel

endotel. Sebaliknya, IL-5 berperan dalam perkembangan dan

kelangsungan hidup eosinofil, dan hal ini dominan pada DA kronik.

Produksi GM-CSF yang meningkat akan menghambat apoptosis

monosit, sehingga berkontribusi dalam persistensi DA. Bertahannya

DA kronik melibatkan pula sitokin sel Th1-like, IL-12 dan IL-18, IL-

11, dan TGF-β1.


Kemokin spesifik kulit, cutaneous T cell-attracting

chemokine (CTACK), CC chemokine ligand 27 (CCL27), di

upregulate pada DA dan berfungsi menarik sel T yang memiliki CC

chemokin receptor 10 (CCR10) dan CLA+ ke dalam kulit. Sel T

CLA+ dapat pula mengikat CCL17 pada endotel vaskuler dari

venule kulit. Pengerahan selektif sel Th2 yang mengekspresikan

CCR4, dimediasi oleh kemokin dari makrofag dan sitokin dari timus

dan activation-regulated cytokine. Selain itu, kemokin fractalkine,

inducible protein 10 (IP 10), dan monokin diupregulasi secara kuat

pada keratinosit dan mengakibatkan migrasi sel Th1 ke arah

epidermis, terutama pada DA kronik. Peningkatan ekspresi CC

chemokine, macrophage chemoattractant protein-4 (MCP-4),

eotaxin, dan regulated on activation normal T-cell expressed and

secreted (RANTES) mempunyai andil untuk infiltrasi makrofag,

eosinofil, dan sel T ke dalam lesi kulit DA akut maupun kronik.

Tipe sel kunci dalam kulit DA

Sel penyaji antigen. Kulit DA mengandung 2 jenis DC

yang membawa reseptor IgE berafinitas tinggi, yaitu sel LC dan

inflammatory dendritic epidermal cells (IDEC), yang berperan

penting dalam presentasi alergen kulit kepada sel Th2 sebagai

penghasil IL-4. Sel LC yang membawa reseptor IgE, hanya didapati

pada lesi kulit pasien DA. Sel LC mampu menangkap dan

menginternalisasi alergen, dan selanjutnya memproses serta


mempresentasikannya kepada sel T. Sel LC yang telah menangkap

alergen, selain mengaktifkan sel Th2 memori yang telah berada

dalam kulit atopik, juga bermigrasi ke kelenjar getah bening (KGB)

untuk menstimulasi sel T naïve untuk menjadi sel Th2. Stimulasi

FcεRI pada permukaan sel LC oleh alergen akan menginduksi

pelepasan sinyal kemotaktik dan pengerahan prekursol IDEC dan

sel T. Stimulasi FcεRI pada IDEC menyebabkan pelepasan sinyal

pro-inflamasi dalam jumlah besar, yang berkontribusi dalam

amplifikasi respon imun alergik. Didapati pula plasmacytoid DC

(pDC) dalam jumlah kecil dalam lesi kulit DA. Sel ini yang terdapat

dalam sirkulasi pasein DA membawa varian trimerik FcεRI pada

permukaannya, yang diikat oleh IgE. Fungsi imun pDC yang

mengalami modifikasi pada DA, berkontribusi pada defisiensi IFN

tipe I, sehingga meningkatkan kerentanan pasien DA terhadap

infeksi virus kulit seperti eksema herpetikum.

Sel T. sel Th2 memori skin homing, berperan penting dalam

pathogenesis DA, terutama selama fase akut. Selama fase kronik,

terjadi pergeseran ke sel Th1 yang menghasilkan IFN-γ. Sel Th2-

like menginduksi aktivasi dan apoptosis keratinosit. Selain kedua

jenis sel di atas, didapati pula subset sel T, yaitu sel T regulator

(Treg) yang mempunyai fungsi imunosupresi dan mempunyai profil

sitokin yang berbeda dari sitokin sel Th1 dan Th2. Sel Treg mampu

menghambat perkembangan sel Th1 dan Th2. Bila ada


superantigen stafilokokus, fungsi sel Treg berubah yaitu

meningkatkan inflamasi kulit.

Keratinosit. Keatinosit memainkan peran kritis dalam

meningkatkan inflamasi kulit atopik. Keratinosit DA mensekresikan

profil sitokin dan kemokin unik setelah terpajan sitokin proinflamasi,

di antaranya yaitu RANTES setelah stimulasi TNF-α dan IFN-γ. Sel

tersebut merupakan pula sumber penting dari thymic stromal

lymphopoietin (TSLP), yang mengaktifkan sel DC untuk aktifkan sel

T naive menghasilkan IL-4 dan IL-13 (untuk diferensiasi sel Th2).

Keratinosit berperan pula pada respon imun alami melalui

ekspresi Toll-like receptor (TLR), produksi sitokin pro-inflamasi, dan

peptid antimikrobial (human β defensin dan cathelicidins) sebagai

respon terhadap kerusakan jaringan atau invasi mikroba. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa keratinosit DA menghasilkan peptid

antimicrobial dalam jumlah kecil sehingga menjadi predisposisi

untuk mengalami kolonisasi dan infeksi S aureus, virus dan jamur.

Defek ini diperoleh akibat pengaruh sitokin sel Th2 (IL-4, IL-10, IL-

13) yang menghambat TNF dan IFN-γ (yang berfungsi menginduksi

produksi peptid antimikrobial).

Faktor genetik

DA adalah penyakit yang diturunkan secara familial dengan

pengaruh kuat ibu. Terdapat peran potensial dari gen barier

kulit/diferensiasi epidermal dan gen respon imun/host defence.


Hilangnya fungsi akibat mutasi protein sawar epidermal,

filaggrin, terbukti merupakan factor predisposisi utama DA. Gen

filaggrin terdapat pada kromosom 1q21, yang mengandung gene

(loricrin dan S100 calcium binding proteins) dalam komplek diferensiasi

epidermal, yang diketahui diekspresikan selama diferensiasi terminal

epidermis. Analisis DNA microarray membuktikan adanya upregulasi

S100 calcium binding proteins dan downregulasi loricrin dan

filaggrin pada DA. Variasi dalam gen SPINK5 (yang diekspresikan

dalam epidermis teratas) yang menghasilkan LEK1, menghambat 2

serine proteases yang terlibat dalam skuamasi dan inflamasi (tryptic

dan chymotryptic enzymes), mengakibatkan gangguan keseimbangan

antara protease dan inhibitor protease. Ketidakseimbangan tersebut

berkontribusi dalam inflamasi kulit pasien DA.

Produk gen yang terlibat dalam patologi DA, terdapat pada

kromosom 5q31-33. Kromosom ini mengandung gen sitokin yang

berhubungan secara fungsional, yaitu IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, dan

GM-CSF (diekspresikan oleh sel Th2).

Peranan pruritus pada DA

Keluhan gatal adalah gambaran menonjol dari DA,

dimanifestasikan sebagai hiperreaktivitas kulit dan garukan setelah

pajanan alergen, perubahan kelembaban, keringat berlebihan, dan

iritan konsentrasi rendah. Penanganan pruritus penting karena

kerusakan mekanis akibat garukan dapat menginduksi pelepasan


sitokin proinflamasi dan kemokin, menyebabkan vicious scratch-itch

cycle yang memperparah lesi kulit DA. Mekanisme pruritus pada DA

belum banyak diketahui. Histamin yang berasal dari sel mast bukan

penyebab eksklusif gatal pada DA, karena antihistamin tidak efektif

mengontrol gatal pada DA. Berdasarkan observasi, bahwa terapi

steroid topikal dan inhibitor kalsineurin efektif mengurangi gatal,

menunjukkan bahwa sel radang berperan penting pada pruritus.

Molekul yang dikaitkan dengan pruritus adalah sitokin IL-31 dari sel

T, neuropeptid, protease, eikosanoid, dan protein yang berasal dari

eosinofil.

3.4 Gejala Klinis dan Diagnosis11,12


Diagnosis DA didasarkan pada konstelasi gambaran klinis

(Tabel 1-1). DA tipikal mulai selama bayi. Kisaran 50% timbul pada

tahun pertama kehidupan dan 30% timbul antara 1-5 tahun.

Kisaran 50 dan 80% pasien DA bayi akan mendapat rhinitis

alergika atau asma pada masa anak.

Gambar 1.1 Dermatitis atopik pada bayi.


Lesi kulit

Keluhan gatal dapat intermiten sepanjang hari dan lebih parah

menjelang senja dan malam. Sebagai konsekuensi keluhan gatal

adalah garukan, prurigo papules, likenifikasi, dan lesi kulit

eksematosa. Lesi akut ditandai keluhan gatal intens, papul eritem

disertai ekskoriasi, vesikel di atas kulit eritem, dan eksudat serosa.

Lesi subakut ditandai papul eritem, ekskoriasi, skuamasi. DA kronik

ditandai oleh plakat kulit tebal, likenifikasi (accentuated skin

markings), dan papul fibrotik (prurigo nodularis).

Distribusi dan pola reaksi kulit bervariasi menurut usia pasien

dan aktivitas penyakit. Pada bayi, DA umumnya lebih akut dan

terutama mengenai wajah, scalp, dan bagian ekstensor

ekstremitas. Daerah diaper (popok) biasanya tidak terkena. Pada

anak yang lebih tua, dan pada yang telah menderita dalam waktu

lama, stadium penyakit menjadi kronik dengan likenifikasi dan

lokalisasi berpindah ke lipatan fleksura ekstremitas.

Gambar 1.2. Dermatitis atopik pada anak dengan likenifikasi pada


fosa antecubiti dan plakat ekzematosa generalisata.
Dermatitis atopik dikenal sebagai gatal yang menimbulkan

kelainan kulit dan bukan kelainan kulit yang menyebabkan rasa

gatal walaupun belum ada kesepakatan mengenai pendapat ini

dikarenakan dermatitis juga terjadi pada bayi yang belum

mempunyai mekanisme garuk gatal.2 Hanifin dan Lobitz (1977)

menegakkan beberapa kriteria yang sekarang dapat diterima

sebagai dasar untuk menegakkan diagnosa DA yang dibagi

menjadi kriteria mayor dan minor.

Tabel 1.1 Kriteria mayor dan minor dermatitis atopik


Major Minor characteristics (≥ 3)
characteristics ( ≥ 3)
1. Pruritus 1. Xerosis (dry skin) 14. Food intolerance/
2. Typical morphology 2. Accentuated lines or allergy
and distribution (ie, grooves below the 15. Immediate (type
flexural margin of the lower 1) skin test
lichenification in eyelid (Dennie- reactivity
older children; Morgan fold) 16. Susceptibility to
facial and extensor 3. Darkening beneath cutaneous
involvement in the eyes (allergic infection (eg,
infants and young shiners/Orbital with Staph
children) darkening) aureus, HSV,
3. Tencency toward 4. Facial pallor/facial other viruses,
chronic or erytherma warts,
chronically 5. Pityriasis alba molluscum,
relapsing dermatitis 6. Keratosis pilaris dermatophytes)
4. Personal or family 7. Ichthyosis vulgaris 17. Perifollicular
history of atopy (eg, 8. Hyperlinearity of accentuation
asthma, alergic palms and soles 18. Early age of
rhinitis, atopic 9. White onset
dermatitis dermographism 19. Impaired cell-
(white line appear on mediated
skin within 1 minute immunity
of being stroked with 20. Anterior neck
blunt instrument) folds
10. Conjunctivitis 21. Course
11. Keratoconus influenced by
12. Anterior environment/
subcapsular emotional factors
cataracts 22. Pruritus with
13. Elevated total sweating
serum IgE 23. Intolerance to
wool and lipid
solvents
24. Peripheral blood
eosinophilia
25. Hand and/or foot
dermatitis
26. Cheilitis
27. Nipple eczema

Tabel 1.2 Kriteria diagnostik dermatitis atopik pada bayi


Major features Minor features
1. Pruritic dermatitis 1. Xerosis/Ichthyosis/hyperlinear
2. Typical facial or palms
extensor eczematous 2. Perifollicular accentuation
or lichenified dermatitis 3. Chronic scalp scaling
3. Family history of atopy 4. Peri-auricular fissures
(asthma, allergic
rhinitis, Atopic
dermatitis)

3.5 . Penunjang Diagnosis2,5,6

Immunoglobulin

Kadar Ig E biasanya meningkat pada 80 sampai 90% penderita

DA. Peningkatan kadar Ig E erat hubungannya dengan tingkat


keparahan penyakit, dan tidak mengalami fluktuasi baik pada saat

eksaserbasi, remisi, ataupun sedang mendapat pengobatan. Kadar

Ig E ini biasanya akan kembali normal 6 sampai 12 bulan setelah

remisi. Beberapa tehnik pemeriksaan terhadap kadar Ig E ini dapat

dilakukan dengan metode ELISA (Enzyme-linked immunosorbent

assay), ataupun RAST (Radio allergosorbent test).

Uji tusuk (Skin Prick Test)

Merupakan uji kulit yang sering dilakukan pada anak yang

dicurigai menderita DA. Tempat uji adalah pada volar lengan bawah

dengan jarak 2 cm dari pergelangaan tangan dan lipat siku.Setelah

meletakkan alergen pada permukaan kulit kemudian kulit ditusuk

dengan kedalaman 1 mm dengan menggunakan lanset.Sebagai

kontrol positif digunakan histamin dan untuk kontrol negatif

digunakan larutan gliserin. Reaksi terhadap alergen dibaca 15

menit kemudian dan dikatakan positif bila dijumpai rasa gatal,

eritema dan urtikaria.

Uji tempel ( AtopyPatch Test)

Uji ini banyak digunakan untuk mengidentifikasi reaksi alergi

terhadap aeroalergen pada DA. Uji dilakukan selama masa remisi

penyakit. Sekitar 25 sampai 150 alergen pada plastik uji

ditempelkan pada punggung bagian atas penderita dengan


menggunakan bahan perekat yang hipoalergenik. Sebagai kontrol

positif di gunakan histamin sedangkan sebagai kontrol negatif

digunakan larutan salin. Hasil pembacaan dilakukan pada 48 jam,

72 jam dan 96 jam kemudian. reaksi dikatakan positif apabila

dijumpai eritema, papul, kulit terasa gatal, dan pada yang ekstrim

dapat dijumpai vesikel,reaksi seperti terbakar dan kulit melepuh.

Uji Eliminasi dan Provokasi

Uji ini biasanya dilakukan untuk mengidentifikasi reaksi alergi

terhadap makanan sebagai salah satu pencetus terjadinya

DA.Eliminasi makanan dilakukan selama tiga minggu sebelum

dilakukan uji provokasi. Uji provokasi makanan (food challenge)

dimulai dengan makanan yang paling tidak dicurigai akan

menimbulkan reaksi alergi. Bila setelah 1 minggu dijumpai gejala

alergi maka makanan tersebut dicurigai sebagai penyebab alergi

dan apabila dalam tiga kali provokasi di waktu yang berbeda

dijumpai reaksi yang sama maka makanan tersebut dinyatakan

definitif penyebab alergi.

3.6 Diagnosis Banding11,12

Dalam diagnosis banding, terdapat sejumlah penyakit kulit

inflamasi, imunodefisiensi, penyakit genetik, penyakit infeksi, dan

infestasi yang mempunyai gejala dan tanda yang sama dengan DA,

yang harus dieksklusi sebelum diagnosis DA dibuat, yaitu:


1. Dermatitis kontak (alergik dan iritan)

2. Dermatitis seboroik

3. Skabies

4. Psoriasis

5. Iktiosis vulgaris

6. Dermatofitosis

7. Eczema asteatotik

8. Liken simplek kronikus

9. Dermatitis numularis

3.7 Tatalaksana11,14
Untuk memperoleh keberhasilan terapi DA, diperlukan

pendekatan sistematik meliputi hidrasi kulit, terapi farmakologis,

dan identifikasi serta eliminasi factor pencetus seperti iritan,

alergen, infeksi, dan stressor emosional. Selain itu, rencana terapi

harus individualistik sesuai dengan pola reaksi penyakit, termasuk

stadium penyakit dan faktor pencetus unik dari masing-masing

pasien.

Terapi topical

Hidrasi kulit. Pasien DA menunjukkan penurunan fungsi sawar kulit

dan xerosis yang berkontribusi untuk terjadinya fissure mikro kulit yang

dapat menjadi jalan masuk pathogen, iritan dan alergen. Problem

tersebut akan diperparah selama winter dan lingkungan kerja tertentu.

Lukewarm soaking baths minimal 20 menit dilanjutkan dengan

occlusive emollient (untuk menahan kelembaban) dapat meringankan


gejala. Terapi hidrasi bersama dengan emolien menolong

mngembalikan dan memperbaiki sawar lapisan tanduk, dan dapat

mengurangi kebutuhan steroid topical.

Steroid topical. Karena efek samping potensial, pemakaian steroid

topikal hanya untuk mengontrol DA eksaserbasi akut. Setelah control

DA dicapai dengan pemakaian steroid setiap hari, control jangka

panjang dapat dipertahankan pada sebagian pasien dengan

pemakaian fluticasone 0.05% 2 x/minggu pada area yang telah

sembuh tetapi mudah mengalami eksema. Steroid poten harus

dihindari pada wajah, genitalia dan daerah lipatan. Steroid

dioleskan pada lesi dan emolien diberikan pada kulit yang tidak

terkena. Steroid ultra-poten hanya boleh dipakai dalam waktu

singkat dan pada area likenifikasi (tetapi tidak pada wajah atau

lipatan). Steroid mid-poten dapat diberikan lebih lama untuk DA

kronik pada badan dan ekstremitas. Efek samping local meliputi

stria, atrofi kulit, dermatitis perioral, dan akne rosasea.

inhibitor kalsineurin topical. Takrolimus dan pimekrolimus topikal

telah dikembangkan sebagai imunomodulator nonsteroid. Salap

takrolimus 0.03% telah disetujui sebagai terapi intermiten DA

sedang-berat pada anak ≥ 2 tahun dan takrolimus 0.1% untuk

dewasa. Krim pimekrolinus 1% untuk anak ≥ 2 tahun dengan DA

ringan-sedang. Kedua obat efektif dan dengan profil keamanan yang

baik untuk terapi 4 tahun bagi takrolimus dan 2 tahun untuk


pimekrolimus. Kedua bahan tersebut tidak menyebabkan atrofi kulit,

sehingga aman untuk wajah dan lipatan; dan tidak menyebabkan

peningkatan kecenderungan mendapat superinfeksi virus.

Identifikasi dan eliminasi faktor pencetus.

Faktor pencetus yang perlu diidentifikasi di antaranya sabum atau

detergen, pajanan kimiawi, rokok, pakaian abrasif, pajanan ekstrim

suhu dan kelembaban.

Alergen spesifik. Alergen potensial dapat didentifikasi dengan

anamnesis detil, uji tusuk selektif, dan level IgE spesifik. Uji kulit

atau uji in vitro positif, terutama terhadap makanan, sering tidak

berkorelasi dengan gejala klinis sehingga harus dikonfirmasi

dengan controlled food challenges dan diet eliminasi.

Bayi dan anak lebih banyak mengalami alergi makanan, sedang

anak yang lebih tua dan dewasa lebih banyak alergi terhadap

aeroallergen lingkungan.

Anti-infeksi. Sefalosporin dan penicillinase-resistant penicillins

(dikloksasilin, oksasilin, kloksasilin) diberikan untuk pasien yang tidak

dikolonisasi oleh strain S aureus resisten. Stafilokokus yang resisten

terhadap metisilin memerlukan kultur dan uji sensitivitas untuk

menentukan obat yang cocok. Mupirosin topikal dapat berguna

untuk lesi yang mengalami infeksi sekunder terbatas.

Terapi antivirus untuk infeksi herpes simplek kulit,sangat penting

untuk pasien DA luas. Asiklovir oral 3 x 400 mg/h atau 4 x 200 mg/h
untuk 10 hari untuk dewasa dengan infeksi herpes simplek kulit.

Sedangkan asiklovir iv diberikan untuk eczema herpetikum

diseminata.

Infeksi dermatofit dapat menyebabkan eksaserbasi DA, sehingga

harus diterapi dengan anti-jamur topical atau sistemik.

Pruritus. Steroid topikal dan hidrasi kulit untuk mengurangi radang

dan kulit kering, sering mengurangi keluhan gatal. Alergen hirup dan

makanan yang terbukti menyebabkan rash pada controlled challenges,

harus disingkirkan. Antihistamin sistemik bekerja terutama memblok

reseptor H1 dalam dermis, karenanya dapat menghilangkan

pruritus akibat histamine. Karena histamine hanya merupakan satu

mediator penyebab gatal, beberapa pasien hanya mendapat

keutungan minimal terhadap terapi antihistamin. Keuntungan

beberapa antihistamin adalah mempunyai efek anxiolytic ringan

sehingga dapat lebih menolong melalui efek sedatif. Antihistamin non-

sedatif baru menunjukkan hasil yang bervariasi, dan akan berguna

bila DA disertai dengan urtikaria atau rhinitis alergika.

Karena pruritus biasanya lebih parah pada malam hari, antihistamin

sedatif, hidroksizin atau difenhidramin, mempunyai kelebihan (oleh efek

samping mengantuk) bila diberikan pada waktu tidur. Doksepin memiliki

efek antidepresan dan efek blok terhadap reseptor H1 dan H2. Obat

ini dapat diberikan dengan dosis 10-75 mg oral malam hari atau

sampai 2 x 75 mg pada pasien dewasa. Pemberian doksepin 5%


topikal jangka pendek (1 minggu) dapat mengurangi pruritus tanpa

menimbulkan sensitisasi. Walaupun demikian, dapat terjadi efek

sedasi pada pemberian topical area yang luas dan dermatitis

kontak alergik.

3.8 Pencegahan 7
Prinsip utama dalam pencegahan DA adalah dengan

menghindari factor pencetus baik makanan, alergen hirup, allergen

kontak, stress psikis, maupun penyebab lainnya.

Pelembab dengan kandungan lipid konsentrasi tinggi ataupun yang

mengandung ceramide sebaiknya digunakan secara teratur untuk

dapat membantu mengatasi kekeringan pada kulit.

Mandi dapat membantu hidrasi pada kulit, memperbaiki penetrasi

dari terapi topical dan menjaga kulit yang sedang mengalami

inflamasi dari infeksi sekunder. Penggunaan sabun yang

mengandung pewangi dan berbusa banyak serta penggunaan air

panas sebaiknya dihindarkan untuk mencegah kekeringan kulit

pada penderita DA

3.9 Prognosis8,9,10
Prognosis dermatitis atopik (DA) cenderung lebih berat dan

lebih persisten pada bayi dan anak-anak. Periode remisi menjadi

lebih lama seiring bertambahnya usia pasien. Resolusi spontan dari

DA dilaporkan muncul setelah usia 5 tahun pada sekitar 40‒60%

pasien DA bayi, terutama jika ringan.


Penelitian menyatakan bahwa DA menghilang pada sekitar 20%

pasien bayi dan anak, dan pada sekitar mengalami perbaikan.

Lebih dari setengah remaja yang diterapi untuk DA ringan akan

mengalami relaps dari DA pada masa dewasa. Prognosis yang

buruk dapat dikaitkan dengan lesi yang luas pada masa kecil,

disertai rhinitis alergi dan asma, riwayat keluarga dengan DA pada

orang tua atau saudara kandung, onset usia dini, anak tunggal, dan

level IgE serum yang sangat tinggi.

Penderita penyakit kulit dapat mengalami berbagai gejala,

mulai dari masalah sepele hingga kecacatan yang akan

mempengaruhi kehidupan. Penderita DA mungkin mengalami efek

yang sangat negatif pada kualitas hidup mereka, baik yang

berhubungan dengan kesehatan anak-anak maupun keluarganya.

Peningkatan pelatihan dokter untuk memahami pengembangan

perawatan DA baru yang lebih efektif akan membantu memperbaiki

prognosis. Disertai edukasi pasien dan pengasuh untuk

meningkatkan kepatuhan pengobatan DA, serta kualitas hidup

pasien dan keluarga.


BAB IV

PENUTUP

Sensitisasi alergen makanan dan aeroalergen memegang peranan

penting dalam etiopatogenesis dermatitis atopik. Alergen makanan lebih

berpengaruh pada usia kurang dari satu tahun sedangkan aeroalergen (

alergen hirup ) lebih berpengaruh pada usia diatas dua tahun. Bila

seorang bayi telah menderita DA, sebaiknya dihindarkan dari faktor

pencetus baik makanan maupun aeroalergen seperti tungau debu rumah,

debu rumah, serbuk sari tumbuhan, bulu atau serpihan binatang

peliharaan sejak dini, karena dermatitis atopik dengan onset dini akan

meningkatkan risiko alergi saluran nafas dan manifestasi alergi lain di

kemudian hari.4
DAFTAR PUSTAKA

1. Bieber T. Atopic Dermatitis. Ann Dermatol. 2010; 22(2):125-34

2. Santosa H. Dermatitis Atopik. Dalam: Akib A, Munasir Z, Kurniati N,

penyunting. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak. Edisi kedua. Jakarta:

Badan Penerbit IDAI; 2010.h.234-4

3. Siregar SP. Peran Alergi Makanan dan Alergen Hirup pada

Dermatitis Atopik. Sari Pediatri. 2005: vol.6(4):155-8

4. Suh KY. Food Allergy and Atopic Dermatitis: Separating Fact from

Fiction. Elsevier.

5. Necas M. Atopy patch testing with airborne allergens. Acta

Dermatovenerologica. 2013; 22:39-42

6. Celakovska J, Ettlerova K, Ettler K, Vaneckova J. ACTA MEDICA

(Hradec Kralove). 2013; 56(1):14-8

7. Krakowski AC, Eichenfield LF, Dohil MA. Management of Atopic

Dermatitis in the Pediatric Population. Pediatrics. 2008; 122:812-24

8. Lifschitz C: The Impact of Atopic Dermatitis on Quality of Life. Ann

Nutr Metab 2015;66(suppl 1):34-40. doi: 10.1159/000370226.

9. Lopez Carrera, Y.I., Al Hammadi, A., Huang, Y. et al. Epidemiology,

Diagnosis, and Treatment of Atopic Dermatitis in the Developing

Countries of Asia, Africa, Latin America, and the Middle East: A

Review. Dermatol Ther (Heidelb) 9, 685–705 (2019).

https://doi.org/10.1007/s13555-019-00332-3
10. Irvine, A. D., Mclean, W. I., Leung, D. Y. Filaggrin Mutations

Associated with Skin and Allergic Diseases. NEJM, 2011. 365 :

p.1315-1328.

11. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic Dermatitis

(Atopic Eczema). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,

Paller AS, David J. Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in

General Medicine, VII ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 146-

158.

12. Hanifin JM, Rajka G. Diagnostic features of atopic dermatitis. Acta

Dem Venereol 1980;92:44.

13. Spergel & Schneider, 1999. Atopic dermatitis. The Internet Journal

of Asthma, Allergy and Immunology 1:

14. Leung DY et al. New insights into atopic dermatitis. J Clin Invest

2004;113:651.

Anda mungkin juga menyukai