Anda di halaman 1dari 32

Case Report Session (CRS)

*Program Studi Profesi Dokter/ G1A220037/ Maret 2022


** Pembimbing/ Bagian Dermatovenerologi

Drug Eruption
Winda Meriyani, S.Ked*
dr. Rini Chrisna, M.Ked (DV), Sp.DV

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H. ABDUL MANAP KOTA
JAMBI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI

2022
HALAMAN PENGESAHAN
Case Report Session
Drug Eruption

Disusun Oleh
Winda Meriysni , S.Ked
G1A220037

Program Studi Profesi Dokter


Bagian Dermatovenerologi
RSUD Abdul Manap Kota Jambi
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada Maret 2022

PEMBIMBING

dr. Rini Chrisna, M.Ked (DV), Sp.DV


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaika Case Report
Session (CRS) yang berjudul “Drug Eruption” sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
di RSUD Raden Mattaher Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Rini Chrisna, M.Ked (DV), Sp.DV
yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing
penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin di RSUD Raden Mattaher Jambi
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.
Sebagai penutup semoga kiranya laporan Case Report Session (CRS) ini dapat
bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Maret 2022

Winda Meriyani.
BAB I
PENDAHULUAN

Erupsi obat adalah erupsi kulit yang disebabkan karena obat-obatan.


Penggunaan obat yang sembarangan, masuknya obat – obatan baru yang hampir
setiap harinya di pasaran, serta kurangnya kebiasaan untuk melaporkan kejadian
reaksi simpang obat, telah mengakibatkan meningginya angka insidensi reaksi
simpang obat yang terjadi. Adverse Drug Reaction dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu reaksi tipe A (dapat diperkirakan) dan tipe B (tidak dapat diperkirakan). Tipe
A pada umumnya terkait dengan bagian obat yang memberikan efek farmakologi
maupun toksik sehingga dapat diperkirakan dan dapat timbul pada siapapun. Tipe
B cenderung tidak dapat diperkirakan sebelumnya, tidak berhubungan dengan
sifat farmakologi obat, reaksinya cenderung lebih berat tetapi kejadiannya relatif
jarang, timbul pada individu yang memiliki faktor predisposisi, dan merupakan
reaksi idiosinkrasi yang dapat dipengaruhi oleh faktor imunologis dan genetik.
Sebagian besar erupsi obat (75 – 80%) disebabkan oleh tipe A, sisanya
disebabkan oleh efek yang tidak dapat diperkirakan yang mungkin melibatkan
proses imunologis maupun tidak. Manifestasi klinis yang sering didapatkan pada
reaksi tipe B adalah reaksi kulit yang disebut sebagai Adverse Cutaneous Drug
Reaction (ACDR).1
Erupsi obat dapat terjadi melalui 2 proses, yaitu secara imunologis dan
non-imunologis. Erupsi obat yang terjadi karena proses imunologis disebut
dengan erupsi obat alergi. Bentuk erupsi obat alergi yang sering ditemui adalah
eksantema morbiliformis, urtikaria, eritroderma, Fixed Drug Eruption (FDE) dan
fotosensitifitas. Erupsi obat dapat diklasifikasikan sebagai erupsi obat berat yang
disebut dengan Severe Cutaneous Adverse Drug Reaction (SCAR) dan erupsi obat
tidak berat. Beberapa bentuk SCAR yang timbul dapat mengancam jiwa
diantaranya Stevens-Johnson’s Syndrome/Toxic Epidermal Necrolysis (SJS/TEN),
eritroderma, Drug with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS), Acute
Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP), angioedema, dan vaskulitis.1
Beberapa faktor risiko yang terindentifikasi berperan dalam
mengembangkan terjadinya erupsi obat berat di antaranya yaitu, seorang
perempuan, lanjut usia, infeksi virus (khususnya HIV), iatrogenic
immunosuppression, penyakit imun yang mendasarinya dan kanker. Erupsi obat
sering terjadi dan mempengaruhi 2 – 3% dari semua pasien yang dirawat di rumah
sakit. Untungnya, hanya sekitar 2% reaksi erupsi obat yang parah dan sangat
sedikit yang fatal. Sayangnya, hanya ada beberapa data terbaru tentang
epidemiologi ACDR.
Insiden ACDR di negara maju berkisar antara 1-3% pasien, sedangkan di
negara berkembang seperti India, beberapa penelitian menunjukkan angka 2-5%
dari pada pasien. Berbagai penelitian terkait erupsi obat ini sudah banyak
dilakukan, dengan konsentrasi berbeda-beda di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin Rumah Sakit Saiful Anwar Malang sejak Januari 2011 hingga Desember
2013 ditemukan sebanyak 136 kasus (0,91%) dari 15.025 kasus baru. Angka
kejadian erupsi kulit akibat obat dibagian rawat inap menunjukkan adanya variasi
dengan kisaran 1-3% hingga 10 – 15%. Angka mortalitas sebesar 1,47%
didapatkan pada 1 kasus Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan 1 kasus Toxic
Epidermal Necrolysis (TEN), dengan penyebab kematian adalah syok septik.1,2
Terdapat penelitian yang menunjukkan beberapa obat-obatan yang terlibat
dalam mencetuskan erupsi obat sebagian besar adalah antimikroba (48%), diikuti
OAINS (30%) dan antiepilepsi (12%). Dalam penelitian tersebut, antimikroba
seperti sulfonamida (kotrimoksazol), penisilin (ampisilin, amoksisilin), dan
fluorokuinolon (ofloksasin, norfloksasin, siprofloksasin) adalah obat-obatan yang
paling umum menyumbang hampir 60% dari semua kasus erupsi obat oleh agen
antimikroba.
Reaksi erupsi obat oleh OAINS, sekitar 83% kasus tersebut disebabkan
oleh ibuprofen dan natrium diklofenak. Fenitoin bertanggung jawab atas 50%
kasus yang disebabkan oleh antiepilepsi kemudian diikuti oleh karbamazepin.
Durasi rata-rata antara pemberian obat dan munculnya ruam adalah 4 hari (1-120
hari). 1,3
BAB I
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. M
Umur : 19 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Telanai Pura
Pekerjaan : Mahasiswa
Status Pernikahan : Belum menikah
Suku Bangsa : Melayu
Hobi :-

I. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama : muncul bengkak disertai nyeri pada bibir sejak ± 1
minggu yang lalu

B. Keluhan Tambahan : -

C. Riwayat Perjalanan Penyakit :


± 1 minggu pasien sempat berobat ke salah satu bidan karena keluhan
tidak enak badan dan diberikan obat berupa Paracetamol, Amoxcilin,
Antasida, dan vitamin. ± 5 hari yang lalu saat bangun tidur pasien
mengeluhkan bibir kiri atas mengalami bengkak dan kemerahan namun
tidak terasa nyeri. Pasien mengaku tetap mengkonsumsi obat yang
diberikan oleh bidan tersebut. Bengkak yang bermula-mula pada bibir kiri
atas kemudian menyebar hingga keseluruh bibir atas hingga bibir bawah
dan juga disertai dengan nyeri. Pasien juga mengeluhkan nafsu makan
berkurang dan juga terasa nyeri tenggorokan. Pasien mengaku
mengkonsumsi obat Kenalog yang didapatkan dari situs online namun
keluhan pasien tidak berkurang. ± 2 hari yang lalu pasien Kembali
berobat kebidan yang berbeda dan disarankan untuk berobat ke poli kulit
RSUD Raden Mattaher.

D. Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat keluhan serupa (-)
- Riwayat alergi tidak diketahui
- Riwayat minum obat dalam jangka waktu yang lama (-)
E. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat keluhan serupa (-)
- Riwayat alergi (-)

F. Riwayat Sosial Ekonomi :


- Pasien tinggal Bersama orangtua di lingkungan yang bersih, mandi
sehari minimal 2 kali sehari, memakai handuk sendiri.

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
1. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
2. Tanda Vital :
Kesadaran : CM (E4V5M6) RR : 20x/menit
TD : 100/70 mmHg Nadi : 79x/menit
Suhu : 36,9 ºC
3. Kepala : normochepal
a. Mata : conj.anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), RC (+/+), isokor
b. THT : tidak dilakukan pemeriksaan
c. Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
4. Thoraks :
1) Jantung: tidak dilakukan pemeriksaan
2) Paru : tidak dilakukan pemeriksaan
5. Abdomen : tidak dilakukan pemeriksaan,
6. Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan
7. Ekstremitas
a. Superior: CRT <2 detik, akral hangat, terdapat lesi (+)
b. Inferior: CRT <2 detik, akral hangat, terdapat lesi (+)

B. Status Dermatologi
No Lesi Gambar

1 Regio : Labialis
. ● Lokasi : Labialis

● Lesi Utama : Krusta


● Bentuk : irregular
● Ukuran : Plakat
● Jumlah : multiple (>3)
● Batas : sirkumskripta
● Warna : Kuning
● Tepi : tidak aktif
● Distribusi : regional
● Permukaan : tidak rata
● Konsistensi : kenyal-keras
● Sekitar : terdapat erosi disekitar lesi
utama
Regio Labialis

C. Status Venerelogi
1. Inspeksi : tidak dilakukan pemeriksaan
2. Palpasi : tidak dilakukan pemeriksaan

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Tidak dilakukan

IV. DIAGNOSIS BANDING


- Drug eruption
- Sindrom Steven Jhonson
- Dermatitis Kontak Alergi
- Pemfigus Vulgaris

V. DIAGNOSIS KERJA
Drug eruption

VI. TERAPI
1) Non-medikamentosa
● Menjelaskan kondisi pasien, diminta menghentikan obat tersangka
penyebab
● Hentikan obat yang diduga sebagai penyebab.

2) Medikamentosa
1) Topikal
- Nacl 0,9% dengan kassa steril dikompres selama 30 menit 6x
sehari pada lesi dan evaluasi Kembali selama 12 jam

2) Sistemik
- Metilprednisolon tab 16 mg, diminum 3x sehari selama 5 hari
- Eritromisin 500 mg diminum 2x sehari selama 5 hari
- Cetirizin tablet 10 mg diminum 1x sehari

VII. PROGNOSIS
- Ad vitam : ad bonam
- Ad functionam : ad bonam
- Ad sanationam : ad bonam

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN


- Uji tempel (patch test)
- Uji tusuk (prick/scratch test)
- Uji provokasi (exposure test)
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

ERUPSI OBAT ALERGIK

3.1 Definisi

Erupsi obat alergik atau adverse cutaneous drug eruption adalah reaksi
hipersenstivitas terhadap obat dengan manifestasi pada kulit yang dapat disertai
maupun tidak keterlibatan mukosa. Yang dimaksud obat ialah zat yang dipakai
untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan.4,5

Erupsi obat berdasarkan WHO adalah segala sesuatu yang berbahaya,


tidak disengaja, dan efek obat yang tidak diinginkan yang terjadi pada dosis yang
digunakan untuk pencegahan, diagnosis, atau pengobatan. Namun, sebagian besar
reaksi kulit terhadap obat memang merupakan reaksi alergi yang diinduksi obat.
Reaksi alergi yang diinduksi obat dapat muncul dengan berbagai manifestasi kulit.
Erupsi obat kutaneus dapat berkisar dari ruam tanpa gejala hingga keadaan darurat
yang mengancam jiwa. Karena itu peningkatan frekuensi, morbiditas, dan
mortalitas potensial yang terkait dengan erupsi obat, penting untuk dapat segera
mengenali, memeriksa, dan merawat pasien dengan kemungkinan reaksi obat.6,7

3.2 Epidemiologi

Erupsi obat sering terjadi dan mempengaruhi 2 – 3% dari semua pasien


yang dirawat di rumah sakit. Untungnya, hanya sekitar 2% reaksi erupsi obat yang
parah dan sangat sedikit yang fatal. Sayangnya, hanya ada beberapa data terbaru
tentang epidemiologi ACDR.
Insiden ACDR di negara maju berkisar antara 1-3% pasien, sedangkan di
negara berkembang seperti India, beberapa penelitian menunjukkan angka 2-5%
dari pada pasien. Berbagai penelitian terkait erupsi obat ini sudah banyak
dilakukan, dengan konsentrasi berbeda-beda di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin Rumah Sakit Saiful Anwar Malang sejak Januari 2011 hingga Desember
2013 ditemukan sebanyak 136 kasus (0,91%) dari 15.025 kasus baru. Angka
kejadian erupsi kulit akibat obat dibagian rawat inap menunjukkan adanya variasi
dengan kisaran 1-3% hingga 10 – 15%. Angka mortalitas sebesar 1,47%
didapatkan pada 1 kasus Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan 1 kasus Toxic
Epidermal Necrolysis (TEN), dengan penyebab kematian adalah syok septik.1,2

3.3 Imunopatogenesis

Beberapa studi menunjukkan hubungan kuat antara human lymphocyte


allele (HLA) dengan EOA, misalnya HLA B*1502 pada kasus sindrom Stevens-
Johnson yang disebabkan karbemazepin pada etnis Han-Cina. Temuan lain
misalnya HLA B*5701 pada kasus sindrom hipersensitivitas obat yang dsebabkan
oleh Abacavir.5

Berdasarkan klasifikasi Coombe dan Gell, patomekanisme yang mendasari


EOA dibagi menjadi 4 tipe mekanisme:4,5

• Tipe I dimediasi oleh Imunoglobulin (Ig) E yang dapat menyebabkan


reaksi anafilaksis, urtikaria dan angioedema, timbul sangat cepat,
terkadang dapat urtikaria/angioedema persisten beberapa minggu setelah
obat dihentikan.
• Tipe II merupakan mekanisme sitotoksik yang diperantarai reaksi antigen,
IgG dan komplemen terhadap erirosit, leukosit, trombosit, atau sel
prekursor hematologik lain. Obat yang dapat menyebabkan
hipersensitivitas tipe ini antara lain golongan penisilin, sefalosporin,
streptomisin, klorpromazin, sulfonamide, analgesik, dan antipiretik.
• Tipe III adalah reaksi imun kompleks yang sering terjadi akibat
penggunaan obat sistemik dosis tinggi dan terapi jangka panjang,
menunjukkan manifestasi berupa vaskulitis pada kulit dan penyakit
autoimun yang diinduksi oleh obat. Reaksi ini ditandai oleh pembentukan
kompleks antigen, antibody (IgG dan IgM) dalam sirkulasi darah atau
jaringan dan mengaktifkan komplemen. Komplemen yang diaktifkan
kemudian melepaskan berbagai mediator diantaranya enzim – enzim yang
dapat merusak jaringan. Kompleks imun akan beredar dalam sirkulasi dan
kemudian dideposit pada sel sasaran. Contohnya ialah penisilin,
eritromisin, sulfonamide, salisilat, dan isoniazid.
• Tipe terakhir dan yang paling sering mendasari insidens EOA adalah tipe
IV (tipe lambat), yaitu terjadi 12 – 48 jam setelah pajanan terhadap antigen
yang diperantarai oleh limfosit T dengan manifestasi klinis erupsi ringan
hingga berat. Selain pada kulit, reaksi hipersensitivitas dapat melibatkan
hati, ginjal, dan organ tubuh lain. Reaksi hipersensitivitas yang dimediasi
oleh sel T terbagi atas 4 subklas, yaitu tipe IVa hingga IVd. Subklasifikasi
tersebut dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Klasifikasi Coombs dan Gell yang sudah direvisi. Elisitasi oleh obat
dapat terjadi pada semua tipe reaksi hipersensitivitas.
Terdapat dua konsep patomekanisme pengenalan obat oleh sel T, yaitu:

1. Konsep Hapten/Prohapten
Pada umumnya obat merupakan prohapten, artinya tidak bersifat reaktif
bila tidak berikatan dengan protein. Sehingga obat dimetabolisme terlebih
dahulu untuk dapat membentuk ikatan kovalen dan menjadi imunogenik
sehingga mampu menstimulasi respons imun. Contohnya adalah obat
golongan beta-laktam, yaitu golongan penisilin dan sefalosporin. Contoh
lain adalah obat golongan sulflametoksazol yang dimetabolisme oleh
sitokrom P450 di hati menjadi bentuk reaktif.
2. Konsep pharmacological interaction (p-i concept)
Pichler et.al. mengemukakan konsep baru yang dikenal dengan p-i concept
(pharmacological interaction of drugs with immune receptors), yaitu obat
dapat membentuk ikatan spesifik secara langsung dan reversibel dengan
berbagai macam reseptor antigen spesifik dan berinteraksi sehingga
mampu menstimulasi respons imun. Menurut konsep ini obat inert yang
tidak mampu membentuk ikatan kovalen dengan protein atau peptida,
masih dapat merangsang sistem imun melalui ikatan langsung dengan
reseptor sel T.

Bukti klinis yang mendukung konsep p-i adalah :

1. Interval waktu antara pajanan obat dan timbul gejala klinis sangat
singkat untuk membangkitkan respons imun spesifik, sehingga diduga
respons imun yang terjadi tidak melalui fase sensitisasi.
2. Beberapa obat yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
(tipe IV) diketahui tidak mengalami metabolisme menjadi bentuk
reaktif, misalnya pada media kontras. Konsep hapten juga tidak dapat
menjelaskan mekanisme alergi pada kontras.
Beberapa obat inert yang tidak mampu membentuk kompleks hapten
di kulit ternyata menunjukkan hasil positif pada uji kulit dan
ditemukan infiltrasi limfosit T.

Gambar 2. Perbandingan konsep Hapten dan konsep p – i.

3.4 Faktor Risiko

Reaksi obat sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko. Faktor risiko
terebut antara lain jenis obat, berat molekul obat, kimiawi obat, regimen
pengobatan, faktor pejamu, atopi, penyakit tertentu, gangguan metabolisme dan
lingkungan. Obat seperti ß-laktam, sulfonamid, obat anti-inflamasi non-steroid,
trimetoprim dan sulfametoksazol sering menimbulkan reaksi berat. Obat dengan
berat molekul tinggi lebih sering menimbulkan reaksi imun, Regimen pemberian
oral, intravena, intramuskular, subkutan dan topikal secara berurutan
menyebabkan induksi alergi meningkat. Usia muda dan jenis kelamin wanita
meningkatkan kecenderungan terjadinya alergi obat. Infeksi virus, gangguan
metabolisme seperti defisiensi G6PD meningkatkan risiko alergi obat. Sedangkan
cahaya UV dapat mengubah imunoenitas obat tertentu.8,9,10

3.5 Diagnosis

Langkah pertama pendekatan diagnosis EOA adalah mencurigai terdapat


reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang dikonsumsi pasien. Kecurigaan
tersebut didukung oleh bukti riwayat konsumsi obat pada saat anamnesis,
manifestasi klinis dan morfologi lesi pada kulit, serta pemeriksaan penunjang. Hal
yang sering menjadi tantangan adalah bila pasien mendapatkan medikasi dengan
obat lebih dari satu jenis. Langkah yang penting diperhatikan adalah sebagai
berikut:5

1. Kumpulkan data klinis secara sistematis dan teliti mengenai:


a. Riwayat alergi obat sebelumnya, berikut tanda dan gejala klinisnya
b. Riwayat atopi pada pasien dan keluarga
c. Data medikasi pasien saat ini, baik oral, intravena, dan topikal. Jangan
abaikan pengunaan obat herbal dan suplemen. Buatlah peta kronologis
sejak obat dimulai dan dihentikan. serta peningkatan dosis.
d. Riwayat pajanan obat yang dicurigai atau obat yang dapat bereaksi silang
e. Perhatikan kronologis reaksi obat : tanda dan gejala dan hasil laboratorium

2. Obat penyebab yang dicurigai menjadi lebih sempit dengan fokus terhadap:
a. Hubungan temporal antara awal dan akhir konsumsi obat dengan onset
timbulnya erupsi pada kuit
b. Lesi dominan tanda dan gejala klinis reaksi hipersensitivitas
3. Pertimbangkan farmakoepidemiologik obat yang digunakan. Urutkan
berdasarkan obat yang paling berpotensi menyebabkan alergi berdasarkan data
publikasi.
4. Hentikan dan/atau substitusi semua obat yang memiliki hubungan temporal
yang kuat Observasi gejala setelah obat dihentikan.
5. Pertimbangkan uji kulit untuk menentukan obat penyebab, bila sudah
memenuhi syarat – syarat uji.
6. Jika uji kulit negatif, lakukan provokasi oral dengan dosis yang dinaikkan
perlahan (bila tidak ada kontraindikasi)

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM/FKUI obat yang


sering menyebabkan reaksi alergik adalah golongan beta laktam, sulfonamid,
rifampisin, nevirapin, obat anti konvulsan, serta obat anti inflamasi non-steroid.
Pada beberapa kasus insulin juga menjadi penyebab EOA.

Pada kasus yang meragukan dan belum bisa disingkirkan kemungkinan lain
dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menegakkan diagnosis EOA.

3.6 Manifestasi Klinis5

Erupsi obat alergik dapat bermanifestasi klinis ringan dan berat hingga
mengancam jiwa. Lesi dominan yang timbul merupakan petunjuk reaksi
hipersensitivitas yang mendasari.

1. Urtikaria dan angioedema


Urtikaria ditandai dengan edema setempat pada kulit dengan
ukuran yang bervariasi. Predileksi dapat di seluruh tubuh. Keluhan
umumnya gatal dan panas pada tempat lesi. Lesi individual biasanya
bertahan kurang dari 24 jam kemudian hilang perlahan.
Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir, kelopak mata,
genitalia eksterna, tangan dan kaki. Angioedema pada glottis
menyebabkan asfiksia, sehingga dibutuhkan penanganan segera. Penyebab
tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat dan NSAID.
Gambar 3. Urtikaria

2. Erupsi makulopapular
Erupsi makulopapular disebut juga erupsi eksantematosa atau
merupakan bentuk EOA paling sering ditemukan, timbul dalam 2-3
minggu konsumsi obat. Biasanya lesi eritematosa dimulai dari batang
tubuh kemudian ke perifer secara simetris dan generalisata, dan hampir
selalu disertai pruritus. Erupsi makulopapular akan hilang dengan cara
deskuamasi, dan terkadang meninggalkan bekas hiperpigmentasi. Erupsi
jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, NSAID, sulfonamid, fenitoin,
serta karbamazepin.

Gambar 4. Erupsi eksantematosa

3. Fixed drug eruption (FDE)


FDE merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai. Lesi
berupa makula atau plak eritema keunguan dan kadang disertai
vesikel/bula pada bagian tengah lesi sehingga sering menyerupai eritema
multiforme. Predileksi tersering di daerah bibir, tangan dan genitalia.
Kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama hilang,
bahkan sering menetap. Ciri khas FDE adalah berulang pada predileksi
yang sama setelah pajanan obat penyebab. Obat penyebab yang sering
menyebabkan FDE adalah tetrasiklin, naproxen dan metamizol.

Gambar 5. Fixed drug eruption

4. Pustulosis eksantematosa generalisata akut


Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA)
merupakan erupsi pustular akut yang timbul 1 – 3 minggu setelah
konsumsi obat yang diawali oleh demam, mual, dan malaise.
Kelainan kulit yang ditemukan berupa pustule milier berjumlah
banyak diatas dasar eritematosa. Predileksi utama di wajah dan lipatan
tubuh.
PEGA terkadang sulit dibedakan dengan psoriasis pustulosis dan
dermatosis pustulosis subkomeal (penyakit Sneddon – Wilkinson)
sehingga terkadang dibutuhkan pemeriksaan histopatologis.

Gambar 6. Pustulosis eksantematosa generalisata akut


5. Eritroderma
Eritroderma disebut juga dermatitis eksfoliativa, merupakan lesi
eritema difus disertai skuama lebih dari 90% area tubuh. Bukan
merupakan suatu diagnosis spesifik dan dapat disebabkan oleh berbagai
penyakit lain selain OEA, misalnya perluasan penyakit kulit, penyakit
sistemik termasuk keganasan (penyakit Hodgkin) atau idiopatik. Perlu
dilakukan pemeriksaan teliti dan penunjang untuk membantu
menyingkirkan kemungkinan penyebab lain. Pada eritroderma sering
terjadi ketidakseimbangan elektrolit, gangguan termoregulasi, serta
kehilangan albumin, sehingga merupakan indikasi pasien untuk dirawat.
Obat penyebab antara lain adalah asetaminofen dan minosiklin.

6. Sindrom hipersensitivitas obat


Sindrom hipersensitivitas obat (SHO) merupakan bentuk EOA tipe
berat yang dapat mengancam jiwa, karena keterlibatan multiorgan. Dahulu
SHO dikenal dengan drug reaction with eosinophilia and systemic
symptoms (DRESS). Seringkali diawali oleh infeksi saluran pernapasan
atas dan dihubungkan dengan infeksi HHV – 6, HHV – 7, Epstein Barr
Virus, dan Cytomegalovirus. Tanda karakteristik SHO adalah demam di
atas 38℃, lesi pada kulit, limfadenopati, gangguan fungsi hati dan/atau
fungsi ginjal, leukositosis dan eosinophilia. Lesi kulit biasanya timbul 3
minggu setelah konsumsi obat, dengan lesi makulopapular paling sering
ditemukan. Dapat juga ditemukan lesi pustular atau epidermolisis. Wajah
biasanya mengalami edema dan distribusi lesi makulopapular tersebar
simetris hampir diseluruh tubuh, tetapi jarang pada telapak tangan dan
kaki. Beberapa gambaran unik pada SHO adalah awitan yang lambat,
gambaran klinis yang tetap timbul walaupun obat sudah dihentikan, serta
reaksi silang dengan struktur kimia obat yang berbeda yang hingga saat ini
belum bisa dijelaskan.
Gambar 7. Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms
(DRESS)

Bentuk EOA lain adalah dermatitis medikamentosa, purpura atau


vaskulitis, eritema multiforme, sindrom Stevens – Johnson, dan nekrolisis
epidermal toksik.

3.7 Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Penunjang Umum

Pemeriksaan penunjang umum berdasarkan indikasi di antaranya adalah


pemeriksaan darah perifer lengkap dengan hitung jenis, laju endap darah, c-
reactive protein, tes autoantibodi, tes imunologis khusus, pemeriksaan rontgen
dan elektrokardiografi. Jika reaksi alergi obat melibatkan ginjal, maka diperlukan
pemeriksaan urinalisis untuk mencari proteinuria, eosinofil dan casts pada urin.
Adanya eosinofil pada urin dan peningkatan kadar total IgE dapat mengarahkan
kepada adanya nefritis interstitial. Jika ada kecurigaan vaskulitis yang disebabkan
alergi obat, maka perlu dilakukan pemeriksaan laju endap darah, C-reactive
protein, tes komplemen dan beberapa tes autoantibodi seperti antinuclear
antibody (ANA), antinuclear cytoplasmic antibody (c-ANCA), dan perinuclear
cytoplasmic antibody (p-ANCA). Hasil tes ANA yang positif mengarahkan
kepada diagnosis dari sindro lupus imbas obat.8,11

B. Pemeriksaan Penunjang Khusus


Pemeriksaan penunjang yang khusus untuk alergi obat tebagi menjadi
pemeriksaan in vivo dan in vitro. Beberapa pemeriksaan penunjang khusus yang
penting untuk menunjang diagnosis alergi obat adalah tes kulit untuk reaksi
hipersensitivitas cepat (lgE), tes tempel, tes provokasi atau tes dosing,
radioallergosorbent test (RAST), mengukur lgG atau lgM yang spesifik untuk
obat, mengukur aktivasi komplemen, mengukur pelepasan histamin atau mediator
lain dari basofil, mengukur mediator seperti histamin, prostaglandin, leukotrien,
triptase, transformasi limfosit, uji toksisitas leukosit, evaluasi dengan bantuan
komputer.8,11
1. Tes In Vivo8,11,12
Tes kulit yang menunjukkan nilai prediksi yang kuat adalah tes
intradermal untuk IgE. Tes kulit hanya dapat dipakai pada sejumlah obat
seperti penisilin, insulin dan kimopapain. Pembacaan tes kulit dilakukan
setelah 15-20 menit dalam reaksi cepat dan setelah 24-72 jam dalam reaksi
lambat. Tes kulit dapat berupa tes tusuk, tes intradermal ataupun tes tempel.
Beberapa indikasi pemeriksaan tes tusuk adalah reaksi anafilaksis,
bronkospasme, konjungtivitis, rinitis dan urtikaria/ angioedema. Sedangkan
tes tempel dapat digunakan sebagai pemeriksaan garis pertama untuk
beberapa kondisi seperti pada eksantema pustulosis akut sistemik, dermatitis
kontak, eritema multiforme., erupsi eksantema, fixed drug eruption, reaksi
foto alergi, purpura leukositoklasik, vaskulitis, SJS dan TEN. Dibandingkan
tes intradermal, tes tusuk lebih spesifik namun kurang sensitif. Tes
intradermal dipertimbangkan untuk dikerjakan apabila setelah 20 menit hasil
tes tusuk terhadap alergen yang diduga kuat sebagai penyebab hasilnya
negatif. Beberapa obat sudah terbukti menunjukkan hasil yang spesifik yaitu
antibiotik ß-laktam, makrolida, aminoglikosida, rifampisin, glikopeptida,
tetrasiklin, polipeptida, imidazol, nitrufuron, trimetoprim, sulfonamid,
kotrimoksasol, isoniazid, pentamidin, streptogramin dan beberapa obat
anestesi untuk relaksan otot.
Jika ada kecurigaan adanya reaksi hipersensitivitas lambat (tipe IV)
terhadap obat topikal yang diberikan, maka sebaiknya dilakukan
pemeriksaan tes tempel. Tes tempel diketahui berguna sebagai penunjang
diagnosis untuk eritema multiform, eksantema, eksema, namun tidak untuk
reaksi nonlimfositik. Tes tempel dibaca setelah 12 jam atau 48-72 jam jika
ada eritema dan vesikulasi. Pembacaan tes tempel dilakukan berdasarkan
skor dimana jika hanya makulopapular yang tidak jelas digambarkan sebagai
reaksi meragukan, jika terdapat eritema, infiltrasi atau papul dianggap
sebagai lemah positif (non vesikuler), jika terdapat vesikel dianggap positif
kuat, dan jika terdapat lepuh maka diintrepretasi sebagi ekstrim positif.

2. Tes In Vitro8,11,12
Beberapa kondisi dapat membuat pemeriksaan in vitro lebih dipilih
dibanding pemeriksaan in vivo, yaitu jika penderita menunjukkan
demografisme, iktiosis atau ekzema sistemik, menggunakan antihistamin
kerja panjang atau antidepresan trisiklik, berisiko jika obat dihentikan,
penderita menolak tes kulit atau dugaan tinggi resiko anafilaksis dengan tes
kulit terhadap alergen tertentu.
Pemeriksaan serum triptase, RAST, dan Enzymelinked Immunosorbent
Assay (ELISA) digunakan pada kondisi alergi obat melalui reaksi tipe I
dengan anafilaksis. Ketika terjadi reaksi anafilaksis akibat alergi obat, maka
perlu dilakukan penulusuran secara restrospektif. Reaksi anafilaksis dapat
dideteksi dengan pemeriksaan histamine dan atau N-methylhistamin pada
urin 24 jam. Pemeriksaan RAST dan ELISA dapat mengukur IgE terhadap
beberapa obat dalam sirkulasi sehingga dapat dipakai untuk identifikasi
penyebab. Pada beberapa obat seperti eritromisin, trimetoprim,
sulfometoksazol, rifampisin, vankomisin dan isoniazid dilaporkan adanya
penemuan IgE yang spesifik. Hasil positif metode pengukuran IgE ini dapat
digunakan untuk mengidentifikasi adanya risiko pada penederita, namun
hasil negatif tidak dapat menyingkirkan risiko tersebut. Jika dibandingkan
dengan tes tusuk, metode ini kurang sensitif.
Pada alergi obat yang melalui mekanisme hipersensitivitas tipe II,
evaluasi tes auto-antibodi seperti Coombs dan autoantibodi anti-trombosit
perlu dilakukan. Pemeriksaan C3, C4, krioglobulin dan C1q-binding perlu
dikerjakan jika alergi obat dicurigai melibatkan mekanisme hipersensitivitas
tipe III. Tes tempel spesifik, tes proliferasi limfosit dan isolasi klon yang
spesifik dikerjakan apabila terdapat kecurigaan hipersenitivitas tipe IV.
Antibodi IgG dan IgM spesifik untuk obat dapat diukur dengan ELISA
dan radioimmunoassay (RIA). Tes Coombs digunakan sebagai penapis
untuk tes IgG spesifik pada kondisi hemolisis yang diinduksi obat.
Pemeriksaan pelepasan histamin dan mediator lain dari basofil baru dapat
dilakukan pada laboratorium tertentu dan esai ini cukup rumit. Pemeriksaan
mediator dalam serum seperti kadar histamin dan PGD2 sangat rumit dan
lama, sehingga lebih relevan memeriksakan metabolit histamin atau PGD2
pada urin. Pemeriksaan aktivasi komplemen memiliki kelemahan, yaitu
reaksi obat tidak dapat dibedakan dari reaksi lainnya. Pemeriksaan
transfomasi limfosit cukup kompleks dan sangat jarang digunakan.
Pemeriksaan toksisitas limfosit dikerjakan dengan melihat limfosit perifer
penderita dan diukur persentase limfosit yang mati dengan menggunakan
indeks toksisitas metabolit obat yang dilepas. Pada pasien dengan reaksi
obat di kulit yang lambat dapat diperiksakan ambang perforin, granzim B
dan TNF-a untuk mengukur derajat penyakit.

3. Biopsi
Pada kondisi didapatkan vaskulitis, purpura yang dapat teraba, plak
dan ulkus, maka pemeriksaan biopsy perlu dikerjakan. Pada pemeriksaan
biopsi ini kadang diperlukan pemeriksaan imunofluoresen untuk mencari
endapan imunoglobubin dan komplemen pada vaskulitis kulit.8
3.7 Diagnosis Banding

Sesuai dengan kelainan kulit yang terjadi, misalnya :13

1) Eritroderma : dapat disebabkan oleh perluasan penyakit seboroik dan


psoriasis, atau akibat keganasan.
2) Eritema nodosum (EN) : EN akibat kusta, demam rheuma dan keganasan
3) Eritema : morbili
4) Purpura : idiopatik trombositopenik purpura, dengue hemoragic fever
5) Fixed Drug Eruption : eritema multiforme bulosum
6) Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut : psoriasis pustular
7) Sindrom Stevens Johnson : Pemfigus Vulgaris
8) Necrolysis Epidermal Toxic : Kombustio

3.8 Tatalaksana

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah segera menghentikan obat


penyebab dan yang bereaksi silang. Terapi suportif yang diberikan adalah :5

1. Terapi Sistemik
a) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid hingga saat ini masih kontroversi, tetapi
pengalaman kami di Departemen Ilmu Kulit dan Kelamin
FKUI/RSCM untuk kasus EOA berat memberikan respons sangat baik
dan angka mortalitas menurun. Pada EOA ringan kortikosteroid
diberikan 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada EOA berat 1 – 4
mg/kgBB/hari. Selama pemberian kortikosteroid waspadai efek
samping yang terjadi misalnya perdarahan intestinal, risiko sepsis, dan
peningkatan gula darah.
b) Antihistamin
Antihistamin terutama diberikan EOA tipe urtikaria dan
angioedema. Dapat diberikan sebagai terapi simtomatis pada EOA tipe
lain yang disertai rasa gatal yang berat, misalnya eritroderma atau
eksantematosa.
2. Topikal
Pemberian terapi topikal tidak spesifik, bergantung pada kondisi dan luas
lesi kulit seusai dengan prinsip dermatoterapi. Misalnya, pada erosi akibat
epidermolisis pada SSJ/NET dapat diberikan bahan keratoplasti asam
salisilat 1 – 2%.
3. Terapi sistemik lain yang pernah dilaporkan adalah penggunaan
siklosporin, plasmafaresis, dan Imunoglobulin Intravena (IVIg)

3.9 Prognosis

Prognosis erupsi obat alergik tipe ringan baik bila obat penyebab dapat
diidentifikasi dan segera dihentikan. Pada erupsi obat alergik tipe berat, misalnya
eritroderma dan nekrolisis epidermal toksik prognosis dapat menjadi buruk,
disebabkan komplikasi yang terjadi misalnya sepsis.5
BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien atas nama Nn. M, usia 19 tahun datang dengan keluhan muncul
bengkak disertai nyeri pada bibir sejak ± 1 minggu yang lalu. Berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis dengan drug eruption.
Erupsi obat berdasarkan WHO adalah segala sesuatu yang berbahaya, tidak
disengaja, dan efek obat yang tidak diinginkan yang terjadi pada dosis yang
digunakan untuk pencegahan, diagnosis, atau pengobatan. Dari anamnesis pasien
± 1 minggu pasien berobat ke bidan karena keluhan tidak enak badan dan
diberikan obat berupa Paracetamol, Amoxicilin, Antasida, dan vitamin. ± 5 hari
yang lalu saat bangun tidur pasien mengeluhkan bibir kiri atas mengalami
bengkak dan kemerahan namun tidak terasa nyeri. Pasien mengaku tetap
mengkonsumsi obat yang diberikan oleh bidan tersebut. Bengkak yang bermula-
mula pada bibir kiri atas kemudian menyebar hingga keseluruh bibir atas hingga
bibir bawah dan juga disertai dengan nyeri. Pasien juga mengeluhkan nafsu
makan berkurang dan juga terasa nyeri tenggorokan. Pasien mengaku
mengkonsumsi obat Kenalog yang didapatkan dari situs online namun keluhan
pasien tidak berkurang.
Pada status dermatologi ditemukan lesi pada regio labialis dengan lesi utama
Krusta, Kuning, irregular, ukuran Plakat, multiple (>3), berbatas tegas, dengan
tepi tidak aktif, distribusi regional, permukaan tidak rata, dengan konsistensi
kenyal-keras, dan sekitar lesi utama terdapat erosi.

Berdasarkan teori usia muda dan jenis kelamin wanita meningkatkan


kecenderungan terjadinya alergi obat. Langkah pertama pendekatan diagnosis
EOA adalah mencurigai terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang
dikonsumsi pasien. Kecurigaan tersebut didukung oleh bukti riwayat konsumsi
obat pada saat anamnesis, manifestasi klinis dan morfologi lesi pada kulit, serta
pemeriksaan penunjang.
Erupsi obat alergik dapat bermanifestasi klinis ringan dan berat hingga
mengancam jiwa. Lesi dominan yang timbul merupakan petunjuk reaksi
hipersensitivitas yang mendasari. Pada pasien ini ditemukan manifestasi klinis
Angioedema yang biasanya terjadi di daerah bibir, kelopak mata, genitalia
eksterna, tangan dan kaki. Penyebab tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat
dan NSAID. Dari keterangan pasien sebelumnya pasien mengkonsumsi obat
amoxicillin yang merupakan obat dari golongan penisilin yang kemungkinan
merupakan penyebab dari keluhan pasien tersebut.

Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Namun untuk lebih
memastikan diagnosis kerja, usulan pemeriksaan penunjang yang dilakukan: tes
kulit untuk reaksi hipersensitivitas cepat (lgE), tes tempel, tes provokasi atau tes
dosing, radioallergosorbent test (RAST), mengukur lgG atau lgM yang spesifik
untuk obat, mengukur aktivasi komplemen, mengukur pelepasan histamin atau
mediator lain dari basofil, mengukur mediator seperti histamin, prostaglandin,
leukotrien, triptase, transformasi limfosit, uji toksisitas leukosit, evaluasi dengan
bantuan komputer.
Pada pasien diberikan terapi Nacl 0,9% dengan kassa steril dikompres
selama 30 menit 6x sehari pada lesi, metilprednisolon tab 16 mg, diminum 3x
sehari selama 5 hari, eritromisin 500 mg diminum 2x sehari selama 5 hari,
cetirizin tablet 10 mg diminum 1x sehari.
Berdasarkan teori jika ditemukan lesi dalam keadaan basah perlu dilakukan
kompres, pada pasien ini diberikan kompres Nacl 0,9% yang dimana merupakan
cairan isotonis yang bersifat fiiologis, non toksik dan tidak menimbulkan
hipersensitivitas sehingga aman digunakan untuk tubuh dalam kondisi apapun.
Nacl 0,9% juga melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering, menjaga
kelembaban sekitar luka, dan membantu luka menjalani proses penyembuhan.
Pasien diberikan metilprednisolon dimana pemberian kortikosteroid sangat
penting pada alergi obat sistemik. Pasien juga diberikan antibiotik berupa
eritromisin yang bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pada
pasien juga diberikan obat oral cetirizine tab 10 mg yang merupakan golongan
antihistamin digunakan untuk mengurangi rasa gatal.
BAB V

KESIMPULAN

Erupsi obat berdasarkan WHO adalah segala sesuatu yang berbahaya, tidak
disengaja, dan efek obat yang tidak diinginkan yang terjadi pada dosis yang
digunakan untuk pencegahan, diagnosis, atau pengobatan.

Untuk menegakkan diagnosis langkah pertama adalah mencurigai terdapat


reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang dikonsumsi pasien. Kecurigaan
tersebut didukung oleh bukti riwayat konsumsi obat pada saat anamnesis,
manifestasi klinis dan morfologi lesi pada kulit, serta pemeriksaan penunjang.

Manifestasi klinis terdiri dari urtikaria dan angioedema, erupsi


makulopapular, fixed drug eruption, pustulosis eksantematosa generalisata akut,
eritroderma, sindrom hipersensitivitas obat, dan bentuk lain adalah dermatitis
medikamentosa, purpura atau vaskulitis, eritema multiforme, sindrom Stevens –
Johnson, dan nekrolisis epidermal toksik.

Pemeriksaan penunjang terdiri dari 2 yaitu pemeriksaan penunjang umum


dan pemeriksaan penunjang khusus.

Pada laporan kasus ini pasien atas nama Nn. M, usia 19 tahun datang
dengan keluhan muncul bengkak disertai nyeri pada bibir sejak ± 1 minggu yang
lalu. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis dengan
drug eruption. Diberikan terapi Nacl 0,9% dengan kassa steril dikompres selama
30 menit 6x sehari pada lesi, metilprednisolon tab 16 mg, diminum 3x sehari
selama 5 hari, eritromisin 500 mg diminum 2x sehari selama 5 hari, cetirizin
tablet 10 mg diminum 1x sehari.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tanzira, Diza. Batubara, DE. Jurnal Ilmiah Maksitek : Profil Erupsi Obat di
RSUD dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2015 – 2017. Vol 5 No 04. Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara. Medan : 2020.
2. Anggarini DR, Rosita C, Prakoeswa S. Penatalaksanaan Pasien Erupsi Obat di
Instalasi Rawat Inap (IRNA) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Soetomo Surabaya: Studi Retrospektif (Management. Berk Ilmu Kesehat Kulit
dan Kelamin. 2015;27(1):1-8.
3. Alexopoulou A, Dourakis SP, Mantzoukis D, et al. Adverse Drug Reactions
As A Cause Of Hospital Admissions: A 6-Month Experience in A Single
Center in Greece. Eur J Intern Med. 2008;19(7):505-510.
doi:10.1016/j.ejim.2007.06.030
4. Hamzah, Mochtar. Erupsi Obat Alergi Dalam Buku Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, Edisi Keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta :
2010.
5. Budianti, Windy Keumala. Erupsi Obat Alergik Dalam Buku Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, Edisi Ketujuh Cetakan Kedua 2016. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta : 2016.
6. Khan DA. Cutaneous Drug Reaction. J Allergy Clin Immunol.
2012;130(5):1225
7. Ahmed AM, Pritchard S, Reichenberg J. A Review of Cutaneous Drug
Eruption. Clin Geriatr Med. 2013;29(1):527-545.
8. Baratawidjaja, KG., Rengganis, Iris. Alergi Dasar Edisi ke-10. Jakarta: FKUI;
2009.hal.459-92.
9. Barranco P, Lopez-Serrano MC: General and epidemiological aspects of
allergic drug reactions. Clin Exp Allergy. 1998;28(Suppl 4):61-2.
10. Thong BY, Tan TC. Epidemiology and risk factors fordrug allergy.Br J Clin
Pharmacol. 2011;71(5):684-700.
11. Joint Task Force on Practice Parameters; American Academy of Alergy,
Asthma and Immunology; American College of Allergy, Asthma and
Immunology; Joint Council of Allergy, Asthma and Immunology. Drug
allergy: an updated practice parameter. Ann Allergy Asthma Immunol.
2010;105(4):259-73.
12. Sogn DD, Evans R, Shepherd GM, et al. Results of the National Institute of
Allergy and Infectious Diseases collaborative clinical trial to test the
predictive value of skin testing with major and minor penicillin derivatives in
hospitalized adults. Ann Intern Med. 1992;152(5):1025–32.
13. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt Sl, Gilchrest BA, Paller AS, LeffellDJ, editor.
Dalam :Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke – 8. New
York : McGraw – Hill; 2012.

Anda mungkin juga menyukai