Drug Eruption
Winda Meriyani, S.Ked*
dr. Rini Chrisna, M.Ked (DV), Sp.DV
2022
HALAMAN PENGESAHAN
Case Report Session
Drug Eruption
Disusun Oleh
Winda Meriysni , S.Ked
G1A220037
PEMBIMBING
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaika Case Report
Session (CRS) yang berjudul “Drug Eruption” sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
di RSUD Raden Mattaher Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Rini Chrisna, M.Ked (DV), Sp.DV
yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing
penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin di RSUD Raden Mattaher Jambi
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.
Sebagai penutup semoga kiranya laporan Case Report Session (CRS) ini dapat
bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.
Winda Meriyani.
BAB I
PENDAHULUAN
IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. M
Umur : 19 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Telanai Pura
Pekerjaan : Mahasiswa
Status Pernikahan : Belum menikah
Suku Bangsa : Melayu
Hobi :-
I. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama : muncul bengkak disertai nyeri pada bibir sejak ± 1
minggu yang lalu
B. Keluhan Tambahan : -
B. Status Dermatologi
No Lesi Gambar
1 Regio : Labialis
. ● Lokasi : Labialis
C. Status Venerelogi
1. Inspeksi : tidak dilakukan pemeriksaan
2. Palpasi : tidak dilakukan pemeriksaan
V. DIAGNOSIS KERJA
Drug eruption
VI. TERAPI
1) Non-medikamentosa
● Menjelaskan kondisi pasien, diminta menghentikan obat tersangka
penyebab
● Hentikan obat yang diduga sebagai penyebab.
2) Medikamentosa
1) Topikal
- Nacl 0,9% dengan kassa steril dikompres selama 30 menit 6x
sehari pada lesi dan evaluasi Kembali selama 12 jam
2) Sistemik
- Metilprednisolon tab 16 mg, diminum 3x sehari selama 5 hari
- Eritromisin 500 mg diminum 2x sehari selama 5 hari
- Cetirizin tablet 10 mg diminum 1x sehari
VII. PROGNOSIS
- Ad vitam : ad bonam
- Ad functionam : ad bonam
- Ad sanationam : ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Erupsi obat alergik atau adverse cutaneous drug eruption adalah reaksi
hipersenstivitas terhadap obat dengan manifestasi pada kulit yang dapat disertai
maupun tidak keterlibatan mukosa. Yang dimaksud obat ialah zat yang dipakai
untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan.4,5
3.2 Epidemiologi
3.3 Imunopatogenesis
Gambar 1. Klasifikasi Coombs dan Gell yang sudah direvisi. Elisitasi oleh obat
dapat terjadi pada semua tipe reaksi hipersensitivitas.
Terdapat dua konsep patomekanisme pengenalan obat oleh sel T, yaitu:
1. Konsep Hapten/Prohapten
Pada umumnya obat merupakan prohapten, artinya tidak bersifat reaktif
bila tidak berikatan dengan protein. Sehingga obat dimetabolisme terlebih
dahulu untuk dapat membentuk ikatan kovalen dan menjadi imunogenik
sehingga mampu menstimulasi respons imun. Contohnya adalah obat
golongan beta-laktam, yaitu golongan penisilin dan sefalosporin. Contoh
lain adalah obat golongan sulflametoksazol yang dimetabolisme oleh
sitokrom P450 di hati menjadi bentuk reaktif.
2. Konsep pharmacological interaction (p-i concept)
Pichler et.al. mengemukakan konsep baru yang dikenal dengan p-i concept
(pharmacological interaction of drugs with immune receptors), yaitu obat
dapat membentuk ikatan spesifik secara langsung dan reversibel dengan
berbagai macam reseptor antigen spesifik dan berinteraksi sehingga
mampu menstimulasi respons imun. Menurut konsep ini obat inert yang
tidak mampu membentuk ikatan kovalen dengan protein atau peptida,
masih dapat merangsang sistem imun melalui ikatan langsung dengan
reseptor sel T.
1. Interval waktu antara pajanan obat dan timbul gejala klinis sangat
singkat untuk membangkitkan respons imun spesifik, sehingga diduga
respons imun yang terjadi tidak melalui fase sensitisasi.
2. Beberapa obat yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
(tipe IV) diketahui tidak mengalami metabolisme menjadi bentuk
reaktif, misalnya pada media kontras. Konsep hapten juga tidak dapat
menjelaskan mekanisme alergi pada kontras.
Beberapa obat inert yang tidak mampu membentuk kompleks hapten
di kulit ternyata menunjukkan hasil positif pada uji kulit dan
ditemukan infiltrasi limfosit T.
Reaksi obat sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko. Faktor risiko
terebut antara lain jenis obat, berat molekul obat, kimiawi obat, regimen
pengobatan, faktor pejamu, atopi, penyakit tertentu, gangguan metabolisme dan
lingkungan. Obat seperti ß-laktam, sulfonamid, obat anti-inflamasi non-steroid,
trimetoprim dan sulfametoksazol sering menimbulkan reaksi berat. Obat dengan
berat molekul tinggi lebih sering menimbulkan reaksi imun, Regimen pemberian
oral, intravena, intramuskular, subkutan dan topikal secara berurutan
menyebabkan induksi alergi meningkat. Usia muda dan jenis kelamin wanita
meningkatkan kecenderungan terjadinya alergi obat. Infeksi virus, gangguan
metabolisme seperti defisiensi G6PD meningkatkan risiko alergi obat. Sedangkan
cahaya UV dapat mengubah imunoenitas obat tertentu.8,9,10
3.5 Diagnosis
2. Obat penyebab yang dicurigai menjadi lebih sempit dengan fokus terhadap:
a. Hubungan temporal antara awal dan akhir konsumsi obat dengan onset
timbulnya erupsi pada kuit
b. Lesi dominan tanda dan gejala klinis reaksi hipersensitivitas
3. Pertimbangkan farmakoepidemiologik obat yang digunakan. Urutkan
berdasarkan obat yang paling berpotensi menyebabkan alergi berdasarkan data
publikasi.
4. Hentikan dan/atau substitusi semua obat yang memiliki hubungan temporal
yang kuat Observasi gejala setelah obat dihentikan.
5. Pertimbangkan uji kulit untuk menentukan obat penyebab, bila sudah
memenuhi syarat – syarat uji.
6. Jika uji kulit negatif, lakukan provokasi oral dengan dosis yang dinaikkan
perlahan (bila tidak ada kontraindikasi)
Pada kasus yang meragukan dan belum bisa disingkirkan kemungkinan lain
dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menegakkan diagnosis EOA.
Erupsi obat alergik dapat bermanifestasi klinis ringan dan berat hingga
mengancam jiwa. Lesi dominan yang timbul merupakan petunjuk reaksi
hipersensitivitas yang mendasari.
2. Erupsi makulopapular
Erupsi makulopapular disebut juga erupsi eksantematosa atau
merupakan bentuk EOA paling sering ditemukan, timbul dalam 2-3
minggu konsumsi obat. Biasanya lesi eritematosa dimulai dari batang
tubuh kemudian ke perifer secara simetris dan generalisata, dan hampir
selalu disertai pruritus. Erupsi makulopapular akan hilang dengan cara
deskuamasi, dan terkadang meninggalkan bekas hiperpigmentasi. Erupsi
jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, NSAID, sulfonamid, fenitoin,
serta karbamazepin.
2. Tes In Vitro8,11,12
Beberapa kondisi dapat membuat pemeriksaan in vitro lebih dipilih
dibanding pemeriksaan in vivo, yaitu jika penderita menunjukkan
demografisme, iktiosis atau ekzema sistemik, menggunakan antihistamin
kerja panjang atau antidepresan trisiklik, berisiko jika obat dihentikan,
penderita menolak tes kulit atau dugaan tinggi resiko anafilaksis dengan tes
kulit terhadap alergen tertentu.
Pemeriksaan serum triptase, RAST, dan Enzymelinked Immunosorbent
Assay (ELISA) digunakan pada kondisi alergi obat melalui reaksi tipe I
dengan anafilaksis. Ketika terjadi reaksi anafilaksis akibat alergi obat, maka
perlu dilakukan penulusuran secara restrospektif. Reaksi anafilaksis dapat
dideteksi dengan pemeriksaan histamine dan atau N-methylhistamin pada
urin 24 jam. Pemeriksaan RAST dan ELISA dapat mengukur IgE terhadap
beberapa obat dalam sirkulasi sehingga dapat dipakai untuk identifikasi
penyebab. Pada beberapa obat seperti eritromisin, trimetoprim,
sulfometoksazol, rifampisin, vankomisin dan isoniazid dilaporkan adanya
penemuan IgE yang spesifik. Hasil positif metode pengukuran IgE ini dapat
digunakan untuk mengidentifikasi adanya risiko pada penederita, namun
hasil negatif tidak dapat menyingkirkan risiko tersebut. Jika dibandingkan
dengan tes tusuk, metode ini kurang sensitif.
Pada alergi obat yang melalui mekanisme hipersensitivitas tipe II,
evaluasi tes auto-antibodi seperti Coombs dan autoantibodi anti-trombosit
perlu dilakukan. Pemeriksaan C3, C4, krioglobulin dan C1q-binding perlu
dikerjakan jika alergi obat dicurigai melibatkan mekanisme hipersensitivitas
tipe III. Tes tempel spesifik, tes proliferasi limfosit dan isolasi klon yang
spesifik dikerjakan apabila terdapat kecurigaan hipersenitivitas tipe IV.
Antibodi IgG dan IgM spesifik untuk obat dapat diukur dengan ELISA
dan radioimmunoassay (RIA). Tes Coombs digunakan sebagai penapis
untuk tes IgG spesifik pada kondisi hemolisis yang diinduksi obat.
Pemeriksaan pelepasan histamin dan mediator lain dari basofil baru dapat
dilakukan pada laboratorium tertentu dan esai ini cukup rumit. Pemeriksaan
mediator dalam serum seperti kadar histamin dan PGD2 sangat rumit dan
lama, sehingga lebih relevan memeriksakan metabolit histamin atau PGD2
pada urin. Pemeriksaan aktivasi komplemen memiliki kelemahan, yaitu
reaksi obat tidak dapat dibedakan dari reaksi lainnya. Pemeriksaan
transfomasi limfosit cukup kompleks dan sangat jarang digunakan.
Pemeriksaan toksisitas limfosit dikerjakan dengan melihat limfosit perifer
penderita dan diukur persentase limfosit yang mati dengan menggunakan
indeks toksisitas metabolit obat yang dilepas. Pada pasien dengan reaksi
obat di kulit yang lambat dapat diperiksakan ambang perforin, granzim B
dan TNF-a untuk mengukur derajat penyakit.
3. Biopsi
Pada kondisi didapatkan vaskulitis, purpura yang dapat teraba, plak
dan ulkus, maka pemeriksaan biopsy perlu dikerjakan. Pada pemeriksaan
biopsi ini kadang diperlukan pemeriksaan imunofluoresen untuk mencari
endapan imunoglobubin dan komplemen pada vaskulitis kulit.8
3.7 Diagnosis Banding
3.8 Tatalaksana
1. Terapi Sistemik
a) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid hingga saat ini masih kontroversi, tetapi
pengalaman kami di Departemen Ilmu Kulit dan Kelamin
FKUI/RSCM untuk kasus EOA berat memberikan respons sangat baik
dan angka mortalitas menurun. Pada EOA ringan kortikosteroid
diberikan 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada EOA berat 1 – 4
mg/kgBB/hari. Selama pemberian kortikosteroid waspadai efek
samping yang terjadi misalnya perdarahan intestinal, risiko sepsis, dan
peningkatan gula darah.
b) Antihistamin
Antihistamin terutama diberikan EOA tipe urtikaria dan
angioedema. Dapat diberikan sebagai terapi simtomatis pada EOA tipe
lain yang disertai rasa gatal yang berat, misalnya eritroderma atau
eksantematosa.
2. Topikal
Pemberian terapi topikal tidak spesifik, bergantung pada kondisi dan luas
lesi kulit seusai dengan prinsip dermatoterapi. Misalnya, pada erosi akibat
epidermolisis pada SSJ/NET dapat diberikan bahan keratoplasti asam
salisilat 1 – 2%.
3. Terapi sistemik lain yang pernah dilaporkan adalah penggunaan
siklosporin, plasmafaresis, dan Imunoglobulin Intravena (IVIg)
3.9 Prognosis
Prognosis erupsi obat alergik tipe ringan baik bila obat penyebab dapat
diidentifikasi dan segera dihentikan. Pada erupsi obat alergik tipe berat, misalnya
eritroderma dan nekrolisis epidermal toksik prognosis dapat menjadi buruk,
disebabkan komplikasi yang terjadi misalnya sepsis.5
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien atas nama Nn. M, usia 19 tahun datang dengan keluhan muncul
bengkak disertai nyeri pada bibir sejak ± 1 minggu yang lalu. Berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis dengan drug eruption.
Erupsi obat berdasarkan WHO adalah segala sesuatu yang berbahaya, tidak
disengaja, dan efek obat yang tidak diinginkan yang terjadi pada dosis yang
digunakan untuk pencegahan, diagnosis, atau pengobatan. Dari anamnesis pasien
± 1 minggu pasien berobat ke bidan karena keluhan tidak enak badan dan
diberikan obat berupa Paracetamol, Amoxicilin, Antasida, dan vitamin. ± 5 hari
yang lalu saat bangun tidur pasien mengeluhkan bibir kiri atas mengalami
bengkak dan kemerahan namun tidak terasa nyeri. Pasien mengaku tetap
mengkonsumsi obat yang diberikan oleh bidan tersebut. Bengkak yang bermula-
mula pada bibir kiri atas kemudian menyebar hingga keseluruh bibir atas hingga
bibir bawah dan juga disertai dengan nyeri. Pasien juga mengeluhkan nafsu
makan berkurang dan juga terasa nyeri tenggorokan. Pasien mengaku
mengkonsumsi obat Kenalog yang didapatkan dari situs online namun keluhan
pasien tidak berkurang.
Pada status dermatologi ditemukan lesi pada regio labialis dengan lesi utama
Krusta, Kuning, irregular, ukuran Plakat, multiple (>3), berbatas tegas, dengan
tepi tidak aktif, distribusi regional, permukaan tidak rata, dengan konsistensi
kenyal-keras, dan sekitar lesi utama terdapat erosi.
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Namun untuk lebih
memastikan diagnosis kerja, usulan pemeriksaan penunjang yang dilakukan: tes
kulit untuk reaksi hipersensitivitas cepat (lgE), tes tempel, tes provokasi atau tes
dosing, radioallergosorbent test (RAST), mengukur lgG atau lgM yang spesifik
untuk obat, mengukur aktivasi komplemen, mengukur pelepasan histamin atau
mediator lain dari basofil, mengukur mediator seperti histamin, prostaglandin,
leukotrien, triptase, transformasi limfosit, uji toksisitas leukosit, evaluasi dengan
bantuan komputer.
Pada pasien diberikan terapi Nacl 0,9% dengan kassa steril dikompres
selama 30 menit 6x sehari pada lesi, metilprednisolon tab 16 mg, diminum 3x
sehari selama 5 hari, eritromisin 500 mg diminum 2x sehari selama 5 hari,
cetirizin tablet 10 mg diminum 1x sehari.
Berdasarkan teori jika ditemukan lesi dalam keadaan basah perlu dilakukan
kompres, pada pasien ini diberikan kompres Nacl 0,9% yang dimana merupakan
cairan isotonis yang bersifat fiiologis, non toksik dan tidak menimbulkan
hipersensitivitas sehingga aman digunakan untuk tubuh dalam kondisi apapun.
Nacl 0,9% juga melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering, menjaga
kelembaban sekitar luka, dan membantu luka menjalani proses penyembuhan.
Pasien diberikan metilprednisolon dimana pemberian kortikosteroid sangat
penting pada alergi obat sistemik. Pasien juga diberikan antibiotik berupa
eritromisin yang bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pada
pasien juga diberikan obat oral cetirizine tab 10 mg yang merupakan golongan
antihistamin digunakan untuk mengurangi rasa gatal.
BAB V
KESIMPULAN
Erupsi obat berdasarkan WHO adalah segala sesuatu yang berbahaya, tidak
disengaja, dan efek obat yang tidak diinginkan yang terjadi pada dosis yang
digunakan untuk pencegahan, diagnosis, atau pengobatan.
Pada laporan kasus ini pasien atas nama Nn. M, usia 19 tahun datang
dengan keluhan muncul bengkak disertai nyeri pada bibir sejak ± 1 minggu yang
lalu. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis dengan
drug eruption. Diberikan terapi Nacl 0,9% dengan kassa steril dikompres selama
30 menit 6x sehari pada lesi, metilprednisolon tab 16 mg, diminum 3x sehari
selama 5 hari, eritromisin 500 mg diminum 2x sehari selama 5 hari, cetirizin
tablet 10 mg diminum 1x sehari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tanzira, Diza. Batubara, DE. Jurnal Ilmiah Maksitek : Profil Erupsi Obat di
RSUD dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2015 – 2017. Vol 5 No 04. Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara. Medan : 2020.
2. Anggarini DR, Rosita C, Prakoeswa S. Penatalaksanaan Pasien Erupsi Obat di
Instalasi Rawat Inap (IRNA) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Soetomo Surabaya: Studi Retrospektif (Management. Berk Ilmu Kesehat Kulit
dan Kelamin. 2015;27(1):1-8.
3. Alexopoulou A, Dourakis SP, Mantzoukis D, et al. Adverse Drug Reactions
As A Cause Of Hospital Admissions: A 6-Month Experience in A Single
Center in Greece. Eur J Intern Med. 2008;19(7):505-510.
doi:10.1016/j.ejim.2007.06.030
4. Hamzah, Mochtar. Erupsi Obat Alergi Dalam Buku Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, Edisi Keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta :
2010.
5. Budianti, Windy Keumala. Erupsi Obat Alergik Dalam Buku Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, Edisi Ketujuh Cetakan Kedua 2016. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta : 2016.
6. Khan DA. Cutaneous Drug Reaction. J Allergy Clin Immunol.
2012;130(5):1225
7. Ahmed AM, Pritchard S, Reichenberg J. A Review of Cutaneous Drug
Eruption. Clin Geriatr Med. 2013;29(1):527-545.
8. Baratawidjaja, KG., Rengganis, Iris. Alergi Dasar Edisi ke-10. Jakarta: FKUI;
2009.hal.459-92.
9. Barranco P, Lopez-Serrano MC: General and epidemiological aspects of
allergic drug reactions. Clin Exp Allergy. 1998;28(Suppl 4):61-2.
10. Thong BY, Tan TC. Epidemiology and risk factors fordrug allergy.Br J Clin
Pharmacol. 2011;71(5):684-700.
11. Joint Task Force on Practice Parameters; American Academy of Alergy,
Asthma and Immunology; American College of Allergy, Asthma and
Immunology; Joint Council of Allergy, Asthma and Immunology. Drug
allergy: an updated practice parameter. Ann Allergy Asthma Immunol.
2010;105(4):259-73.
12. Sogn DD, Evans R, Shepherd GM, et al. Results of the National Institute of
Allergy and Infectious Diseases collaborative clinical trial to test the
predictive value of skin testing with major and minor penicillin derivatives in
hospitalized adults. Ann Intern Med. 1992;152(5):1025–32.
13. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt Sl, Gilchrest BA, Paller AS, LeffellDJ, editor.
Dalam :Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke – 8. New
York : McGraw – Hill; 2012.