Anda di halaman 1dari 58

Laporan Kasus

ERUPSI OBAT ALERGIK

Disusun Oleh :

Fandika Dhimas Prayogi, S.Ked

NIM 71 2021 028

Pembimbing Klinik :

dr. Lucille Anisa Suardin, Sp.KK, FINSDV, FAADV

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG 2023
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

ERUPSI OBAT ALERGIK

Oleh :

Fandika Dhimas Prayogi, S.Ked

NIM : 71 2021 028

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti proses di
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Palembang
Bari periode Juni 2023 Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.

Palembang, 13 Juli 2023


Menyetujui
Dosen Pembimbing

dr. Lucille Anisa Suardin, Sp.KK, FINSDV, FAADV

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Erupsi Obat Alergik” sebagai syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)
di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang Bari. Shalawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita, nabi
besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikut-pengikutnya
sampai akhir zaman.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada:

1. dr. Lucille Anisa Suardin, Sp.KK, FINSDV, FAADV, selaku pembimbing


Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang yang telah memberikan masukan, arahan, serta
bimbingan dalam penyelesaian laporan kasus ini.
2. Rekan-rekan co-assistant atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Palembang, 13 Juli 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................ii

KATA PENGANTAR..............................................................................................iii

DAFTAR ISI.............................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................1

1.2 Maksud dan Tujuan......................................................................................1

1.3 Manfaat........................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3

2.1 Erupsi Alergi Obat.......................................................................................3

2.2 Sindrom Stevens Johnson............................................................................20

2.3 Pitiriasis Roseae...........................................................................................25

BAB III LAPORAN KASUS...................................................................................30

BAB IV ANALISIS KASUS....................................................................................36

BAB V KESIMPULAN............................................................................................51

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Erupsi obat adalah erupsi kulit yang disebabkan karena obat-obatan.
Penggunaan obat yang sembarangan, masuknya obat-obatan baru yang hampir

iv
setiap harinya di pasaran, serta kurangnya kebiasaan untuk melaporkan kejadian
reaksi simpang obat, telah mengakibatkan meningginya angka insidensi reaksi
simpang obat yang terjadi1.
Erupsi obat dapat terjadi melalui 2 proses, yaitu secara imunologis dan
nonimunologis. Erupsi obat yang terjadi karena proses imunologis disebut
dengan erupsi obat alergi. Bentuk erupsi obat alergi yang sering ditemui adalah
eksantema morbiliformis, urtikaria, eritroderma, Fixed Drug Eruption (FDE) dan
fotosensitifitas. Erupsi obat dapat diklasifikasikan sebagai erupsi obat berat yang
disebut dengan Severe Cutaneous Adverse Drug Reaction (SCAR) dan erupsi
obat tidak berat.2
Pada populasi pediatrik, erupsi kulit akibat obat terjadi 35-36% dari
keseluruhan reaksi simpang obat. Meskipun prevalensi erupsi kulit akibat obat
tinggi, kebanyakan bersifat tidak membahayakan dan menyebabkan gejala klinis
ringan serta mereda secara spontan ketika dilakukan penghentian obat yang
dicurigai. Namun, 2-6,7% dari reaksi kulit dapat berkembang menjadi sindrom
klinis berat dan berpotensi mengancam nyawa3.

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan pembuatan laporan kasus ini:
1. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat memahami setiap kasus
Erupsi Obat Alergik.
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukannya diskusi laporan
Erupsi Obat Alergik dengan pembimbing klinik.
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapat mengenai kasus Erupsi Obat Alergik serta
penyebabnya, terkait pada kegiatan kepaniteraan.

1.3 Manfaat
1.3.1 Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu

v
tentang laporan kasus ini

1.3.2 Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan yang
diberikan terutama dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan)
kepada pasien dan keluarganya tentang kegawatan pada pasien.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

vi
2.1. Erupsi Alergi Obat
2.1.1. Definisi
Reaksi simpang terhadap obat atau produk diagnostik merupakan
kasus yang sering ditemukan dokter dalam tatalaksana pasien sehari-hari.
Selain obat yang diresepkan oleh dokter, obat yang dijual bebas, termasuk
herbal dan suplemen serta obat topikal dapat pula menyebabkan reaksi
simpang ringan hingga mengancam jiwa.4
Terdapat dua jenis reaksi simpang obat, yaitu reaksi tipe A yang
dapat diprediksi karena sifat farmakologik obatnya, dan tipe B yaitu
reaksi yang tidak dapat diprediksi dan terjadi pada populasi tertentu,
misalnya idiosinkrasi dan reaksi hipersensitvitas. Salah satu reaksi
simpang obat adalah erupsi obat alergik (EOA) I dengan manifestasi
klinis yang bervariasi.4
Dewasa ini, angka kejadian erupsi obat alergik meningkat,
disebabkan konsumsi obat meningkat pada masyarakat, praktik
polifarmasi, serta kondisi imunokompromais. Insides EA sekitar 6-10%
dari keseluruhan reaksi simpang obat yang dilaporkan. 4
Erupsi obat alergik atau adverse cutaneous drug eruption atau
cutaneous drug hypersensitivity adalah reaksi hipersensitivitas terhadap
obat dengan manifestasi pada kulit yang dapat disertai maupun tidak
keterlibatan mukosa. Yang dimaksud dengan obat ialah zat I yang dipakai
untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. 4

2.1.2. Epidemiologi
Erupsi obat adalah penyebab utama komplikasi morbiditas dan
mortalitas pada pasien dari semua usia. Pada kelompok usia 61-70 tahun
mempunyai risiko 5,2 kali lebih besar untuk mengalami erupsi obat.20
Perempuan (54,47%) lebih sering terkena erupsi obat bila dibandingkan
dengan laki-laki (45,43%).5

vii
Meskipun kasusnya relatif jarang, sekitar 2% pasien yang dirawat di
rumah sakit terkena EOA. Terdapat kejadian sebanyak 2 hingga 7 kasus
per juta penduduk per tahun sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis
epidermal toksik (SJS/TEN), dan 1 dari 1000 hingga 1 dari 10.000
paparan agen penyebab mengakibatkan reaksi obat dengan eosinofilia dan
gejala sistemik (DRESS- Drug reaction with eosinophilia and systemic
symptoms). Namun, tingkat kematian secara bertahap meningkat dari SJS,
tumpang tindih SJS-TEN, dan TEN hingga DRESS, yaitu sekitar 5%–
10%, 30%, 50%, dan 10%, masing-masing.6
Banyak studi telah mengkonfirmasi bahwa obat antiepilepsi
berhubungan dengan risiko tinggi EOA. Dalam European Registry of
Serious Adverse Skin Reactions (RegiSCAR), karbamazepin dianggap
sebagai alasan paling umum untuk DRESS dan penyebab kedua paling
umum dari SJS dan TEN. Obat antiepilepsi lainnya juga berhubungan
dengan EOA. Risiko EOA yang terkait dengan berbagai obat bergantung
pada sejumlah variabel, termasuk faktor risiko genetik dan non-genetik.
Prevalensi dan pola EOA bervariasi luas antara ras yang berbeda dan
distribusi geografis. Hubungan yang kuat antara alel HLA dan reaksi kulit
akibat obat telah diidentifikasi dalam banyak studi. Pada populasi Eropa
dan Jepang, alel HLA-A31.01 telah dikaitkan dengan reaksi yang
merugikan akibat karbamazepin (CBZ). Namun, di antara keturunan
Tionghoa Han, Vietnam, Taiwan, dan Asia Tenggara lainnya, alel HLA-
B15:02 dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas akibat CBZ. Selain itu,
SJS dan TEN akibat allopurinol ditemukan memiliki hubungan yang kuat
dengan genotipe HLA-B*58:01, karena penelitian ini memperoleh hasil
yang konsisten pada pasien di Asia Tenggara, Jepang, dan Eropa. 6
Faktor-faktor host yang meningkatkan risiko terjadinya bekas
termasuk lupus eritematosus sistemik, adanya potensi kanker, dan infeksi
potensial seperti tuberkulosis, hepatitis, virus imunodefisiensi manusia
(HIV) [24], dan penyakit coronavirus 2019 (COVID-19). Infeksi

vii
i
potensial tidak hanya meningkatkan risiko bekas, tetapi juga
menyebabkan fenotipe penyakit yang lebih parah, termasuk peningkatan
risiko kerusakan sistem viseral dan komplikasi oftalmik. Dalam beberapa
tahun terakhir, penggunaan agen biologis dan obat antitumor juga
meningkatkan risiko EOA. Selain itu, kebiasaan pengobatan juga dapat
memengaruhi risiko bekas. Sebagai contoh, dosis allopurinol yang sama
dengan atau lebih besar dari 200 mg per hari dikaitkan dengan risiko
tinggi SJS/TEN. Selain obat-obatan umum yang berhubungan dengan
EOA, ada juga laporan mengenai bahan medis Tiongkok dan obat
sensitizing baru, seperti obat antihipertensi (kanabinol, hidroklorotiazid),
obat antijamur (griseofulvin, terbinafin), dan non-steroid anti-aromatase
(letrozol). 6

2.1.3. Faktor predisposisi


Adapun faktor-faktor predisposisi yang dapat mempengaruhi
timbulnya penyakit ini adalah :7
1. Usia dan jenis kelamin, Pada kelompok usia 61-70 tahun mempunyai
risiko 5,2 kali lebih besar Perempuan > laki-laki
2. Polifarmasi terjadinya reaksi erupsi obat dan dihubungkan dengan
jumlah obat yang diresepkan.
3. Faktor genetik mempengaruhi risiko terjadinya erupsi obat, seperti
variasi genetik, Riwayat atopi, metabolisme obat dan HLA. riwayat
atopi tidak berhubungan dengan terjadinya erupsi obat. Hal ini
disebabkan oleh karena erupsi obat tidak hanya disebabkan oleh
reaksi hipersensitifitas tipe 1 tetapi juga bisa oleh karena reaksi
hipersensitifitas tipe 2 dan 4. Studi lain menunjukan anak dengan
riwayat alergi obat pada orang tuanya mempunyai risiko terjadinya
alergi obat sebanyak 25% dibandingkan dengan anak-anak yang
orang tuanya tidak mempunyai riwayat alergi obat. Latar belakang
atopi meningkatkan risiko reaksi hipersensitifitas tipe cepat terhadap

ix
obat menjadi lebih berat atau parah. Adanya predisposisi atopi tidak
meningkatkan kejadian erupsi obat tetapi berhubungan dengan erupsi
obat yang berat.8
4. Pajanan obat sebelumnya Obat yang dicurigai diklasifikasikan sesuai
dengan klasifikasi terapi. Pada umumnya laporan tentang obat
tersebut dengan derajat keparahan erupsi obat. tersering adalah
golongan penisilin, sulfa, salisilat, Paracetamol, dan anti konvulsan.
Dalam suatu studi penelitian menyatakan bahwa antibiotik
amoksisilin merupakan penyebab paling banyak reaksi simpang obat
pada berbagai rumah sakit di Kathmandu, India. Golongan penisilin
merupakan obat dengan berat molekul kecil yang bersifat
imunogenik jika bergabung dengan protein karier seperti albumin
oleh karena dapat membentuk hapten. Penggunaan berulang juga
meningkatkan risiko reaksi imun yang terjadi. Alergi obat golongan
beta laktam sering menimbulkan reaksi anafilaksis dan kematian.
Obat golongan penisilin. menimbulkan reaksi hipersensitifitas tipe I
(diperantarai oleh IgE) sehingga bisa menimbulkan gejala berupa
urtikaria, edema laring, wheezing dan kolaps kardiorespiratorius.8
5. Durasi pemberian obat Kejadian kronis atau pemberian yang rutin
lebih sering mengakibatkan terjadinya erupsi obat daripada
pemberian obat jangka pendek atau intermiten.

2.1.4. Imunopatogenesis
Beberapa studi menunjukkan hubungan kuat antara human
lymphocyte allele (HLA) dengan EOA, misalnya HLA B*1502 pada
kasus sindrom Stevens-Johnson yang disebalkan karbamazepin pada etnis
Han-Cina. Temuan lain misalnya HLA B*5701 pada kasus sindrom
hipersensitivitas obat yang disebabkan oleh Abacavir. 4
Berdasarkan klasifikasi Coombs dan Gell, patomekanisme yang
mendasari EOA dibagi menjadi 4 tipe mekanisme. Tipe I dimediasi oleh

x
Imunoglobulin (Ig) E yang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis,
urtikaria dan angioedema, timbul sangat cepat, terkadarg dapat urtikaria/
angioedema persisten beberapa minggu setelah obat dihentikan. Tipe II
merupakan mekanisme sitotoksik yang diperantarai reaksi antigen, IgG
dan komplemen terhadap eritrosit, leukosit, trombosit, atau sel prekursor
hematologik lain. Obat yang dapat menyebabkan hipersensitivitas tipe ini
antara lain golongan penisilin, sefalosporin, streptomisin, klorpromazin,
sulfonamid, analgesik, dan antipiretik. 4
Sedangkan tipe III adalah reaksi imun kompleks yang sering terjadi
akibat penggunaan obat sistemik dosis tinggi dan terapi jangka panjang.
menunjukkan manifestasi berupa vaskulitis pada kulit dan penyakit
autoimun yang dinduksi oleh obat. Tipe terakhir dan yang paling sering
mendasari insidens EQA adalah tipe IV (tipe lambat), yang diperantarai
ole limfosit T dengan manifestasi klinis erupsi ringan hingga berat. Selain
pada kulit, reaksi hipersensitilitas dapat melibatkan hati, ginjal, dan organ
tubuh lain. Reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh sel T terbagi atas
4 subklas, yaitu tipe Na hingga Id. Subklasifikasi tersebut dapat dilihat
pada tabel 2.14

Tabel 21.1. Klasifikasi Coombs dan Gell yang sudah direvisi.


Elisitasi oleh obat dapat terjadi pada semua tipe reaksi hipersensitivitas. 4

xi
Terdapat dua konsep patomekanisme pengenalan obat oleh sel T, yaitu:
1. Konsep Hapten/Prohapten
Pada umumnya obat merupakan prohapten, artinya tidak bersifat
reaktif bila tidak berikatan dengan protein. Sehingga obat
dimetabolisme terlebih dahlu untuk dapat membentuk ikatan kovalen
dan menjadi imunogenik sehingga mampu menstimulasi respons imun.
Contohnya adalah obat golongan beta-laktam, yaitu golongan penisilin
dan sefalosporin. Contoh lain adalah obat golongan sulfametoksazol
yang dimetabolisme oleh sitokrom P450 di hati menjadi bentuk reaktif.
4

2. Konsep pharmacological interaction (p-i concept)


Pichler et.al. mengemukakan konsep baru yang dikenal dengan p-i
concept (pharmacological interaction of drugs with immune
receptors), yaitu obat dapat membentuk ikatan spesifik secara
langsung dan reversibel dengan berbagai macam reseptor antigen
spesifik dan berinteraksi sehingga mampu menstimulasi respons imun.
Menurut konsep in obat inert yang tidak mampu membentuk ikatan
kovalen dengan protein atau peptida, masih dapat merangsang sistem

xii
imun melalui ikatan langsung dengan reseptor sel T. 4

Gambar 2.1 Perbandingan konsep hapten dan konsep p-i*

Bukti klinis yang mendukung konsep p-i adalah: 4


1. Interval waktu antara pajanan obat dan timbul gejala klinis sangat
singkat untuk membangkitkan respons imun spesifik, sehingga
diduga respons imun yang terjadi tidal melalui fase sensitisasi.
2. Beberapa obat yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat (tipe IV) diketahui tidak mengalami metabolisme menjadi
bentuk reaktif, misalnya pada media kontras. Konsep hapten juga
tidak dapat menjelaskan mekanisme alergi pada kontras.
3. Beberapa obat inert yang tidak mampu membentuk kompleks
hapten di kulit ternyata menunjukkan hail positif pada uji kulit dan
ditemukan infiltrasi limfosit T. 4

2.1.5. Diagnosis

xii
i
Langkah pertama pendekatan diagnosis EOA adalah mencurigai
terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang dikonsumsi pasien.
Kecurigaan tersebut didukung oleh bukti riwayat konsumsi obat pada sat
anamnesis, manifestasi klinis dan morfologi lesi pada kulit, serta
pemeriksaan penunjang. Hal yang sering menjadi tantangan adalah bila
pasien mendapatkan medikasi dengan obat lebih dari satu jenis. Langkah
yang penting diperhatikan adalah sebagai berikut: 4
1. Kumpulkan data klinis secara sistematis dan teliti mengenai:
a. Riwayat alergi obat sebelumnya, berikut tanda dan gejala
klinisnya
b. Riwayat atopi pada pasien dan keluarga
c. Data medikasi pasien saat ini, baik oral, intravena, dan topikal.
Jangan abaikan pengunaan obat herbal dan suplemen. Buatlah peta
kronologis sejak obat dimulai dan dihentikan, serta peningkatan
dosis.
d. Riwayat pajanan obat yang dicurigai atau obat yang dapat bereaksi
silang
e. Perhatikan kronologis reaksi obat: tanda dan gejala dan hail
laboratorium
2. Obat penyebab yang dicurgai menjadi lebih sempit dengan fokus
terhadap:
a. Hubungan temporal antara awal dan akhir konsumsi obat dengan
onset timbulnya erupsi pada kulit
b. Lesi dominan tanda dan gejala klinis reaksi hipersensitivitas
3. Pertimbangkan farmakoepidemiologik obat yang digunakan. Urutkan
berdasarkan obat yang paling berpotensi menyebabkan alergi
berdasarkan data publikasi.
4. Hentikan dan/atau substitusi sema obat yang memiliki hubungan
temporal yang kuat. Observasi gejala setelah obat dihentikan.

xi
v
5. Pertimbangkan uji kulit untuk menentukan obat penyebab, bila sudah
memenuhi syarat-syarat uji.
6. Jika uji kulit negatif, lakukan provokasi oral dengan dosis yang
dinaikkan perlahan (bila tidak ada kontraindikasi) 4
7. Uji provokasi obat dilakukan dengan melakukan pemberian obat dalam
pengawasan pengawas medis untuk meneggakkan atau menyingkirkan
diagnosis reaksi hipersensitivitas obat dan pada kasus tertentu untuk
menyediakan obat alternatif. Uji ini bertujuan untuk mencetuskan
tanda dan gejala klinis yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis
kecil biasanya dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup untuk
memprovokasi reaksi dan provokasi biasanya sudah muncul dalam
beberapa jam.9
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM/FKUI obat
yang sering menyebabkan reaksi alergik adalah golongan beta laktam,
sulfonamid, rifampisin, nevirapin, obat anti konvulsan, serta obat anti
inflamasi non-steroid. Pada beberapa kasus insulin juga menjadi
penyebab EOA. 4
Pada kasus yang meragukan dan belum bisa disingkirkan
kemungkinan lain dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk:
menegakkan diagnosis EOA. 4

2.1.6. Manifestasi Klinis


EOA dapat bermanifestasi klinis ringan dan berat hingga
mengancam jiwa. Lesi dominan yang timbul merupakan reaksi
hipersensitivitas yang mendasari. 4
1. Urtikaria dan angioedema
Urtikaria ditandai dengan edema setempat pada kulit dengan
ukuran yang bervariasi. Predileksi dapat di seluruh tubuh. Keluhan
umumnya gatal dan panas pada tempat lesi. Lesi individual biasanya

xv
bertahan kurang dari 24 jam kemudian hilang perlahan. 4
Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir, kelopak mata,
genitalia eksterna, tangan dan kaki. Angioedema pada glottis
menyebabkan asfiksia, sehingga dibutuhkan penanganan segera.
Penyebab tersering alah penisilin, asam asetilsalisilat dan NSAID. 4
Urtikaria adalah gangguan umum yang terjadi pada 15–25%
individu pada suatu waktu dalam hidupnya. Urtikaria ditandai dengan
bercak berulang yang gatal, berwarna pucat dengan pembengkakan di
tengah dan kemerahan kulit di sekitarnya yang dapat muncul di bagian
tubuh mana pun (lihat Gambar 2.2). Lesi dapat bervariasi dalam
ukuran, mulai dari beberapa milimeter hingga beberapa sentimeter
dalam diameter, dan seringkali bersifat sementara, menghilang dalam
waktu sekitar 24 jam tanpa bekas; namun, beberapa lesi dapat bertahan
hingga 48 jam. Sekitar 40% pasien dengan urtikaria juga mengalami
angioedema (pembengkakan yang terjadi di bawah kulit).10

Gambar 2.2. Urtikaria10


Sel-sel mastosit merupakan sel efektor utama dalam urtikaria dan
dalam banyak kasus angioedema. Sel-sel ini terdistribusi luas di kulit,
mukosa, dan area lain tubuh, serta memiliki reseptor imunoglobulin E
(IgE) berafinitas tinggi. Degranulasi sel mastosit menghasilkan

xv
i
pelepasan cepat berbagai mediator inflamasi, seperti histamin,
leukotrien, dan prostaglandin, yang pada gilirannya menyebabkan
vasodilatasi dan kebocoran plasma di dan di bawah kulit. Terdapat
juga sekresi yang lebih lambat (4–8 jam) dari sitokin inflamasi
(misalnya, faktor nekrosis tumor, interleukin 4 dan 5) yang berpotensi
menyebabkan respons inflamasi lebih lanjut dan lesi yang berlangsung
lebih lama. 10
Urtikaria umumnya diklasifikasikan sebagai akut atau kronis,
tergantung pada durasi gejala dan keberadaan rangsangan pemicu.
Urtikaria akut mengacu pada urtikaria dengan atau tanpa angioedema
yang berlangsung kurang dari 6 minggu. Urtikaria kronis didefinisikan
sebagai urtikaria dengan atau tanpa angioedema yang berlangsung
secara terus-menerus atau intermitten selama setidaknya 6 minggu.
Urtikaria kronis dapat dikelompokkan lebih lanjut menjadi urtikaria
kronis spontan (CSU) dan urtikaria induktil. Yang terakhir mewakili
subkelompok khusus urtikaria kronis yang dipicu oleh rangsangan
fisik, seperti garukan (dermatografisme, bentuk umum urtikaria fisik),
dingin, panas, sinar matahari, getaran, dan tekanan. 10
Meskipun urtikaria akut umumnya dapat diatasi dengan mudah
dan memiliki prognosis yang baik, urtikaria kronis yang parah sering
kali berhubungan dengan morbiditas yang signifikan dan penurunan
kualitas hidup (QOL). 10
2. Erupsi maculopapular
Erupsi makulopapular disebut juga erupsi eksantematosa atau
mobiliformis, merupakan bentuk EOA paling sering ditemukan, timbul
dalam 2-3 minggu setelah konsumsi obat. Biasanya lesi eriternatosa
dimulai dari batang tubuh kemudian menyebar ke perifer secara
simetris dan generalisata, dan hampir selalu disertai prunitus. Erupsi
makulopapular akan hilang dengan cara deskuamasi, dan terkadang
meninggalkan bekas hiperpigmentasi Erupsi jenis in sering disebabkan

xv
ii
oleh ampisilin, NSAID, sulfonamid, fenitoin, serta karbamazepin.8
3. Fixed drug eruption (FDE)
FDE merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai. Lesi
berupa makula atau plak eritema-keunguan dan kadang disertai
vesikel/bula pada bagian tengah lesi sehingga sering menyerupai
eritema multiforme. Predileksi tersering di daerah bibir, tangan dan
genitalia. Kemud an meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama
hilang. bahkan sering menetap. Ciri khas FDE adalah berulang pada
predileksi yang sama setelah palanan obat penyebab. Obat penyebab
yang sering menyebabkan FDE adalah tetrasiklin, naproxen, dan
metamizol. 4
Fixed-drug eruption (FDE) adalah reaksi advers kulit imunologi
yang ditandai dengan lesi likenoid yang tajam dan terjadi di lokasi
yang sama setiap kali terpapar zat penyebabnya. Agen eksogen adalah
satu-satunya penyebab yang diketahui dari FDE. Ini tidak terjadi
secara spontan atau setelah infeksi. Lesi kulit kadang-kadang sembuh
ketika pengobatan dihentikan, tetapi biasanya menyebabkan
pigmentasi yang berlangsung lama atau bahkan permanen. Karena
fitur-fitur karakteristiknya, FDE dapat didiagnosis dengan relatif
mudah dibandingkan dengan erupsi obat lainnya.11

Gambar 2.3 Fixed-drug eruption pada abdomen11


4. Pustulosis eksantematosa generalisata akut

xv
iii
Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA)
merupakan erupsi pustular akut yang timbul 1-3 minggu setelah
konsumsi obat yang diawali oleh demam, mual, dan malaise.
Kelainan kulit yang ditemukan berupa pustul milier berjumlah
banyak di atas dasar eritematosa. Predileksi utama di wajah dan lipatan
tubuh. 4
PEGA terkadang sulit dibedakan dengan psoriasis pustulosis dan
dermatosis pustulosis subkomeal (penyakit Sneddon-Wilkinson)
sehingga terkadang dibutuhkan pemeriksaan histopatologis. 4
5. Eritroderma
Eritroderma disebut juga dermatitis eksfoliativa, merupakan lesi
eritema difus disertai skuama lebih dan 90% area tubuh. 4
Bukan merupakan suatu diagnosis spesifik dan dapat disebabkan
oleh berbagai penyakit lain selain EOA, misalnya perluasan penyakit
kulit, penyakit sistemik termasuk keganasan (penyakit Hodgkin) atau
idiopatik. Perlu dilakukan pemeriksaaan teliti dan penunjang untuk
membantu menyingkirkan kemungkinan penyebab lain. Pada
eritroderma sering terjadi ketidakseimbangan elektrolit, gangguan
termoregulasi, serta kehilangan albumin, sehingga merupakan indikasi
pasien untuk dirawat. Obat penyebab antara lain adalah asetaminofen
dan minosiklin. 4
Eritroderma merupakan penyakit sekunder pada kulit yang
termasuk dalam kelompok papulosquamous eruption, dengan
karakteristik eritema dan skuama pada lebih dari 90% area permukaan
tubuh. Beberapa kasus juga berhubungan dengan terjadinya erosi
(kehilangan epidermis dengan dasar epidermal), pengerasan kulit
(serous, sanguineous atau pustul), dan berpotensi terjadi perubahan
pada rambut dan kuku. Nama lain dari eritroderma adalah dermatitis
eksfoliatif, pityriasis rubra (Hebra), Wilson Brocq, dan eritem
scarlatiniform.12

xi
x
Eritroderma memiliki gejala khas yaitu biasanya mengenai 90%
permukaan kulit dengan gambaran kulit eritrem generalisata disertaui
skuama, biasanya pasien mengeluhkan gatal pada seluruh tubuh.
Pengobatan eritroderma efektif apabila penyakit yang menjadi
penyebab diobati. Pemberian kortikosteroid oral dilaporkan efektif
dalam pengobatan eritroderma yang diakibatkan alergi obat.12
6. Sindrom Hipersensitivitas Obat
Sindrom hipersensitivitas obat (SHO) merupakan bentuk EA tipe
berat yang dapat mengancam jiwa, karena keterlibatan multiorgan.
Dahulu SHO dikenal dengan drug reaction with eosinophilia and
systemic symptoms (DRESS). Seringkali diawali oleh infeksi saluran
pernapasan atas dan dihubungkan dengan infeksi HHV-6, HHV-7,
Epstein Barr virus, dan Cytomegalovirus. 4
Tanda karakteristik SHO adalah demam di atas 38•C, lesi pada
kulit, limfadenopati, gangguan fungsi hati dan/atau fungsi ginjal,
leukositosis dan eosinophilia. Lesi kulit biasanya timbul 3 minggu
setelah konsumsi obat, dengan lesi makulopapular paling sering
ditemukan. Dapat juga ditemukan lesi pustular tau epidermolisis.
Wajah biasanya mengalami edema dan distribusi lesi makulopapular
tersebar simetris hampir di seluruh tubuh, tetapi jarang pada telapak
tangan dan kaki. Beberapa gambaran unik pada SHO adalah awitan
yang lambat, gambaran klinis yang tetap timbul walaupun obat sudah
dihentikan, serta reaksi silang dengan struktur kimia obat yang berbeda
yang hingga saat ini belum bisa dijelaskan. 4
Bentuk EOA lain adalah dermatitis medikamentosa, purpura atau
vaskulitis, eritema multiforme, sindrom Stevens-Johnson, dan nekrolisis
epidermal toksik. 4

2.1.7. Tata Laksana


Langkah pertama yang harus dilakukan adalah segera menghentikan

xx
obat penyebab dan yang bereaksi silang. Terapi suportif yang diberikan
adalah: 4
1. Terapi sistemik
a. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid hingga saat ini masih kontroversi,
tetapi pengalaman kami di Departemen Ilmu Kulit dan Kelamin
FKUI/RSCM untuk kasus EOA berat memberikan respons sangat
baik dan angka mortalitas menurun. Pada EOA ringan
kortikosteroid diberikan 0,5 mg/kgBB/ hari, sedangkan pada EOA
berat 1-4 mg/kgBB/hari. Selama pemberian kortikosteroid waspadai
efek samping yang teriadi misalnya perdarahan intestinal, risiko
sepsis, dan peningkatan gula darah. 4
Glukokortikoid memiliki efek antiinflamasi dan imunosupresif.
Mereka dapat menghambat respons inflamasi yang disebabkan oleh
sel-sel imun dan menghambat aktivasi faktor transkripsi (protein
aktivator 1 dan faktor nuklir-κB), sehingga menghambat respons
imun, proliferasi eosinofil, dan produksi faktor inflamasi dan
antibodi. Di sisi lain, glukokortikoid dosis tinggi dapat menghambat
apoptosis keratinosit yang diinduksi oleh sel T. Konsensus belum
tercapai mengenai penggunaan kortikosteroid dalam pengobatan
erupsi obat karena bukti terbatas dan hasil penelitian yang berbeda.
4

Dosis yang direkomendasikan untuk prednison adalah 1,0–1,5


mg/kg/hari, biasanya 40–60 mg/hari. Untuk menghindari
kekambuhan, disarankan untuk mengurangi dosis secara bertahap
selama 2–3 bulan; beberapa merekomendasikan pengurangan dosis
selama 3–6 bulan untuk DRESS. Satu laporan mengindikasikan
bahwa terapi kortikosteroid singkat yang cepat tampaknya menjadi
kunci untuk meminimalkan kerusakan dari TEN dan DRESS.
Kocaoglu et al. menemukan bahwa metilprednisolon pulse dengan

xx
i
dosis 30 mg/kg (maksimum 1 g/hari) selama 3 hari dapat
mempercepat pemulihan fungsi hati dan demam. Tetsuo Shiohara
dan yang lainnya percaya bahwa pengobatan standar saat ini untuk
DRESS adalah penggunaan sistemik glukokortikoid, yang dapat
dengan cepat mengontrol ruam dan demam. Dengan mengamati
proses pengobatan 91 pasien dengan DRESS, Wei et al.
menemukan bahwa pasien yang diobati dengan glukokortikoid
sistemik bertahan lebih lama (36,3 versus 12,7 hari). Dari semua
pasien yang bertahan, hampir 3/4 dari pasien menggunakan
hormon, tetapi durasi pengobatan mereka diperpanjang 8 hari lebih
lama rata-rata. Selain itu, studi tindak lanjut jangka panjang di
Singapura menemukan bahwa 25 dari 27 pasien DIHS/DRESS
selamat setelah menjalani pengobatan dengan glukokortikoid. 4
Namun, penelitian lain telah menunjukkan bahwa pengobatan
dengan glukokortikoid berhubungan dengan peningkatan morbiditas
dan mortalitas. Tingkat kematian akibat infeksi pada pasien yang
menerima terapi steroid adalah 66%, sedangkan tingkat kematian
akibat infeksi pada pasien yang tidak menerima terapi steroid
adalah 33%, menunjukkan bahwa steroid meningkatkan risiko
sepsis, meningkatkan katabolisme protein, dan menunda epitelisasi.
Hasil penelitian Guibal menunjukkan bahwa terapi steroid jangka
panjang dapat menunda timbulnya TEN, tetapi tidak dapat
mencegah perkembangan penyakit. Selain itu, pengobatan jangka
panjang dengan glukokortikoid dapat terjadi. Berdasarkan
pengamatan ini, dapat disimpulkan bahwa pengobatan TEN dengan
kortikosteroid mungkin berbahaya. Namun, Patterson melaporkan
bahwa tingkat infeksi nosokomial dari pengobatan steroid intravena
dosis tinggi jangka pendek dengan terapi steroid untuk SJS dan
TEN lebih rendah daripada tingkat infeksi departemen luka rawat
inap yang diterapi plasebo, meskipun penelitian tersebut secara

xx
ii
teoritis terbatas pada pengobatan awal (misalnya, dalam waktu 20
hari) pasien. 4
b. Antihistamin
Antihistamin terutama diberikan EOA tipe urtikaria dan
angioedema. Dapat diberikan sebagai terapi simtomatis pada EOA
tipe lain yang disertai rasa gatal yang berat, misalnya eritroderma
atau eksantematosa. 4
Antihistamin H1 reseptor generasi kedua, non-sedatif, (misalnya,
fexofenadine, desloratadine, loratadine, cetirizine, bilastine,
rupatadine) adalah terapi utama untuk urtikaria. 10

Agen-agen ini telah terbukti jauh lebih efektif daripada plasebo


dalam pengobatan urtikaria. Antihistamin generasi pertama
sebaiknya dihindari karena efek antikolinergik dan efek samping
yang terkait (misalnya, kantuk dan gangguan kognitif). Bloker
reseptor histamin tipe 2 (H2) (seperti ranitidin dan simetidin) tidak
dianggap memberikan manfaat dalam pengobatan urtikaria. 10
Urtikaria spontan akut biasanya diobati dengan antihistamin
dalam dosis standar atau dosis yang lebih tinggi. Pada kasus yang
parah, dapat digunakan pengobatan dengan kortikosteroid oral
dalam jangka pendek. 10
Pedoman untuk pengelolaan urtikaria kronis spontan (CSU)
baru-baru ini diperbarui. Dosis standar antihistamin generasi kedua
adalah pengobatan awal. Efektivitas antihistamin seringkali

xx
iii
bergantung pada pasien tertentu, oleh karena itu, lebih dari satu
antihistamin harus dicoba sebelum menganggap bahwa pengobatan
tidak berhasil dengan agen-agen ini. Selain itu, antihistamin paling
efektif jika diminum setiap hari, bukan hanya sesuai kebutuhan.
Jika gejala terkontrol dengan dosis antihistamin standar, wajar
untuk melanjutkan pengobatan selama beberapa minggu hingga
beberapa bulan, kadang-kadang menghentikan terapi untuk periode
singkat untuk menentukan apakah urtikaria telah sembuh secara
spontan. Pada pasien yang tidak mencapai kontrol gejala yang
memadai dengan dosis standar dalam 2–4 minggu, umumnya
dilakukan peningkatan dosis antihistamin melebihi dosis yang
direkomendasikan biasanya. Pedoman di Kanada dan Eropa telah
merekomendasikan hingga empat kali dosis yang direkomendasikan
biasa dari antihistamin pada pasien yang gejalanya tetap persisten
dengan terapi standar.7
2. Topikal
Pemberian terapi topikal tidak spesifik, bergantung pada kondisi
dan luas lesi kulit sesuai dengan prinsip dermatoterapi. Misalnya, pada
erosi akibat epidermolisis pada SSJ/ NET dapat diberikan bahan
keratoplasti asam salisilat 1-2%.
3. Terapi sistemik lain yang pernah dilaporkan adalah penggunaan
siklosporin, plasmaferesis, dan Imunoglobulin intravena (IVIg). 4

2.1.8. Prognosis
Prognosis EOA tipe ringan baik bila obat penyebab dapat
didentifikasi dan segera dihentikankan. Pada EOA tipe berat, misalnya
eritroderma dan nekrolisis epidermal toksik prognosis dapat menjadi
buruk, disebabkan komplikasi yang terjadi misalnya sepsis. 4

2.2. Sindrom Steven Johnson

xx
iv
2.2.1. Definisi
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) atau Epidermal necrolysis (Lyell's
disease) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan reaksi
mukokutan akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis
epidermis yang luas sehingga terlepas. Kedua penyakit ini mirip dalam
gejala klinis dan histopatologis, faktor risiko, penyebab dan
patogenesisnya, sehingga saat ini digolongkan dalam proses yang identik,
hanya dibedakan berdasarkan keparahan saja. Pada SSJ, terdapat
epidermolisis sebesar <10% luas permukaan badan (LPB), sedangkan
pada NET >30%. Keterlibatan 10%-30% LPB disebut sebagai overlap
SSJ-NET. 4

2.2.2. Epidemiologi
SSJ-NET merupakan penyakit yang jarang, secara mum insidens
SSJ adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun, dan insidens NET 0,4-1,2
kasus/ juta penduduk/tahun. Angka kematian NET adalah 25-35%,
sedangkan angka kematian SSJ adalah 5%-12%. Penyakit ini dapat teriadi
pada setiap usia, terjadi peningkatan risiko pada usia di atas 40 tahun. 4
Perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dengan
perbandingan 1,5:1. Data dari rang rawat inap RSCM menunjukkan
bahwa selama tahun 2010-2013 terdapat 57 kasus dengan rincian: SSJ
47,4%, overlap SSJ-NET 19,3% dan NET 33,3%.4

2.2.3. Faktor predisposisi


Adapun faktor-faktor predisposisi yang menyebabkan keluhan antara
lain :

xx
v
1. Riwayat paparan obat beberapa obat yang diduga dapat menyebabkan
Sindrom Stevens-Johnson antara lain adalah penisilin dan derivatnya,
streptomysin, sulfonamide, tetrasiklin, analgesik/antipiretik
(misalnya deriva salisilat, pirazolon, metamizol, metampiron dan
paracetamol), digitalis, hidralazin, barbiturat (Fenobarbital), kinin
antipirin, chlorpromazin, karbamazepin dan jamu-jamuan.
2. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler.
3. Pasca vaksinasi : - BCG, Smalpox dan Poliomyelits.
4. Penyakit-penyakit keganasan : - Karsinoma penyakit Hodgkins,
limfoma, myeloma, dan polisitemia.

2.2.4. Etiopatogenesis
Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui.
Pada lesi SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap kertainosit sehingga
mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan
sel NK dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat penyebab. 4
Berbagai sitokin terlibat dalam patogenesis penyakit ini, yaitu : IL-
6, TNF-a, IFN-V, IL-18, Fas-L, granulisin, perforin, granzim-B.4
Sebagian besar SSJ-NET disebabkan karena alergi obat. Berbagai
obat dilaporkan merupakan penyebab SSJ-NET. Obat-obat yang sering
menyebabkan SSJ-NET adalah sulfonamida, anti-konvulsan aromatik,
alopurinol, anti-inflamasi non-steroid dan nevirapin. Pada beberapa obat
tertentu, misalnya karbamazepin dan alopurinol, faktor genetik yaitu
sistem HLA berperan pada proses terjadinya SSJ-NET. Infeksi juga dapat
menjadi penyebab SSJ-NET, namun tidak sebanyak pada kasus eritema
multiforme; misalnya infeksi virus dan Mycoplasma. 4

2.2.5. Gambaran Klinis


Gejala SSJ-NET timbul dalam waktu 8 minggu setelah awal
pajanan obat. Sebelum terjadi lesi kulit, dapat timbul gejala non-spesifik,

xx
vi
misalnya demam, sakit kepala, batuk/pilek dan malaise selama 1-3 hari.
Lesi kulit tersebar secara simetris pada wajah, badan dan bagian
proksimal ekstremitas, berupa makula eritematosa atau purpurik, dapat
pula dijumpai lesi target. Dengan bertambahnya waktu, lesi kulit meluas
dan berkembang menjadi nekrotik, sehingga terjadi bula kendur dengan
tanda Nikolsky positif. Keparahan dan diagnosis bergantung pada luasnya
permukaan tubuh yang mengalami epidermolisis. Lesi pada mukosa
berupa eritema dan erosi biasanya dijumpai minimal pada 2 lokasi, yaitu
mulut dan konjungtiva, dapat juga ditemukan erosi di mukosa genital.
Keterlibatan organ dalam juga dapat terjadi, namun jarang, misalnya paru,
saluran cerna dan ginjal. 4
Didahului panas tinggi dan nyeri kontinu. Erupsi timbul mendadak.
Gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema,
disusul mukosa mata, genitalia sehingga tefbentuk trias: stomatitis,
konjungtivitis dan uretritis. Gejala prodromal tak spesifik, dapat
berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4
minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata
permanen. Kelainan di sekitar lubang badan (mulut, alat genital, anus)
berupa erosi, ekskoriasi, dan perdarahan. Kelainan pada selaput lendir,
muiut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada
kasus yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering
dijumpai krusta hemoragik.13
Bastuji-Garin dkk. (2000) mengajukan cara menilai prognosis SSJ-
NET berdasarkan Scorten yang memberikan nilai 1 untuk hal-hal berikut :
usia >40 tahun, denyut jantung >120/menit, terdapat kanker atau
keganasan hematologik, epidermolysis >10% LPB, kadar urea serum
>10mM/L (>28mg/dL), kadar bikarbonat serum <20mEq/L, kadar gula
darah sewaktu > 14mM/L (>252mg/dL). Nilai SCORTEN ini dianjurkan
untuk dievaluasi pada hari ke-1 dan ke-3. 4

2.2.6. Pemeriksaan Penunjang

xx
vii
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang penting untuk menunjang
diagnosis. Pemeriksaan histopatologis kulit dapat menyingkirkan
diagnosis banding, dan umumna diperlukan untuk kepentingan
medikolegal. Pemeriksaan laboratorium perl dilakukan untuk evaluasi
keparahan penyakit dan untuk tatalaksana pasien. 4
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah: darah tepi lengkap,
analisis gas darah, kadar elektrolit, albumin dan protein darah, fungsi
ginjal, fungsi hepar, gula darah sewaktu dan foto Rontgen paru. Selama
perawatan, perlu diwaspadai tanda-tanda sepsis secara klinis dan
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis sepsis. 4

2.2.7. Diagnosis
Dasar diagnosis SSJ-NET adalah anamnesis yang teliti tentang
kronologis perjalanan penyakit, disertai hubungan waktu yang jelas
dengan konsumsi obat tersangka; dan gambaran klinis lesi kulit dan
mukosa. Diagnosis SSJ ditegakkan bila epidermolisis hanya ditemukan
pada < 10% LPB, NET bila epidermolisis >30% LPB dan overlap SSJ-
NET bila epidermolisis 10-30% LPB. 4

2.2.8. Diagnosis Banding


Berbagal penyakit kulit bulosa dapat menyerupai SSJ-NET,
misalnya: Staphylococcal scalded skin syndrome, generallzed bullous
fixed drug eruption, acute generalized exanthematous pustulosis, graft
versus host disease dan lupus eritematosus bulosa. Pada keadaan-keadaan
ini diperlukan anamnesis dan pemeriksaan klinis yang cermat. Kadang-
kadang diperlukan pemeriksaan histopatologis kulit untuk memastikan
diagnosis. 4
Gambaran klinis SSJ sering sulit dibedakan dengan eritema
multiforme mayor. Pada keadaan ini, anamnesis tentang obat sebagai
penyebab, pemeriksaan klinis untuk menentukan epidermolisis akan

xx
vii
sangat membantu, sebelum dibutuhkan pemeriksaan histopatologis. 4

2.2.9. Tatalaksana
SSJ-NET adalah penyakit yang mengancam nyawa yang
membutuhkan tatalaksana yang optimal berupa: deteksi dini dan
penghentian segera bat tersangka, serta perawatan suportif di rumah sakit.
Sangat disarankan untuk merawat pasien SSJ-NET di rang perawatan
khusus. 4
Perawatan suportif mencakup: memper-tahankan keseimbangan
cairan, elektrolit, suhu lingkungan yang optimal 28-30°C, nutrisi ses-uai
dengan kebutuhan dan kemampuan asupan makanan, perawatan kulit
secara aseptik tapa debridement, perawatan mata dan mukosa mulut. 4
Berbagai terapi spesifik telah dipakai untuk men-gatasi penyakit ini,
namun belum diperoleh hasil yang jelas karena sulitnya mengadakan uj
klinis untuk penyakit yang jarang ini. Penggunaan kortikosteroid sistemik
sampai saat in, hasilnya masih sangat beragam, sehingga penggunaannya
belum dianjurkan. Kebijakan yang dipakai di ruang rawat Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin RSCM adalah menggunakan kortikosteroid sistemik
untuk seti-ap kasus SSJ-NET, dengan hasil yang cukup baik dengan
angka kematian pada periode 2010-2013 sebesar 10,5%.4
IVIg, siklosporin A, siklofosfamid, plasmaferesis dan hemodialisis
juga telah digunakan di berbagai negara dengan hasil yang bervariasi. 4

2.2.10. Prognosis
Dalam perjalanan penyakitnya, SSJ-NET dapat mengalami penyulit
yang mengancam nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure.
Prognosis SSJ-NET dapat diperkirakan berdasarkan SCORTEN, seperti
terlihat pada talel 2.2. 4
Tabel 2.2 Angka Kematian Pasien SSJ-NET Berdasarkan Nilai Scorten

xx
ix
Pada pasien yang mengalami penyembuhan, re-epitelisasi teriadi
dalam waktu rerata 3 minggu. Gejala sisa yang sering terjadi adalah skar
pada mata dan gangguan penglihatan. Kadang-kadang terjadi skar pada
kulit, gangguan pigmentasi dan gangguan pertumbuhan kuku. 4

2.3. Pitiriasis Roseae


2.3.1. Definisi
Pitiriasis rosea ialah erupsi kulit akut yang sembuh sendiri, dimulai
dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus.
Kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan, dan
tungkai atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit dan biasanya
menyembuh dalam waktu 3-8 minggu. 4

2.3.2. Epidemiologi
Pitiriasis rosea didapati pada semua umur, terutama antara 15-40
tahun, jarang pada usia kurang dari 2 tahun dan lebin dan 65 tahun. Ratio
perempuan dan laki-laki adalah 1,5 : 1. 4

2.3.3. Faktor predisposisi


Adapun faktor predisposisi pada penyakit ini antara lain : 4
1. Adanya Riwayat pemberian obat seperti (obat bismut, arsenik,
barbiturat, metoksipromazin, kaptopril, klonidin, interferon,
ketotifen, ergotamine, metronidazole, dan inhibitor-tirosin kinase

xx
x
2. Pasca vaksinasi (vaksinasi difteri, cacar, pneumokokkus, virus
hepatitis B, BCG, dan virus influenza H1N1.

2.3.4. Etiologi
Etiologi belum diketahui, tetapi berdasarkan gambaran klinis dan
epidemiologis diduga infeksi sebagai penyebab. Berdasarkan bukti
ilmiah, didaga pitiriasis rose merupakan eksanterma virus yang
berhubungan dengan reaktivasi Human Herpes Virus (HHV-7 dan HHV-
6. 4
Erupsi menyerupai pitirasis rosea dapat terjadi setelah pemberian
obat, misalnya bismut, arsenik, barbiturat, metoksipromazin, kaptopril,
klonidin, interferon, ketotifen, ergotamin, metroni-dazol, inhibitor tirosin
kinase; dan telah dilaporkan timbul setelah pemberian agen biologik,
misalnya adalimumab. Walaupun beberapa erupsi obat dapat menyerupai
pitiriasis rosea, tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pitiriasis
rosea dapat disebabkan oleh obat. 4
Terdapat pula laporan erupsi menyerupai pitiriasis rosea yang
timbul setelah vaksinasi difter, cacar, pneumokokus, virus Hepatitis B,
BCG, dan virus influenza H1N1. 4

2.3.5. Gejala Klinis


Gejala konstitusi pada umumnya tidak terdapat. Pada sebagian kecil
pasien dapat teriadi gejala menyerupai flu termasuk malese, nyeri kepala,
nausea, hilang nafsu makan, demam dan artralgia. Sebagian penderita
mengeluh gatal ringan. Pitiriasis berarti skuama halus. 4
Penyakit dimulai dengan lesi pertama (herald patch), umumnya di
badan, soliter, berbentuk oval dan anular, diametemya kira-kira 3 cm.
Ruam terdiri atas eritema dan skuama halus di pinggir. Lamanya beberapa
hari hingga beberapa minggu. Lesi berikutnya timbul 4-10 hari setelah
lesi pertama, memberi gambaran yang khas, sama dengan lesi pertama

xx
xi
hanya lebih kecil, susunannya sejajar dengan kosta, sehingga menyerupai
pohon cemara terbalik. Lesi tersebut timbul serentak atau dalam beberapa
hari. Tempat predileksi pada batang tubuh, lengan atas bagian proksimal
dan tungkai atas, sehingga menyerupai pakaian renang perempuan zaman
dahulu. Kecuali bentuk yang lazim berupa eritroskuama, pitiriasis rosea
dapat juga berbentuk urtika, vesikel dan papul, yang lebih sering terdapat
pada anak-anak.4
Timbul bercak seluruh tubuh terutama daerah yang tertutup pakaian
berbentuk buiat panjang mengikuti lipatan kulit. Diawali suatu bercak
yang besar di sekitarnya terdapat bercak agak kecil. Ukuran bercak dari
seujung jarum pentul sampai sebesar uang logam. Dapat didahului oleh
gejala prodromal ringan seperti badan lemah, sakit kepala, dan sakit
tenggorokan.13
Lesi oral jarang teriadi. Dapat teriadi enantema dengan makula dan
plak hemoragik, bula pada lidah dan pipi, atau lesi mirip ulkus aftosa.
Lesi akan sembuh bersamaan dengan penyembuhan lesi kulit. 4

2.3.6. Diagnosis Banding4


• Tinea korporis: penyakit ini sering disangka jamur oleh pasien,
demikian pula dokter sering menegakkan diagnosis sebagai tinea
korporis. Gambaran klinis memang min dengan tinea korporis karena
terdapat eritema dan skuama di tepi lesi dan berbentuk anular.
• Perbedaannya pada pitiriasis rosea, gatal tidak begitu berat seperti pada
tinea korporis, dengan skuama halus, sedangkan pada tinea korporis
kasar. Pada tinea sediaan KOH akan positif. Hendaknya dicari pula lesi
inisial yang adakalanya mash ada. Jika telah tidak ada, dapat
ditanyakan kepada penderita tentang lesi inisial. Sering lesi inisial
tersebut tidak seluruhnya entematosa lagi, tetapi bentukya mash
tampak oval dan di tengahnya terlihat hipopigmentasi.

xx
xii
• Sifilis sekunder: pada sifilis sekunder terdapat riwayat chancre dan
tidak terdapat riwayat herald patch. Pada sifilis sekunder terdapat
keterlibatan telapak tangan dan kaki, pembesaran kelenjar getah
bening, kondilomata lata, dan tes serologik sifilis positif.
• Dermatitis numularis: pada dermatitis numularis plak biasanya
berbentuk sirkular, bukan oval seperti pada pitiriasis rosea. Lesi lebih
banyak ditemukan di tungkai bawah atau punggung tangan, tempat
yang jarang ditemukan pada pitiriasis rosea.
• Psoriasis gutata: pada psorasis gutata biasanya berukuran lebih kecil
daripada pitinasis rose dan tidak tersusun sesuai lipatan kulit, selain itu
skuamanya tebal. Bila terdapat keraguan, dapat dilakukan biopsi.
• Pityriasis lichenoides chronica: pada pitynasis lichenoides chronica
penyakit berlangsung lebih lama, lesi lebih kecil, skuama lebih tebal,
tidak terdapat herald patch, dan lebih sering terjadi pada ekstremitas.
Bila terdapat keraguan, dapat dilakukan biopsi.
• Dermatitis seboroik: pada dermatitis seboroik tidak ditemukan herad
patch, lesi berkembang perlahan, paling banyak di badan bagian atas,
leher, dan skalp, wama lebih gelap, skuama lebih tebal dan berminyak.
Kelainan akan menetap bila tidak diobati.
• Erupsi obat menyerupai pitiriasis rosea: gambaran klinis dapat
meyerupai pitiriasis rosea klasik, tetapi sering memberi gambaran
atipikal. Lesi biasanya lebih besar, selanjutnya terjadi hiperpigmentasi
dan berubah menjadi dermatitis likenoid. Perlu dilakukan pemeriksaan
riwayat pemakaian obat.

2.3.7. Tatalaksana
Pengobatan bersifat simtomatik, untuk gatal-nya dapat diberikan
sedativa; sedangkan sebagai obat topikal dapat diberikan bedak asam
salisilat yang dibubuhi mentol ½ 1%.4
Bila terdapat gejala menyerupai flu dan/atau kelainan kulit luas,

xx
xii
dapat diberikan asiklovir 5 X 800 mg per hari selama 1 minggu.
Pengobatan ini dapat mempercepat penyembuhan. 4
Pada kelainan kulit luas dapat diberikan terapi sinar UVB. UVB
dapat mempercepat penyem-buhan karena menghambat fungi sel
Langerhans sebagai penyaji antigen. Pemberian harus hati-hati karena
UVB meningkatkan risiko teriadi hiperpigmentasi pasca-inflamasi. 4

2.3.8. Prognosis
Prognosis baik karena penyakit sembuh spontan, biasanya dalam
waktu 3-8 minggu. Beberapa kasus menetap sampai 3 bulan. Dapat terjadi
hipo atau hiperpigmentasi pasca-inflamasi sementara yang biasanya
hilang tapa bekas. Pitiriasis rosea jarang kambuh, tetapi dapat terjadi
kekambuhan pada 2% kasus. 4

xx
xi
BAB III

LAPORAN KASUS

3.2 Identifikasi Pasien


Nama : An. Naura
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir : Palembang, 15 Oktober 2011
Usia : 11 Tahun
Alamat : Komp. Pusri, Kebun Sirih, Bukit Sangkal
Kalidoni Kota Palembang Sumatera Selatan
Status Perkawinan : Belum Menikah
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Tanggal Pemeriksaan : 05 Juli 2023

3.3 Anamnesis
Autoanamnesis (05 Juli 2023, pukul 11.00)

3.3.4 Keluhan Utama


Ruam kemerahan di leher, punggung, dan di paha sebelah kana ± sejak 3
hari yang lalu

3.3.5 Keluhan Tambahan


Gatal
1.3.3 Riwayat Perjalanan Penyakit
± sejak 5 hari yang lalu, pasien diantar berobat ke dokter yang berada
didekat rumah dikarenakan pasien mengalami demam disertai batuk dan pilek
yang sudah berlangsung selama 2 hari, sehingga pasien diberikan obat
paracetamol 3 x 1/3 tab (1 tab 500 mg), cetirizine 2 x 1 tab (1 tab 5 mg), dan

35
obat amoxicillin 3 x 1 (1 tab 250 mg). setelah mengkonsumsi obat tersebut
keluhan demam, batuk dan pilek dirasakan sembuh akan tetapi pada tubuh
pasien muncul ruam kemerahan yang terasa gatal setelah mengkonsumsi obat
tersebut.

± 3 hari yang lalu setelah mengkonsumsi obat yang diberikan dokter


tersebut, ruam kemerahan terasa gatal muncul pertama kali didaerah leher dan
punggung yang sudah dikonsumsi selama 2 hari, keluhan ruam kemerahan
berisi cairan disangkal, terdapat lepuhan pada ruam kemerahan disangkal,
terdapat lesi lepuh disertai ruam pada daerah mata dan sekitar mulut
disangkal, terdapat ruam kemerahan disertai lesi lepuh di bagian geintalia juga
disangkal, ruam kemerahan pergtama kali muncul berukuran sekitar 3 cm dan
hanya terdapat 1 lesi disangkal, pasien menyangkal keluhan ruam merah
disertai sisi berwarna putih pada bagian pinggir lesi disangkal, pasien
mengeluh keluhan ruam disertai rasa gatal yang mengganggu
aktivitas,keluhan ruam yang terasa panas juga disangkal, pasien menyangkal
mata terasa kering dan perih serta terlihat kemerahan, keluhan ruam disertai
badan terasa lemas dan nafsu makan menurun disangkal, keluhan disertai
dengan kepala terasa sakit disangkal.

± 2 hari yang lalu ruam Kembali muncul setelah pasien mengkonsumsi


obat tersebut Kembali, dan ruam bertambah di daerah paha sebelah kanan,
ruam yang muncul sama seperti ruam sebelumnya, pasien menyangkal ruam
yang kembali muncul berukuran lebih kecil dibandingkan dengan ruam
sebelumnya, ruam yang muncul pada daerah di punggung tampak gambaran
seperti pohon cemara terbalik disangkal, keluhan dirasakan bertambah berat
sehingga pasien dibawa berobat ke poli kulit dan kelamin.

3.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


1. Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini.
2. Pasien tidak memiliki riwayat penggunaan obat dalam jangka waktu
yang lama

36
3. Pasien tidak memiliki riwayat asma
4. Pasien tidak memiliki Riwayat alergi makanan

3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


1. Pada keluarga tidak ada Riwayat keluhan serupa
2. Riwayat terkena asma tidak ada
3. Riwayat alergi obat dan makanan tidak ada

3.2.6 Riwayat Kesehatan, Pekerjaan dan Sosio-Ekonomi


Pasien mandi secara rutin 2x sehari. Riwayat pemakaian pakaian atau
handuk bersama dengan anggota keluarga yang lain tidak ada. Sehari-hari
pasien menggunakan pakaian yang menyerap keringat dan tidak ketat.
Pasien seorang pelajar, dan Pasien tinggal di daerah yang cukup padat
penduduk. Sehari-hari pasien mengkonsumsi makanan dengan gizi yang
cukup seperti nasi, sayur, ayam, daging, ikan, telur, susu serta buah-
buahan

3.4 Pemeriksaan Fisik


3.4.4 Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan darah : 95/55 mmHg
Nadi : 97 x/menit
Suhu : 36,6 °C
Pernapasan : 21 x/menit
BB : 40 kg
TB : 135 cm

Keadaan Spesifik
Kepala : Normocephali, konjungtiva anemis (-/-), Sklera

37
ikterik (-/-)
Leher : Lihat status dermatologikus
Thoraks : simetris, retraksi (-), Rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Lihat status dermatologikus

1.3.4 Status Dermatologikus

Gambar 3.1 Regio colli

Gambar 3.2 Regio Thoracal Posterior

38
Gambar 3.3 Regio Femoris dextra
Keterangan
Pada regio colli, regio thoracal, dan regio femoris dextra terdapat:

1. Papul dengan dasar eritema, multiple, bentuk, bulat dengan ukuran ø 0,2 –
0,7 cm, bilateral, dan penyebaran diskret.
2. Makula dengan dasar eritema, multiple, bentuk irreguler dengan ukuran 0,5
– 1,5 cm x 0,2 – 0,8 cm, bilateral, dan penyebaran diskret.

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang pada pasien tidak dilakukan
3.6 Rencana Pemeriksaan
1. Tes provokasi obat
2. Pemeriksaan darah tepi lengkap, analisis gas darah
3. Histopatologi

3.7 Diagnosa Banding


1. Erupsi Obat Alergik ec susp. Amoxicillin + paracetamol
2. Sindrom stevens-johnson
3. Pityriasis rosea

3.8 Diagnosa Kerja

39
Erupsi Obat Alergik ec susp. Amoxicillin + paracetamol

3.9 Penatalaksanaan

Non-medikamentosa
a. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang diderita pasien mulai
dari faktor risiko, penyebab penyakit, perkembangan lesi, cara penularan,
prognosis komplikasi serta pengobatannya.
b. Edukasi ke pasien harus menjaga agar lesi tetap kering dan bersih agar
tidak terjadi infeksi sekunder. Pasien tetap dianjurkan untuk menjaga
kebersihan dengan mandi secara rutin dua kali sehari.
c. Edukasi untuk menghindari mengkonsumsi obat tersangka, maupun obat
yang memiliki struktur yang sama dengan obat tersebut.

Medikamentosa
Sistemik

 Metilprednisolone 3x4 mg (3 hari dosis diturunkan)


 Cetirizine 2x5 mg (7 hari)

3.10 Prognosis
Quo ad vitam : Bonam \

Quo ad functionam : Bonam

Quo ad sanationam : Bonam

Quo ad kosmetika : Bonam

40
BAB IV

ANALISA KASUS

Laporan kasus ini membahas tentang seorang pasien, yaitu An. N, seorang
wanita berusia 11 tahun, tinggal di Komp. Pusri Kota Palembang, seorang pelajar
dengan Pendidikan SD dan beragama islam.
Bila ditinjau dari aspek epidemiologi, pada kasus ini, An. N berjenis kelamin
perempuan berusia 11 tahun. Berdasarkan teori, Erupsi obat adalah penyebab utama
komplikasi morbiditas dan mortalitas pada pasien dari semua usia. Pada kelompok
usia 61-70 tahun mempunyai risiko 5,2 kali lebih besar untuk mengalami erupsi obat,
Perempuan (54,47%) lebih sering terkena erupsi obat bila dibandingkan dengan laki-
laki (45,43%).5
Pada kemungkinan diagnosis banding yang lain, syndrome stevens johnson
dapat dapat teriadi pada setiap usia, terjadi peningkatan risiko pada usia di atas 40
tahun, Perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dengan perbandingan
1,5:1.5 Sedangkan pada pityriasis roseae didapati pada semua umur, terutama antara
15-40 tahun, jarang pada usia kurang dari 2 tahun dan lebin dan 65 tahun. Ratio
perempuan dan laki-laki adalah 1,5 : 1.5
Tabel 4.1 Diagnosis Banding Berdasarkan Epidemiologi

Diagnosis Banding
Kasus Erupsi Obat Syndrome Pityriasis
Alergik stevens johnson roseae
Epidemiologi An. N, pada pasien dari dapat dapat didapati pada
perempuan,
semua usia. Pada teriadi pada semua umur,
Usia 11
tahun kelompok usia setiap usia, terutama antara
61-70 tahun terjadi 15-40 tahun,
mempunyai risiko peningkatan jarang pada usia
5,2 kali lebih risiko pada usia kurang dari 2
besar untuk di atas 40 tahun dan lebin

41
mengalami erupsi tahun, dan 65 tahun.
obat, dengan ratio Perempuan Ratio perempuan
Perempuan > lebih sering dan laki-laki
laki-laki terkena adalah 1,5 : 1
dibandingkan
laki-laki dengan
perbandingan
1,5:1

Dari hasil anamnesis, ± sejak 5 hari yang lalu, pasien diantar berobat ke dokter
yang berada didekat rumah dikarenakan pasien mengalami demam disertai batuk dan
pilek yang sudah berlangsung selama 2 hari, sehingga pasien diberikan obat
paracetamol 3 x 1/3 tab (1 tab 500 mg), cetirizine 2 x 1 tab (1 tab 5 mg), dan obat
amoxicillin 3 x 1 (1 tab 250 mg). setelah mengkonsumsi obat tersebut keluhan
demam, batuk dan pilek dirasakan sembuh akan tetapi pada tubuh pasien muncul
ruam kemerahan yang terasa gatal setelah mengkonsumsi obat tersebut.

± 3 hari yang lalu setelah mengkonsumsi obat yang diberikan dokter tersebut,
ruam kemerahan terasa gatal muncul pertama kali didaerah leher dan punggung yang
sudah dikonsumsi selama 2 hari, keluhan ruam kemerahan berisi cairan disangkal,
terdapat lepuhan pada ruam kemerahan disangkal, terdapat lesi lepuh disertai ruam
pada daerah mata dan sekitar mulut disangkal, terdapat ruam kemerahan disertai lesi
lepuh di bagian geintalia juga disangkal, ruam kemerahan pergtama kali muncul
berukuran sekitar 3 cm dan hanya terdapat 1 lesi disangkal, pasien menyangkal
keluhan ruam merah disertai sisi berwarna putih pada bagian pinggir lesi disangkal,
pasien mengeluh keluhan ruam disertai rasa gatal yang mengganggu aktivitas,keluhan
ruam yang terasa panas juga disangkal, pasien menyangkal mata terasa kering dan
perih serta terlihat kemerahan, keluhan ruam disertai badan terasa lemas dan nafsu
makan menurun disangkal, keluhan disertai dengan kepala terasa sakit disangkal.

± 2 hari yang lalu ruam Kembali muncul setelah pasien mengkonsumsi obat

42
tersebut Kembali, dan ruam bertambah di daerah paha sebelah kanan, ruam yang
muncul sama seperti ruam sebelumnya, pasien menyangkal ruam yang kembali
muncul berukuran lebih kecil dibandingkan dengan ruam sebelumnya, ruam yang
muncul pada daerah di punggung tampak gambaran seperti pohon cemara terbalik
disangkal, keluhan dirasakan bertambah berat sehingga pasien dibawa berobat ke poli
kulit dan kelamin. Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini. Pasien
tidak memiliki riwayat penggunaan obat dalam jangka waktu yang lama, Pasien tidak
memiliki riwayat asma, Pasien tidak memiliki Riwayat alergi makanan. Pada keluarga
tidak ada Riwayat keluhan serupa, Riwayat terkena asma tidak ada, Riwayat alergi
obat dan makanan tidak ada

Pasien mandi secara rutin 2x sehari. Riwayat pemakaian pakaian atau handuk
bersama dengan anggota keluarga yang lain tidak ada. Sehari-hari pasien
menggunakan pakaian yang menyerap keringan dan tidak ketat, Pasien seorang
pelajar, dan Pasien tinggal di daerah yang cukup padat penduduk. Sehari-hari pasien
mengkonsumsi makanan dengan gizi yang cukup seperti nasi, sayur, ayam, daging,
ikan, telur, susu serta buah-buahan

Berdasarkan hasil anamnesis diketahui bahwa pasien sebelumnya mengkonsumsi


obat amoxicillin, paracetamol dan cetirizine, serta pada pasien dan pada keluarga
pasien tidak Riwayat alergi obat maupun makanan dan tidak ada Riwayat penyakit
asma sebelumnya, hal ini sesuai teori yang mengatakan bahwa riwayat atopi tidak
berhubungan dengan terjadinya erupsi obat. Hal ini disebabkan oleh karena erupsi
obat tidak hanya disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas tipe 1 tetapi juga bisa oleh
karena reaksi hipersensitifitas tipe 2 dan 4. Studi lain menunjukan anak dengan
riwayat alergi obat pada orang tuanya mempunyai risiko terjadinya alergi obat
sebanyak 25% dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya tidak mempunyai
riwayat alergi obat. Latar belakang atopi meningkatkan risiko reaksi hipersensitifitas
tipe cepat terhadap obat menjadi lebih berat atau parah. Adanya predisposisi atopi
tidak meningkatkan kejadian erupsi obat tetapi berhubungan dengan erupsi obat yang
berat.8

43
Dalam suatu studi penelitian menyatakan bahwa antibiotik amoksisilin
merupakan penyebab paling banyak reaksi simpang obat pada berbagai rumah sakit di
Kathmandu, India. Golongan penisilin merupakan obat dengan berat molekul kecil
yang bersifat imunogenik jika bergabung dengan protein karier seperti albumin oleh
karena dapat membentuk hapten. Alergi obat golongan beta laktam sering
menimbulkan reaksi anafilaksis dan kematian. Obat golongan penisilin. menimbulkan
reaksi hipersensitifitas tipe I (diperantarai oleh IgE) sehingga bisa menimbulkan
gejala berupa urtikaria, edema laring, wheezing dan kolaps kardiorespiratorius.8

Adapun faktor predisposisi yang dapat menyebabkan erupsi obat alergik antara
lain Usia dan jenis kelamin, Pada kelompok usia 61-70 tahun mempunyai risiko 5,2
kali lebih besar Perempuan > laki-laki, jumlah obat yang diresepkan, Faktor genetik
seperti variasi genetik, Riwayat atopi, metabolisme obat dan HLA. Pajanan obat yang
dicurigai seperti golongan penisilin, sulfa, salisilat, Paracetamol, dan anti konvulsan,
dan Durasi pemberian obat Kejadian kronis atau pemberian yang rutin lebih sering
mengakibatkan terjadinya erupsi obat daripada pemberian obat jangka pendek atau
intermiten.8

Pada syndrome steven johnson faktor predisposisi yang terlibat adalah Riwayat
paparan obat seperti penisilin dan derivatnya, streptomysin, sulfonamide, tetrasiklin,
analgesik/antipiretik (misalnya deriva salisilat, pirazolon, metamizol, metampiron dan
paracetamol), digitalis, hidralazin, barbiturat (Fenobarbital), kinin antipirin,
chlorpromazin, karbamazepin dan jamu-jamuan, Riwayat penyakit penyakit Kolagen
Vaskuler, Pasca vaksinasi, dan adanya penyakit-penyakit keganasan. Sedangkan
pada pityriasis roseae yaitu Adanya Riwayat pemberian obat seperti (obat bismut,
arsenik, barbiturat, metoksipromazin, kaptopril, klonidin, interferon, ketotifen,
ergotamine, metronidazole, dan inhibitor-tirosin kinase, Pasca vaksinasi (vaksinasi
difteri, cacar, pneumokokkus, virus hepatitis B, BCG, dan virus influenza H1N1)

44
Tabel 4.2 Diagnosis Banding Berdasarkan Faktor Predisposisi

Diagnosis Banding
Sindrom
Erupsi obat
Kasus stevens Pityriasis roseae
alergik
johnson
Faktor 1. Terdapat 1. Usia 61-70 th 1. Riwayat 1. Riwayat pemberian
Predispos isi Riwayat 2. Faktor genetik paparan obat obat seperti (obat
konsumsi obat 3. Riwayat atopi,. seperti penisilin bismut, arsenik,
amoxicillin dan 4. Pajanan obat dan derivatnya, barbiturat,
paracetamol yang dicurigai streptomysi, metoksipromazin,
2. Tidak ada seperti golongan sulfonamide, kaptopril, klonidin,
Riwayat alergi penisilin, sulfa, tetrasiklin, interferon,
obat dan salisilat, analgesik/antipir ketotifen,
makanan Paracetamol, etik (deriva ergotamine,
3. Tidak ada dan anti salisilat, metronidazole, dan
Riwayat alergi konvulsan, pirazolon, inhibitor-tirosin
obat dan 5. Durasi metamizol, kinase
makanan pada pemberian obat metampiron dan 2. Pasca vaksinasi
keluarga paracetamol) (vaksinasi difteri,
4. Tidak ada 2. Riwayat cacar,
Riwayat asma penyakit pneumokokkus,
pada keluarga Kolagen virus hepatitis B,
Vaskuler, BCG, dan virus
3. Pasca vaksinasi, influenza H1N1)
4. Penyakit-
penyakit

45
keganasan

Jika ditinjau dari gejala klinis pasien, pada kasus diketahui bahwa ruam
kemerahan terasa gatal muncul pertama kali didaerah leher dan punggung, keluhan
ruam kemerahan berisi cairan disangkal, terdapat lepuhan pada ruam kemerahan
disangkal, terdapat lesi lepuh disertai ruam pada daerah mata dan sekitar mulut
disangkal, terdapat ruam kemerahan disertai lesi lepuh di bagian geintalia juga
disangkal, ruam kemerahan pergtama kali muncul berukuran sekitar 3 cm dan hanya
terdapat 1 lesi disangkal, pasien menyangkal keluhan ruam merah disertai sisi
berwarna putih pada bagian pinggir lesi disangkal, pasien mengeluh keluhan ruam
disertai rasa gatal yang mengganggu aktivitas, keluhan ruam yang terasa panas juga
disangkal, pasien menyangkal mata terasa kering dan perih serta terlihat kemerahan,
keluhan ruam disertai badan terasa lemas dan nafsu makan menurun disangkal,
keluhan disertai dengan kepala terasa sakit disangkal. Hal ini sesuai teori dimana
gejala dari erupsi obat alergik Urtikaria ditandai dengan edema setempat pada kulit
dengan ukuran yang bervariasi, edema di daerah bibir, kelopak mata, genitalia
eksterna, tangan dan kaki. lesi muncul setelah 2-3 minggu konsumsi obat dimulai dari
batang tubuh menyebar ke perifer secara simetris dan generalisata, dan hampir selalu
disertai pruritus, Lesi berupa makula atau plak eritema-keunguan dan kadang disertai
vesikel/bula pada tengah lesi sering menyerupai eritema multiforme, Lesi pustular
akut yang timbul 1-3 minggu setelah konsumsi obat yang diawali oleh demam, mual,
dan malaise, lesi eritema difus disertai skuama lebih dari 90% pada area tubuh. lesi
pustular atau epidermolisis. Wajah biasanya mengalami edema dan distribusi lesi
makulopapular tersebar simetris hampir di seluruh tubuh, tetapi jarang pada telapak
tangan dan kaki.4

Pada sindrom stevens johnson Didahului panas tinggi dan nyeri kontinu. Erupsi
timbul mendadak. Gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi,
eritematosa, dapat pula dijumpai lesi target. Dengan bertambahnya waktu, lesi kulit
meluas dan berkembang menjadi nekrotik, sehingga terjadi bula kendur dengan tanda

46
Nikolsky positif, disusul mukosa mata, genitalia sehingga tefbentuk trias: stomatitis,
konjungtivitis dan uretritis. Gejala prodromal tak spesifik, dapat berlangsung hingga
2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa
penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan di sekitar lubang badan
(mulut, alat genital, anus) berupa erosi, ekskoriasi, dan perdarahan. Kelainan pada
selaput lendir, muiut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga
pada kasus yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering
dijumpai krusta hemoragik
Pada pityriasis rosea Pada sebagian kecil pasien dapat terjadi gejala menyerupai
flu termasuk malese, nyeri kepala, nausea, hilang nafsu makan, demam dan artralgia,
diikuti lesi pertama (herald patch), di badan, soliter, berbentuk oval dan anular,
diametemya kira-kira 3 cm. Ruam terdiri atas eritema dan skuama halus di pinggir.
Lamanya beberapa hari hingga beberapa minggu. Lesi berikutnya timbul 4-10 hari
setelah lesi pertama, dapat didahului oleh gejala prodromal ringan seperti badan
lemah, sakit kepala, dan sakit tenggorokan memberi gambaran yang khas, sama
dengan lesi pertama hanya lebih kecil, susunannya sejajar dengan kosta, sehingga
menyerupai pohon cemara terbalik. Lesi tersebut timbul serentak atau dalam beberapa
hari.4 13

Tabel 4.3 Diagnosis Banding Berdasarkan gejala klinis

Diagnosis Banding
Kasus Erupsi obat alergik Syndrome stevens Pityriasis roseae
johnson
Gejala 1. Diawali Lesi 1. Diawali gejala 1. Gejala
1. edema di
Klinis eritema yang prodromal yang menyerupai flu
daerah bibir,
muncul berlangsung 2 termasuk malese,
kelopak mata,
setelah minggu nyeri kepala,
genitalia
nausea, hilang
minum obat 2. Gejala bermula di
eksterna, nafsu makan,
< 24 jam mukosa mulut
tangan dan demam dan
berupa lesi bulosa

47
atau erosi, artralgia, diikuti
2. Lesi terasa kaki.
eritematosa, dapat lesi pertama
gatal dan
2. pruritus,
pula dijumpai lesi (herald patch),
mengganggu
3. Lesi berupa target. di badan,
aktivitas
makula atau 3. Lesi kulit soliter,
3. Papul
plak eritema- berkembang berbentuk oval
dengan
keunguan dan menjadi nekrotik, dan anular,
dasar
kadang disertai sehingga tanda diameter 3 cm.
eritematosa,
vesikel/bula Nikolsky positif, 2. Ruam terdiri
multiple
4. Lesi muncul pada atas eritema
tanpa 4. Lesi pustular
mukosa mata, dan skuama
disertai timbul 1-3
genitalia dan halus di
skuama minggu setelah
tefbentuk trias: pinggir.
konsumsi obat
4. Tidak ada stomatitis, 3. Lesi berikutnya
yang diawali
lesi bula/ konjungtivitis dan timbul 4-10
oleh demam,
vasikel yang uretritis.. hari setelah lesi
mual, dan
berisi cairan 5. Lesi dapat meluas pertama, dapat
malaiseL
ke faring didahului oleh
5. Lesi pertama 5. lesi eritema 6. Pada bibir sering gejala
kali muncul difus disertai dijumpai krusta prodromal
di daerah skuama hemoragik ringan, sama
punggung 6. lesi pustular dengan lesi
dan leher atau pertama hanya
dan tidak epidermolisis. lebih kecil,
ada lesi yang 4. Lesi
7. Wajah biasanya
muncul di menyerupai
mengalami
mulut, pohon cemara
edema dan
sekitar mata terbalik. Lesi
distribusi lesi
maupun tersebut timbul
makulopapular,
genitalia serentak atau

48
dalam beberapa
jarang pada
hari
telapak tangan
dan kaki

Berdasarkan daerah predileksi pada kasus ini keluhan muncul pada bagian
punggung, leher dan paha sebelah kanan. Hal ini sesuai dengan teori, daerah
predileksi pada erupsi obat alergik adalah pada seluruh tubuh. Pada syndrome stevens
johnson biasanya terjadi pada hampir seluruh tubuh kecuali pada kepala yang
berambut dan biasanya tersering di bagian mulut, mukosa mata, dan daerah genitalia
dengan sifatnya bilateral. Sedangkan pada pityriasis roseae memiliki daerah
predileksi pada seluruh tubuh terutama pada kulit yang tertutup pakaian dan sifatnya
bilateral.

Tabel 4.4 Diagnosis Banding Berdasarkan Tempat Predileksi


Diagnosis Banding

Erupsi obat Syndrome stevens


Kasus Pityriasis roseae
alergik johnson
Tempat Punggung , Seluruh tubuh hampir seluruh Pada seluruh tubuh
Predileksi leher dan tubuh kecuali terutama pada kulit
paha pada kepala yang yang tertutup
sebelah berambut pakaian
kanan danbiasanya
tersering di
bagian mulut,
mukosa mata, dan
daerah genitalia
Sifat Bilateral Bilateral Bilateral Bilateral

49
Pada pemeriksaan penunjang tidak dilakukan. Rencana Pemeriksaan yang akan
dilakukan yaitu pemeriksaan Tes provokasi obat, Uji provokasi obat dilakukan
dengan melakukan pemberian obat dalam pengawasan pengawas medis untuk
meneggakkan atau menyingkirkan diagnosis reaksi hipersensitivitas obat dan pada
kasus tertentu untuk menyediakan obat alternatif. Uji ini bertujuan untuk
mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis
kecil biasanya dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup untuk memprovokasi
reaksi dan provokasi biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. 9 tes ini berguna
untuk mengetahui jenis obat yang menyebabkan keluhan pada pasien, Pemeriksaan
darah tepi lengkap, analisis gas darah, merupakan uji yang digunakan untuk
membantu menilai penyebab keluhan apakah dari alergi atau infeksi, tes ini
digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding dari syndrome stevens johnson.
Tes Histopatologi akan ditemukan gambaran idak spesifik, Pada epidermis ditemukan
spongiosis dan vesikel di atas lapisan malpigi dan subkomea, di samping itu terdapat
juga parakeratosis., tes bertujuan untuk menyingkirkan diagnosis dari pityriasis
roseae.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan status


dermatologikus, maka pada kasus ini dapat ditegakkan diagnosis kerja erupsi obat
alergik
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini meliputi tatalaksana non
medikamentosa dan tatalaksana medikamentosa.
Tatalaksana non medikamentosa yang diberikan pada pasien yaitu:
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang diderita pasien mulai dari
faktor risiko, penyebab penyakit, perkembangan lesi, cara penularan, prognosis
komplikasi serta pengobatannya.
- Edukasi ke pasien harus menjaga agar lesi tetap kering dan bersih agar tidak
terjadi infeksi sekunder. Pasien tetap dianjurkan untuk menjaga kebersihan dengan
mandi secara rutin dua kali sehari.
- Edukasi untuk menghindari mengkonsumsi obat tersangka, maupun obat yang
memiliki struktur yang sama dengan obat tersebut.
50
Tatalaksana medikamentosa yang diberikan pada pasien yaitu:
‐ Metilprednisolone 3x4 mg (3 hari dosis diturunkan)
‐ Cetirizine 2x5 mg (7 hari)

Pada kasus ini diberikan anti pruritus berupa antihistamin generasi II, Pasien
diberikan obat untuk mengurangi rasa gatal yaitu antihistamin H1 generasi ke 2
yaitu cetirizine dengan dosis 2 x 5 mg/hari selama 7 hari. Diberikan cetirizine
karena memiliki efek sedasi yang rendah dan waktu paruh yang lama 12-24 jam.
Efek toksik pada Antihitamin H1 generasi ke 2 minimal dibanding Antihitamin H1
generasi ke 1. Digunakan selama 7 hari karena lini pertama maksimal pengguanaan
pada golongan antihistamin 14 hari dan digunakan minimal 3 hari untuk melihat ada
atau tidaknya perubahan rasa gatal. Studi kecil telah menunjukan perbaikan pruritus
terjadi sedini 48 jam setelah memulai pengobatan. Selain itu mula kerja obat
cetirizin lebih cepat dibandingkan generasi II lain seperti loratadin dan fexofenidin
yang mula kerjanya lebih lama. Selain karena waktu kerja yang lama, pemberian
cetirizine yang hanya 1 kali sehari diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien
dalam pengkonsumsian obat. Cetirizin diberikan selama 14 hari dikarenakan
keluhan gatal biasanya akan berkurang bersamaan dengan proses deskuamasi kulit
yaitu selama 14 hari. Pemberian anti pruritus ini juga dapat meningkatkan quality of
life pasien dan menjaga agar lesi tidak berkembang luas akibat dari garukan.14
Cetirizine merupakan antihistamin (AH1) generasi kedua. Anthistamin
digunakan untuk mengurangi gatal. Antihistamin bekerja secara kompetitif inhiibitor
terhadap histamin pada resptor jaringan sehingga mencegah kerja histamin pada
organ sasaran.1 Antihistami H1 generasi kedua berikatan secara nonkompetitif
dengan reseptor H1. Obat ini tidak mudah digantikan oleh histamin, berdisosiasi
perlahan, dan memiliki durasi kerja yang lebih lama dari antihistamin H1 generasi
pertama. Karena sifat lipofilisitasnya yang rendah, obat ini mempunyai efek sedasi
yang jauh lebih kecil dari obat generasi pertama. Selain itu, antihistamin generasi
kedua mencapai konstentrasi dikulit yang lebih tinggi dari generasi pertama. Pada

51
antihistamin generasi kedua, cetirizine diabsorpsi dengan cepat dan mencapai
puncak plasma dalam waktu 1 jam dengan waktu paruh 8 jam. Cetirizine mengalami
metabolisme hati yang minimal, yang mengurangi interaksi dengan obat lain. 14
Antihistamin H1 (AH1) adalah inverse agonists yang berkatan secara
reversibel dan menstabilkan. bentuk inakti/ reseptor. Kerja dari AH1 in akan
menurunkan produksi dari sitokin pro-inflamasi, ekspresi molekul adhesi,
kemotaksis eosinofl dan. sel lainnya. Antihistamin H1 juga berperan dalam
pelopasan mediator dari sel mas dan sel basofil.
Antihistamin H1 ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu AH1 generasi pertama
dan generasi kedua. AH1 generasi pertama yang mempunyai efek sedasi karena
mempunyai kemampuan untuk menembus sawar darah otak. Berdasarkan struktur
kimianya AH1 generasi pertara dibagi 6 group. yaitu: etiendiamin, etanolamin,
alkilamin, fenotiazin, piperazin dan piperidin. Sedangkan AH1 generasi kedua tidak
dapat menembus sawar darah otak, sehingga mempunyai efek sedasi minimal atau
tidak ada.14
Pada AH1 generasi pertama efek sedasi terjadi dalam waktu 30 menit sampai 1
jam setelah pemakaian obat, dan mencapai puncak pada 1 - 2 jam, lama kerja bisa
berlangsung 4 - 6 jam, walaupun ada beberapa obat yang dapat bertahan selama 24
jam atau lebih. Dosis pemberian AH1 generasi pertama biasanya diberikan interval
waktu antara 4 - 8 jam sehari. Pada AH1 generasi kedua, dosis diberikan 1 - 2 kali
sehari karena lama kerjanya lebih panjang dibandingkan dengan AH1 generasi
pertama, sehingga dikenal dengan AH long acting. Obat ini diabsorbsi lebih cepat
dan mencapai puncak dalam waktu 1 - 2 jam, lama kerja bervariasi, misalnya untuk
setirizin mencapai puncak dalam 1 jam dengan lama kerja sampai 8 jam. Sedangkan
contoh lain, yaitu feksofenadin yang merupakan metabolit aktif dari terfenadin,
mencapai puncak dalam 2 - 3 jam dan bertahan selama 14 jam, sedangkan loratadin
dapat bertahan hingga 8 - 24 jam.14
Sedasi merupakan efek samping yang sering terjadi pada AH1 generasi
pertama. Efek sedasi ini lebih menonjol pada golongan etanol-amin dan fenotiazin,
sedangkan pada golongan alkilamin efek sedasinya berkurang. Efek samping

52
terhadap susunan saraf pusat (SSP) dapat berupa pusing, tinnitus, gangguan
koordinasi, kurang konsentrasi, pandangan kabur dan diplopia. Efek samping pada
SSP, berupa gelisah, mudah marah, insomnia dan tremor dapat terjadi pada
pemberian golongan alkilamin. Sedangkan keluhan gastrointestinal dapat berupa
anoreksia, nausea, vomitus, nyeri epigastrik, diare dan konstipasi, sering ditemukan
pada pemberian golongan etilendiamin. 14
Efek samping lain berupa efek antikolinergik seperti kekeringan mukosa,
retensi urin, hipotensi postural, pusing, disfungsi ereksi dan konstipasi, ditemukan
pada pemberian golongan etanolamin, fenotiazin dan piperazin. Kelainan kulit yang
timbul akibat pemberian AH1 sangat jarang ditemukan, kelainan dapat berupa
dermatitis eksematosa, dermatitis kontak alergik (DKA), urtikaria, petekie, fixed
drug eruptions dan fotosensitivitas. Pada penggunaan AH1 generasi kedua tidak
menimbulkan sedasi, misalnya pada pemberian feksofenadin, loratadin dan
desloratadin. Efek sedasi minimal ditemukan pada pemberian obat setirizin dan
akrivastin.
Selain itu, pasien juga diberikan obat metilprednisolon 4 mg 3x/hari selama 3
hari. Hal ini sesuai dengan teori, penggunaan kortikosteroid potensi sedang dapat k
mengurangi reaksi peradangan yang terjadi pada pasien. Kortikosteroid terbagi atas
mineralokortikoid yang mengatur keseimbangan air dan elektrolit dengan aldosteron
sebagai prototipenya, serta glukokortikoid yang mengatur metabolisme dalam
mempertahankan homeostasis, dengan kortisol (hidrokortison) sebagai prototipenya.
Selain itu, berdasarkan beberapa penelitian tingkat efektivitas metilprednisolon pada
pasien dengan miliaria berlangsung pada 10-14 hari. 14
Bioavailabilitas kortikosteroid oral mencapai 80-90%, berkurang oleh asam
lambung dan metabolisme lintas pertama di hati. Perubahan struktur kimia
memengaruhi kecepatan absorpsi, awitan, dan lama kerja. Prednison adalah prodrug
yang diubah menjadi prednisolon, yaitu bentuk aktifnya dalam tubuh, sehingga
hanya tersedia secara oral yang memungkinkannya melewati metabolisme lintas
pertama saat absorpsi. Pada penyakit hati berat, prednisolon lebih disarankan, karena
tidak membutuhkan hidroksilasi untuk aktif secara biologis. Kortikosteroid

53
diabsorpsi melalui kulit, sehingga penggunaan jangka panjang untuk daerah luas
menyebabkan efek sistemik. Sebanyak 90% kortisol terikat pada protein plasma
globulin pengikat kortikosteroid (transkortin) dan albumin. Minimal 70% kortisol
dimetabolisme di hati dengan masa paruh eliminasi 2-4 jam, dan metabolitnya
merupakan senyawa inaktif/berpotensi rendah. 14
Prednison mungkin kortikosteroid sistemik yang paling luas digunakan untuk
kondisi kronis karena aktivitas glukokortikoidnya relatif tinggi dibandingkan
mineralokortikoidnya, prednison sering digunakan sebagai antiinflamasi atau
imunosupresi. Metilprednisolon, meskipun mirip prednison, menunjukkan aktivitas
mineralokortikoid yang lebih kecil lagi, sehingga disarankan untuk kasus yang efek
mineralokortikoidnya tidak diinginkan. Deksametason juga menunjukkan aktivitas
mineralokortikoid minimal, tetapi jauh lebih poten dengan masa kerja lebih panjang.
Pengobatan jangka panjang dengan deksametason dihubungkan dengan supresi berat
sumbu hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA), sehingga hanya digunakan jangka
pendek pada kondisi akut dan sangat berat. Selain itu, masa kerjanya yang panjang
membuatnya tidak sesuai untuk terapi intermiten.
Sedangkan methylprednisolone termasuk glukokortikoid dengan potensi
sedang. Methylprednisolone mengikat dan mengaktivasi reseptor glukokortikoid
intraselular pada inti sel. Kemudian, reseptor ini mengikat bagian promoter DNA
dan mengurangi transkripsi protein proinflamasi. Dari sini methylprednisolone
mengakibatkan modifikasi respon imun dengan berbagai cara, termasuk
menurunkan ekspresi sinyal proinflamasi dan meningkatkan ekspresi sinyal
antiinflamasi. 14
Methylprednisolone juga menyebabkan perubahan respon limfosit,
menurunkan respon pro-inflamasi sel T, mengalihkan diferensiasi makrofag dari M1
(proinflamasi) ke M2 (antiinflamasi, anti alergi), serta mengalihkan diferensiasi sel
T helper.Methylprednisolone dapat menarik kembali leukosit dari sirkulasi ke
jaringan limfoid, mengurangi vasodilatasi dan permeabilitas kapiler, serta
menghambat kemotaksis, diferensiasi, dan fagositosis oleh sel polimorfonuklear.
Methylprednisolone juga dapat menghambat apoptosis neutrofil, menghambat

54
fosfolipase A2 sehingga mengurangi produksi asam arakidonat, serta meningkatkan
sel darah merah, hemoglobin dan trombosit. 14
Pemilihan metilprednisolone dibandingkan dengan yang lainnya dikarenakan
metilprednisolone merupakan glukokortikoid yang jarang menimbulkan efek
samping dan efek toksisitasnya di hepar lebih rendah dibandingkan kortikosteroid
lainnya misalnya dexamateason atau prednison. Efek samping yang dapat terjadi
pada pemberian kortikosteroid adalah gangguan keseimbangan dan elektrolit,
edema, ulkus peptikum, glaucoma, serta osteoporosis. Selain itu metilprednisolone
memiliki potensi antiinflamasi yang cukup kuat dibandingkan dengan kortison,
kortisol, prednisone, atau prednisolone serta efek retensi natrium yang rendah
dibandingkan yang lainnya. Pengguanan kortikosteroid dengan potensi kerja lama
seperti dexametason biasanya digunakan untuk pengobatan pada kasus berat yang
membutuhkan efek kortikosteroid yang lama didalam tubuh seperti pada kasus
autoantibodi, sedangkan pemilihan potensi sedang dapat digunakan untuk kasus
dermatitis atau erupsi obat ringan. 14
Prognosis EOA tipe ringan baik bila obat penyebab dapat didentifikasi dan
segera dihentikankan. Pada EOA tipe berat, misalnya eritroderma dan nekrolisis
epidermal toksik prognosis dapat menjadi buruk, disebabkan komplikasi yang
terjadi misalnya sepsis.4

55
BAB V

KESIMPULAN

1. Diagnosis pada An, N adalah erupsi obat alergik.


2. Penegakkan diagnosis pada pasien An. N ini berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, status dermatologikus dan pemeriksaan penunjang.
‐ Tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien yaitu memberikan edukasi
kepada pasien dan tatalaksana farmakologi yang diberikan berupa
Metilprednisolone 3x4 mg (3 hari dosis diturunkan), Cetirizine 2x5 mg (7
hari)
3. Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam, quo ad funtionam bonam, quo
ad sanationam dubia ad bonam dan quo ad cosmetica dubia ad bonam

56
DAFTAR PUSTAKA

1. Verma DR, Tiwari DS, Gupta DC, Verma DN. Cutaneous Adverse Drug
Reactions-A Study of Clinical Patterns, Causality, Severity & Preventability.
IOSR J Dent Med Sci. 2014;13(7):102–9.
2. Alexopoulou A, Dourakis SP, Mantzoukis D, Pitsariotis T, Kandyli A, Deutsch
M, et al. Adverse drug reactions as a cause of hospital admissions: A 6-month
experience in a single center in Greece. Eur J Intern Med [Internet].
2008;19(7):505–10. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ejim.2007.06.030
3. Dibek Misirlioglu E, Guvenir H, Bahceci S, Haktanir Abul M, Can D, Usta
Guc BE, et al. Severe Cutaneous Adverse Drug Reactions in Pediatric Patients:
A Multicenter Study. J Allergy Clin Immunol Pract. 2017;5(3):757–63.
4. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. edisi
ke 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, Jakarta; 2019.
5. Stabile S, Ruggiero F, Taurasi F, Russo L, Vigano M, Borin F. Gender
difference as risk factor for adverse drug reactions: Data analysis in salvini
hospital. Pharmacologyonline. 2014;2:66–71.
6. Zhang J, Lei Z, Xu C, Zhao J, Kang X. Current Perspectives on Severe Drug
Eruption. Clin Rev Allergy Immunol [Internet]. 2021;61(3):282–98. Available
from: https://doi.org/10.1007/s12016-021-08859-0
7. Mudigubba MK, Dahiya S. RISK FACTORS ASSOCIATED WITH
ADVERSE DRUG REACTIONS IN RISK FACTORS ASSOCIATED WITH
ADVERSE DRUG REACTIONS IN HOSPITALIZED INTRODUCTION :
Adverse drug reactions are increasingly becoming a challenge to the health due
to burden of adverse effects . As per . 2017;8(September):2–10.
8. Barlianto W. Factors Affecting Drug Eruption Severity in Children. J Kedokt
Brawijaya. 2010;26(1):53–6.
9. Chiriac AM, Demoly P. Drug provocation tests: Up-date and novel
approaches. Allergy, Asthma Clin Immunol. 2013;9(1):1–5.

57
10. Kanani A, Betschel SD, Warrington R. Urticaria and angioedema. Allergy,
Asthma Clin Immunol [Internet]. 2018;14(s2):1–13. Available from:
https://doi.org/10.1186/s13223-018-0288-z
11. Jhaj R, Chaudhary D, Asati D, Sadasivam B. Fixed-drug Eruptions: What can
we Learn from a Case Series? Indian J Dermatol. 2018;63(4):332–7.
12. Oktarlina RZ, Putri D, Suryani A, Farmasi B, Kedokteran F, Lampung U.
Eritroderma et causa Alergi Obat Erythroderma caused by Drug Allergies.
Majority. 2017;6(2):98–102.
13. Siregar Sp.KK(K) PDRS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Egc. 2005.
50–52 p.
14. FKUI. Farmakologi dan Terapi. edisi 6. Jakarta: Departemen. Farmakologi dan
Terapeutik FKUI; 2016.

58

Anda mungkin juga menyukai