Anda di halaman 1dari 42

Laporan Kasus

TRAUMA DAN LUKA BAKAR

Disusun Oleh:
M. Zulisandi Ghifari, S.Ked
NIM. 712021094

Pembimbing
dr. Susi Handayani, Sp.An, M. Sc, MARS

DEPARTEMEN ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

TRAUMA DAN LUKA BAKAR

Dipersiapkan dan disusun oleh


M. Zulisandi Ghifari, S. Ked
NIM. 712021094

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anestesi Dan Terapi Intensif
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang

Palembang, Juli 2022

Pembimbing

dr. Susi Handayani, Sp.An, M. Sc, MARS

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya bisa menyelesaikan laporan ini. Penulisan laporan
kasus ini dilakukan dalam rangka memenuhi syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Ilmu Anestesi Dan Terapi Intensif Rumah
Sakit Muhammadiyah Palembang pada Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, dari masa kepaniteraan klinik sampai pada penyusunan laporan
ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan laporan ini. Oleh karena itu,
saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Susi Handayani, Sp.An, M. Sc, MARS. selaku pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan laporan kasus ini;
2. Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral; dan
3. Rekan sejawat serta semua pihak yang telah banyak membantu saya dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Palembang, Juli 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1


1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3


2.1. Penatalaksanaan Awal Pasien Trauma ................................................ 3
2.2.1. Primary Survey................................................................................... 3
2.2.2. Secondary Survey ............................................................................... 8
2.2.3. Tertiary Survey ................................................................................... 9
2.3. Luka Bakar ............................................................................................. 10
2.3.1. Definisi Luka Bakar.......................................................................... 10
2.3.2. Etiologi Luka Bakar ......................................................................... 11
2.3.3. Klasifikasi Luka Bakar .................................................................... 12
2.3.4. Patofisiologi Luka Bakar.................................................................. 17
2.3.5. Tatalaksana Luka Bakar.................................................................. 21
2.3.6. Prognosis Luka Bakar ...................................................................... 24

BAB III LAPORAN KASUS ........................................................................ 25


BAB IV PEMBAHASAN .............................................................................. 26
BAB V KESIMPULAN................................................................................. 37

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 38

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Luka bakar dan cedera yang berhubungan dengannya masih merupakan
penyebab kematian dan kecacatan utama di Amerika Serikat. Wawasan klinis dari
perawatan luka bakar mengacu pada fisiologi cairan elektrolit, infeksi bedah,
pemeliharaan nutrisi, pemantauan kardiopulmoner, dan perawatan luka, dimana tak
satupun dapat diatasi sebagai kondisi-kondisi yang terpisah tanpa
pemahamanproses penyakit secara keseluruhan. Pusat-pusat perawatan luka bakar
sebaiknya dilengkapi dengan peralatan yang dapat memberikan pelayanan
pendukung jangka panjang untuk pasien-pasien dengan luka bakar yang lebih kecil
dan yang tidakmemerlukan rawat inap. Luka bakar merupakan cedera yang cukup
sering dihadapi para dokter. Luka bakar berat menyebabkan morbiditas dan derajat
cacat yang relatif tinggi dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain. Biaya yang
dibutuhkan untuk penanganannya pun tinggi.1,2
Di Indonesia, belum ada angka pasti mengenai luka bakar, tetapi dengan
bertambahnya jumlah penduduk dan industri, angka luka bakar juga semakin
meningkat. Luka bakar menyebabkan hilangnya integritas kulit dan juga
menimbulkan efek sistemik yang sangat kompleks. Luka bakar biasanya dinyatakan
dengan derajat yang ditentukan kedalaman luka bakar. Beratnya luka tergantung
pada dalam, luas, dan letak luka. Selain beratnya luka bakar, umur dan keadaan
kesehatan penderita sebelumnya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
prognosis. 1
Selain menentukan penyebab luka bakar, sangat penting untuk
mengklasifikasikan luka menurut tingkat keparahannya, kedalaman dan ukurannya.
Luka bakar, terutama luka bakar yang parah, disertai dengan respon imun dan
inflamasi, perubahan metabolisme, dan syok distributif yang sulit ditangani dan
dapat menyebabkan kegagalan organ multipel. Yang sangat penting adalah bahwa
cedera tidak hanya mempengaruhi kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental dan
kualitas hidup pasien. Oleh karena itu, pasien dengan luka bakar tidak dapat
dianggap sembuh jika luka telah sembuh; sebaliknya, luka bakar menyebabkan

1
perubahan besar jangka panjang yang harus ditangani untuk mengoptimalkan
kualitas hidup. Oleh karena itu, penyedia perawatan luka bakar dihadapkan pada
banyak tantangan termasuk manajemen perawatan akut dan kritis, perawatan
jangka panjang dan rehabilitasi. 3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Trauma
Kata "trauma" berasal dari kata Yunani yang berarti "luka", yang berarti,
setiap cedera serius pada tubuh, sering kali akibat kekerasan atau kecelakaan, atau
peristiwa yang menyebabkan penderitaan besar. Trauma adalah penyakit yang
beragam di mana, waktu, keputusan kritis dan keterampilan mempengaruhi hasil
pasien. Untuk setiap satu pasien yang meninggal, ada tiga orang yang selamat
dengan cacat berat. Puncak kematian pertama terjadi dalam beberapa menit setelah
kejadian dari cedera yang tidak dapat bertahan, bahkan dengan sumber daya medis
paling canggih yang segera tersedia. Puncak kedua dapat menyebabkan sekitar 30%
kematian, dalam beberapa jam pertama setelah cedera. Kematian paling sering
disebabkan oleh hipoksia dan syok hipovolemik. Kelompok ini akan mendapat
manfaat paling besar dari keunggulan dalam perawatan trauma. Puncak ketiga,
hingga 20% dari kematian trauma, terjadi terlambat setelah cedera, dari sepsis,
kegagalan multi-organ, dan komplikasi lainnya. 4

2.2. Penatalaksanaan Awal Pasien Trauma


2.2.1. Primary Survey 5
Primary survey ditentukan oleh ABCDE: Airway, Breathing, Circulation,
Disability dan Exposure/Environment. Meskipun komponen ini dijelaskan secara
berurutan, beberapa komponen dapat dilakukan secara bersamaan. Masalah yang
diidentifikasi selama bagian evaluasi ini segera ditangani.
a. Airway
Jalan napas selalu dinilai segera untuk patensi, refleks protektif, benda
asing, sekret, dan cedera. Penilaian ini dapat berkisar dari meminta pasien
untuk membuka mulut dan menyedot sekret dan menilai stabilitas cedera
wajah, mandibula, atau gigi. Penghisapan atau pembersihan manual benda
asing atau muntahan diikuti dengan inspeksi dan palpasi yang cermat pada
struktur wajah, orofaring, dan leher. Tingkat kesadaran pasien juga merupakan

3
indikator utama stabilitas jalan napas. Pasien dengan Glasgow Coma Score
(GCS) 8 atau kurang berisiko mengalami aspirasi dan hipoventilasi.
Jika karena alasan apapun klinisi tidak yakin akan kemampuan pasien
untuk mempertahankan jalan napasnya sendiri, klinisi melanjutkan ke kontrol
jalan napas buatan. Metode yang tepat untuk menetapkan jalan napas
tergantung pada situasi spesifik, tetapi beberapa aturan umum berlaku. Semua
pasien trauma memerlukan imobilisasi serviks manual selama manajemen
jalan napas untuk mencegah pergerakan cedera tulang belakang leher yang
berpotensi tidak stabil. Induksi urutan cepat lebih disukai di semua tetapi
pasien yang paling sekarat dan intubasi orotrakeal adalah rute yang lebih
disukai. Intubasi nasotrakeal tidak lagi dianjurkan karena sulitnya kinerja dan
tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Kekhawatiran bahwa dokter memiliki
intubasi orotrakeal berpotensi berbahaya pada pasien dengan potensi patah
tulang belakang leher telah dibantah oleh studi prospektif. Intubasi mendesak
atau darurat tidak boleh ditunda untuk mendapatkan radiografi tulang belakang
leher.
Stridor, suara serak, atau empisema subkutan leher adalah tanda-tanda
kemungkinan cedera laringotrakeal. Meskipun banyak dari pasien ini dapat
dikelola tanpa jalan napas, mereka semua memerlukan observasi ketat di ICU.
Jika intubasi diperlukan dan waktu memungkinkan, dokter yang
berpengalaman dalam intubasi yang sulit harus dipilih. Kegagalan intubasi
endotrakeal dari robekan laringotrakeal parsial dapat mengubahnya menjadi
transeksi lengkap. Intubasi nasotrakeal fiberoptik harus dilakukan hanya oleh
dokter berpengalaman dengan peralatan yang diperlukan segera tersedia.
Bahkan dalam situasi ideal ini, darah dan sekret sering membuat intubasi
fiberoptic sulit atau tidak mungkin.
Manajemen jalan napas bedah diindikasikan ketika salah satu rute oral
telah gagal atau dalam situasi cedera wajah besar. Ventilasi transtrakeal
perkutan dapat menjadi tindakan sementara sebelum melakukan trakeostomi
atau krikotirotomi. Cricothyrotomy lebih mudah dilakukan dan lebih disukai
daripada trakeostomi dalam kebanyakan situasi; Namun, jika ada kecurigaan
fraktur laring atau transeksi trakea, trakeostomi adalah metode pilihan.

4
b. Breathing
Pernapasan dinilai dengan menentukan frekuensi pernapasan pasien dan
dengan mengukur secara subjektif kedalaman dan upaya inspirasi. Bunyi nafas
harus diauskultasi secara hati-hati secara bilateral. Oksimetri nadi adalah
tambahan wajib dan pemantauan karbon dioksida end-tidal menjadi tambahan
yang berguna. Upaya pernapasan yang cepat, penggunaan otot bantu
pernapasan, hipoksia, hiperkapnia, ekskursi dinding dada yang asimetris, dan
suara napas yang berkurang atau tidak ada semuanya memerlukan pengobatan
sebelum melanjutkan. Dekompresi jarum pada tension pneumotoraks dapat
diselesaikan dengan cepat pada tahap ini dengan torakostomi tabung definitif
dilakukan setelah selesainya survei primer.

c. Circulation
Penilaian sirkulasi dimulai dengan evaluasi cepat status mental pasien,
warna kulit, dan suhu kulit. Pasien dengan syok hemoragik yang signifikan
akan berkembang dari kecemasan menjadi agitasi dan akhirnya koma jika
kehilangan darah mereka tidak berkurang. Karena salah satu respons langsung
tubuh terhadap perdarahan adalah pengaktifan sistem saraf simpatis, kulit
perifer pasien perdarahan akan menjadi pucat, dingin, dan berkeringat. Kulit
perifer yang sianosis atau berbintik-bintik adalah tanda syok hemoragik yang
parah. Pengisian kapiler yang lambat pada jari kaki dan tidak adanya darah
pada vena superfisial kaki dan tangan juga dapat terlihat. Sayangnya, tanda
vital tradisional, detak jantung, tekanan darah, dan laju pernapasan, tidak
sensitif atau spesifik untuk syok hemoragik. Pasien muda dan sehat dalam syok
kompensasi mungkin tidak mengalami takikardi atau hipotensi secara
signifikan sampai mereka kehilangan hingga 30% dari volume darah mereka.
Selain itu, karena rasa sakit dan kecemasan yang dialami oleh banyak pasien
cedera, takikardia dan takipnea sering terjadi terlepas dari apakah ada
perdarahan yang signifikan.
Tekanan langsung harus diterapkan pada perdarahan eksternal. Dokter
harus menahan keinginan untuk menjepit pembuluh darah, karena kerusakan
tambahan yang signifikan dapat terjadi, dan tekanan langsung biasanya efektif.

5
Sebuah tourniquet akan diperlukan hanya dalam kasus-kasus amputasi dekat
atau lengkap dengan perdarahan eksternal besar-besaran.
Survei primer sirkulasi tidak lengkap sampai akses vena yang memadai
diperoleh. Jika dua jalur IV lubang besar (16-14 gauge) tidak dapat diperoleh
dalam beberapa menit, jalur sentral vena femoralis harus dimasukkan. Jika
pasien dalam keadaan syok, sebaiknya dipasang kateter single lumen 8 French,
tetapi kateter triple lumen berdiameter lebih kecil cukup untuk pasien yang
lebih stabil. Karena risiko trombosis vena dalam pada ekstremitas bawah dan
infeksi saluran pusat, kateter vena femoralis yang dipasang di UGD harus
dilepas dalam waktu 24 jam.
Pilihan cairan untuk resusitasi termasuk kristaloid, koloid, dan produk
darah. Cairan awal harus kristaloid, baik saline normal atau Ringer laktat.
Ringer laktat lebih disukai bila diperlukan volume besar, karena asidosis dapat
terjadi akibat saline normal dalam jumlah besar. Ringer laktat, bagaimanapun,
adalah hipotonik dan hiponatremik dibandingkan dengan plasma dan oleh
karena itu dapat dikontraindikasikan dalam kasus cedera otak. Saline
hipertonik (7,5% garam dalam 6% Dextran) dalam volume kecil telah
digunakan dan terbukti meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien trauma
hipotensi, namun penggunaannya tidak umum.
Pasien yang tidak berespon terhadap 1 sampai 2 L resusitasi kristaloid atau
yang tampak hampir mati harus ditransfusikan dengan darah tipe O yang tidak
dicocokkan silang. Darah O-positif dapat digunakan untuk sebagian besar
pasien sehingga darah O-negatif dapat dicadangkan untuk digunakan pada
wanita usia subur. Karena waktu tunda, darah tipe spesifik atau darah yang
dicocokkan sepenuhnya hanya diindikasikan dalam situasi yang kurang
mendesak.
Setelah terapi untuk syok telah dimulai dan kontrol perdarahan eksternal
dimulai, pencarian sumber perdarahan internal harus dimulai. Tiga daerah
tubuh yang akan menyembunyikan sejumlah besar darah dalam kasus cedera
tumpul termasuk dada, perut, dan panggul. Radiografi dada dan panggul dan
penilaian terfokus dengan sonografi untuk trauma (FAST) atau diagnostik
peritoneal lavage (DPL) adalah studi skrining wajib untuk pasien syok.

6
Computed tomography (CT) scan pasien syok hemoragik tidak dianjurkan.
Fraktur tulang panjang dapat menyebabkan perdarahan, tetapi tidak adanya
fraktur terbuka dengan kehilangan darah eksternal yang signifikan jarang
menyebabkan syok. Syok neurogenik ditegakkan sebagai diagnosis hanya
setelah penyebab syok hemoragik telah dieliminasi. Pasien dengan cedera
torso-penetrating dan syok harus segera dibawa ke ruang operasi oleh ahli
bedah yang berkualifikasi.
Pasien tertentu dengan syok hipovolemik dengan kolaps sirkulasi yang
tidak responsif terhadap resusitasi cairan dapat dipertimbangkan untuk
torakotomi ED. Prosedur ini harus dilakukan hanya oleh dokter atau ahli bedah
darurat yang berkualifikasi dan berpengalaman. Hanya pasien dengan
mekanisme trauma tembus dan kehilangan tanda vital dalam perjalanan atau
setelah kedatangan yang harus dipertimbangkan. Pasien dengan luka tusuk,
luka tembak, dan mekanisme cedera tumpul memiliki tingkat kelangsungan
hidup masing-masing 16,8%, 4,3%, dan 1,4%.

d. Diasbility
Disabilitas harus dinilai lebih awal untuk mendokumentasikan defisit
neurologis sebelum memberikan sedasi IV atau paralitik. GCS dan status
motorik kasar dan sensorik keempat ekstremitas harus ditentukan dan dicatat.
Dokter juga harus menyadari perlunya tindakan perlindungan otak dalam
kasus cedera otak. Pasien cedera otak yang diintubasi harus dibius dengan obat
reversibel cepat seperti midazolam atau propofol. Hiperventilasi agresif tidak
diindikasikan, tetapi ini adalah metode paling cepat untuk menurunkan
tekanan intrakranial (TIK) sementara pada pasien yang diduga mengalami
herniasi dekat. Manitol dalam dosis 1,0 g/kg IV diindikasikan pada pasien
dengan GCS rendah dan pupil asimetris yang tidak syok.

e. Exposure/environment
Bagian terakhir dari survei primer adalah paparan dan pengendalian
lingkungan. Paparan sangat penting pada pasien dengan mekanisme cedera
traumatis di mana kegagalan untuk mengidentifikasi cedera kedua atau ketiga

7
dapat mengakibatkan kesalahan penilaian gambaran klinis. Kontrol
lingkungan melibatkan penilaian suhu tubuh inti dan mencegah hipotermia.
Minimal, ruangan harus dijaga pada suhu sehangat mungkin dan pasien
ditutupi dengan selimut. Infus cepat produk darah dan larutan kristaloid harus
dilakukan dengan penghangat cairan Level 1 (Level 1, Inc., Rockland,
Massachusetts). Pasien dalam syok mungkin pada awalnya normotermik,
namun demikian, mereka akan memerlukan pemanasan aktif selama fase
resusitasi.

2.2.2 Secondary Survey 5


Survei sekunder adalah penilaian ulang lengkap pasien dan cedera.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebih lengkap dan tradisional dilakukan.
Berbagai sumber (teman, kerabat, penegak hukum, dan personel layanan darurat)
seringkali diperlukan untuk mendapatkan riwayat lengkap. Banyak yang bisa
dipelajari dari mekanisme cedera. Jenis dan besarnya transfer energi potensial
memberikan banyak petunjuk tentang pola cedera potensial. Pasien dengan
riwayat transfer energi tinggi (misalnya, kecelakaan kecepatan tinggi, jatuh dari
ketinggian) berada pada risiko yang lebih tinggi untuk cedera okultisme terlepas
dari presentasi klinis awal mereka. Kecelakaan kendaraan tunggal, jatuh yang
tidak dapat dijelaskan, atau kemungkinan cedera yang disebabkan oleh diri sendiri
akan memerlukan penilaian kondisi mental yang mendasari pasien dan potensi
untuk melukai diri sendiri lebih lanjut.
Pemeriksaan fisik dimulai dari kepala pasien dan berlanjut ke jari kaki.
Spesialis trauma yang berpengalaman menyadari bahwa cedera yang
menyakitkan, mengganggu dan pemeriksaan yang kurang tepat dapat membuat
beberapa cedera tidak teridentifikasi. Sepanjang bagian evaluasi ini, pasien harus
dipantau dengan irama jantung terus menerus dengan oksimetri nadi, pengukuran
tekanan darah yang sering, pemeriksaan status mental, dan penilaian klinis perfusi
perifer.
Pemantauan karbon dioksida akhir-tidal dapat berguna juga. Pemantauan
invasif dengan menggunakan kateter arteri pulmonalis jarang dapat dilakukan di
UGD. Jika sewaktu-waktu selama survei sekunder status klinis pasien memburuk,

8
pemeriksa harus kembali ke elemen survei primer. Setelah survei sekunder
selesai, studi pencitraan dan diagnostik yang lebih spesifik dapat diperoleh. Jika
pasien stabil secara hemodinamik, dan dokter memiliki kepedulian yang rendah
terhadap cedera yang mengancam jiwa, transportasi ke departemen radiologi atau
pemindai CT untuk pengujian diagnostik yang lebih akurat adalah wajar. Pasien
harus didampingi dan dipantau oleh perawat setiap saat sampai evaluasi awal
selesai.

2.2.3 Tertiary Survey 5


Melakukan survei tersier pada pasien cedera yang dirawat di ICU
diperlukan untuk sepenuhnya mengidentifikasi semua cedera yang berpotensi
multipel. Cedera yang belum terdeteksi atau yang telah dikesampingkan
sementara masalah yang lebih mengancam jiwa ditangani sering terjadi, terutama
pada trauma tumpul. Selain itu, pasien yang mabuk dengan alkohol atau bahan
kimia lain dan tidak dapat bekerja sama dengan diagnosis dan pengelolaan potensi
cedera mereka mungkin memerlukan induksi urutan cepat dan intubasi
endotrakeal hanya untuk memfasilitasi survei sekunder dan pencitraan diagnostik.
Survei tersier terdiri dari pemeriksaan fisik kepala hingga kaki, penilaian
respons pasien terhadap resusitasi sejauh ini, tinjauan studi radiografi saat ini
dengan interpretasi ahli radiologi, tinjauan semua penelitian laboratorium, dan
upaya jika perlu untuk mendapatkan pra -Riwayat medis cedera dari keluarga dan
teman-teman yang pada saat ini harus tiba. Biasanya ini akan dilakukan pada saat
kedatangan pasien ke ICU. Pada titik ini untuk memesan panel laboratorium baru
bahwa dalam kasus pasien cedera multipel yang setidaknya terdiri dari hitung
darah lengkap, panel koagulasi, gas darah arteri, dan serum laktat. Spesialis
trauma atau spesialis perawatan intensif kemudian memutuskan pemantauan
invasif dan akses IV dan studi radiografi lebih lanjut apa yang diperlukan. Sebuah
rencana untuk sedasi dan analgesia dirumuskan.
Karena keterlambatan dalam mendeteksi semua cedera sering terjadi pada
pasien cedera multipel, cedera tidak boleh dianggap tertunda atau terlewatkan
secara signifikan jika ditemukan dalam 24 jam pertama. Spesialis trauma yang
berpengalaman akan menduga fraktur yang tersembunyi dengan mudah dari

9
pandangan (misalnya, di tulang belakang leher, toraks, atau lumber). Praktik rutin
penulis adalah mendapatkan CT scan tulang belakang leher selama perjalanan
kedua pasien ke CT scanner (misalnya, selama CT scan kepala serial kedua untuk
pasien dengan cedera otak). Ambang batas rendah untuk CT scan dada akan
mendeteksi pneumotoraks tersembunyi, kontusio paru, dan bahkan cedera aorta.
Potensi pengembangan sindrom kompartemen ekstremitas harus dipertimbangkan
di sekitar semua fraktur ekstremitas atau cedera jaringan lunak. Tekanan intra-
abdomen harus diukur pada saat masuk ke ICU dan setiap 6 jam pada pasien
trauma sakit kritis terlepas dari apakah ada cedera perut yang diketahui. Resusitasi
cairan agresif yang terkait dengan syok traumatis akan menyebabkan edema tubuh
total dan bahkan asites.
Dua komplikasi yang akan terjadi secara simultan dan sinergis dan yang
diharapkan selama survei tersier adalah hipotermia dan koagulopati. Hipotermia
akibat paparan lingkungan atau syok mempersulit resusitasi dan pengobatan
pasien trauma dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Penyebab iatrogenik
hipotermia termasuk resusitasi cairan masif dan prosedur bedah yang
berkepanjangan. Hipotermia memperburuk asidosis, meningkatkan viskositas
darah, menurunkan aliran darah mikrovaskular, dan mengurangi agregasi
trombosit. Cairan IV harus dihangatkan dengan transfuser Level 1 yang dimulai
di UGD, dan pasien harus ditutup dengan Bair Hugger dan selimut sebanyak
mungkin. Kombinasi hipotermia dan transfusi masif dapat menyebabkan
koagulopati yang tidak dapat diperbaiki kecuali kedua masalah ini diantisipasi dan
diobati. Sebagian besar pusat trauma memulai protokol transfusi masif segera
setelah diprediksi bahwa lebih dari sepuluh unit sel darah merah yang dikemas
akan ditransfusikan. Seorang ahli patologi klinis harus datang ke tempat tidur
pasien dan langsung membantu ahli bedah dan spesialis perawatan intensif dengan
pemesanan dan pengiriman produk prokoagulasi.

2.3 Luka Bakar


2.3.1 Definisi Luka Bakar
Luka bakar adalah luka yang terjadi karena terbakar api langsung maupun
tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia.

10
Luka bakar karena api atau akibat tidak langsung dari api, misalnya tersiram air
panas banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga. 6
Luka adalah suatu keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat
kekerasan/trauma yang dapat dibedakan menjadi trauma mekanik, trauma fisik
serta trauma kimiawi. Luka bakar adalah cedera terhadap jaringan yang disebabkan
oleh kontak dengan panas kering (api), panas lembab (uap atau cairan panas),
kimiawi (seperti, bahan-bahan korosif), barang-barang elektrik (aliran listrik atau
lampu), friksi, atau energi elektromagnetik dan radian. Luka bakar merupakan suatu
jenis trauma yang memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi sehingga
memerlukan perawatan yang khusus mulai fase awal hingga fase lanjut. Ada 5
etiologi terjadinya luka bakar, yaitu kobaran api, cairan, bahan kimia, listrik,
maupun kontak lainnya. 6

2.3.2 Etiologi Luka Bakar


Penyebab luka bakar yang tersering adalah terbakar api langsung yang
dapat dipicu atau diperparah dengan adanya cairan yang mudah terbakar seperti
bensin, gas, kompor rumah tangga, cairan dari tabung pemantik api, yang akan
menyebabkan luka bakar pada seluruh atau sebagian tebal kulit. Kurang lebih 60%
luka bakar disebabkan oleh air panas yang terjadi pada kecelakaan rumah tangga,
dan umumnya merupakan luka bakar superfisial, tetapi dapat juga mengenai
seluruh ketebalan kulit (derajat tiga). 6
Penyebab luka bakar yang lain adalah pajanan suhu tinggi dari matahari,
listrik maupun bahan kimia. Bahan kimia ini bias berupa asam atau basa kuat. Asam
kuat menyebabkan nekrosis koagulasi, denaturasi protein, dan rasa nyeri yang
hebat. Asam hidroflorida mampu menembus jaringan sampai ke dalam dan
menyebabkan toksisitas sistemik yang fatal, bahkan pada luka kecil sekalipun.
Alkali atau basa kuat yang banyak terdapat dalam rumahtangga antara lain cairan
pemutih pakaian (bleaching), berbagai cairan pembersih, dll. Luka bakar yang
disebabkan oleh basa kuat akan menyebabkan jaringan mengalami nekrosis yang
mencair (liquefactive necrosis). Kemampuan alkali menembus jaringan lebih dalam
lebih kuat dari pada asam,kerusakan jaringan lebih berat karena sel mengalami
dehidrasi dan terjadidenaturasi protein dan kolagen. Rasa sakit baru timbul

11
belakangan sehingga penderita sering terlambat datang untuk berobat dan
kerusakan jaingan sudah meluas. 6,7
Adapun penyebab luka bakar dapat terbagi menjadi: 7

• Bahan kimia seperti asam kuat, alkali, pengencer cat atau bensin
• Arus listrik
• Api
• Cairan panas
• Logam panas, kaca atau benda lain
• Uap
• Radiasi dari sinar-x
• Sinar matahari atau sinar ultraviolet

2.3.3 Klasifikasi Luka Bakar


Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka
bakar derajat I, II, atau III: 6
§ Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak
jaringan untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya
sembuh dalam 5-7 hari dan dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya
tampak sebagai eritema dan timbul dengan keluhan nyeri dan atau
hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I adalah sunburn.

12
§ Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih
terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi.
Jaringan tersebut misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar
keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya jaringan yang masih “sehat”
tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3 minggu. Gambaran luka bakar
berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh darah
karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri. Apabila
luka bakar derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik, dapat timbul
edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera berkembang
menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.

§ Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau
jaringan yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel
yang dapat menjadi dasar regenerasi sel spontan, sehingga untuk
menumbuhkan kembali jaringan kulit harus dilakukan cangkok kulit. Gejala
yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena pada dasarnya
seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah tidak intak.

13
Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan
kesehatan pasien sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya
trauma inhalasi juga akan mempengaruhi berat luka bakar.
Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46oC.
Luasnya kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak.
Luka bakar menyebabkan koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan
suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler juga meningkat, terjadi kehilangan
cairan, dan viskositas plasma meningkat dengan resultan pembentukan
mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok,
tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka
bakar juga menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi metabolisme.
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan
mortalitasnya meningkat, dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas
luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa
metode cepat untuk menentukan luas luka bakar, yaitu:
• Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas
telapak tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka
bakar hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka II atau III.
• Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa
Pada dewasa digunakan ‘rumus 9’, yaitu luas kepala dan leher, dada,
punggung, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas

14
kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki
kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini
membantu menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang
dewasa.

Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan
kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil.
Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda,
dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak.

15
• Metode Lund dan Browder
Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh
di kepala pada anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas
permukaan pada anak. Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas
permukaan tubuh pada anak dapat menggunakan ‘Rumus 9’ dan
disesuaikan dengan usia:
o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%.
Torso dan lengan persentasenya sama dengan dewasa.
o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap
tungkai dan turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai
nilai dewasa.

Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage of body surface
area affected by burns in children.

Berdasarkan berat/ringan luka bakar, diperoleh beberapa kategori luka


bakar menurut American Burn Association: 8
1. Luka bakar berat (major burn)

16
a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di
atas usia 50 tahun
b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir
pertama
c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa
memperhitungkan luas luka bakar
e. Luka bakar listrik tegangan tinggi
f. Disertai trauma lainnya
g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi
2. Luka bakar sedang (moderate burn)
a. Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar
derajat III kurang dari 10 %
b. Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau
dewasa > 40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang
tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum
3. Luka bakar ringan
a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka,
tangan, kaki, dan perineum

2.3.4 Patofisiologi Luka Bakar


Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi.
Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia.
Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan bula yang
mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan
intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan
akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada

17
luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III.
6,9

Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi
tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok
hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat,
nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi urin yang berkurang.
Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada
kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan
mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring
yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala
sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.
6

Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO akan
mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi
mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual
dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila lebih dari 60%
hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal. 9
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi
mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini
ditandai dengan meningkatnya diuresis. 9
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah
infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh
kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem
pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain
berasal dari dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran
napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial
ini biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten
terhadap berbagai antibiotik. 6,9,10
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang
berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi
invasi kuman Gram negatif, Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan

18
eksotoksin protease dari toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam
invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau
pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur keropeng
yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk nanah. 6,9
Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah
terlepas dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan
keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-
mula sehat menadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat II
menjadi derajat III. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler
di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis sehingga jaringan yang
didarahinya nanti. 6,7,9
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan
kuman dan terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar
demikian disebut luka bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram positif,
seperti stafilokokus atau basil Gram negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran
kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus.
Syok sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di
darah. 6,7
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh
dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa
elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel
kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat II yang dalam
mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku dan secara estetik
jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami
kontraktur. Bila terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau hilang. 6
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut,
peristalsis usus menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase
mobilisasi, peristalsis dapat menurun karena kekurangan ion kalium. Stres atau
badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan
terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama
dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling. 9

19
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga
keseimbangan protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena
eksudasi, metabolisme tinggi dan infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang
rusak juga memerluka kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase
ini terutama didapat dari pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu,
penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun. Dengan
demikian, korban luka bakar menderita penyakit berat yang disebut penyakit luka
bakar. Bila luka bakar menyebabkan cacat, terutama bila luka mengenai wajah
sehingga rusak berat, penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat. Jadi
prognosis luka bakar ditentukan oleh luasnya luka bakar. 9
Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka
bakar, yaitu:
1. Fase awal, fase akut, fase syok
Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada
saluran nafas yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan
adanya eskar melingkar di dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan
gangguan sirkulasi seperti keseimbangan cairan elektrolit, syok
hipovolemia.
2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS)
dan sepsis. Hal ini merupakan dampak dan atau perkembangan masalah
yang timbul pada fase pertama dan masalah yang bermula dari kerusakan
jaringan (luka dan sepsis luka)
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi
jaringan. Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti
parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat
kerapuhan jaringan atau struktur tertentu akibat proses inflamasi yang
hebat dan berlangsung lama

20
Pembagian zona kerusakan jaringan: 8
1. Zona koagulasi, zona nekrosis
Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein)
akibat pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan ini
mengalami nekrosis beberapa saat setelah kontak. Oleh karena itulah
disebut juga sebagai zona nekrosis.
2. Zona statis
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona koagulasi.
Di daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan
trombosit dan leukosit, sehingga terjadi gangguam perfusi (no flow
phenomena), diikuti perubahan permeabilitas kapilar dan respon inflamasi
lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera dan mungkin
berakhir dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemi
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa
vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi selular. Tergantung keadaan
umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami
penyembuhan spontan, atau berubah menjadi zona kedua bahkan zona
pertama.

2.3.5 Tatalaksana Luka Bakar


Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama
adalah mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan
mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan pada pasien yang
menderita luka bakar berat atau kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar
di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak dilakukan bila telah terjadi edema luka
bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau banyak. Pada pasien luka
bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih daripada trakeostomi. 11
Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi
awal yang tidak dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik
pada pasien luka bakar menimbulkan kecurigaan adanya jejas ‘tersembunyi’. Oleh
karena itu, setelah mempertahankan ABC, prioritas berikutnya adalah

21
mendiagnosis dan menata laksana jejas lain (trauma tumpul atau tajam) yang
mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka bermanfaat untuk mencari trauma
terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi. Informasi riwayat penyakit
dahulu, penggunaan obat, dan alergi juga penting dalam evaluasi awal. 11
Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai.
Pemeriksaan radiologik pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat
membantu mengevaluasi adanya kemungkinan trauma tumpul.
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi.
Terlepas dari luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan
transfer pasien adalah mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan,
melepas dari eskar yang mengkonstriksi.
Luka bakar ringan dapat dilakukan tatalaksana:
• Pendinginan - Area luka bakar yang kecil dapat didinginkan dengan air
keran atau larutan garam untuk mencegah perkembangan luka bakar dan
untuk mengurangi rasa sakit.
• Pembersihan – Mengirigasi luka dengan air atau dengan sabun antibakteri
ringan. Namun, lepuh besar didebridement sedangkan lepuh kecil dan lepuh
yang melibatkan telapak tangan atau telapak kaki dibiarkan utuh.
• Penutup – Salep atau krim antibiotik topikal dengan pembalut penyerap atau
bahan pembalut luka bakar khusus biasanya digunakan.
• Kenyamanan – Obat pereda nyeri yang dijual bebas atau resep obat pereda
nyeri bila diperlukan. Belat juga dapat memberikan dukungan dan
kenyamanan untuk area luka bakar tertentu.
Untuk luka bakar diklasifikasikan sebagai parah (> 20% TBSA), resusitasi
cairan harus dimulai untuk mempertahankan output urin > 0,5 mL/kg/jam. Salah
satu formula resusitasi cairan yang umum digunakan adalah formula Parkland.
Jumlah total cairan yang akan diberikan selama 24 jam awal = 4 ml LR × berat
badan pasien (kg) × % TBSA. Setengah dari jumlah yang dihitung diberikan
selama delapan jam pertama dimulai ketika pasien awalnya terbakar. Misalnya,
jika pasien dengan berat badan 70 kg mengalami luka bakar parsial TBSA 30%,
mereka akan membutuhkan 8400 mL larutan Ringer Laktat dalam 24 jam pertama
dengan 4200 mL dari total tersebut dalam 8 jam pertama [(4 mL) × (70 kg) × (30%

22
TBSA) = 8.400 mL LR. Ingatlah bahwa formula resusitasi cairan untuk luka bakar
hanyalah perkiraan dan pasien mungkin membutuhkan lebih banyak atau lebih
sedikit cairan berdasarkan tanda-tanda vital, keluaran urin, cedera lain atau
kondisi medis lainnya. 10
Pada pasien dengan luka bakar api sedang sampai berat dan dengan
kecurigaan cedera inhalasi, kadar karboksihemoglobin harus diperiksa, dan pasien
harus diberikan oksigen aliran tinggi sampai keracunan karbon monoksida
disingkirkan. Jika keracunan karbon monoksida dikonfirmasi, lanjutkan
pengobatan dengan oksigen aliran tinggi dan pertimbangkan oksigen hiperbarik
dalam kasus tertentu. Keracunan sianida juga dapat terjadi karena menghirup asap
dan dapat diobati dengan hidroksokobalamin. 7

a. Debridemen
Debridemen merupakan sisi lain pada perawatan luka bakar. Tindakan ini
memiliki dua tujuan:
a) Untuk menghilangkan jaringan yang terkontaminasi oleh bakteri
dan benda asing, sehingga pasien dilindungi terhadap
kemungkinan invasi bakteri,
b) Untuk menghilangkan jaringan yang sudah mati atau eskar dalam
persiapan bagi graft dan kesembuhan luka,
Sesudah terjadi luka bakar derajat-dua dan tiga, bakteri yang terdapat pada
antarmuka jaringan yang terbakar dan jaringan viabel yang ada di bawahnya
secara berangsur-angsur akan mencairkan serabut-serabut kolagen yang menahan
eskar pada tempatnya selama minggu pertama atau kedua pasca-luka bakar. 11

b. Graft
Jika lukanya dalam (full-thickness) atau sangat luas, reepitelialisasi
spontan tidak mungkin terjadi. Karena itu diperlukan graft (pencakokan) kulit dari
pasien sendiri (autograft). Daerah-daerah utama graft kulit mencakup daerah
wajah dengan alasan kosmetik dan psikologik; tangan dan bagian fungsional
lainnya seperti kaki; dan daerah-daerah yang meliputi persendian. Graft
memungkinkan pencapaian kemampuan fungsional yang lebih dini dan akan

23
mengurangi kontraktur. Kalau luka bakarnya sangat luas, daerah dada dan
abdomen dapat dicangkok terlebih dahulu untuk mengurangi luas luka bakar. 11

2.3.6 Prognosis Luka Bakar


Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan
luasnya permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan.
Selain itu faktor letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita
juga turut menentukan kecepatan penyembuhan. 1
Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul
pada luka bakar antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis,
serta parut hipertrofik dan kontraktur. 1

24
BAB III
LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki berusia 30 tahun dirawat di ICU. Pasien adalah seorang


pemadam kebakaran yang berada di dalam gedung yang terbakar saat lantai
ruangan ambruk sehingga menyebabkan dirinya jatuh 3 lantai ke basement. Pasien
terjebak di bawah sejumlah besar puing-puing dan diselamatkan setelah sekitar 35
menit. Pada pemeriksaan di tempat kejadian, ia memiliki denyut nadi 112
kali/menit, tekanan darah 90/70 mmHg, dan deformitas paha bilateral disertai
pembengkakan jaringan lunak. Dia mengalami luka bakar yang melibatkan seluruh
dada anterior dan perut dan luka bakar melingkar yang melibatkan kedua lengan
atas. Luka di kakinya tampak memanjang hingga ke otot. GCS-nya di pusat gawat
darurat adalah 10, dan pasien diintubasi. Tingkat karboksihemoglobinnya adalah
27%. Urin berwarna gelap dan berwarna teh setelah pemasangan kateter urin. CT
scan perut dan panggul dilakukan dan didapatkan laserasi hati dengan sedikit cairan
bebas di perut. Fraktur krista iliaka kanan juga dicatat.
- Apa prioritas Anda untuk perawatan pasien ini di ICU?
- Bagaimana Anda mengelola resusitasi cairannya?
- Tindakan apa yang akan Anda ambil untuk mencegah cedera organ yang
mungkin timbul akibat luka bakarnya?

25
BAB IV
PEMBAHASAN

Ringkasan: Pasien ini adalah pria berusia 30 tahun dengan luka bakar parah di
badan dan ekstremitas atas terkait dengan beberapa cedera traumatis lainnya.
Keadaannya di unit gawat darurat, konsisten dengan syok dan cedera inhalasi.

Jawaban pertanyaan kasus diatas:


- Prioritas: Intubasi orotrakeal untuk mengamankan jalan napas. Tempatkan
pasien pada oksigen 100% untuk meminimalkan cedera akibat inhalasi
karbon monoksida. Akses intravena dengan lubang besar harus ditempatkan
untuk resusitasi cairan yang sedang berlangsung dan untuk pemantauan
tekanan vena sentral. Deformitas pahanya kemungkinan menunjukkan
patah tulang paha yang harus diverifikasi dengan x-ray, diikuti dengan
reduksi dan stabilisasi. Luka bakar harus dibersihkan dengan hati-hati dan
ditutup dengan sulfadiazin perak dan pembalut kasa.
- Resusitasi cairan: Resusitasi cairan awal dapat dimulai dengan
menggunakan formula Park land atau formula Brooke yang dimodifikasi.
Titik akhir resusitasi yang harus diikuti meliputi keluaran urin >0,5 hingga
1,0 mL/kg/jam dan tekanan vena sentral yang memadai. Pemberian cairan
awal mungkin perlu lebih banyak pada pasien ini karena cedera terkait
lainnya (hati, panggul, dan tulang panjang) dan mioglobinurianya.
Demikian pula, karena sumber perdarahan potensial ini, hemoglobin pasien,
hematokrit, profil koagulasi, dan jumlah trombosit perlu dipantau secara
ketat selama periode resusitasi awal.
- Tindakan untuk mencegah cedera organ: Luka bakar yang luas
menghasilkan depresi jantung dari mediator inflamasi sistemik yang
bersirkulasi. Cedera paru dapat terjadi akibat efek benturan langsung atau
Acute Lung Injury (ALI), dan cedera ginjal akut dapat terjadi sebagai akibat
dari resusitasi cairan yang tidak mencukupi dan cedera akibat mioglobin.
Pencegahan primer dimulai dengan resusitasi cairan yang tepat waktu dan
tepat berdasarkan pemantauan hemodinamik dan respons terhadap

26
resusitasi (output urin, laktat, dan defisit basa). Manajemen luka dini dan
tepat waktu juga penting dalam pencegahan disfungsi organ jauh. Misalnya,
eksisi luka bakar dini telah terbukti menghasilkan lebih sedikit komplikasi
septik terkait luka bakar dan meningkatkan kelangsungan hidup.

ANALISIS
Tujuan:
1. Untuk mempelajari manajemen cedera termal (cedera inhalasi, infeksi,
cedera ginjal akut, manajemen nyeri, dukungan metabolik dan nutrisi).
2. Untuk belajar mengenali dan memprioritaskan perawatan pasien luka bakar
dengan cedera terkait lainnya.

PERTIMBANGAN
Petugas pemadam kebakaran ini menderita luka bakar parah yang terlihat dari
luasnya luka-lukanya, yang melibatkan seluruh lingkar tubuh dan ekstremitas atas.
Karena dia terjebak di gedung yang terbakar selama beberapa waktu, dia terkena
gas pembakaran dari api, terutama karbon monoksida dan sianida. Menghirup racun
ini bersama dengan panas langsung dan uap api dapat menyebabkan edema dan
kerusakan parah pada saluran napas. Oleh karena itu, intubasi dini diperlukan.
Karboksihemoglobin pasien mengkhawatirkan sebesar 27% dan menunjukkan
inhalasi karbon monoksida (CO) yang signifikan; Kadar COHgb 30% sering
dikaitkan dengan disfungsi sistem saraf pusat permanen, dan kadar COHgb lebih
dari 60% biasanya menyebabkan koma dan kematian. Karbon monoksida memiliki
afinitas 240 kali lipat lebih besar terhadap hemoglobin daripada oksigen; oleh
karena itu, waktu paruh CO dalam darah di udara ruangan adalah 250 menit. Waktu
paruh COHgb dapat dikurangi menjadi 40 sampai 60 menit dengan menempatkan
pasien pada Oksigen 100%. Riwayat pasien ini pernah jatuh beberapa lantai ke
basement yang mengakibatkan cedera tulang yang parah dan imobilitas selanjutnya
mengkhawatirkan terjadinya degradasi otot dan rhabdomyolysis; oleh karena itu,
tindakan pencegahan harus diambil untuk mengidentifikasi dan mengobati
komplikasi potensial ini. Cedera terkait fraktur panggul pada pasien ini, kelainan
tulang paha bilateral, dan laserasi hati sangat mengkhawatirkan. Pasien ini

27
memerlukan pemeriksaan diagnostik untuk memastikan bahwa tidak ada
perdarahan retroperitoneal aktif (yaitu, angiografi atau CT angiografi). Selain itu,
konsultasi ortopedi mendesak diperlukan untuk stabilisasi tulang awal. Tingkat
laserasi hati dapat ditentukan berdasarkan temuan CT, dan kadar hemoglobin dan
hematokrit serial dapat membantu untuk menentukan apakah intervensi operatif
atau angiografi diperlukan.

PENDEKATAN KLINIS
Manajemen Cedera Termal
Luka bakar adalah penyebab utama trauma di Amerika Serikat, karena lebih
dari 1 juta kasus terjadi setiap tahun. Luka bakar dapat disebabkan oleh panas,
bahan kimia, listrik, atau radiasi, dengan luka bakar yang paling umum. Cedera
termal merupakan penyebab signifikan dari morbiditas dan mortalitas karena
respon inflamasi mendalam yang dihasilkan baik secara lokal maupun sistemik.

Biologi dan Patofisiologi Kulit


Epidermis dan dermis adalah 2 lapisan berbeda yang membentuk kulit.
Epidermis adalah lapisan terluar dan memiliki tanggung jawab unik untuk
melindungi inang dari infeksi, kehilangan cairan, dan sinar ultraviolet. Ini juga
merupakan tempat penyerapan vitamin D dan menyediakan banyak regulasi termal
kita. Ini berasal dari ektoderm dan karenanya mampu beregenerasi. Sebaliknya,
dermis terletak di bawah epidermis dan menyediakan kerangka struktural kulit.
Kolagen adalah molekul struktural utama yang ditemukan di lapisan ini. Ini adalah
dermis yang memberikan kulit daya tahan dan elastisitas.
Luka bakar dapat menyebabkan kerusakan signifikan pada struktur dan fungsi
kulit. Klasifikasi Jackson dari luka bakar menguraikan patofisiologi cedera termal.
Ada 3 zona cedera jaringan akibat luka bakar: zona koagulasi, zona stasis, dan zona
hiperemia. Zona koagulasi berada di tengah dan merupakan jaringan yang paling
parah cedera. Sel-sel di zona ini terkoagulasi dan nekrotik. Zona stasis segera di
luar zona koagulasi dan ditandai dengan iskemia dan vasokonstriksi. Zona stasis
penting karena seringkali pada awalnya dapat hidup tetapi dapat berkembang
menjadi zona koagulasi bila terkena edema berat dan/atau hipoperfusi (konsekuensi

28
dari manajemen cairan awal yang tidak tepat). Di luar zona stasis adalah zona
hiperemia. Di zona ini jaringan hidup tetapi sering terlibat dalam perubahan
inflamasi yang mendalam dari sel-sel di sekitarnya.

Penilaian klinis
Seorang pasien luka bakar harus diperlakukan sama dengan pasien trauma
lainnya, yang berarti penilaian awal harus fokus pada jalan napas pasien,
pernapasan, dan sistem peredaran darah. Penilaian luasnya luka bakar dan cedera
besar lainnya juga harus dilakukan saat ini. Inspeksi jalan napas meliputi evaluasi
mulut, hidung, orofaring, dan trakea. Luka bakar pada wajah, bulu hidung yang
terjepit, adanya jelaga, sekret mulut yang berbusa, dan edema mukosa harus
mengingatkan penyedia kemungkinan cedera inhalasi, dan intubasi dini harus
dilakukan. Selain itu, sesak napas dengan napas dangkal, penggunaan otot aksesori,
stridor, atau penurunan fungsi neurologis juga memerlukan intubasi. Sebagian
besar kematian awal akibat kebakaran terjadi sekunder akibat hipoksia akibat
kekurangan oksigen atau inhalasi toksin.
Salah satu kemajuan terbesar dalam menangani pasien luka bakar parah
adalah penggunaan resusitasi cairan agresif dini. Rumus Parkland, dinamai rumah
sakit di Dallas, Texas, adalah panduan untuk pengisian volume. Untuk orang
dewasa dengan TBSA% yang terkena>15 atau anak-anak dengan TBSA%>10 yang
terkena, dianjurkan agar perawatan suportif, pemantauan lanjutan, dan resusitasi
cairan agresif diberikan. Rumus Parkland menghitung jumlah volume yang harus
diberikan dalam periode 24 jam dengan mengukur (% TBSA yang terpengaruh) x
(4 mL larutan Ringer laktat) x (berat pasien dalam kg). Setengah dari jumlah yang
dihitung harus diberikan dalam 8 jam pertama setelah cedera, dan paruh kedua
harus diberikan dalam 16 jam berikutnya. Ini hanya panduan untuk resusitasi dan
harus digunakan bersama dengan informasi lain (misalnya, urin output, tekanan
vena sentral, dll) untuk menentukan status volume. Formula Brooke yang
dimodifikasi adalah pendekatan resusitasi alternatif menggunakan larutan Ringer
laktat pada 2 mL/kg per% TBSA, dengan setengah dari cairan diberikan dalam 2
jam pertama dan setengah sisanya dalam 16 jam berikutnya; selama 24 jam kedua,

29
koloid diberikan pada (0,3 hingga 0,5 mL/kg)/% TBSA luka bakar + D5W untuk
mempertahankan keluaran urin minimal 0,5 mL/kg/jam.
Menghitung TBSA dapat menjadi rumit. Biasanya hanya luka bakar derajat
dua dan tiga yang termasuk dalam estimasi TBSA. Rule of Nine Wallace adalah
cara memperkirakan tingkat luka bakar pada orang dewasa. Tubuh dibagi menjadi
beberapa bagian dan diberi persentase (fraksi atau kelipatan 9) dari luas permukaan
tubuh. Dalam skema ini dada anterior, dada posterior, perut, bokong, ekstremitas
bawah anterior unilateral, ekstremitas posterior unilateral, lengan unilateral
melingkar, dan kepala melingkar masing-masing sama dengan 9%. Perineum sama
dengan 1%. Secara total, seluruh tubuh adalah 100%.

Rule of nine digunakan untuk memperkirakan ukuran luka bakar pasien dengan membagi
tubuh ke dalam wilayah di mana luas permukaan total tubuh dapat dihitung dengan
kelipatan sembilan.

Aturan sembilan tidak berlaku untuk anak-anak karena mereka secara


proporsional berbeda dari orang dewasa. Oleh karena itu, adaptasi aturan sembilan
memperkirakan luas permukaan yang lebih besar untuk kepala keliling dan lebih
kecil untuk ekstremitas. Pada pasien ini, TBSA yang dihitung sama dengan 36%.

30
Penatalaksanaan Luka Bakar
Menentukan kedalaman luka bakar dapat memberikan beberapa wawasan
tentang arah penatalaksanaan. Luka bakar derajat satu bersifat superfisial dan hanya
mengenai epidermis. Tampak eritematosa dalam warna dan tidak memiliki lepuh.
Penyembuhan biasanya terjadi dalam beberapa hari tetapi bisa memakan waktu
hingga 2 minggu. Perawatan biasanya terdiri dari mengoleskan krim topikal untuk
menghilangkan gejala dan berfungsi sebagai penghalang terhadap infeksi.

Lapisan kulit yang menunjukkan kedalaman luka bakar derajat satu, derajat dua, dan
derajat tiga.

Luka bakar sebagian-tebal (sebelumnya dikenal sebagai luka bakar tingkat


kedua) meluas di luar epidermis dan selanjutnya diklasifikasikan sebagai superfisial
atau dalam. Luka bakar dengan ketebalan parsial superfisial ditandai dengan lepuh
yang menyakitkan yang biasanya berwarna merah muda. Agen topikal seperti silver
sulfadiazine dapat digunakan untuk manajemen luka bakar ini, yang biasanya
sembuh dalam waktu 2 minggu tanpa banyak kerusakan sisa dan dengan jaringan
parut minimal. Di sisi lain, luka bakar dengan ketebalan parsial yang dalam adalah
kering, berbintik-bintik, dan nyeri yang bervariasi. Silver sulfadiazine juga dapat
digunakan dalam pengelolaannya; namun, eksisi bedah dan pencangkokan kulit
mungkin diperlukan untuk luka yang tidak sembuh dalam waktu 3 minggu. Jaringan
parut yang parah, gangguan fungsional berikutnya, dan kontraktur dikaitkan dengan
luka bakar kronis sebagian tebal.
Luka bakar derajat tiga adalah luka bakar dengan ketebalan penuh, yang
melibatkan seluruh epidermis dan dermis. Biasanya, luka bakar ini tidak
menimbulkan rasa sakit karena ujung saraf juga telah rusak. Luka bakar ini tampak

31
putih atau hitam dengan pembentukan eschar. Penyembuhan spontan dari luka ini
hanya dapat terjadi dengan kontraksi, karena prekursor untuk regenerasi kulit telah
rusak. Demikian pula, luka bakar dengan ketebalan parsial yang dalam memiliki
kapasitas regeneratif yang terbatas, di mana regenerasi spontan biasanya
berlangsung lama. Oleh karena itu, luka bakar full-thickness dan deep-thickness
biasanya mendapat manfaat dari intervensi operatif dengan eksisi bedah dan
pencangkokan kulit untuk hasil fungsional yang optimal. Eksisi dini jaringan yang
mengalami devitalisasi juga mengurangi efek lokal dan sistemik dari mediator
inflamasi.

Sindrom Disfungsi Organ Multipel Setelah Luka Bakar


Karena respon inflamasi lokal dan sistemik yang mendalam dari cedera
termal, hampir setiap sistem organ memiliki potensi untuk dikompromikan setelah
gelandangan parah. Pada periode pasca-cedera segera, sistem neurologis, paru, dan
diovaskular mobil paling sering terkena. Secara neurologis, korban luka bakar dapat
mengalami penurunan tingkat kewaspadaan karena sejumlah alasan termasuk
hipoksia, menghirup racun, dan cedera kepala traumatis terkait. Oksigen tambahan
harus segera diberikan. GCS yang rendah memerlukan intubasi endotrakeal dan
ventilasi mekanis. Pada pasien yang waspada, penting untuk menyadari bahwa luka
bakar superfisial dan parsial dapat menyebabkan rasa sakit yang luar biasa dan
memerlukan pemberian analgesik yang hati-hati dan terus menerus.
Sebagian besar pasien yang menderita luka bakar parah mengalami cedera
inhalasi. Panas dan uap langsung dapat menyebabkan kerusakan pada saluran udara
atas dan bawah dan menyebabkan pembengkakan yang signifikan yang
menyebabkan obstruksi jalan napas. Karbon monoksida dan hidrogen sianida
adalah produk sampingan dari kebakaran, dan racun ini menyebabkan peradangan
dan edema paru yang mencegah pertukaran gas yang memadai. Oleh karena itu,
intubasi dini dan ventilasi mekanis harus dipertimbangkan. Di ICU, perawatan
trakeobronkial reguler (yaitu, pengisapan dalam, bronkoskopi terapeutik,
penggunaan agen farmakologis ajuvan seperti bronkodilator atau N-asetilsistein)
harus disediakan.

32
Kolaps kardiovaskular setelah luka bakar parah biasanya disebabkan oleh
penipisan volume akibat kehilangan cairan setelah gangguan kulit dan vasodilatasi
dari pelepasan mediator inflamasi lokal dan sistemik. Untuk mengatasi
hipovolemia, resusitasi cairan yang agresif harus dimulai di unit gawat darurat dan
dilanjutkan di ICU. Rumus Parkland memberikan pedoman awal untuk resusitasi
cairan (4 mL larutan Ringer laktat X %TBSA X berat dalam kg dengan setengah
diberikan dalam 8 jam pertama dan setengah kedua diberikan dalam 16 jam
berikutnya). Di ICU, pengukuran lanjutan output urin dan tekanan vena sentral
harus digunakan untuk menentukan respons pasien terhadap manajemen cairan.
Seringkali, rencana resusitasi cairan awal perlu disesuaikan untuk meminimalkan
efek resusitasi yang kurang atau berlebihan.
Salah satu kondisi yang paling merusak terkait dengan luka bakar yang luas
adalah luka bakar sepsis. Luka bakar mengganggu pertahanan pelindung kulit yang
pada gilirannya membuat host rentan terhadap infeksi luka bakar. Cedera termal
yang parah menyebabkan keadaan immunocompromised relatif yang dapat
menyebabkan sepsis. Awalnya, luka bakar steril tetapi dengan cepat menjadi
kolonisasi flora kulit asli seperti Staphylococcus. Luka kemudian dapat dikolonisasi
oleh organisme gram positif dan gram negatif, serta ragi dari flora pencernaan oral
dan kontaminan dari petugas kesehatan dan lingkungan rumah sakit. Pseudomonas
aueroginosa adalah organisme umum yang ditemukan pada luka bakar di banyak
rumah sakit AS. Penerapan dekontaminasi saluran pencernaan mengurangi
kolonisasi saluran GI dan telah terbukti mengurangi terjadinya sepsis luka bakar di
ICU.
Kebutuhan metabolisme meningkat secara signifikan setelah cedera termal.
Untuk pasien luka bakar parah (>20% cedera TBSA), dukungan nutrisi awal sangat
penting, dengan pemenuhan nitrogen dan pemeliharaan keseimbangan nitrogen
menjadi aspek terapi yang paling penting. Dukungan nutrisi enteral dini pada
populasi pasien ini dikaitkan dengan peningkatan pemeliharaan saluran
pencernaan, fungsi fisiologis dan imunologis, penurunan sepsis luka bakar, dan
penurunan lama rawat inap di rumah sakit. Tujuan nutrisi harus mencakup diet
protein tinggi dengan pertimbangan untuk glutamin tambahan. Asupan protein
harian harus dalam kisaran 1,5 hingga 2,0 g/kg/hari. Menghindari hiperglikemia

33
sangat penting untuk meminimalkan komplikasi infeksi. Pengukuran berat badan
harian dengan penilaian mingguan tingkat pra-albumin sangat membantu untuk
penentuan respon dan untuk memandu perencanaan nutrisi. Strategi nutrisi optimal
ketika pendekatan tim multidisiplin diambil, termasuk masukan dari ahli gizi.

MENGELOLA CEDERA TERKAIT


Korban luka bakar sering dikaitkan dengan cedera traumatis yang dapat
mengancam jiwa atau membahayakan hasil fungsional jika tidak diidentifikasi dan
diobati secara tepat waktu. Korban luka bakar harus diperlakukan seperti pasien
trauma lainnya. Penilaian awal harus dimulai dengan ABC trauma tetapi harus
diikuti dengan survei sekunder yang komprehensif untuk mengidentifikasi cedera
potensial lainnya. Pencitraan radiografi, seperti, x-ray, CT scan, dan pemeriksaan
ultrasound adalah alat diagnostik yang berguna.
Cedera termal yang parah sering dikaitkan dengan imobilitas dan degradasi
otot berikutnya. Selain hipovolemia dari kebocoran kapiler sebagai akibat dari
respon inflamasi sistemik yang mendalam, sistem ginjal dapat terpengaruh setelah
rhabdomyolysis. Pengukuran keluaran urin penting dalam pemantauan status
volume. Pengukuran laboratorium serial nitrogen urin darah, kreatinin, dan CPK
berguna dalam pengelolaan rhabdomylosis dan pencegahan cedera ginjal akut.

KONSEKUENSI JANGKA PANJANG


Jika seorang pasien selamat dari cedera termal yang parah, masih ada
beberapa konsekuensi jangka panjang dari luka bakar. Masalah kejiwaan dapat
berkembang sebagai akibat dari rawat inap yang berkepanjangan, beberapa
prosedur bedah, jaringan parut kulit yang parah, kontraktur, dan/atau gangguan
fungsi. Rehabilitasi dan konseling jangka panjang penting untuk meningkatkan
pemulihan fungsional. Selain itu, pasien luka bakar yang terluka parah memiliki
peningkatan risiko terkena kanker kulit. Ulkus Marjolin adalah karsinoma sel
skuamosa yang timbul dari bekas luka bakar. Setiap perubahan pada bekas luka
bakar harus segera dilakukan pemeriksaan lebih lanjut melalui biopsi jaringan
untuk menyingkirkan keganasan.

34
PERTANYAAN KOMPREHENSI
1. Seorang pasien mengalami luka bakar parsial dalam yang melibatkan
seluruh dada anterior dan perut, dan luka bakar melingkar yang melibatkan
kedua lengan atas. Perkiraan berat badannya adalah 75 kg. Berdasarkan
rumus Parkland, berapa banyak cairan IV yang harus ia terima dalam 8 jam
pertama setelah cedera?
A. 2000-4000 mL LR
B. 4000-6000 mL LR
C. 8000-12.000 mL LR
D. 10.000-12.000 mL albumin
E. 4000-8000 mL albumin
Jawab:
B. Pasien ini mengalami luka bakar pada bagian anterior dada dan abdomen
serta kedua lengan, sehingga total luas permukaan tubuh yang terkena
dapat diperkirakan sebesar 18% (perut dan dada) + 9% X 2 (kedua
lengan) = 36%. Berdasarkan rumus Parkland yang menyediakan 4 mL/kg
X persen BSA, perhitungannya adalah 4 X 75 X 36 = 10.800 mL selama
24 jam. Selama 8 jam pertama, setengah dari volume yang dihitung akan
diberikan, yaitu sekitar 5400 mL.
2. Seorang wanita 45 tahun mengalami cedera termal pada lengan dominannya
2 tahun yang lalu. Butuh 6 bulan perawatan luka agresif untuk
menyembuhkan cedera awal. Dia datang ke dokternya dengan rasa gatal
pada bekas luka, yang batasnya tidak teratur dan telah berubah bentuk
selama beberapa bulan terakhir. Anda dipanggil untuk membahas kasus ini
karena Anda merawat pasien di ICU selama rawat inapnya. Manakah dari
berikut ini yang merupakan langkah terbaik dalam manajemen?
A. Amati luka karena tidak tampak terinfeksi.
B. Meresepkan antibiotik karena dapat menyebabkan infeksi.
C. Resep krim hidrokortison yang harus dioleskan pasien setiap hari.
D. Lakukan biopsi jaringan pada luka untuk menyingkirkan transformasi
keganasan.
E. Rujuk pasien ke dokter kulit.

35
Jawab:
D. Pasien dengan luka kronis termasuk bekas luka bakar berisiko
mengalami transformasi keganasan pada luka kronis tersebut. Karsinoma
sel skuamosa telah diketahui berkembang, dan riwayat perubahan bentuk
atau pertumbuhan memerlukan biopsi jaringan.

36
BAB V
KESIMPULAN

Pasien luka bakar adalah pasien trauma. Oleh karena itu, penilaian awal harus
dimulai dengan ABC trauma dengan penilaian tingkat keparahan luka bakar dan
cedera traumatis lainnya. Setiap sistem organ utama dapat terganggu setelah luka
bakar yang parah. Intubasi dini, ventilasi mekanis, resusitasi cairan agresif,
pengendalian infeksi, dan nutrisi enteral akan menurunkan morbiditas dan
mortalitas pada pasien luka bakar berat. Biopsi jaringan diperlukan untuk semua
perubahan bekas luka bakar untuk menyingkirkan keganasan.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, & de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 4. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2017.
2. Toy E, et al. Case Files Critical Care. New York: McGraw-Hill Education.
2014.
3. Jeschke MG, et al. Burn Injury. Nature Reviews Disease Primers,
DOI:10.1038/s41572-020-0145-5. (2020) 6:11
4. Kiran, DN. Emergency Trauma Care: ATLS. Journal of Advanced Dental
Research Vol. II: Issue I: January, 2011.
5. Richards, Christopher F. Initial Management of The Trauma Patient. Elsevier
Inc, doi:10.1016/S0749-0704(03)00097-6. 2014.
6. Sjamsuhidajat R, & De Jong. 2017. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
7. Schaefer, Timothy J & Karen, Szymanski. Burn Evaluation And Management.
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. 2021.
8. American Burn Association. Surgical Management of the Burn Wound and
Use of Skin Substitutes. 2009.
http://www.oc.lm.ehu.es/Fundamentos/fundamentos/Textos/American%20Bu
rn%20Association.pdf
9. Heimbach DM, Holmes JH. Burns. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar
TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE, editors. Schwartz’s principal surgery.
8th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2018.
10. Mehta M, Tudor GJ. Parkland Formula. StatPearls Publishing; Treasure Island
(FL): Nov 16, 2021.
11. Garcia-Espinoza JA, et al. Burns: Definition, Classification, Pathophysiology
and Initial Approach. International Journal of General Medicine Volume
5(5):2327-5146, DOI:10.4172/2327-5146.1000298. 2017.

38

Anda mungkin juga menyukai