Anda di halaman 1dari 15

WACANA KRITIS DISKRIMINASI RAS DALAM FILM AVATAR: THE

LAST AIR BENDER


Oleh: Arief Rian P (070810663)
ariefrian91@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini adalah untuk menganalisis wacana (discourse analysis) diskriminasi ras dalam
Film Avatar: Last Air Bender versi movie secara kritis deskriptif dan critical discourse
analysis milik Norman Fairclough. Peneliti tertarik dengan kajian ini karena melihat terjadi
banyak ketimpangan sosial antara ras satu dan ras lainnya dalam film ini. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah, Ras kulit putih digambarkan sebagai seorang tokoh yang identik
dengan tokoh protagonist, pahlawan super (super hero) yang mempunyai Responsibility dan
Power. Ras Kulit Hitam dalam film ini tidak lagi digambarkan dengan sifat-sifat negatif
yang biasanya kita temui pada film-film Hollywood, dapat dibilang mereka equal terhadap
ras kulit putih. Identitas India dalam film ini digambarkan sebagai tokoh antagonis, jahat,
sombong, dan tamak. Ras Asia digambarkan dengan negatif: sebagai masyarakat minoritas
yang tidak teratur dan sederhana. Korban dari penjajahan dan tidak bisa melawan penjajahan
tanpa dibantu.
Kata Kunci: Wacana, Diskriminasi, Film, Hollywood, Whiteness
PENDAHULUAN
Pemikiran mengenai perbedaan ras sebagai bentuk legitimasi supremasi ras unggul
disumbangkan oleh Count Arthur de Gobenieau dalam bukunya berjudul Essai Sur
lInegalite des Races Humanies (1855). Dalam karyanya tersebut, Gobineau berpendapat
tentang doktrin abad ke- 18 tentang asal-usul bangsa perancis yang berasal dari keturunan
budak-budak Gallo-Roman, kaum bangsawan adalah keturunan Jerman. Pemikiran Gobineau
ini adalah awal dari suatu definisi tentang penciptaan suatu elite yang dapat menggantikan
aristokrasi. Sebagai ganti pangeran-pangeran, ia menyodorkan suatu konsep ras para
pangeran, yaitu ras Arya.
Konsep ras memungkinkan pengorganisasian kepribadian mereka yang berbakat
dari romantisme Jerman, menetapkan mereka sebagai anggota-anggota aristokrasi
alamiah yang ditakdirkan untuk menguasasi semua ras lain1

Stuart Hall (1997) berargumen bahwa ras selalu terbentuk dalam proses sosial dan
pertarungan kekuatan politik. Sementara, Istilah Ras yang dalam bahasa Inggrisnya adalah
Race, Coakley berpendapat bahwa:

Hannah Arendt. The Origins of Totalitarianism (New York: Schocken, 2004), hlm. 97.

Race refers to a category of people regarded as socially distinct because they share
genetically transmitted traits believed to be important by people with power and
influence in a society.2

Artinya bahwa, ras menunjuk pada kelompok orang yang dipandang berbeda secara
sosial karena mereka membagi sifat-sifat yang disalurkan secara genetik dipercaya menjadi
penting oleh orang dengan kekuatan dan berpengaruh dalam masyarakat. Kepercayaan
terhadap sifat-sifat yang bawaan genetic tersebut pada akhirnya menimbulkan prejudice dan
diskriminasi. Hal ini sejalan dengan seperti apa yang diungkapkan oleh McGuire menjelaskan
bahwa: race also has its uses when discussing prejudice and discrimination3.
Diskriminasi terhadap suatu ras tidak semata-mata muncul begitu saja, tapi juga
berhubungan dengan kepentingan politis yang ada sangkut pautnya dengan dominasi untuk
membenarkan diskriminasi, opresi bahkan pemusnahan terhadap ras lain 4. Seperti yang
diungkapkan oleh Adam Gay Griffin dalam karyanya yang berjudul Black Popular Culture
bahwa budaya dan sejarah sesungguhnya dibentuk oleh kelompok dominan dalam suatu
masyarakat.
Those aspect of our culture and history that come most often to our attention, usually
because they have been popularized by or expropriated by the dominant society, tend
to line up along the side of assimilation and, as consequence, are available as vehicles
for our oppression5

Sebagai salah satu faktor pembentuk budaya dan pelanggeng supremasi kelompok
dominan, film Hollywood mempunyai andil besar dalam menyusupkan ideologi-ideologi
kelompok dominan mengingat film merupakan salah satu institusi media yang berfungsi
sebagai penyaring dan penjaga gawang (gate keeper) informasi. Berkenaan dengan kelompok
dominan, mengutip pernyataan Bonnie Kae Grover dalam Critical White Studies,
Whiteness means being dominant, and it stands to reason that if somebody's
dominant, somebody else is down. It's delightful to be able to mindlessly enjoy
"white" culture 6.
Menurut Theodorson & Theodorson, diskriminasi adalah perlakuan yang tidak
seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat

J. Coakley. Sports in Society: Issues and Controversies 8th edn, ( Boston: McGraw Hill, 2004), hlm. 243
A. Balsa, T. McGuire, Statistical discrimination in health care. (Journal of Health Economics 20 (6), 2001),
hlm. 140
4
Karl G. Heider, Seeing Anthropology: Cultural Anthropology Through Film (Boston:Pearson Education, 2004),
hlm. 52
5
Ellis Cashmore, Americas Paradox (Popular Culture, London: Sage Publishing, 2009), hlm. 159. (Dikutip
dari: Griffin, A.G., Seizing the Moving Image, (M. Wallace and G. Dent (eds) Black Popular Culture, Seattle,
Wa: Bay Press), hlm. 231)
6
Bonnie Kae Grover, Growing Up White in America?,Critical White Studies ((eds) edited by Richard Delgado
and Jean Stefancic, Philadelpia: Temple University Press, 1997), 34-35 (hlm. 34)
3

kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau
keanggotaan kelas-kelas sosial7.
Imperialisme budaya menunjuk pada penyebaran nilai-nilai budaya, ide-ide, dan
kebiasaan-kebiasaan demi menciptakan kembali superioritas budaya dominan
tersebut8

Sehingga, dari fenomena inilah yang kemudian menarik peneliti untuk melakukan
penelitian dalam film Avatar: Last Airbender, mengusung sebuah wacana yang menekankan
ras-ras kulit berwarna sebagai ras yang terdominasi atas supremasi ideologi dari ras kulit
putih. Pertanyaan penelitian ini adalah Bagaimana identitas ras kulit putih dan ras lainnya
diproduksi dalam film ini? Mengapa identitas kulit putih dan ras lainnya diproduksi
sedemikian rupa? Dan, bagaimana diskriminasi kulit putih terhadap ras lain diproduksi
dalam film ini?
Ras dan Identitas: Konstruksi Realitas Sosial dalam Media Massa
Konsep ras bisa diartikan sebagai asal-muasal dari terbentuknya suatu bangsa yang
kemudian menjalin suatu hubungan dan ikatan yang didasari oleh kesamaan budaya untuk
membentuk kerajaan atau negara.
The concept of race is socially and historically constructed in the particular
context of each society. It has been utilized with other factors, such as gender and
class, when a nation-state formed itself by defining who should be the authentic
nation and who should not9

Namun pemaparan-pemaparan ras berdasarkan ciri fisik di atas tersebut dibantah oleh
Goodman, bahwa ras merupakan salah satu bentuk konstruksi sosial, hanya saja konstruksi
sosial tersebut mengacu pada fakta biologis 10. Sehingga pada akhirnya, terbentuk dua teori
besar dalam mengkategotikan jenis ras, yaitu ras secara biologis dan ras secara budaya.
Istilah Konstruksi sosial atas realitas diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas
Luckman, yaitu menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana
individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama
secara subyektif. Asal mula konstruksi sosial adalah dari filsafat konstruksivisme, dimulai
dari gagasan konstruktif kognitif.11

G. A. Theodorson, & A. G.Theodorson , A Modern Dictionary of Sociology (Ardent Media Incorporated,


1993), hlm. 115-116
8
Ibid, hlm. 258 112
9
Goldberg dalam Araki, Keiko, Building a New Racial World Order: Intersection of Pan-Asianism and PanAfricanism in the Post-WWI World. (G-SEC WORKING PAPER no. 15, 2007), hal. 5
10
Allan Goodman, The Problematics of Race in Contemporary Biological Anthropology (Stanford University,
1995), hlm.202
11
M. Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di
Masyarakat (Jakarta: Kencana), hlm. 189.

Sebagai sesuatu yang sifatnya fluid, identitas tidak pernah lepas dari permainan
kekuasaan yang melingkupinya 12. Kekuasaan untuk mengkonstruksi identitas nasional dan
kultural, termasuk mendefinisikan golongan yang ekslusi dan inklusi, biasanya berada di
tangan para pembuat kebijakan. Identitas diri (self-identity), menurut Giddens (1991),
merupakan pemahaman mengenai gambaran diri yang didasarkan pada kemampuan
mempertahankan narasi tentang diri.
Social identities....are associated with normative rights, obligations and sanctions
which, within specific collectivities, form roles. The use of standardised markers,
especially to do with the bodily attributes of age and gender, is fundamental in all
societies, notwithstanding large cross-cultural variations which can be noted13

Pada akhirnya, kemampuan media massa dalam mengkonstruksi realitas itulah yang
mempengaruhi cara kita memandang apa yang terjadi di sekitar kita. Termasuk menimbulkan
gambaran lingkungan sosial yang timpang, bias, dan tidak cermat. Terjadilah apa yang
disebut dengan stereotype14. Prejudice dan stereotype saling erat berkaitan, baik secara logika
maupun psikologis15. Kedua hal itu ada pada semua ras, suku-bangsa, kepercayaan, pekerjaan
maupun kebangsaan.
Film: Media Komunikasi Massa, Ideologi, dan Kekuasaan
Film merupakan salah satu alat komunikasi massa, tidak dapat kita pungkiri antara
film dan masyarakat memiliki sejarah yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Film
pada dasarnya memang mudah dipengaruhi oleh tujuan manipulatif, karena film memerlukan
penanganan yang lebih sungguh-sungguh dan konstruksi yang lebih artificial pula (melalui
manipulasi) daripada media lain
the film is intrinsically susceptible to manipulative purpose because it requires a
much more conscious and artificial construction (i.e. manipulation) than other
media16.

Antonio Gramci, filsuf Italia, melihat media, dalam hal ini film, sebagai ruang dimana
berbagai ideologi direpresentasikan.17 Ini berarti, film bisa menjadi sarana penyebaran
ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Ini membuktikan bahwa
peran media dalam mengkonstruksi realitas amat besar. Mengingat institusi media adalah
12

Untuk lebih jelasnya silahkan membaca: Chan Yau Hoon , Assimilation, multiculturalism, hybridity: the
dilemmas of ethnic chinese in post-Suharto indonesia (Singapore Management University, 2006), hlm. 11
13
Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (University of
California Press, 1984), hlm 282-283
14
Jalaludin Rakhmat: Psikologi Komunikasi Edisi Revisi (Bandung: Remaja Rosdakarya 2007), hlm. 225
15
Martin, James G and Clyde W.Franklin, Minority Group Relations (Ohio: Columbus, 1973), hlm 152-153
16
Mass Communication Theory, Mc Quail,
http://www.intcul.tohoku.ac.jp/~holden/MediatedSociety/Readings/2004_05/McQuail_10_15_04.html (diakses
pada tanggal 2 Desember 2012)
17
Detail lihat di: Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001) hlm. 29.

penyaring dan penjaga gawang (gate keeper), maka otorisasi pengkonstruksian realitas
seluruhnya ada di tangan media.
John B. Thomson dan Jorge Larrain (dalam Kadri) 18, istilah ideologi dapat digunakan
dalam dua cara yang berbeda. Pertama, istilah ideologi digunakan oleh beberapa kalangan
sebagai sebuah istilah yang murni deskriptif, yakni sebagai sistemberpikir, system
kepercayaan, praktek-praktek simbolik yang berhubungan dengan tindakan sosial dan
politik.
Michel Foucault menjelaskan definisi fenomenal dari wacana beserta dengan potensi
politis dan kaitannya dengan kekuasaan Diskursus atau wacana adalah elemen taktis yang
beroperasi dalam kancah relasi kekuasaan19. Antara wacana dan kekuasaan memiliki
hubungan timbal balik, seperti yang dikatakan Faucoult.
Dari definisi yang diberikan Foucault, terungkap bahwa wacana adalah alat bagi
kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan ilmu pengetahuan. Distribusi
wacana ketengah masyarakat pada era post-modern ini, dilaksanakan secara strategis melalui
media, bahkan produsen Film sekalipun. Dalam kerangka discourse Foucault, power
merupakan kata kunci yang harus diperhatikan dalam penelitian ini. Keberadaan kekuasaan
menjadi penting karena menentukan dan mengkonstruksi adanya realitas-realitas yang
diciptakan secara subyektif, untuk kepentingan dan tujuan dari power domination. Kekuasaan
inilah yang kemudian nantinya menentukan proses-proses pola tingkah laku dan pendikte
perilaku kita terhadap realitas yang sebenarnya merupakan intrik politik dari sebuah ideologi
dominan.
PEMBAHASAN
Kulit Putih sebagai Protagonis, Pahlawan, dan Messiah
Karakter yang memulai aksi, karakter yang mempunyai rencana, karakter dimana
dirinya-lah pusat dari suatu cerita didalam film disebut protagonis. Egri (1942)
mendefinisikan protagonist dalam The Art of Dramatic Writing:
The pivotal character is the protagonist. The protagonist isone who takes the lead
in any movement or cause . . . . The pivotal character is the one who creates conflict
and makes the play move forward. Without him the story flounders . . . in fact there is
no story. (p. 106)20
18

Kadri, Ideologi dan Media Massa: mengungkap praktek ideologi dalam media massa (Jurnal Ilmiah
Communique, Vol. 2, 2006), 32-41 (hlm. 33)
19
Michael Foucault, The History of Sexuality: An Introduction: Volume I (UK: Vintage Books, 1990) Halaman
102
20
Dikutip dari : Vicci Lovette Saunders, Race and the American Movie Ticket Buyer, Journal of Black
Studies38(2008), 622- 640 (hlm. 626)

Aang merupakan tokoh sentral dan utama dalam alur cerita ini. Aang bisa
dikategorikan sebagai seorang pahlawan, mempunyai power dan responsibility.
A superhero is a man or woman with powers that are either massive extensions of
human strengths and capabilities, or fundamentally different in kind, which she or he
uses to fight for truth, justice and the protection of the innocent. A substantial
minority of people without powers as such share a commitment to the superhero
mission, so they are generally regarded as superheroes in spite of the absence of such
powers.21

Menurut Kaveney dalam bukunya Superheroes: Capes and Crusaders in Comics and
Films, Power disini bukan menjelaskan mengenai kekuasaan melainkan merupakan perluasan
kekuatan dan kemampuan manusia yang membedakannya dari manusia pada umumnya,
dimana kekuatan tersebut digunakan untuk bertarung atas nama keadilan dan kebenaran serta
melindungi orang-orang yang lemah. Sebagai seorang titisan Avatar, Aang tentu tidak bisa
terlepas dari kewajibannya (Responsbility) untuk membebaskan dunia dari perang yang
dimulai oleh Negara Api.
Pandangan mengenai bagaimana seorang kulit putih punya tanggung jawab untuk
membantu orang lain, menyebarkan kebaikan dan membebaskan dunia dari kehancuran
diambil dari konsep Whitemans Burden yang dipopulerkan oleh Rurdyard Kipling.
Whitemans Burden sendiri merupakan landasan ideologi yang membenarkan imperialisme
modern yang bermula setelah Revolusi Industri di Inggris tahun 1870-an. mereka
menganggap bahwa sudah menjadi tugas suci agama untuk menyelamatkan manusia dari
segala macam penindasan dan ketidakadilan terutama di negara-negara yang dianggap
terbelakang sambil mencari wilayah jajahan sebagai wilayah penyuplai bahan baku dan juga
sebagai daerah pemasaran hasil industri mereka.
Whitemans burden contained two of the basic rationalizations used by European
American imperialists as they spread their spheres of influence in the world. The
phrase masks the colonizers self-interests by implying that colonial domination is a
burdensome act undertaken on behalf of the needy. Moreover, this self-sacrifice can
be assumed only by a whiteman because only Whites are viewed as civilized, as
in a position to uplift others..22

Ada karakteristik kulit putih lainnya yang terdapat dalam film ini, yaitu tidak ada
protagonis kulit putih yang yang membunuh untuk membela kebaikan. Contoh paling mudah
yang dapat di ambil dari film lainnya adalah Punisher; ia menggunakan peluru yang tidak
mematikan ketika menembakkan senjata ke lawannya. Hal ini dilakukan karena
permasalahan moral etik.
21
22

R. Kaveney, Superheroes: Capes and Crusaders in Comics and Film (London: I.B. Tauris, 2008), hlm 4
Donnarae Maccan, White Supremacy in Childrens Literature (Newyork: Routledge, 1998), hlm. 144

Generally speaking, the rule was that superheroes did not kill each other, and did not
kill human beings; when it came to invading aliens or rampaging robots, the rules
tended to be more permissive.23

Tokoh berikut adalah putri dari Suku Air Selatan bernama Yue. Peran Putri Yue disini
adalah sebagai tokoh pendukung dalam film ini. Jika menggunakan klasifikasi Putri yang
dikemukakan oleh Hernandez (2009), maka Putri Yue adalah:
Symbol of all that is fair, all that is beautiful, all that transcends material existence 24

Cerita dalam film ini, Putri Yue tampil sebagai perempuan muda yang baik hati dan
cantik. Selain itu, representasi Putri Yue dalam film ini merupakan tokoh putri ideal; memiliki
kulit putih, mata biru, dan tubuh yang indah 25. Ciri-ciri fisik Putri Yue ini memiliki ciri fisik
yang sama dengan mainan anak-anak, Barbie. Mary F Rogers (1999) mengatakan boneka
yang menjadi piranti bermain gadis kecil menjadi sebuah mitos tentang kecantikan.
Pemilihan kulit putih sebagai pemeran utama yang mempunyai peran sebagai
messiah (juru selamat) bisa diinterpretasikan sebagai bentuk supremasi kulit putih terhadap
ras lainnya. Ideologi yang berkaitan dengan supremasi kulit putih ini adalah Whiteness.
Dalam sejarahnya, Amerika terbentuk berdasarkan superioritas dari kulit putih yang berasal
dari Eropa terhadap non-whites, dimana latar belakang inilah yang membenarkan penjajahan
dan pembunuhan masal terhadap pribumi dan orang-orang dari Afrika (kulit hitam). Kaumkaum pribumi dan kulit hitam inilah yang dieksploitasi oleh bangsa eropa di Amerika dengan
memperbudak mereka sehingga, dari perbudakan inilah Amerika Serikat mampu menjadi
pusat ekonomi dari dunia industri seperti sekarang.26
The united States was founded on an ideology of superiority of white european over
non-whites that were used to justify the holocausts against indigeneous people and
Africans, which created nation and propelled the United States economy inti the
industrial world). Whiteness is an ideology which derived from the historical
practice of white supremacy. Construction of whiteness is actions or processes
constructing humanity through culture, norms, language, and appearance based on
white race (Euro American) as superior race27.

23

R. Kaveney, Superheroes: Capes and Crusaders in Comics and Film (London: I.B. Tauris, 2008), Hlm. 116
Prisco R. Hernndez , Leadership Review: Jung's Archetypes as Sources for Female Leadership, dapat
diunduh di: www.leadershipreview.org/2009spring/article2.pdf , hlm. 52 (diakses pada tanggal 2 Desember
2012)
25
Rogers dalam Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme| Rogers menghubungkan antara faktor fisik
boneka Barbie yang memiliki mata biru, kulit putih, dan tubuh yang proporsional merupakan ikon kecantikan
khas Amerika. Barbie adalah ikon rasisme, seksisme, konsumerisme, dan materialisme.
26
Desy Anggraeny, The Construction of Whiteness through the representation of white and Black Americans in
the Dark Blue Movie (Post Graduate Thesis, Universitas Airlangga, 2009), hlm. 44
27
Ibid. 44
24

Tokoh baik Kulit Hitam: Color Blindness dalam lingkup Whiteness


Cerita dalam film ini, hanya ada satu tokoh yang diperankan oleh aktor kulit hitam,
yaitu Biksu Gyatso. Diceritakan bahwa biksu Gyatso merupakan biksu kepala dari Kuil
Udara Selatan serta pengasuh dan guru pengendalian udara Aang. Dalam film ini, biksu
gyatso digambarkan sebagai seorang laki-laki dewasa yang bijaksana, mampu mengayomi,
melindungi, menyatukan perbedaan, mengabdi dan rela berkorban. Dapat diambil
kesimpulan bahwa identitas kulit hitam yang direpresentasikan dalam film ini equal dengan
representasi identitas kulit putih. Kulit hitam tidak lagi ditampilkan sebagai tokoh yang
negatif.
In recent hollywood movies, the negative racial representations are hardly found. We
hardly see black as brutal buck, pickaninnie, mammy, coon and tom instead
of the representation of blacks as equal to Whites in social class an affiliation.

Mengapa Kulit hitam direpresentasikan sebagai tokoh yang baik? Jika dilihat pada
bagaimana kondisi politik yang terjadi di AS, maka peneliti bisa mengacu pada tanggal 20
Januari 2009, dimana terjadi perubahan besar dalam demokrasi AS. Obama dimana pada
saat itu tampil menjadi calon presiden dari partai Demokrat memenangkan hati dari
rakyatnya pada pemilu presiden AS. Obama yang merupakan keturunan dari AfrikaAmerika, melenggang menuju gedung putih sebagai presiden dari negara Paman Sam
tersebut menggantikan presiden AS sebelumnya George Walker Bush.28.
White film industries appear to have merely created different racial representations
by repackaged the old stereotypes into more acceptable forms in liberalist society.
However, the representations are stull base on whites view of world. White people
create the dominant images of the world and do not quite see that they thus construct
in their image (Dyer, 9)29.

Walaupun ras kulit hitam ditampilkan dengan representasi yang baik, tetap saja
konsep yang dipakai adalah konsep baik dari sudut pandang ideologi whiteness. Artinya
bahwa kulit hitam ditampilkan baik dalam film-film hollywood sesuai dengan baik yang
dipahami kulit putih yang melekat pada kulit hitam. Hal ini terjadi karena penerapan
ideologi Whiteness sebagai norma dasar budaya kulit putih secara langsung menyebabkan
adanya istilah color blindness. Dalam konteks ini color blindness bukanlah berarti bahwa
kulit putih memandang semua manusia adalah sama, namun memandang bahwa semua
manusia sama dengan diri mereka.
Therefore the installations of whiteness as norm into white culture is direct derivative
of color blindness (powell, 20). Color blindeness in this context does not mean that
whites see all people are the same, but rather whites see all people are as the same
as themselves.
28

http://id.wikipedia.org/wiki/Barack_Obama (diakses pada tanggal 15 Desember 2012)


ibid

29

Demikian pula yang terjadi dalam film ini, karena kulit putih memandang bahwa
putih memiliki hak istimewa dalam masyarakat sosial maka putih adalah suatu norma
yang ecara tidak langsung merupakan hasil negatif dari adanya color blindess. Hal ini
dijelaskan Frankenberg yang dikutip dalam Whiteness: A Review of Literature karya
Elizabeth Schuelke:
According to white perception, privilege has become the norm. A significantly
negative consequence of this color blindness is that inability to see the deep-rooted
effects of racism on others30

India sebagai Antagonis: Whiteness, Negara Adidaya dan Authorship


Tokoh yang akan dibahas adalah Pangeran Zuko, karena Pangeran Zuko merupakan
tokoh antagonis yang memegang peranan paling besar sebagai musuh Aang. Tidak seperti
pangeran-pangeran yang dikisahkan dalam negeri dongeng, dalam film ini, Pangeran Zuko
adalah pangeran yang terbuang dari negerinya. Ia dianggap sebagai pengkhianat bangsa
karena dianggap menentang Ayahnya, Raja Api Ozai dalam suatu rapat strategi peperangan.
Pangeran Zuko dalam cerita ini digambarkan sebagai seseorang yang sifat yang terobsesi
untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai salah satu tujuan utama dalam hidup. Aktualisasi
diri yang ingin diraih oleh Pangeran Zuko adalah agar dapat mengembalikan kehormatannya
sebagai pangeran di mata ayah dan masyarakatnya.
Untuk mengembalikan kehormatannya itulah ia terobsesi untuk mendapatkan Avatar
hidup-hidup dengan menggunakan berbagai macam cara. Dari sifat yang menghalalkan
berbagai macam cara untuk mendapatkan keinginannya inilah, maka Pangeran Zuko
dikategorikan sebagai tokoh antagonis yang mencapai tujuan egonya dengan menghalalkan
segala cara. Selain itu, biasanya tokoh antagonis juga diasosiasikan dengan karakter jahat
(villain). Hal ini juga dijelaskan oleh Burke,
..These villains, so like the heroes in all aspects but one, hold up a distorted mirror to
the central protagonists, helping define by their contrast the superhero.These
villains are the protagonists darkest shadows, helping to sharpen our view of the
hero by their contrast..31

Sosok Pangeran Zuko yang individual akbiat keterasingannya dari Negara Api adalah
satu ciri seorang antagonis,hal ini dijelaskan oleh Tami Cowden dalam bukunya Heroes and
Villain yang dikutip dari Mark J. Stanziano,
The lonely outsider who wants desperately to belong. Tortured and unforgiving, he
has been set off from others, and usually for good cause. He craves redemption, but

30

Elizabeth Schuelke, Whiteness: A Review of Literature, ( Journal, Department of International Studies,


College of Arts and Science & Honors College, 2007), hlm. 5
31
Liam Burke, Superhero Movies (Harpenden: Pocket Essentials, 2008), hlm. 20-21

is willing to gain it by sacrificing others. Waste no sympathy on him as he will have


none for you.32

Karakter berikut yang jadi representasi India adalah Komandan Zhao. Dia
digambarkan memiliki sifat sombong, tamak dan suka menggunakan berbagai cara agar
menang dalam peperangan melawan Suku Air Selatan. Sebagai salah satu petinggi Negara
Api, ia merupakan anak buah kesayangan dari Raja Api Ozai karena berkat Zhao lah Negara
Api dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan memanfaatkannya untuk kepentingan
imperialis.
Seperti halnya dengan Pangeran Zuko, tokoh komandan Zhao difilm ini juga
membawa sifat yang merupakan salah satu ciri-ciri dari Penjahat (villain).
The malevolent mastermind who loves to show off his superior intelligence.
Intellectual inferiorsand thati ncludes nearly everyone are contemptible to him.
Elaborate puzzles and experiments are his trademarks33.

Alat-alat militer yang dimiliki oleh Negara Api adalah berkat usaha Zhao mencuri
berbagai macam buku dari Great Library dan berkat itu pulalah Negara Api berhasil
menguasai hampir seluruh wilayah di muka bumi. Hal ini sejalan dengan pemikiran Foucault
bahwa ilmu pengetahuan merupakan instrument kekuasaan dan dapat menimbulkan
Knowledge of all sorts is thoroughly enmeshed in the clash of petty dominations, as
well as in the larger battles which constitute our world. Knowledge is not external to
these fights; it does not constitute a way out of, or above, the fray in the way Chomsky
views it. Rather, for Foucault, the "will to knowledge" in our culture is simultaneously
part of the danger and a tool to combat that danger.34

India direpresentasikan sebagai tokoh antagonist, dan penjahat. Seperti yang terjadi
pada representasi kulit putih dan kulit hitam dalam film ini, India juga dilatar belakangi oleh
ideologi Whiteness. Tentu saja institusi yang punya andil besar dalam produksi film ini,
Paramount Pictures, juga bertanggung jawab dalam representasi kelompok identitas sebagai
kriminal dan merugikan orang banyak. Sejalan dengan apa yang dikutip dengan dibawah ini,
We might not see confederate flags flying in parks or signs relegating colored people
to separate facilities, but we do see minorities cast as criminals and leeches to "white
upper-class" America. It is the Paramount Pictures, NBC's, ABC's and Universal
Studio's of the world that are the propagators of the negative stereotypes and
inescapable stigmas that many thought were left behind once the shackles of
segregation were broken.35
32

Mark j. Stanziano, Archetypes And How To Use Them, hlm.2, dapat diunduh di:
www.persuasionthroughmagic.com/Archtypes_PTM.pdf>
33
Mark j. Stanziano, Archetypes And How To Use Them, hlm.2, dapat diunduh di:
www.persuasionthroughmagic.com/Archtypes_PTM.pdf>
34
Paul Rabinow, Foucault Reader (Newyork: Phanteon,1982), hlm. 6
35
Yurii Horton, Portrayal of Minorities in the Film, Media and Entertainment Industries, dalam situs:
http://www.stanford.edu/class/e297c/poverty_prejudice/mediarace/portrayal.htm (diakses pada tanggal 1
Desember 2012)

Asia dan Whiteness: Whitewashing dan Racebending


Hal yang pertama perlu dianalisis adalah bangsa Inuit karena representasi mereka
dalam film ini muncul di awal cerita. Inuit adalah kelompok masyarakat adat budaya yang
sama mendiami daerah Kutub Utara Greenland, Kanada, Amerika Serikat, dan bagian timur
Siberia. Bangsa Inuit ini lebih kita kenal dengan bangsa Eskimo dengan ciri khas rumah Igloo
dan mantel berburu mereka.
So Inuit developed unique and remarkable skills associated with living off the
land. Technologies include the igloo, kayak, ulu (womens knife), quilliq (small stone
stove that was their only source of heat and light during the long winter), fur
clothing and toggle-head harpoons. These are widely recognized as the very
pinnacle of technology in the world of hunting peoples.36

Cerita dalam film ini, bangsa Inuit direpresentasikan sebagai bangsa yang tidak
modern dan terbelakang secara budaya. Dibandingkan dengan Suku Air Utara, Suku Air
Selatan bisa dibilang lebih modern. Analisa ini menjadi bukti bahwa ras Asia di mata
Hollywood tidak direpresentasikan dengan gambaran yang positif, seperti apa yang
diungkapkan oleh Bello bahwa,
Traditionally, Hollywood has not offered very positive images of Asian or AsianAmerican people in its movies.37

Gambaran yang paling menonjol adalah bagaimana kondisi masyarakat Kerajaan


Bumi sebagai representasi dari Ras Asia. Dalam film ini kondisi masyarakat Kerajaan Bumi
adalah sebagai korban dari penjajahan Negara Api. Mereka digambarkan sebagai masyarakat
yang tidak bisa melawan penjajahan tersebut tanpa dipacu dan dibantu oleh Aang yang
diperankan oleh tokoh kulit putih.
.. Though many people think that the Inuit and the Native Americans are closely
related, it appears that their migration paths were quite different and that the Inuit are
of more Asian origin than the Native Americans, though both probably came to the
Americas through the Bering Strait. Differences in blood type, genes, language and
physical features show the different origin.38

Bangsa Asia di mata Amerika sebagai kelompok ras yang miskin, tradisional, tidak
dapat mengambil inisiatif untuk berubah lebih baik, dan merupakan ras yang terjajah. Secara
sederhana mereka bukan bagian dari suatu bangsa minoritas yang ideal hal ini diperjelas oleh
kutipan dibawah ini.
Nonetheless, it seems that even today Asian Americans are not considered
real Americans by American society at large. Instead they are perceived as
36

Inuit Way: a Guide to Inuit Culture (Pauktuutitinuit Women Of Canada, 2006) hlm. 8
Iria Mara Bello Viruega, Re-presenting Asian Stereotypes in Hollywood Cinema: an Analysis of Race and
Gender Representations in Memoirs of a Geisha, (University of A Corua, 2008) hlm. 1
38
The Big Myth: Inuit Culture, Distant Train, inc., hlm 1 (dapat diunduh di:
http://www.bigmyth.com/fullversion/password033/download/INUIT_CULTURE.pdf )
37

non-Americans and aliens who do not belong in America, and who are
not and should not be part of the American Dream. 39
Keturununan Asia-Amerika dianggap sebagai 'non-Amerika' dan 'Asing yang 'tidak
termasuk' di Amerika, dan seharusnya tidak menjadi bagian dari American Dream. James
Truslow Adams pada tahun 1931 mendefinisikan American Dream sebagai, "hidup harus
lebih baik dan lebih kaya dan lebih lengkap untuk semua orang, dengan kesempatan masingmasing sesuai dengan kemampuan atau prestasi". 40
Selain itu mengacu pada artikel penelitian karya Ji Hoon Park yang mengutip dari
pernyataan Dyer, bahwa representasi negatife ras Asia yang muncul dalam film Hollywood
diproduksi sedemikian rupa karena pada dasarnya audience kulit putih merasa nyaman
dengan ideologi whiteness dalam film.
We proposed that this is because White viewers were comfortably aligned with the
dominant racial ideology that promotes White invisibility and minority
stereotypes.41

Penjelasan diatas diperkuat dengan adanya whitewashing dimana tokoh-tokoh film


yang seharusnya diperankan oleh aktor-aktor keturunan ras Asia, digantikan dengan aktor
kulit putih karena tidak sesuai dengan standar whiteness. Selain itu ras Asia disini malah
direpresentasikan sebagai ras yang diasosiasikan dengan sifat negative, miskin dan tidak
berbudaya seperti halnya representasi kulit hitam yang negative dalam film, ras Asia juga
mengalami hal yang sama.
Early yellowface featured white actors in the role of Asians, often with the use of
eyelid prosthetics and makeup. Much like blackface, yellowface was used to impose a
distorted illusion of Asian identity, to the point where actual Asian actors were seen
as inauthentic.42

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah diuraikan, dapat diambil kesimpulan bahwa identitas
Ras kulit putih digambarkan sebagai seorang tokoh yang identik dengan tokoh protagonist,
pahlawan yang mempunyai Responsibility dan Power, dan seorang penyelamat (messiah).
Amerika Serikat, sebagai negara yang sejarah terbentuknya berdasarkan superioritas dari
39

Reza A Kartosen, Screening Asian Americans: The construction of Asian Americans (non-)Americanness in
contemporary popular American cinema (Post Graduate Thesis, University of Amsterdam), hlm.1.
40
http://en.wikipedia.org/wiki/American_Dream
41
Hoon Park Ji, Naturalizing Racial Differences Through Comedy: Asian, Black, and White Views on Racial
Stereotypes in Rush Hour (Journal of Communication, University of Pennsylvania, Philadelphia, 2006), hlm.
169
42
William Lowrey, People Painted Over: White washing of MinorityActors in Recent Film (Palm Beach State
College, 2011), hlm. 2

kulit putih (Whiteness) terhadap non-whites, dimana latar belakang inilah yang membenarkan
penjajahan dan pembunuhan masal terhadap pribumi dan orang-orang dari Afrika (kulit
hitam. Kepentingan Pasar yang digunakan sebagai landasan Industri film juga menggunakan
sudut Whiteness sebagai standar global yang harus dipenuhi dan Paramount Pictures sebagai
salah satunya. Tetap menggunakan ideologi Whiteness sebagai landasannya, maka akan
didapati bagaimana ideologi dominan bekerja dalam suatu jaringan industri film (network)
secara global, dan pasar (market).
Ras Kulit Hitam dalam film ini tidak lagi digambarkan dengan sifat-sifat negatif
yang biasanya kita temui pada film-film Hollywood, dapat dibilang mereka equal terhadap
ras kulit putih. Namun, konsep baik yang direpresentasikan dalam tokoh Kulit Hitam pun
tak lepas dari konsep baik ala kulit putih. Bagaimanapun juga industri film di AS saat ini
masih dikuasai oleh kelompok kulit putih, oleh karena itu aktor-aktor kulit hitam hanya bisa
mendapat sedikit tempat di dunia hiburan Hollywood.
Identitas India dalam film ini digambarkan sebagai tokoh antagonis, musuh dari
Avatar yang menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan sesuatu. Selain itu tokoh
antagonis ini diasosiasikan dengan penjahat (Villains) sombong, dan tamak. Namun,
ditemukan representasi lain yang berkaitan dengan wacana negara India sebagai negara
Superpower berikutnya, karena sutradara dari film ini adalah seorang dengan keturunan
india, M. Night Shyamalan. M. Night Shyamalan, uniknya, memilih aktor-aktor keturunan
India untuk memerankan tokoh-tokoh antagonis. Ternyata dari analisis, Shyamalan
mempunyai tujuan tertentu, yaitu terkait dengan wacana India sebagai The Next Superpower
selain China dan Brasil, melihat perkembangan IPTEK dan sektor ekonominya pada saat itu.
Hal tersebut direpresentasikan melalui teknologi-teknologi perang yang digunakan oleh
Negara Api.
Dan terakhir adalah, Identitas ras Asia yang diusung dalam film, di mata
Hollywood tidak direpresentasikan dengan gambaran yang positif. Ras Asia digambarkan
sebagai masyarakat minoritas yang tidak teratur dan sederhana. korban dari penjajahan dan
tidak bisa melawan penjajahan tersebut tanpa dipacu dan dibantu oleh Aang. Dari
representasi tersebut, diasumsikan bahwa, Asia merupakan ras yang dianggap 'Asing yang
'tidak termasuk' di Amerika, dan seharusnya tidak menjadi bagian dari American Dream.

DAFTAR PUSTAKA
Anggraeny Desy, 2009, The Construction of Whiteness through the representation of white and
Black Americans in the Dark Blue Movie (Post Graduate Thesis, Universitas Airlangga.

Arendt Hannah, 2004 The Origins of Totalitarianism, New York


Balsa, T. McGuire, 2001 Statistical discrimination in health care.
Bungin M. Burhan, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi
di Masyarakat Jakarta: Kencana
Burke Liam, 2008, Superhero Movies, Harpenden: Pocket Essentials, 2008
Chris Barker, 2001 Cultural Studies and Discourse Analysis, A Dialogue on Language and Identity
( Newyork: SAGE Publications
Coakley J., 2004 Sports in Society: Issues and Controversies 8th edn, Boston: McGraw Hill
Donnarae Maccan, 1998, White Supremacy in Childrens Literature, Newyork: Routledge, 1998
Foucault Michael, 1990, The History of Sexuality: An Introduction: Volume I (UK: Vintage Books
Fairclough Norman Fairclough, 1993, Discource and Social Change, Cambridge: Polity Press
Griffin, A.G., 2008, Seizing the Moving Image, M. Wallace and G. Dent (eds) Black Popular Culture,
Seattle: Bay Press
Grover Bonnie Kae, 1997, Growing Up White in America?,Critical White Studies ((eds) edited by
Richard Delgado and Jean Stefancic, Philadelpia: Temple University Press, 1997
G. A. Theodorson, 1993, A Modern Dictionary of Sociology Ardent Media Incorporated
Goodman Allan, 1995, The Problematics of Race in Contemporary Biological Anthropology
Stanford University
Giddens Anthon, 1984, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration
University of California Press
Heider Karl G., 2004, Seeing Anthropology: Cultural Anthropology Through Film, Boston:Pearson
Education
Kadri, 2006, Ideologi dan Media Massa: mengungkap praktek ideologi dalam media massa (Jurnal
Ilmiah Communique, Vol. 2
Kaveney R., 2008, Superheroes: Capes and Crusaders in Comics and Film London: I.B. Tauris
Lowrey William, 2011, People Painted Over: White washing of MinorityActors in Recent Film, Palm
Beach State College
Martin, James G, 1973, Minority Group Relations, Ohio: Columbus
Mills Sara, 2004, Discourse London: Routledge.
Rakhmat Jalaludin, 2007, Psikologi Komunikasi Edisi Revisi, Bandung: Remaja Rosdakarya
Robinow Paul, 1982, Foucault Reader, Newyork: Phanteon
Inuit Way: a Guide to Inuit Culture, Pauktuutitinuit Women Of Canada
Yulianto Vissia Ita, 2007 Pesona Barat: analisa ktiris-historis tentang kesadaran warna kulit di
Indonesia Yogyakarta: Jalasutra
Jurnal
Goldberg dalam Araki, Keiko, 2007,Building a New Racial World Order: Intersection of PanAsianism and Pan-Africanism in the Post-WWI World. G-SEC WORKING PAPER no. 15
Hoon Park Ji, 2006, Naturalizing Racial Differences Through Comedy: Asian, Black, and White
Views on Racial Stereotypes in Rush Hour (Journal of Communication, University of
Pennsylvania, Philadelphia
Schuelke Elizabeth, 2007, Whiteness: A Review of Literature, Journal, Department of International
Studies, College of Arts and Science & Honors College
Viruega Iria Mara Bello, 2008 Re-presenting Asian Stereotypes in Hollywood Cinema: an Analysis
of Race and Gender Representations in Memoirs of a Geisha, University of A Corua
Website
Mass
Communication
Theory,
Mc
Quail,
http://www.intcul.tohoku.ac.jp/~holden/MediatedSociety/Readings/2004_05/McQuail_10_15
_04.html (diakses pada tanggal 2 Desember 2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/Barack_Obama (diakses pada tanggal 15 Desember 2012)
Kartosen Reza A,
Screening Asian Americans: The construction of Asian Americans
(non-)Americanness in contemporary popular American cinema (Post Graduate Thesis,
University of Amsterdam), hlm.1.
http://en.wikipedia.org/wiki/American_Dream

Horton Yurii, Portrayal of Minorities in the Film, Media and Entertainment Industries, dalam situs:
http://www.stanford.edu/class/e297c/poverty_prejudice/mediarace/portrayal.htm
(diakses
pada tanggal 1 Desember 2012)
The Big Myth: Inuit Culture, Distant Train, inc., hlm 1 (dapat diunduh di:
http://www.bigmyth.com/fullversion/password033/download/INUIT_CULTURE.pdf )
Stanziano Mark J., Archetypes And How To Use Them, hlm.2,
dapat diunduh di:
www.persuasionthroughmagic.com/Archtypes_PTM.pdf>
Hernandez Prisco R, Leadership Review: Jung's Archetypes as Sources for Female Leadership, dapat
diunduh di: www.leadershipreview.org/2009spring/article2.pdf (diakses pada tanggal 2
Desember 2012)

Anda mungkin juga menyukai