Anda di halaman 1dari 9

5.2.

IDENTITAS SOSIAL-BUDAYA

Dr. M. Puspitasari

Dr. M. Puspitasari
Kajian Ketahanan nasional, SKSG Universitas Indonesia
September 2022
IDENTITAS SOSIAL-BUDAYA

Ting-Toomey:
reflective self-
conception or self Martin dan Nakayama:
image that we each
derive from our Our self-concept, who
family, gender, we think we are a
cultural, ethnic and person
individual
socialization process.
Dr. M. Puspitasari

Ting-Toomey dan Chung:

Sesuatu yang secara emosional Klyukanov:


memiliki signifikansi yang
identitas kultural dapat
membuat kita memiliki dipandang sebagai keanggotaan
kelekatan, baik secara sense of dalam suatu kelompok dimana
belonging maupun afiliasi dengan individu berbagi makna simbolik
sebuah budaya yang besar. yang sama.
E T N I S
Dr. M. Puspitasari

Interpretasi atas realitas sosial mengenai perbedaan bentuk


penciptaan, yaitu wacana batas yang bersifat oposisional dan
dikotomis: “saya tercipta seperti ini” dan “kamu seperti itu” menjadi
‘kami’ vs ‘mereka’.

Suatu konstruksi pemahaman yang didasarkan atas pandangan


dan bangunan (konstruksi) sosial.

Etnis merupakan konsep relasional yang berhubungan dengan


identifikasi diri dan social ascription.
1. Identitas rasial.

- Kategori ras didasari pada karakteristik fisik

IDENTITAS,
sekaligus juga dikonstruksi dalam konteks sosial
yang cair. Bagaimana masyarakat mengonstruksi
pemaknaan dan pemikiran mengenai ras

APA SAJA?
memengaruhi bagaimana mereka berkomunikasi.

- Yahudi merupakan identitas ras, etnis dan juga


agama.

2. Identitas Etnik

- mencakup (1) identifikasi diri, (2) pengetahuan ttg


budaya etnis (tradisi, adat, nilai, dan perilaku),
dan (3) perasaan memiliki pada kelompok etnis
tertentu. Identitas gender

3. Identitas nasional

4. Identitas regional

5. Identitas organisasi

6. Identitas personal
Dr. M. Puspitasari
7. Identitas Cyber dan Fantasi
Williams, 1998; Young, 1990; Taylor,1994:

Kolektivitas orang-orang yang muncul karena

POLITIK
adanya ikatan perlawanan yang heroik untuk
menentang diskriminasi

IDENTITAS Hoover:

Aconnection to political projects based on


elements that are very basic to their self-conceptions.
Members of these groups see themselves as having in
common certain important characteristics that set
them apart from the larger population-a commonality
that is based on difference

Giddens:

identitas yang terbentuk oleh kemampuan untuk


melanggengkan narasi tentang diri, sehingga
terbangun suatu perasaan terus menerus tentang
kontinuitas biografis, who belongs where or with
Dr. M. Puspitasari whom, who belongs and who doesn’t.
SEJAK KAPAN konsep ini dikenal?
L.A. Kauffman pertama kali menjelaskan hakikat politik
identitas dengan melacak asal-muasalnya pada gerakan
mahasiswa anti-kekerasan yang dikenal dengan SNCC (the
Student Nonviolent Coordinating Committee), sebuah organisasi
gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat di awal 1960-an.1

Siapa sebenarnya yang menciptakan istilah politik identitas itu


pertama kali masih kabur hingga sekarang.

Tetapi secara substantif, politik identitas dikaitkan dengan


kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial
yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus
besar dalam sebuah bangsa atau negara.
Di sini ide“keadilan untuk semua” menjadi sangat relevan.

Di Amerika Serikat, para penggagas teori politik identitas


berdalil bahwa praktik pemerasanlah yang membangun
kesadaran golongan yang diperas, khususnya masyarakat kulit Dr. M. Puspitasari
hitam, masyarakat yang berbahasa Spanyol, dan etnis-etnis
lainnya yang merasa dimarginalisasi oleh kapitalisme yang
berpihak kepada pemilik modal yang umumnya dikuasai
golongan kulit putih tertentu.
1. Anglophone

DUA ALIRAN - Fokus pada isu hak dan klaim


penduduk asli-pribumi
POLITIK IDENTITAS (indigenous people),

- Penganutnya antara lain


negara Australia, New Zealand,
Kanada.

2. Anglo-american

- Fokus pada isu pembangunan


seperti gelombang imigrasi,
keberadaan kelompok-
kelompok religius di
masyarakat, pengaruh sosial-
budaya akibat kemunculan
Dr. M. Puspitasari
gerakan perempuan atau LGBT,
perdebatan tentang
kemerosotan civic culture dan
bangkitnya ‘a nti-politik’.
Samuel P Huntington dalam The Clash of
Civilizations and The Remaking of World
AGAMA sbg Order pada tahun 1996 menjelaskan
proses transformasi pola konflik yang
instrumen dalam terjadi di politik domestik maupun global
politik identitas setelah perang dingin usai, dari konflik
yang bersumber pada ideologi menjadi
konflik politik yang berbasiskan
identitas.

Huntington melihat bahwa politik global


akan ditandai oleh politics of civilization
sedangkan politik domestik adalah
politics of ethnicity.

Dalam politik identitas, pertanyaan yang


utama adalah who are we? Sehingga,
berbagai kelompok sosial dalam
Dr. M. Puspitasari masyarakat akan merumuskan identitas
mereka dalam tema-tema kultural
seperti kesamaan agama, bahasa,
sejarah, nilai, kebiasaan dan lembaga.
Ahmad Syafii Maarif

(orasi ilmiah dalam “Politik


identitas dan masa depan
pluralisme kita", 2012:
3-4)

Politik identitas lebih terkait dengan masalah etnisitas, agama, ideologi, dan
kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili oleh para elit dengan
artikulasinya masing-masing.

Gerakan pemekaran daerah merupakan salah satu wujud dari politik identitas
itu. Isu-isu tentang keadilan dan pembangunan daerah menjadi sangat sentral
dalam wacana politik mereka, tetapi apakah semuanya sejati atau lebih
banyak dipengaruhi oleh ambisi para elit lokal untuk tampil sebagai pemimpin?

Pertanyaannya adalah: apakah politik identitas ini akan membahayakan


posisi nasionalisme dan pluralisme Indonesia di masa depan?
Dr. M. Puspitasari

Anda mungkin juga menyukai