Anda di halaman 1dari 11

1.

Rasisme itu sendiri merupakan satu bentuk perbedaan antara orang yang
satu dengan orang yang lainnya . Ada hal –hal yang bisa dilihat( observable)
yaitu phenotypical dan juga genothypical yaitu hal-hal yang genetic.

Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan


bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan
pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior
dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya [1].

Beberapa penulis menggunakan istilah rasisme untuk merujuk pada


preferensi terhadap kelompok etnis tertentu sendiri (etnosentrisme),
ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap hubungan
antarras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok orang
tertentu (stereotipe) [2][3].

Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan


kekerasan rasial, termasuk genosida. Politisi sering menggunakan isu rasial
untuk memenangkan suara. Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi
buruk paling tidak sejak 1940-an, dan identifikasi suatu kelompok atau
orang sebagai rasis sering bersifat kontroversial.

Ada 3 cara untuk mengetahui satu bentuk rasisme, yaitu :

- Ras manusia

- Kelompok budaya : nasionalitas : ras Inggris

Kelompok agama : Yahudi

Bahasa : Ras Slavia

Kelompok budaya yang berbeda : ras gipsi

- Perbedaan fisik

Rasisme mempercayai bahwa satu ras lebih unggul dibandingkan ras yang
lainnya, mereka juga bertujuan untuk meraih ke tingkat ras yang superior
dibandingkan ras yang lainnya. Dan hal ini menjadi satu sistem kepercayaan.
Eksis dalam kehidupan bermasyarakat-diturunkan dalam satu generasi ke
generasi berikutnya melalui sosialisasi dan institusi pendidikan. (Hal ini
diwujudkan dalam prasangka rasial dan diskriminasi).
Rasisme biasa terjadi dalam kondisi hubungan kultural . Adanya perasaan
lebih superior dibandingkan dengan ras yang lainnya menyebabkan timbulnya
keinginan untuk mendominasi kekuatan rasnya di suatu wilayah . Rasisme itu
sendiri pertamakali dialami oleh kaum Yahudi. Hal ini disebabkan karena
kelompok Yahudi memiliki ritual, perilaku, dan sikap yang berbeda
dibandingkan dengan orang lainnya . Adanya supremasi dari orang-orang Eropa
lainnya untuk memarjinalkan kaum Yahudi. Yang perlu diketahui, sekali saja
suatu ras mengalami rasisme, maka hal ini akan terus dialami sampai generasi
berikutnya.

Rasisme dapat menyebabkan invasi militer. Mengapa ? hal ini dapat dilihat
ketika satu bentuk rasisme terjadi di suatu wilayah, maka kelompok yang
melakukan tindakan rasis tersebut akan melakukan satu bentuk “penaklukan”
untuk memarjinalkan ras atau kaum yang lainnya.

Invasi militer dapat dimasukkan ke dalam satu bentuk klasifikasi institusional.


Salah satu contoh yang kita ambil ialah invasi AS ke Irak pada tahun 2003.
Dimana invasi tersebut dilakukan oleh pemerintahan AMERIKA ke Irak,
karena meyakini adanya senjata pemusnah massal pada saat itu. Namun,
kenyataannya, senjata tersebut memang tidak pernah ada sehingga tidak
mungkin pula ditemukan. Alasan George W Bush saat itu ialah apa yang telah
dijabarkan diatas. Namun, ia tetap melakukan serangan invasi militer ke Irak,
karena adanya kecenderungan untuk memarjinalkan kaum Islam yang mana
merupakan peenduduk terbanyak di Irak, juga menunjukkan legacy and the
power of US, terhadap kaum muslim ( Dalm hal ini, rasisme yang terjadi dalam
kelompok agama, sama seperti rasisme yang dialami kaum yahudi sebelumnya).

2. Pluralisme merupakan satu bentuk hubungan etnik dalam suatu bangsa. Di


dalamnya terdapat berbagai kelompok dengan perbedaan: value, customs
and behavior. Namun, meskipun berbeda, di dalamnya merupakan
masyarakat yang sama, berpartisipasi dan mendukung lembaga-lmbaga
sosial yang sama. Pluralisme itu sendiri dibagi menjadi tiga, cultural,
political, dan structural. Cultural pluralisme terintegrasi dalam satu
bentuk national collective, tergabung dalam kelembagaan yang sama, dan
biasanya powernya merata, dan struktur tidak hirarkis.Structural
pluralism , anggota-anggota di dalamnya biasanya tidak terlalu sering
berkomunikasi (terbatas). Perbedaan ini dapat dilihat dari pembatasan
keterlibatan institusi dasar. Untuk political pluralism, kelompok-klompok
yang berbeda berinteraksi dengan konteks power atau sumber-sumber
sosial lain.

Positif dari pluralisme : makin beragamnya konteks globalisasi yang terjadi


di dunia. Karena, globalisasi yang menciptakan boarderless society, dimana
tidak ada batasan lagi anatr negara yang satu dengan negara yang lainnya ,
sehingga, banyaknya kawin campur yang dilakukan oleh masyarakat-
masyarakat dunia, kebebasan individu juga semakin bebas. Banyaknya
agama di dunia, bahasa-bahasa yang ada di dunia, berbagai macam ragam
etnis dan perilaku setiap masyarakat dunia, membuat dunia menjadi kaya
akan pluralisme. Hal ini dapat menumbuhkan sikap untuk menghargai antar
sesama, masyarakat semakin heterogen dan kebebasan setiap masyarakat,
untuk terlhat “ plural” dengan masyarakat yg lainnya.

Negatif dari pluralisme: karena trelalu beragam, dihawatirkan akan dapat


menimbulkan satu bentuk diskriminasi anatar kelompok yang ras yang satu
dengan keolpmpok ras yang lainnya, hal ini menimbulkan satu bentuk reaksi
bahwa tidak selamanya plural itu hebat. Seperti contohnya, orang-orang
akan semakin susah untuk menaati kebijakan pemerintahan ataupun
pemerintah sedikit bimbang untuk menetukan arah kebijkan, karea
pendapat yang berbeda-beda. Adanya kencenderungan satu kaum yang
merendahkan kaum yang lainnya, karena menganggap kaum tersebut
merupakan kaum inferior bg mereka.

3. Kaitan antara politik identitas dengan kolonialisme dan rasisme

Prinsip politis apakah yang diperlukan dalam menyiasati sebuah dunia


global? Transformasi politis apakah yang bisa memberi arah kepada
sebuah hidup bersama dalam dunia yang ditandai globalisasi? Bhikhu
Parekh, seorang tokoh multikulturalis dan pakar teori politik yang namanya
dikenal luas secara internasional di dunia ilmu-ilmu sosial, menjawabi
pertanyaan-pertanyaan mendasar menyangkut globalisasi itu dalam
bukunya yang terbaru berjudul A New Politics of Identity: Political
Principles for an Interdependent World (2008). Bagi Parekh, prinsip
politis mendasar yang bisa memberi arah bagi sebuah dunia global adalah
sebuah politik identitas yang baru. Globalisasi memang menantang
identitas-identitas tradisional seperti identitas suku, budaya, agama atau
bahkan identitas nasional. Tantangan itu terjadi karena globalisasi tampak
menghapus batas-batas suku, budaya, agama, negara dan batas-batas
sosial lain seperti gender atau orientasi seksual. Di hadapan globalisasi,
batas-batas tradisional yang memisahkan antar suku, budaya, agama dan
negara tampak menghilang. Menghadapi tantangan global seperti ini, suku,
budaya, agama, negara serta batas sosial yang lain tidak ada pilihan lain
kecuali beroperasi di dalam sebuah konteks historis yang baru, mengikuti
semua perubahan dan mengambil langkah pemahaman baru termasuk
pemahaman atas krisis identitas tradisional yang lama melekat dalam diri
anggota masyarakat.
Identitas merupakan salah satu tema sentral di hadapan globalisasi.
Sentralnya tema ini bisa dipahami karena globalisasi membawa efek
historis baru yang tak bisa dipungkiri yakni sebuah masyarakat global atau
lebih khusus lagi sebuah masyarakat multikultural. Identitas memberi rasa
keberakaran dan juga rasa memiliki. Di dalam buku barunya ini, Bhiku
Parekh coba menata ulang bagaimana identitas-identitas tradisional bisa
ditata dalam abad global yang kita hadapi. Bagi Parekh, di tengah sebuah
dunia global, identitas-identitas tradisional perlu diintegrasikan ke dalam
sebuah identitas manusiawi yang universal di mana orang dan masyarakat
bisa berakar dalam tradisi tertentu tetapi juga terbuka kepada tradisi
lain atau menjadi anggota masyarakat tertentu tetapi juga merasa
menjadi bagian dari umat manusia sebagai satu komunitas global.
Argumen Parekh memang tampak liberal tetapi pada saat yang sama
argumennya ini menantang ancaman-ancaman global yang tengah kita
hadapi seperti fundamentalisme religius, terorisme dan perang melawan
teror. Politik identitas memang sejauh ini dipahami dan diarahkan dalam
artian identitas personal dan identitas kolektif seperti identitas yang
dibangun atas dasar gender, orientasi seksual, suku, agama dan bangsa.
Tentu saja identitas seperti ini penting tetapi pada saat yang sama sebuah
afirmasi atas identitas manusiawi yang universal sangat krusial di mana
identitas khusus bisa ditempatkan dalam bingkai identitas manusia yang
universal sebagai sebuah politik identitas yang baru. Membaca argumen
Parekh, orang akan segera bertanya tentang dasar dan mesin apa yang
menggerakkan politik identitas baru ini. Sambil membaharui sejumlah
jawaban atas pertanyaan seperti itu, menurut Parekh, politik identitas
baru ini perlu didasari oleh etika dan tanggung jawab global dan
disemangati oleh roh solidaritas antar manusia. Parekh tidak begitu saja
menutup mata atas kenyataan perbedaan politis, budaya dan sosial antar
masyarakat atau komunitas. Tetapi ia memahami atau lebih tepat memberi
definisi baru atas politik perbedaan. Baginya, perbedaan adalah sumber-
sumber energi moral yang kaya yang perlu diberi struktur baru dalam
terang harmoni identitas universal. Perbedaan dan nilai universal karena
itu bukanlah dua hal yang bertentangan tetapi saling melengkapi. Di sini,
partikularitas atau perbedaan dihargai, tetapi bukan partikularisme yang
memandang perbedaan sebagai horison yang absolut dalam pemahaman
atas identitas dan pencapaian nilai universal sebagai sebuah mimpi di siang
bolong; hal yang universal dijunjung, tetapi bukan universalisme yang
memandang perbedaan-perbedaan sebagai penjara-penjara yang
menyengsarakan hidup bersama masyarakat dan komunitas umat manusia.
Kolonialisme itu sendiri merupakan Perluasan kedaulatan teritori oleh suatu
bangsa , keluar batas negaranya, dengan cara mendirikan koloni², dimana
populasi asli diperintah secara langsung (direct rule).

 Kolonial mendominasi sumber alam dan labor dari wilayah koloni, dan
mungkin juga memaksakan kebudayaan, agama, dan bahasanya .
Superioritas teknologi tinggi Eropa

 Adanya keyakinan ‘superiorisme’ u/ melegitimasi kolonialisme

White man’s burden-tanggung jawab orang kulit putih untuk menjadi


leader dunia. Hal ini merupakan ideologi rasis untuk justifikasi genocide &
ethnocide

Kolonialisme itu sendiri merupakan satu bentuk dominasi antar yang satu
dengan yang lain.. sehingga hal ini merupakansalah satu hal yang dikaji
dalam politik identitas.

Lokasi Bagi Politik Identitas


Realitas sebagaimana yang diungkapkan di muka, membawa kita pada suatu
refleksi bahwasanya saat ini menteorisasi “kekuasaan” sebagai suatu dimensi
penindasan yang bersifat tunggal (a singular dimension of oppression), seperti
penindasan di dalam struktur kelas, gender, atau ras, tidak lagi mampu menjelaskan
kompleksitas dalam dunia kontemporer. Oleh karena itu diperlukan suatu penjelasan
mengenai relasi antara berbagai dimensi penindasan dengan strategi-strategi
resistensi. Salah satu penjelasan mengenai kondisi dominasi dalam dunia
kontemporer diajukan oleh Friedric Jameson (1991), yang menyarankan bahwa
pola-pola dominasi dalam dunia kontemporer dapat kita bedakan dari pola-pola
sebelumnya (masa lalu) melalui dominasi dalam kehidupan sosial maupun budaya
oleh logika pengorganisasian yang bersifat “spatial” (ruang/sekat-sekat), dan bukan
karena waktu (time) atau perubahan zaman.
“I think that it is at least empirically arguable that our daily life, our psychic
experience, our cultural language, are today dominated by categories of space
rather than categories of time, as in the preceding of high modernism.” (Jameson,
1991: 16)
Menurut Jameson, ada tiga fase mendasar dalam perkembangan “logika spasial”
suatu masyarakat di bawah kapitalisme. Fase pertama, market capitalism didominasi
melalui logika spasial yang berlangsung di dalam jaringan (networks). Di dalam fase
kedua, yakni monopoly capitalism, pengertian mengenai “ruang” ternafikan
(ditiadakan) dan digantikan oleh praktek riil yang menentukan relasi sosial.
Sedangkan, dalam fase ketiga, multinational (postmodern) capitalism menunjuk
kepada logika spasial yang secara simultan bersifat homogen dan terfragmentasi—
semacam suatu “schizo-space” (ruang/sekat dimana terjadi halusinasi/kontradiksi).
Lebih jauh Jameson menambahkan bahwa “ruang/sekat schizo” menjadi penanda
dari zaman terkini dimana loyalitas lama terhadap kelas, atau gender, fragmentasi
ras, dislokasi, kekacauan, keterpecahan, ketersebaran “bercampur-aduk” dengan
loyalitas baru terhadap kelas, gender, keterlibatan rasial, dan kemandegan sosial-
budaya. Tidak ada seorang-pun meyakini, landasan macam apa yang mereka
sedang perjuangkan, atau tujuan apa yang hendak mereka raih. Dalam keadaan
semacam ini, Jameson mengatakan bahwa “subjek telah mati”. Sebagaimana yang
dikatakan-nya:
“Apa yang sedang berlangsung kini merupakan suatu realitas politik praktis: sejak
krisis yang menghancurkan internasionalisme kaum sosialis dan hambatan-
hambatan strategis dalam mengoordinasikan aksi-aksi politik di tingkat lokal-
grassroot dengan nasional atau internasional. Dilema semacam inilah yang sedang
berlangsung saat ini dalam mempertanyakan ruang internasional yang lebih
kompleks.” (Jameson, 1991:413)

Dalam menanggapi fenomena lumpuh-nya politik saat ini, Jameson


mengembangkan suatu konsep mengenai “ruang dan tindakan politik” yang disebut
sebagai “cognitive mapping” (pemetaan kognitif). Pemetaan kognitif merupakan
suatu bentuk dari budaya politik radikal dimana objek fundamental-nya adalah “the
world space of multinational capital” (ruang dunia kapital multinasional). Pemetaan
kognitif merupakan suatu kesadaran terhadap proses-proses global yang sedang
berlangsung, sekaligus ketidakmampuan subyek di dalam meraih totalitas (seperti
nilai-nilai atau ideologi yang mutlak). Pemetaan kognitif pula yang memungkinkan
orang menyadari posisi mereka di dunia, dan karenanya memberikan sumber bagi
resistensi dan penciptaan sejarah diri mereka sendiri. Jadi, logika kapital-lah yang
menciptakan suatu perkembangan di dalam ruang ke-tidakadil-an. Oleh karena itu,
menurut Jameson, diperlukan “pemetaan terhadap ruang-ruang ketidakadilan
semacam itu”, sehingga dapat menciptakan peluang bagi tumbuhnya “budaya-
budaya oposisi” (oppositional cultures) dan gerakan sosial baru melawan
kepentingan kapital sebagai suatu “situs (ruang) resistensi”.
Masalahnya, di dalam budaya oposisi, setiap orang “merepresentasikan”
sekelompok orang yang lainnya pada saat yang bersamaan. Artinya, identitas dari
posisi subjek dan gerakan politik dipahami secara simultan. Pada bagian awal
digambarkan suatu ketakketerkaitan di dalam perilaku pemilih dalam pemilu, dimana
sekelompok orang yang di-stereotipe-kan sebagai “kelas pekerja” justru memberikan
suara bagi kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan kelas mereka. Disini,
identitas menggantikan posisi subjek karena keadaan yang objektif atas identitas
kemudian diartikulasikan oleh para politisi, akademisi, dan rohaniwan. Oleh karena
itu, Jameson lebih jauh menganjurkan pentingnya upaya untuk menemukan kembali
“ruang resistensi”, yaitu sebagai:
“…Suatu ruang imajiner yang mampu membenturkan masa lalu lewat cara-cara
baru dan membacanya sebagai suatu misteri yang belum terpecahkan oleh ruang
(sekat) struktural. Misteri ini, sebagaimana yang dapat kita temukan dalam tubuh,
kehidupan kosmis, realitas kehidupan perkotaan, dan berbagai struktur lainnya yang
ditandai oleh pengorgarnisasian yang bersifat intagible (non-material) di dalam
kebudayaan, dorongan ekonomi, maupun dalam bentuk-bentuk linguistik.”
(Jameson, 1991: 364-5)

Di sini Jameson menekankan spesifikasi “ruang atau sekat” sebagai sesuatu yang
melahirkan posisi kesadaran subjek secara berbeda-beda. Sementara itu, Edward
Soja, seorang pemikir politik beraliran postmodernisme, melihat bahwasanya “ruang”
tersebut bukan sebagai sesuatu yang bebas dari kepentingan, melainkan dipenuhi
oleh politik dan ideologi yang membawa konsekuensi kepada posisi kesadaran
subyek:
“We must be insistently aware of how space can be made to hide consequences
from us, how relations of power and dicipline are inscribed into the apparently
innocent spatiality of social life, how human geographies become filled with politics
and identity.” (Soja, 1989: 6)

Baik Friedric Jameson maupun Edward Soja sama-sama berargumen bahwa


“geografi dan sejarah kapitalisme” saling bersinggungan (intersect) di dalam suatu
proses sosial yang kompleks, yang menciptakan kelanjutan suatu proses historis
dalam ruang (sekat-sekat) sosial yang kontradiktif. Jadi, menurut keduanya, ruang
atau sekat sosial semacam inilah yang menentukan batasan-batasan dari suatu
“identitas”. Kemudian, apa sesungguhnya yang kita maksudkan sebagai “identitas”
itu sendiri? Dan mengapa “identitas” menjadi sesuatu yang signifikan bagi tujuan-
tujuan politik?
Kata “identitas” dan makna-nya di dalam konteks politik, sesungguhnya merupakan
suatu fenomena yang cukup baru di dalam wacana intelektual kontemporer.
Identitas seseorang ‘meng-konstruksi-kan suatu proses dialogis yang menandai
batasan-batasan apa saja mengenai diri-nya dan apa saja yang membuatnya sama
atau berbeda dengan orang lain’ (Stuart Hall, 1992). Jadi, menurut Stuart Hall,
identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari ‘sense (rasa/kesadaran) terhadap
ikatan kolektivitas’. Dari pernyataan tersebut, maka ketika identitas diformulasikan
sebagai sesuatu yang membuat seseorang ‘memiliki atau berbagi kesamaan’
dengan orang lain, maka pada saat yang bersamaan juga identitas
memformulasikan ‘otherness’ (keberbedaan) atau sesuatu yang diluar persamaan-
persamaan tersebut. Sehingga karakteristik identitas bukan hanya dibentuk oleh
ikatan kolektif, melainkan juga oleh kategori-kategori pembeda (categories of
difference). Oleh karena itu, menurut Judith Butler (1992), konstruksi mengenai
identitas melibatkan seluruh peluang-peluang dari berbagai kategori pembedaan
kolektif yang saling berkompetisi dan, karena itu, kategori-kategori identitas tidaklah
bersifat deskriptif, melainkan bersifat normatif.
“Identity categories constitute multiple competing possible identities in which
particular groups define themselves in a distinctive sense of belonging, identity
categories are never solely descriptive, but normative” (Butler, 1992: 15).

Pengenaan identitas kolektif sebagai sumberdaya sekaligus sarana politik di dalam


realitas modern, secara sederhana kita temukan di dalam fenomena terbentuknya
“negara-bangsa” (nation-state) dalam era poskolonial, dimana beragam
latarbelakang komunitas ras, suku-bangsa (etnis), agama membentuk komunitas
negara-bangsa. Konsepsi semacam inilah yang dikembangkan oleh Bennedict
Anderson (1983) melalui tesis-nya mengenai “imagined communities” atau
komunitas imajiner, dimana ikatan-ikatan kolektif dalam suatu komunitas politik
bukan hanya suatu konstruksi politik semata, melainkan juga sebagai konstruksi
budaya. Disini, ikatan terhadap kolektivitas bukan lagi didasari oleh kontak-kontak
langsung secara fisik sebagaimana yang membuat kita terikat dengan komunitas di
lingkungan sekitar (neighbourhood) atau di dalam suatu organisasi. Melainkan
“diciptakan” oleh makna yang diproduksi melalui simbol-simbol dan praktek-praktek
budaya yang saling dibagi bersama. Seperti penulisan sejarah, lagu-lagu
kebangsaan, bendera, atau pengakuan bagi hari-hari besar nasional.
Klaim terhadap identitas merupakan kategori-kategori pembedaan kolektivitas yang
peluang-peluangnya dapat kita temukan di dalam struktur kelas, gender dan
seksualitas, orientasi budaya, atau bahkan dalam gaya hidup (bentuk-bentuk
konsumsi). Perkembangan di dalam dunia kontemporer saat ini menunjukkan
bahwasanya identitas politik sangat-lah beragam dan klaim-klaim terhadap identitas
“bukan” lagi menjadi monopoli bagi rezim kolektif tradisional (seperti ikatan
paternalistik dalam relasi etnisitas, agama, struktur kelas sosial) atau bahkan
negara. Tetapi juga menjadi wilayah bagi muncul-nya rezim-rezim “klaim-klaim
kolektivitas baru” lintas kelas, ras, etnis, atau agama, misalnya, kelompok
homoseksual. Klaim kolektivitas bahkan dapat diciptakan melalui diskursus politik-
kebudayaan, misalnya pembedaan kelompok-kelompok liberal-fundamentalis, dan
sebagainya.
Kaitan antara signifikansi identitas sebagai sumberdaya dan sarana yang
memobilisasi “perbedaan” oleh Stuart Hall (1992) dirumuskan melalui pertanyaan
sederhana: “Siapa saja yang membutuhkan identitas? Siapa yang diuntungkan dan
siapa yang dirugikan?” Pertanyaan sederhana akan tetapi amat sulit untuk mencari
jawaban yang dapat menjelaskan kompleksitas di dalam kaitan antara identitas
sebagai sumberdaya dan sarana politik secara komprehensif. Ini tidak lain karena
terminologi mengenai identitas politik tidak pernah definitif, apalagi konstruksi
mengenai kategori-kategori di dalam identitas bersifat “cair dan fleksibel”. Rosalind
Brunt mendeskripsikan politik identitas sebagai:
“…politik sekelompok orang yang berangkat dari penekanan terhadap pengakuan
(dalam derajat tertentu) terhadap aktivitas politik dan upaya yang melibatkan suatu
proses terus-menerus untuk menandai siapa diri kita dalam relasi kita dengan orang
lain” (Brunt, 1989: 151).

Meski demikian, pandangan semacam itu ditentang oleh Jenny Bourne (1987), yang
melihat pengertian politik identitas sebagai suatu kemunduran proyek politik yang
bersifat emansipatoris karena politik identitas merupakan suatu wujud eksploitasi
keluar (mobilisasi individu) dan penindasan ke dalam diri subjek (manipulasi
kesadaran), sebab yang dipentingkan dalam relasi sosial adalah upaya untuk
menekankan “Who I am--Siapa Saya!” (Bourne, 1987:1). Pandangan yang
dikemukakan oleh Bourne ini sebenarnya secara implisit menafikan konsepsi
mengenai individu sebagai subjek atau manusia yang rasional, yang memiliki
pengetahuan yang bukan hanya disituasikan (dikonstruksikan), melainkan juga
pengetahuan untuk menciptakan situasi (konstruksi), dan memiliki kehendak bagi
dirinya sendiri. Suatu perdebatan yang sebenarnya sudah lama berlangsung, yakni
berkenaan dengan posisi subjektivitas sebagai suatu konstruksi sosial ataukah
sebagai suatu esensi dari kondisi yang sudah ada dan tak terbantahkan (pre-given
essence). Misalnya, apakah homoseksualitas-heteroseksualitas merupakan
konstruksi sosial atau diwarisi secara natural?
Posisi subjektivitas dalam relasi-nya dengan kondisi objektif sesungguhnya bersifat
dialektis, sesuatu yang gagal dipahami oleh Marx dalam penjelasannya mengenai
“alienasi” (keterasingan) yang dialami oleh kaum buruh dengan barang-barang yang
telah mereka produksi. Kegagalan analisis Marx baru dapat dibuktikan hampir satu
abad kemudian, ketika proses ambigu di dalam kapitalisme juga melahirkan kelas-
kelas sosial baru, dimana kapitalisme bukan hanya mengubah mode of production
‘cara-cara memproduksi’, tetapi juga mengubah mode of consumption ‘cara-cara
mengonsumsi’ (George Ritzer, 2000). Menurut Liz Bondi (1993), kegagalan
diagnosis Marx termuat di dalam penjelasannya mengenai posisi subjektif di dalam
relasinya dengan kondisi objektif, dimana kesadaran (conscioussness) merupakan
suatu produk dari kondisi-kondisi yang diciptakan oleh relasi-relasi kelas, dan bukan
sebagai suatu tindakan manusia (human action) yang rasional. Liz Bondi juga
melanjutkan bahwa gagasan yang diusung oleh Sigmund Freud memiliki asumsi
yang setara (paralel) dengan gagasan Marx. Menurutnya, Freud melihat kesadaran
(consciousness) sebagai sesuatu yang “dikonstruksikan” sebagai suatu respon atas
ketidaksadaran (un-consciousness), dimana ketidaksadaran merupakan produk dari
tekanan (represi) dari harapan atau kehendak-kehendak, khususnya yang kita alami
di masa kanak-kanak. Jadi, dalam pemikiran Freud, ketidaksadaran individu “tidak
dapat sepenuh-nya kita kenali secara langsung”, sehingga keberadaannya
melahirkan bentuk-bentuk kesadaran yang manipulatif, tidak pernah sepenuhnya
rasional, atau tidak pernah merasa betul-betul aman (secure). Liz Bondi
menyimpulkan bahwa pandangan Marx dan Freud telah menempatkan individu
sebagai suatu makhluk yang tidak dapat utuh, dan selalu tercerabut (Bondi, 1993:
87-91).
Meski demikian, Liz Bondi menegaskan bahwa pandangan semacam itu menjadi
“tantangan” bagi formulasi perspektif humanisme-liberal Barat yang didasari oleh
filsafat Cartesian mengenai “cogito”, yang menempatkan individu sebagai makhluk
yang sepenuhnya mandiri (autonomous), subyek yang sepenuhnya berdaulat
(sovereign subject), dan karenanya manusia memiliki kestabilan dan sulit teralienasi.
Perspektif tersebut melihat kesatuan yang utuh dan mandiri di dalam diri individu,
yang menciptakan basis bagi setiap orang (manusia) untuk mengidentifikasikan diri
mereka satu sama lainnya sebagai makhluk yang “setara” (equals) (ibid:85-7).
Konsekuensi dari pandangan humanisme-liberal ini kemudian menjadi dasar
argumentasi bagi “tuntutan emansipatorik” (emansipatory necessities) sebagai “nilai-
nilai kesetaraan” bagi seluruh manusia, dan karena itu pula mendorong upaya “hak-
hak bagi kesetaraan” (equal rights). Perspektif semacam inilah yang dominan di
dalam sudut pandang Demokrasi Liberal Barat. Akan tetapi, sudut pandang
semacam ini justru telah menjadi suatu mekanisme subordinasi, karena
menganjurkan bentuk-bentuk universalitas yang menindas keberbedaan. Sedangkan
bentuk-bentuk “keberbedaan yang tertindas” (suppressed differences) itu sendiri
adalah perbedaan-perbedaan yang dilahirkan sebagai konsekuensi dari ‘siapa yang
menduduki posisi kekuasaan dan siapa saja yang memiliki otoritas untuk
mendefinisikan pengetahuan’.
Ien Ang (2001), melihat pandangan demokrasi liberal-Barat sebagai suatu kualifikasi
bagi kualitas kesetaraan yang memuat unsur-unsur di dalam hegemoni budaya
Barat yang lahir dari sudut pandang kelas menengah (borjuis) kulit putih, sehingga
klaim universalitas di dalam kesetaraan itu meniadakan peran politik kelompok-
kelompok minoritas yang terpinggirkan. Sementara itu, melanjutkan pemikiran yang
dikembangkan oleh Liz Bondi; menurutnya, pandangan-pandangan yang
dikemukakan oleh Marx dan Freud justru dapat membuka kemungkinan-
kemungkinan baru untuk mempertahankan klaim-klaim normatif bagi humanisme-
liberal, ketimbang sebagai suatu proyek egalitarian yang ambisius (1993: 86).
Menurutnya, “identitas” yang membentuk kesadaran tentang diri kita sebagai
individu maupun makhluk sosial dikonstruksikan melalui proses-proses kultural dan
bukan bersifat “pre-given”. Konstruksi ini menyiratkan suatu proses kultural yang
tidak memerlukan atribut-atribut kemanusiaan universal, melainkan suatu
diferensiasi dan gerakan dimana identitas merupakan karakteristik masyarakat
modern. Kelompok-kelompok yang tersubordinasi dapat menggunakan pemikiran
semacam ini untuk membuka tabir kepalsuan yang ditawarkan oleh pemikiran
mengenai otoritas “individu” yang mutlak, untuk mempertahankan posisi mereka
sebagai “the other” atau minoritas. Dengan demikian, maka konstruksi bagi identitas
alternatif merupakan bagian dari politik resistensi atau politik oposisi yang
memberikan suatu konstruksi “tandingan” bagi kelompok-kelompok dominan.
Batasan-batasan di dalam menentukan lokasi bagi identitas di dalam ruang politik
kemudian merupakan sesuatu yang tidak dapat bersifat mutlak (fix), tidak bersifat
pasif, dan bersifat dialektis. Michael Keith dan Steve Pile (1993), menyarankan tiga
lokasi bagi batasan-batasan dalam “politik identitas baru (postmodern)”, yakni: (1)
lokasi bagi perjuangan (location of struggle); (2) komunitas resistensi (communities
of resistance); dan (3) ruang-gerak politik (political spaces). Lokasi bagi perjuangan
(location of struggle) merupakan suatu ruang dimana individu memasuki politik.
Ruang ini dapat bersifat riil (real space), imajiner (imaginary space), atau simbolik
(symbolic space). Dalam konteks ini, penentuan lokasi bagi masuknya individu ke
dalam politik haruslah ditempatkan di dalam relasi-nya dengan masyarakat. Yakni
berkaitan dengan:
“relasi-relasi sosial macam apa yang mereka bagi bersama; apakah mereka saling
berbagi pengalaman di bawah suatu penindasan; apakah perlu bagi kita untuk
mengabaikan perbedaan-perbedaan dalam rangka membentuk suatu aliansi
melawan hegemoni kekuasaan; Perbedaan-perbedaan manakah yang perlu
diartikulasikan dan mana yang tidak perlu bagi suatu perjuangan lebih lanjut” (Keith
dan Pile, 1993: 5-36).

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu-lah yang dapat menempatkan identitas ke


dalam lokasi politik, sehingga politik identitas bukan secara sederhana dimaknai
sebagai suatu pengorganisasian resistensi yang bersifat “biner”, yakni yang
mengkategorikan “kita” dengan “mereka”, melainkan sebagai suatu pengelolaan bagi
mobilisasi komunitas-komunitas resistensi. Komunitas resistensi memerlukan suatu
landasan (baik yang bersifat riil, imajiner, ataupun simbolik) yang memungkinkan
tumbuhnya formasi aliansi politik dan pemberdayaan aliansi dalam kelompok-
kelompok marginal. Oleh karena itu komunitas resistensi memperjuangkan ruang
gerak bagi politik identitas sebagai upaya penciptaan alternatif-alternatif
kemungkinan-kemungkinan politis (the alternatives of political possibilities). Salah
satu alternatif bagi kemungkinan-kemungkinan politis tersebut, misalnya dapat
dimulai dari pendefinisian kembali atau pencarian konsep dan kebutuhan
masyarakat atas “keadilan sosial” (social justice) yang selama ini hanya termuat di
dalam pengertian universal mengenai hak-hak manusia—suatu pengertian yang
melihat keadilan sosial semata-mata sebagai sesuatu yang secara aktual, melekat
(embedded) di dalam kondisi material dan kondisi hegemonik. Sehingga
pemahaman mengenai “keadilan sosial” haruslah disituasikan.
Dengan kata lain, konsep keadilan sosial memerlukan batasan-batasan yang
memungkinan bagi identifikasi aliansi-aliansi yang secara potensial menjadi basis
dari persamaan-persamaan/kemiripan-kemiripan (similarities), dan bukan
kesamaan-kesamaan/keseragaman (sameness). Perluasan konsep keadilan
sekaligus juga membuka peluang bagi perluasan artikulasi kesetaraan. Dengan kata
lain, politik identitas bukanlah suatu persoalan mengenai penyikapan individu secara
personal (personal attitude), melainkan lebih sebagai suatu penyikapan terhadap
dilema struktural di dalam mengartikulasikan kesetaraan dan mendistribusikan
keadilan sosial. Sehingga kemunculan berbagai rezim baru yang mengusung
wacana politik identitas sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai suatu ancaman
bagi kelangsungan peradaban manusia. Bahkan sebaliknya, membuka dimensi-
dimensi baru mengenai keadilan dan kesetaraan.

4. Mengapa karna exploitation suatu negara menyebabkan suatu negara


miskin
Penjajah tidak datang sbg bagian dari emigrasi massal, tapi lebih sebagai administrator atas
native peoples, melakukan kontrol dengan menggunakan ancaman force
(Inggris, Belanda di Hindia Timur, Japanese colonial*)*jugun ianfu sistem
Minoritas Eropa kelola wilayah dengan native labor force
Kontrol Eropa dg menggunakan militer & pengelolaan konstruksi sistim transportasi
Perusahaan2 kolonial total bersandar pada buruh lokal
Buruh lokal dikelola melalui indirect rule :ethnic – group leaders
Kontrol politik-militer (direct rule)

Anda mungkin juga menyukai