Rasisme itu sendiri merupakan satu bentuk perbedaan antara orang yang
satu dengan orang yang lainnya . Ada hal –hal yang bisa dilihat( observable)
yaitu phenotypical dan juga genothypical yaitu hal-hal yang genetic.
- Ras manusia
- Perbedaan fisik
Rasisme mempercayai bahwa satu ras lebih unggul dibandingkan ras yang
lainnya, mereka juga bertujuan untuk meraih ke tingkat ras yang superior
dibandingkan ras yang lainnya. Dan hal ini menjadi satu sistem kepercayaan.
Eksis dalam kehidupan bermasyarakat-diturunkan dalam satu generasi ke
generasi berikutnya melalui sosialisasi dan institusi pendidikan. (Hal ini
diwujudkan dalam prasangka rasial dan diskriminasi).
Rasisme biasa terjadi dalam kondisi hubungan kultural . Adanya perasaan
lebih superior dibandingkan dengan ras yang lainnya menyebabkan timbulnya
keinginan untuk mendominasi kekuatan rasnya di suatu wilayah . Rasisme itu
sendiri pertamakali dialami oleh kaum Yahudi. Hal ini disebabkan karena
kelompok Yahudi memiliki ritual, perilaku, dan sikap yang berbeda
dibandingkan dengan orang lainnya . Adanya supremasi dari orang-orang Eropa
lainnya untuk memarjinalkan kaum Yahudi. Yang perlu diketahui, sekali saja
suatu ras mengalami rasisme, maka hal ini akan terus dialami sampai generasi
berikutnya.
Rasisme dapat menyebabkan invasi militer. Mengapa ? hal ini dapat dilihat
ketika satu bentuk rasisme terjadi di suatu wilayah, maka kelompok yang
melakukan tindakan rasis tersebut akan melakukan satu bentuk “penaklukan”
untuk memarjinalkan ras atau kaum yang lainnya.
Kolonial mendominasi sumber alam dan labor dari wilayah koloni, dan
mungkin juga memaksakan kebudayaan, agama, dan bahasanya .
Superioritas teknologi tinggi Eropa
Kolonialisme itu sendiri merupakan satu bentuk dominasi antar yang satu
dengan yang lain.. sehingga hal ini merupakansalah satu hal yang dikaji
dalam politik identitas.
Di sini Jameson menekankan spesifikasi “ruang atau sekat” sebagai sesuatu yang
melahirkan posisi kesadaran subjek secara berbeda-beda. Sementara itu, Edward
Soja, seorang pemikir politik beraliran postmodernisme, melihat bahwasanya “ruang”
tersebut bukan sebagai sesuatu yang bebas dari kepentingan, melainkan dipenuhi
oleh politik dan ideologi yang membawa konsekuensi kepada posisi kesadaran
subyek:
“We must be insistently aware of how space can be made to hide consequences
from us, how relations of power and dicipline are inscribed into the apparently
innocent spatiality of social life, how human geographies become filled with politics
and identity.” (Soja, 1989: 6)
Meski demikian, pandangan semacam itu ditentang oleh Jenny Bourne (1987), yang
melihat pengertian politik identitas sebagai suatu kemunduran proyek politik yang
bersifat emansipatoris karena politik identitas merupakan suatu wujud eksploitasi
keluar (mobilisasi individu) dan penindasan ke dalam diri subjek (manipulasi
kesadaran), sebab yang dipentingkan dalam relasi sosial adalah upaya untuk
menekankan “Who I am--Siapa Saya!” (Bourne, 1987:1). Pandangan yang
dikemukakan oleh Bourne ini sebenarnya secara implisit menafikan konsepsi
mengenai individu sebagai subjek atau manusia yang rasional, yang memiliki
pengetahuan yang bukan hanya disituasikan (dikonstruksikan), melainkan juga
pengetahuan untuk menciptakan situasi (konstruksi), dan memiliki kehendak bagi
dirinya sendiri. Suatu perdebatan yang sebenarnya sudah lama berlangsung, yakni
berkenaan dengan posisi subjektivitas sebagai suatu konstruksi sosial ataukah
sebagai suatu esensi dari kondisi yang sudah ada dan tak terbantahkan (pre-given
essence). Misalnya, apakah homoseksualitas-heteroseksualitas merupakan
konstruksi sosial atau diwarisi secara natural?
Posisi subjektivitas dalam relasi-nya dengan kondisi objektif sesungguhnya bersifat
dialektis, sesuatu yang gagal dipahami oleh Marx dalam penjelasannya mengenai
“alienasi” (keterasingan) yang dialami oleh kaum buruh dengan barang-barang yang
telah mereka produksi. Kegagalan analisis Marx baru dapat dibuktikan hampir satu
abad kemudian, ketika proses ambigu di dalam kapitalisme juga melahirkan kelas-
kelas sosial baru, dimana kapitalisme bukan hanya mengubah mode of production
‘cara-cara memproduksi’, tetapi juga mengubah mode of consumption ‘cara-cara
mengonsumsi’ (George Ritzer, 2000). Menurut Liz Bondi (1993), kegagalan
diagnosis Marx termuat di dalam penjelasannya mengenai posisi subjektif di dalam
relasinya dengan kondisi objektif, dimana kesadaran (conscioussness) merupakan
suatu produk dari kondisi-kondisi yang diciptakan oleh relasi-relasi kelas, dan bukan
sebagai suatu tindakan manusia (human action) yang rasional. Liz Bondi juga
melanjutkan bahwa gagasan yang diusung oleh Sigmund Freud memiliki asumsi
yang setara (paralel) dengan gagasan Marx. Menurutnya, Freud melihat kesadaran
(consciousness) sebagai sesuatu yang “dikonstruksikan” sebagai suatu respon atas
ketidaksadaran (un-consciousness), dimana ketidaksadaran merupakan produk dari
tekanan (represi) dari harapan atau kehendak-kehendak, khususnya yang kita alami
di masa kanak-kanak. Jadi, dalam pemikiran Freud, ketidaksadaran individu “tidak
dapat sepenuh-nya kita kenali secara langsung”, sehingga keberadaannya
melahirkan bentuk-bentuk kesadaran yang manipulatif, tidak pernah sepenuhnya
rasional, atau tidak pernah merasa betul-betul aman (secure). Liz Bondi
menyimpulkan bahwa pandangan Marx dan Freud telah menempatkan individu
sebagai suatu makhluk yang tidak dapat utuh, dan selalu tercerabut (Bondi, 1993:
87-91).
Meski demikian, Liz Bondi menegaskan bahwa pandangan semacam itu menjadi
“tantangan” bagi formulasi perspektif humanisme-liberal Barat yang didasari oleh
filsafat Cartesian mengenai “cogito”, yang menempatkan individu sebagai makhluk
yang sepenuhnya mandiri (autonomous), subyek yang sepenuhnya berdaulat
(sovereign subject), dan karenanya manusia memiliki kestabilan dan sulit teralienasi.
Perspektif tersebut melihat kesatuan yang utuh dan mandiri di dalam diri individu,
yang menciptakan basis bagi setiap orang (manusia) untuk mengidentifikasikan diri
mereka satu sama lainnya sebagai makhluk yang “setara” (equals) (ibid:85-7).
Konsekuensi dari pandangan humanisme-liberal ini kemudian menjadi dasar
argumentasi bagi “tuntutan emansipatorik” (emansipatory necessities) sebagai “nilai-
nilai kesetaraan” bagi seluruh manusia, dan karena itu pula mendorong upaya “hak-
hak bagi kesetaraan” (equal rights). Perspektif semacam inilah yang dominan di
dalam sudut pandang Demokrasi Liberal Barat. Akan tetapi, sudut pandang
semacam ini justru telah menjadi suatu mekanisme subordinasi, karena
menganjurkan bentuk-bentuk universalitas yang menindas keberbedaan. Sedangkan
bentuk-bentuk “keberbedaan yang tertindas” (suppressed differences) itu sendiri
adalah perbedaan-perbedaan yang dilahirkan sebagai konsekuensi dari ‘siapa yang
menduduki posisi kekuasaan dan siapa saja yang memiliki otoritas untuk
mendefinisikan pengetahuan’.
Ien Ang (2001), melihat pandangan demokrasi liberal-Barat sebagai suatu kualifikasi
bagi kualitas kesetaraan yang memuat unsur-unsur di dalam hegemoni budaya
Barat yang lahir dari sudut pandang kelas menengah (borjuis) kulit putih, sehingga
klaim universalitas di dalam kesetaraan itu meniadakan peran politik kelompok-
kelompok minoritas yang terpinggirkan. Sementara itu, melanjutkan pemikiran yang
dikembangkan oleh Liz Bondi; menurutnya, pandangan-pandangan yang
dikemukakan oleh Marx dan Freud justru dapat membuka kemungkinan-
kemungkinan baru untuk mempertahankan klaim-klaim normatif bagi humanisme-
liberal, ketimbang sebagai suatu proyek egalitarian yang ambisius (1993: 86).
Menurutnya, “identitas” yang membentuk kesadaran tentang diri kita sebagai
individu maupun makhluk sosial dikonstruksikan melalui proses-proses kultural dan
bukan bersifat “pre-given”. Konstruksi ini menyiratkan suatu proses kultural yang
tidak memerlukan atribut-atribut kemanusiaan universal, melainkan suatu
diferensiasi dan gerakan dimana identitas merupakan karakteristik masyarakat
modern. Kelompok-kelompok yang tersubordinasi dapat menggunakan pemikiran
semacam ini untuk membuka tabir kepalsuan yang ditawarkan oleh pemikiran
mengenai otoritas “individu” yang mutlak, untuk mempertahankan posisi mereka
sebagai “the other” atau minoritas. Dengan demikian, maka konstruksi bagi identitas
alternatif merupakan bagian dari politik resistensi atau politik oposisi yang
memberikan suatu konstruksi “tandingan” bagi kelompok-kelompok dominan.
Batasan-batasan di dalam menentukan lokasi bagi identitas di dalam ruang politik
kemudian merupakan sesuatu yang tidak dapat bersifat mutlak (fix), tidak bersifat
pasif, dan bersifat dialektis. Michael Keith dan Steve Pile (1993), menyarankan tiga
lokasi bagi batasan-batasan dalam “politik identitas baru (postmodern)”, yakni: (1)
lokasi bagi perjuangan (location of struggle); (2) komunitas resistensi (communities
of resistance); dan (3) ruang-gerak politik (political spaces). Lokasi bagi perjuangan
(location of struggle) merupakan suatu ruang dimana individu memasuki politik.
Ruang ini dapat bersifat riil (real space), imajiner (imaginary space), atau simbolik
(symbolic space). Dalam konteks ini, penentuan lokasi bagi masuknya individu ke
dalam politik haruslah ditempatkan di dalam relasi-nya dengan masyarakat. Yakni
berkaitan dengan:
“relasi-relasi sosial macam apa yang mereka bagi bersama; apakah mereka saling
berbagi pengalaman di bawah suatu penindasan; apakah perlu bagi kita untuk
mengabaikan perbedaan-perbedaan dalam rangka membentuk suatu aliansi
melawan hegemoni kekuasaan; Perbedaan-perbedaan manakah yang perlu
diartikulasikan dan mana yang tidak perlu bagi suatu perjuangan lebih lanjut” (Keith
dan Pile, 1993: 5-36).