Anda di halaman 1dari 8

1.

Ras
Apakah yang dimaksukan dalam konsep ras? Banton (1967:55-76) mengemukakan
bahwa kelompok ras dapat didefinisikan secara fisik maupun secara sosial. Namun menurutnya
kedua definisi tersebut tidak pernah dapat identik, karena pendefinisian secara fisik selalu
mengalami distorsi demi kepentingan definisi sosial sehingga antara definisi fisik dan definisi
sosial terjadi kesenjangan. Sebagai contoh Banton mengajukan pengalaman Henry Koster, yang
mengisahkan bagaimana di Brazil abad 19 seorang berdarah campuran (mullato) diperlakukan
sebagai orang Kulit Putih setelah ia berhasil meraih posisi tinggi dalam masyarakat. Banton
mengemukakan pula bahwa di banyak negara bagian Selatan Ameria seseorang yang
mempunyai seorang nenek moyang berkulit Hitam secara sosial akan didefinisikan dan
diperlakukan sebagai orang Kulit Hitam, meskipun secara fisik ia berdarah campuran dan
menurut warisan genetika ia mungkin lebih banyak berdarah Kulit Putih.
Bagi Banton ras merupakan suatu tanda peran (role sign); perbedaan fisik dijadikan
dasar untuk menetapkan peran yang berbeda. Dalam masyarakat ras majemuk yang
menghubungkan ras dengan harapan peran, kedudukan seseorang dalam dimensi
kekuasaan,prestise, dan privilese tergantung pada ciri fisik yang dibawanya sejak lahir. Apabila
didaerah Selatan Amerika di masa lampau seseorang secara sosial didefinisikan sebagai
orangKulit Hitam maka peran yang diharapkan orang Kulit Putih darinya ialah, antara lain, sikap
menghormat di kala berhadapan dengan orang Kulit Putih, tidak menatap wajah, tidak
berbicara lebih dahulu bila tidak di sapa, menghindari pokok bahasan tertentu dan sebagainya.
Redfield (1943) pun melihat bahwa konsep ras merupakan suatu gejala sosial yang
berlainan dengan konsep ras sebagai suatu gejala biologis. Menurutnya para ahli antropologi
fisik tidak akan menganggap orang Yahudi sebagai suatu kelompok ras biologis, karena menurut
mereka persamaan di antara mereka terlalu sedikit sedangkan persamaan dengan anggota
kelompok lain terlalu besar. Dengan demikian Redfield menjuluki kaum Yahudi sebagai
kelompok yang secara sosial di anggap sebagai kelompok ras (socially supposed race). Oleh
karena kesukaran mengidentfikasikan orang Yahudi secara fisik maka di kala kaum Nazi
berkuasa di Eropa orang yang di anggap sebagai warga ras Yahudi diwajibkan memakai pita
kuning atau bintang David.
Adanya keterkaitan antara pengelompokan sosial dengan ciri fisik nampak dalam definisi
v.d. Berghe. Menurut v.d. Berghe (1967:9) ras berarti kelompok yang didefinisikan secara sosial
atas dasar kriteria fisik (a group that is socially defined but on the basis of physical criteria).
Menurut v.d. Berghe sejumlah ilmuwan sosial enggan menggunakan istilah ras dan lebih
cenderung menggunakan istilah kasta (caste), dengan pertimbangan bahwa sebenarnya
kelompok ras memiliki dua ciri yang sama dengan kasta di India yaitu adanya endogami dan
status yang tidak dapat berubah. Ia sendiri tidak keberatan atas penggunaan istilah kasta untuk
mengacu pada kelompok ras namun berusaha membedakan istilah kasta di India dengan istilah
kasta dalam pengertian kelompok ras dengan jalan menggunakan istilah kastaras (racial caste)
atau kasta warna kulit (color caste. Lihat v.d. Berghe, 1967:11).
2. Kelompok Etnik
Kalau konsep kelompok ras didasarkan pada persamaan ciri fisik, maka konsep
kelompok etnik di dasarkan pada persamaan kebudayaan. Francis (1947) mengklasifikasikan
kelompok etnik (ethnic group) sebagai suatu bentuk Gemeinschaft ( apakah anda masih ingat
pembagian kelompok oleh Tonnies?) yang ditandai persamaan warisan kebudayaan dan ikatan
batin (we-feeling) diantara anggotanya. Menurut Francis kelompok etnik merupakan sejenis
komunitas yang menampilkan persamaan bahasa, adat kebiasaan, wilayah, sejarah,sikap, dan
sistem politik. Perumusan yang lebih jelas adalah definisi Morris berikut ini : Adistinct category
of the population in a large society whose culture is usually different fromour own. The
members of such a group are, or feel themselves, or are thought to be, bound together by
common ties of race or nationaly or culture (Morris,1968)
Mengingat bahwa di Indonesia dikenal konsep suku bangsa, pertanyaan yang akan
timbul ialah: apa beda konsep suku bangsa dengan kelompok etnik? Koentjaraningrat
(1983)berpendapat bahwa kedua bermakna sama namun mengusulkan agar istilah kelompok
etnik diganti dengan istilah golongan etnik atau suu-bangsa dengan alasan bahwa suku-bangsa
bukan kelompok melainkan golongan. Yang dimaksudkannya dengan golongan ialah
kategorisosial. Istilah golongan digunakan pula oleh Mely G. Tan, yang mengedit buku berjudul
Golongan etnik Tionghoa di Indonesia (1979)
3. Rasisme
Apakah yang dimaksudkan dengan istilah rasisme? Menurut Kornblum (1989:292):
Racism is an ideology based on the belief that an observable, suppsedly inherited trait,
such as skin color, is a mark of inferiority that justifies the discriminatorytreatment of
people with that trait.
Di sini rasisme didefinisikan sebagai suatu ideologi. Ideologi ini di dasarkan pada
keyakinan bahwa ciri tertentu yang dibawa sejak lahir menandakan bahwa pemilik ciri tersebut
lebih rendah sehingga mereka dapat di diskriminasi. Pandangan hampir serupa kita jumpai pula
dalam definisi v.d. Berghe berikut ini:
Racism is any set of beliefs that organic, genetically transmitted differences (whether
real or imagined) between human group are intrinsically associated with the presenceor
the absence of certain socially relevant abilities or characteristics, hence that
suchdifferences are a legitimate basis of individous distinctions between group
sociallydefined as races (167:11)
Dalam definisi ini v.d. Berghe menjelaskan bahwa ciri yang diperoleh melalui kelahiran itu
dikaitkan dengan ada-tidaknya ciri dan kemampuan sosial tertentu sehingga perlakuan berbeda
terhadap suatu kelompok ras tertentu dibenarkan
4. Sekisme
Disamping rasisme kita menjumpai pula ideologi lain yang juga berusaha membenarkan
diskriminasi terhadap kelompok lain atas dasar anggapan bahwa perbedaan yang dibawa sejak
lahir terkait dengan status lebih rendah. Salah satu diantaranya ialah sexism. Para penganut
ideologi ini misalnya percaya bahwa dalam hal kecerdasan dan kekuatan fisik laki-laki melebihi
perempuan, atau bahwa perempuan lebih emosional dari pada laki-laki. Atas dasar ideologi ini
dilakukanlah deskriminasi terhadap perempuan; dalam hal pendidikan dan pekerjaan, misalnya,
perempuan sering ditempatkan pada posisi yang kurang memerlukan kecerdasan dan kekuatan
fisik dan lebih menghendaki kecermatan dan emosi. Kita pun mendengar bahwa para karyawati
muda-terutama yang belum berkeluarga-sering mengalami godaan dan gangguan pihak atasan
atau rekan laki-laki sekantor yang mengarah kehubungan seks (pelecehan seks atau sexual
harrassment). Dalam masyarakat kita masih menjumpai orang tua yang lebih mengutamakan
pendidikan formal bagi anak laki-laki daripada bagi anak perempuan mereka dengan
mengemukakan bahwa pendidikan terlalu tinggi bagi anak perempuan tidak perlu karena
akhirnya mereka akan menjadi ibu rumah tangga. Andai kata pun anak perempuan dibiayai
pendidikan tingginya,orang tua pun masih sering merasa berhak menentukan jurusan yang
dipilih putrinya. Tidak jarang anak perempuan yang ingin melanjutkan studi yang cenderung
ditekuni laki-laki seperti misalnya matematika, ilmu pengetahuan alam atau teknologi terpaksa
mengurungkanniatnya karena orang tua mereka mengarahkan mereka ke bidang yang menurut
mereka lebih cocok dengan kodrat perempuan seperti bidang pendidikan dan keguruan,
kesejahteraan keluarga, kesekretariatan dan keperawatan. Dalam berbagai masyarakat
perempuan tidak mempunyai hak pilih
5. Ageism
Ideologi lain yang dikaitkan dengan ciri yang dibawa sejak lahir ialah ideologi bahwa
orang pada usia tertentu layak didiskriminasi karena mereka kurang mampu apa bila
dibandingkan dengan orang dalam kelompok usia lain (ageism). Dalam hal
pendapatan,misalnya, orang dibawah umur dan orang berusia lanjut cenderung menerima
lebih sedikit dari pada orang dewasa yang berada dalam usia kerja karena adanya ideologi
bahwa orang dalam usia kerja lebih produktif dari pada anak-anak atau orang berusia lanjut.
Dibidang kekuasaan kita sering menjumpai bahwa orang yang berada pada usia kerja pun
cenderung mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut nasib di bawah umur serta
orang berusialanjut, seperti misalnya keputusan mengenai pilihan pendidikan, pemenuhan
keperluan pokok, besarnya tunjangan pensiun dan sebagainya dengan alasan bahwa orang
dewasa berusia kerja lebih mengetahui apa yang baik bagi anak-anak dan orang berusia lanjut.
Stratifikasi berdasarkan kesehatan mental pun melibatkan perbedaan kekuasaan,
prestise dan privilese. Orang yang di nilai cacat mental oleh masyarakat harus tunduk pada
kekuasaan orang yang dinilai bermental sehat. Berulang kali kita memperoleh informasi dari
media massa bahwa di berbagai daerah kita orang yang sakit jiwa dipasung oleh keluarganya.
Dalam masyarakat industri maju orang yang sakit jiwa sering kali dirawat dirumah sakit jiwa
untuk jangka waktu lama di luar kehendak mereka. Di bidang prestise dan privilese status
mereka rendah pula karena mereka tidak mampu bertindak mandiri sehingga dalam semua
urusan harus diwakili orang lain.
6. Rasialisme
Dikala kita berbicara mengenai rasisme kita berbicara mengenai idelogi yang
membenarkan diskriminasi terhadap anggota kelompok ras lain. Apabila kita berbicara tentang
rasialisme, di pihal lain, kita tidak berbicara mengenai ideologi melainkan mengenai praktik
diskriminasi terhadap kelompok ras lain. Praktik berupa penolakan menjual atau menyewakan
rumah atau kamar kepada anggota kelompok ras atau etnik tertentu atau penolakan lamaran
kerja atau lamaran masuk sekolah yang diajukan oleh anggota kelompok ras atau etnik
tertentu, apabila didasarkan pertimbangan rasisme, merupakan praktik rasialis. Akhir-akhir ini
berkembang gejala rasialisme di beberapa negara Eropa, yang antara lain berbentuk serangan
fisik kelompok pemuda kulit putih terhadap orang asing seperti paramigran dan pengungsi dari
Timur Tengah yang telah membawa korban jiwa dan harta benda
7. Pola Hubungan Antarkelompok
Atas dasar perjalanan sejarah hubungan antarkelompok para ilmuwan sosial telah
mengidentifikasi berbagai kemungkinan pola hubungan. Banton (1967:68-76) misalnya
mengemukakan bahwa kontak antara dua kelompok ras dapat diikuti proses akulturasi,
dominasi, paternalisme, pluralismme, atau integrasi. Meskipun Bonton mengkhususkan diri
pada pola hubungan antarras, beberapa di antara pola yang disebutkannya dijumpai pula pada
hubungan antarkelompok lain.
Akulturasi terjadi mana kala kebudayaan kedua kelompok ras yang bertemu mulai
berbaur dan berpadu. Meskipun menurut Banton akulturasi sering terjadi antara kebudayaan
dua masyarakat yang posisinya relatif sama, namun ini tidak menutup kemungkinan terhadap
bentuk akulturasi antara dua masyarakat yang posisinya tidak sama. Di masa
penjajahan,misalnya, kita melihat bahwa kebudayaan orang Belanda di Indonesia menyerap
berbagaiunsur kebudayaan Indonesia, seperti cara berbusana (misalnya pemakaian bahan batik
untuk celana laki-laki), cara makan (misalnya makan nasi dengan lauk-pauknya yang dijuluki
rijsttafel), dan gaya berbahasa (misalnya penyerapan kata dari bahasa daerah).
Menurut v.d. Berghe (1967) dalam sejumlah kasus akulturasi disertai pula oleh proses
dekulturasi (deculturatiori). Contoh yang antara lain dikemukakannya ialah kasus hilangnya
kebudayaan asli dan hancurnya kehidupan keluarga orang Afrika yang secara paksa diculik
untuk dijadikan budak di Amerika Utara, dan dibunuhnya unsur pimpinan orang Aztec diMexico
oleh orang Spanyol yang diikuti dengan pemindahan penduduk secara paksa, penundukan, dan
penciptaan semacam sistem feodal baru (v.d. Berghe, 1967).
Dominasi terjadi bilamana suatu kelompok ras menguasai kelompok lain. Kedatangan
orang Kulit Putih di benua Asia, Afrika, Amerika dan Australia diikut dengan dominasi atas
penduduk setempat. Disamping dalam hubungan antar ras sebagaimana yang disebutkan
Banton, pola dominasi ini tentu kita jumpai pula dalam pengelompokan lain. Kita menjumpai,
antara lain, bahwa suatu kelompok etnik mendominasi kelompok etnik lain, laki-laki
mendominasi perempuan, orang kaya mendominasi orang miskin, orang dewasa mendominasi
orang yang belum cukup umur dan sebagainya
Dalam kaitan dengan dominasi ini ada baiknya kita memperhatikan empat macam
kemungkinan proses yang menurut Kornblum (1988) dapat terjadi dalam suatu hubungan
antarkelompok, yaitu pembunuhan secara sengaja dan sistematis terhadap anggota suatu
kelompok tertentu (genocide), pengusiran, perbudakan, segregasi dam asimilasi. Kita
lihat,misalnya, bahwa dalam berbagai kasus dominasi dilakukan bersamaan dengan
pembunuhan terhadap penduduk.
Selama Perang Dunia II sekitar enam juta orang Yahudi dibunuh secara masal oleh kaum
Nazi Jerman. Contoh lain dalam sejarah mengenai genocide ialah, antara lain, pembunuhan
yang di alami warga suku Aztec di Mexico di tangan orang Spanyol, suku Indian di tangan orang
Amerika, orang Cambodia di tangan rezim Khmer Merah di bawah Pol Pot, dan orang Bushmen
di tangan orang Boer di Afrika Selatan. Pembunuhan yang dilakukan orang Serbia terhadap
sejumlah besar warga Muslim di Bosnia-Herzegovina sejak tahun 1992 dan terhadap orang
keturunan Albania di Kosovo pada tahun 1999-suatu prosesyang oleh pers diberi nama ethnic
cleansing (pembersihan etnik yang selain pembunuhan melibatkan pula pengusiran jutaan
warga Muslim Bosnia dan Kosovo, penahanan, penganiayaan dan perkosaan terhadap kaum
perempuan) termasuk dalam kategori ini (lihat,antara lain, TIME No. 33 th 1992). Kematian
warga suatu kelompok ras dalam jumlah besar sering terjadi pula karena mereka menjadi
korban berbagai penyakit baru yang dibawa oleh kelompok ras pendatang yang dominan.
Pengusiran terhadap warga suatu kelompok ras atau etnik merupakan pola yang sering
terjadi dalam sejarah. Di Uganda pernah terjadi pengusiran terhadap orang keturunan India.Di
Indonesia pernah ada larangan bagi orang asing untuk berspasangan di pedesaan, dengan
akibat bahwa sejumlah besar warga negara asing keturunan Tionghoa terpaksa pindah dari
daerah pedesaan ke daerah perkotaan atau bahkan ke luar negri. Berbagai bentrok
anantarkelompok yang terjadi pada tahun 1999 di berbagai daerah yang diwarnai pembunuhan
dan pembakaran kawasan hunian telah mengakibatkan pengungsian sejumlah besar warga
kelompok migran asal Madura dari Kabupaten Sambas dan warga asal Sulawesi Selatan dari
Pulau Ambon. Pemerintah Israel secara berkala mengusir warga Palestina dari tepi Baratsungai
Jordan sedangkan pembangunan permukiman Yahudi di kawasan tersebut berjalanterus.
Menurut Banton paternalisme adalah suatu bentuk dominasi kelompok ras pendatang
atas kelompok ras pribumi. Banton mengemukakan bahwa pola ini muncul mana kala kelompok
pendatang yang secara politik lebih kuat mendirikan koloni di daerah jajahan. Dalam pola
hubungan ini Banton membedakan tiga macam masyarakat: masyarakat metropolitan (di
daerah asal pendatang ), masyarakat kolonial yang terdiri atas para pendatang serta sebagian
dari masyarakat pribumi, dan masyarakat pribumi dijajah. Dalam pola hubungan paternalismme
ini penduduk pribumi tetap berada di bawah kekuasaan penguasa pribumi, namun penguasa
pribumi mengakui kedaulatan penguasa asing atas wilayah mereka. Di masa penjajahan pola
seperti ini pernah diterapkan Belanda di berbagai daerah di Indonesia.
Integrasi yang dimaksudkan Banton ialah pola hubungan yang mengakui adanya
perbedaan ras dalam masyarakat tetapi tidak memberi makna penting pada perbedaan ras
tersebut. Hak dan kewajiban yang terkait dengan ras seseorang hanya terbatas pada bidang
tertentu saja dan tidak ada sangkut-pautnya dengan bidang pekerjaan atau status yang diraih
dengan usaha.
Menurut Banton Pluralism merupakan suatu pola hubungan yang di dalamnya
mengenal pengakuan persamaan hak politik dan hak perdata semua warga masyarakat namun
memberikan arti penting lebih besar pada kemajemukan kelompok ras dari pada dalam pola
integrasi. Dalam pola ini solidaritas dalam masing-masing kelompok ras lebih besar.
Perlu di kemukakan di sini bahwa penulis lain mempunyai gambaran berbeda mengenai
konsep pluralisme ini. Furnivall, misalnya, berpendapat bahwa masyarakat majemuk
merupakan suatu masyarakat yang di dalamnya kelompok berbeda tercampur tetapi tidak
berbaur. Contoh yang dikemukakannya ialah masyarakat indonesia di masa penjajahan,yang di
dalamnya mempunyai tiga kelompok ras yang hidup berdampingan dalam satuanpolitik yang
sama namun menurutnya terpisah: kelompok Eropa, kelompok Timur Asing,dankelompok
pribumi (lihat Furnivall,1948). Contoh lain dari masyarakat majemuk dalam artianini menurut
Broom dan Selznick (1977) ialah masyarakat Kanada yang terdiri atas dua kelompok utama:
kelompok keturunan Prancis di Quebec dan kelompok keturuna Inggris,masyarakat Swiss yang
terdiri atas dua kelompok agama (Protestan dan Katolik) dan mengenal tiga bahasa nasional
(Jerman, Italia dan Perancis), dan masyarakat Afrika Selatanyang terdiri atas kelompok Kulit
Putih dan kelompok Kulit Berwarna (kelompok Kulit Hitamdan kelompok Keturunan Asia).
Banton berpendapat bahwa suatu pola mempunyai kecenderungan untuk lebih berkembang ke
suatu arah tertentu dari pada ke arah lain.Dikemukakannya, antara lain, bahwa pola dominasi
cenderung mengarah ke pola pluralisme,sedangkan pola akulturasi dan pola paternalisme
cenderung mengarah ke pola integrasi.
Stanley Lieberson pun mencoba mengklasifikasikan pola hubungan antarkelompok (lihat
Lieberson, 1961). Menurutnya kita dapat membedakan antara dua pola utama: pola dominasi
kelompok pendatang atas kelompok pribumi (migrant superordination), dan pola dominasi
kelompok pribumi atas kelompok pendatang (indigenous superordination). Pola dominasi
pendatang terutama kita jumpai dalam kasus kedatangan orang Eropa ke berbagai daerah di
Asia, Afrika dan Amerika. Pola dominasi kelompok pribumi atas pendatang kita jumpai dalam
kasus negara Eropa dan Amerika yang menerima imigran dari negara lain;;misalnya dominasi
kelompok Kulit Putih di Inggris, Perancis, Amerika Serikat atas paraimigran.
Menurut Lieberson perbedaan pola hubungan superordinasi-subordinasi antara migran-
penduduk asli menentukan pula hubungan antara kedua kelompok. Dikemukakannya,antara
lain, bahwa pengendalian politik dan ekonomi oleh migran menghasilkan perubahan besar pada
institusi politik dan ekonomi serta demografi penduduk setempat dan suatu waktucenderung
memancing reaksi keras dari mereka. Dari sejarah masyarakat kita tentu masihkita ingat bahwa
dominasi Belanda di Pulau Jawa antara lain ditandai kebijaksanaan ekonomiberupa perubahan
pertanian padi yang berorientasi pada konsumsi sendiri menjadi pola pertanian tanaman yang
berorientasi pada ekspor. Kebijaksanaan ini membawa dampak besarpada struktur penduduk;
Geertz (1963) misalnya mengemukakan bahwa kebijaksanaanbelanda dalam penanaman tebu
mengakibatkan peningkatan jumlah penduduk Pulau Jawa.Kita pun telah melihat bahwa di
berbagai kawasan kedatangan dan dominasi orang Barattelah mengakibatkan berkurangnya
jumlah penduduk setempat karena dilaksanakannyagenocide dan tersebarnya penyakit baru.
Dominasi pribumi di bidang ekonomi dan politik, di pihak lain, kurang memancingkonflik
dengan pihak migran yang didominasi. Penguasa pribumi cenderung dapatmempertahankan
keutuhan institusi politik dan ekonomi mereka.
Dalam bidang kontak dengan kelompok etnik lain Lieberson melihat bahwa dalam
rangka memantapkan kepentingan mereka kelompok migran dominan kadang kala mengubah
komposisi penduduk dengan jalan mendatangkan migran dari kelompok lain. Orang
Inggris,Amerika dan Portugis, misalnya, mendatangkan orang Afrila ke Amerika untuk
dipekerjakan sebagai budak di perkebunan; untuk memenuhi keperluan akan tenaga
pengusaha orang Belanda mendatangkan orang Tionghoa ke Indonesia dan orang Inggris
mendatangkan orang India ke Fiji; orang Jawa dikirim Belanda ke Suriname untuk bekerja di
perkebunan. Kelompok pribumi dominan, di pihak lain, berusaha mempertahankan dominasi
mereka dengan jalan mengendalikan jumlah dan jenis migran yang masuk dalam masyarkat
mereka.
Perbedaan lain yang di lihat Lieberson terletak di bidang konflik dan asimilasi.Lieberson
melihat bahwa di situasi dominasi migran sering terjadi perang antara migran dan penduduk
setempat, dan bahwa di kalangan penduduk setempat sering berkembang nasionalisme yang
kuat. Dalam situasi dominasi penduduk setempat, di pihak lain, kelompok migran cenderung
mengasimilasikan diri dengan penduduk setempat.

Anda mungkin juga menyukai