Anda di halaman 1dari 15

1

KONSEP SUATU BANGSA

OLEH :

DJAMALI MOKOGINTA 203042022

ABD MUKHLIS YONU 173042008

RUSNI DJAFAR 203042021

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

IAIN SULTAN AMAI GORONTALO TAHUN 2021


2

BAB I
INDIVIDU DAN MASYARAKAT, DIFERENSIASI SOSIAL DAN STRATIFIKASI SOSIAL.

A. INDIVIDU

Individu, merupakan konsep yang berasal dari bahasa Latin yaitu individum yang
berarti yang tidak terbagi (individed). Tidak terbagi maksudnya adalah sebagai satuan
makhluk hidup memiliki jiwa dan raga, fisik dan psikis. “Individu dapat digunakan untuk
menunjuk seseorang manusia untuk dapat dibedakan dengan individu lainnya. Konsep
individu berlaku umum, sebagai ganti menyatakan satu orang. Di dalam bahasa Inggris
terdapat konsep person, berarti seseorang atau pribadi, karena person itulah yang
memiliki personality atau kepribadian. Inilah yang membedakan seorang individu
sebagai person dengan person lainnya. Individu sebagai person inilah di dalam konteks
mata kuliah ini dijelaskan sebagai satuan person, bagian terkecil atau anggota
masyarakat.

Keluarga adalah kelompok sosial yang paling penting oleh seorang individu.
Keluarga yang paling kecil disebut dengan keluarga inti, keluarga batih (somah) atau
nuclear family, yang terdiri dari seorang laki-laki (ayah), seorang perempuan (ibu) dan
anak yang belum menikah. Kelompok yang lebih besar adalah keluarga luas, extended
family, yaitu kelompok orang yang terikat hubungan perkawinan dan garis keturunan
yang lebih besar dari keluarga inti. Kelompok ini bisa berasal dari keluarga inti maupun
tidak. Keluarga luas yang berasal dari keluarga inti apabila terjadi perkawinan dari anak-
anak yang telah dewasa dan masih menetap bersama suami atau isteri dengan orang
tuanya. Keluarga luas yang tidak berasal dari hasil perkawinan adalah karena keluarga
inti tersebut bertambah keanggotaannya dengan datangnya anggota baru masuk
menjadi anggota keluarga tersebut, misalnya sebagai pembantu rumah tangga, sopir
keluarga dan lain sebagainya.

Menurut Parsudi Suparlan, para ahli antropologi melihat keluarga sebagai suatu
satuan sosial terkecil yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial. Pendapat ini
didasarkan atas kenyataan bahwa sebuah keluarga adalah suatu kesatuan kekerabatan
yang juga merupakan suatu tempat tinggal yang ditandai oleh adanya kerjasama
ekonomi dan mempunyai fungsi untuk berkembang biak, mensosialisasi dan mendidik
anak dan menolong serta melindungi yang lemah khususnya merawat orang-orang tua
mereka yang telah jompo.
3

Keluarga inti maupun keluarga luas memiliki fungsi-fungsi yang sama. Secara
tradisional peran keluarga luas lebih dominan dibanding keluarga inti, karena adanya
fungsi kerjasama secara ekonomi yang lebih luas, dalam pengertian adanya kesatuan
komunal dengan kepemilikian dan ekonomi komunal pula. Namun seiring dengan
perkembangan masyarakat ke dalam masyarakat industri, keluarga inti menjadi lebih
penting, karena keluarga inti menjadi satuan ekonomi yang penting sebagai pengganti
keluarga luas dalam konteks komunal seperti cara-cara keluarga luas tradisional.

Di dalam sistem kekerabatan, perkembangan dari keluarga inti dan keluarga luas
adalah terbentuknya kelompok keturunan yang disebut dengan lineage, seperti kaum
pada orang Minangkabau. Selanjutnya kelompok keturunan yang terbesar secara
antropologi disebut dengan clan atau klen, seperti suku pada orang Minangkabau dan
Mentawai, atau marga pada orang Batak. Kelompok keturunan – secara matrilineal,
patrilineal atau gabungan keduanya (bilineal) - ini masih kuat menjadi rujukan dalam
pembentukan identitas individu dan kelompok di dalam satu sukubangsa.

B. MASYARAKAT
Sebelum menjelaskan lebih jauh, labih baik jelas apa yang dimaksud dengan
masyarakat (society) yang sering dibicarakan dalam hand out ini. Konsep society
berasal dari bahasa Latin socious yang berarti teman atau kawan. Konsep ini
mengindikasikan bahwa yang namanya teman pastilah ada proses interaksi di
antara orang atau person yang berteman tersebut. Konsep masyarakat di dalam
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab, syaraka yang artinya berkumpul. Di
dalam konsep tersebut dapat dimengerti bahwa di dalam berkumpul tersebut pasti
juga terjadi interaksi antar person yang berkumpul tersebut. Inilah ciri dasar manusia
sebagai makhluk sosial, yang selalu membutuhkan dan adanya saling
ketergantungan sesamanya di dalam suatu kelompok. Kelompok yang saling
berinteraksi yang dapat disebut sebagai masyarakat apabila memiliki rasa identitas
bersama sebagai bagian dari kelompok tersebut. Satu poin lagi dari sebuah
masyarakat adalah wilayah dimana kelompok tersebut menetap. Itulah beberapa
karakteristik dari kelompok manusia yang bisa dikatakan sebagai masyarakat
(society). Identitas kelompok suatu masyarakat tertentu dapat tumbuh apabila
individu-individu di dalamnya telah berinteraksi dalam waktu yang lama di wilayah
tertentu dan membentuk kesadaran sebagai bagian dari kelompok masyarakat
tersebut.
4

C. DIFERENSIASI SOSIAL DAN STRATIFIKASI SOSIAL


Diferensiasi sosial dan stratifikasi sosial merupakan dua konsep dalam ilmu
sosial terutama sosiologi yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang terdapat
di dalam masyarakat. Konsep diferensiasi menekankan perbedaanperbedaan yang
terdapat di antara berbagai kelompok sosial. Perbedaan tersebut dapat berupa
perbedaan kesukubangsaan atau etnisitas, perbedaan agama, mata pencaharian
atau pekerjaan, ras, ideologi dan lain sebagainya. Diferensiasi pada prinsipnya
merupakan cara pandang yang menekankan perbedaan-perbedaan dari berbagai
kelompok yang berbeda di dalam masyarakat tanpa melihat adanya kelompok yang
lebih tinggi atau lebih rendah.

Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial atau jenjang sosial pada sisi lain juga
merupakan cara pandang terhadap kelompok-kelompok yang berbeda di dalam
masyarakat dengan penekanan kepada adanya perbedaan atas lebih tinggi atau
lebih rendah dari berbagai kelompok sosial. Cara pandang yang membedakan atas
strata tersebut sering berdasakan kepada perbedaan secara ekonomi atau terhadap
memiliki atau tidak memiliki. Karl Marx yang terkenal dengan konsep ‘kelas’ yang
terdiri dari borjuis dan proletar karena perbedaan atas memiliki atau tidak memiliki
faktor-faktor ekonomi dan alat produksi yang menyebabkan munculnya eksploitasi
dari kelas borjuis terhadap proletar, yang menjadi sumber konflik. Di dalam agama
Hindu juga dikenal adanya stratifikasi berdasarkan kepada penggolongan orang
yang justru didasari oleh agama sehingga adanya penggolongan orang, tinggi dan
lebih rendah. Cara pandang yang menempatkan mata pencaharian tertentu lebih
tinggi atau lebih rendah dari yang lainnya dengan sendirinya menciptakan stratifikasi
di dalam masyarakat. Departemen Pendidikan di masa Orde Baru dan setelah
Reformasi juga menciptakan cara pandang yang menganggap pilihan peminatan
kelompok mata pelajaran ilmu eksak lebih tinggi dari mata pelajaran ilmu sosial.
Sehingga siswa yang juara di kelasa dikelompokkan ke dalam kelompok ilmu eksak
atau IPA. Di dalam kurikulum 2013 pandangan stratifikasi ini coba dihilangkan
dengan mensetarakan ilmu eksak dengan ilmu sosial dan humaniora. Pilihan siswa
adalah berdasarkan keinginan atau peminatan. Jadi stratifikasi sosial diciptakan di
dalam masyarakat atau perbedaan-perbedaan yang diciptakan masyarakat itu
sendiri.
5

BAB II
SUKUBANGSA (ETHNIC GROUP) DAN ETNISITAS

A. KONSEP SUKUBANGSA (Ethnic Group)


Konsep sukubangsa atau kelompok etnik (ethnic groups) merupakan konsep
yang sudah melekat di dalam antropologi, karena sejak lahirnya antropologi, para
ahlinya sudah bekerja menggali kebudayaan kelompok etnik atau sukubangsa dari
berbagai belahan dunia ini. Para antropolog barat sejak awal abad keduapuluh
sudah bertebaran di muka bumi untuk menggali dan mendeskripsikan berbagai
kelompok etnik yang ribuan jumlahnya. Hasil-hasil penelitian ini dikumpulkan di
dalam ‘ensiklopedi’ yang diberi judul Human Relation Area Files (HRAF), yang
merupakan sebuah lembaga di Yale University di Amerika Serikat. Awalnya dengan
mengungkap sukubangsa yang masih hidup sederhana dengan kebudayaannya
atau struktur sosialnya, kemudian mulai beralih Mahasiswa mampu menjelaskan
konsep sukubangsa (ethnic group) dan kesukubangsaan (ethnicity) untuk mengenal
kebudayaan berbagai sukubangsa yang sudah mulai maju dan yang sudah maju,
seperti berbagai kebudayaan di Eropa dan Amerika. Penelitianpenelitian secara
wholistic dilakukan untuk mengungkap ‘rahasia tersembunyi’ di balik kebudayaan
manusia yang berbeda di berbagai belahan dunia.

Di dalam buku-buku antropologi seperti yang dideskripsikan oleh Narroll,


kelompok etnik dijelaskan sebagai populasi yang (1) secara biologis mampu
berkembang biak dan bertahan, (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan
sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, (3) membentuk jaringan
komunikasi dan interaksi sendiri, dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang
diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Koentjaraningrat menyatakan sukubangsa sebagai kelompok sosial atau kesatuan
hidup manusia yang mempunyai sistem interaksi, sistem norma yang mengatur
interaksi tersebut, adanya kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan
semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri. Sedangkan ahli lain
seperti Tumin menyatakan kelompok etnik adalah suatu kelompok sosial yang
berada dalam sesbuah sistem sosial dan kebudayaan yang lebih besar dan
mendasarkan pengelompokkan diri mereka pada status sosial khusus karena suatu
penurunan ciri etnik bawaan yang dianggap ada. Abner Cohen menyatakan
kelompok etnik adalah kesatuan orang-orang yang secara bersama-sama menjalani
6

pola-pola tingkah laku normatif, atau kebudayaan, dan yang membentuk suatu
bagian dari populasi yang lebih besar, saling berinteraksi dalam kerangka suatu
sistem sosial bersama, seperti negara. Oleh Parsudi Suparlan sukubangsa adalah
kategori atau golongan sosial. Sebagai golongan sosial, sukubangsa adalah
golongan sosial yang khusus yaitu askriptif, yaitu golongan sosial yang didapat
begitu saja. Sukubangsa itu ada dan dikenal karena adanya interaksi dengan
sukubangsa lainnya dan melalui adanya interaksi ini ada pengakuan mengenai
keberadaan dan ciri-cirinya yang saling berbeda. Di antara ciri-ciri sukubangsa
sebagai golongan sosial, yang terpenting yang membedakan sukubangsa dan
golongan sosial lainnya adalah ciri-cirinya yang aksriptif yang mincul dan lestari di
dalam interaksi yang menghasilkan pengakuan, atau saling mengakui dan diakui.8
Selanjutnya Suparlan menyatakan ciri-ciri sukubangsa sebagai berikut: (1) Sebuah
satuan kehidupan yang secara biologi mampu berkembang biak dan lestari; (2)
Mempunyai kebudayaan serta pranata-pranata yang mereka miliki bersama, yang
merupakan pedoman bagi kehidupan mereka, yang secara umum berbeda dari yang
dipunyai oleh kelompok atau masyarakat sukubangsa lainnya; (3) Keanggotaan
dalam sukubangsa yang bercorak aksriptif, yaitu keanggotaan yang didapat oleh
seseorang dengan begitu saja, bersamaan dengan kelahirannya yang mengacu
kepada kesukubangsaan orang tua yang melahirkannya dan/atau daerah asal
tempat kelahiran dan dibesarkannya hingga dewasa.

Dari beberapa defenisi tersebut sukubangsa (ethnic group) dapat dilihat dari
beberapa ciri seperti bahasa, garis keturunan, rasa identitas, kebudayaan, mengaku
dan diakui, dan daerah asal. Bahasa memang menjadi ciri yang menonjol, tetapi
orang lain di luar sukubangsa yang bersangkutan bisa saja memiliki kemampuan
berbahasa yang luar biasa. Siapapun dapat belajar bahasa Inggris dan dapat
menjadi fasih seperti orang Eropa atau Amerika berbahasa, tetapi penampilan fisik
yang berbeda ras jelas dapat membedakan. Untuk banyak sukubangsa di Indonesia
yang memiliki penampilan fisik yang tidak jauh berbeda bisa juga meragukan apabila
seseorang dapat menguasai bahasa sukubangsa lain yang telah dipelajarinya
dengan baik. Tetapi penguasaan aturan kebudayaan dengan nilai-nilai yang
tercakup di dalamnya mungkin menjadi pembeda karena tidak dapat dikuasai
sepenuhnya jika tidak hidup lama di kebudayaan sukubangsa tersebut. Maka cara-
7

cara bertindak yang baik atau tidak baik menurut kebudayaan sukubangsa tertentu
bisa saja berbeda dengan kebudayaan sukubangsa lain.
Sukubangsa bisa diketahui dari bahasa yang sama dari masing-masing anggota
sukubangsa tersebut. Oleh karena itu bahasa menjadi indikator yang penting,
sehingga orang lain dapat mengakui bahwa seseorang atau person tersebut dapat
diakui sebagai anggota dari sukubangsa tertentu. Kesamaan identitas ini dapat
tumbuh jika seseorang dilahirkan dan dibesarkan di dalam kelompok sukubangsa
atau lingkungan sosialnya dimana dia dibesarkan. Pengenalan bahasa yang
diajarkan sejak lahir itu sekaligus merupakan pengenalan terhadap kebudayaan
sukubangsa bersangkutan. Bahasa sebagai indikator atau ciri yang utama dari
sebuah sukubangsa. Bahasa juga dapat dipelajari oleh orang dari kebudayaan yang
berbeda sampai menguasai bahasa tersebut dengan fasih. Persoalannya adalah
pada pemaknaan dan penguasaan kebudayaan oleh individu tersebut.

B. ETNISITAS
Etnisitas atau kesukubangsaan oleh Parsudi Suparlan adalah identitas atau
jatidiri sukubangsa yang dipunyai oleh seseorang, yaitu karena seseorang tersebut
mengaku sebagai termasuk dalam sesuatu golongan sukubangsa dan diakui oleh
orang lain yang termasuk sebagai golongan sukubangsa lainnya. Kottak menyatakan
ethnicity is based on common cultural traditions – not mainly on biological features,
as race is. (Kesukubangsaan didasarkan atas tradisi-tradisi kebudayaan, bukan oleh
bawaan biologis seperti ras). Etnisitas ini muncul di dalam proses interaksi oleh para
pelaku, karena dalam interaksi seseorang akan memperlihatkan ciri-ciri atau atribut
kesukubangsaannya. Seseorang bisa memiliki beberapa identitas atau jatidiri.
Seorang Minangkabau berinteraksi dengan orang Aceh dia akan menidentifikasikan
jatidirinya sebagai orang Minang, tetapi apabila dia berinteraksi dengan sesama
orang Minang lainnya maka dia akan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang
Pariaman atau Batusangkar.

Menurut Suparlan, di antara jatidiri yang dipunyai oleh seseorang, jatidiri


sukubangsa adalah jatidiri yang askriptif yang tidak bisa dibuang dan atau diganti
begitu saja oleh jatidiri lainnya, karena jatidiri tersebut menempel pada dirinya
bersama dengan kelahirannya yang didapat dengan mengacu pada asal muasal
orang tua dan/ atau daerah asalnya. Walaupun tidak dapat dibuang dari dirinya atau
8

diganti begitu sajaoleh jatidiri sukubangsa lainnya atau jatidiri lainnya, jatidiri
sukubangsa atau kesukubangsaan itu dapat disimpan atau tidak digunakan dalam
interaksi bila jatidiri sukubangsa tersebut dianggap tidak perlu atau tidak relevan.
Pada bagian lain Suparlan menyatakan kesukubangsaan dapat dilihat sebagai
kekuatan sosial untuk menciptakan terwujudnya kohesi sosial di antara sesama
anggota sukubangsa. Kohesi sosial ini dapat diaktifkan dan diarahkan sebagai
solidaritas sosial yang berkekuatan paksa diberlakukannya suatu kebijakan politik
atau ekonomi, memenangkan persaingan memperebutkan sumberdaya, atau
menghancurkan kelompok sukubangsa lain yang menjadi lawan. Kesukubangsaan
sebagai kekuatan sosial tidak dapat ditawar atau diremehkan (non negotiable) pada
saat terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial.
9

BAB III
KEBUDAYAAN

A. PENGERTIAN KEBUDAYAAN
Kebudayaan merupakan konsep utama di dalam ilmu antropologi, terutama
antropologi budaya. Telah banyak defenisi yang diberikan terhadap konsep
kebudayaan ini. Dari kata asalnya kebudayaan dalam bahasa Inggris culture berasal
dari colere yang berarti mengolah, telah menimbulkan polemik di kalangan
antropolog Indonesia tentang cara mendefenisikannya ke dalam konsep atau istilah
Indonesia. Secara konseptual dalam tulisan-tulisan atau pembicaraan para ahli,
wartawan atau orang awam sering dijumpai penggunaan konsep yang berbeda-
beda, di antaranya kebudayaan, budaya, kultur atau kulturil. Perbedaan penggunaan
konsep kebudayaan yang merupakan proses me-Indonesia-kan konsep culture
tersebut itulah yang menjadi polemik para antropolog Indonesia.

Perbedaan pemahaman konsep culture ini juga disebabkan pemahaman yang


berbeda yang sering dijumpai dan kadang salah kaprah di dalam pembicaraan atau
media massa, seperti yang dapat kita lihat berikut ini. Dalam bahasa atau jargon
biologi sering disebut “mengkultur bakteri”, yang berarti membiakkan sekumpulan
bakteri di dalam tabung-tabung test laboratorium. “Orang itu tidak berbudaya.”
Kalimat itu kadang terdengar dari kalangan “kelas atas” untuk menyebut atau
menghina perilaku orang yang tidak sesuai dengan perilaku yang “halus” atau
“terhormat”. Dalam media massa juga sering ditemukan penggunaan istilah budaya
atau kebudayaan untuk menyebut sebuah masyarakat, seperti “kebudayaan
Minangkabau”, “Kebudayaan Mesir”, “Kebudayaan Cina” dan lain sebagainya. Di
kalangan ilmu arkeologi sering disebut “peninggalan kebudayaan Hindu kuno” untuk
menyebut semua produk atau artefak yang dibuat manusia zaman lampau. Oleh
seniman kebudayaan dimaksudkan sebagai semua hal yang indah-indah, seperti
konsep “budayawan” atau “pameran kebudayaan Asmat”, dan lain sebagainya. Di
dalam bidang pertanian, budaya (budidaya) dimaksudkan sebagai jenis tanaman
yang dijinakkan atau didomestifikasi atau dikembangkan, contoh; “pembudidayaan
kelapa sawit di lahan gambut”

Dalam antropologi konsep culture diterjemahkan pertama kali oleh Edward


Bernett Tylor pada tahun 1871 dalam bukunya Primitive Culture, sebagai ....is that
10

complex whole which include knowledge, beliefs, arts, morals, law, cusstom, and any
other capabilities and habits acquired by man as a member of society. Dalam
pengertian ini kebudayaan adalah that complex whole (keseluruhan yang kompleks),
yang terdiri dari any capabilities and habits (banyak kemampuan dan kebiasaan-
kebiasaan) manusia yang terdiri dari knowledge (pengetahuan), kepercayaan-
kepercayaan (beliefs), kesenian, moral, adat istiadat dan lain sebagainya, yang
dimiliki manusia sebagai anggota dari suatu masyarakat. Ini merupakan sebuah
defenisi yang umum atau tidak memihak dalam pengertian telah banyaknya defenisi
yang diberikan berdasarkan kepada latar belakang atau perspektif yang berbeda –
beda dari para ahli sesuai dengan aliran pemikiran atau pendekatan teoritis
(paradigma) yang dianutnya.

Kebudayaan inilah yang secara sederhana membedakan manusia dari binatang.


Manusia sejak dari peradaban awal umat manusia telah mengembangkan
kebudayaannya sebagai bentuk proses adaptasinya dengan lingkungan di mana
mereka tingggal dan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada
sejarah awal evolusi kebudayaan atau peradaban manusia peradaban dalam hal ini
tidak dibedakan dengan kebudayaan, tetapi cenderung dipakai untuk menunjukkan
kebudayaan yang menonjol pada satu masa tertentu orang baru menggunakan akal
fikirannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari sumber-sumber daya alam
berupa makanan dari tumbuhtumbuhan yang kemudian diolah dengan
menggunakan api. Penemuan api sudah merupakan satu kemajuan fikiran manusia
yang membedakannya dari binatang.
B. CIRI KEBUDAYAAN
Untuk pemahaman lebih jauh dapat dikatakan bahwa kebudayaan memiliki
beberapa ciri, di antaranya:
1. Culture is learned. Semua makhluk , binatang ataupun manusia belajar dari
situasi dan lingkungan untuk survive. Pada manusia, yang terjadi adalah
“cultural learning”, yaitu kapasitas manusia untuk mempelajari makna kultural
dari simbol dan signal, yang seringkali tidak punya hubungan alamiah
dengan benda yang diwakilinya.
2. Culture is symbolic. Kebudayaan atau kemanusiaan dari satu makhluk
menucul ketika makhluk itu mempunyai kemampuan untuk menyimbolkan.
Simbol adalah segala sesuatu yang bersifat verbal maupun non verbal dalam
11

sebuah bahasa yang memiliki makna menurut satu kebudayaan tertentu.


Hubungan antara simbol dengan yang disimbolkan (makna) adalah bersifat
arbitrari, konvensional dan hubungan itu tidak perlu natural. Sebagai contoh,
penilaian air atas suci atau tidak suci, warna merah bagi orang Cina dan lain
sebagaimnya.
3. Culture Seizes Nature. Manusia harus makan untuk hidup, ini adalah hal
yang alamiah. Tapi, apa jenis barang yang boleh dimakan, kapan barang itu
boleh dimakan dan bagaimana memakanannya? Ini adalah ajaran kultural.
Orang Islam tidak boleh makan babi, tidak boleh makan pada siang hari di
bulan puasa walaupun lapar.
4. Culture is shared. Budaya adalah sebuah ciri-ciri dari seorang individu.
Namun bukan ciri-ciri individu sebagai seorang individu, tetapi individu
sebagai angota dari seorang anggota masyarakat, satu kelompok suku
bangsa, satu golongan agama, dan sebagainya. Culture ditransmisikan di
dalam masyarakat, oleh karena itu kepercayaan, nilai, memories, cara
berfikir, dan semua unsur kebudayaan lain di dalam masyarakat tersebut
dimiliki bersama oleh seluruh anggota masyarakat. Ayah-ayah Minangkabau
sekarang adalah anak-anak Minangkabau beberapa tahun yang lalu. Mereka
tumbuh dalam kebudayaan Minangkabau, dalam bahasa Minangkabau dan
menyerap nilainilai dan kepercayaan-kepercayaan tertentu yang telah
diturunkan selama beberapa generasi.
12

BAB IV
HUBUNGAN ANTAR SUKUBANGSA

SUKUBANGSA DAN KEBUDAYAAN

Sukubangsa sebagai golongan sosial aksriptif, yaitu yang diperoleh melalui garis
keturunan, secara matrilinial, patrilineal ataupun matri-patrilineal (bilineal), menghasilkan
garis keturunan secara fisik (genetik biologis) – walaupun tidak mutlak – yang rata-rata
sama dari generasi sebelumnya dan keturunan secara sosial budaya yang meneruskan
nilai-nilai dan perilaku yang rata-rata sama dengan generasi sebelumnya. Inilah yang
kemudian disebut dengan tradisi, nilai dan prilaku yang tampak yang masih
dipertahankan oleh golongan sosial akriptif yang disebut dengan sukubangsa.
Sukubangsa merupakan kelompok sosial yang dapat dikatakan terbesar dan sekaligus
terkecil. Terbesar apabila jumlahnya mencapai jutaan dan puluhan juta, terkecil karena
sukubangsa terdapat pada kelompok sosial terkecil yaitu keluarga inti. Kelompok terkecil
ini menjadi dasar terbentuknya masyarakat yang lebih luas, karena setiap keluarga inti
pasti akan menghubungkan keluarga tersebut dengan keluarga atau kelompok lainnya.
Biasanya dari jaringan kekerabatan yang terdekat menurut aturan garis keturunan,
apakah patrilineal, matrilineal atau bilineal.

Keluarga inti (nuclear family) yang merupakan satuan kehidupan terkecil juga
merupakan satu kelompok sukubangsa, karena di dalamnya terdiri dari individu-individu
yang merupakan bagian terkecil dari satuan sukubangsa. Pada umumnya setiap
sukubangsa anggotanya lebih banyak yang menikah sesama sukubangsa yang sama.
Artinya keluarga merupakan wadah atau lembaga untuk pewarisan nilai-nilai
kebudayaan sukubangsa dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di dalam pedesaan
dengan kecenderungan masyarakat yang homogen persoalan-persoalan dalam
hubungan antar sukubangsa tidak akan ditemui. Persoalan baru muncul apabila ada
seseorang atau kelompok orang yang berbeda sukubangsa hidup di tengah-tengah
kelompok sukubangsa yang sama. Maka timbul sikap atau rasa ke-aku-an, kamu atau
anda, dia atau mereka. Dalam kelompok terkecil seperti keluarga inti sikap atau rasa
yang sama bisa muncul apabila suami isteri dan anak-anak tidak dapat meredam
persoalan yang mencakup sentimen kesukubangsaan. Tetapi persoalan menjadi
berbeda jika perkawinan yang terjadi antar sukubangsa (amalgamasi) tersebut sudah
didominasi oleh satu kebudayaan sukubangsa tertentu.
13

Dominasi kebudayaan sukubangsa tertentu di dalam satu keluarga bisa terjadi


apabila salah satu anggota keluarga senior [ayah/ ibu (fa/ mo)] adalah individu yang
dominan. Kedua, keluarga inti tersebut berada di dalam masyarakat yang mendominasi
kebudayaan salah seorang anggota keluarga senior [ayah/ ibu (fa/ mo)]. Kebudayaan
yang dominan di dalam masyarakat yang sama dengan kebudayaan ayah atau ibu itulah
yang akan menjadi kebudayaan sukubangsa anak-anak dari kelurga inti yang
bersangakutan. Tetapi apabila perkawinan amalgamasi ini berada di dalam masyarakat
yang didominasi oleh kebudayaan sukubangsa yang berbeda dengan kedua suami isteri
ini maka kecenderungannya adalah kebudayaan yang lebih dominan dari suami atau
isteri yang akan menjadi kebudayaan dan sukubangsa anak. Asumsi ini diberikan
berdasarkan pengamatan terhadap kasus-kasus keluarga amalgamasi. Parsudi
Suparlan justru menyatakan dalam kasus seperti ini akan menghasilkan kekacauan
dalam jati diri anak-anak.19 Ini diduga juga baru sebuah asumsi, karena setiap individu
sadar atau tidak pasti akan menidentifikasikan diri kepada salah satu kelompok sosial
terdekat dengannya. Maka pilihan akan identitas diri sejak dini pasti sudah dilakukan.

Di dalam masyarakat yang lebih luas dari masyarakat desa atau nagari di
Sumatera Barat seperti masyarakat kota, kompleksitas masyarakatnya tidak dapat
dihindari, karena masyarakat yang semakin terbuka maka mobilisasi atau migrasi
penduduk karena kebutuhan pendidikan dan mencari kerja atau karena perpindahan
daerah kerja yang terjadi menciptakan keragaman di dalam masyarakat dengan
sukubangsa dan kebudayaan. Maka, siapa saya, anda dan mereka berlaku karena
terdapat perbedaan-perbedaan yang dapat dirasakan. Hubungan antar sukubangsa
dengan demikian lebih terasa di daerah perkotaan. Maka, individu-individu dengan
kebudayaan kesukubangsaannya akan memandang individu lainnya yang berbeda
sukubangsa dengan perpektif kesukubangsaanya. Maka pandangan negatif dan
subjektif akan muncul dari sisi kesukubangsaan atau disebut juga etnosentrisme.

Dengan demikian akan muncul dan berkembang pengetahuan kesukubangsaan


yang cenderung etnosentris karena saliang tidak mengenal di antara individu dan
kelompok-kelompok sosial berdasarkan kesukubangsaan. Di samping itu akan muncul
pandangan negatif mengenai ciri-ciri individu atau kelompok dari sugkubangsa lainnya
yang dinilai benar secara subjektif dari satu individu atau kelompok terhadap individu
atau kelompok lainnya. Akibat dari pandangan negatif yang dianggap benar ini adalah
munculnya steretip (stereotype) yang kemudian menjadi prasangka (prejudice).
14

Stereotype menurut Parsudi Suparlan berisikan sangkaan-sangkaan mengeonai sifat-


sifat jelek yang dipunyai oleh anggota-anggota suatu sukubangsa tersebut.20 Stereotipe
diungkapkan dengan kata-kata yang menjelekkan sukubangsa tertentu atau memberi
label yang merendahkan tertentu tertentu terthadap kelompok etnik tertentu yang belum
pasti kebenarannya. Prejudis muncul apabila sangkaan tersebut sudah menjadi
anggapan yang tidak baik terhadap kelompok sukubangsa lain, artinya sudah tidak ada
lagi sisi baik sukubangsa yang diberi label negatif tesebut. Ujung-ujungnya adalah
konflik antar kelompok atau konflik antar sukubangsa.

Ini artinya kelompok sukubangsa yang membentuk dan memberikan stereotipe


ke kelompok sukubangsa lainnya itu menggunakan kebudayaan sebagai jati diri
sukubangsa tersebut yang dilakukan dengan mengaktifkan satu atau sejumlah unsur
kebudayaan yang dipunyai yang dipertentangkan satu atau sejumlah unsur kebudayaan
sukubangsa lainnya. Unsur-unsur kebudayaan tersebut menjadi simbol-simbol (gejala-
gejala yang mempunyai makna menurut kebudayaan yang bersangkutan) yang
digunakan sebagai atribut-atribut atau tanda-tanda untuk menunjukkan jati diri
sukubangsanya.

Oleh karena itu dalam hubungan antar sukubangsa masalah kecil bisa menjadi
besar dan konflik apabila dilihat dari sudut pandang etnosentris. Stereotipe, prasangka
dan diskriminasi akan muncul sebagai pendahulu konflik antar sukubangsa. Jadi
masalah akan banyak muncul dalam konteks hubungan antar sukubangsa sepanjang
tidak saling memahami dan mengerti di antara individu dan kelompok-kelompok
sukubangsa yang berbeda-beda.
15

DAFTAR PUSTAKA

Parsudi Suparlan. 1986. “Keluarga dan Kekerabatan,” dalam A.W.Widjaja (editor)


Manusia Indonesia Individu Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Akademika
Pressindo. Hal.96-104.

Di dalam banyak sukubangsa di Indonesia dengan sistem mata pencaharian agraris,


sawah dan ladang dimiliki secara komunal dan diolah untuk menunjang hidup
keluarga luas secara komunal.

Payung Bangun. 1978. “Hubungan Antar Sukubangsa di kota Medan,” dalam Berita
Antropologi Th. X No.34 Maret. Hal.19-27.

Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta:Dian Rakyat.


Hal.180

Fredrik Barth.1988. kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: UI-Press. Hal.11.

Zulyani Hidayah.. 1997. Konsep-konsep Dasar Kesukubangsaan, dalam Ensiklopedi


Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta:LP3ES. Hal.xix-xxvii.

Parsudi Suparlan.2005. Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta:YPKIK.


Hal.18.

ibid. Hal. 19-20.

Clyde Kluckhon. 1984. ‘Cermin bagi Manusia’ dalam Parsudi Suparlan (editor) Manusia,
Kebudayaan dan Lingkungannya. (Ter.). Jakarta:Rajawali Pers. Hal.69-109.

Parsudi Suparlan. 2005. Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa.


Jakarta:YPKIK. Hal.35.

Conrad Phillip Kottak. 2002. Anthropology. The Exploration of Human Diversity. Ninth
Edition. Boston: McGraw Hill.

Parsudi Suparlan. 2005. Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa.


Jakarta:YPKIK. Hal.35.

Parsudi Suparlan. 2003. ‘Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat
Majemuk Indonesia,’ dalam Jurnal Antropologi Indonesia. Th.XXVII, No.71 Mei-
Agustus 2003. Hal.23-33.

Lihat Koentjaraningrat 1989.

Lihat Marzali 1998, 1999; Suparlan 1999; Ahimsa-Putra 1999; Masinambow 1999.

Suparlan 1986

Amri Marzali, .....

Ibid.

Anda mungkin juga menyukai