Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembelajaran sering juga disebut dengan Pendidikan. Pendidikan biasanya


berawal saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh
banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam
kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran.

Sebuah hak atas pendidikan telah diakui oleh beberapa pemerintah. Pada
tingkat global, Pasal 13 PBB 1966 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Meskipun
pendidikan adalah wajib di sebagian besar tempat sampai usia tertentu, bentuk
pendidikan dengan hadir di sekolah sering tidak dilakukan, dan sebagian kecil
orang tua memilih untuk pendidikan home-schooling, e-learning atau yang serupa
untuk anak-anak mereka.

Telah dikemukakan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi sangat penting


bagi negara-negara untuk dapat mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Analisis empiris cenderung mendukung prediksi teoritis bahwa negara-
negara miskin harus tumbuh lebih cepat dari negara-negara kaya karena mereka
dapat mengadopsi teknologi yang sudah dicoba dan diuji oleh negara-negara kaya

Paradigma dalam hal ini dimaksudkan merupakan kesepakatan dari


suatu komunitas tentang hal-hal yang bersifat mendasar seperti: materi pokok
keilmuan, sudut pandang atau orientasi, visi dan misi. Komunitas dalam hal
ini adalah komunitas Pendidikan.

Kewarganegaraan (PKn). PKn (Civic Education) merupakan mata


pelajaran yang bertugas bagaimana membentuk warga negara yang baik (how a
good citizen). Warga negara yang baik adalah warga negara yang sadar akan
hak – kewajibannya. Dengan kesadaran akan hak –kewajibannya maka
seorang warga negara diharapkan menjadi kritis, partisipatif dan bertanggung
jawab.

Ukuran warga negara yang baik tentunya sangat dipengaruhi oleh


ideologi nasional masing-masing negara. Bagi bangsa Indonesia ideologi
Pancasila merupakan acuan dalam membina warga negara yang baik.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) sebagai PKn versi
Indonesia memiliki fungsi memberdayakan warga negara dalam kehidupan

1
berbangsa dan bernegara yang sejalan dengan Pancasila (istilah PPKn dalam
Kurikulum 2004 tampaknya akan diganti antara “Kewarganegaraan” atau
“Pendidikan Kewarganegaraan).

Pengertian paradigma kadang – kadang disederhanakan sebagai cara


berpikir. Jadi paradigma baru PKn merupakan cara berpikir baru tentang PKn.
Paradigma baru PKn antara lain memiliki struktur organisasi keilmuan yang
jelas yakni berbasis pada ilmu politik, hukum dan filsafat moral /filsafat
Pancasila dan meiliki visi yang kuat nation and character building,
citizenempowerment (pemberdayaan warga negara) yang mampu
mengembangkan civil society (masyarakat kewargaan).

Paradigma baru ini merupakan upaya untuk menggantikan paradigma


lama PKn (PPKn), yang antara lain bercirikan struktur keilmuan yang tidak
jelas, materi disesuaiakan dengan kepentingan politik rezim (hegemoni penguasa),
memiliki visi untuk memperkuat state building ( negara otoriter birokratis;
kooptasi negara) yang bermuara pada posisi warga negara sebagai kaula
atau obyek yang sangat lemah ketika berhadapan dengan penguasa. Akibat dari
kondisi ini, PKn semakin sulit untukmengembangkan karakter warga negara
yang demokratis, sehingga menjadi lahan subur bagi berkembangnya
otoriterisme.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana saja komponen Paradigma Baru PPKN ?


2. Bagaimana Prinsip-prinsip Pengembangan Paradigma Baru dalam
Pembelajaran?

3.1 Tujuan

1. Agar dapat mengetahui Komponen Paradigma Baru PPKN


2. Agar Lebih Mengerti Mengenai Paradigma Baru PPKN
3. Mengetahui Prinsip-Prinsip Paradigma Baru PPKN

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Integritas dan Identitas Bangsa

Dalam menjalani kehidupannya, manusia tidak dapat memenuhi


kebutuhannya sendiri. Manusia sebagai individu akan senantiasamembutuhkan
individu lain dan selanjutnya hidup kelompok. Aristoteles, seorang filosof Yunani
mengatakan bahwa manupoliticon, yang artinya manusia adalah makhluk yang
secara berkelompok. Kelompok persekutuan hidup manusia dimulai dari
lingkungan terkecil, yakni keluarga. Selanjutnya mereka membentuk kelompok
lebih besar lagi, seperti suku, masyarakat, dan bangsa. Bangsa adalah bentuk dari
persekutuan hidup manusia. Negara merupakan suatu organisasi yang dibentuk
oleh bangsa yang memiliki cita-cita bersatu, hidup dalam daerah tertentu, dan
mempunyai pemerintahan yang sama.

Bangsa memiliki ciri khas sehingga dapat dibedakan dengan bangsa lain.
Ciri khas sebuah bangsa merupakan identitas dari bangsa yang bersangkutan.
Identitas-identitas yang disepakati dan diterima oleh bangsa menjadi identitas
nasional. Identitas nasional dibutuhkan agar menjadi pengikat sekaligus pembeda
dengan bangsa lainnya. Selain identitas, bangsa yang telah hidup bernegara
memerlukan integrasi guna menjamin menjamin dan mempertahankan
kesatuannya. Pembangunan integrasi umumnya menjadi tugas pertama bangsa-
bangsa yang baru merdeka.

Identitas pada umumnya melekat pada entitas yang sifatnya individual.


Misalnya, manusia secara identitas nama, dan ciri fisik lainnya. Kata identitas
berasal dari bahasa Inggris identity yang secara harafiah berarti jati diri, ciri-ciri,
atau tanda-tanda yang melekat pada seseorang atau sesuatu sehingga mampu
membedakannya dengan yang lain. Dalam kamus Maya Wikipedia dikatakan
"identity is an umbrella term used throughout the social sciences to describe a
person's conception and expression of their individuality or group affiliations
(such as national identity and cultural identity)". Dalam terminologi antropologi,
identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri
pribadi sendiri, golongan sendiri, kelompok sendiri, atau komunitas sendiri.
Dengan demikian, identitas tidak hanya diberlakukan pada individu tetapi juga
pada kelompok atau afiliasi kelompok, seperti sebutan identitas nasional dan
identitas budaya.

2.2 Bangsa Dan Identitas

Mengacu pada pengertian ini, identitas tidak terbatas pada individu


semata, tetapi berlaku pula pada suatu kelompok manusia Bangsa sebagai bentuk
persekutuan atau hidup berkelompoknya manusia juga memiliki identitas yang

3
bisa dibedakan dengan bangsa lain Lalu apa yang menjadi identitas dari sebuah
bangsa? Sebelumnya perlu dijelaskan bangsa sebagai bentuk dari persekutuan
hidup manusia.

2.2.1 Pengertian Bangsa

Istilah "bangsa" dalam bahasa Inggris disebut "nation". Kata nation berasal
dari kata "natio" (Latin) yang berarti "lahir". Nation dapat berarti suatu kelahiran,
suatu keturunan, suatu suku bangsa yang memiliki kesamaan keturunan, orang-
orang yang sama keturunan. Kata "bangsa" sendiri berasal dari bahasa Sansekerta
"wangsa" yang berarti orang-orang yang satu keturunan atau satu "trah" (Jawa).
Secara etimologis bangsa berasal dari kata "wangsa" artinya orang-orang yang
berasal dari satu keturunan. Istilah "nation" (Inggris) maupun "wangsa"
(Sansekerta) memiliki kesamaan makna. Berdasarkan hal ini, disimpulkan bangsa
menunjuk pada persekutuan hidup dari orang-orang atau kelompok manusia yang
memiliki kesamaan keturunan. Akan tetapi, dalam perkembangan konsep, bangsa
sebagai persekutuan hidup manusia yang berasal dari kesamaan keturunan
tidaklah memadai. Faktor kesamaan keturunan ini dikritik oleh Hans Kohn (1984)
sebagai faktor-faktor yang tidak bersifat hakiki untuk menentukan ada tidaknya
atau untuk merumuskan bangsa. Menurutnya, meskipun faktor-faktor objektif itu
penting, namun unsur yang terpenting itu adalah kemauan bersama yang hidup
nyata. Adanya kemauan hidup bersama sebagai faktor pembentuk bangsa atau
oleh Hans Kohn disebut sebagai faktor subjektif. Seperti dikemukakan oleh Ernest
Renan di tahun 1882 yang mengatakan "What makes a nation is not speaking the
same language or belonging to the same ethnographic group, it is having done
great things together in the past and wanting to do more great things in the future"
(http://www ellopos.net/politics/eu_renan.html). Seturut dengan pengertian di
atas, konsep bangsa memiliki dua pengertian (Badri Yatim, 1999),, yaitu bangsa
dalam pengertian sosiologis antropologis dan bangsa dalam pengertian politis

2.2.1.1 Bangsa Menurut Arti Sosiologis Antropologis

Bangsa dalam pengertian sosiologis antropologis adalah persekutuan hidup


masyarakat yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup
tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, dan adat istiadat. Jadi, mereka
menjadi satu bangsa karena disatukan oleh kesamaan ras, budaya, keyakinan,
bahasa, dan sebagainya. Ikatan demikian disebut ikatan primordial. Persekutuan
hidup masyarakat semacam ini dalam suatu negara dapat merupakan persekutuan
hidup yang mayoritas dan dapat pula persekutuan hidup minoritas. Bangsa dalam
pengertian sosiologis antropologis ini dapat disejajarkan dengan pendapat Hans
Kohn sebagai bangsa yang disatukan oleh faktor objektif.

Dalam satu negara dapat terdiri dari beberapa bangsa. Misalnya, Amerika Serikat
terdiri dari berbagai bangsa, seperti WAPS (White Anglosaxon Protestan), Negro

4
(African American), bangsa Indian (Native American), Cina, Yahudi, dan lainnya
yang dulunya merupakan kaum pendatang. Srilangka terdiri dari bangsa Sinhala
dan Tamil. Yugoslavia dahulu terdiri dari banyak bangsa, seperti Serbia, Bosnia,
Montenegro, Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai bangsa yang tersebar dari
Aceh sampai Irian Jaya, seperti Batak Minangkabau, Sunda, Dayak, Banjar, dan
sebagainya Dapat pula sebuah bangsa tersebar di beberapa negara. Misalnya,
bangsa Arab tersebar di berbagai negara di sekitar Timur Tengah. Bangsa Yahudi
terdapat di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat.

2.2.1.2 Bangsa Menurut Arti Politis

Bangsa dalam pengertian politik adalah suatu masyarakat dalam suatu


daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu
kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Mereka diikat oleh suatu kekuasaan
politik, yakni negara. Jadi, bangsa dalam arti politis adalah bangsa yang sudah
bernegara. Bangsa itu mengakui serta tunduk pada kekuasaan dari negara yang
bersangkutan. Setelah mereka bernegara maka terciptalah bangsa. Misalnya,
kemunculan bangsa Indonesia (arti politis) setelah terciptanya negara Indonesia.
Bangsa dalam arti politis (bangsa yang bernegara) dapat saja terbentuk oleh
faktor-faktor objektif bangsa pembentuknya atau sebuah negara didirikan oleh dan
untuk satu bangsa. Misalnya, bangsa negara Israel terbentuk karena kesamaan
agama, yakni Yahudi. Hitler pernah mengimpikan membentuk bangsa negara
Jerman yang terbangun dari kesamaan ras, yakni

Saat ini, umumnya negara bangsa terbentuk dari keragaman banyak


bangsa di dalamnya. Negara modern lebih berdasar pada faktor-faktor subjektif
bangsa. Bangsa dalam pengertian politis dapat terbentuk tanpa memiliki kesamaan
keturunan atau kesamaan factor objektif lainnya, seperti ras, bahasa, daerah,
tradisi, dan agama. Meskipun mereka berbeda asal usulnya, mereka dapat menjadi
satu bangsa. Orang-orang dalam kesatuan political unity mungkin tidak mengenal
secara dekat satu sama lain bahkan tidak berhubungan, tetapi mereka merasakan
hidup bersama dan tunduk dalam suatu komunitas politik. Benedict Anderson
(1991) menyebut bangsa sebagai "an imagined political community" atau
komunitas politik yang dibayangkan. Dengan adanya perkembangan bangsa
dalam arti politis ini maka bangsa dalam arti sosiologis antropologis sekarang ini
lebih dikenal dengan istilah etnic atau suku, suku bangsa atau paruh bangsa. Ini
untuk membedakan dengan istilah bangsa yang sudah beralih dalam arti politis.
Akan tetapi, kita masih mendengar istilah bangsa dalam arti sosiologis
antropologis untuk menunjuk pada persekutuan hidup tersebut. Misalnya, bangsa
Moro, bangsa Yahudi, bangsa Kurdi, dan bangsa Tamil. Bangsa Indonesia (dalam
arti politis) memiliki banyak bangsa (dalam arti sosiologis antropologis) seperti
suku bangsa Batak, Minangkabau, Jawa, Betawi, Madura, Dayak Asmat, Dani,

5
dan lain-lain. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang heterogen, karena ada
banyak bangsa didalamnya.

2.2.1.3 Proses Pembentukan Bangsa-Negara

Secara umum dikenal adanya dua proses pembentukan bangsa negara,


yaitu model ortodoks dan model mutakhir (Ramlan Surbakti, 1999). Pertama,
model ortodoks bermula dari adanya suatu bangsa terlebih dahulu untuk kemudian
bangsa itu membentuk satu Negara tersendiri. Contoh, bangsa Yahudi berupaya
mendirikan negara Israel untuk satu bangsa Yahudi. Setelah bangsa-negara ini
terbentuk maka rezim politik (penguasa) dirumuskan berdasar konstitusi Negara
yang selanjutnya dikembangkan partisipasi warga negara dalam kehidupan politik
bangsa-negara yang bersangkutan. Kedua, model mutakhir yang berawal dari
adanya negara terlebih dahulu yang terbentuk melalui proses tersendiri, sedangkan
penduduk Negara merupakan sekumpulan suku bangsa dan ras.

Contoh adalah kemunculan negara Amerika Serikat pada tahun 1776


Kedua model ini berbeda dalam empat hal. Pertama, ada tidaknya perubahan
unsur dalam masyarakat. Model ortodoks tidak mengalami perubahan unsur
karena satu bangsa membentuk satu negara. Model mutakhir mengalami
perubahan unsur karena dari banyak kelompok suku bangsa menjadi satu bangsa
Kedua, lamanya waktu yang diperlukan dalam proses pembentukan bangsa
negara. Model ortodoks membutuhkan waktu yang singkat saja yaitu hanya
membentuk struktur pemerintahan bukan pembentukan identitas kultural baru.
Model mutakhir memerlukan waktu yang lama karena harus mencapai
kesepakatan tentang identitas kultural yang baru. Ketiga, kesadaran politik
masyarakat pada model ortodoks muncul setelah terbentuknya bangsa-negara,
sedangkan dalam model mutakhir kesadaran politik warga muncul mendahului
bahkan menjadi kondisi awal terbentuknya bangsa-negara. Keempat, derajat
partisipasi politik dan rezim politik. Pada model ortodoks, partisipasi politik dan
rezim politik dianggap sebagai bagian terpisah dari proses integrasi nasional. Pada
model mutakhir, partisipasi politik dan rezim politik merupakan hal yang tak
terpisahkan dari proses integrasi nasional.

2.3 Sasaran Implementasi Wawasan Nusantara dalam Kehidupan Nasional

Sebagai cara pandang dan visi nasional indonesia, wawasan nusantara


harus dijadikan arahan, pedoman, acuan dan tuntutan bagi setiap individu banga
indonesia dalam membangun dan memelihara tuntutan bangsa dan negara
kesatuan republik bangsa indonesia. Karena itu, implementasi atau penerapan
wawasan tuntutan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu,
implementasi atau penerapan Wawasan Nusantara harus tercermin pada pola
pikir, pola sikap, dan pola tindak yang senantiasa menda-hulukan kepentingan
bangsa dan negara Kesatuan Republik Indonesia daripada kepentingan pribadi

6
atau kelompok sendiri. Dengan kata lain, Wawasan Nusantara menjadi pola yang
mendasari cara berpikir, bersikap, dan bertindak dalam rangka, menghadapi,
mecnyikapi, menangani berbagai permasalahan menyangkut kehidupan ber-
masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Implementasi Wawasan Nu-santara
senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat dan wilayah tanah air secara utuh
dan menyeluruh sebagai berikut:

2.3.1 Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan politik

Menciptakan iklim penyelenggaraan negara yang sehat dan di-namis. Hal


tersebut nampak dalam wujud pemerintahan yang kuat aspiratif dan terpercaya
yang dibangun sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat.

2.3.2 Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan ekonomi

Menciptakan tatanan ekonomi yang benar benar menjamin pemenuhan dan


peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara merata dan adil. Di
samping itu, implementasi Wawasan Nusantara mencerminkan tanggung jawab
pengelolaan sumber daya alam yang memperhatikan kebutuhan masyarakat
antardaerah secara timbal balik serta kelestarian sumber daya alam itu sendiri.

2.3.3 Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan sosial budaya

Menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui, menerima, dan


menghormati segala bentuk perbedaan atau ke-bhinekaan sebagai kenyataan hidup
sekaligus karunia Sang Pencipta. Implementasi ini juga akan menciptakan
kehidupan masyarakat dan bangsa yang rukun dan bersatu tanpa
membedabedakan suku, asal usul daerah, agama atau dasarkan status sosialnya

2.3.4 Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan hankam

Menumbuh-kembangkan kesadaran cinta tanah air dan bangsa, yang lebih


lanjut akan membentuk sikap bela negara pada setiap warga negara Indonesia.
Kesadaran dan sikap cinta tanah air dan bangsa serta bela negara ini akan menjadi
modal utama yang akan menggerakkan partisipasi setiap warga negara Indonesia
dalam me- nanggapi setiap bentuk ancaman, seberapa pun kecilnya dan darimana
pun datangnya, atauselamatan bangsa dan kedaulatan negara.

Dalam pembinaan seluruh aspek kehidupan nasional sebagaimana


dijelaskan di atas, implementasi Wawasan Nusantara harus menjadi nilai yang
menjiwai segenap peraturan perundang- undangan yang ber-laku pada setiap strata
wilayah diseluruh wilayah negara. Disamping itu, wawasan nusantara dapat
diimplementasikan ke dalam segenap pranata sosial yang berlaku dimasyarakat
dalam nuansa kebinekaan sehingga mendinamisasikan kehidupan sosial yang
akrab, peduli, toleran, hormat dan taat hukum. Semua itu menggambarkan sikap,

7
paham dan semangat kebangsaan atau nasionalisme yang tinggi sebagai identitas
atau jati diri bangsa Indonesia.

1. Dasar falsafah negara, yaitu Pancasila

Berisi lima nilai dasar yang dijadikan sebagai dasar filsafat dan
ideologi dari negara Indonesia. Pancasila merupakan identitas nasional
yang berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi nasional Indonesia.

2. Konstitusi (Hukum Dasar) negara, yaitu UUD 1945

Merupakan hukum dasar tertulis yang menduduki tingkatan


tertinggi dalam tata urutan perundangan dan dijadikan sebagai pedoman
penyelenggaraan bernegara.

3. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat

Bentuk negara adalah kesatuan, sebagai bentuk pemerintahan


adalah republik. Sistem politik yang digunakan adalah sistem demokrasi
(kedaulatan rakyat). Saat ini identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat disepakati untuk tidak ada perubahan.

4. Konsepsi Wawasan Nusantara

Sebagai cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan adalah


lingkungannya yang serba beragam dan memiliki nilai strategis dengan
mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah
dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara untuk mencapai tujuan nasional.

5. Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai kebudayaan nasional

Berbagai kebudayaan dari kelompok-kelompok bangsa di


Indonesia yang memiliki cita rasa tinggi, dapat diterima oleh masyarakat
luas merupakan kebanggaan bangsa atas kebudayaan nasional.
Kebudayaan nasional pada dasarnya adalah puncak-puncak dari
kebudayaan daerah yang ada.

2.4 Pancasila Sebagai Identitas Bangsa Indonesia

Perlu dibahas tentang Pancasila sebagai identitas bangsa


Indonesia.Pancasila sebagai identitas memiliki keunikan bila dibandingkan dasar
negara dengan sejumlah identitas lainnya. Pancasila bukan sekadar identitas
dalam wujud lambang yang bersifat fisik, namun ia lebih pada identitas bangsa
dalam wujud psikis, yakni yang mencerminkan watak dan perilaku manusia
Indonesia. Bahwa identitas sebagai penanda bukan hanya bersifat fisik, melainkan

8
juga meliputi nilai-nilai dan konsepsi. Pancasila adalah penanda bagi Indonesia
yang bersifat nonfisik.

Apabila identitas dapat disejajarkan dengan istilah jati diri maka pemikiran
bahwa Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia akui oleh banyak ahli.
Pancasila dapat menjadi dasar dalam membangun identitas nasional
(Sastrapratedja, 2007: HAR Tilaar, 2000). Pancasila dapat menjalankan tugasnya
sebagai identitas bangsa Indonesia (Eka Darmaputra, 1997). Pancasila merupakan
pernyataan jati diri bangsa Indonesia (Hardono Hadi, 1996) dan Pancasila ngan
sebagai identitas kultural (As'ad Said Ali, 2009).

Sastrapratedja (2007) menyatakan bahwa Pancasila dapat menjadi dasar


dalam membangun identitas nasional. Identitas nasional adalah suatu "konstruksi"
yang selalu dapat direkonstruksi. Ada lima unsur konstruksi dari identitas nasional
itu, yakni; pertama ingatan kolektif yang menghubungkan masa lalu dan masa
kini; kedua, unsur sejarah; ketiga, bahasa; keempat, daerah; dan kelima adalah
nilai-nilai. Pancasila sebagai nilai-nilai merupakan salah satu unsur yang dapat
dikonstruksikan dalam rangka mengembangkan identitas nasional.

Kaelan (2002) menyatakan jati diri bangsa Indonesia adalah nilai-nilai


yang merupakan hasil buah pikiran dan gagasan dasar bangsa Indonesia tentang
kehidupan yang dianggap baik yang memberikan watak, corak, dan ciri
masyarakat Indonesia. Corak dan watak itu adalah bangsa yang religius,
menghormati bangsa dan manusia lain, adanya persatuan, gotong royong dan
musyawarah, serta ide tentang keadilan sosial. Nilai-nilai dasar itu dirumuskan
sebagai nilai-nilai Pancasila sehingga Pancasila dikatakan sebagai jati diri bangsa.

Para pendiri negara (the founding fathers) kita pada waktu merancang
berdirinya negara Republik Indonesia membahas mengenai dasar negara yang
akan didirikan. Soekarno mengusulkan agar dasar negara yang akan didirikan itu
adalah Pancasila, yang merupakan prinsip dasar dan nilai dasar yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat Indonesia, yang mempribadi dalam masyarakat
dan merupakan suatu living reality. Pancasila irni sekaligus merupakan jati diri
bangsa Indonesia (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan
Bernegara, 2006).

Pernyataan demikian sejalan dengan konsep identitas nasional sebagai


manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai
aspek kehidupan suatu nation (bangsa) dengan ciri-ciri khas (Koento Wibisono,
2007). Diletakkan dalam konteks Indonesia maka identitas nasional itu merupakan
manifestasi nilai-nilai budaya yang sudah tumbuh dan berkembang semenjak
dahulu dalam berbagai aspek kehidupan suku, yang kemudian"dihimpun" dalam
satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan
rohnya Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya. Dapat

9
dikatakan bahwa hakikat identitas nasional kita sebagai bangsa di dalam hidup
dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila, yang aktualisasinya
tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas. Nilai-nilai
budaya yang tercermin dalam identitas nasional itu bukanlah barang yang sudah
jadi dan selesai, melainkan sesuatu yang terbuka dan terus-menerus berjalan
menuju kemajuan yang dimiliki masyarakat pendukungnya.

2.4.1

Pancasila sebagai pernyataan jati diri bangsa mencakup tiga aspek, yakni
Pancasila sebagai kepribadian bangsa, identitas bangsa, dan keunikan bangsa
Indonesia.Pancasila sebagai kepribadian bangsa bahwa Pancasila itu
mencerminkan kenyataan akan nilai-nilai yang telah ada sebagai hasil interaksi
antar kebudayaan dan masyarakat ideologi sebagai pembentuknya. Maksud
Pancasila sebagai identitas bangsa Indonesia adalah unsur-unsur dasar
kebudayaan bangsa Indonesia menjadi ciri khas dari waktu ke waktu sepanjang
hidup berbangsa Indonesia.Dengan demikian, sebagai kepribadian dan keunikan
bangsa Indonesia, Pancasila tidak harnya kenyataan, tetapi juga mencerminkan
kenyataan mandiri yang mempunyai idealisme sendiri.

Pancasila menjadi keunikan bangsa Indonesia ketika pendukung unsur


kepribadian dan identitas itu bergaul dengan masyarakat dunia atau bangsa-bangsa
lain di dunia. Keunikan itu terjadi bukan dalam keterpisahan, tetapi terjadi dalam
pergaulan. Secara singkat dikatakan Pancasila sebagai pernyataan jati diri, di satu
pihak mempunyai dasarnya pada fakta empiris, di lain pihak dapat memberi
orientasi ke arah cita-cita bangsa yang memang masih harus digulati terus-
menerus.

2.5. Hakikat Negara Kebangsaan Indonesia

Negara kita adalah Negara Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus


1945 disingkat negara RI Proklamasi. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa
negara Indonesia yang didirikan ini tidak bisa lepas dari peristiwa Proklamasi
Kemerdekaan tanggal 17 Agustus tentu. 1945. Dengan momen Proklamasi 17
Agustus 1945 itulah bangsa Indonesia berhasil mendirikan negara sekaligus
menyatakan kepada dunia luar mengenai adanya negara baru, yaitu Indonesia.

Hakikat dari negara Indonesia adalah negara kebangsaan(nation state).


Negara-bangsa (nation state) adalah fenomena baru mengenai tipe negara yang
mulai bermunculan pada akhir abad ke-20, terlebih pasca Perang Dunia II. Negara
bangsa dapat dilawankan dengan tipe negara etnik, negara kota, empirium,
kekaisaran, dan kekalifahan. Negara-bangsa adalah format modern kebangsaan
dimana otoritas negara secara otomatis meliputi dan mengatur secara keseluruhan
bangsa-bangsa (suku bangsa) tersebut yang ada dalam wilayah teritorialnya.

10
Negara-bangsa menyatukan wilayah-wilayah yang berbeda beserta masyarakatnya
ke dalam satu wilayah pemerintahan baru. Mereka membentuk kesatuan politik
baru dan juga kesatuan bangsa yang baru.

Negara bangsa (nation-state) dibangun, dilandasi, dan diikat oleh semangat


kebangsaan atau disebut nasionalisme. Nasionalisme diartikan sebagai tekad dari
orang-orang yang ada di wilayah itu (masyarakat bangsa) untuk membangun
bawah satu negara yang sama depan bersama di walaupun warga masyarakat itu
berbeda dalam ras, etnik, agama, ataupun budaya bahkan dalam sejarah sekalipun.
Nasionalisme menjadi ideologi bagi negara kebangsaan sekaligus perekat anggota
masyarakat dalam menciptakan loyalitas serta kesetiaan pada identitas negara.
Negara-bangsa berpandangan bahwa negara adalah milik rakyat atau bangsa yang
berdiam di wilayah yang bersangkutan. Rakyat berjuang dan mengabdi pada
bangsa dan negara sebagai miliknya.

Para pendiri negara menyadari bahwa negara Indonesia yang hendak


didirikan haruslah mampu berada di atas semua kelompok dan golongan yang
beragam. Hal ini dikarenakan Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda
merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan ras dengan wilayah
yang tersebar di nusantara. Negara Indonesia merdeka yang akan didirikan
hendaknya negara yang dapat mengayomi seluruh rakyat tanpa memandang suku,
agama, ras, bahasa, daerah, dan golongan golongan tertentu. Yang diharapkan
adalah keinginan hidup bersatu sebagai satu keluarga bangsa karena adanya
persamaan nasib dan cita-cita karena berasal dalam ikatan wilayah atau wilayah
yang sama. Kesadaran demikian melahirkan paham nasionalisme atau paham
kebangsaan. Paham kebangsaan melahirkan semangat untuk keluar melepaskan
diri dari belenggu penjajahan yang telah menciptakan nasib sebagai bangsa yang
terjajah, teraniaya, dan hidup dalam kemiskinan. Selanjutnya nasionalisme
memunculkan semangat untuk mendirikan negara-bangsa dalam merealisasikan
cita-cita, yaitu merdeka dan tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.

Gagasan perlunya membentuk satu bangsa yaitu bangsa Indonesia berhasil


diwujudkan dalam ikrar Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Para pemuda
dari berbagai suku dan budaya di wilayah Nusantara berikrar menyatakan diri
dalam satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yaitu Indonesia. Jadi meskipun
mereka berbeda-beda suku, adat, budaya, ras, keyakinan, dan daerah tetapi
bersedia menyatakan diri sebagai satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia.

Menurut Ir. Soekarno yang dimaksud bangsa Indonesia adalah seluruh


manusia-manusia yang menurut wilayahnya telah ditentukan untuk tinggal secara
bersama di wilayah Nusantara dari ujung Barat (Sabang) sampai ujung Timur
(Merauke) yang memiliki "Le desir kebangsa d'etre ensemble (kehendak akan
bersatu)" (pendapat Ernest Renan) dan "Charaktergemeinschaft" (pendapat Otto

11
Van Bauer) yang telah menjadi satu. Kemunculan bangsa Indonesia sangat
dipengaruhi oleh paham nasionalisme. Tujuan dari paham kebangsaan
(nasionalisme) sendiri adalah menciptakan negara bangsa yang wilayah dan batas-
batasnya menyerupai atau mendekati makna bangsa.

Faktor-faktor penting bagi pembentukan bangsa Indonesia adalah :

1. Adanya persamaan nasib, yaitu penderitaan bersama di bawah Terbentu


2. penjajahan bangsa asing yang kurang lebih selama 350 tahun,
3. Adanya keinginan bersama untuk merdeka, melepaskan diri dari belenggu
penjajahan,
4. Adanya kesatuan tempat tinggal, yaitu wilayah nusantara yang
5. membentang dari Sabang sampai Merauke, dan
6. Adanya cita-cita bersama untuk mencapai kemakmuran dan
7. keadilan sebagai suatu bangsa.

Berdasarkan hal itu maka faktor pembentukan identitas kebangsaan


Indonesia bukanlah faktor-faktor primordial, tetapi faktor historis. Frans Magnis
Suseno (1995) menyatakan bahwa kesatuan bangsa Indonesia tidak bersifat
alamiah tetapi historis, persatuan bangsa Indonesia tidak bersifat etnik melainkan
etis. Bersifat historis karena bangsa Indonesia bersatu bukan karena kesatuan
bahasa ibu, kesatuan suku, budaya, ataupun agama. Yang mempersatukan bangsa
Indornesia adalah sejarah yang dialami bersama, yaitu sejarah penderitaan,
penindasan, perjuangan kemerdekaan, dan tekad untuk kehidupan bersama.
Selanjutnya bangsa Indonesia berhasil mewujudkan terbentuknya negara
Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Tanggal 17 Agustus 1945
dapat dikatakan sebagai "revolusi inte gratifnya" bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia yang sebelumnya memiliki banyak bangsa dalam pengertian sosiologis
antropologis bersatu membentuk negara Indonesia sekaligus menciptakan bangsa
Indonesia dalam arti politis.

2.5.1 Warga Negara Dan Kewarganegaraan

Negara sebagai suatu entitas adalah abstrak. Yang Nampak adalah


unsur0unsur Negara yang berupa, rakyat, wilayah, dan pemerintah. Salah satu
unsure Negara adalah rakyat. Rakyat yang tinggal di wilayah Negara menjadi
penduduk Negara yang bersangkutan. Warga Negara adalah bagian dari penduduk
suatu Negara. Warga Negara memiliki hubungan dengan negarannya. Hubungan
itu lazim disebut sebagai kewarganegaraan. Kedudukannya sebagai warga Negara
menciptakan hubungan berupa status (identitas), partisipasi, hak, dan kewajiban
yang bersifat timbale balik (resiprokalitas).

Seseorang menjadi warga Negara oleh karena ia menjadu anggota dari


Negara yang bersangkutan. Ketika di masa lalu hidup ber-negara belum ada,

12
individu telah menjadi warga dari sebuah komunitas, apakah anggota keluarga,
marga, suku, atau bangsa. Ketika komunitas politik Negara yang didirikan maka
indivu-individu yang terikat didalamnya memasuki status baru sebagai warga
Negara. Kewarganegaraan yang pada awalnya hanya mencakup keanggotaan pada
komunitas di luar Negara, sekarang ini telah menciptakan hubungan dengan
negara.

2.6

Cogan & Derricott (1998) mendefinisikan kewarganegaraan sebagai “ a set


of characteristic of being a citizen”. Kewarganegaraan menunjuk pada
seperangkat karakteristik dari seorang warga Negara. Karakteristik atau atribut
kewarganegaraan itu meliputi sense of identify (perasaan akan identitas). The
enjoyment of certain rights (pemilikan hak-hak tertentu), the fulfillment of
corresponding obligations (pemenuhan kewajiban-kewajiban yang sesuai), a
degree of interest and involvement in public affair (tingkat ketertarikan dan
keterlibatan dalam masalah publik) dan an acceptance of basic social values
(penerimaan terhadap nilai-nilai sosial dasar).

Memiliki kewarganegaraan berarti seseorang itu memiliki identitas atau


status lingkup nasional, misalnya ia warga Negara Indonesia, ia
berkewarganegaraan Australia, dan sebagainnya. Memiliki kewarganegaraan
berarti didapatkannya sejumlah hak dan kewajiban yang berlaku secara timbale
balik dengan Negara. Ia berhak dan kewajiban atas orang itu. Terkait dengan hak
dan kewajiban maka kewarganegaraan seseorang menjadikan ia turut terlibat atau
berpartisipasi dalam kehidupan negarannya. Kewarganegaraan seseorang juga
menjadikan orang tersebut berinteraksi dengan orang lain sebagai warga Negara
sehingga tumbuh penerimaan atas nilai-nilai sosial bersama yang ada di Negara
tersebut. Di Indonesia, misalnya nilai-nilai kegotong-royongan, nilai-nilai
religious, atau nilai-nilai yang trkandung dalam pancasila merupakan nilai
bersama. Oleh karena itu, nilai sosial bersama yang diterima ini bisa jadi berbeda
dengan warga Negara di Negara lain.

Pendapat lain menyatakan kewarganegaraan adalah bentuk identitas yang


memungkinkan individu-individu merasakan makna kepemilikan, hak dan
kewajiban sosial dalam komunitas politik (Negara). Hubungan antara rakyat dan
Negara berdasarkan asas resiprokalitas hak dan kewajiban (Kalidjernih, 2007).
Dalam kamus Maya Wikipedia dikatakan kewarganegaraan merupakan
keanggotaan dalam komunitas politik (yang dalam sejarah perkembangannya
diawali pada Negara kota, namun sekarang ini telah berkembang pada
keanggotaan suatu Negara) yang membawa implikasi pada kepemilikan hak untuk
berpartisipasi dalam politik.

13
Berdasar pendapat-pendapat di atas, kewarganegaraan menunjuk pada
bentuk hubungan antara warga dengan komunitasnya sendiri, dalam hal ini
Negara yang melahirkan berbagai akibat antara lain:

1. Memunculkan identitas baru sebagai warga Negara


2. Menghasilkan kepemilikan terhadap komunitas baru (Negara) termasuk
kepemilikan akan nilai-nilai bersama komunitas
3. Memunculkan aneka peran, partisipasi dan bentuk-bentuk keterlibatan lain
pada komunitas Negara, dan
4. Timbulnya hak dan kewajiban antara keduanya secara timbale balik

Menurut hykum Indonesia, yakni dalam Undang-Undang No. 12 Tahun


2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, arti kewarganegaraan adalah
segala hal ikhwal hubungan antara warga Negara dengan Negara tersebut pada
dasarnya menghasilkan bentuk-bentuk hubungan sebagaimana di atas.

Jika selama ini dipahami bahwa bentuk-bentuk hubungan tersebut hanya


melahirkan hak dan kewajiban secara timbale balik maka sesungguhnya lebih dari
itu. Seperti telah dikemukakan di atas, kewarganegaraan memunculkan sejumlah
karakteristik, atribut, atau elemen, yakni adanya identitas, hak, kewajiban,
partisipasi, dan penerimaan terhadap nilai bersama (Cogan & Derricot, 1998), hak
dan kewajiban lebih merupakan akibat dari kewarganegaraan sebagai status
hukum (legal formal), padahal kewarganegaraan bukan hanya sebatas legal.
Kewarganegaraan dapat dipahami dalam tiga status. Pertam, status legal, yakni
memiliki hak dan perlindungan dari Negara. Kedua, status agen political yang
melahirkan aneka partisipasi dalam berbagai pranata politik. Ketiga, status
keanggotaan itu sendiri yang menghadirkan identitas (Kalidjernih, 2010). Dewasa
ini kewarganegaraan sebagai status hukum (legal) tampaknya lebih mengemuka,
sejalan dengan menguatnya entitas Negara sebagai organisasi legal.

2.6.1 Pengertian kewarganegaraan dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Kewarganegaraan dalam arti yuridis dan sosiologi


1) Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan adanya 9katan
hukum antara orang-orang dengan Negara atau kewarganegaraan
sebagai status legal. Dengan adanya ikatan hukum itu menimbulkan
akibat-akibat hukum tertentu. Bahwa orang tersebut berada di bawah
kekuasaan Negara yang bersangkutan. Tanda dari adanya ikatan
hukum seperti akte kelahiran, surat pernyataan, bukti
kewarganegaraan, dan lain-lain.
2) Kewarganegaraan dalam arti sosiologis tidak ditandai dengan ikatan
hukum, tetapi ikatan emosional, seperti ikatan perasaan, ikatan
keturunan, ikatan nasib, ikatan sejarah, dan ikatan tanah air. Dengan
kata lain, ikatan ini lahir dari penghayatan orang yang bersangkutan.

14
Orang yang memiliki ikatan demikian merupakan kewarganegaraan
dalam arti sosiologis.

Dari sudut kewarganegaraan sosiologis, sesorang dapat di pandang Negara


sebagai warga Negaranya sebab ikatan emosional, tingkah laku, dan penghayatan
hidup yang dilakukan menunjukkan bahwa orang tersebut sudah seharusnya
menjadi anggota Negara itu. Akan tetapi, dari sudut kewarganegaraan yuridis
orang tersebut tidak memenuhi sebab tidak memiliki bukti ikatan hukum dengan
Negara. Jadi, dari sisi kewarganegaraan sosiologis ada hal ya ng belum terpenuhi
yaitu persyaratan yuridis yang merupakan ikatan formal orang tersebut dengan
Negara. Disisi lain, terdapat orang yang memiliki kewarganegaraan dalam
sosiologis, ia memiliki tanda ikatan hukum dengan Negara, tetapi ikatan
emosional dan penghayatan hidupnya ebagai warga Negara tidak ada. Jadi ada
kalanya terdapat seorang warga Negara memenuhi persyaratan yuridis dan
sosiologis sebagai anggota dari Negara.

2. Kewarganegaraan dalam arti formal dan material


1) Kewarganegaraan dalam arti formal menunjuk pada tempat
kewarganegaraan dalam sistematika hukum. Masalah
kewarganegaraan atau hal ikhwal mengenai warga Negara berada
pada hukum public. Hal ini karena kaidah-kaidah mengenai Negara
dan warga Negara semata-mata bersifat public.
2) Kewarganegaraan dalam arti materil menunjuk pada akibat dari status
kewarganegaraan, yaitu adanya hak dan kewajiban serta partisipasi
warga Negara. Kedudukan seorang sebagai warga Negara akan
berbeda dengan kedudukan seseorang sebagai orang asing.

Kewarganegaraan seseorang mengakibatkan orang tersebut memiliki


pertalian hukum serta tunduk pada hukum Negara yang bersangkutan. Orang yang
sudah memilikinkewarganegaraan tidak jatuh pada kekuasaan atau kewenangan
Negara lain. Negara lain tidak berhak memperlakukan kaidah-kaidah hukum pada
orang yang bukan warga negaranya.

2.7 Wawasan Nasional suatu Bangsa

Sebelum Membahas Wawasan nusantara sebaiknya kita terlebih dahulu


mengerti dan memahami wawassan nasional suatu bangsa secara universal. Suatu
bangsa meyakini bahwa kebenaran kebenaran yang hakiki atau kebenaran yang
mutlak adalah kebenaran yang datang dari Tuhan, pencipta alam semesta.
Manusia memiliki kelebihan dari mahluk lainnya melalui akal pikiran dan budi
nuraninya. Namun kemapuannya dalam menggunakan akal pikiran dan budi
nurani tersebut terbatas, sehingga manusia yang satu dan yang lain tidak memilki
tingkat kemampuan yang sama. Ketidaksamaan tersebut menimbulkan perbedaan
pendapat, kehidupan, kepercayaan dalam hubugan dalam penciptanya dan

15
melaksanakan hubumgan dengan sesamanya, dan dalam melihat serta memahami
sesuatu. Perbedaan-perbedaan ini lah yang bisa kita sebut keanekaragaman.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keanekaragaman tersebut
memerlukan perekat agar bangsa yang bersangkutan dapat bersatu memelihara
keutuhan negaranya.

Suatu bangsa yang telah menegara, dalam penyelenggaraan kehidupannya


tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Pengaruh itu timbul dari hubungan
timbal balik antara filosofi bangsa, ideologi, aspirasi serta cita-cita dan kondisi
soaial masyarakat, budaya, tradisi, keaneadaan alam, wilayah serta pengalaman
sejarahnya.

Pemerinta dan rakyat memerlukan suau konsepsi berupa wawsan nasional


untuk menyelengarakan kehidupannya. Wawasan ini dimaksutkan u nutk
menjamin kelangsungan hidup, keutuhan wilayah serta jati diri bangsa. Kata
“wawasan” itu sendiri berasal dari wawas (bahasa jawa) tang artinya melihat atau
memandang. Dengan penambahan akhirnya “An” kata ini secara harifiah berarti:
Cara penglihatan atau cara tinjau atau cara pandang.

Kehidupan suatu bangsa dan negara senantiasa dipengaruhi oleh


perkembangan lingkungan strategis karena itu, wawasan itu harus mampu
memeberi inspirasi ada suatu bangsa dalam menghadapi berbagai hambatan yang
ditimbulkan oleh lingkungan strategis dalam mengajar kejayaannya.

Dalam mewujudkan aspirasi dan perjuangan, suatu bangsa perlin


memperhatikan 3 faktor utama:

1. Bumi atau ruang dimana bangsa itu hidup.


2. Jiwa, tekad, dan semangat manusiana atau rakyatnya.
3. Lingkungan sekitar

Dengan demikian, wawasan nasional adalah cara pandang suatu bangsa


yang telah menegara tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang
serba terhubung (melalui interaksi dan interelasi) dan dalam pembangunannya
dilingkungan nasional (termasuk lokal dan propinsional), regional, serta global.

2.7.1 Teori Keduasaan

Wawasan nasional suatu bangsa dibentuk dan dijiwai oleh paham


kekuasaan dan geopolitik yang dianutnya. Beberapa teori paham kekuasaannya
dan teori geoplitik diuraikan sebagai berikut.

Paham-paham kekuasaan: perumusan wawasan nasional lahir berdasarkan


pertimbagan dan pemikiran mengenai sejauh mana konsep oprasionalnya dapat
diwujudkan dan dipertanggung jawabkan. Karena itu, dibutuhkan landasan teori

16
yang dapat diwujudkan dan dipertanggungjawabkan. Karena itu, dibutuhkan
landasan teori yang dapat mendukung rumusan wawsan nasional.

2.7.2 Teori-teori yang dapat mendukung rumusan tersebut antara lain:

1. Paham Machiavelli (abad XVII)

Gerakan pembaharuan (renaissance) yang dipicu oleh masuknya ajaran islam di


eropa barat sekitar abad VII. Telah membuka dan mengembangkan cara pandang
bangsa-bangsan eropa barat sehingga menghasilkkan peradaban barat modern
sepert sekarang. dibidang politik dan kenegaraan, motor atau sumber pemikiranya
berasal dari Machiavelli, seorang pakar ilmu politik dalam pemerndatahan repulik
florence, sebuah negara ecil diitalia utara sekitar sbsd XVII.

2. Paham Kaisar Napolon Bonaparte (abad XVII)

Kaisar napoleon merupakan revolusioner dibidang cara pandang, selain penganut


yang baik dari Machiavelli. Napoleon berpedapat bahwa perang dimasa depan
akan merupakan perang total yang mengerahkan segala daya upaya, dan kekuatan
nasional dia berpendapat bahwa kekuatan politik harus dida,pingi oleh kekuatan
logistik dan ekonomi nasional. Kekuatan ini juga perlu didukung oleh kondisi
sosial udaya berupa ilmu pengetahuan dan teknologi demi terbenyuknya kekuatan
hankam untuk mendududki dan menjajah negara-negara disekitar prancis. Karena
itu terjadi infasi militer besar-besaran napoleon terhadap negara-negara tetangga
dan pada akhirnya ia tersandung di Rusia. Ketika postulat Maciavelli telah
diimplementasikan dengan sempurna oleh napoleon, namun menjadi bumerang
bagi dirinya sehingga pada akhir karirnya ia dibuang ke pulau elba.

2.8 Ajaran Wawasan Nasional Indonesia

Wawasan nasional indonesia merupakan wawasan yang dikembangkan berdasar


teori wawasan nasional secara universal. Wawasan tersebut dibntuk dan dijiwai
oleh paham kekuasaan bangsa Indonesia dan geopolitik Indonesia

1. Paham kekuasaan bangsa Indonesia

Bangsa Indonesia yang berfasafah dan berideologi pancasila menganut


paham tentang perang dan damai: “Bangsa Indonesia cinta damai akan tetapi lebih
cinta kemerdekaan”. “wawanasan nasional bangsa indonesia tidak
mengembangkan ajaran tentang kekuasaan dan adu kekuatan, karena hal tersebut
mengandung benih-benih persengketaan dan ekspansionisme.

2. Geopolitik Indonesia

Pemahaman tentang kekuatan dan kekuasaan yang dikembangkan di


Indonesia didasarkan pada pemahaman perang dan damai serta disesuaikan

17
dengan kondisi dan konstenlansi geogtafi indonesia. Sedangkan pemahaman
tentang Indonesia menganut paham negara kepulauan, yaitu paham yang
dikembangkan dari azaz arcipelago yang memang berbeda dengan pemahaman
archipelago dinegara-negara barat pada umumnya.

3. Dasar pemikiran wawasan nasional Indonesia

Dalam menentukan, membina, dan mengembangkan wawasan


nasionalnya, bangsa Indonesia menggali dan mengembangkan dari kondisi nyata
yang terdapat dilingkungan Indonesia sendiri, wawasan nasional indonesia
dibentuk dan dijiwai oleh pemahaman kekuasaan bangsa indonesia yang
berlandaskann falsafah pancasila dan oleh pandangan geopolitik indonesia yang
berlandaskan pemikiran kewilayahan dan kehidupan banga Indonesia karena itu,
pembahasan latar belakang filosofis sebagai dasar pemikiran pembinaan dan
pengembangan wawasan nasional Indonesia ditinjau dari:

1. Latar belakang pemikiran berdasarkan falsafah pancasila.


2. Latar belakang pemikiran aspek kewilayahan nusantara.
3. Latar belakang pemikiran aspek sosial budaya bangsa Indonesia.
4. Latar belakang pemikiran aspek kesejahteraan bangsa Indonesia.

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan materi yang kami bahas, kami mengambil kesimpulan bahwa


implementasi pendidikan kewarganegaraan itu perlu dan penting diterapkan dalam
kehidupan masyarakat terlebih di ruang lingkup kehidupan. Kehidupan kita tidak
akan lepas dari kehidupan bernegara dan berbangsa dengan menjunjung tinggi
nilai kebangsaan yang ada. Suatu bangsa tidak akan berdiri kokoh tanpa adanya
identitas bangsa yang jelas dan kuat.

3.2 Saran

Dalam implementasi paradigma baru kewarganegaraan kita perlu adanya


memberikan pendidikan kewarganegaraan kepada seluruh generasi bangsa
termasuk di ruang lingkup pendidikan/sekolah, masyarakat dan juga
pemerintahan. Perlu dijunjung tinggi nilai toleransi dan kesatuan dalam
melaksanakan implementasi tersebut.

19
DAFTAR PUSTAKA

Winarno. 2006. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama

Sumarsono, 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka


Utama

20

Anda mungkin juga menyukai