Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN BACA

Diserahkan Kepada Dosen Pengajar Mata Kuliah Pedidikan Kewarganegaraan


Bapak, Frans Dharmono M. Th, Sebagai
Persyaratan Untuk Memperoleh Nilai

Oleh:
Nama : Dame Glory Talenta Batubara
NIM : S1.I-2860722
Prodi : Teologi Kependetaan
Judul Buku : Pendidikan Kewarganegaraan
Penulis : Asep Sahid Gatara Fh, M, Si
Penerbit : Fokus Media Bandung

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI KATHAROS INDONESIA BEKASI


(STT-KAIND)
BEKASI, DESEMBER 2022
PENDAHULUAN

LANDASAN HUKUM DAN SEJARAH PENDIDIKAN


KEWARGANEGARAAN

Mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu


komponen kurikulum nasional yang wajib ada pada setiap penyelenggaraan
pendidikan tinggi. Landasan hukum dari PKn ialah Undang-Undang Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Sedangkan fungsi dan tujuannya disebutkan bahwa “Pendidikan Nasional


berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.

Ada beberapa defenisi-defenisi mengenai civic education, namun dari semuanya


diambil kesimpulan pengertian Pendidikan Kewarganegaraan yakni pendidikan
nasionalisme di satu sisi dan pendidikan demokrasi di sisi lain
BAB I

BANGSA DAN IDENTITAS NASIONAL

A. DEFENISI BANGSA
Bangsa merupakan salah satu bagian saja dari kategori-kategori
pengelompokan umat manusia, khususnya pengelompokan dari sudut pandang
politik. Menurut Ernest Renan (1823-1892), bangsa adalah “satu jiwa yang
melekat pada sekelompok manusia yang merasa dirinya bersatu, karena
mempunyai nasib dan penderitaan yang sama pada masa lampau dan
mempunyai cita-cita yang sama tentang masa depan”. Sedangkan Kranenburg
berpandangan bahwa pembentukan sesuatu bangsa selain faktor perasaan juga
dipengaruhi kuat oleh faktor kesadaran. “bangsa ialah setiap individu anggota
masyarakat pada umumnya sadar berkeinginan untuk mengorganisir secara
merdeka, sadar akan perasaan seia-sekata, dan sadar akan keberartiannya untuk
hidup bersama dengan golongan lain dalam satu organisasi atau Negara”.
Pandangan ini menegaskan bahwa sesuatu bangsa, pertama-tama dipersatukan
oleh hal-hal yang bersifat ideal, yaitu, persamaan nasib dan cita-cita; kemudian
oleh hal-hal yang bersifat psikis, yakni, perasaan, kesadaran dan kehendak;
bahkan oleh hal-hal yang bersifat fsikal, seperti ras, agama, suku, bahasa, dan
adat istiadat.
B. BANGSA DAN NASIONALISME
Bangsa dalam pengertian mutakhir, sebenarnya baru dikenal pada akhir
abad ke-18. Nasionalisme adalah perasaan atas dasar kesamaan asal-usul, rasa
kekeluargaan, rasa memiliki hubungan-hubungan yang lebih erat dengan
sekelompok orang daripada dengan orang-orang lain, dan mempunyai perasaan
berada di bawah satu kekuasaan. Kemudian, berdasarkan proses
pembentukannya, nasionalisme (Nurcholis Madjid) mengandung beberapa
prinsip umum, antara lain :

1. Kesatuan (Unity).

2. Kebebasan (Liberty).
3. Kesamaan (Equality).

4. Kepribadian (Identity).

5. Prestasi.

Sebelum nasionalisme muncul, telah ada paham kosmopolis, yakni paham


yang mengajarkan bahwa manusia bukan warga sesuatu Negara, tetapi warga
dunia. Dan nasionalisme dalam perkembangannya mengarah
kepada chauvinisme yakni suatu paham yang terlalu mengagung-agungkan
bangsa sendiri dan merendahkan bangsa lain.

C. PROSES PEMBENTUKAN NEGARA-NEGARA

Dr. Friederich Hertz mengemukakan bahwa kesadaran bernegara dari


suatu bangsa atau natie mengandung empat unsur, yakni :

1. Hasrat untuk mencapai kesatuan bangsa;

2. Hasrat untuk mencapai kemerdekaan bangsa;

3. Hasrat untuk mencapai keaslian bangsa;

4. Hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa.

D. PEMBENTUKAN IDENTITAS BERSAMA

Proses pembentukan identitas bersama menurut Ramlan Surbakti, adalah

1. Primodial, yakni, ikatan kekerabatan (darah dan keluarga) dan


kesamaan suku bangsa, daerah, bahasa, dan adat istiadat.
2. Sacral, yakni, kesamaan agama yang dipeluk oleh suatu masyarakat,
atau ikatanideology doktriner yang kuat dalam suatu masyarakat.
3. Tokoh, yakni, kepemimpinan dari seorang tokoh yang disegani dan
dihormati secara luas oleh masyarakat
4. Sejarah, yakni, persepsi yang sama tentang asal-usul nenek moyang dan
atau persepsi yang sama tentang pengalaman masa lalu seperti
penderitaan yang sama yang disebabkan oleh penjajahan tidak hanya
melahirkan solidaritas (sependeritaan dan sepenanggungan), tetapi juga
tekad dan tujuan yang sama antar kelompok masyarakat.
5. Bhineka Tunggal Ika, yakni, prinsip bersatu dalam perbedaan (unity in
diversity).
6. Perkembangan Ekonomi, yakni, perkembangan ekonomi
(industrialisasi) akan melahirkan spesialisasi pekerjaan yang beraneka
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
7. Kelembagaan, yakni lembaga-lembaga pemerintahan dan politik,
seperti birokrasi, angkatan bersenjata, dan partai politik.
E. IDENTITAS NASIONAL

Ada tiga unsur yang membentuk identitas nasional,


unsur pertama adalah suku bangsa. Di sini suku bangsa adalah golongan
sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama
coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Yangkedua agama,
yakni keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan
yangketiga kebudayaan, yakni pengetahuan manusia sebagai makhluk social
yang isinya perangkat-perangkat atau model-model pegetahuan secara
kolektif.
BAB II

PANCASILA

A. KONSEPSI DAN SEJARAH RUMUSAN PANCASILA

Dalam perspektif etimologi, kata Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta,


yaitupanca berarti lima dasar atau lima asas. Dalam perspektif terminology,
Pancasila adalah fasafah dan dasar Negara Republik Indonesia. Pengertian
falsafah itu sendiri dalam Buku Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) adalah
anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki orang atau
masyarakat. Sejak Negara Republik Indonesia merdeka, konsepsi Pancasila di atas
dirumuskan dalam berbagai dokumen resmi Negara, yaitu :

1. Rumusan Pertama : Piagam Jakarta (Jakarta Charter) – 22 Juni 1945


2. Rumusan Kedua : Pembukaan Undang-Undang Dasar – 18 Agustus 1945.
3. Rumusan Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat –
27 Des 1949.
4. Rumusan Keempat : Mukaddimah Undang-Undang Dasar Sementara – 15
Agus 1950.
5. Rumusan Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama
dengan merujuk pada Dekrtit Presiden – 05 Juli 1959.
6. Rumusan Keenam : Rumusan kedua dan kelima yang termuat dalam UUD
1945 hasil amandemen I (19 Oktober 1999 – 18 Agustus 2000),
amademen II (18 Agustus 2000 – 09 November 2001), amandemen III (09
November 2001 – 10 Agustus 2002), amandemen IV (10 Agustus 2002 –
Sekarang).

B. KEDUDUKAN, PERANAN, DAN FUNGSI PANCASILA

Terdapat beberapa predikat Pancasila yang bisa menggambarkan peranan dan


fungsinya. Di antaranya :
a) Pancasila sebagai dasar Negara
b) Pancasila sebagai ideologi Negara, terdiri dari empat aspek :
c) Ideologi memiliki fungsi umum untuk membentuk subjek.
d) Ideologi sebagai pengalaman yang dijalani tidaklah palsu.
e) Ideologi sebagai pemahaman yang keliru tentang kondisi nyata
eksistensi adalah palsu.
f) Ideologi terlibat dalam reproduksi formasi-formasi social dan relasi
mereka terhadap kekuasaan.
g) Pancasila sebagai perjanjian luhur bangsa.
h) Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia.
i) Pancasila sebagai falsafah hidup yang mempersatukan Bangsa
Indonesia.
j) Pancasila sebagai kepribadian Bangsa Indonesia.
k) Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
l) Pancasila sebagai cita-cita dan tujuan Bangsa Indonesia.
m) Pancasila sebagai satu-satunya azas dalam bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
n) Pancasila sebagai moral pembangunan.

Dilanjutkan dengan Bab IV halaman 41 sampai Bab VI halaman 81, pada tanggal
31 September 2012, dengan ringkasan sebagai berikut :
BAB III

KEWARGANEGARAAN

A. DEFENISI KEWARGANEGARAAN

Secara bahasa kewarganegaraan berarti hal yang berhubungan dengan


warga Negara, atau keanggotaan sebagai warga Negara. Istilah ini dahulu
biasa disebut hamba atau kaula Negara.

B. ASAS-ASAS KEWARGANEGARAAN

Pertama, penduduk adalah mereka yang bertempat tinggal atau


berdomisili di dalam wilayah Negara. Kedua, pengertian warga Negara ialah
mereka yang berdasarkan hukum merupakan anggota dari suatu Negara. Ada
tiga unsur dasar atau asas yang menentukan warga Negara atau
kewarganegaraan seseorang.

1. Asas “keturunan atau pertalian darah” atau ius sanguins (law of the blood).

2. Asas “kedaerahan” atau “territorial” atau “ius soli” (law of the soil).

3. Asas “pewarganegaraan” atau “naturalisasi”

Kita juga mengenal “empat status” warga Negara, yakni :

1. Status Positif, warga Negara yang memperoleh fasilitas dan jaminan


untuk mendapatkan kemakmuran dari Negara;
2. Status Negatif, Negara tidak akan mencampuri hak asasi rakyatnya
bila tidak perlu;
3. Status Aktif, warga Negara ikut dalam pemerintahan Negara;
4. Status Pasif, tunduk pada ketentuan-ketentuan Negara.
C. CARA MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN INDONESIA
Proses mendapatkan status warga Negara dijelaskan dalam Undang-
Undang No. 62 tahun 1958. Ada tujuh cara memperoleh kewarganegaraan
Indonesia, yaitu :

1. Karena kelahiran;

2. Karena pengangkatan;

3. Karena dikabulkannya permohonan;

4. Karena pewarganegaraan, dapat ditempuh melalui syarat-syarat


sebagai berikut :

a) Berusia 18 tahun atau sudah kawin.


b) Telah bertempat tinggal di Indonesia paling singkat 5 tahun berturut-
turut, dan paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut.
c) Sehat jasmani dan rohani.
d) Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar Negara Pancasila
dan UUD 1945.
e) Tidak pernah dijatuhi pidana.
f) Tidak memiliki kewarganegaraan ganda.
g) Mempunyai pekerjaan dan penghasilan tetap.
h) Membayar uang pewarganegaraan ke kas Negara.
i) Permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh pemohon
secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai
cukup kepada Presiden melalui Menteri.
j) Berkas permohonan pewarganegaraan disampaikan kepada pejabat.

5. Karena perkawinan;

6. Karena turut ayah dan ibu, serta;

7. Karena pernyataan.

D. HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA INDONESIA


Hak-hak warga Negara itu adalah Hak Asasi Manusia yang rumusan
lengkapnya dimuat dalam pasal 28 UUD 1945 hasil amandemen kedua :

1. Hak kebebasan beragama dan beribadat sesuai dengan kepercayaannya.


2. Bebas untuk berserikat dan berkumpul.
3. Hak atas pengajuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil.
4. Hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja.
5. Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
6. Hak atas status kewarganegaraan.

Sedangkan masalah kewajiban bagi setiap warga Negara misalnya adalah :

1. Membayar pajak sebagai kontrak utama antara Negara dengan warga.


2. Membela tanah air.
3. Membela pertahanan dan keamanan Negara.
4. Menghormati hak asasi orang lain dan mematuhi pembatasan yang
tertuang dalam peraturan.

E. DINAMIKA UU KEWARGANEGARAAN RI

Ada tiga alasan mendasar terbitnya UU,

1. Secara Filosofis, UU No. 62 Tahun 1958 masing-masing mengandung


ketentuan yang tidak sejalan dengan falsafah pancasila.
2. Secara Yuridis, landasan konstitusional pembentukan Undang-Undang
Nomor 62 Tahun 1958 adalah UUDS Tahun 1950 yang sudah tidak
berlaku sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali
kepada UUD 1945.
3. Secara Sosiologis, UU Nomor 62 Tahun 1958 sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan gobal, yang
menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warga
Negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender.

BAGIAN V

NEGARA

A. KONSEPSI NEGARA

Secara literal istilah Negara semakna-sebangun dengan istilah dari


bahasa asing, yakni baladun (bahasa Arab), state (bahasa
Inggris), staat (bahasa Belanda dan Jerman), dan etat (bahasa prancis).
Khusus kata staat, state dan etat diambil dari sitilah latin,
yaknistatus atau statum, yang berarti keadaan yang tehak dan tetap atau
sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Sementara
secara terminologi pengertian Negara dapat diartikan dari pandangan
beberapa ahli, yang kemudian secara sederhana Negara adalah “organisasi
masyarakat tertinggi yang memiliki territorial dan kekuasaan untuk mengatur
dan memelihara rakyatnya (masyarakat) dibawah perundang-undangan
(hukum).

B. TEORI ASAL MULA NEGARA

Terdapat dua mainstream pendekatan yang menjelaskan bagaimana


asal-mula Negara. Pertama, pendekatan faktual, pendekatan ini didasarkan
pada kenyataan yang benar-benar terjadi, yang dapat ditelusuri dari
pengalaman dan sejarah, pendekatan factual sangat menekankan pada
kenyataan sejarah, antara lain :
1. Suatu wilayah atau daerah beum ada yang menguasai, kemudian
diduduki oleh suatu bangsa.
2. Suatu wilayah atau daerah yang semula termasuk wilayah Negara
tertentu, kemudian melepaskan diri dari Negara itu dan menyatakan
kemerdekaannya.

Kedua, pendekatan teoritis, pendekatan ini didasarkan pada


penggunaan metode falsfah, yaitu membuat dugaan-dugaan berdasarkan
kerangka pemikiran yang logis, seperti : teori Ketuhanan, teori hukum alam,
teori kekuasaan, teori perjanjian masyarakat, teori organis, dan teori garis
kekeluargaan.

C. UNSUR-UNSUR NEGARA

Negara terdiri dari beberapa unsur pembentuk, ada yang bersifat


mutlak ataukonstitutif, adan ada yang bersifat tambahan atau deklaratif. Ada
beberapa unsur pembentuk Negara, antara lain :

1. Rakyat.

2. Wilayah.

3. Pemerintah.

4. Pengakuan dari Negara-negara lain.

D. TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA

Tujuan Negara dapat diartikan juga sebagai visi Negara. Secara umum
tujuan akhir setiap Negara adalah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya,
tujuan kebahagiaan tersebut, seperti : keamanan dan keselamatan, serta
kesejahteraan dan kemakmuran. Menurut Roger H. Soltau tujuan Negara,
sebagaiman dikutip Miram Budiardjo, adalah memungkinkan rakyatnya
“berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin”.
Terlepas dari ragam tujuan Negara, fungsi Negara ialah :

1. Melaksanakan penertiban.

2. Megusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.

3. Pertahanan, yakni untuk menjaga segala kemungkinan serangan dari


luar.

BAB IV

KONSTITUSI

A. DEFENISI KONSTITUSI

Bila ditelusuri secara literal kata konstitusi (constitution) berasal dari


bahasa Pranciscontituir, yang berarti membentuk. Kemudian dalam bahasa
Belanda, kata konstitusi dikenal dengan istilah Groundwet, yang berarti
UUD (ground=dasar, wet=undang-undang), dalam bahasa jerman kata
konstitusi juga dikenal dengan istilah Grundgesetz,yang juga berart
UUD (grund=dasar, dan gesetz=undang-undang). Abu Daud Busroh dan Abu
Bakar Busroh, mengutip dari Dede Resyada et al, membagi pengertian
konstitusi ke dalam dua pengertian, yakni :

1. Pengertian Sosiologis dan Politis, konstitusi merupakan shintesa faktor


kekuatan yang nyata dalam masyarakat.
2. Pengertian Yuridis, konstitusi adalah suatu naskah yang membuat semua
bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.

B. CIRI-CIRI DAN TUJUAN KONSTITUSI

Menurut Miriam Budiardjo, setidaknya setiap konstitusi memuat lima


ketentuan, adapun kelima ketentuan tersebut adalah :
1. Organisasi Negara.
2. Hak-Hak Azasi Manusia.
3. Prosedur mengubah UUD.
4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.
5. Memuat cita-cita rakyat dan azas-azas ideologi Negara.

Disamping kelima hal diatas, konstitusi menurut Sovernin Lohman


yang dikutip Dede Rosyada, et al, harus memuat unsur-unsur sebagai berikut :

1. Konstitusi dipandang sebagai perwujudan perjanjian masyarakat.


2. Konstitusi sebagai piagam yang menjamin hak-hak azasi manusia dan
warga negara sekaligus penentuan batas-batas hak dan kewajiban warga
negara dan alat-alat pemerintahannya.
3. Konstitusi sebagai forma regimenis yaitu kerangka bangunan
pemerintahan.

Ada beberapa tujuan konstitusi, antara lain :

1. Pembatasan sekaligus pengawasan terhadap proses-proses kekuasaan


politik;
2. Melepaskan kontrol kekuasaan dari penguasa sendiri;
3. Memberikan batasan-batasan ketetapan bagi para penguasa dalam
menjalankan kekuasaannya;
4. Aturan main fundamental bagi setiap kehidupan bermasyarakat dan
kehidupan bernegara.

C. PERUBAHAN KONSTITUSI

Adapun prosedur yang dapat digunakan untuk mengubah suatu


konstitusi menurut Miriam Budiardjo adalah ada empat macam, yaitu :

1. Sidang badan legislatif dengan ditambah dengan beberapa syarat;

2. Referendum atau plebisit;


3. Negara-negara bagian dalam negara federal;

4. Musyawarah khusus.

Sedangkan menurut CF. Strong, prosedur perubahan konstitusi, antara lain :

1. Dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetapi menurut


pembatasan-pembatasan tertentu;
2. Dilakukan oleh rakyat melalui referendum;
3. Dilakukan oleh sejumlah negara-negara bagian;
4. Dilakukan dalam suatu konvensi atau suatu lembaga negara khusus.

Sedangkan menurut K.C. Where, antara lain :

1. Beberapa kekuatan yang bersifat primer.

2. Perubahan yang diatur dalam konstitusi.

3. Penafsiran secara hukum.

4. Kebiasaan yang terjadi dalam bidang ketatanegaraan.

Untuk Indonesia, wewenang mengubah UUD berada di tangan


lembaga tertinggi negara, yaitu MPR, dengan ketentuan :

1. Quorum adalah 2/3 dari anggota MPR;


2. Sedangkan usul-usul perubahan UUD harus diterima oleh 2/3 dari
anggota yang hadir

Di Indonesia ada delapan praktik perubahan konstitusi, antara lain :

1. UUD 1945 (18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949);


2. Undang-Undang Dasar Indonesia Serikat / Kostitusi RIS (27
Desember 1949 – 17 Agustus 1950);
3. UUDS RI 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959);
4. UUD 1945 (5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999);
5. UUD 1945 dan Perubahan I (19 Oktober 1999 – 18 Agustus 2000);
6. UUD 1945 dan Perubahan I dan II (18 Agustus 2000 – 9 Nopember
2001);
7. UUD 1945 dan Perubahan I,II, dan III (9 Nopember 2001 – 10
Agustus 2002);
8. UUD 1945 dan Perubahan I,II,III dan IV (10 Agustus 2002 –
sekarang).

D. HIREARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Hirearki Peraturan Perundang-undangan Indonesia Menurut TAP MPR


Nomor III/MPR/2000
Hirearki Peraturan Perundang-Undangan Indonesia menurut UU Nomor 10
Tahun 2004,

Terakhir saya membaca Bab VII halaman 83 sampai Bab XII halaman
154, pada tanggal 06 October 2012, dengan ringkasan sebagai berikut :
BAB V

GOOD GOVERNANCE

PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN

A. DEFENISI DAN PILAR-PILAR GOOD GOVERNANCE

Ada empat pengertian yang menjadi arus utama, yakni : Pertama,


good governance dimaknai sebagai kinerja suatu lembaga. Kedua, good
governance dimaknai sebagai penerjemahan kongkrit dari demokrasi dengan
meniscayakan civic culture sebagai penopang keberlanjutan demokrasi itu
sendiri. Ketiga, good governance diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan
yang baik. Keempat, good governance diartikan dengan istilah aslinya atau
tidak diterjemahkan karena memandang luasnya dimensi.

B. PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE

Masyarakat Transparansi Indonesia merumuskannya sebagai berikut :

1. Partisipasi Masyrakat;

2. Tegaknya supremasi hukum;

3. Transparansi;

4. Peduli pada stakeholder;


5. Berorientasi pada konsensus;

6. Kesetaraan;

7. Efektifitas dan Efisiensi;

8. Akuntabilitas;

9. Visi Strategis.

C. PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN


1. KONSEPSI, Pemerintah adalah aparat yang menyelengarakan tugas dan
kewenangan negara, sedangkan pemerintahan adalah tugas dan
kewenangan negara itu sendiri.
2. Bentuk Pemerintahan : Monarki, Oligarki dan Demokrasi.
3. Bentuk Pemerintahan : Kerajaan dan Republik.
4. Sistem Pemerintahan : Pemerintahan Presidensial dan Pemerintahan
Parlementer.
BAB VI

HUBUNGAN SIPIL – MILITER

A. MILITER DAN POLITIK


Berbicara hal ini, ada beberapa pertanyaan yang sering muncul, misalnya,
mengapa militer cenderung terlibat dalam bidang non-militer atau arena
politik.
1. Militer yang berbasis karakteristik organisasi militer profesional Barat
seperti komando sentralistik, hirarki, disiplin dan kohesif. Di sini
fungsi militer berkaitan dengan management of violence. Sementara
perilaku politik tentara dalam organisasi lebih banyak ditekankan
kapada dinamisasi internal organisasi militer daripada keluar dari
tataran lingkungan kemiliteran.
2. Aliran pemikiran yang lebih menekankan kepada aspek
kemasyarakyatan sebagai suatu keseluruhan unit analisa dari aturan-
aturan kemiliteran. Di sini keterlibatan atau intervensi militer ke
dalam politik, seperti diterangkan S.E. Finer, dihasilkan dari kondisi
lingkungan masyarakat yang rendah atau minimal dalam budaya.
3. Aliran pikiran yang lebih menekankan kepada dinamisasi internal dan
hirarkhi kemiliteran, klik atau perkomplotan internal militer,
kepentingan korporasi, ambisi pribadi dan perilaku khas dari militer
dalam menjelaskan perilaku politik militer.
B. POLA HUBUNGAN SIPIL-MILITER DAN KEAMANAN
INTERNASIONAL

Ada beberapa alasan mengapa minat hubungan sipil-militer tidak


menonjol, antara lain :

1. Para pemimpin sipil tidak begitu tertarik untuk membicarakan persoalan-


persoalan yang mereka hadapi menyangkut hubungannya dengan militer,
sebab persoalan-persoalan itu akan membuat sipil lemah.
2. Milter tidak ingin menyoroti dan melemahkan kontrol sipil
disebabkan gagasan subordinasi militer terhadap otoritas sipil telah
berurat akar dalam kultur profesional militer.
3. Minat publik terhadap hubungan sipil-militer telah berkurang secara
dramatis sejak pasca perang dingin dan melemahnya kontrol sipil atas
militer tampak dengan mudah.

C. DINAMIKA HUBUNGAN SIPIL-MILITER INDONESIA

Ada beberapa penjelasan tentang persoalan hubungan sipil-militer di


indonesia. Diantaranya dapat dijalsakan melalui pendekatan kualitas
demokrasi dan pendekatan akar historis.

D. KUALITAS DEMOKRASI

Demokrasi Indonesia masih berwajahkan “transisi”, dan menurut


Guillermo O`Donnel dan Schmitter paling tidak ada lima kemungkinan yang
bisa terjadi dari suatu proses demokrasi transisi.

1. Terbentuknya restorasi atau sistem otoriter dalam bentuk baru


2. Terjadi revolusi sosial yang disebabkan menajamnya konflik-konflik
kepentingan di tengah masyarakat.
3. Liberalisasi terhadap sistem otoriter, yang dilakukan oleh penguasa pasca
masa transisi, dengan tujuan untuk mendapat dukungan politis dan
mengurangi tekanan-tekanan masyarakat.
4. Merupakan kebalikan dari yang ketiga, penyempitan proses demokrasi
dari sistem liberal kepada demokrasi limitatif dan terbentuknya
pemerintahan yang demokratis.
E. AKAR HISTORIS

Pendekatan ini setidaknya dapat tergambarkan dalam sketsa sejarah berikut :

1. Masa demokrasi parlementer atau demokrasi liberal, 1945-1959, pada


masa ini militer Indonesia benar-benar di bawah pemerintahan sipil.
Dimasa inilah terjadi rasionalisasi tentara dan pembentukan ABRI.
2. Masa demokrasi terpimpin, 1959-1966, pasa masa ini Indonesia dipimpin
oleh tokoh sipil (Ir. Soekarno) yang bergaya militer.
3. Masa demokrasi Orde Baru. Pada masa ini rakyat Indonesia diperintah
oleh tokoh tentara (Jenderal Besar Soeharto) dengan otoriterian militer.
Kontrol militer terhadap kehidupan sipil menjelma dan dilembagakan
melalui kebijakan politik dwi fungsi ABRI (sekarang TNI).
4. Awal era Reformasi, 1998-1999. Di awal era ini elit tentara kembali
melakukan langkah-langkah yang tidak populer dalam menangani
beberapa peristiwa politik, misalnya penculikan aktivis, penembakan
mahasiswa, dan pelanggaran HAM di Timor-Timur. Sehingga
menimbulkan tuntutan terbuka, sehingga diambil kebijakan : Dicabutnya
dwi fungsi ABRI, Keluarnya tentara dari lembaga legislatif DPR,
Kebijakan pengarusutamaan profesionalisme TNI.
KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai