Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN PERTAMA:

KEBUDAYAAN
A. Pengertian dan Ciri Khas
Kata kebudayaan atau budaya ada yang memaknai sama, namun ada yang
membedakannya. Pertama, Kedua kata (kebudayaan dan budaya) disamakan maknanya karena
keduanya sama-sama berasal dari kata yang sama. Kebudayaan atau budaya berasal dari Bahasa
Sansakerta yaitu: ‘buddhi’ atau ‘buddhayyah’ yang berarti ‘akal/budi.’ Jadi kebudayaan atau
budaya berarti hal-hal yang terkait dengan akal/budi.
Kedua, makna kebudayaan dan budaya berbeda. Budaya berasal dari kata ‘budi’ dan
‘daya.’ Artinya ‘daya dari budi yaitu cipta, karsa, dan rasa.’ Adapun ‘kebudayaan’ berarti ‘hasil
cipta, karsa, dan rasa manusia.’
Dalam Bahasa Latin kebudayaan berasal dari kata ’culture.’ ‘Culture’ berarti
‘mengolah’, atau ‘mengerjakan’ (tanah, pertanian). Artinya, segala daya upaya dan tindakan
manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam.
Secara terminologis terdapat perbedaan di antara para ahli, tergantung kepada latar
belakang keahlian dan keilmuan mereka. Menurut Koentjaraningrat kebudayaan adalah:
‘keseluruhan gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dimiliki individu melalui proses belajar.’
Koentjaraningrat melihat kebudayaan itu sangat luas yang intinya mencakup 3 aspek
yaitu ide atau gagasan, tindakan atau aktivitas dalam berbagai aspek, dan hasil karya manusia
atau aspek fisik,
Adapun menurut James Spreadly, kebudayaan adalah ‘seperangkat pengetahuan yang
yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial yang dijadikan sebagai pedoman bertindak, dan
menafsirkan serta mempersepsi orang lain.’
Spreadly melihat inti kebudayaan adalah aspek kognisi berupa pengetahuan atau ide-
ide yang ada dalam diri manusia. Pengetahuan yang dimiliki manusia mendorongnya untuk
bertindak atau melakukan sesuatu. Pengetahuan juga berpengaruh kepada cara menusia
menafsirkan sesuatu dan cara mempersepsi terhadap orang lain.
Seseorang setengah menundukkan muka ketika berbicara dengan orang yang lebih tua
merupakan tindakan yang didasarkan atas pengetahuan tentang sopan santun berbicara. Begitu
juga dengan cara tertentu ketika duduk, berdiri, dan makan-minum merupakan tindakan yang
didasarkan atas pengetahuan seseorang. Perbedaan pandangan dalam banyak hal disebabkan
adanya perbedaan penafsiran. Perbedaan penafsiran terjadi karena setiap individu atau
kelompok memiliki latar belakang pengetahuan yang berbeda. Antar individu dalam satu suku
atau antar suku dimungkinkan terjadi persepsi yang berbeda. Bahkan antar teman, saudara, dan
kerabat bisa melahirkan persepsi yang beragam karena perbedaan pengetahuan. Misalnya, si A
dari suku Jawa menganggap si-B dari suku Madura sebagai orang keras, dan sebaliknya si B
kepada si A sebagai orang yang halus tapi tidak bisa ditebak niat dalam hatinya. Hal ini
semuanya karena si-A dan si B memiliki pengetahuan sebelumnya tentang karakteristik orang
Jawa dan Maduran.
Konsep kebudayaan terkait dengan konsep peradaban. Peradaban (civilization) merupakan
‘bagian dari unsur budaya yang halus, indah, maju (sopan santun, seni, ilmu pengetahuan,
pandai tulis-baca)’. Peradaban juga dapat disebut sebagai ‘kebudayaan yang punya sistem iptek,
seni, sistem negara, dan masyarakat kota yang maju dan kompleks.’ Dengan kata lain,
peradaban terkait dengan puncak dari suatu kebudayaan , atau kebudayaan yang sudah tinggi.
Kebudayaan hanya dimiliki manusia, Adapun ciri-ciri kebudayaan tersebut meliputi:
1. Hampir semua kegiatan manusia termasuk dalam ketegori kebudayaan. Intinya cara
manusia melakukan sesuatu itu adalah kebudayaan. Cara manusia berjalan, menangis,
duduk, berdiri, makan-minum, berbicara dengan orang lain, sampai dengan cara
berpolitik dan berekonomi, termasuk kategori kebudayaan. Adapun orang dapat
menangis, dapat berdiri tegak, duduk dan lainnya bukanlah kebudayaan, tetapi bawaan
atau naluri.
2. Kebudayaan diperoleh melalui warisan sosial yaitu melalui proses belajar (sosialisasi,
enkulturasi), bukan melalui warisan organik atau keturunan
3. Hanya dimiliki manusia sebagai anggota masyarakat. Karena itu manusia yang tidak
terlahir di tengah kehidupan manusia lain, misalnya berada di tengah kehidupan
kelompok khewan, maka manusia tersebut tidak akan memiliki kebudayaan, meskipun
dia diberi potensi akal.
4. Kebudayaan merupakan pembeda manusia dengan khewan justru karena manusia
diberi akal, sedangkan khewan atau binatang tidak memiliki akal.
5. Manusia mengonstruksi dan merubah kebudayaan, sebaliknya kebudayaan sekaligus
mengatur hidup manusia sejak lahir sampai mati.
6. Kebudayaan terus berlangsung walau manusia berubah yaitu dari sejak lahir, anak-
anak, remaja, dewasa dan mati

B. Bentuk-Bentuk Kebudayaan
Hampir keseluruhan tindakan manusia termasuk dalam kategori kebudayaan. Sebab
hanya sedikit tindakan manusia dalam masyarakat yang tidak memerlukan belajar. Adapun
yang bukan kebudayaan adalah: (1) tindakan naluriyah (makan, minum, berjalan dengan kedua
kaki). (2) Refleks dan tindakan membabi buta. (3) Tindakan fisologis.
Bentuk-bentuk kebudayaan beragam, tergantung kepada segi atau aspeknya. Dalam
kajian ini akan dilihat dari aspek institusi, sumber, dan dari segi keumumannya.
1. Dilihat dari aspek institusi
Dari aspek institusi kebudayaan dapat dibagi ke dalam kebudayaan keluarga, kebudayaan
suku, kebudayaan daerah, dan kebudayaan nasional.
a. Kebudayaan Keluarga
Kebudayaan keluarga adalah kebudayaan yang berada di dalam lingkungan keluarga.
Kebudayaan ini dibangun oleh orang tua atau orang-orang yang dianggap tua (dituakan) oleh
lingkungan keluarga, dan kumpulan kerabat seperti marga atau trah. Kebudayaan keluarga
merupakan kebudayaan awal yang diketahui dan diterapkan oleh manusia. Hal ini wajar karena
manusia lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga.
Keluarga adalah suatu satuan sosial terkecil yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial.
Ada dua jenis keluarga yaitu keluarga inti (neucler family) dan keluarga luas (extended family).
Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari suami-isteri, dan anak-anak. Pada saat sekarang
keluarga inti selain terdiri dari suami-isteri dan anak-anak, juga dapat diartikan juga sebagai
keluarga yang terdiri dari suami atau isteri dengan anak-anak, atau suami-isteri tanpa anak-
anak.
Keluarga luas adalah keluarga inti ditambah dengan kerabat yang memiliki hubungan darah
dari garis ayah /suami dan atau ibu/isteri, misalnya paman-bibi, kakek-nenek, ponakan, dan
lainnya. Saat ini keluarga luas mulai berkurang secara perlahan-lahan, seiring dengan proses
modernisasi dalam masyarakat. Masih adanya keluarga luas karena beberapa faktor misalnya
karena ada rumah tangga baru yang belum mampu membangun rumah sendiri. Selain itu karena
adanya kebiasaan dari orang tua mempertahankan seorang anaknya yang sudah menikah untuk
tetap menempati rumahnya dengan tujuan agar anaknya mendampingi orang tua yang sudah
lanjut usia. Artinya, faktor ekonomi dan sosial yaitu penghormatan terhadap orang tua yang
sudah lanjut usia menjadi penyebab masyarakat mempertahankan struktur keluarga luas.
Proses kian berkurangnya keluarga luas dan kian berkembangnya keluarga inti disebut juga
dengan proses kontraksi keluarga. Proses kontraksi keluarga ini berkembang seiring dengan
kian kuatnya perubahan pola tempat tinggal pasangan baru yaitu dari pola patrilokal ke
neolokal. Pola neolokal terjadi karena terkait dengan kian berkurangnya tanah, sehingga
pasangan baru melakukan mobilitas horizontal ke tempat lain. Fenomena ini juga terkait dengan
bergesernya usia nikah yaitu dari perkawinan usia muda ke perkawinan usia yang lebih dewasa,
sehingga pasangan baru lebih matang dan mandiri secara ekonomi dan mental
Proses kontraksi keluarga ini nampaknya sejalan dengan yang dikemukakan Durkheim dan
Parsons (dalam Polak, 1979) atas pengamatannya di masyarakat Barat ketika menuju
masyarakat moderen. Bagi Parsons meluasnya keluarga inti karena memang struktur keluarga
luas tidak sejalan dengan prinsip masyarakat moderen. Proses kontraksi ini terjadi pada semua
lapisan sosial. Hal ini tidak seperti temuan Rene Konig (dalam Polak, 1979), yang menyatakan
bahwa keluarga luas hanya banyak berkembang pada lapisan atas, sedangkan keluarga inti
banyak berkembang pada lapisan bawah. Memang ada perbedaan akselarasi pada setiap
keluarga karena adanya perbedaan kemampuan secara ekonomis.
Ada dua dimensi yang nampak saling bertentangan akibat dari proses kontraksi keluarga
dalam masyarakat. Di satu sisi hubungan sosial tetap berlangsung di antara keluarga inti yang
sekerabat, namun di sisi lain memunculkan liberalisasi dan isolasi sosial di antara keluarga inti.
Pertama, sebagai layaknya pada masyarakat yang lebih bersifat rural, walaupun terjadi
proses kontraksi keluarga, interaksi sosial antar keluarga inti yang sekerabat tetap berlangsung,
baik yang saling berjauhan maupun yang saling berdekatan. Hubungan itu terasa semakin akrab
jika antara kedua keluarga inti saling berjauhan. Adanya pola hubungan antar keluarga inti
sekerabat tersebut nampaknya tidak jauh berbeda dengan temuan Young dan Willmott di
masyarakat London Timur serta Rosser dan Harris (dalam Cuff and Payne, 1984). Keduanya
menemukan bahwa pada masyarakat moderen hubungan keluarga luas tidak sepenuhnya hilang,
walaupun keluarga inti semakin meluas. Kecenderungan seperti ini nampak juga dalam
penelitian Lewis (1988) dalam kasus orang Meksiko, khususnya keluarga Martinez. Dalam
kasus tersebut Lewis menggambarkan adanya hubungan sosial yang senantiasa dilakukan
antarkeluarga inti seperti antara orang tua Matinez dengan keluarga anaknya yang tertua,
Conchita. Banyak pasangan muda yang pindah jauh dari rumah orang tuanya, mereka masih
cukup memelihara hubungan secara teratur. Apalagi di kalangan muslim mengenal tradisi
mudik dan silaturrahmi dalam banyak peristiwa seperti pada waktu lebaran idul-fitri, juga pada
waktu upacara lingkaran hidup dari keluarga.
Kedua, proses kontraksi keluarga memunculkan otonomi keluarga inti yang lebih kuat.
Otonomi ini ditandai dengan terjadinya proses liberalisasi dan munculnya isolasi sosial dari
anggota keluarga inti. Anggota keluarga inti lebih mempunyai kebebasan dalam memutuskan
hal yang terkait dengan persoalan internal keluarga, termasuk dalam pengasuhan anak dan
sosialisasi nilai-nilai keagamaan dan tradisi. Dengan demikian ayah-ibu menjadi faktor primer
dalam proses pengasuhan anak dalam keluarga, sedangkan anggota kerabat yang lain menjadi
faktor sekunder.
Kecenderungan ini telah menjadi perhatian Goode (1966) beberapa dekade yang lalu dalam
kehidupan keluarga masyarakat Barat. Menurutnya, pola keluarga inti (konjugal dalam istilah
Goode) yang menyebabkan adanya kebebasan seperti dalam penentuan pasangan hidup. Hal ini
karena dalam sistem keluarga konjugal suami-istri mempunyai otonomi dalam kehidupan
keluarganya, sehingga mereka menjadi lebih independen dan kontrol sosial dari keluarga yang
sekerabat menjadi lemah.
Adanya kesamaan hasil kajian Goode di negara-negara Barat (Eropa dan Amerika Serikat)
dengan hasil penelitian ini nampaknya dapat dilihat dari sistem kekerabatan yang ada pada
masyarakat Barat dengan masyarakat Jawa yaitu sama-sama bilateral (Suparlan dalam Berita
Antropologi, April-Juni 1989). Sistem kekerabatan bilateral sistem kekerabatan yang
didasarkan atas dua jalur keturunan yaitu dari pihak bapak (laki-laki) dan ibu (perempuan).
Karena itu orang yang sekerabat dalam masyarakat yang dominan sistem kekerabatan
bilateralnya adalah mereka yang sekerabat dengan pihak ayah atau ibu, baik melalui hubungan
perkawinan maupun keturunan. Salah satu ciri khas dari kekerabatan bilateral adalah lemahnya
peranan kerabat dari pihak bapak atau ibu dalam urusan domestik keluarga batih, sebaliknya
keluarga mempunyai kemandirian yang cukup tinggi.
Keluarga merupakan miniatur masyarakat atau masyarakat kecil karena di dalamnya
terdapat interaksi antar anggotanya sebagaimana terdapat dalam masyarakat. Di dalam
keluarga selalau terjadi proses pembelajaran kebudayaan (enkulturasi) sebagaimana
enkulturasi dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Karena itu di dalamnya terdapat
manusia pembelajar dan yang belajar kebudayaan. Di dalam keluarga inti, pembelajar
kebudayaan adalah bapak/suami dan atau ibu/isteri, serta manusia yang belajar kebudayaan
yaitu anak-anak. Atau suami sebagai pembelajar kebudayaan dan isteri, sebagai yang belajar
kebudayaan atau sebaliknya, jika keluarga itu tanpa anak-anak. Di dalam keluarga luas,
pembelajar kebudayaan bukan hanya suami-isteri/orang tua, namun juga anggota kerabat yang
dituakan dalam keluarga seperti kakek-nenek, paman-bibi.
Dalam Sosiologi dikenal dengan istilah sosialisasi nilai yaitu proses peralihan nilai-nilai
(keluarga, agama, suku) dari seorang atau kelompok kepada orang lain, dari orang tua kepada
anak-anaknya dan anggota keluarga lain. Ada dua jenis sosialiasi nilai kepada anak-anak yaitu
sosialisasi primer (primary sosialization), dan sosialisasi sekunder (secondary sosialization)
(Robinson, 1989). Sosialisasi primer berlangsung ketika anak pertama kali memperoleh
identitasnya sebagai pribadi. Pada tahapan ini anak sebagian besar menerima sosialisasi dari
orang tua. Adapun sosialisasi sekunder merupakan sosialisasi setelah anak beranjak dewasa,
dalam masa ini anak menjadi anggota masyarakat yang lebih luas dan menerima nilai-nilai
dari masyarakatnya, selain dari keluarganya.
b. Kebudayaan Suku dan Daerah
Kebudayaan suku juga dapat dimaknai dengan kebudayaan marga. Anak-anak setelah usia
tertentu mulai berinteraksi dengan manusia di luar keluarga, mereka mulai berinteraksi dengan
teman-teman sebaya dan orang lain di luar anggota keluarga. Begitu juga dengan orang tua,
mereka berinterksi dengan orang-orang di luar anggota keluarga. Karena itu mereka memasuki
dalam sebuah kebudayaan suku, atau paling tidak kebudayaan marga.
Dalam masyarakat yang lebih tradisional, anggota sebuah suku hidup dalam sebuah lokasi
yang eksklusif, misalnya suku Anak Dalam di Jambi, suku Tengger di Jawa Timur, Badui di
Jawa Barat, suku Asmat di Papua. Pada era modern suku-suku yang hidup secara eksklusif
mulai cair, sehingga kebudayaan suku juga mulai cair, karena mulai berinteraksi juga dengan
anggota suku yang lain. Anggota suatu suku mulai terbuka (inklusif), sehingga kebudayaan
suku mulai cair juga.
Pada saat ini, seiring dengan intensitas migrasi penduduk dari suatu daerah atau bahkan
suatu negara ke daerah/negara lain. Perkawinan antar suku/daerah juga melahirkan
manusia/generasi yang tidak sekedar berinteraksi dengan suku ibu atau bapaknya. Sebaliknya
terjadi intereksi dengan kebudayaan di luar kebudayaan suku orang tuanya tersebut. Bahkan
anak-anak yang lahir dari orang tua yang berbeda suku, maka anak-anak akan memiliki double
bahkan varian kebudayaan, dan pada akhirnya mereka sering berada dalam posisi sebagai
manusia yang kehilangan identitas budaya (sukunya) atau manusia yang berada di simpang
kebudayaan. Ketika mereka ditanya sukunya apa, mereka bingung menjawabnya dan lebih me-
nasionalis, ‘Indonesia’. Sebab, misalnya, bapaknya berasal dari suku Jawa, sedangkan ibunya
berasal dari Madura. Bahasa yang digunakan dalam keluarga campuran antara bahasa Indonesia
dengan bahasa setempat dimana mereka tinggal, atau bahasa suku yang lebih dominan
digunakan dalam keluarga. Mereka dianggap kehilagan identitas kebudayaan suku karena
mereka tidak secara intensif lagi berbahasa suku, juga kurang bahkan tidak memahami seluk
beluk kebahasaan dan adat istiadat suku. Inilh yang terjadi juga pada sebagian generasi milenial
saat ini.
Ditengah-tengah arus modenisasi, ada perkembangan baru dalam kehidupan
kekerabatan di Indonesia yaitu berkembangnya trah. Sairin (dalam Republika, 29 Maret 1993)
membagi jenis trah ke dalam empat kelompok yaitu (1) Bangsawan trah seperti Paguyuban
trah Hamengku Buwono I, (2) Priyayi trah seperti Rekso Rukun Trah, Trah Suroharjan, Trah
Pringgodigdo, (3) Santri trah seperti Bani Ilham, Bani Wahab, (4) Trah wong cilik seperti
Trah Surodimejan. Dasar pengelompokan ini nampak bersifat jumboh, terutama karena adanya
jenis nomor 3 yaitu santri trah. Dasar pengelompokan trah jenis 1, 2, dan 4 adalah strata sosial,
sedangkan dasar pengelompokan trah jenis 3 adalah tingkatan keberagamaan, dan karenannya
semestinya ada trah abangan.
Sementara jika dilihat dari agama yang dianut anggota trah dapat dibagi ke dalam trah
heterogen dan homogen. Trah heterogen adalah trah yang latar belakang agama anggotanya
berbeda-beda, misalnya ada yang Islam, Kristen, Katolik, Hindu , atau Budha. Sebaliknya trah
homogen adalah trah yang anggotanya menganut satu agama.
Fungsi trah cukup banyak yaitu: (1) Sebagai pelindung nilai-nilai tradisional. (2) (2)
Sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai. (3) Sebagai pemersatu dari suku dan agama yang berbeda.
(4) Merevitalisasi fungsi keluarga luas.
Menurut asosiasi kekerabatan seperti trah telah berfungsi sebagai pelindung nilai
tradisional di tengah arus modernisasi yang telah menghilangkan nilai-nilai komunalitas.
(Sairin,1982). Trah juga berfungsi sebagai wadah sosialisasi nilai. Dalam peran sosialisasi nilai,
termasuk peran di bidang sosial, baik asosiasi kekerabatan maupun keluarga batih dapat
membagi peran atau terjadi dominasi peran. Hal ini sangat tergantung kepada nilai budaya
yang berkembang di kedua kalangan institusi tersebut. Sebab seperti ditemukan Cuff and Payne
(1984), dalam konteks hubungan peran sosial keluarga batih dengan lembaga-lembaga di
masyarakat, fungsi sosial keluarga batih bukan menghilang, namun lebih bersifat membagi
peran (role sharing) dengan lembaga-lembaga di masyarakat dalam aspek-aspek tertentu, tapi
memang lembaga-lembaga di masyarakat lebih memiliki peran dominan daripada keluarga
batih.
Isyanti (dalam Jarahnitra, 1999/2000) menemukan bahwa kelompok sosial ‘trah’ dan
asosiasi berdasarkan kesukuan dapat berfungsi sebagai pemersatu dari suku yang berbeda
agama, juga berfungsi sebagai pengendali sosial dari orang yang beda agama terutama pada
asosiasi kesukuan Sumatera (62,50%), dan Sulawesi (16,70%).
Asosiasi kekerabatan (trah) juga berperan dalam merevitalisasi fungsi keluarga luas
dalam masyarakat Jawa yang terus berubah ke arah keluarga batih. Walaupun dalam skala
terbatas, asosiasi ini telah berperan sebagai pemelihara ikatan primordialisme dan
menghidupkan kembali fungsi sosial, dan sosialisasi nilai keagamaan serta kekerabatan di
antara anggotanya. Ia mampu menjembatani hubungan kekerabatan tradisional menjadi
hubungan kekerabatan fungsional (Ismail, 2010).
c. Kebudayaan Daerah
Karena kebudayaan suku ada di sebuah daerah tertentu, maka dimungkinkan
kebudayaan suku yang ada menjadi kebudayaan daerah. Jika ada di suatu daerah, misalnya satu
propinsi atau eks karesidenan, terdiri dari dua atau lebih kebudayaan, maka di satuan daerah
tersebut akan terdiri dari dua atau lebih kebudayaan suku. Hanya saja dimungkinkan dalam
satuan daerah tersebut ada kebudayaan suku yang dominan yang dijadikan sebagai icon dari
daerah tersebut. Misalnya di Jawa Timur terdapat banyak kebudayaan suku seperti kebudayaan
Jawa, Madura, Tengger, Using, dan ‘Pedhalungan,’ mulai dari Bangil, Pasuruan, Probolinggo,
Jember, Situbonda, Bondowoso, Banyuwangi. Hanya saja untuk menunjukkan kebudayaan
Jawa Timur, maka pemerintah mengambil dari beberapa kebudayaan suku yang ada. Dalam
pakaian khas laki-laki diambil dari pakaian khas Madura/ Pedhalungan, sedangkan pakaian
wanita berupa kebaya seperti pakaian Jawa umumnya. Dalam bidang kesenian lebih bervariasi
seperti Ludruk, Reog Ponorogo. Bahasa pun beragam, tapi orang lebih mengenal bahasa Jawa-
timuran.
Dengan begitu kebudayaan daerah merupakan kebudayaan yang unsur-unsurnya
diambil dari kebudayaan suku (suku) yang ada di daerah tersebut, sesuai kesepakatan yang
berlangsung lama. Kesepakatan itu ditentukan oleh pemerintah setempat. Umumnya unsur-
unsur kebudayaan tersebut diambil didasarkan atas kepopuleran (unsur) kebudayaan suku atau
karena kebudayaan suku tersebut bagian terbesar dari masyarakat.
d. Kebudayaan Nasional
Mirip dengan kebudayaan daerah, kebudayaan nasional merupakan eklektikal dari
kebudayaan daerah, karena kepopuleran dan atau dari kebudayaan daerah yang bagian
terbesar. Pakaian wanita nasional direpresentasikan dengan kebaya yang berasal dari Jawa.
Sementara pakaian nasional untuk laki-laki lebih bersifat ‘Barat’ karena jas, dasi, celana dan
sepatu merupakan representasi Barat, walaupun ada kopyah yang merupakan representasi
Melayu. Dalam hal bahasa, bangsa Indonesia memilih Bahasa Indonesia yang bersumber dari
Bahasa Melayu dengan memperoleh pengayaan dari berbagai bahasa asing (Belanda, Enggris,
dan Arab) serta bahasa Jawa dan bahasa suku lainnya.
Di jaman ‘now’ saat ini, generasi milineal ( Generasi Y, Z dan M) Indonesia telah
bersifat me-nasional karena berbagai faktor. Seperti karena terjadinya migrasi antar daerah,
perkawinan antar suku dan daerah, penggunaan media massa dan media baru yang hampir
seluruhnya menggunakan Bahasa Indonesia.
2. Dari Segi Sumber:
a. Kebudayaan Tradisi
Kebudayaan tradisi bersumber dari adat istiadat masyarakat lokal, baik berupa suku
maupun komunitas tertentu. Misalnya tradisi upacara tertentu, baik upacara lingkaran hidup
maupun upacara sosial. Dalam masyarakat Indonesia, upacara-upacara tradisi ini masih cukup
kuat. Bahkan dalam banyak hal pemerintah ikut menguatkannya melalui revitalisasi upacara adat
untuk kepentingan pariwisata. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, ada upacara sosial adat Labuhan
di Gunung Merapi dan Pantai Laut Selatan, upacara Bekakak di Gamping.
Kebudayaan yang bersumber dari tradisi ini juga terlihat dari pepatah atau paugeran yang
ada di suku tertentu. Misalnya, di suku Jawa dikenal paugeran ’alon-alon wathon klakon’ (‘pelan-
pelan tapi terlaksana), kebo nusu gudhel, gudhel nusu kebo’ (maksudnya adalah dalam hal yang
terkait penan perjodohan pada saat ini berprinsip kepada orang tua mengikuti kemauan anak, anak
yang menentukan jodohnya. Sebaliknya pada masa lulu, anak mengikuti kemauan orang tua. Di
Madura dikenal pepatah: bhuppa’ bhabu’ guruh ratoh . Artinya, dalam urusan yang terkait dengan
tingkat kepatuhan orang Madura dimulai dari bapak-ibu (orang tua), baru kemudian kyai atua
orang yang memberikan ilmu pengetahuan seperti guru, baru melada pemerintah.
Kebudayaan tradisi juga dapat dilihat dari kebudayaan fisiknya seperti bentuk rumah
limasan, joglo di Jawa, atau pakaian seperti pakaian kampret berwana hitam di kalangan orang
Samin. Bekas-bekas kebudayaan masyarakat masa lalu juga dapat dilihat dari kebudayaan fisiknya
berupa artefak-artefak yang dtemukan oleh para arkeolog atau antropolog fisik. Melalui temuan
kebudayaan fisik masa lalu tersebut, dapat dipahami tentang kebudayaan tradisi yang ada pada
suatu kelompok masyarakat pra historis maupun masyarakat historis.
b. Kebudayaan Agama
Kebudayaan agama bersumber dari agama-agama. Di Indonesia kebudayaan agama bersumber
dari agama-agama yang diakui oleh pemerintah yaitu: Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha,
dan Konghucu. Setiap agama tersebut memiliki doktrin tentang keyakinan (ide) yang akan
melahirkan ritual dan upacara (aktivitas), dan melahirkan kebudayaan fisik seperti tempat ibadah,
alat-alat upacara dan ritual. Di dalam Islam misalnya, keimanan kepada Allah dan keimanan
kepada yang lain dalam Rukun Iman, melahirkan ritual seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, dzikir
dan thaharoh. Melahirkan juga berbagai upacara seperti upacara lingkaran hidup (siklus kehidupan
manusia), mulai dari upacara kelahiran, pubertas, perkawinan, kehamilan, dan kematian. Selain itu
melahirkan upacara sosial keagamaan seperti upacara mauludan, barzanjian, tibaan, upacara
muharom, atau lebih umum berupa Upacara Hari-hari Besar Islam. Secara fisik melahirkan
kebudayaan fisik seperti masjid, musolla dengan varian arsitekturnya. Pakaian taqwa, sajadah,
tasbih, kopiah, dan seterusnya.

Kebudayaan sekuler bersumber dari peradaban Barat moderen. Satu diantara karakteristik
kebudayaan Barat adalah sekuleristik. Istilah kebudayaan sekuler yang dinisbahkan kepada
kebuadayaan Barat karena didasarkan atas sifat kebudayaan tersebut. Kebudayaan Barat disebut
kebudayaan sekuler karena memisahkan antara kepentingan duniawi dan akherat. Kata ‘sekuler’
senderi berasal dari kata ‘saeculum’ (Latin). Dari segi waktu berarti ‘sekarang’, ‘kini’, sedangkan
dari segi lokasi berarti ‘dunia.’ Dengan demikian sekularisme berarti cara hidup, bekerja, dan
berpikir tanpa ada kaitannya dengan Tuhan, atau sistem tata susila yang didasarkan atas prinsip-
prinsip moral insani dan terlepas dari ajaran agama. Dalam ajaran sekulerisme pengaruh agama
haus dikurangi dalam semua aspek kehidupan. Antara moral dan bidang-bidang kehidupan
(ipoleksosbud, pendidikan, iptek) harus dipisahkan dari agama. Agama tidak boleh ikut campur
dalam berbagai bidang kehidupan tadi. Kau sekuleris menganggap kehidupan ini hanya sebatas
di dunia, dan karenanya menolak kehidupan ukhrowi. Paham ini muncul setelah masa pencerahan
(enlightenment) di Eropa (abad ke-18) akibat dari adianya pemusatan kekuasaan (agama, politik,
ilmu) dan penyalahgunaan kekuasaan oleh gereja masa sebelumnya (eras renaisan)., sehingga
muncul filsafat rasionalisme dan materialisme yang anti agama
Pada masa sebelum Islam pun paham ini sudan ada, Dalam Al-Qur’an mereka disebut
dengan kaum ‘dahriyyah’ sebagaimana tercantum dalam QS.Jaasiyah, 24:

‘ Dan mereka berkata: ‘kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja,
kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yg membinasakan kita selain masa.’ Tetapi
mereka tak punya ilmu tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga saja.

Kebudayaan yang berasal dari kebudayaan Barat sudah mempengaruhi masyarakat


Indonesia pada saat ini. Di bidang politik ada budaya demokrasi, dalam bidang ekonomi dikenal
ekonomi kapitalist-liberalis, di bidang sosial ada budaya individualisme, di bidang hiburan ada
budaya ‘rose dan gun’ atau wanita dan kekerasan. Karena film-film yang berasal dari Barat
berisi tentang wanita dan kekerasan. Dalam hal pergaulan dikenal dengen pergaulan bebas
(freesex, dan sejenisnhya).
Tidak semda budaya sekuler melek dan negatif. Masih banyak juga yang bersifat positif
sepeti teknologi informasi dan komunikasi serta perkembangan ilmu pengetahuan Barat.
Teknologi informasi telah memberikan kemudahan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Ilmu pengetahuan Barat telah menghasilkan peradaban yang memungkinkan bagi
manusia untuk mengenal alam semesta.
d. Kebudayaan Campuran
Di era globalisasi saat ini, seseorang atar masyarakat berata dalam sebuah kebudayaan
campuran. Dalam suatu waktu, manusia menjalankan atau menggunakan dua atau lebih
kebudayaan sekaligus. Mulai dari kehidupan pribadi sampai masyarakat yang lebih luas.
Misalnya saat makan seorang muslim dipengaruhi ole dua tau lebih kebudayaan. Orang Islam
makan dengan diawali membaca doa (Islam), saat makan menggunakan sendok-garpu (yang
berasal dari budaya Barat), dan tata cara makan ketika dijamu oleh seseorang dipengaruhi budaya
suku tertentu. Dalam bidang politik, masyarakat Indonesia mempraktekkan demokrasi yang
berasal dari Barat, namun dalam upaya memperoleh massa menggunakan budaya suku dan /atau
agama. Begitu juga dalam bidang ekonomi, masyarakat Indonesia berprinsip kepada budaya
nasional (ekonomi Pancasila), namun dalam prakteknya banyak menerapkan ekonomi liberal-
kapitalis (budaya Barat), atau juga menerapkan ekonomi Islami.
3. Dari segi Keumumannya:
a. Kebudayaan Umum
Kebudayaan umum adalah kebudayaan yang berkembang di masyarakat umumnya.
Kebudayaan jenis ini ada menjadi acuan bagi masyarakat di daerah tertentu, nasional,
regional dan internasional. Misalnya dalam masyarakat Jawa ada kebudayaan Jawa pada
umumnya, tanpa melihat letak daerahnya, namun suatu kebudayaan dimiliki oleh
masyarakat Jawa tersebut. Misalnya tradisi gotong royong, suronan, atau upacara
lingkaran hidup. Jika pada tingkat nasional masyarakat Indonesia mengenal
kebudayaan nasional seperti bahasa Indonesia, upacara tujuh belasan (Agustus), upacara
memperingati hari tertentu seperti Hari Kartini, Hari Pendidikan Nasional.
Jika pada tingkat universal dapat dilihat dalam upacara yang diperingati oleh
masyarakat internasional seperti Hari Buruh Internasional, Hari Bumi, Hari Air. Karena
itu dikenal juga istilah kebudayaan universal yaitu kebudayaan yang ada pada setiap
kelompok masyarakat bangsa di dunia.
b. Kebudayaan Khusus
Kebudayaan khusus adalah kebudayaan yang ada pada . komunitas/kelompok
tertentu di satuan wilayah tertentu yang berbeda dengan masyarakat umumnya.
Walaupun secara umum masyarakatnya menjalankan kebudayaan umum dalam satuan
wilayah tertentu, namun mereka juga menjalankan kebudayaan khusus yang berbeda
dengan kebudayaan masyarakat umumnya.
Kebudayaan khusus ini dapat disebut juga dengan kebudayaan alternatif, karena
kebudayaan ini merupakan bagian dari kebudayaan yang sebagian diseleksi dari pola-
pola alternatif, dan hanya terdapat atau dimiliki kelompok atau di tempat tertentu.
Selain itu kebudayaan khusus dapat juga disebut dengan subkebudayaan. Karena
kebudayaan khusus itu dimiliki oleh kelompok tertentu yang membedakannya dengan
keloempok lain yang ada dalam masyarakat umumnya. Misalnya subkebudayaan
kemiskinan yang ada pada kelompok masyarakat miskin seperti pada kelompok
pengemis, gelandangan, nelayan miskin, kelompok miskin perkotaan. Kelompok-
kelompok tersebut memilikin subkebudayaan kemiskinan karena orang tua (generasi
tua) sejak dini telah mensosialisasikan atau melakukan enkulturasi kemiskinan. Mereka
mengajarkan agar anak-anaknya agar menganggap baik apa yang dilakukan orang tua,
sehingga persepsi mereka menjadimpositif atas apa yang dilakukan orang tuanya. Pada
gilirannya mereka dibiasakan membantuk orang tuanya dalam melakukan pekerjaan
yang dijalankan, dan pada akhirnya anak-anak tersebut akan bekerja sebagaimana yang
dilakukan orang tuanya.
Kebudayaan khusus dapat dicontohkan dengan yang ada di masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa memiliki kebudayaan umum yang berlaku bagi setiap individu suku
Jawa, namun jika dilihat lebih rinci akan terlihat ada perbedaan-perbedaan tertentu dari
kelompok masyarakat Jawa tersebut. Misalnya, ada kebudayaan khusus Jawa
pedalaman dan pesisir. Jika dilihat secara diametral, orang Jawa pesisir memiliki
kebudayaan khusus yang berbeda dengan dengan masyarakat Jawa pedalaman.
Masyarakat Jawa pesisir lebih bersifat terbuka dalam menerima kebudayaan asing
daripada yang ada di pedalaman. Dalam orientasin politik, orang pesisir lebih demokrat
daripada orang pedalaman yang lebih bersifat feodal. Penganutan agama orang pesisir
lebih bersifar syar’i daripada orang pedalaman yang lebih sinkritik. Dalam
mengemukakan keinginan orang pesisir bersifat langsung, sedangkan orang pedalaman
tidak langsung.
Kebudayaan khusus atau subkebudayaan juga dapat dilihat pada penganutan
agama seperti temuan Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java’. Hasil
penelitian Geertz di daerah Pare Kediri (Mojokuto) ini telah menyejarah dalam
khasanah keilmuan tentang masyarakat Islam. Geetz menemukan adanya subvarian
abangan, santri, dan priyayi dalam masyarakat Islam Jawa. Ketiga subvarian tersebut
memiliki karakteristik masing-masing. Subvarian abangan merupakan orang Islam-
Jawa yang tidak taat beragama dan lebih berorientasi kepada animisme-dinamisme.
Subvarian santri merupakan orang yang taat beragama dan berorientasi kepada agama
yang dipeluknya. Sementara subvarian priyayi lebih berorientasi kepada nilai-nilai
kejawaan.
Di dalam masyarakat akan ditemukan subkebudayaan atau kebudayaan khusus
ini. Tinggal mau dilihat dari aspeknya. Aspek apa yang akan dilihat dalam membedakan
kebudayaan kelompok satu dengan kelompok yang lain dalam sebuah masyarakat.
Misalnya dilihat dari aspek kedaerahan, dalam masyarakat Jawa, akan ditemukan
kebudayaan khusus Jawa Mataraman, Jawa ’ngapak-ngapak’, atau Jawa Banyumasan.
Di Jawa Timur kita akan menemukan kebudayaan khusus Jawa, dan Pedhalungan.
Pedhalungan merupakan kebudayaan masyarakat yang tercampur antara kebudayaan
Jawa dan Madura.
Pembedaan masyarakat berdasarkan kebudayaan khusus tersebut terdapat juga
dalam masyarakat di luar Jawa, termasuk yang ada dalam satu suku atau marga. Suku
Batak selain memiliki kebudayaan umumnya, juga akan mengenal kebudayaan khusus
seperti kebudayaan khusus Batak dengann marga Nasution dengan marga Sitanggang
atau Panggabean dan lainnya.
C. RANAH KEBUDAYAAN
Koentjaraningrat membagi ranah kebudayaan ke dalam 3 aspek yaitu: ranah ide, ranah
sosial dan ranah fisik.
1. Ranah ide
Kebudayaan dalam ranah ide atau gagasan berupa norma-norma, kepercayaan,
nilai-nilai, aturan-aturan, atau pengetahuan yang dimiliki oleh kebudayaan tertentu. Ini
merupakan wujud ideal kebudayaan dan bersifat abstrak. Pada awalnya kebudayaan dalam
ranah ide ada dalam pikiran manusia pendukung kebudayaan. Pada masyarakat primitif
yağlar belum mengenal budaya tulis, ide-ide berkembang di dalam masyarakat pendukung
kebudayaan melalui lisan. Adapun dalam masyarakat yang sudan mengenal budaya tulis
ide-ide itu dalam bentik tulisan yang terdapat dialam berbagai media superit lottar, buku,
kortas, dan lainnya. Dalam masyarakat dengan teknologi informasi yang sudan maju, ide-
ide itu ada dalam komputer, media massa, dan media baru/sosial.
Kebudayaan dalam ranah ini disebut juga dengan sistem budaya. Fungsi sistem
budaya atau nilai adalah sebagai pedoman dasar dan tertinggi bagi tindakan manusia dan
karenanya jadi sulit diubah dalam waktu singkat. Karena itu, dari ketiga ranah kebudayaan
yang terpenting adalah kebudayaan ide atau yang disebut juga dengan sistem budaya.
Kebudayaan ide adalah wujud abstrak dari kebudayaan, ia berupa ide-ide yang mencakup
sistem nilai budaya, dan sistem norma.
Sistem budaya ini berfungsi menata dan mengarahkan tindakan manusia (ranah
aktivitas). Manusia mengenal sistem budaya dari proses belajar yaitu melalui
pembudayaan atau pelembagaan. Individu belajar dan menyesuaikan pikiran, sikap dan
perilakunya dengan budaya kelompok, mulai dari keluarga sampai masyarakat luas.
Di pihak lain bisa juga individu setelah belajar kemudian melakukan kritik dan
merubah kebudayaan yang didukungnya. Karena itu dalam proses pembudayaan tersebut
ada individu atau kelompok devian yaitu mereka yang kurang atau tidak mendukung
sistem budaya masyarakatnya, sehingga dianggap individu atau kelompok yang
menyimpang dari sistem budaya masyarakat atau kelompok pada umumnya. Karena
mereka dianggap tidak mampu menyesuaikan sistem budaya dan perilakunya dengan
sistem budaya masyarakat pada umumnya, maka mereka juga dianggap sebagai individu
atau kelompok yang mengalami mal-adaptasi.
Dalam kasus keagamaan, individu atau kelompok yang tidak memiliki sistem nilai
kegamaan mayoritas penganut, mereka disebut sebagai kelompok yang menyimpang.
Lalu mereka disebut dengan kelompok sempalan (splinter group). Dalam kasus di
Indonesia, sebagian dari mereka kemudian diberi stereotip sebagai kelompok sesat.
Setiap kelompok/bangsa punya orientasi nilai budaya tertentu, sebagaimana
terlihat dalam tabel 1.
Tabel 1: Orientasi Nilai Budaya
Masalah Dasar Dlm Orientasi Nilai Budaya
Hidup
1. Hakikat Hidup Hidup buruk Hidup baik Hidup buruk , tapi Hidup baik, diusahakan
manusia wajib usaha agar tetap/lebih baik
agar baik
2. Hakikat Karya Untuk nafkah Hidup Untuk status, Untuk nambah karya Untuk ibadah
Kehormatan
3. Persepsi tentang Orientasi ke masa Ke masa kini Ke masa depan Masa lalu untuk masa
waktu lalu kini dan depan
4. Pandangan tentang Manusia tunduk ke Manusia Manusia menguasai Manusia kelola alam
alam alam berharmoni alam sebagai khalifah
dengan alam
5. Hakikat hubungan Horizontal, Vertikal, Individualisme, Individu-sosio-religius
antamanusia tergantung, guyub bergantung pada mandiri
elit
Disarikan dari Koentjaraningrat
2. Ranah aktivitas
Ranah aktivitas merupakan seluruh kegiatan manusia dalam memenuhi
kebutuhanya. Kegiatan ini disebut juga dengan tindakan berpola yaitu kegiatan manusia
sebagai makhluk sosial dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang dilakukan secara
berulang-ulang dalam waktu yang relatif lama. Ranah activités ini disebut juga dengan
sistem sosial, ia bersifat kongkrit dan dapat diamati, namun kadang perlu penafsiran.
Ranah aktivitas dipengaruhi oleh ranah ide. Misalnya umat Islam meyakini adanya
Allah dan harus bertaqwa kapada-Nya (ranah ide), untuk itu umat Islam harus
melaksanakan perintah Allah superit melaksanaan shalat, berpuasa, mengeluarkan zakat,
dan berhaji. Semuanya merupakan aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan
keyakinan kepada Allah. Umat Islam juga akan melaksanakan kegiatan ekonomi,
pendidikan, politik, cara makan, cara ketika bertemu dengan orang lain, cara bertamu
sesuai dengan keyakinan agamanya.
3. Ranah fisik
Ranah fisik berupa benda-benda hasil karya manusia. Biasa disebut dengan
kebudayaan fisik dan bersifat kongkrit. Begitu banyak contoh dari kebudayaan fisik atau
ranah fisik ini. Misalnya, gedung, bangunan rumah, papan tulis, candi, masjid, gereja, dan
lainnya.
Antara ketiga ranah tersebut saling memperngaruhi. Ranah aktivitas dipengaruhi oleh
ranah ide, dan ranch fisik dipengaruhi oleh ranah sosial dan ide. Masjid adalah kebudayaan fisik,
ia ada karena kebutuhan umat Islam untuk memenuhi kebutuhan keyakinannya terhadap Allah
yaitu untuk melaksanakan shalat dan berzikir, selain juga intui mengembangkan kebudayaaan
Islam. Begitu juga Candi Borobudur dan Prambanan (ranah fisik) ada karena untuk pemenuhan
kebutuhan rukhani (ranah sosial) umat Budha dan Hindu, dan didasarkan atas keyakinan
keagamaan kedua umat tersebut.

E. Unsur-Unsur Kebudayaan
Setiap kelompok manusia, suku dan bangsa, mulai dari yang primitif sampai yang modern
sama-sama memiliki unsur-unsur kebudayaan. Pembedanya adalah tingkatan dan
kompleksitanya. Unsur-unsur umum kebudayaan tersebut menurut Koentjaraningrat (1980)
meliputi: bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencahatan, sistem kemasyarakatan, kesenian,
dan religi.
1. Bahasa
Kemampuan berbahasa merupakan salah satu keunikan manusia dibandingkan dengan
makhluk hidup yang lain. Manusia dapat berbahasa tertentu melalui proses enkulturasi yang
dimulai dari orang-orang terdekat. Orang-orang terdekat tersebut adalah keluarga, khususnya
orang tua.
Bahasa tersebut berupa bahasa lisan (verbal) dan bahasa tulisan. Bahasa lisan data
dilakukan oleh semua manusia, jika tidak memiliki cacat (bisu), dan dilakukan oleh manusia
dari semua suku, baik yang mash primitif maupun kontemporer. Sementara untuk bahasa
tulisan hanya dimiliki oleh individu yang ada dalam masyarakat yang melek huruf.
Era kenabian sebenarnya merupakan era transformasi dari era bahasa lisan ke bahasa
tulisan. Kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya telah mendorong
manusia untuk dapat melek huruf dan dapat membaca, sehingga mampu melakukan bahasa
tulisan. Kitab-kitab Allah tersebut seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, Zabur
kepada Nabi Dawud, Injil kepada Nabi Isa, dan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad. Karena
itu era kenabian merupakan era literasi bahasa.
Beragamnya bahasa dan unsur-unsur yang terkait dengannya sepeti aksen, logat, intonasi
dan lainnya pada setiap bangsa, suku, dan daerah menunjukkan bahwa bahasa itu merupakan
hasil cipta manusia, sehingga disebut bagian dari kebudayaan. Dia merupakan hasil belajar
antar generasi.
2. Sistem Teknologi
Teknologi terkait dengan peralatan atau perlengkapan hidup yang dimiliki oleh
manusia pada tempat dan waktu tertentu. Peralatan tersebut digunakan oleh manusia untuk
memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, baik dalam bidang mata pencaharian, hiburan,
transportasi, pendidikan, komunikasi, memasak, tempat tinggal, dan buang hajat.
Peralatan untuk pemenuhan kebutuhan hidup tersebut bersifat dinamis karena mengalami
perubahan menunju penyempurnaan, sehingga alat tersebut lebih memberikan kenyamanan,
keamanan, dan kemudahan bagi hidup manusia. Kesempurnaan alat tersebut terjadi karena
manusia menggunakan akal-budinya dalam membuatnya. Inilah yang membedakan alat yang
dibuat manusia dengan khewan. Misalnya, burung membuat sangkarnya, mulai dari dahulu
sampai sekarang tetap sama, baik cara, bentuk, dan juga bahan-bahan yang digunakan. Manusia
membangun tempat tinggalnya terus berubah, baik cara, bentuk, dan bahan-bahan yang
digunakan. Pada masyarakat primitif, mereka menggunakan peralatan dari batu atau
pepehonan yang ada di hutan untuk menempati goa atau rumah di atas pohon. Saat ini manusia
sudah menggunakan peralatan yang lebih sempurna untuk membangun rumah, seperti dari
bambu, semen-bebatuan.
Begitu juga dengan bidang-bidang yang lain. Dalam pemenuhan bercocok tanam
misalnya, alat yang digunakan berkembang mulai dari menggunakan batu, cangkul, bajak, dan
traktor. Dalam buang hajat, peralatan yang digunakan dimulai dari tanpa alat sampai closet
yang canggih. Dalam berkomunikasi dengan orang lain, mulai dari face to face sampai
penggunaan telpon, handphone, koran, radio, telivisi, media sosial. Dalam bidang transportasi
manusia bukan sekedar berjalan, naik khewan, atau naik delman, namun telah sampai alat yang
canggih yang lebih memiliki kecepatan, kemudahan, dan kenyamanan seperti sepeda motor,
mobil, pesawat, dan lainnya.
Dengan demikian teknologi yang dibuat oleh manusia bersifat dinamis dan memberikan
kemudahan, kenyamanan, serta keamanan. Ia terus berkembang seiring dengan adanya temuan
baru (invensi), dan pengembangan dari alat yang sudah ada (inovasi). Semuanya karena
manusia memiliki akal-budi.
3. Sistem Mata Pencaharian
Mata pencaharian terkait dengan bidang untuk memenuhi kebutuhan fisik, bukan sekedar
makan-minum, namun juga status. Memang awalnya manusia bekerja sekedar untuk
pemenuhan kebutuhan makan-minum. Dalam perkembangan berikutnya sistem mata
pencaharian dikaitkan juga dengan upaya memperoleh status dalam arti untuk memperoleh
tingkat strata sosial yang tinggi di masyarakatnya.
Sistem mata pencaharian manusia mengalami perkembangan yang luar biasa. Awalnya
mereka hanya berburu khewan atau ikan yang terdapat di hutan ataupun sungai dan laut.
Kemudian bercocok tanam secara nomaden, dan menetap.
Di era modern saat ini sistem mata pencaharian manusia semakin beragam atau kompleks.
Keragaman ini karena banyak faktor seperti kepadatan penduduk, kian berkurangnya lahan
pertanian, sistem pemerintahan, berkembangnya lembaga yang ada dalam masyarakat. Dalam
suatu kampung, anggota masyarakatnya bukan hanya bekerja sebagai petani, namun ada yang
menjadi pegawai negeri, tentara-polisi, pedagang, wira-usaha, pendidik, dan lainnya.
Sistem mata pencaharian dapat dilihat juga dari pusat-pusat ekonomi yang ada di suatu
masyarakat. Pada masyarakat tradisional memiliki pasar tradisional, sedangkan pada
masyarakat modern pusat perekonomian lebih bervaiatif misalnya melalui Ruko, mall, Bursa
Efek. Transaksi di pasar tradisional orang dapat menggunakan sistem barter atau menggunakan
uang. Bahkan saat ini orang dapat jual beli melalui sistem on-line.
4. Sistem kemasyarakatan
Di dalam setiap kelompok masyarakat akan ditemukan pelapisan sosial, pranata
sosial, serta organisasi dan struktur sosial. Pelapisan sosial adalah pembedaan dan pelevelan
kedudukan sosial seseorang dibandingkan dengan orang lain. Ia muncul karena adanya
hubungan-hubungan sosial antar individu atau kelompok.
Dasar pelapisan sosial berbeda pada setiap masyarakat dan waktu. Ada yang didasarkan
atas capaian ekonomi, politik, dan kegamaaan. Dalam pelapisan sosial yang didasarkan atas
ekonomi, tinggi rendahnya status seseorang dilihat dari kekayaan yang dimiliki, sehingga
mereka yang kaya dikategorikan sebagai orang dengan berstatus sosial tinggi, sebaliknya orang
yang kurang memiliki kekayaaan dianggap sebagai orang berstatus sosial rendah. Di tengah-
tengah itu ada kelompok yang disebut dengan orang yang berstatus menengah atau disebut
dengan kelas menengah. Sementara itu dalam pelapisan sosial yang didasarkan atas politik,
tinggi rendahnya status seseorang dilihat dari tingkat keberpengaruhannya atau penguasaannya
terhadap anggota masyarakat, sehingga mereka yang memiliki penguasaan atau
keberpengaruhan terhadap kehidupan sosial masyarakat dikategorikan sebagai orang dengan
berstatus sosial tinggi, sebaliknya orang yang kurang memiliki kebrpengaruhan dianggap
sebagai orang berstatus sosial rendah. Di tengah-tengah itu ada kelompok yang disebut dengan
orang yang berstatus menengah atau disebut dengan kelas menengah. Agama juga dapat
membentuk pelapisan sosial, sistem kasta dalam agama Hindu telah berpengaruh terhadap
lahirnya sistem pelapisan. Kasta Brahmana merupakan kasta yang paling tinggi dan kelompok
ini menduduki posisi yang tinggi dalam kehidupan masyarakat yang dipengaruhi agama Hindu.
Beitu juga dengan kasta-kasta yang lain, kasastria, waisya dan sudra.
Dalam Islam sistem pelapisan sosial itu lebih bersifat spiritual, dalam arti tidak didasarkan
atas materi atau ekonomi, politik, namun pada tingkat keagamaan seseorang yaitu
ketaqwaannya (QS. Al Hujurat: 13 ). Orang-orang yang memiliki tingkat keimanan, keilmuan
(alim) dan amaliah shalih yang tinggi, orang tersebut memiliki status sosial yang tinggi dalam
masyarakat Islam.
Dalam masyarakat di semua tingkat perkembangannya, ditemukan juga adanya pranata sosial.
Pranata sosial adalah kegiatan manusia sebagai makhluk sosial dalam memenuhi kebutuhannya
dalam berbagai bidang yang sudah melembaga. Karena dasar dari adanya pranata sosial adalah
kebutuhan, maka pada setiap tingkatan perkembangan masyarakat akan berbeda-beda, baik dari
segi ragam maupun jenisnya. Pada masyarakat primitif pranata sosial jauh lebih sedikit dan
sederhana, sedangkan jenis dan ragam pranata pada masyarakat modern jauh lebih banyak dan
kompleks.
Jenis pranata tersebut misalnya, pranata di bidang pendidikan, ekonomi, perkawinan,
agama, olah raga, dan lainnya. Pranata pendidikan merupakan pengejawantahan dari
pemenuhan kebutuhan manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Olah raga merupakan
pranata guna memenuhi kebutuhan manusia dalam memelihara kesehatan fisiknya. Agama
merupakan pranata yang ada dalam masyarakat guna memenuhi kebutuhan akan spiritualitas,
hubungan manusia dengan Sesuatu Yang Maha Kuasa.
5. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan kelompok manusia berbeda-beda, mulai dari yang sederhana sampai
yang sangat kompleks. Sistem pengetahuan ini terkait dengan jenis pengetahuan yang
berkembang dalam masyarakat. Dalam masyarakat tertentu sistem pengetahuannya terdiri dari
pengetahuan umum dan pengetahuan keagamaan, namun dalam masyarakat yang lain hanya
mengenai pengetahuan umum. Taksanomi pengetahuan juga bisa berbeda. Ada yang membagi
pengetahuan ke dalam ilmu sosial, humaniora, dan sain. Ada yang membagi ke dalam
pengetahuan agama, sosial, sain, dan lainnya.
6. Kesenian
Kesenian merupakan hasil rasa manusia, ia berkaitan dengan keindahan atau estetika. Di
setiap kebudayaan manusia pada level apapun memiliki kesenian, sehingga saat ini manusia
mengenal kesenian tradisional dan modern. Kesenian tradisional merupakan kesenian lokal
yang muncul di kalangan suku atau daerah tertentu, seperti angklung, kecapi, gamelan, seruling,
tari kecak, tari serimpi dan lainnya. Sementara kesenian modern merupakan kesenian yang
tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat modern atau kasenian yang berasal dari Barat
yang masuk ke negara lain termasuk Indonesia, seperti band, rock, opera, dan lainnya.
Kesenian yang berkembang di masyarakat bermacam-macam jenisnya, mulai dari seni
musik, seni tari, seni pahat, seni lukis, seni patung, dan seni pertunjukan. Memang tidak semua
jenis seni tersebut ada dalam sebuah masyarakat tradisional, namun di dalam masyarakat
modern hampir semua jenis seni itu ada. Hal ini berarti semakin modern suatu masyarakat,
semakin lengkap jenis seninya.
Dalam setiap jenis kesenian ada dua (2) aspek pokok yaitu: aspek ekstrinsik dan aspek
instrinsik. Aspek ekstrinsik adalah aspek yang terkait dengan tampilan luarnya. Misalnya dalam
seni tari ada kostum atau pakaian, peralatan menari, dan gerakan tubuh. Dalam seni musik ada
penyanyi dengan suara, pakaian dan gerakan tubuhnya, juga ada alat musik dan bunyi/ suara,
dan lagunya. Aspek ekstrinsik dalam seni lukis dan pahat terlihat dari tampilan gambar , lukisan
atau pahatannya. Sementara dalam seni pertunjukan terlihat dari peralatan musik, menarinya,
pemeran dengan suara, pakaian dan gerakan tubuhnya, juga tata lampu dan panggung dengan
latarnya.
Aspek instrinsik terkait dengan tujuan, niat, isi dan pesan-pesan yang ingin disampaikan
melalui berbagai jenis kesenian tersebut.
Karena itu jika ingin menilai keindahan (estetika) dari sebuah kesenian dapat dilihat dari
kedua aspek tersebut. Setiap masyarakat akan berbeda-beda dalam menilai indah-tidaknya
sebuah kesenian, hal ini tergantung kepada kriteria yang digunakan oleh suatu masyarakat.
Seorang muslim dalam menilai keindahan sebuah kesenian tentu akan menggunakan kriteria
yang sesuai dengan ajaran Islam. Begitu juga dengan orang yang menganut paham sekuler tentu
akan melihat kesenian dari sudut pandang nilai-nilai sekuler.
7. Religi
Ada perbedaan pandangan tentang makna religi, apakah sama dengan agama. Koentjaraningrat
mengartikan religi sebagai sistem yang terdiri dari konsep-konsep yang dipercaya dan menjadi
keyakinan secara mutlak dari umat beragama dan upacara-upacara beserta tokoh agama yang
melaksanakannya. Koentjaraningrat memang membedakan antara religi (religion) dengan agama.
Religi bersifat umum daripada agama, agama menunjuk kepada agama Islam, Kristen, sedangkan
religi lebih pada sistem keyakinan atau ide tentang tuhan/dewa/ruh halus/neraka-surga, upacara,
benda-benda suci. Karena itu religi dianggap sebagai bagian dari kebudayaan. Hal ini didasarkan
atas dasar pandangan Durkheim mengenai dasar-dasar religi yang memiliki 4 unsur yaitu: (a)
emosi keagamaan, suatu perasaan yang menyebabkan manusia menjadi religius, (b) sistem
kepercayaan, suatu keyakinan terhadap adanya ‘Yang Maha Kuasa’ atau tuhan beserta sifat-
sifatnya dan adanya alam ghoib (supernatural). (c) sistem upacara, kegiatan suci yang dianggap
sebagai media penghubung antara manusia dengan ‘tuhannya’. (d) kelompok penganut religi yang
menganut sistem kepercayaan.

Pertanyaan yang sering memunculkan masalah akademik dan teologis adalah apakah
agama atau religi bagian dari kebudayaan. Dengan melihat dari beberapa pandangan tentang
makna religi dan agama sebenarnya dapat diberi penjelasan sebagai berikut. Agama itu dapat
dipilah ke dalam dua (2) bentuk yaitu agama ardhi (bumi) dan agama samawi (langit). Agama
ardhi adalah agama yang dihasilkan dari pemikiran manusia, misalnya Konghucu, Hindu,
Budha, Sinto, agama-agama lokal serta aliran kepercayaan. Agama samawi adalah agama yang
bersumber dari Wahyu Allah yang diturunkan kepada manusia pilihan-Nya yaitu Nabi/Rasul.
Misalnya agama Islam, Kristen, dan Yahudi. Agama dalam pengertian yang pertama dapat
disebut dengan religi sebagaimana dimaksudkan oleh Koetjaraningrat, dan karenanya dia
termasuk bagian dari kebudayaan.
Adapun agama dalam pengertian kedua, bukanlah bagian dari kebudayaan, sebab dia
berasal dari Allah. Hanya saja dalam agama samawi tersebut mengandung unsur-unsur dan
ranah kebudayaan. Dalam hal ini agama (samawi) menjadi sumber munculnya kebudayaan,
sehingga melahirkan berbagai kebudayaan yang bersumber dari agama (samawi) seperti
kebudayaan Islam, kebudayaan Kristiani, kebudayaan Yahudi.
Unsur dan Ranah Kebudayaan: Setiap unsur kebudayaan tersebut jika dikaitkan dengan
ranah kebudayaan akan terlihat bahwa satu unsur kebudayaan akan memiliki ranah ide,
tindakan, dan fisik. Selengkapnya dapat dilihat dalam table 2.
TABEL 2:
UNSUR DAN RANAH KEBUDAYAAN
Fisik Tindakan Ide
Ranah /Unsur
Bahasa Tulisan/lisan Cara mengungkapkan Gagasan yg ada dlm
bahasa
Sistem Mata Tempat jual Tindakan jual beli Paradigma: kapitalis,
Pencaharian beli/pasar sosialis, islamis
Sistem Cangkul, bajak, Menggarap tanah Kemudahan dalam
Teknologi menggarap tanah,
Traktor
efisiensi
Sistem Organisasi Pola interaksi Norma-norma
Kemasyarakata berinteraksi
n
Sistem Manifestasi dalam Cara menerapkan (ilmu) Filsafat pengetahuan
Pengetahuan kehidupan, pengetahuan
Lembaga
pendidikan
Kesenian Alat Cara memainkan alat Hiburan+tuntunan
Religi Alat/isi dari upacara Cara melakukan ritual dan Paham, norma, nilai
upacara keagamaan

Misalnya, unsur kebudayaan agama, ranah ide berupa paham, norma-norma atau
nilai-nilai yang diperoleh dari doktrin agama yang ada daam Kitab-kitab Suci. Begiu banyak
paham, nilai-nilai dan norma-norma agama tersebut, sebanyak bidang yang dicakup dalam
doktrin agama tersebut. Dalam Islam ajaran agama mencakup aqaidah, ibadah, akhlak, dan
muammalah. Hal itu melahirkan paham, nilai dan norma yang terkait dengan keempat bidang
tersebut. Dalam keempat bidang tersebut masih dibagi ke dalam berbagai sub bidang.
Ranah tindakan berkaitan dengan cara umat bergama melakukan ritual dan upacara keagamaan
sesuai paham dan nilai-nilai agama yang dianutnya. Adapun pada ranah fisik ditemukan adanya
peralatan untuk memenuhi upacara dan ritual keagamaan, seperti tempat ibadah dengan berbagai
bentuk arsitekturnya, pakaian dan alat saat melaksanakan ritual dan upacara.

Anda mungkin juga menyukai