Anda di halaman 1dari 10

12

BAB II
KAJIAN PUSTAKA:
Etnisitas dan Identitas Sosial

Untuk meneliti dan mempertajam analisis penelitian dalam tesis ini, maka
penulis melakukan kajian pustaka sebagai pendekatan teoritis terhadap topik
penelitian yang akan digumuli. Hal ini dimaksudkan agar nantinya penulis lebih
fokus dan terarah dalam melakukan analisis terhadap seluruh data-data atau hasil
penelitian lapangan yang telah didapatkan.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis memfokuskan kajian pustaka
terhadap teori etnisitas dan identitas sosial.

A. Etnisitas
Berkaitan dengan konsep etnisitas, T.K. Oommen mengidentifikasi
setidaknya lima perbedaan cara pandang dimana kelompok etnis dan etnisitas
terkonseptualisasi, yaitu:
1

Pertama, kelompok etnis dikonseptualisasi sebagai sesuatu yang kecil. Kelompok
etnis tersebut berbagi kebudayaan yang sama dengan kebudayaan nenek
moyangnya yang dijadikan sebagai pijakan. Namun, dalam dunia sekarang,
masyarakat dan kelompok tidak dibatasi oleh garis keturunan dan kekeluargaan.
Kedua, kelompok etnis dilihat sebagai kelompok yang memiliki wewenang untuk
mendefinisikan dirinya sendiri. Kewenangan kelompok etnis itu didasarkan pada

1
T.K. Oommen., Kewarganegaraan, Kebangsaan, dan Etnisitas: Mendamaikan Persaingan Identitas
(Bantul: Kreasi Wacana, 2009), 55-56.
13

faktor subjektif yang dipilih oleh anggota mereka dari sejarah masa lalu atau
kondisi saat ini. Corak kultural yang dipilih membantu dalam penciptaan dan
pemeliharaan ikatan sosio-kultural dalam hubungannya dengan kelompok etnis
yang saling berinteraksi.
Ketiga, kelompok etnis dipandang sebagai kelompok kepentingan yang
berkompetisi untuk mendapatkan keuntungan dari negara kesejahteraan.
Kelompok ras, agama, dan bahasa termasuk dalam definisi tersebut yang melihat
etnisitas sebagai sumber yang digunakan oleh kelompok imigran yang
terpinggirkan.
Keempat, etnisitas dianggap sebagai instrumen pencari identitas oleh orang-orang
dengan latar belakang ras dan kebudayaan yang beragam di masyarakat.
Kelima, etnisitas dikonseptualisasikan sebagai alat yang digunakan orang untuk
mencari kesatuan psikologis yang seringkali didasarkan pada kesamaan umum,
yakni kesamaan darah, baik secara nyata maupun fiktif.
Selain konsep tentang etnisitas di atas, sumber lain mengatakan bahwa
etnisitas adalah pembagian kelompok berdasar ciri-ciri yang sama dalam hal
budaya dan genetis serta bertindak berdasarkan pattern yang sama, serta
mengklaim bahwa pada dasarnya suatu kelompok etnis mempunyai sedikitnya
enam sifat sebagai berikut:
2

Mempunyai nama yang unik yang merujuk pada kelompok
masyarakat tertntu. Misalnya Nasution, Saragih, Sitorus (Batak). Atau
Pardi, Paimo, Parjo (J awa).
Mempunyai keyakinan akan asal-asul nenek moyang, meski hal itu
bisa jadi mitos. Misal orang J awa merasa keturunan dari Semar.

2
http://id.shvoong.com/social-sciences/anthropology/2248406-pengertian-
etnisitas/#ixzz23oEexRY7/1Mei 2012

14

Sebuah kelompok mempunyai ingatan historis yang sama. Misalnya
Orang Sunda merasa tidak cocok dengan orang J awa karena dahulu Kerajaan
Majapahit (jawa) pernah terlibat bentrok dengan kerajaan Padjajaran
(Sunda).
Sebuah Kelompok mempunyai anasir budaya-agama yang sama. Meski
orang J awa timur dan J awa tengah berdeda dialek, tapi umumnya mereka
islam dan dulunya menggunakan akasara yang sama (aksara jawa).
Sebuah Kelompok mempunyai ikatan pada tanah leluhur. Meski,
mereka lahir dan besar di tempat lain. Misalnya orang batak yang lahir dan
besar di J akarta, merasa harus pulang kampung ke Tanah Toba karna merasa
itulah tanah leluluhurnya.
Memiliki ikatan solidaritas yang kuat antar anggota
kelompok. Misalnya orang tukang jamu dari Wonogiri (jawa) biasanya
mereka saling membantu meski pekerjaan mereka sama-sama tukang jamu.
Mereka akan saling berbagi dan saling tolong-menolong sebagai sesama
tukang jamu dan sesama warga Wonogiri.
Dalam beberapa hal, masalah pekerjaan kadangkala juga merujuk pada
identitas etnisitas tertentu. Misalnya, tukang kredit keliling di J akarta
umumnya orang Garut atau Batak.

Salah satu hal yang seringkali muncul ke permukaan ketika berbicara tentang
etnisitas adalah adanya kecenderungan untuk mendikotomikan kelompok-
kelompok etnis menjadi etnis mayoritas dan etnis minoritas. Etnis mayoritas
merupakan representasi dominan atau populasi terbesar yang biasanya merujuk
kepada kelompok-kelompok etnis yang memegang kekuasaan sosial dan politik.
Etnis minoritas merupakan hal yang sebaliknya.
3

Masih berkaitan dengan kecenderungan atau fenomena sikap superior dari
kelompok-kelompok mayoritas terhadap kelompok-kelompok minoritas dalam
hubungan-hubungan sosial, Eriksen mengatakan:
Ethnicity is an aspect of social relationship between persons who consider
themselves as essentially distinctive from members of other groups of whom
they are aware and with whom they enter into relationships. ... When cultural
differences regularly make a difference in interaction between members of
groups, the social relationship has an ethnic element. Ethnicity refers both to
aspects of gain and loss in interaction, and to aspects of meaning in the

3
http://didin.lecture.ub.ac.id/tag/etnisitas/1Mei 2012.
15

creation of identity. In this way it has a political, organisational aspect as
well as a symbolic, meaningful one.
4


(Etnisitas adalah satu aspek hubungan sosial antara orang-orang yang
menganggap atau menilai diri mereka lebih utama/istimewa dari para
anggota kelompok-kelompok lain yang sadar dengan siapa mereka telah
menjalin hubungan. ...Ketika perbedaan-perbedaan budaya secara teratur
membuat perbedaan di dalam interaksi antara para anggota kelompok-
kelompok, maka hubungan sosial mempunyai elemen (nuansa) kesukuan.
Etnisitas menunjuk kedua-duanya kepada aspek keuntungan dan kerugian di
dalam interaksi, dan kepada aspek makna penciptaan identitas. Dengan cara
ini hal tersebut mempunyai aspek politis, organisasi (kelompok) seumpama
sebuah simbol yang penuh makna).


B. Identitas Sosial
Afthonul Afif menjelaskan teori identitas sosial beserta segala aspek-aspek
dan dinamika yang ada di dalamnya, ia menuliskan sebagai berikut:
Dalam khazanah psikologi sosial kajian terhadap proses interaksi
antarkelompok sosial tersebut melahirkan sebuah tradisi teoretis yang kuat
dan berpengaruh hingga sekarang, yang disebut sebagai teori identitas sosial.
Area kajian teori identitas sosial adalah pembahasan tentang perilaku-
perilaku individu dalam konteks hubungan antarkelompok yang
mencerminkan keberadaan unit-unit sosial lebih besar di mana individu
bernaung di dalamnya, seperti organisasi-organisasi sosial, sistem-sistem
kebudayaan, dan sistem-sistem sosial lainnya yang mana individu cenderung
akan menempatkan hal-hal tersebut sebagai rujukan bagi perilaku-perilaku
sosialnya (Tajfel, 1974). Dengan demikian, terdapat pola yang relatif stabil
mengenai proses terbentuknya perilaku-perilaku individu di level interaksi
antarkelompok, yaitu bahwa setiap hal yang dipikirkan, dirasakan, dan
dilakukan individu pada dasarnya merupakan manifestasi dari nilai-nilai,
kebiasaan-kebiasaan, aturan-aturan, dan norma-norma tertentu yang
berkembang di level kelompok (Padilla dan Perez, 2003). Dengan kata lain,
perilaku individu merupakan fungsi langsung dari sistem-sistem nilai yang
berkembang di kelompoknya.

Identitas sosial terbentuk dari keterlibatan, rasa peduli, dan rasa bangga
individu sebagai bagian dari kelompok sosial yang dinaunginya (Hogg dan
Abram, 1990: 2-3). Ia merupakan bagian dari konsep diri individu yang
bersumber dari pengetahuan tentang keanggotaannya dalam suatu kelompok

4
Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism: Anthropological, Third Edition (New York:
Pluto Press, 2010), 16-17.
16

sosial yang menganut nilai, norma, dan ikatan emosional tertentu yang
mampu menyatukan anggota-anggotanya (Tajfel, 1982: 2). Dengan
demikian, identitas sosial adalah bagian dari konsep diri individu yang
berasal dari pengetahuannya selama berada dalam sebuah kelompok sosial
tertentu melalui mana individu tersebut dengan sengaja menginternalisasi
nilai-nilai, turut berpartisipasi, serta mengembangkan rasa peduli dan
kebanggaan terhadap kelompoknya.
5


Lebih lanjut ia menjelaskan:

Teori identitas sosial memiliki tiga asumsi utama: (1) setiap individu akan
berusaha mempertahankan konsep dirinya yang positif; (2) konsep diri
tersebut lahir dari identifikasi terhadap kelompok sosial yang lebih besar; (3)
upaya individu dalam mempertahankan konsep dirinya yang yang positif itu
cenderung dilakukan melalui cara membanding-bandingkan kelompoknya
dengan kelompok lain (Operario dan Fiske, 1999: 26-54). Proses
perbandingan sosial ini umumnya didorong oleh motif persaingan
antarkelompok, yang tidak jarang akan berujung pada konflik sosial ketika
variabel-variabel struktural seperti distribusi kekuasaan yang tidak adil,
hierarki sosial yang terlalu timpang, persaingan memperebutkan sumber daya
dan pengaruh, dan upaya mempertahankan harga diri kelompok itu
tereskalasi dalam hubungan antar kelompok. Kondisi ini memungkinkan
masing-masing kelompok sosial akan mempersepsi kelompok lain
(outgroup) sebagai pesaing, ancaman, jahat, buruk, sementara dalam dalam
waktu yang bersamaan akan muncul kecenderungan yang sebaliknya, yaitu
melihat kelompok (ingroup) sendiri sebagai yang lebih baik dan unggul
(Padilla dan Perez, 2003).

Pembahasan mengenai teori identitas sosial tentu tidak bisa dipisahkan
dengan teori kategorisasi diri (self-categorization theory). Menurut Turner
dkk. (1987: 8-10), realitas sosial merupakan tempat berkembangnya nilai-
nilai yang menjadi acuan bagi identitas kelompok, dan dalam
perkembangannya kemudian melahirkan batas-batas antarkelompok.
Identitas sosial yang mewujud dalam interaksi sosial dengan demikian
merupakan penjelamaan dari kegiatan memilih, menyerap, sekaligus
mempertahankan nilai-nilai tersebut, sehingga dfalam konteks ini bisa dibaca
bahwa pada dasarnya setiap kelompok akan membawa dan memperjuangkan
kepentingannya masing-masing dalam interaksi sosial. Hal ini juga bisa
dipahami bahwa kecenderungan sebuah kelompok sosial untuk menyerap
nilai-nilai tertentu ketimbang yang lainnya merupakan cara kelompok
tersebut dalam membuat batas pembeda antara dirinya dengan kelompok-
kelompok lain. Proses yang mewakilinya disebut sebagai kategorisasi diri.
Bagi individu yang menjadi bagian dari kelompok sosial tersebut selanjutnya
akan menempatkan nilai-nilai yang berkembang dalam kelompoknya itu

5
Afthonul Afif, Identitas Tionghoa Muslim Indonesia (Depok, Jawa Barat: Penerbit Kepik, 2012), 17-
18.
17

(ingroup) sebagai rujukan dalam berperilaku dan menjadi bagian dari
identitas sosialnya, sementara di saat yang bersamaan dia akan bersikap
sebaliknya untuk kelompok lain, yaitu cenderung merendahkan nilai-nilai
yang berkembang dan dianut oleh kelompok lain (outgroup) (Krizan dan
Baron, 2007).
6


Secara khusus mengenai ingroup dan outgroup tersebut, ia mencoba
menjelaskannya dengan melihat kecenderungan-kecenderungan sosial beserta
potensi-potensi konflik yang bisa saja muncul di dalamnya. Ia mengatakan bahwa:
Fenomena ini kemudian akan mengarahkan individu untuk membagi dunia
sosial ke dalam dua kategori yang secara tegas berbeda, yaitu dunia ke-kita-
an (weness) dan dunia yang lain atau dunia mereka (otherness). Kita
adalah ingroup sementara mereka adalah outgroup. Kecenderungan untuk
memuja kelompok sendiri beserta nilai-nilai yang berkembang di dalamnya
selanjutnya akan memicu lahirnya fenomena bias-bias kelompok sendiri
(ingroup biases). Ingroup biases ini merupakan kondisi yang mengarahkan
individu untuk semakin menunjukkan ciri, kategori, dan sifat kelompoknya
sendiri dalam rangka mendapatkan rasa aman dan kedekatan emosional
dengan sesama anggota kelompok, sekaligus menjadi sumber bagi setiap rasa
kesatuan (sense of unity), yang selanjutnya akan berujung pada lahirnya
kebanggaan dan loyalitas terhadap kelompoknya sendiri. (Marques dkk.,
1988; Direnzo, 1990: 14; Barnum dan Marskovsky, 2007).

Sementara di lain sisi, outgroup merupakan kategori sosial atau kategori
kelompok di mana individu tidak merasa menjadi bagian dari kategori sosial
tersebut sehingga akan menimbulkan perasaan tidak suka, menghindar,
membandingkan, berkompetisi, bahkan bisa memicu lahirnya konflik dengan
kelompok lain (Direnzo, 1990: 15). Dasar dari kohesivitas dalam ingroup
adalah adanya persamaan, baik persamaan dalam hal ras, agama,
kepercayaan, kelompok sosial, pekerjaan, jenis kelamin, dan sebagainya, dan
di saat yang bersamaan ia juga diteguhkan oleh persepsi terhadap outgroup
yang berbeda dengan ingroup. Penelitian tentang kategorisasi sosial dan
ingroup preference membuktikan bahwa rasa suka dan penilaian positif
terhadap ingroup terjadi karena para subjek mengetahui adanya kesamaan
dalam identitas kelompok mereka (Doosje dkk., 2002; Barnum dan
Marskovsky, 2007), sementara outgroup terbentuk dari proses identifikasi
terhadap perbedaan-perbedaan dalam berbagai manifestasinya (ras, agama,
kelas sosial, pekerjaan, dsb). Outgroup merupakan kelompok sosial yang
sama sekali berbeda dengan ingroup.

... Sementara dampak langsung dari kategorisasi sosial itu membuat dunia
terpilah menjadi dua kutub yang saling berlawanan dalam pola relasi


6
Ibid, 18-19.
18

ingroup-outgroup, yang pada titik tertentu merupakan sumber bagi konflik-
konflik sosial, terdapat fakta lain yang lebih berkesan positif dari proses
kategorisasi itu, yaitu individu menjadi mampu menempatkan dirinya dalam
relasi sosial melalui cara-cara yang lebih terukur dan terkontrol. Kesadaran
bahwa individu menempati posisi sosial tertentu di hadapan individu-
individu dari kelompok lain juga membuat individu tahu bagaimana
memanfaatkan nilai-nilai yang dia anut secara tepat sehingga rasa
keberbedaan sebagai sumber identitas sosial itu tetap terjamin. Proses ini
menggambarkan bagaimana internalisasi nilai-nilai itu berlangsung di level
individu. Nilai-nilai itu selanjutnya akan memengaruhi bagaimana konsep
diri individu terbentuk. Jumlah total dari nilai-nilai yang telah
diinternalisasikan ke dalam konsep diri individu yang mana hal itu kemudian
menjadi kondisi pembeda ketika individu berhadapan dengan individu-
individu lain disebut sebagai identitas sosial individu.
Dengan kata lain, identitas sosial akan selalu berhubungan dengan
pengetahuan individu tentang peran dan signifikansi nilai-nilai yang
diperoleh dari keanggotaannya dalam kelompok sosial tertentu (Abrams,
1996: 150-153).
7


` J ames Banks mengemukakan beberapa tipologi sikap seseorang terhadap
identitas etnik atau cultural identity, sebagaimana dikutip oleh Choirul Mahfud,
yaitu:
8

1. Ethnic psychological captivy. Pada tingkat ini, seseorang masih terperangkap
dalam stereotipe kelompoknya sendiri, dan menunjukkan rasa harga diri yang
rendah. Sikap tersebut menunjukkan sikap kefanatikan terhadap nilai-nilai
budaya sendiri dan menganggap budaya lainnya inferior.
2. Ethnic encapsulation. Pribadi demikian juga terperangkap dalam kapsul
kebudayaannya sendiri terpisah dari budaya lain. Sikap ini biasanya mempunyai
perkiraan bahwa hanya nilai-nilai budayanya sendiri yang paling baik dan
paling tinggi, dan biasanya mempunyai sikap curiga terhadap budaya atau
bangsa lain.


7
Ibid., 19-21
8
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 202-203.
19

3. Ethnic identifities clarification. Pribadi macam ini mengembangkan sikapnya
yang positif terhadap budayanya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan
memberikan jawaban positif kepada budaya-budaya lainnya. Untuk
mengembangkan sikap yang demikian maka seseorang lebih dulu perlu
mengetahui beberapa kelemahan budaya atau bangsanya sendiri.
4. The ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap
budaya yang datang dari etnis lain, seperti budayanya sendiri.
5. Multicultural ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang mendalam dalam
menghayati kebudayaan lain di lingkungan masyarakat bangsanya.
6. Globalism. Pribadi ini dapat menerima di berbagai jenis budaya dan bangsa
lain. Mereka dapat bergaul secara internasional dan mengembangkan
keseimbangan keterikatannya terhadap budaya bangsa dan budaya global.
Selain itu, Hogg dan Abrams berpendapat bahwa:
Teori identitas sosial menyatakan bahwa persepsi antarkelompok etnis
hendaknya dipahami menurut paradigma the group in the individual, bukan
paradigma individual in the group. Dengan demikian upaya menjelaskan
fenomena persepsi antar kelompok berpijak pada perspektif kelompok.
9


Selanjutnya Tajfel, Turner dan Gills dalam Hogg dan Abrams mengatakan
bahwa:
Identitas sosial merupakan serangkaian proses dan asumsi terintegrasi yang
menjelaskan hubungan antara kekuatan sosiokultural dengan pelaku sosial
individu. Identitas sosial merupakan kesadaran individu bahwa dirinya
sebagai anggota dari suatu kelompok tertentu, yang meliputi kesadaran akan
perasaan-perasaan dan nilai-nilai yang penting bagi dirinya sebagai anggota
dari kelompok tersebut. Identitas sosial merupakan komponen penting yang
menjadi bagian dari konsep diri seseorang dan menjadi determinan penting
bagi pelaku.
10


9
Michael A. Hogg & Dominic Abrams, Social Identification: A social Psychology of Intergroup
Relation and Group Processes (London: Routledge, 1988), 60.
10
Ibid., 61.
20

Kemudian Hogg dan Abram juga menyatakan bahwa:
Identitas sosial mengacu pada asumsi-asumsi mengenai sifat-sifat individu
dan sifat masyarakat dan interaksi yang terjalin antara keduanya. Di dalam
masyarakat yang hirarkis terstruktur kategori-kategori sosial yang merupakan
penggolongan orang menurut negara, ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin,
etnis, agama, dll. Di dalam masing-masing kategori-kategori sosial melekat
suatu kekuatan (power), status, martabat (prestige) yang pada akhirnya
memunculkan suatu struktur yang menentukan kekuatan dan status hubungan
antar individu dan antar kelompok. Sementara di dalam diri individu
berlangsung proses kognitif, afektif, dan konatif yang dijadikan
pertimbangan individu untuk mengerti dan berperilaku.
11


Lebih jauh Taylor dan Moghaddam dalam Hogg & Abrams berupaya
menjelaskan bahwa teori identitas sosial mengandung 4 konsep pokok yang terdiri
dari:
12

a. Kategori sosial (social categorization), merupakan segmentasi terhadap
lingkungan, agar lebih mudah dikenali melalui kategorisasi individu-individu ke
dalam kelompok sosial yang biasa dikenal.
b. Identitas sosial (social identity), merupakan bagian dari konsep diri individu
yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota dari suatu kelompok
sosial, yang didalamnya juga tercakup nilai dan emosi-emosi penting yang
melekat pada diri individu sebagai anggota.
c. Perbandingan sosial (social comparison), merupakan proses perbandingan
karakteristik ingroup dengan outgroup.
d. Identitas psikologi khusus kelompok (psychological group distinctiveness).
Suatu upaya diri individu sebagai anggota suatu kelompok untuk menunjukkan
bahwa kelompoknya (ingroup) memiliki identitas yang berbeda dari kelompok
lain (outgroup).

11
Ibid.,61-62.
12
Ibid.,
21

Sikap outgroup selalu ditandai dengan suatu kelainan yang berwujud
antagonisme atau antipati. Perasaan ingroup dan outgroup atau perasaan dalam
serta luar kelompok dapat merupakan dasar suatu sikap yang dinamakan
etnosentrisme. Anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu sedikit banyak
akan mempunyai kecenderungan untuk menganggap bahwa segala sesuatu yang
termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan kelompoknya sendiri sebagai sesuatu yang
terbaik apabila dibandingkan dengan kebiasaan kelompok-kelompok lainnya.
Kecenderungan tadi disebut etnosentrisme, yaitu suatu sikap untuk menilai
unsur-unsur kebudayaan lain dengan mempergunakan ukuran-ukuran
kebudayaan sendiri.
13



13
JBAF Mayor Polak, Sosiologi, Suatu Buku Pengantar Ringkas (Jakarta: Penerbit dan Balai Buku
Ikhtiar, 1966).

Anda mungkin juga menyukai