Anda di halaman 1dari 11

KONFLIK DALAM MASYARAKAT MULTIKULTUR

Ada beberapa pandangan yang telah dikemukakan oleh beberapa penulis sebelumnya
mengenai multikulturalisme, seperti Suparlan (2004:117) mengatakan bahwa multikulturalisme
adalah sebuah ideologi tentang perbedaan dalam kesederajatan. Multikulturalisme sendiri
mempunyai fondasi kebudayaan dalam masyarakat yang bersangkutan, yang terwujud sebagai
sebuah mozaik dari kebudayaan -kebudayaan yang dipunyai oleh masyarakat multikultural.
Sebagai sebuah ideologi yang menekankan perbedaan dalam kesederajatan, multikulturalisme
juga didukung oleh ideologi demokrasi yang di dalamnya menganut persamaan dan
kebersamaan. Multikulturalisme dikembangkan dari konsep pluralisme budaya (cultural
pluralism) dengan menekankan kesederajatan kebudayaan yang ada pada sebuah masyarakat.
Oleh sebab itu, ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai
permasalahan yang mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan,
penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komunitas dan golongan
minoritas, dan prinsip-prinsip etika moral. Karena dalam konteks sebuah masyarakat ternyata
persoalan tersebut tidak akan lepas dari sebuah perbedaan.
Scott Lash (2002) juga berpendapat bahwa multikulturalisme memiliki arti keberagaman
budaya‖. Dia berpendapat bahwa ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk
menggambarkan masyarakat yang terdiri dari keberagaman tersebut—baik keragaman ras, suku,
budaya dan bahasa yang berbeda-beda—yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan
multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi tersebut sesungguhnya tidak mempresentasikan hal
yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ketidaktunggalan‖. Konsep pluralitas
mengandaikan adanya hal-hal yang lebih dari satu (many) keragaman menunjukan bahwa
keberadaan yang lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen dan bahkan tidak dapat disamakan.
Menurut Bikhu Parekh (2001), istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen,
yakni, pertama; konsep ini terkait dengan kebudayaan. Kedua, konsep ini merujuk kepada
pluralitas kebudayaan. Dan ketiga, konsep ini mengandung cara tertentu untuk merespon
pluralitas itu. Oleh sebab itu, multikulturalisme bukan doktrin politik pragmatik, melainkan
sebagai cara pandang atau semacam ideologi dalam kehidupan manusia.
ETNIS
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, sehingga bangsa Indonesia
merupakan salah satu bangsa yang sangat kaya akan kebudayaan. Keragaman budaya, bahasa,
suku, ras dan agama yang dimiliki oleh bangsa Indonesia bisa diamati dari wilayah Sabang
sampai Merauke dan bisa diamati melalui produk-produk budaya yang dihasilkan oleh setiap
suku bangsa di Indonesia. Masyarakat Indonesia juga bisa dikatakan sebagai masyarakat yang
pluralistik yang berasal dari kata ―pluralisme ” (Soekanto, 1984 : 48). Sebenarnya istilah ini
pada awalnya lebih digunakan untuk menggambarkan suatu sistem politik tertentu, yang
diperlukan didalam negara yang kompleks untuk menerapkan demokrasi, sebab dalam sistem
demokrasi selalu ditandai dengan pembagian kekuasaan untuk membuat kebijakan-kebijakan
yang efektif antara golongan- golongan tertentu dalam masyarakat , dengan maksud mengadakan
kompetisi yang sehat. Namun seiring berjalannya waktu, istilah tersebut dipergunakan dan
diterapkan pada masyarakat –masyarakat yang mencakup aneka ragam suku bangsa. Dan
keaneka ragam suku bangsa inilah yang disebut sebagai Kelompok/ komunitas etnis (ethnic-
group) yang masing-masing mempunyai kebudayaan khusus (sub-culture). Suku bangsa itu
sendiri merupakan kesatuan-kesatuan manusia yang sangat terikat oleh kesadaran dan kesatuan
sistem sosial dan kebudayaan (yang selalu didukung oleh bahasa dan pola komunikasi tertentu
dalam komunitas–komunitas etnis dan suku bangsa tersebut).
J. Jones (dalam Liliweri 2007) mendefinisikan etnis atau sering disebut Kelompok/
Komunitas etnis adalah sebuah himpunan manusia (sub kelompok manusia) yang dipersatukan
oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur atau subkultur tertentu, atau karena kesamaan
ras, agama, asal usul bangsa, bahkan peran dan fungsi tertentu.

KEBUDAYAAN
Menurut bahasa Antropologi, ―kebudayaan merupakan seluruh sistem gagasan dan rasa,
tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan
miliknya dengan belajar‖. Dengan demikian, hampir semua tindakan manusia adalah
kebudayaan, karena jumlah tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang
tidak dibiasakan dengan
belajar (yaitu tindakan naluri, refleks, atau tindakan-tindakan yang dilakukan akibat suatu proses
yang panjang).
Kata ―budaya‖ berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak
dari kata buddhi, yang berarti ―budi‖ atau ―akal‖ (Koentjaraningrat 2003: 73-74). Kebudayaan
itu sendiri diartikan sebagai ― hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal‖. Istilah culture,
yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata
―colere‖ yang artinya adalah mengolah atau mengerjakan‖, yaitu dimaksudkan kepada keahlian
mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi
culture diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah
alam‖. Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871), memberikan definisi mengenai
kebudayaan yaitu kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang
didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat‖.
Antropolog ini menyatakan bahwa kebudayaan mencakup semua yang didapatkan dan
dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir,
merasakan dan bertindak. Selanjutnya Soekanto menambahkan bahwa penelitian-penelitian yang
berkaitan dengan kebudayaan tertentu, akan sangat tertarik dengan objek dan subjek kebudayaan
seperti rumah- rumah, sandang, jembatan, alat-alat komunikasi maupun proses komunikasi itu
sendiri (Soekanto, 1974 : 40). Taylor selanjutnya menjelaskan juga bahwa kebudayaan yang
merupakan kompleks menyeluruh yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral,
hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan serta kebiasaan yang dipunyai manusia sebagai warga
negara dari suatu masyarakat , selalu mempengaruhi pola hidup dalam bermasyarakat (Soekanto,
1984 : 158).

Pola hidup yang ditafsirkan oleh penulis adalah pola bagaimana masyarakat
berkomunikasi dan berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, terlebih
masyarakat yang berbeda kebudayaannya. Definisi lain yang mendukung penjelasan sebelumnya
adalah Kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku,
kepercayaan, nilai, dan simbol-sombol yang mereka terima tanpa sadar/tanpa dipikirkan, yang
semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan dari satu generasi kepada generasi
berikutnya (Liliweri, 2007 : 8).

Berikut definisi Kebudayaan dari Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (Samovar & Porter
2003 : 8):
Culture as the deposit of knowledge, experience, beliefs, values,
attitudes, meanings, social hierarchies, religion, notions of time, roles,
spatial relationships, concepts of the universe, and material objects and
possessions acquired by a group of people in the course of generations
through individual and group striving

(Kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan,


nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi ruang, pandangan terhadap
alam semesta, dan objek material atau kepemilikan yang dimiliki dan dipertahankan oleh
sekelompok orang atau suatu generasi).
Sebuah pepatah Cina mengatakan, ―Jika anda tidak pernah bertikai dengan orang lain,
maka anda tidaklah akan mengenal satu sama lain‖. Jika dimaknai dengan benar, pepatah Cina
tersebut tentunya tidaklah mengajarkan kita untuk bertikai, akan tetapi adakalanya juga dengan
bertikai kita akan dapat mengenal karakter, budaya, kehebatan dan kemampuan orang lain.
Perspektif konflik pertama kali dicetuskan oleh Karl Marx (1818-1883). Dasar pemikirannya
adalah pandangan yang menyatakan bahwa telah terjadi ekploitasi kelas besar-besaran sebagai
penggerak utama dalam kekuatan-kekuatan sejarah. Ketika berbicara mengenai konflik, maka
akan ada banyak definisi dan pengertian mengenai konflik misalnya konflik bisa diartikan
sebagai pertentangan, peperangan, perkelahian, kerusuhan, dan masih banyak lagi definisi
mengenai konflik dengan berbagai macam sudut pandang. Merujuk pada definisi Park dan
Burgess mengatakan bahwa secara sederhana konflik merupakan perjuangan untuk mendapatkan
status. Status yang dimaksudkan disini adalah status sosial yang terdapat dalam klasifikasi
masyarakat tertentu. Status ini tentu saja berkaitan dengan kedudukan dan prestise seseorang
dalam masyarakat.
Namun Mack dan Snyder menambahkan bahwa Ia tidak hanya memperjuangkan status
tetapi juga memperoleh sumber daya yang langka dan mewujudkan perubahan sosial yang
signifikan. Dengan demikian maka konflik digambarkan disini sebagai situasi dimana para aktor
menggunakan perilaku konflik melawan pihak lain untuk mencapai tujuan yang bertentangan
dan atau untuk menyatakan permusuhan mereka. Aktor disini tidak dibatasi pada individual saja,
melainkan pada kelompok atau pun dalam penelitian ini adalah komunitas (Bartos, 2002 : 13).
Ketika berbicara mengenai konflik, maka perlu diperhatikan hal-hal yang menyebabkan
terjadinya konflik. Pada awal tulisan ini, sudah dijelaskan secara singkat bahwa persoalan
ekonomi sering menjadi faktor pemicu terjadinya konflik. Widarto, (2003: 30-31)
mengemukakan bahwa konflik adalah pertentangan dan terdapat empat faktor penyebab
terjadinya konflik yaitu :

1. Perbedaan antar orang per orang. Perbedaan pendirian dan perasaan mungkin
menyebabkan bentrokan antar orang per orang.
2. Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kepribadian dari orang per orang tergantung pula
dari pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan
kepribadian tersebut. Seorang secara sadar maupun tidak sadar, sedikit banyaknya
akan terpengaruh oleh pola pemikiran dan pola pendirian dari kelompoknya.
Selanjutnya keadaan tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya pertentangan antar
kelompok manusia.
3. Bentrokan antar kepentingan. Bentrokan kepentingan orang-orang maupun kelompok
manusia merupakan sumber lain dari konflik atau pertentangan. Wujud dari
kepentingan tersebut misalnya kepentingan dalam bidang ekonomi, politik, dan
sebagainya.
4. Perubahan Sosial. Perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat, untuk sementara
waktu mengubah sistem nilai dalam masyarakat dan menyebabkan terjadinya
berbagai golongan yang berbeda pendiriannya mengenai reorganisasi dari sistem
nilai.
Berdasarkan empat point diatas maka penulis akan memfokuskan penelitian ini pada
persoalan perbedaan kebudayaan dimana hal ini selalu menjadi kajian yang utama terhadap
proses komunikasi antar budaya. Para psikolog berpendapat bahwa konflik merupakan kondisi
terjadinya ketidakcocokan antara nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada
dalam diri individu, maupun dalam hubungannya dengan orang lain (Killman & Thomas,1978,
dalam Haryati 2001 : 9). Selanjutnya Scuyth (dalam Haryati 2001 : 9) melihat konflik dari sisi
hukum, mengemukakan bahwa konflik adalah situasi (keadaan) dimana dua atau lebih pihak
memperjuangkan tujuan-tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan
dimana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya sendiri.
Menurut Simmel, konflik berguna untuk membentuk dan mempertahankan identitas dan
garis batas masyarakat dalam kelompok. Konflik dengan kelompok lain mendukung
pembentukan dan penegasan identitas kelompok tersebut terhadap dunia sosial disekitarnya.
Sedangkan menurut Webster 1996 (dalam Prurit, 2004) dikatakan bahwa istilah konflik
conflict‖ di dalam bahasa aslinya berarti suatu ―perkelahian, perperangan atau
perjuangan‖--- yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Akan tetapi nampaknya kata
itu kemudian berkembang dengan masuknya ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas
berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain‖. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga
menyentuh aspek psikologis dibalik konfrontasi fisik yang terjadi, istilah ―conflict‖ menjadi
begitu meluas sehingga beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.

TEORI KONFLIK

Wirawan (2010), mengatakan bahwa konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan
dan perkembangan manusia yang mempunyai karakteristik yang beragam. Manusia memiliki
perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa, suku, agama dan
kepercayaan, aliran politik serta budaya dan tujuan hidupnya. Dan dalam sejarah umat manusia,
perbedaan inilah yang selalu menimbulkan konflik. Dan konflik merupakan proses pertentangan
yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai obyek
konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik.
Sedangkan Fisher dkk (2001) mengatakan bahwa konflik adalah suatu kenyataan hidup
yang tidak terhindarkan dan konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih (individu
atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan.
Menurut Fisher dkk, ada 6 (enam) teori yang dapat digunakan untuk memahami penyebab
konflik, yang diantaranya:
1. Teori hubungan masyarakat, teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan oleh
polarisasi yang terus terjadi, ketidak percayaan dan permusuhan diantara kelompok yang
berbeda dalam suatu masyarakat.
2. Teori negoisasi prinsip. Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-
posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang
mengalami konflik.
3. Teori kebutuhan manusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang berakar dapat
disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia—fisik, mental dan sosial—yang tidak
terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering
menjadi inti pembicaraan.
4. Teori Identitas. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang
terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di massa lalu
yang tidak terselesaikan.
5. Teori kesalah-pahaman antar budaya. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
ketidak-cocokan dalam cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda.
6. Teori transormasi konflik. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-
masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial,
budaya dan ekonomi.

Dalam hal tersebut, Fisher juga berpendapat bahwa ada beberapa hal yang melatar belakangi
sebuah konflik, diantaranya:
1. Kekuasaan. Kekuasaan adalah unsur penting dalam setiap masalah manusia: suatu
konflik sering berpusat pada usaha untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar
atau kekawatiran akan kehilangan kekuasaan.
2. Budaya. Budaya sangat menentukan cara seseorang dalam berfikir dan bertindak.
Masyarakat menghormati budayanya sendiri, dan sering mempertahankan dalam
menghadapi pengaruh-pengaruh dari luar. Konflik bisa terjadi karena ketidakcocokan
dalam cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda.
3. Identitas. Identitas diperoleh dari rasa memiliki suatu budaya. Dalam konflik, apa
yang dirasakan orang mengenai siapa diri mereka dapat berubah dan menjadi sumber
kekuatan untuk melakukan peningkatan. Pada waktu yang sama, cara pandang orang
lain terhadap satu individu lain atau kelompok dapat berubah menjadi sebuah cara
pandang serangan.
4. Hak-hak. Merupakan dimensi konflik sosial dan politik yang vital. Pelanggaran hak
dan perjuangan untuk menghapuskan pelanggaran ini, merupakan dasar dari berbagai
konflik kekerasan.

William Hendricks (1996) berpendapat bahwa konflik biasanya dilatar- belakangi oleh
perbedaan-perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan
tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, adat istiadat, keyakinan, dan lain
sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan
situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satupun yang tidak pernah mengalami
konflik antar anggotanya atau dengan kolompok masyarakat yang lainnya. Dan konflik hanya
akan hilang bersama dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Menurut Liliweri (2005), konflik yang terjadi antar etnis ada beberapa definisi yang diantaranya:
1. Suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan individu atau kelompok yang
berbeda etnis (suku, agama, ras, dan golongan) karena memiliki perbedaan sikap,
kepercayaan, dan nilai-nilai kebutuhan.
2. Hubungan antar dua etnis atau lebih (individu/kelompok) yang memiliki/ merasa
memiliki sasaran-sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan
yang tidak sejalan.
3. Bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu/kelompok etnis baik intra
etnis maupun antar etnis yang memiliki perbedaan sikap, norma, dan kepercayaan.
4. Pertikaian antar etnis yang disebabkan karena perbedaan kebutuhan nilai, motivasi
pelaku atau yang terlibat di dalamnya.
5. Suatu bentuk perlawanan yang melibatkan dua etnis /lebih secara antagonis.
Liliweri juga menambahkan bahwa ada empat unsur-unsur konflik yang diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Ada dua etnis atau lebih yang terlibat. Ada interaksi antar personal maupun antar
kelompok diantara mereka yang terlibat.
2. Ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik antar etnis, tujuan itu yang menjadi sumber
konflik.
3. Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan antar etnis dalam kerangka konflik untuk
mendapatkan atau mencapai tujuan atau sasaran.
4. Ada situasi konflik antara dua etnis atau lebih yang bertentangan, meliputi situasi
antar pribadi, kelompok dan antar organisasi.

Webster (dalam Pruit dan Rubin, 2009) mengatakan bahwa istilah ―conflict‖ di dalam bahasa
aslinya berarti perkelahian, peperangan, perjuangan, yang berupa konfrontasi fisik antara
beberapa pihak.
Sehingga, dari beberapa penjelasan mengenai konflik oleh beberapa penulis seperti yang
telah dikatakan diatas, peneliti dalam hal ini dapat menyimpulkan bahwa konflik merupakan
sebuah persoalan yang timbulnya disebabkan oleh karena pemahaman yang tidak sejalan, ego
diri yang terlalu tinggi, watak adat isitadat yang keras dan latar belakang individu atau kelompok
yang dalam kondisi tertentu melakukan persinggungan dan melukai, rasa dan perasaan sehingga
menyebabkan masing-masing pihak tidak dapat menerima kondisi yang dialami dan memutuskan
untuk menyelesaikan persoalan dengan watak, karakter, budaya dan cara yang mereka miliki
masing-masing.

Manajemen Konflik

Dalam hal persoalan konflik, sangat perlu sekali dilakukan manajemen, seperti yang
dikatakan oleh Alice Pescuric (dalam Wirawan, 2010), mengelola konflik merupakan urutan ke-
7 dari 10 prioritas kegiatan seorang manajer dalam sebuah kepemimpinananya. Dalam
menjalankan kehidupan pasti akan menghadapi konflik, dan konflik tersebut dapat terjadi yang
disebabkan oleh beragam hal, seperti konflik antar anggota organisasi, atau konflik dengan pihak
luar. Sehingga sangat diperlukan sebuah manajemen konflik dalam berkehidupan.
Menurut P3PK UGM (1997) seperti yang dikutip oleh Ali Imron, untuk dapat
memanajemen konflik diperlukan beberapa pendekatan seperti salah satunya adalah pendekatan
multikultural, karena pendekatan multikultural lebih mengakui hak individu untuk tetap
mengekspresikan identitas budayanya sesuai dengan latar belakang masing-masing, termasuk
jender, dengan bebas. Selain itu, dalam pendekatan multikultral terdapat tiga perspektif dalam
pengembangannya, yaitu: Pertama, Perspektif Cultural Assimilation, model yang menunjukan
pada proses asimilasi warga masyarakat subnational kedalam suatu core culture atau core
society. Kedua, Perspektif Cultural Pluralisme, perspektif yang menekankan pentingnya hak bagi
semua kebudayaan dan masyarakat subnational untuk memelihara dan mempertahankan identitas
kultural masing-masing dan Ketiga, Perspektif cultural Synthesis, dimana perspektif ini
merupakan sintesis dari perspektif asimilationis dan pluralis, yang lebih menekanan pentingnya
proses terjadinya sintesis di dalam diri warga masyarakat dan terjadinya perubahan dalam
berbagai kebudayaan masyarakat subnational.
Adapun maksud dari pendekatan multikultural dalam kajian tersebut adalah pendekatan
yang menggunakan matra yang berbasis pada pluralitas budaya dalam kehidupan masyarakat
yang memberikan kebebasan kepada berbagai budaya untuk hidup berdampingan dan saling
menghargai satu dengan lainnya. Gagasan dan semangat pluralistik terasa mendasari dalam
setiap analisis masalah dan dalam mencari resolusi konflik. Dengan pendekatan demikian
diharapkan kultur etnik dan agama, bahkan golongan semuanya dapat berinteraksi secara wajar
tanpa harus dipertentangkan, masing-masing memiliki eksistensinya.
Penanganan terhadap konflik dengan pendekatan represif ataupun keamanan (security
approach) tidaklah tepat, terlebih pada masa pascareformasi. Bahkan, pada masa-masa
mendatang penanganan konflik social dengan menggunakan senjata sama sekali tidak populer.
Karena, di samping sering membawa korban jiwa, juga sering tidak menyelesaikan
permasalahan. Misalnya, fenomena yang terjadi di Nangroe Aceh Darussalam beberapa tahun
lalu, penyelesaian konflik dengan senjata ternyata justru banyak membawa bencana sosial seperti
banyak kekerasan seksual dan/ atau pemerkosaan terhadap kaum perempuan oleh oknum militer
yang bertugas berbulan-bulan bahkan bertahun- tahun di wilayah serambi Mekkah itu. Perjanjian
perdamaianlah yang akhirnya menyelesaikan konflik di provinsi Indonesia paling barat itu. Oleh
karena itu, diperlukan pendekatan- pendekatan yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah
dengan memerhatikan issue yang melatari konflik (Ali Imron, 2006). Oleh karenanya
penanganan terhadap konflik tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan kekerasan, namun
perlu dilakukan dengan mengedepankan pendekatan yang mengetahui latar belakang persolan
atau terjadinya konflik tersebut.
Lebih lanjut, pendekatan pemecahan masalah memperlakukan konflik sebagai masalah
dan bukan sebagai tindak kerusuhan dan kekerasan yang harus dibasmi, terlebih memandangnya
sebagai pemberontakan atau makar yang harus diberangus sampai ke akar-akarnya, tanpa melihat
akar permasalahan yang sebenarnya. Pendekatan konflik semestinya lebih memfokuskan
perhatian bukan hanya pada perilaku konflik melainkan juga rasa tidak puas, rasa diperlakukan
tidak adil, dan seterusnya. Juga, pendekatan konflik memfokuskan pada kondisi dan situasi yang
melatari konflik yang terjadi. Ringkasnya, pendekatan konflik harus dilakukan secara
multidimensi atau dengan pendekatan holistik, di antaranya dengan perspektif multikultural (Ali
Imron, 2002). Seperti dipaparkan di atas, bahwa pemahaman akan keberadaan konflik perlu
dilakukan dengan penyelesaian secara holistik/menyeluruh dengan memandang dari berbagai
aspek konflik tersebut. Hal itu merupakan salah satu jalan yang memungkinkan kita untuk
toleran dan terbuka untuk memasuki dan dimasuki.
Dalam beberapa pemaparan mengenai manajemen konflik diatas, dapat disimpulkan
bahwa perlunya sebuah konflik dalam lingkungan multikulturalisme dikelola atau dimanajemeni
dengan baik sehingga konflik-konflik yang terjadi dapat diminimalisir. Sedangkan dalam
pendekatan-pendakatan yang digunakan juga terdapat beberapa seperti dengan cara tindakan
menghindar, kompromis, berkolaborasi yang tentunya tidak meninggalkan pendekatan kultural
dimana setiap hak-hak yang dimiliki oleh masing-masing etnis dikelola dan diakui dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai