Anda di halaman 1dari 178

Budaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Lukisan musisi wanita Persiadari Istana Hasht-Behesht (Istana 8 surga).

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan


bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan
budi, dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu
mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani.
Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Definisi Budaya[sunting | sunting sumber]


Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. [1] Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.[1] Bahasa, sebagaimana juga budaya,
merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasidengan
orang-orang yang berbeda budaya, dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya,
membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.[1]

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini
tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. [2]

Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang
dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai
yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya
sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya
seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang dan
"kepatuhan kolektif" di Cina.

Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan


pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logisyang
dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa
bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.

Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang
lain.

Pengertian kebudayaan[sunting | sunting sumber]


Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan
Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat
itu adalah Cultural-Determinism.

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi
ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma
sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain,
tambahan lagi segala pernyataan intelektual, dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat.

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Menurut Selo Soemardjan, dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya,
rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah
sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak.

Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia


sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, dan benda-benda yang bersifat nyata,
misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-
lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.

Unsur-Unsur[sunting | sunting sumber]
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur
kebudayaan, antara lain sebagai berikut:

1. Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:


 alat-alat teknologi
 sistem ekonomi
 keluarga
 kekuasaan politik
2. Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
 sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
 organisasi ekonomi
 alat-alat, dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga
adalah lembaga pendidikan utama)
 organisasi kekuatan (politik)
3. C. Kluckhohn mengemukakan ada 7 unsur kebudayaan secara universal (universal
categories of culture) yaitu:
 bahasa
 sistem pengetahuan
 sistem tekhnologi, dan peralatan
 sistem kesenian
 sistem mata pencarian hidup
 sistem religi
 sistem kekerabatan, dan organisasi kemasyarakatan

Wujud dan komponen[sunting | sunting sumber]


Wujud[sunting | sunting sumber]
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan
artefak.

 Gagasan (Wujud ideal)


Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak
dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di
alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan
mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam
karangan, dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

 Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini
terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta
bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati, dan
didokumentasikan.

 Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan
karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat
diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud
kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang
satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud
kebudayaan ideal mengatur, dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya
(artefak) manusia.
Komponen[sunting | sunting sumber]
Berdasarkan wujudnya tersebut, Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut
ahli antropologi Cateora, yaitu :

 Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret.
Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari
suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya.
Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang,
stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.

 Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke
generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
 Lembaga social
Lembaga social, dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam kontek
berhubungan, dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem social yang terbantuk dalam
suatu Negara akan menjadi dasar, dan konsep yang berlaku pada tatanan social
masyarakat. Contoh Di Indonesia pada kota, dan desa dibeberapa wilayah, wanita tidak
perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan. Tetapi di
kota – kota besar hal tersebut terbalik, wajar seorang wanita memilik karier
 Sistem kepercayaan
Bagaimana masyarakat mengembangkan, dan membangun system kepercayaan atau
keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam
masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana
memandang hidup, dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara
bagaimana berkomunikasi.
 Estetika
Berhubungan dengan seni, dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama, dan tari
–tarian, yang berlaku, dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap
masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala
peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan, dan efektif. Misalkan
di beberapa wilayah, dan bersifat kedaerah, setiap akan membangu bagunan jenis apa saj
harus meletakan janur kuning, dan buah – buahan, sebagai symbol yang arti disetiap
derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang mungkin tidak terlihat
masyarakatnya menggunakan cara tersebut.
 Bahasa
Bahasa merupakan alat pengatar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah,
bagian, dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu komunikasi
bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sidat unik,
dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebu. Jadi keunikan,
dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari, dan dipahami agar komunikasi lebih baik,
dan efektif dengan memperoleh nilai empati, dan simpati dari orang lain.

Hubungan Antara Unsur-Unsur Kebudayaan [sunting | sunting


sumber]

Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan antara lain:

Peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)[sunting | sunting


sumber]

Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan.

Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala


peralatan, dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan
masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi
hasil-hasil kesenian.

Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup


dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga
sistem peralatan, dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:

 alat-alat produktif
 senjata
 wadah
 alat-alat menyalakan api
 makanan
 pakaian
 tempat berlindung, dan perumahan
 alat-alat transportasi
Sistem mata pencaharian[sunting | sunting sumber]
Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah
mata pencaharian tradisional saja, di antaranya:

 Berburu dan meramu
 Beternak
 Bercocok tanam di ladang
 Menangkap ikan
Sistem kekerabatan dan organisasi sosial[sunting | sunting sumber]
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer
Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan
untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan.
Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki
hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak,
menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek, dan seterusnya.

Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang


jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh
masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain
seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.

Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat,
baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai
sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa, dan negara.
Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi
sosialuntuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.

Bahasa[sunting | sunting sumber]
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk
saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa
isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya
atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat,
tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan
segala bentuk masyarakat.

Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum, dan fungsi khusus.
Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi,berkomunikasi, dan alat
untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus
adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra),
mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Kesenian[sunting | sunting sumber]

Karya seni dari peradaban Mesir kuno.

Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi
hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mataataupun telinga. Sebagai makhluk
yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari
yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.

Sistem Kepercayaan[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama

Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai, dan
mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan
akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia
sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun
hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan
kepada penguasa alam semesta.

Agama, dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama
(bahasa Inggris: Religion, yang berasar daribahasa Latin religare, yang berarti
"menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat
manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi, dan Agama) mendefinisikan
Agama sebagai berikut:
... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk
beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan
sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati. [3]

Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti "10 Firman" dalam agama Kristen atau "5
rukun Islam" dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem
pemerintahan, seperti misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga memengaruhi kesenian.

Agama Samawi[sunting | sunting sumber]

Tiga agama besar, Yahudi, Kristen, dan Islam, sering dikelompokkan sebagai agama
Samawi[4] atau agama Abrahamik.[5] Ketiga agama tersebut memiliki sejumlah tradisi yang
sama namun juga perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam inti ajarannya. Ketiganya telah
memberikan pengaruh yang besar dalam kebudayaan manusia di berbagai belahan dunia.

Yahudi adalah salah satu agama, yang jika tidak disebut sebagai yang pertama, adalah
agama monotheistik dan salah satu agama tertua yang masih ada sampai sekarang. Terdapat
nilai-nilai, dan sejarah umat Yahudi yang juga direferensikan dalam agama Abrahamik lainnya,
seperti Kristen dan Islam. Saat ini umat Yahudi berjumlah lebih dari 13 juta jiwa. [6]

Kristen (Protestan dan Katolik) adalah agama yang banyak mengubah wajah kebudayaan


Eropa dalam 1.700 tahun terakhir. Pemikiran para filsuf modern pun banyak terpengaruh oleh
para filsuf Kristen semacam St. Thomas Aquinas dan Erasmus. Saat ini diperkirakan terdapat
antara 1,5 s.d. 2,1 miliar pemeluk agama Kristen di seluruh dunia. [7]

Islam memiliki nilai-nilai, dan norma agama yang banyak mempengaruhi kebudayaan Timur


Tengah, Afrika Utara dan sebagian wilayah Asia Tenggara. Saat ini terdapat lebih dari 1,6
miliar pemeluk agama Islam di dunia.[8]

Agama dan filsafat dari Timur[sunting | sunting sumber]

Agni, dewa api agama Hindu

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama dari timur dan Filosofi Timur

Agama, dan filosofi seringkali saling terkait satu sama lain pada kebudayaan Asia. Agama, dan
filosofi di Asia kebanyakan berasal dari India, dan China, dan menyebar di sepanjang benua
Asia melalui difusi kebudayaan, dan migrasi.

Hinduisme adalah sumber dari Buddhisme, cabang Mahāyāna yang menyebar di sepanjang


utara, dan timur India sampai Tibet, China, Mongolia, Jepang, dan Korea, dan China selatan
sampai Vietnam. Theravāda Buddhisme menyebar di sekitar Asia Tenggara, termasuk Sri
Lanka, bagian barat laut China, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand.

Agama Hindu dari India, mengajarkan pentingnya elemen nonmateri sementara sebuah


pemikiran India lainnya, Carvaka, menekankan untuk mencari kenikmatan di dunia.

Konghucu, dan Taoisme, dua filosofi yang berasal dari Cina, memengaruhi baik religi, seni,
politik, maupun tradisi filosofi di seluruh Asia.

Pada abad ke-20, di kedua negara berpenduduk paling padat se-Asia, dua aliran filosofi politik
tercipta. Mahatma Gandhi memberikan pengertian baru tentang Ahimsa, inti dari kepercayaan
Hindu maupun Jaina, dan memberikan definisi baru tentang konsep antikekerasan, dan
antiperang. Pada periode yang sama, filosofikomunisme Mao Zedong menjadi sistem
kepercayaan sekuler yang sangat kuat di China.

Agama tradisional[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama tradisional
Agama tradisional, atau kadang-kadang disebut sebagai "agama nenek moyang", dianut oleh
sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Pengaruh bereka cukup besar;
mungkin bisa dianggap telah menyerap kedalam kebudayaan atau bahkan menjadi agama
negara, seperti misalnya agama Shinto.

Seperti kebanyakan agama lainnya, agama tradisional menjawab kebutuhan rohani manusia
akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa musibah, dan
menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri.

"American Dream"[sunting | sunting sumber]

American Dream, atau "mimpi orang Amerika" dalam bahasa Indonesia, adalah sebuah
kepercayaan, yang dipercayai oleh banyak orang di Amerika Serikat. Mereka percaya, melalui
kerja keras, pengorbanan, dan kebulatan tekad, tanpa memedulikan status sosial, seseorang
dapat mendapatkan kehidupan yang lebih baik.[9]

Gagasan ini berakar dari sebuah keyakinan bahwa Amerika Serikat adalah sebuah "kota di
atas bukit" (atau city upon a hill"), "cahaya untuk negara-negara" ("a light unto the nations"),
[10]
 yang memiliki nilai, dan kekayaan yang telah ada sejak kedatangan para penjelajah Eropa
sampai generasi berikutnya.

Pernikahan[sunting | sunting sumber]

Agama sering kali mempengaruhi pernikahan, dan perilaku seksual. Kebanyakan gereja
Kristen memberikan pemberkatan kepada pasangan yang menikah; gereja biasanya
memasukkan acara pengucapan janji pernikahan di hadapan tamu, sebagai bukti bahwa
komunitas tersebut menerima pernikahan mereka. Umat Kristen juga melihat hubungan antara
Yesus Kristus dengan gerejanya.

Gereja Katolik Roma mempercayai bahwa sebuah perceraian adalah perbuatan tercela yang
disebabkan oleh sikap egoistis dari individu masing-masing. Alasan perceraian umumnya
beragam mulai dari perselingkuhan, ketidak sesuian sifat, perlakukan kasar pasangan,
fundamental paham yang sudah tidak sejalan yang dalam pandangan Gereja Katolik Roma
sebuah alasan yang mengada-ada. Gereja Katolik Roma berdasarkan ajaran Yesus Kristus
beranggapan bahwa seseorang yang terikat dalam intitusi pernikahan melakukan perceraian
adalah bagian dari bentuk dari perjinahan kepada Tuhan, dan umat. Berdasarkan pemikiran
ini, maka seseorang yang telah bercerai tidak dapat dinikahkan kembali di gereja terkecuali
bercerai karena salah satu pasangannya telah dipanggil ke hadapan Tuhan. Sementara
Agama Islam memandang pernikahan sebagai suatu kewajiban. Islam menganjurkan untuk
tidak melakukan perceraian, namun memperbolehkannya.

Sistem ilmu dan pengetahuan[sunting | sunting sumber]


Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang
benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di
dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir
menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error).

Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:

 pengetahuan tentang alam
 pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya
 pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat, dan tingkah laku sesama
manusia
 pengetahuan tentang ruang dan waktu

Perubahan sosial budaya[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perubahan sosial budaya
Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan
asing.

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial, dan pola budaya
dalam suatu masyarakat.

Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap
masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat, dan sifat dasar manusia yang selalu
ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia
sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.

Ada tiga faktor yang dapat memengaruhi perubahan sosial:

1. tekanan kerja dalam masyarakat


2. keefektifan komunikasi
3. perubahan lingkungan alam.[11]

Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat,
penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman
es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi
baru lainnya dalam kebudayaan.

Penetrasi kebudayaan[sunting | sunting sumber]


Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan
ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:

Penetrasi damai (penetration pasifique)


Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh
kebudayaan Kpop, Hollywood Movies, Bollywood Movies, dan lain-lain sebagainya ke
Indonesia[butuh rujukan]. Penerimaan kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik,
tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua
kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya
masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi,
atau Sintesis.

Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru


tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi
Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia, dan
kebudayaan India. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk
kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang
berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan
kebudayaan asli.

Penetrasi kekerasan (penetration violante)


Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa, dan merusak. Contohnya,
masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan
kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak
keseimbangan dalam masyarakat[butuh rujukan].
Wujud budaya dunia barat antara lain adalah budaya dari Belanda yang menjajah
selama 350 tahun lamanya. Budaya warisan Belanda masih melekat di Indonesia
antara lain pada sistem pemerintahan Indonesia.

Cara pandang terhadap kebudayaan [sunting | sunting sumber]


Kebudayaan sebagai peradaban[sunting | sunting sumber]
Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan
di Eropa pada abad ke-18, dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini
merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa, dan kekuatan
daerah-daerah yang dijajahnya.

Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari


"alam". Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat
diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.

Artefak tentang "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture) olehEdgar Degas.

Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda, dan aktivitas yang


"elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau
mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk
menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-
aktivitas di atas.

Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik
yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap
sebagai musik yang kampungan, dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan
bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".

Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada
kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu, dan
menjadi tolak ukur norma, dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini,
seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang
"berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai
orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih
"alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan
tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature)

Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara
berkebudayaan, dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan,
dan tidak berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan, dan interpretasi
pengalaman sebagai perkembangan yang merusak, dan "tidak alami" yang
mengaburkan, dan menyimpangkan sifat dasar manusia.

Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja)


dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik
klasik sebagai suatu kemunduran, dan kemerosotan.

Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara


kebudayaan dengan alam, dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka
menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan
"kebudayaan elit" adalah sama - masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan
yang tidak dapat diperbandingkan.
Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular
culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi, dan
dikonsumsi oleh banyak orang.

Kebudayaan sebagai "sudut pandang


umum"[sunting | sunting sumber]
Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli
terhadap gerakan nasionalisme - seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk
menyatukanJerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas
melawan Kekaisaran Austria-Hongaria - mengembangkan sebuah gagasan
kebudayaan dalam "sudut pandang umum".

Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan,
dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan.
Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara
"berkebudayaan" dengan "tidak berkebudayaan" atau kebudayaan "primitif."

Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan


definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa
setiap manusia tumbuh, dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta
kebudayaan.

Pada tahun 50-an, subkebudayaan - kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda


dari kebudayaan induknya - mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi.
Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan - perbedaan, dan
bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.

Kebudayaan sebagai mekanisme stabilisasi[sunting | sunting


sumber]
Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah
sebuah produk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju
kebersamaan, dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut
dengan tribalisme.

Kebudayaan di antara masyarakat[sunting | sunting sumber]


Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa
disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam
hal perilaku, dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur
disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya karena
perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama,pekerjaan,
pandangan politik dan gender,

Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran,
dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat
tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan
minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli,
keefektifan, dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang
berkuasa.

 Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan


sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu, dan saling bekerja
sama.

 Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam


Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga, dan
mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan
kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.

 Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur, dan bergabung dengan


kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.
 Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran, dan kelompok
minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing, dan berinteraksi
secara damai dengan kebudayaan induk.

Kebudayaan menurut wilayah[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kebudayaan menurut wilayah

Seiring dengan kemajuan teknologi, dan informasi, hubungan, dan saling keterkaitan
kebudayaan-kebudayaan di dunia saat ini sangat tinggi. Selain kemajuan teknologi,
dan informasi, hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, migrasi, dan agama.

Afrika

Beberapa kebudayaan di benua Afrika terbentuk melalui penjajahan Eropa, seperti


kebudayaan Sub-Sahara. Sementara itu, wilayah Afrika Utara lebih banyak
terpengaruh oleh kebudayaan Arab, dan Islam.

Orang Hopi yang sedang menenun dengan alat tradisional di Amerika Serikat.

Amerika

Kebudayaan di benua Amerika dipengaruhi oleh suku-suku Asli benua Amerika;


orang-orang dari Afrika (terutama di Amerika Serikat), dan para
imigran Eropa terutama Spanyol, Inggris, Perancis, Portugis, Jerman, dan Belanda.

Asia

Asia memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda satu sama lain, meskipun begitu,
beberapa dari kebudayaan tersebut memiliki pengaruh yang menonjol terhadap
kebudayaan lain, seperti misalnya pengaruh kebudayaan Tiongkok kepada
kebudayaan Jepang, Korea, dan Vietnam.

Dalam bidang agama, agama Budha dan Taoisme banyak memengaruhi kebudayaan


di Asia Timur. Selain kedua Agama tersebut, norma dan nilaiAgama Islam juga turut
memengaruhi kebudayaan terutama di wilayah Asia Selatan dan tenggara.

Australia

Kebanyakan budaya di Australia masa kini berakar dari


kebudayaan Eropa dan Amerika. Kebudayaan Eropa, dan Amerika tersebut kemudian
dikembangkan, dan disesuaikan dengan lingkungan benua Australia, serta
diintegrasikan dengan kebudayaan penduduk asli benua Australia,Aborigin.

Eropa

Kebudayaan Eropa banyak terpengaruh oleh kebudayaan negara-negara yang pernah


dijajahnya. Kebudayaan ini dikenal juga dengan sebutan "kebudayaan barat".
Kebudayaan ini telah diserap oleh banyak kebudayaan, hal ini terbukti dengan
banyaknya pengguna bahasa Inggris, dan bahasa Eropa lainnya di seluruh dunia.
Selain dipengaruhi oleh kebudayaan negara yang pernah dijajah, kebudayaan ini juga
dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani kuno, Romawi kuno, dan agama Kristen,
meskipun kepercayaan akan agama banyak mengalami kemunduran beberapa tahun
ini.

Timur Tengah, dan Afrika Utara


Kebudayaan didaerah Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini kebanyakan sangat
dipengaruhi oleh nilai, dan norma agama Islam, meskipun tidak hanya agama Islam
yang berkembang di daerah ini.

Daftar isi
  [sembunyikan] 

 1 Definisi Budaya
 2 Pengertian kebudayaan
 3 Unsur-Unsur
 4 Wujud dan komponen
o 4.1 Wujud
o 4.2 Komponen
 5 Hubungan Antara Unsur-Unsur Kebudayaan
o 5.1 Peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)
o 5.2 Sistem mata pencaharian
o 5.3 Sistem kekerabatan dan organisasi sosial
o 5.4 Bahasa
o 5.5 Kesenian
o 5.6 Sistem Kepercayaan
 5.6.1 Agama Samawi
 5.6.2 Agama dan filsafat dari Timur
 5.6.3 Agama tradisional
 5.6.4 "American Dream"
 5.6.5 Pernikahan
o 5.7 Sistem ilmu dan pengetahuan
 6 Perubahan sosial budaya
 7 Penetrasi kebudayaan
 8 Cara pandang terhadap kebudayaan
o 8.1 Kebudayaan sebagai peradaban
o 8.2 Kebudayaan sebagai "sudut pandang umum"
o 8.3 Kebudayaan sebagai mekanisme stabilisasi
 9 Kebudayaan di antara masyarakat
 10 Kebudayaan menurut wilayah
 11 Referensi
 12 Daftar pustaka
 13 Lihat pula
 14 Pranala luar
Budaya Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Berbagai aspek kebudayaan Indonesia: Bendera Merah Putih,Wayang Kulit, Garuda


Pancasila, Keris,Nusantara, Candi Borobudur, tarianPapua, Masjid Raya Baiturrahman,Rumah
Gadang Minangkabau, ukiran kayu khas Toraja, Sate, Angklung,
tariPendet dari Bali, Tumpeng, Gamelan, serta Batik dan Songket.

Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun


kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada
tahun 1945

Kebudayaan nasional[sunting | sunting sumber]


Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi
kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni:
“ Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta,
karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya
manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai
bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada
pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan
demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang
berbudaya.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Wujud, Arti dan Puncak-
Puncak Kebudayaan Lama dan Asli bagi Masyarakat Pendukungnya,
Semarang: P&K, 199 ”
Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari
kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin
dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan.
Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa
nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: “yang
khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan
menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-
puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa
bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama. Nunus
Supriadi, “Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional”

Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal


32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi
kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan
pada pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan
perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak
dijelaskan secara gamblang.

Sebelum di amandemen, UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk mengidentifikasi


kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-
kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh
Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan bangsa
yang sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam
kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan
mengalami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur kebudayaan bangsa dan
unsur kebudayaan asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional. [1]

Wujud kebudayaan daerah di Indonesia[sunting | sunting sumber]


Kebudayaan daerah tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah
di Indonesia. Setiap daerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda. Berikut ini beberapa
kebudayaan Indonesia berdasarkan jenisnya:

Rumah adat[sunting | sunting sumber]

Rumah gadang, rumah adat sumatera barat

Berikut adalah daftar rumah adat di Indonesia

 Aceh:
 Rumoh Aceh
 Rumah Krong Bade
 Sumatera Utara:
 Rumah Balai Batak Toba
 Rumah Bolon
 Omo Sebua (Nias)
 Sumatera Barat:
 Rumah Gadang
 Uma (Mentawai)
 Riau:
 Selaso Jatuh Kembar
 Lontiok
 Kepulauan Riau: Rumah Belah Bubung
 Jambi:
 Rumah Panggung
 Rumah Betiang
 Bangka Belitung: Rumah Rakit
 Bengkulu: Rumah Bubungan Lima
 Sumatera Selatan:
 Rumah Limas
 Rumah Ulu
 Lampung: Nuwo Sesat
 Jakarta: Rumah Kebaya (Rumah Bapang) dan Rumah Gudang
 Jawa Barat dan Banten: Rumah Kesepuhan
 Yogyakarta: Bangsal Kencono
 Jawa:
 Joglo (Jawa Tengah dan Jawa Timur)
 Tanean Lanjhang (Madura)
 Bali: Gapura Candi Bentar
 Nusa Tenggara Barat: Rumah Dalam Loka Samawa (Lombok)
 Nusa Tenggara Timur:
 Lopo
 Sao Ata Mosa Lakitana
 Rumah Musalaki
 Kalimantan Barat: Rumah Panjang
 Kalimantan Selatan : Rumah Banjar
 Kalimantan Tengah: Rumah Betang
 Kalimantan Timur: Rumah Lamin
 Kalimantan Utara: Rumah Baloy
 Sulawesi Selatan:
 Bola Soba (Bugis Bone)
 Balla Lompoa (Makassar Gowa)
 Sulawesi Barat: Tongkonan (Tana Toraja)
 Sulawesi Tenggara:
 Istana Buton
 Laikas
 Sulawesi Utara: Rumah Bolaang Mongondow
 Sulawesi Tengah: Souraja
 Gorontalo:
 Bandayo Po Boide
 Dulohupa
 Maluku: Balieu (dari bahasa Portugis)
 Maluku Utara: Sasadu
 Papua: Honai
 Papua Barat:
 Kambik (suku Moi)
 Rumsram (Biak)
 Jew (Asmat)
 Harit (Maybrat-Teminabuan)
 Kun (suku-suku sekitar DAS Mamberamo-Sarmi)
Upacara Adat[sunting | sunting sumber]
Upacara adat merupakan suatu bentuk tradisi yang bersifat turun-temurun yang dilaksanakan
secara teratur dan tertib menurut adat kebiasaan masyarakat dalam bentuk suatu rangkaian
aktivitas permohonan sebagai ungkapan rasa terima kasih. Selain itu, upacara adat
merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan masyarakat yang mempunyai nilai-
nilai universal, bernilai sakral, suci, religius, dilakukan secara turun-temurun serta menjadi
kekayaan kebudayaan nasional.

Unsur-unsur dalam upacara adat meliputi: tempat upacara, waktu pelaksanaan, benda-
benda/peralatan dan pelaku upacara yang meliputi pemimpin dan peserta upacara.

Jenis-jenis upacara adat di Indonesia antara lain: Upacara kelahiran, perkawinan, kematian,


penguburan, pemujaan, pengukuhan kepala suku dan sebagainya.

Beberapa upacara adat tradisional yang dilaksanakan masyarakat antara lain:

Sumatera[sunting | sunting sumber]

 Peucicap di Aceh
 Peusijuek dapu di Aceh
 Peutron Aneuk di Aceh
 Tabuik di Sumatera Barat
 Balimau di Sumatera Barat
 Makan bajamba di Sumatera Barat
 Basuh lantai di Kepulauan Riau
 Mandi safar Melayu di Kepulauan Riau
 Ratif saman di Kepulauan Riau
 Tepuk tepung tawar di Kepulauan Riau
Jawa[sunting | sunting sumber]

Wayang Kulit

 Seren taun di Jawa Barat


 Mitoni, tedak siti, ruwatan, kenduri, grebegan di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur
 Dugderan oleh masyarakat Semarang
 Kasodo oleh masyarakat Tengger
Kalimantan[sunting | sunting sumber]

 Ritual tiwah masyarakat Dayak Kalimantan Tengah


 Aruh baharin di Kalimantan Selatan
Sulawesi[sunting | sunting sumber]

 Mapasilaga tedong suku Toraja
 Rambu solo suku Toraja
Nusa Tenggara[sunting | sunting sumber]

 Ngaben di Bali
 Nelu bulanin di Bali
 Pasola sumba di Pulau Sumba
Maluku[sunting | sunting sumber]

 Kololi kie di Maluku Utara


 Pukul sapu di Maluku
 Abdau di Maluku
 Buka sasi lompa di Maluku
Papua[sunting | sunting sumber]

 Barapen atau Bakar batu di Papua
 Sanepen di Biak
Tarian[sunting | sunting sumber]

Tari tradisional, bagian dari budaya daerah yang menyusun kebudayaan nasional Indonesia

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tarian Indonesia

Tarian Indonesia mencerminkan kekayaan dan keanekaragaman suku bangsa dan budaya
Indonesia. Terdapat lebih dari 700 suku bangsa di Indonesia: dapat terlihat dari akar budaya
bangsa Austronesia dan Melanesia, dipengaruhi oleh berbagai budaya dari negeri tetangga
di Asia bahkan pengaruh barat yang diserap melalui kolonialisasi. Setiap suku bangsa di
Indonesia memiliki berbagai tarian khasnya sendiri; Di Indonesia terdapat lebih dari 3000
tarian asli Indonesia. Tradisi kuno tarian dan drama dilestarikan di berbagaisanggar dan
sekolah seni tari yang dilindungi oleh pihak keraton atau akademi seni yang dijalankan
pemerintah.

Untuk keperluan penggolongan, seni tari di Indonesia dapat digolongkan ke dalam berbagai
kategori. Dalam kategori sejarah, seni tari Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga era: era
kesukuan prasejarah, era Hindu-Buddha, dan era Islam. Berdasarkan pelindung dan
pendukungnya, dapat terbagi dalam dua kelompok, tari keraton (tari istana) yang didukung
kaum bangsawan, dan tari rakyat yang tumbuh dari rakyat kebanyakan. Berdasarkan
tradisinya, tarian Indonesia dibagi dalam dua kelompok; tari tradisional dan tarikontemporer.

Lagu[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar lagu daerah Indonesia

Lagu daerah atau musik daerah atau lagu kedaerahan, adalah lagu atau musik yang berasal
dari suatu daerah tertentu dan menjadi populer dinyanyikan baik oleh rakyat daerah tersebut
maupun rakyat lainnya. Pada umumnya pencipta lagu daerah ini tidak diketahui lagi
alias noname.

Lagu kedaerahan mirip dengan lagu kebangsaan, namun statusnya hanya bersifat kedaerahan
saja. Lagu kedaerahan biasanya memiliki lirik sesuai dengan bahasa daerahnya masing-
masing seperti Manuk Dadali dari Jawa Barat dan Rasa Sayange dari Maluku.

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar lagu nasional Indonesia

Selain lagu daerah, Indonesia juga memiliki beberapa lagu nasional atau lagu patriotik yang
dijadikan sebagai lagu penyemangat bagi para pejuang pada masa perang kemerdekaan.
Perbedaan antara lagu kebangsaan dengan lagu patriotik adalah bahwa lagu kebangsaan
ditetapkan secara resmi menjadi simbol suatu bangsa. Selain itu, lagu kebangsaan biasanya
merupakan satu-satunya lagu resmi suatu negara atau daerah yang menjadi ciri khasnya.
Lagu Kebangsaan Indonesia adalah Indonesia Raya yang diciptakan olehWage Rudolf
Soepratman.

Musik[sunting | sunting sumber]

Gamelan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Musik di Indonesia

Identitas musik Indonesia mulai terbentuk ketika budaya Zaman Perunggu bermigrasi ke


Nusantara pada abad ketiga dan kedua Sebelum Masehi. Musik-musik suku tradisional
Indonesia umumnya menggunakan instrumen perkusi, terutama gendang dan gong. Beberapa
berkembang menjadi musik yang rumit dan berbeda-beda, seperti alat musik
petik sasando dari Pulau Rote, angklung dariJawa Barat, dan musik orkestra gamelan yang
kompleks dari Jawa dan Bali

Musik di Indonesia sangat beragam dikarenakan oleh suku-suku di Indonesia yang bermacam-


macam, sehingga boleh dikatakan seluruh 17.508 pulaunya memiliki budaya dan seninya
sendiri.[2] Indonesia memiliki ribuan jenis musik, kadang-kadang diikuti dengan tarian dan
pentas. Musik tradisional yang paling banyak digemari
adalah gamelan, angklung dan keroncong, sementara musik modern adalah pop dan dangdut.

Seni Gambar[sunting | sunting sumber]

 Jawa: Wayang
 Sumatera Utara: Tortor
Seni Patung[sunting | sunting sumber]

 Jawa: Patung Buto
 Bali: Garuda Wisnu Kencana
 Papua: Asmat
Pakaian Adat[sunting | sunting sumber]

Ulos yang dipakai penari Sigale gale.

Berikut adalah daftar pakaian adat di Indonesia:

 Aceh
 Ulee Balang
 Sumatera Utara:
 Ulos
 Suri-suri
 Gotong
 Gara Gara/Beka buluh
 Baru Oholu dan Õröba Si’öli (Nias)
 Sumatera Barat (Minang):
 Anak Daro
 Marapule
 Minang Roki
 Pakaian Penghulu
 Pakaian Bundo Kanduang
 Riau/Jambi (Melayu):
 Baju Kurung, Sarung dan Songkok
 Kebaya Laboh
 Cekak Musang
 Teluk Belanga
 Kepulauan Riau (Melayu)
 Baju kurung keke
 Cekak musang
 Baju gunting Cina
 Kain cual Anambas
 Kebaya labuh
 Sunting Melayu
 Tanjak
 Teluk belanga
 Tudung manto
 Bangka Belitung
 Kain Cual, Paksian dan Sungkon
 Sumatera Selatan:
 Songket
 Aesan Gede
 Lampung:
 Tapis
 Kikat dan Ketupung
 Jakarta
 Baju Koko dan Caping
 Kebaya Encim/Hwa Kun dan Kembang Goyang
 Jawa:
 Batik
 Beskap dan Blangkon
 Kebaya
 Dodotan
 Baju Pesa'an (Madura)
 Kebaya Rancongan (Madura)
 Bali:
 Kemben
 Kancrik
 Kain gringsing
 Nusa Tenggara Timur:
 Tenun Ikat
 Pakaian Tais
 Beti / Taimuti
 Kalimantan Barat
 King Baba
 King Bibinge
 Burai King Burai
 Kalimantan Timur
 Sarung Samarinda
 Sulawesi Utara (Minahasa)
 Wuyang
 Pasalongan Rinegetan
 Baju Kurai
 Baju Banjang
 Baju Ikan Duyung
 Tonaas Wangko/Walian Wangko
 Sulawesi Tengah (Toraja)
 Kondi Limanan
 Kalando Limanan
 Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar):
 Baju Bodo
 Jas Tutup
 Baju La'bu
 Maluku
 Baju Cele
 Papua:
 Manawou
 Koteka/Holim, Yokal dan Sali (suku Dani)
 Pummi dan Tok (suku Asmat)
 Papua Barat:
 Ewer
Seni Suara[sunting | sunting sumber]

 Jawa: Sinden
 Sumatera Utara: Talibun
 Gorontalo: Dikili
 Kepulauan Riau: Ghazal, Kompang
Seni Sastra[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sastra Indonesia

Sastra Indonesia adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia
Tenggara. Istilah "Indonesia" sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam
cakupan geografi dan sejarah poltik di wilayah tersebut.

Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan
Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya
berdasarkan Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia adalah satu turunannya). Dengan
pengertian kedua maka sastra ini dapat juga diartikan sebagai sastra yang dibuat di
wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga beberapa negara berbahasa Melayu
seperti Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa Melayu yang tinggal di Singapura.

Makanan[sunting | sunting sumber]
Contoh hidangan Indonesia khas Sunda; ikan bakar, nasi timbel (nasi dibungkus daun pisang), ayam
goreng, sambal, tempe dan tahugoreng, dan sayur asem; semangkuk air dengan jeruk nipis
adalah kobokan.

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Makanan Indonesia

Masakan Indonesia merupakan pencerminan beragam budaya dan tradisi berasal


dari kepulauan Nusantara yang terdiri dari sekitar 6.000 pulau dan memegang tempat penting
dalam budaya nasional Indonesia secara umum dan hampir seluruh masakan Indonesia kaya
dengan bumbu berasal dari rempah-rempah seperti kemiri, cabai, temu
kunci, lengkuas, jahe, kencur, kunyit,kelapa dan gula aren dengan diikuti penggunaan teknik-
teknik memasak menurut bahan dan tradisi-adat yang terdapat pula pengaruh melalui
perdagangan yang berasal seperti dari India, Tiongkok, Timur Tengah, dan Eropa.

Pada dasarnya tidak ada satu bentuk tunggal "masakan Indonesia", tetapi lebih kepada,
keanekaragaman masakan regional yang dipengaruhi secara lokal oleh Kebudayaan
Indonesia serta pengaruh asing. Sebagai contoh, beras yang diolah menjadi nasi
putih,ketupat atau lontong (beras yang dikukus) sebagai makanan pokok bagi mayoritas
penduduk Indonesia namum untuk bagian timur lebih umum dipergunakan juga jagung,
sagu, singkong, dan ubi jalar. Bentuk lanskap penyajiannya umumnya disajikan di sebagian
besar makanan Indonesia berupa makanan pokok dengan lauk-pauk berupa daging, ikan atau
sayur disisi piring.

Film[sunting | sunting sumber]

Poster film Loetoeng Kasaroeng tahun 1926.

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perfilman Indonesia

Era awal perfilman Indonesia ini diawali dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia


pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia dengan nama Gambar Idoep yang
menayangkan berbagai film bisu.

Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang


berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradaraBelanda G. Kruger dan L. Heuveldorp.
Saat film ini dibuat dan dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan Hindia
Belanda, wilayahjajahan Kerajaan Belanda. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal
oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31
Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.
Perfilman Indonesia sendiri memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara
sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Film-film yang
terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy, Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-
bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Lydia
Kandou, Nike Ardilla, Paramitha Rusady, Desy Ratnasari.

Selain film-film komersil, juga ada banyak film film nonkomersil yang berhasil memenangkan
penghargaan di mana-mana yang berjudul Pasir Berbisikyang menampilkan Dian
Sastrowardoyo dengan Christine Hakim dan Didi Petet. Selain dari itu ada juga film yang
dimainkan oleh Christine Hakimseperti Daun di Atas Bantal yang menceritakan tentang
kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film Garin Nugroho yang lainnya, seperti Aku Ingin
Menciummu Sekali Saja, juga ada film Marsinah yang penuh kontroversi karena diangkat dari
kisah nyata. Selain itu juga ada film film seperti

Daftar isi
  [sembunyikan] 

 1 Kebudayaan nasional
 2 Wujud kebudayaan daerah di Indonesia
o 2.1 Rumah adat
o 2.2 Upacara Adat
 2.2.1 Sumatera
 2.2.2 Jawa
 2.2.3 Kalimantan
 2.2.4 Sulawesi
 2.2.5 Nusa Tenggara
 2.2.6 Maluku
 2.2.7 Papua
o 2.3 Tarian
o 2.4 Lagu
o 2.5 Musik
o 2.6 Seni Gambar
o 2.7 Seni Patung
o 2.8 Pakaian Adat
o 2.9 Seni Suara
o 2.10 Seni Sastra
o 2.11 Makanan
o 2.12 Film
 3 Referensi
 4 Pranala luar
Budaya Suku Batak

BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Cultural diversity atau dalam bahasa Indonesia adalah keanekaragaman


budaya, merupakan hal yang sangat akrab di Indonesia. Bukti dari
keanekaragaman tersebut seperti, Indonesia memiliki 300 kelompok suku dan
puluhan kebudayaan pada tiap-tiap daerah. Keragaman budaya di Indonesia
adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks
pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok suku bangsa.
Masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat
kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok
suku bangsa yang ada didaerah tersebut. Berdasarkan data sensus penduduk
tahun 2000, masyarakat Indonesia mencapai 200 juta jiwa, dimana mereka
tinggal tersebar di pulau- pulau di Indonesia dan juga mendiami dalam
wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Hal ini juga berkaitan
dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok suku bangsa dan masyarakat di
Indonesia yang berbeda.

          Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman


budaya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok suku
bangsa, namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban,
tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan.
          Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan
mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia
mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Interaksi antar
kebudayaan dijalin tidak hanya meliputi antar kelompok suku bangsa yang
berbeda, namun juga meliputi antar peradaban yang ada di dunia. Indonesia
dikatakan sebagai pusat peradaban dunia, sebagaimana banyak para peneliti
barat yang telah mengungkap hal itu.
            Setiap suku – suku di Indonesia mempunyai keunikannya masing –
masing. Seperti Suku Toraja yang di kenal dengan upacara adatnya. Karena
mayoritas penduduk Suku Toraja masih memegang teguh kepercayaan nenek
moyangnya, maka adat istiadat yang ada sejak dulu tetap di jalankan sekarang.
Hal ini terutama pada adat yang berpokok pangkal dari upacara adat ‘Rambu
Tuka’ dan Rambu Solok. Dua pokok inilah yang merangkai upacara – upacara
adat yang masih di lakukan dan cukup terkenal. 

 1.2 Batasan Masalah

Keanekaragaman di Indonesia ini merupakan suatu kekayaan yang dimiliki


dan harus disyukuri oleh Negara ini. Terdapat banyak suku pada tiap-tiap
daerah di Indonesia, pada penulisan ini, penulis ingin memberikan salah satu
contoh kebudayaan dari Suku
Batak. Informasi yang diterangkan pada penulisan ini terdiri dari : agama yang
dianut, penduduk, sistem kemasyarakatnya, bahasa, lokasi, kekerabatan dalam
suku, tarombo dan kontroversi yang terjadi hingga sekarang dalam suku
Batak. Pada tulisan ini juga di tampilkan image dari penduduk dan masyarakat
suku budaya Batak.
BAB II
SUKU BATAK

2.1  Sejarah Batak
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui
kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan
Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang
yang berbahasa Austronesia dariTaiwan telah berpindah ke
wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di zaman batu
muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada
artefak Neolitikum(Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak
maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera
Utara di zaman logam. Pada abad keenam, pedagang-
pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat
Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-
petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga
menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad
kesepuluh, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya
pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya,
perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang
Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera
Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.
Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini
merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku
bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di
Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak
Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan
Batak Mandailing.
Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama
Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim dan juga menganut
kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini
jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

Gambar 2.1 Suku Batak


2.2  Penyebaran Agama
          Penyeberan agama di tanah batak dimulai pada abad ke-13, dimana tiap
agama masuk ke tanah batak pada tahun yang berbeda-beda. Sebelum
masuknya agama ke tanah batak, masyarakat suku batak menganut sistem
kepercayaan.
2.2.1      Kepercayaan
          Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka
mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang
memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud
dalam Debata Natolu. Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal
tiga konsep, yaitu:
·         Tondi 
adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu
tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di
dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang
tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap
(menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
·         Sahala 
adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki
tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta,
tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
·         Begu 
adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan
tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
          Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam
pustaka. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi,
namun orang Batak belum semuanya meninggalkan religi dan kepercayaan
yang diberikan para leluhurnya.
2.2.2      Masuknya Islam
          Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa
masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah terpengaruh
oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera
Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir,
masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh
pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak
pedagang Minangkabau yang melakukan pernikahan dengan perempuan
Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-
tengah masyarakat Batak.
          Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau
menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas
masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas
wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada
akhirnya mereka menganut agama Kristen Protestan. Kerajaan Aceh di utara,
juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo dan Pakpak.
Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat
Melayu di pesisir Sumatera Timur.

2.2.3     Misionaris Kristen
          Pada tahun 1824, dua misionaris pembabtis asal Inggris, Richard
Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman
Batak. Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di dataran
tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari
penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas
kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry
Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar
Negeri.
          Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman
Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus
bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi
kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan
Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.
          Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada
tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh
Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya
diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan
penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada
tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada
tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak
kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.
          Masyarakat Toba dan sebagian Karo menyerap agama Kristen dengan
cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas
budaya. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia-
Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi
dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh
orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin
kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.
          Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri
di Balige pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah
sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana.
Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.
2.3  Lokasi Suku Batak
          Suku batak tersebar dan berdiam di pulau Sumatra, suku batak berdiam
di Sumatra utara. Suku batak teridentifikasi beberapa bermukim dan berasal
dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang
dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak,
Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.

Gambar 2.2 Peta Lokasi Tanah Batak

2.4  Kekerabatan Suku Batak


          Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam
pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni
berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis,
sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
          Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat
dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak
memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi
melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan.
Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam
marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah
Marga Harahap dengan Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi
Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat
berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
          Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang
berbunyi: “Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul”, merupakan
suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga,
karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang
pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga
tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.

Gambar 2.3 Rumah Adat Batak

2.5  Sistem Kemasyarakatan Suku Batak


          Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan
sistem dalam kemasyarakatannya, yakni yang dalam Bahasa Batak Toba
disebut “Dalihan na Tolu”. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut
kelima puak Batak:
1.      Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu •
Elek Marboru
2.      Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora • Manat
Markahanggi • Elek Maranak Boru
3.      Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, Sombah •
Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei
4.      Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak
• Nami-nami Man Anak Beru
5.      Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh
• Elek Marberru
          Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini
menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat
Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak
dipesankan untuk hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
          Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara
laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini
seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun
karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak
membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang
dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian
kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana
kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.

Gambar 2.2 Pakaian adat batak masing-masing etnis

          Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari
suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai
'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama)
dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan
berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus
diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
          Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem
kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya,
semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan
Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya
secara kontekstual.
          Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku
'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa,
tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem
kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja
ni Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

Gambar 2.2 Kain Ulos khas Batak

2.6  Ritual Kanibalisme di Suku Batak


           Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang
Batak, yang bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus,
darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.
           Dalam memoir Marco Polo yang sempat datang berekspedisi dipesisir
timur Sumatera dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan
bahwa ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya
masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai "pemakan manusia". Dari
sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual
kanibalisme di antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal
di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk
memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan ritual tersebut.
           Niccolò Da Conti (1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan
sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk
misi perdagangan di Asia Tenggara (1414-1439), mencatat kehidupan
masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak:
"Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus
kepada tetangga mereka ".
           Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual
mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis
secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan. Raffles menyatakan
bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka
ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan
dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan
kapur, garam dan sedikit nasi".
           Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn,
mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan
tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer").
Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar,
ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan
rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari
sebelumnya. Namun hal ini terkadang dibesar-besarkan dengan maksud
menakut-nakuti orang/pihak yang bermaksud menjajah dan/atau sesekali agar
mendapatkan pekerjaan yang dibayar baik sebagai tukang pundak bagi
pedagang maupun sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang
diganggu oleh bajak laut.
           Oscar von Kessel mengunjungi Silindung di tahun 1840-an, dan pada
tahun 1844 mungkin orang  Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme
Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya,
terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von
Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai
perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran
yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau
pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan lemon harus diberikan oleh keluarga
korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan tidak
memikirkan balas dendam.
           Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan
meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa:
"Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi
darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat
menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan;
telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas
sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta
hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta
dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil
bagian dalam makan malam publik besar ".
           Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di
wilayah kendali mereka. Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad
ke-20, dan nampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang
dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh agama
pendatang dalam masyarakat Batak.

2.7  Salam Khas Batak


           Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun
suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi
yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas
sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang
menggunakannya
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu,
Sayur Matua Bulung!”.

2.8  Tarombo pada Suku Batak


           Tarombo merupakan istilah silsilah garis keturunan secara patrilineal
dalam suku Batak. Mengetahui silsilahnya merupakan kewajiban bagi
masyarakat Batak agar mengetahui kekerabatannya dalam suatu marga.

2.9  Kontroversi pada Suku Batak


           Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing tidak menyebut dirinya
sebagai bagian dari suku Batak. Wacana itu muncul disebabkan karena pada
umumnya kategori "Batak" dipandang rendah oleh bangsa-bangsa lain. Selain
itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin
disebut sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatera, khususnya di Kota
Medan, perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan
pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya
menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal Raffles
yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan
Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan
Batak. Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan
Karo, umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Demikian
juga di Angkola, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari
wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan
afdeeling Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang melarang
penduduk muslim bermukim di wilayah tersebut.
           Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara
Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing.
Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk
Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan
menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan
sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin
disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam
Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922),
dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009). Pada akhirnya
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan
Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis
Batak.

                       

BAB III
PENUTUP

3.1  KESIMPULAN
           Indonesia memiliki kekayaan dalam keanekaragaman budaya, suku,
dan adat istiadat yang sangat banyak, Salah satu contohnya adalah Batak.
Suku yang berdiam di provinsi Sumatra Utara ini memiliki banyak
kebudayaan-kebudayaan yang unik. Dari mulai agama yang dianut, penduduk,
etnis-etnis, sistem kemasyarakatnya, bahasa, lokasi, kekerabatan dalam suku,
tarombo dan kontroversi yang terjadi hingga sekarang dalam suku
Batak.. Tentunya banyak diminati para wisatawan baik wisatawan domestik
maupun mancanegara sebagai objek wisata. Namun masyarakat sekarang
sering kali tidak menyadari untuk memelihara dan melestarikannya.

3.2  SARAN
           Penulis berharap khususnya para remaja sekarang, untuk saling
menjaga, merawat, dan melestarikan serta mengembangkan budaya dan
keindahan alam di Indonesia. Dengan cara ikut memelihara dan
memperbanyak sarana dan prasarana yang menunjang objek wisata di Sumatra
Utara, yaitu Suku Batak. Begitu pula dengan kebudayaan khas dari suku Batak
yang merupakan aset daerah untuk dilestarikan, dikembangkan, dijaga, dan
diperkenalkan agar tidak dirampas oleh Negara lain.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayahnya kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya itu
penulis dapat menyelesaikan makalah “Kebudayaan Batak Toba di Provinsi
Sumatera Utara” tanpa halangan yang berarti dan selesai tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak lupa mengucapkan banyak


terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan dan
penulisan makalah ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah ini dengan baik.

Penulis sadar makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis
berharap saran dan kritik dari semua pihak untuk kesempurnaan makalah ini.

Dan akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis
sendiri dan seluruh pembaca pada umumnya.

 Latar Belakang Dan Tujuan

Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah
yang terbentang di sekitarnya. Ini menyebabkan keanekaragaman suku, adat
istiadat dan kebudayaan dari setiap suku di setiap wilayahnya. Hal ini sungguh
sangat menakjubkan karena biarpun indonesia memiliki banyak wilayah, yang
berbeda suku bangsa nya, tetapi kita dapat hidup rukun satu sama lain nya.

Namun, sungguh di sayangkan apabila para generasi penerus bangsa tidak


mengetahui tentang kebudayaan dari setiap suku yang ada. Kebanyakan dari
mereka hanya mengetahui dan cukup mengerti tentang kebudayaan dari salah
satu suku yang ada di indonesia. Itu juga karena pembahasan yang sering
dibahas selalu mengambil contoh dari suku yang itu-itu saja.

Medan (suku batak terutama batak toba) adalah salah satu suku di indonesia
yang terletak dikepulauan Sumatera. Banyak yang tidak mengetahui bahwa
Medan (suku batak toba) juga mempunyai banyak hal-hal menarik yang dapat
dijadikan “berita utama” tetapi amat disayangkan bahwa yang sering sekali di
eksplorasi adalah wilayah-wilayah tetangga nya, seperti Sumatera Barat
(Padang) dan Sumatera Selatan (Palembang). Untuk itu, Kami disini ingin
menyajikan liputan yang tidak kalah menarik, Yang berasal dari suku Batak
Toba dan suku lain nya.

KEBUDAYAAN BATAK TOBA DI PROVINSI SUMATERA UTARA


v  SUKU BATAK TOBA
Batak Toba adalah sub atau bagian dari suku bangsa Batak yang wilayahnya
meliputi Balige, Porsea, Parsoburan, Laguboti, Ajibata, Uluan, Borbor,
Lumban Julu, dan sekitarnya. Silindung, Samosir, dan Humbang bukanlah
Toba. Karena 4 (empat) sub atau bagian suku bangsa Batak (Silindung
Samosir Humbang Toba) memiliki wilayah dan contoh marga yang berbeda.
Sonak Malela yang mempunyai 3 (tiga) orang putera dan menurunkan 4
(empat) marga, yaitu: Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede,
merupakan dan (nairasaon) yang terdiri dari sitorus,sirait,butar-
butar,manurung ini merupakan beberapa marga dari batak toba.Marga atau
nama keluarga adalah bagian nama yang merupakan pertanda dari keluarga
mana ia berasal Orang Batak selalu memiliki nama marga/keluarga.
Nama/marga ini diperoleh dari
garis keturunan ayah (patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada
keturunannya secara terus menerus.
Dikatakan sebagai marga pada suku bangsa Batak Toba ialah marga-marga
pada suku bangsa Batak yang berkampung halaman (marbona pasogit) di
daerah Toba. Sonak Malela yang mempunyai 3 orang putera dan menurunkan
4 marga, yaitu: Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede,
merupakan salah satu cotoh marga pada suku bangsa Batak Toba.
Sejarah Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak
diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di
Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan
bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke
wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di zaman batu
muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum
(Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga
bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara di zaman
logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota
dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus
yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah
Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di
samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini
menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera.
Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai
oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan
timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam,
hingga Natal.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga,
sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah
lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H
Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu
Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah
asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil
diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat
dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil.
Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman
Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14
untuk menguasai Barus.

KEBUDAYAAN
Sumatera Utara yang kaya dengan budaya adat istiadat dan keindahan
alamnya. Sumatera Utara kaya dengan berbagai adat budaya atau etnis yang
beragam antara lain : Etnis Melayu, Batak Toba, Batak Karo, Batak Angkola,
Batak Pakpak Dairi, Batak Simalungun, Nias, Etnis Sibolga Pesisir, dan etnis
pendatang.
Semua etnis memiliki nilai budaya masing-masing, mulai dari adat istiadat,
tari daerah, jenis makanan, budaya dan pakaian adat juga memiliki bahasa
daerah masing-masing. Keragaman budaya ini sangat mendukung dalam pasar
pariwisata di Sumatera Utara. Walaupun begitu banyak etnis budaya di
Sumatera Utara tidak membuat perbedaan antar etnis dalam bermasyarakat
karena tiap etnis dapat berbaur satu sama lain dengan memupuk kebersamaan
yang baik. kalau di lihat dari berbagai daerah bahwa hanya Sumatera Utara
yang memiliki penduduk dengan berbagai etnis yang berbeda dan ini tentunya
sangat memiliki nilai positif terhadap daerah sumatera utara.
Kekayaan budaya yang dimiliki berbagai etnis yaitu :
Batak Toba dengan Tarian Tortor, Wisata danau toba, wisata megalitik
(kubur batu), legenda (cerita rakyat), adat budaya yang bernilai tinggi dan
kuliner.
Batak Karo yang terkenal dengan daerah Berastagi dengan alam yang sejuk
dan indah, penghasil buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah menembus
pasar global dan juga memiliki adat budaya yang masih tradisional. Etnis
Melayu yang terkenal dengan berbagai peninggalan sejarah seperti Istana
Maimoon, tari derah dan peninggalan rumah melayu juga masjid yang
memiliki nilai sejarah yang tinggi.
Batak Angkola yang terkenal dengan kultur budaya yang beragam, mulai dari
tari daerah adat istiadat dan merupakan penghasil salak (salak sidempuan)
yang juga sudah dapat menembus pasar global.
Batak Pakpak Dairi yang dikenal dengan peninggalan sejarah megalitik
berupa mejan dan patung ulubalang dan tentunya juga memiliki adat istiadat
dan tari daerah juga alat musik yang khusus.
Dari semua etnis tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa Sumatera Utara
memiliki kekayaan budaya dan etnis juga sejarah yang patut untuk
diperhitungkan dan dijaga kelestariannya demi mengangkat martabat bangsa
Indonesia di bidang Kebudayaan dan Pariwisata.
“Banyak sekali orang yang berpendapat bahwa adat istiadat dari orang
Sumatera Utara kasar-kasar”. Menurut saya banyak orang yang menganggap
orang sumatera kasar-kasar dikarnakan dari tutur bahasa yang agak sedikit
keras. Sebenernya bahasa tersebut sudah menjadi tradisi dari orang
sumatera,karena hal tersebut sudah menjadi kebiasaan atau tradisi yg telah
diturunkan dari generasi ke generasi. dan tidak akan bisa dirubah,karena
kebiasaan itu sudah lahir dari jaman nenek moyang kita.

Seni dan budaya yang terdapat di Suku Batak :


– Musik
Musik yang biasa dimainkan,cenderung tergantung dengan upacara-upacara
adat yang diadakan, tetapi lebih dominan dengan genderangnya. Musik Batak
sudah ada sejak jaman Toba Kuno di jaman dinasti Tuan Sorimangaraja
(Pahompu-nya Si Raja Batak) Berawal dari musik Raja-raja. Bukan musik
untuk Raja, tetapi musik yang dimainkan oleh Raja. Makanya mainnya boleh
berdiri. Lain halnya dengan musik tradisi suku lain seperti Afrika, India, Jawa,
dll, yang merupakan musik Rakyat, sehingga kebanyakan bermusiknya sambil
duduk.
Musik Batak awalnya diciptakan untuk upacara ritual yang dipimpin pada
Datu (dukun) pada masa itu untuk penghormatan leluhur, minta panen yang
sukses kepada Mula Jadi Nabolon, dll. Kemudian Berkembang menjadi Musik
ritual di Pesta Adat. Pemainnya dinamakan pargonsi (baca Pargosi atau
Pargoci) Pargonsi mempunyai kedudukan yang sangat penting, ruma bagian
atas. Karena yang memainkannya Raja. Jadi gak heran kalo Batak itu suku
yang musikal karena dari jaman dulu Rajanya aja suka main musik ). Musik
Batak untuk ritual ini adalah yang disebut Gondang Sabangunan yang terdiri
dari 5 Ogung, 5 Gondang, Sarune Bolon lubang 5.
Namun para Rakyat juga ingin main musik, maka berkembanglah musik batak
ini di kalangan rakyat dengan format Taganing, Garantung, Hasapi, Seruling
dan Sarune Etek. Dengan alat-alat musik inilah tercipta banyak sekali lagu
rakyat yang bernuansa pentatonis (Do Re Mi Fa Sol, kadang2 ada juga La)
dan susunan nada (licks)-nya sangat khas tidak didapati di musik suku lain.

– Tarian
Seni tari tradisional meliputi berbagai jenis. Ada yang bersifat magis, berupa
tarian sakral, dan ada yang bersifat hiburan saja yang berupa tari profan. Di
samping tari adat yang merupakan bagian dari upacara adat, tari sakral
biasanya ditarikan oleh dayu-datu. Termasuk jenis tari ini adalah tari guru dan
tari tungkat. Datu menarikannya sambil mengayunkan tongkat sakti yang
disebut Tunggal Panaluan.

– Kerajinan
tenunan merupakan seni kerajinan yang menarik dari suku Batak. Contoh
tenunan ini adalah kain ulos dan kain songket. Ulos merupakan kain adat
Batak yang digunakan dalam upacara-upacara perkawinan, kematian,
mendirikan rumah, kesenian,dsb. Bahan kain ulos terbuat dari benang kapas
atau rami. Warna ulos biasanya adalah hitam, putih, dan merah yang
mempunyai makna tertentu. Sedangkan warna lain merupakan lambang dari
variasi kehidupan.
Falsafah dalam adat batak toba
Falasafah adat batak toba dikenal dengan Dalihan Na Tolu yang terdiri dari:
1.     Somba Marhula-hula 
2.     Manat Mardongan Tubu 
3.     Elek Marboru

 Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini


menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat
Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak
dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
 Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara
laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini
seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun
karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak
membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang
dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian
kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana
kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
 Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari
suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai
‘parhobas’ atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama)
dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan
berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus
diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Kultur atau Budaya dalam Batak Toba 
1.  Perkawinan
Proses perkawinan dalam adat kebudayaan Batak Toba menganut
hukum eksogami (perkawinan di luar kelompok suku tertentu). Ini terlihat
dalam kenyataan bahwa dalam masyarakat Batak Toba: orang tidak
mengambil isteri dari kalangan kelompok marga sendiri (namariboto),
perempuan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, dan
bersifat patrilineal, dengan tujuan untuk melestarikan galur suami di dalam
garis lelaki. Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh
garis laki-laki.

Ada 2 (dua) ciri utama perkawinan ideal dalam masyarakat Batak-Toba,


yakni 1) Berdasarkan rongkap ni tondi (jodoh) dari kedua mempelai.
2) Mengandaikan kedua mempelai memiliki rongkap ni
gabe (kebahagiaan,         kesejahteraan), dan demikian mereka akan dikaruniai
banyak anak.
Berdasarkan jenisnya ritus atau tata cara yang digunakan, perkawinan adat
Bata Toba dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan:
A . Unjuk: ritus perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan semua prosedur
adat Batak Dalihan Na Tolu. Inilah yang disebut sebagai tata upacara ritus
perkawinan biasa (unjuk);
B . Mangadati: ritus perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan adat
Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan yang bersangkutan mangalua atau
kawin lari, tetapi ritusnya sendiri dilakukan sebelum pasangan tersebut
memiliki anak; dan
C . Pasahat sulang-sulang ni pahoppu: ritus perkawinan yang dilakukan di
luar adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan bersangkutan mangalua
dan ritusnya diadakan setelah memiliki anak.

Tahapan Perkawinan Adat Batak Toba


Ini adalah tahapan dari perkawaninan adat batak toba:
A. Paranakkon Hata:
1. Paranakkon hata artinya menyampaikan pinangan oleh paranak (pihak laki-
laki) kepada parboru (pihak perempuan);
2. Pihak perempuan langsung memberi jawaban kepada ‘suruhan’ pihak laki-
laki pada hari itu juga.
3. Pihak yang disuruh paranak panakkok hata masing-masing satu orang
dongan tubu, boru, dan dongan sahuta.
B. Marhusip
1. Marhusip artinya membicarakan prosedur yang harus dilaksanakan oleh
pihak paranak sesuai dengan ketentuan adat setempat (ruhut adat di huta i) dan
sesuai dengan keinginan parboru (pihak perempuan);
2. Pada tahap ini tidak pernah dibicarakan maskawin (sinamot). Yang
dibicarakan hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan marhata sinamot dan
ketentuan lainnya; dan
3. Pihak yang disuruh marhusip ialah masing-masing satu orang dongan-tubu,
boru-tubu, dan dongan-sahuta.
C. Marhata Sinamot
1. Pihak yang ikut marhata sinamot adalah masing-masing 2-3 orang
dari dongan-tubu, boru dan dongan-sahuta.
2. Mereka tidak membawa makanan apa-apa, kecuali makanan ringan dan
minuman.
3. Yang dibicarakan hanya mengenai sinamot dan jambar sinamot.
D. Marpudun Saut
Dalam Marpudun saut sudah diputuskan: ketentuan yang pasti
mengenai sinamot, ketentuan jambar sinamot kepada si jalo todoan,
ketentuan sinamotkepada parjambar na gok,
ketentuan sinamot kepada parjambar sinamot, parjuhut, jambar juhut, tempat
upacara, tanggal upacara, ketentuan mengenai ulos yang akan digunakan,
ketentuan mengenai ulos-ulos kepada pihak paranak, dan ketentuan tentang
adat.
 Tahapannya sebagai berikut : 
1. Marpudun saut artinya merealisasikan apa yang dikatakan dalam Paranak
Hata, Marhusip, dan marhata sinamot; dan
2. Semua yang dibicarakan pada ketiga tingkat pembicaraan
sebelumnya dipudun(disimpulkan, dirangkum) menjadi satu untuk
selanjutnya disahkan oleh tua-tua adat. Itulah yang dimaksud dengan dipudun
saut.
Setelah semua itu diputuskan dan disahkan oleh pihak paranak dan parboru,
maka tahap selanjutnya adalah menyerahkan bohi ni sinamot (uang muka
maskawin) kepada parboru sesuai dengan yang dibicarakan.setelah bohi ni
sinamot sampai kepada parboru, barulah diadakan makan bersama dan
padalan jambar (pembagian jambar). Dalam mardipudun saut tidak ada
pembicaraan tawarmenawar sinamot, karena langsung diberitahukan kepada
hadirin, kemudian parsinabung parboru mengambil alih pembicaraan. Pariban
adalah pihak pertama yang diberi kesempatan untuk berbicara, disusul oleh
simandokkon, pamarai, dan terkahir oleh Tulang. Setelah selesai pembicaraan
dengan si jalo todoan maka keputusan parboru sudah selesai; selanjutnya
keputusan itu disampaikan kepada paranak untuk melaksanakan penyerahan
bohi ni sinamot dan bohi ni sijalo todoan. Sisanya akan diserahkan pada
puncak acara, yakni pada saat upacara perkawinan nanti.).
E. Unjuk
Semua upacara perkawinan (ulaon unjuk) harus dilakukan di halaman pihak
perempuan (alaman ni parboru), di mana pun upacara dilangsungkan. Berikut
adalah tata geraknya:
1. Memanggil liat ni Tulang ni boru muli dilanjutkan dengan menentukan
tempat duduk. Mengenai tempat duduk di dalam upacara perkawinan
diuraikan dalam Dalihan Na Tolu.
2.  Mempersiapkan makanan.
3.  Paranak memberikan Na Margoar Ni Sipanganon dari parjuhut horbo.
4.  Parboru menyampaikan dengke (ikan, biasanya ikan mas).
5.  Doa makan.
6.  Membagikan Jambar.
7.   Marhata adat – yang terdiri dari : a) Tanggapan oleh parsinabung ni
paranak. b) dilanjutkan oleh parsinabung ni parboru. c)
Tanggapan parsinabung ni paranak.           d) tanggapan parsinabung ni
parboru.
8.   Pasahat sinamot dan todoan.
9.   Mangulosi.

ANALISIS S.W.O.T
1.     Strength (Kekuatan)
·         Yang saya ambil dari makalah ini adalah kebudayaan suku batak (terutama
batak Toba), karena menurut saya kebudayaan didaerah batak cukup menarik
dan terkenal karena kebudayaan dan seni tari, musik maupun ciri khas
perkawinan nya yang sangat kental dan mempunyai makna yang cukup
menarik untuk dibahas. Contoh banyak nya kebudayaan suku batak yang
terdiri dari suku Batak Toba, Batak Karo, Batak Angkola, dan Batak Pakpak
dairi.

2.     Weaknes (Kelemahan)
·         Masyarakat Indonesia terutama kaum muda sekarang banyak yang sudah
meninggalkan adat istiadat dari nenek moyang mereka terdahulu (khususnya
suku batak). Dan kebanyakan dari mereka (diluar suku batak) berpendapat
bahwa suku batak terkenal dengan berbicara nya yang keras-keras dengan
suara lantang.

3.     Oppurtunities (Kesempatan/peluang)
·         Dengan mempunyai kebudayaan atau suku batak toba dengan ciri khas
tersendirinya, kita bisa memperkenalkan budaya asli indonesia kekancah
dunia yaitu budaya asli suku batak toba.

4.     Threads (Ancaman)
·         Banyak orang yang tidak suka dengan orang batak karena ciri khas ketika
berbicara keras-keras.
·         Berkurangnya Orang-orang atau suku batak yang menjauhi budaya asli dari
nenek moyang mereka karena saat ini dunia semakin maju.

Daftar Pustaka
http://putrisr.wordpress.com/2012/10/14/kebudayaan-batak-toba/
http://1211502909anthonyprasetyo.wordpress.com/2012/10/10/suku-batak-
toba-di-provinsi-sumatera-utara/

Kesimpulan Dan Saran


“Banyak sekali orang yang berpendapat bahwa adat istiadat dari orang
Sumatera Utara kasar-kasar”. Menurut saya banyak orang yang menganggap
orang sumatera kasar-kasar dikarnakan dari tutur bahasa yang agak sedikit
keras. Sebenarnya bahasa tersebut sudah menjadi tradisi dari orang
sumatera,karena hal tersebut sudah menjadi kebiasaan atau tradisi yg telah
diturunkan dari generasi ke generasi. dan tidak akan bisa dirubah,karena
kebiasaan itu sudah lahir dari jaman nenek moyang kita.
Jadi marilah kita cintai kebudayaan dan berbagai macam suku suku di negara
kita ini karena Indonesia mempunyai banyak sekali kepulauan yang tak ada
habisnya. Batak toba salah satu nya yang sudah kita kenal dan kita simak
sebagaimana makalah diatas, dan semoga kita menghargai dan tidak akan lupa
dengan leluhur atau nenek moyang kita yang telah menciptakan budaya-
budaya tersebut. Semoga apa yang saya sampaikan dalam makalah ini bisa
jadi bermanfaat buat kita semua. Amin.
Malim : Inilah Agama Suku Batak Tempo Dulu
BECAK SIANTAR - Malim : Inilah Agama Suku Batak Tempo Dulu. Untuk kali ini, Becak
Siantar mau mengajak kawan-kawan untuk mengenal kembali tentang Batak. Walau
sebelumnya telah kami paparkan tentang Sejarah Kerajaan Batak (Baca atau klik link dibawah
ini untuk Mengenal Dekat Sejarah Kerajaan Batak) tapi yang kita paparkan disini adalah
tentang Malim, Agama Suku Batak tempo dulu.

 Mengenal Dekat Sejarah Kerajaan Batak - Bagian 4


 Mengenal Dekat Sejarah Kerajaan Batak - Bagian 3
 Mengenal Dekat Sejarah Kerajaan Batak - Bagian 2
 Mengenal Dekat Sejarah Kerajaan Batak - Bagian 1

Bagi orang Batak, Malim atau Parmalim pastilah tahu walau hanya sekedar mendengarnya
saja. Walau hanya sebatas tahu saja atau seklias. Pada kesempatan kali ini, Becak Siantar
akan mengulas lebih dalam mengenai Malim : Inilah Agama Suku Batak Tempo Dulu .

Upara Keagamaan Parmalim


Mengenal Jauh Agama Malim atau Parmalim
Istilah Parmalim merujuk kepada penganut agama Malim. Agama Malim yang dalam bahasa
Batak disebut Ugamo Malim adalah bentuk moderen agama asli suku Batak. Agama asli Batak
tidak memiliki nama sendiri, tetapi pada penghujung abad kesembilan belas muncul sebuah
gerakan anti kolonial. Pemimpin utama mereka adalah Guru Somalaing Pardede. Agama
Malim pada hakikatnya merupakan agama asli Batak, namun terdapat pengaruh agama
Kristen, terutama Katolik, dan juga pengaruh agama Islam.

Agama ini tidak mengenal Surga, malaikat,setan atau sejenisnya,sepeti agama umumnya,
selain makhluk Dewa Mulajadi Na Bolon dan Arwah-arwah leluhur, tidak ada ajaran reward
atau punisnhment atas perbuatan baik atau jahat, selain mendapat berkat atau dikutuk
menjadi miskin dan tidak punya turunan. Tujuan upacara agama ini memohon berkat
Sumangot dari Dewa Debata Mula jadi Nabolon, dari Arwah-arwah leluhur (dari yang Ghaib) ,
juga dari Tokoh-tokoh adat atau kerabat-kerabat adat yang di hormati, seperti Kaum Hula-hula
(dari sesamanya). Agama ini lebih condong ke paham Animisme. Agama ini bersifat tertutup
hanya untuk suku Batak, karena upacara ritualnya memakai bahasa Batak, dan setiap orang
harus punya marga, juga Dewa Mulajadi Nabolon dan Arwah-arwahnya harus arwahnya
orang-orang dari Suku Batak, tidak beda dengan agama-agama suku-suku animisme
dibelahan bumi lainnya, sifatnya tidak universal. Tidak bisa dipakai untuk bangsa2 lain.

Perempuan-perempuan Parmalim
Dewa tertinggi dalam kepercayaan Malim adalah “Debata Mulajadi Na Bolon” sebagai
pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh “Umat
Ugamo Malim” (“Parmalim”). Agama Malim terutama dianut oleh suku Batak Toba di provinsi
Sumatra Utara. Sejak dahulu kala terdapat beberapa kelompok Parmalim namun kelompok
terbesar adalah kelompok Malim yang berpusat di Huta Tinggi, Kecamatan Lagu Boti, Kab.
Toba Samosir. Hari Raya utama Parmalim disebut Si Pahasada (yaitu ‘[bulan] Pertama’) serta
Si Pahalima (yaitu ‘[bulan] Kelima) yang secara meriah dirayakan di kompleks Parmalim di
Huta Tinggi.

Tokoh Agama Parmalim


Ada 3 (tiga ) tokoh yang sangat berperan dalam Agama Parmalim yaitu:

Sisingamangaraja XII
1- Sisingamangaraja XII
Sisingamangaraja XII (Raja Nasiak bagi) adalah tokoh yang diyakini sebagai utusan Mulajadi
Na Bolon untuk orang Batak .

2- Guru Somalaing Pardede


Guru Somalaing Pardede adalah tokoh karismatik beliau sebagai sebagai tokoh spritual, politik
ahli strategi dan beliauselalu nekad melakukan aksi pengorganisasian Hamalimon, Oleh
Karenanya Sisingamangaraja XII lebih mempercayainya sebagai penasehat Perang.
Disamping itu Guru Somalaing Pardede memiliki wawasan dan ilmu yang luas, oleh karenanya
seorang ilmuawan dari Italy bernama Modigliano sangat mengharap bantuan Guru Somalaing
Pardede untuk mendampinginya dalam perjalanan nya keliling tapanuli hingga Asahan. Tidak
mustahil ilmu dan wawasan Guru Somalaing Pardede bertambah baik dibidang Obat-obatan,
dan spritual, perkenalan beliau membuatnya mengenal Maria ibunda Jesus dan Jesus sendiri.
Begitu juga sebelumnya beliau lebih dahulu mengenal ke spritualan Islam, menurut DR.
L.manik Guru Somalaing pernah menuntut Ilmu perang di Aceh dengan rekomindasi
Panglima- Aceh yang diperbantukan pada Sisingamangaraja. Dengan demikian kemungkinan
besar Ajaran agama Parmalim yang ditokohi Guru Somalaing Pardede

3- Raja Mulia Naipospos

Raja Mulia Naipospos


Raja Mulia Naipospos, sebelum menjadi pemimpin Parmalim Huta tinggi, Beliau adalah Raja
Parbaringin bius Lagu boti.Raja Mulia memegang teguh peranannya untuk tidak muncul
sebagai sosok perlawanan anti kolonial, sehingga lebih didekatkan kepada Missionaris
Nommensen di Sigumpar. Ini merupakan pengkaderan secara terselubung agar tidak segera
dipatahkan oleh gerakan misi kristen dan penjajah. Dengan Sikap beliau maka Agama
Parmalim dapat eksis hingga kini.

Jadi Parmalim sebagai Agama monoteis (menurut keyakinan penganutnya) juga mempunyai
sekte-sekte Yaitu: Parmalim sekte rasulnya Guru Somalaing berkedudukan di Balige,
Parmalim sekte di Huta Tinggi, Laguboti, yang dipimpim Rasul Raja Mulia Naipospos. Sekte
dengan Rasul Guru Mangantar Manurung di Si Gaol Huta Gur-gur, Porsea. Sekte lain yang
sudah pudar adalah Agama Putih dan Agama Teka. Meskipun demikian Sekarang Agama
Parmalim yang berpusat di Huta Tinggi Laguboti adalah Agama Parmalim yang sanagt
menonjol.

Pimpinan Parmalim saat ini Raja Marnangkok Naipospos.


Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak, orang Batak
pada mulanya belum mengenal nama dan istilah “dewa-dewa”. Kepercayaan orang Batak
dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-
benda mati. Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu,
dll yang kalau dianggap keramat dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan).

Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa penyakit atau
malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan kepada arwah
leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada
keturunan. Kuasa-kuasa inilah yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia ini
dan yang sangat dekat sekali dengan aktifitas manusia.

Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan istilah “Debata”, sombaon
yang paling besar orang Batak (kuno) disebut “Ompu Na Bolon” (Kakek/Nenek Yang Maha
Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah
yang telah dahulu dilahirkan sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan
luar biasa dan juga menciptakan adat bagi manusia. Tetapi setelah masuknya kepercayaan
dan istilah luar khususnya agama Hindu; Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa yang
dipuja orang Batak kuno sebagai nenek/kakek yang memiliki kemampuan luar biasa. Untuk
menekankan bahwa “Ompu Nabolon” ini sebagai kakek/nenek yang terdahulu dan yang
pertama menciptakan adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi “Mula Jadi Nabolon” atau
“Tuan Mula Jadi Nabolon”. Karena kata Tuan, Mula, Jadi berarti yang dihormati, pertama dan
yang diciptakan merupakan kata-kata asing yang belum pernah dikenal oleh orang Batak
kuno. Selanjutnya untuk menegaskan pendewaan bahwa Ompu Nabolon atau Mula Jadi
Nabolon adalah salah satu dewa terbesar orang Batak ditambahkanlah di depan Nabolon atau
Mula Jadi Nabolon itu kata ‘Debata’ yang berarti dewa (jamak) sehingga menjadi “Debata Mula
Jadi Nabolon”.

Parmalim sebenarnya adalah identitas pribadi, sementara kelembagaannya disebut Ugamo


Malim. Pada masyarakat kebanyakan, Parmalim sebagai identitas pribadi itu lebih populer dari
“Ugamo Malim” sebagai identitas lembaganya Berjuang bagi Parmalim bukan hal baru, karena
leluhur pendahulunya dari awal dan akhir hidupnya selalu dalam perjuangan. Perjuangan
dimulai sejak Raja Sisingamangaraja menyatakan “tolak” kolonialisme Belanda yang dinilai
merusak tatanan kehidupan masyarakat adat dan budaya

Raja Monang Naipospos


Raja Monang Naipospos adalah Pengurus Pusat Ugamo Malim, sebuah agama kepercayaan
yang lahir dari kebudayaan Batak. Agama ini merupakan peninggalan Raja Batak
Sisingamangaraja. Kini pusat agama Parmalim terbesar berada di Desa Hutatinggi, 4 kilometer
dari kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara. Orang lebih mengenalnya
sebagai Parmalim Hutatinggi. Di desa ini ada rumah ibadah orang Parmalim yang disebut Bale
Pasogit.

Monang Naipospos: "Sejak raja Batak, sudah mengenal yang menciptakannya. Makanya
semua orang Batak tahu, bahwa yang menciptakan semua ini adalah Raja Mula Na bolon.
Nah, ajaran ajaran ini disebut dengan kesucian atau hamalimon."

Begitulah umat Ugamo Malim dalam melaksanakan ritual suci mereka. Tapi pelaksanaan ritual
ini tak melulu bisa berlangsung dalam damai. Masih banyak penganut Parmalim yang
mendapat diskriminasi, bahkan di Tanah Batak, tanah kelahiran agama Parmalim ini. Monang
Naipospos, pengurus Pusat Parmalim:

Monang Naipospos: "Begitu datang agama Kristen, cara-cara ibadah hamolimun menjadi
tersingkir, mereka mulai menganggap bahwa hamalimun adalah animisme. Bahkan Belanda
mensyaratkan bagi masyarakat yang ingin bekerja, sekolah dan bertani, harus terlebih dahulu
dibaptis. Akibatnya, umat parmalim inilah yang bertahan tidak mau dibaptis."

Mereka beribadah setiap hari sabtu dan memiliki dua hari peringatan besar setiap tahunnya
yaitu Sipaha Sada dan Sipaha Lima. Sipaha Sada ini dilakukan saat masuk tahun baru Batak
yang dimulai setiap bulan Maret. Dan Sipaha Lima yang dilakukan saat bulan Purnama yang
dilakukan antara bulan juni-juli.

Dalam upacara, laki-laki yang telah menikah biasanya mengunakan sorban seperti layaknya
orang muslim, sarung dan Ulos (selendang batak). Sementara yang wanitanya bersarung dan
mengonde rambut mereka. Semua acara Parmalin dipimpin langsung oleh Raja Marnokkok
Naipospos. Kakek Raja Marnokkok adalah Raja Mulia Naipospos yang menjadi pembantu
utama Sisingamangaraja XI. Kini penganut Parmalin ini mencapai 7000 orang termasuk yang
bukan orang batak. Mereka tersebar di 39 tempat di Indonesia termasuk di Singkil Nanggroe
Aceh Darussalam.

Kitab-Kitab Dalam Agama Parmalim


Dalam agama Malim atau Parmalim, banyak memiliki Kitab-Kitab seperti :

Kitab Batara Guru


Kitab ini berisi seluruh rahasia Allah tentang terjadinya bumi dan manusia beserta kodrat
kehidupan dan kebijakan manusia yang tercermin pada Batara Guru yang mempunyai
lambang hitam.

Kitab Debata Sorisohaliapan


Kitab ini berisi tatanan hidup manusia, mana yang dapat dilakukan dan mana yang tidak dapat
dilakukan sesuai dengan titah dan peraturan sesuai dengan budaya masing-masing.

Kitab Mangala Bulan


Kitab Mangala Bulan menerangkan tentang cerminan kekuatan Allah. Kitab ini menceritakan
kekuatan manusia dalam menjalani hidup termasuk bumi dan seni bela diri batak dalam
menjalani hidup sehari-hari. Kitab ini terbagi atas dua jenis

Debata Asi-Asi
Kitab ini menerangkan tentang inti dari Kitab Batara Guru, Debata Sorisohaliapan, Mangala
Bulan (Debata Natolu) dan induk dari segala kitab. Kitab ini juga berisi tentang ilmu
pengetahuan manusia, karena manusia adalah titisan Debata Asi-asi.

Kitab Boru Debata


Kitab ini berisikan tentang kehidupan wanita hingga memperoleh anak termasuk para putri
titisan Allah juga mengenai para ratu air.

Kitab Pengobatan
Kitab ini menerangkan tentang bagaimana manusia agar selalu sehat, bagi orang sakit
menjadi sembuh, bagaimana agar dekat dengan Tuhan dan bagaimana cara melaksanakan
budaya ritual agar manusia itu sehat. Dalam kehidupan orang batak segala sesuatunya
termasuk mengenai pengobatan selalu seiring dengan budaya ritual dan barang pusaka
peninggalan leluhur jaman dahulu untuk mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri pada
sang pencipta agar manusia tetap sehat dan jauh dari mara bahaya. Kitab ini dibagi empat
bagian.

Falsafah Batak
Kitab ini berisi tentang adat istiadat, budaya, hukum, aksara seni tari, seni musik terutama
bidang pemerintahan kerajaan sosial ekonomi.

Kitab Pane Nabolon


Sejak zaman dahulu orang batak sudah mengetahui perjalanan bulan dan bintang setiap
harinya. Parhalaan Batak adalah cerminan pane nabolon hukum alam terhadap setiap
manusia. Apa yang akan terjadi besok, kelak menjadi apa anak yang baru lahirkan ,
bagaimana nasib seseorang, barang hilang serta langkah yang baik bagi orang Batak sudah
merupakan kebiasaan pada zaman dahulu kala demikian halnya dalam mengadakan pesta
ritual segalanya lebih dahulu membuka buku parhalaan (Buku Perbintangan). Kitab ini di bagi
dua bagian.
Kitab Raja Uhum Manisia
Kitab ini adalah kitab yang berisi penghakiman.

Ibadah dan Ritual Agama Parmalim


Parmalim melaksanakan upacara (ritual) Patik Ni Ugamo Malim untuk mengetahui kesalahan
dan dosa, serta memohon ampun dari Tuhan Yang Maha Esa yang diikuti dengan bergiat
melaksanakan kebaikan dan penghayatan semua aturan Ugamo Malim.
Sejak lahir hingga ajal tiba, seorang “Parmalim” wajib mengikuti 7 aturan Ugamo Malim
dengan melakukan ritual (doa). Ke-7 aturan tersebut adalah :
1. Martutuaek (kelahiran)
2. Pasahat Tondi (kematian)
3. Mararisantu (peribadatan setiap hari sabtu)
4. Mardebata (peribadatan atas niat seseorang)
5. Mangan Mapaet (peribadatan memohon penghapusan dosa)
6. Sipaha Sade (peribadatan hari memperingati kelahiran Tuhan Simarimbulubosi)
7. Sipaha Lima (peribadatan hari persembahan / kurban)
Selain ke-7 aturan wajib di atas, seorang “Parmalim” harus menjunjung tinggi nilai – nilai
kemanusiaan seperti menghormati dan mencintai sesama manusia, menyantuni fakir miskin,
tidak boleh berbohong, memfitnah, berzinah, mencuri, dan lain sebagainya.
Diluar hal tersebut, seorang “Parmalim” juga diharamkan memakan daging babi, daging anjing
dan binatang liar lainnya, serta binatang yang berdarah.
Tak terasa, malam semakin larut. Waktu terasa sangat singkat saat pak Sirait menjelaskan
detail demi detail soal “Parmalim”.

Ritual suci
Tiap tahun ada dua kali ritual besar bagi Umat Parmalim. Pertama, Parningotan Hatutubu ni
Tuhan atau Sipaha Sada. Ritual ini dilangsungkan saat masuk tahun baru Batak, yaitu di awal
Maret. Ritual lainnya bernama Pameleon Bolon atau Sipaha Lima, yang dilangsungkan antara
bulan Juni-Juli. Ritual Sipaha Lima dilakukan setiap bulan kelima dalam kalender Batak. Ini
dilakukan untuk bersyukur atas panen yang mereka peroleh. Upacara ini juga merupakan
upaya untuk menghimpun dana sosial bersama dengan menyisihkan sebagian hasil panen
untuk kepentingan warga yang membutuhkan. Misalnya, untuk modal anak muda yang baru
menikah, tetapi tidak punya uang atau menyantuni warga yang tidak mampu. Seperti
diutarakan Monang Naipospos, Pengurus Pusat Parmalim.

Tempat ibadah Umat Parmalim

Tempat ibadah Umat Parmalim : Bale Pasogit


Tempat ibadah Umat Parmalim disebut Bale Pasogit. Jika melihat fisik bangunan rumah
ibadah Parmalim, Bentuk bangunan Bale Pasogit menyerupai gereja pada umumnya. Namun,
dilengkapi lapangan yang cukup luas yang digunakan umat Parmalim merayakan hari besar
mereka. maka pada atap bangunan terdapat lambang tiga ekor ayam. Lambang Tiga ayam ini
punya warna yang berbeda, yaitu hitam lambang kebenaran, putih lambang kesucian dan
merah lambang kekuatan atau kekuasaan. merupakan lambang ”partondion” (keimanan).
Konon, menurut ajaran Parmalim, ada tiga partondian yang pertama kali diturunkan Debata ke
Tanah Batak, yaitu Batara Guru, Debata Sori dan Bala Bulan. Sementara ayam merupakan
salah satu hewan persembahan (kurban) kepada Debata.

Saat itulah tari tor-tor digelar sebagai bentuk pemujaan. Tarian itu diiringi Gondang
Sabangunan yang merupakan alat musik orang Batak. Tari tor-tor dipercaya sebagai salah
satu bentuk persembahan juga.
Upara Keagamaan Parmalim
Ketika upacara berlangsung, laki-laki yang sudah menikah mengenakan sorban di kepala, juga
sarung dan selendang Batak, atau ulos. Sementara yang perempuan memakai sarung, juga
mengonde rambut mereka. Pujian dan persembahan dilakukan dengan hati suci, atau
hamalimon.

Dibawah ini ada beberapa pernyataan dan pengakuan dari Pimpinan Agama Parmalim yang
berada di Hutatinggi Lagu Boti Kabupaten Tobasa:

Berdasarkan sejarah, Parmalim Hutatinggi dirintis Raja Mulia Naipospos (wafat 18 Februari
1956). Saat ini Parmalim Hutatinggi dipimpin Raja Marnakkok Naipospos, cucu Raja Mulia
Naipospos. Penganut Parmalim Hutatinggi tercatat sekitar 6.000 jiwa (1.500 KK) dan tersebar
di 50 komunitas di seluruh Indonesia.
Di Hutatinggi, terdapat kompleks bernama Bale Pasogit (balai asal-asul). Ada empat bangunan
berarsitek Batak yang terdapat dalam kompleks itu yakni, Bale Partonggoan (balai doa), Bale
Parpitaan (balai sakral), Bale Pangaminan (balai pertemuan), dan Bale Parhobasan (balai
pekerjaan dapur). Bagi umat Parmalim, Bale Pasogit merupakan Huta Nabadia (tanah suci).
Semua bale ini didesain dengan motof batak yang sarat dengan arti khusus.
Di kompleks itu pula, dua kali dalam setahun, umat Parmalim menggelar upacara keagamaan
besar Sihapa Sada (upacara menyambut tahun baru sekaligus memperingati kelahiran para
pemimpin spiritual Parmalim) dan Sipaha Lima (upacara syukuran atas rahmat yang diterima
dari Raja Mulajadi Nabolon). Dalam upacara syukur Doa dipimpin langsung oleh Raja
Marnakkok Naipospos, yaitu ulu panguan atau pemimpin spiritual Parmalim terbesar di Desa
Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Dalam doanya, Marnakkok
Naipospos mengucap syukur kepada Tuhan yang telah memberikan kehidupan. Ucapan
syukur dilakukan umat Parmalim setiap hari Sabtu.

Beberapa ucapan dan pengakuan Pimpinan Agama Parmalim :

Marnakkok Naipospos: "Samisara itu hari ketujuh bagi orang Batak. Diidentikkan dengan hari
Sabtu, supaya berlaku untuk selamanya. Karena kalau kita bertahan pada kalender Batak,
yang muda ini bisa bingung. Makanya kakek kita menentukan samisara ini hari Sabtu."

Marnakkok Naipospos: "Inilah balai pasogit. Ini tempat ibadah dan menyembah setiap hari
Sabtu. Seluruh warga masuk ke rumah ini. Kira kira 1 jam kita beribadah, tergantung jemaat
yang akan memberikan wejangan. Karena mereka secara sukarela memberikan wejangan
kepada jemaat lain."

Monang Naipospos: "Jadi Sipaha Sada inilah bulan pertama inilah tahun tanggal pertamanya,
ini lah tahun baru orang Batak. Karena pada pertengahan bulan itu adalah bulan penuh di
atas, bulan purnama, jadi pada saat itulah kita melakukan persembahan kepada mula jadi
nabolon."

Monang Naipospos: "Jadi tor-tor itu juga persembahan, karena total gerak kita harus sadar
karena untuk persembahan, sehingga gerakannya harus hati-hati, karena gerakan tor-tor
Parmalim bukan hiburan."

Memaknai upacara sipaha sada


Pada perayaan sipaha sada para penganut ogamo malim datang dari berbagai penjuru yang
tersebar di 50-an komunitas dan sekitar 1500 KK. Dari jumlah itu mereka tidak sekedar hadir,
tetapi mereka aktif-partisipatif dalam seluruh rangkaian upacara karena mereka meyakini
bahwa Bale Pasogit adalah Huta Nabadia (Tanah Suci).

Upacara Sipaha Sada dilaksanakan di dalam ruangan Bale Pasogit, sementara upacara
Sipaha Lima diadakan di luar karena teknis pelaksanaannya besar dan berciri kosmis. Menurut
Raja Marnangkok Naipospos, pimpinan umum ugamo malim saat ini upacara Sipaha Sada
merupakan pembuka tahun dan hari yang baru bagi penganut parmalim Huta Tinggi. “Inti
pesta Sipaha Sada ialah menyambut kelahiran dan kedatangan Tuhan Simarimbulu Bosi dan
para pengikut setianya yang telah menderita dalam mengembangkan ajaran Ugamo Malim
ini,” jelas Raja Marnangkok. Si Marimbulu Bosi bagi penganut parmalim adalah nama Tuhan
bangsa Batak.

Menurut generasi ketiga dari keturunan perintis ugamo malim ini setiap aturan yang
dilaksanakan di Bale Pasogit harus dihadiri oleh seluruh umat parmalim. Maka tidaklah
mengherankan upacara tahun baru parmalim ini sungguh menjadi momen penting
sebagaimana hari natal bagi penganut agama Kristen. Untuk itu, dua hari sebelum upacara
Sipaha Sada, diadakan juga mangan napaet (makan sesuatu yang pahit) yakni menyantap
makanan simbolik untuk mengenang kepahitan dan penderitaan Raja Nasiak Bagi, sang
penebus mereka. Bahan-bahan makanan tersebut merupakan paduan antara daun pepaya
muda, cabe, garam, dan nangka muda yang ditumbuk dengan halus. Ritus mangan napaet
berlangsung sebagai pembuka dan penutup puasa yang mencapai waktu sampai 24 jam.

Itulah bagi penganut parmalim sebagai bulan permenungan, pertobatan dan bulan penuh
rahmat. “Makna hakikinya, bahwa parmalim pada saat sebelum Sipaha Sada ini sudah
melaksanakan upacara pengampunan dosa,” jelas Raja Marnangkok yang sudah mengemban
kepemimpinan ugamo malim selama dua puluh lima tahun, sejak 1981.

Dengan demikian bisa dikatakan perayaan Sipaha Sada dapat dianggap sebagai jantung ritus
dalam upacara keagamaan Parmalim Huta Tinggi. Perayaan itu memuncak dalam tonggo-
tonggo (doa-doa) yang dilambungkan pada hari kedua. Ritus itu berlangsung selama lima jam,
mulai jam dua belas siang hingga pukul lima sore. Upacara religius itu diselang-selingi oleh
tonggo-tonggo, dengan iringan ritmis musik tradisional gondang hasapi, tortor, dan
penyampaian persembahan.

Satu hal yang menarik ialah bahwa mereka tetap mempertahankan aturan-aturan ni
panortoran. Sesuai dengan catatan Thomson Hs, seorang penyair dan penggiat budaya Batak
Toba dan praktek pelaksanaan upacara religius Sipaha Sada baru-baru ini ada sepuluh
jenjang doa yang disampaikan.
Dan setiap doa disertai dengan iringan musik tradisional Batak Toba. Doa-doa tersebut ialah:
1. Doa untuk Mulajadi Nabolon, Tuhan Pencipta langit dan bumi.
2. Doa untuk Debata Natolu, (Batara Guru, Debata sori, dan Bala Bulan).
3. Doa untuk Siboru Deak Parujar, yang memberi sumber pengetahuan dan keturunan.
4. Doa untuk Naga Padoha Niaji, penguasa di dalam tanah.
5. Doa untuk Saniang Naga Laut, penguasa air dan kesuburan
6. Doa untuk Raja Uti yang diutus Tuhan sebagai perantara pertama bagi manusia (Batak).
7. Doa untuk Tuhan Simarimbulu Bosi yang hari kelahirannya sekaligus menjadi momentum
perayaan Sipaha Sada.
8. Doa untuk Raja Naopat Puluh Opat yakni semua nabi yang diutus Tuhan kepada bangsa-
bangsa melalui agama-agama tertentu, termasuk Sisingamangaraja yang diutus bagi orang
Batak.
9. Doa untuk Raja Sisingamangaraja, raja yang pernah bertahta di negeri Bakkara.
10. Doa untuk Raja Nasiak Bagi, yang dianggap sebagai penyamaran atau inkarnasi Raja
Sisingamangaraja. Pseudonominya biasa disebut Patuan Raja Malim.

Jadi, secara “teologis” bisa dikatakan bahwa ugamo malim juga menganut paham monoteistik,
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena tujuan akhir semua doa mereka tetap
diarahkan kepada debata Mulajadi Nabolon. Usai doa-doa itu dipanjatkan dilanjutkanlah
“kotbah” atau renungan yang disampaikan oleh pimpinan, Raja Marnangkok Naipospos.
Kemudian mereka manortor secara bergiliran mulai dari keluarga Raja sampai naposo bulung
(muda-mudi).

Demikian mengenai Malim : Inilah Agama Suku Batak Tempo Dulu yang dirangkum dari
berbagai sumber. Lebih kurang silahkan dikomentari yah. Ini hanya sekedar pengetahuan saja
lho, bukan menyarankan. Salam. Becak Siantar.

Sumber :
1. Wikipedia
2. Toga Pardede
3. Indoparsada Blog 

Yuk Mengenal Lebih Dekat Tradisi


dan Budaya Batak

0 SHARES

Share on TwitterShare on Facebook


 2 APRIL 2015 0
Ulubalang, Kearifan Budaya Batak yang Terlupakan
Posted on May 25, 2015 by Tonggo Simangunsong in Kultur with 0 Comments

Bila Bali memiliki Pecalang, Batak memiliki kearifan budaya lokal yang sempat lama terlupakan, yaitu
Ulubalang. Ulubalang ialah mahakarya kearifan budaya Batak yang pernah ada. Namun sayang,
keberadaannya pernah lama ditelan bumi dan kini butuh proses baru untuk membangkitkannya
kembali.

Ulubalang ialah prajurit penjaga keamanan masyarakat yang bekerja tanpa pamrih. Mereka juga
berperan dalam menjaga pranata sosial yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Sejarah mencatat,
ulubalang telah ada ketika kebudayaan Batak mulai ada sejak ratusan tahun lalu, bahkan sebelum
kolonialime Belanda memasuki wilayah Tapanuli.

Ketika itu, masyarakat Batak tinggal dalam tiap perkampungan yang disebut nagari. Nagari terdiri dari
beberapa bius, yakni perkampungan yang lebih kecil. Nagari dipimpin oleh Kepala Nagari, sedangkan
bius dipimpin oleh Raja Bius. Dalam menjalankan kepemimpinannya, mereka dibantu oleh para
ulubalang yang berasal dari masyarakat.
“Ulubalang ialah prajurit penjaga masyarakat. Para ulubalanglah yang berada di garda depan untuk
menjaga ketertiban dan keamanan desa, biasanya apabila ada yang ingin mengganggu ketentraman di
suatu bius,” kata peneliti budaya dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara, Prof. Dr. Robert
Sibarani. M.S.

Hingga tahun 1930-an, menurut Sibarani, ulubalang masih ada di hampir setiap perkampungan Batak.
Akan tetapi seiring dengan adanya perubahan-perubahan sistem pemerintahan sejak jaman kolonial,
perannya hilang dan dilupakan masyarakat. Fungsinya lalu digantikan oleh perangkat desa, seperti
kepala desa maupun lurah.
Karena peranannya begitu penting, tak
jarang pula ulubalang memiliki kesaktian. Namun, kesaktian itu tujuannya selalu untuk membela
kampung di mana mereka berada. Memang, masyarakat masih sering salah kaprah terhadap pengertian
ulubalang. Masih banyak yang beranggapan bahwa ulubalang sama dengan “pangulubalang”. Padahal
keduanya berbeda jauh meski masih memiliki hubungan.
Salah kaprah ini, menurut Dr. Daulat Saragi M. Hum, juga menjadi salah satu mengapa ulubalang mulai
diabaikan masyarakat, bahkan dalam waktu lama dihilangkan dari perbendaharaan tatanan sosial
budaya Batak. Padahal, kata Saragi, ulubalang ialah manusia, sedangkan pangulubalang adalah patung
atau benda yang memiliki kekuatan mistis. “Keduanya jelas berbeda, namun masih sering disalahpahami
masyarakat,” kata peneliti budaya dari Universitas Negeri Medan itu.

Kebangkitan Kembali
Dalam waktu yang lama, peranan ulubalang di tengah masyarakat Batak terlupakan. Meski sempat ada
stereotif negatif, namun dalam konteks kekinian, Ulubalang sebenarnya masih diperlukan. Upaya
membangkitkan ulubalang pertama kali dicetuskan AKBP. Donny Damanik. SIK ketika menjabat Kapolres
Samosir, 2012 – 2013 lalu.

Upaya membangkitkan ulubalang kemudian didiskusikan dalam sebuah seminar ulubalang di Samosir,
Mei 2012. Dari seminar yang menghadirkan tokoh adat Samosir, rohaniwan dan pengamat budaya itu,
dicetuskalah agar ulubalang dibangkitkan kembali. Maka, pada 27 Juli 2012, ulubalang resmi dihadirkan
kembali dengan bekerjasama dengan polisi.

“Ide untuk membangkitkan kembali ulubalang pertama kali saya pikirkan ketika berlibur ke Pulau Bali. Di
sana ada pranata-pranata yang hidup dan lestari hingga saat ini yaitu ‘Pecalang’ sebagai penjaga
keamanan di desa. Mereka juga ikut mensukseskan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh
masyarakat Bali. Kenapa hal ini tidak bisa dilakukan juga oleh masyarakat Samosir?” katanya.

Saat ini ada seratusan lebih ulubalang yang bekerja dengan kepolisian di Samosir yang berasal beberapa
desa secara sukarela. Mereka berasal dari tiap-tiap desa di Samosir. Donny berharap kehadiran mereka
dapat diterima oleh masyarakat dan mendapat dukungan pemerintah. Namun, upaya ini tampaknya
tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Bupati Samosir Mangindar Simbolon, yang dimintai tanggapan mengenai dibangkitkannya ulubalang di
Samosir, mengatakan, masih melihat bagaimana kinerja para ulubalang di tengah masyarakat. “Kita lihat
bagaimana respon dari masyarakat,” katanya. “Bila memang ada dampak positif bukan tidak mungkin
pembiayaan untuk ulubalang akan ditampung dalam APBD Samosir.”

Dari Local Wisdom ke National Wisdom


Pada prinsipnya, ulubalang memang bekerja secara sukarela. Namun, tidak semua ulubalang dapat
menerima prinsip ini dengan lapang dada. “Minum saja kita beli sendiri, minimal adalah untuk sekadar
minum,” ujar Manurung, salah satu ulubalang dari Pangururan. Meski demikian, tidak semua ulubalang
mengeluhkan ketiadaan honor. “Saya menjadi ulubalang tanpa honor, memang begitulah ulubalang
sebenarnya,” kata Situmorang, ulubalang dari Tomok.

Kesiapan masyarakat bukan satu-satunya kendala yang dihadapi dalam upaya membangkitkan
ulubalang, tapi juga dari ulubalang itu sendiri. “Saya berharap ulubalang tetaplah berpegang pada
prinsip, bahwa ulubalang itu memang prajurit yang mengabdi untuk rakyat,” kata Sibarani.

Masyarakat kini memang sedang berharap akan ada dampak yang diberikan ulubalang kepada warga
Samosir. Donny Damanik sendiri tidak mau diam agar perannya dapat dirasakan masyarakat, terutama
untuk mengangkat kembali pamor pariwisata Danau Toba.

Sayang, belum semua pihak yang mendukung kehadiran kembali ulubalang. Ini dapat dilihat dari
penyelenggaraan Pesta Danau Toba di Parapat, yang penyelenggaraanya dilakukan oleh Kabupaten
Simalungun. Padahal, “Dulunya, ulubalang juga berlaku di Simalungun, juga di Karo,” kata Saragi.

Memegang prinsip teguh memang merupakan sebuah tantangan yang saat ini dihadapi para ulubalang
agar dapat diterima masyarakat dan kebangkitannya dapat menjadi sebuah kekayaan budaya lokal—
yang bukan tidak mungkin akan bermetamorfosa dari kearifan lokal (local wisdom) menjadi kearifan
nasional (national wisdom), seperti dikatakan Daulat Saragi.

“Ulubalang merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang harus dilestarikan karena merupakan
kearifan lokal yang sudah terbentuk secara turun temurun oleh para leluhur Batak. Sayang sekali apabila
kekayaan budaya ini hilang begitu saja dan tidak mendapat apresiasi,” kata Saragi.

Festival seni budaya Batak


Culture.teknologidaninformasiumb.blogspot.com

Pada jaman dahulu Batak adalah sebuah kerjaan pertama dari


Sumatra yang didirikan oleh seorang Raja Alang Pardoksi (Pardosi).
Sedangkan pada masa kejayaan berikutnya kerajaan Batak sendiri
beralih tahta yang dipimpin oleh raja Sultan Maharaja Bongsu pada
tahun 1054 Hijriyah hingga sampai saat ini Batak berhasil
memakmurkan negerinya dengan berbagai kebijakan politiknya.

Di bawah ini adalah bukti tentang beberapa unsur budaya yang


dimiliki oleh suku Batak.

1
Suku Batak

wikimedia.org

Batak merupakan salah satu suku bangsa yang berada di Indonesia.


Merupakan sebuah tema dengan untuk mengidentifikasikan beberapa suku
bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di
Sumatera Utara. Dan ada beberapa suku yang dikategorikan sebagai Batak
diantaranya adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun,
Batak Angkola, dan Batak Mandailing.

2
Bahasa

devel.partainasdemo250.org

Dalam kehidupan sehari-hari, suku Batak biasa menggunakan beberapa logat,


diantaranya logat papak (yang dipakai oleh Pakpak), logat karo (yang dipakai
oleh orang Karo), logat toba ( Yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan
Mandailing).

3
Pengetahuan

elelvinamasita.blogspot.com

Diantara pengetahuan suku Batak adalah mengenal sistem gotong-royong


kuno yang dalam bahasa karo disebut raron, sedangkan dalam bahasa Toba
disebut Marsiurupun. Penyebutan itu adalah istilah bahasa bercocok tanam
yang kita kenal sekarang.

4
Kekerabatan

satuberitabersama.blogspot.com
Untuk kekerabatannya, suku Batak ini baisa berdiam di daerah pedesaan yang
disebut Huta atau Kuta menurut istilah Karo. terkadang satu Huta didiami oleh
keluarga dari satu marga. Namun ada juga kelompok kerabat yang disebut
marga taneh yaitu kelompok pariteral keturunan pendiri dari kuta.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Suku Batak Toba merupakan salah satu suku
besar di Indonesia. Suku Batak merupakan bagian dari enam ( 6) sub suku yakni: Batak Toba, Batak
Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak Angkola dan Mandailing. Keenam suku ini
menempati daerah induk masing- masing di daratan Provinsi Sumatera Utara. Suku Batak Toba
berdiam di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir, dan
Kabupaten Humbang Hasundutan. Setiap masyarakat di dunia pasti memiliki kebudayaan yang
berbeda dari masyarakat lainnya. Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-
kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Demikian halnya suku Batak Toba, meskipun merupakan bagian dari enam sub suku Batak, suku
Batak Toba tentunya memiliki kebudayaan sendiri yang membedakannya dari lima sub suku Batak
lainnya. Masyarakat Batak Toba memiliki adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyangya. Adat
istiadat ialah berbagai aktivitas sosial budaya termasuk upacara- upacara kebudayaan yang
disepakati menjadi tradisi dan berlaku secara umum di masyarakat. Sementara tradisi adalah
segala sesuatu seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, upacara dan sebagainya yang secara turun
temurun diwariskan. 2 Upacara adat Batak, baik upacara perkawinan (marunjuk), pasahat sulang-
sulang sian pahompu maupun upacara kematian merupakan tradisi nenek moyang masyarakat
Batak yang diwariskan turun- temurun sejak ratusan tahun silam. Bagi masyarakat Batak Toba,
upacara adat yang terpenting adalah perkawinan karena hanya orang yang sudah kawin berhak
mengadakan atau melaksanakan upacara adat lainnya. Pelaksanaan upacara perkawinan pada
masyarakat Batak Toba dianggap sebagai suatu yang sakral, dimana perkawinan tidak dapat
dilaksanakan dengan suka-suka, melainkan memiliki aturran dan membutuhkan waktu.
Tahapantahapan pelaksanaan upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba yakni dimulai dari
marhori-hori dinding, marhusip, martumpol, marhata sinamot, pesta unjuk, paulak une, dan
maningkir tangga. Namun pada saat sekarang ini sudah terjadi perubahan, banyak hal yang sudah
dirubah melalui kesepakatan bersama. Salah satu penyebab perubahan upacara adat perkawinan
masyarakat Batak Toba ialah modernisasi. Modernisasi suatu masyarakat merupakan suatu poses
transformasi yang meliputi segala aspek kehidupan. Dilihat dari segi kebudayaan, modernisasi
dapat diartikan sebagai proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagian warga masyarakat yang
disebabkan oleh adanya kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman masa kini. 3
Perkembangan zaman mempengaruhi terjadinya perubahan dalam setiap bagian upacara adat
perkawinan masyarakat Batak Toba. Perubahan yang dimaksud berarti menambah atau
mengurangi kewajiban- kewajiban tertentu dalam upacara perkawinan tersebut. Pelaksanan
upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba dahulu dilaksanakan dalam waktu dan proses
yang cukup lama, sekarang dipersingkat dengan istilah upcara adat ulaon sadari ( pesta yang
dituntaskan selama satu hari). Adapun tahapan dalam upacara adat perkawinan dalam bentuk
ulaon sadarai adalah yang dimulai dengan marhusip, martumpol, marhata sinamot, pesta unjuk
yang langsung diikuti oleh acara paulak une dan maningkir tangga. Secara umum tahapan-tahapan
acara adat yang dipersingkat ini jika dilihat dari segi waktu sangat menguntungkan karena
memberikan masyarakat kesempatan untuk mengejar kebutuhan yang lain. Namun jika ditinjau
dari segi pendidikan dan pengetahuan, hal tersebut merugikan generasi muda sekarang karena
dengan dipersingkatnya tahap-tahap perkawinan menyebabkan generasi muda tidak lagi
mengetahui bagaimana seharusnya tahapan-tahapan perkawinan tersebut yang sesuai dengan
nilai-nilai budaya asli Batak Toba. Berdasarkan latar belakang masalah inilah yang mendorong
penulis melakukan penelitian dengan mengambil judul : “Dampak Modernisasi Terhadap Upacara
Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba Di Kota Medan”. 4 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan
latar belakang, maka muncul beberapa hal yang ingin diketahui oleh peneliti dalam penelitian ini
yakni: 1. Proses pelaksanaan upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba 2. Jenis- jenis
perkawinan pada masyarakat Batak Toba 3. Pihak- pihak yang terlibat dalam perkawinan Batak
Toba 4. Perubahan tahapan pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba 5. Dampak
modernisasi dalam pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat Batak Toba 1.3 Pembatasan
Masalah Pembatasan masalah ini dimaksudkan agar peneliti membatasi ruang lingkup
penelitiannya secara tegas dan jelas hingga dapat diketahui secara terperinci masalah yang akan
diteliti, dan tidak akan menjadi sedemikian luas dan kabur, tapi akan membantu peneliti
mengarahkan sasaran kerjanya. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah “
dampak modernisasi terhadap upacara perkawinan pada masyarakat Batak Toba di kota Medan. “
1.4 Perumusan Masalah Sehubungan dengan latar belakang masalah yang ada dalam suatu
penelitian, perlu ditentukan rumusan masalah agar memperjelas masalah yang akan diteliti serta
memberikan arah dan pedoman dalam malakukan penelitian maka perlu membuat rumusan
masalah. 5 Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apa saja
perubahan yang terjadi dalam upacara perkawinan masyarakat Batak Toba 2. Bagaimana dampak
modernisasi terhadap pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat Batak Toba 3. Bagaimana
tanggapan masyarakat terhadap perubahan upacara perkawinan masyarakat Batak Toba 1.5
Tujuan Penelitian Menetapkan tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting karena setiap
penelitian harus mempunyai tujuan tertentu, dengan berpedoman pada tujuan akan lebih mudah
mencapai sasaran yang diharapkan. Tujuan penelitian ialah rumusan kalimat yang menunjukkan
adanya suatu hal yang diperoleh setelah penelitian selesai. Maka yang menjadi tujuan dalam
penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui perubahan- perubahan dalam upacara perkawinan
masyarakat Batak Toba 2. Untuk mengetahui dampak modernisasi terhadap upacara perkawinan
masyarakat Batak Toba 3. Untuk mengetahui tanggapan atau persepsi masyarakat terhadap
perubahan upacara perkawinan masyarakat Batak Toba 6 1.6 Manfaat Penelitian Adapun manfaat
yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis dapat menambah wawasan mengenai
upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba 2. Menambah wawasan penulis tentang
pengaruh modernisasi terhadap upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba 3. Memberikan
informasi bagi masyarakat mengenai dampak modernisasi terhadap upacara perkawinan pada
masyarakat Batak Toba 4. Menambah kajian tentang suatu tradisi dalam konteks Antropologi
Sosial 5. Sebagai bahan referensi bagi penelitian berikutnya yang relevan dikemudian hari
SASTRA DAERAH: SASTRA BUDAYA BATAK
TOBA
Selasa, 21/01/2014 - 00:14 — Sastra Seratus ...

 Artikel | 
 budaya | 
 Batak Toba | 
 Sastra

PENGANTAR

“Marbisuk ma ho!” (Hendaklah kamu cerdik dan bijaksana!). Inilah falsafah kuno orang Batak Toba
yang tetap aktual dalam dan bagi kehidupan masyarakat Toba hingga pada masa sekarang.
Ungkapan ini sering diumbar oleh orang-orang tua dari jaman ke jaman. Falsafat ini sungguh
mempengaruhi cara hidup, pola pikir, cara pandang dan tingkah laku (praktek hidup) orang Batak
Toba.

Sastra Budaya Batak dapat kita gambarkan dalam  ungkapan para tua-tua orang Batak Toba:
“Ansit do na halion (so dapotan) jambar juhut, alai hansitan dope na so dapotan jambar hata”,
Artinya sangat menyakitkan jika seseorang tidak mendapat bagian dalam pembagian daging, tetapi
lebih sakit lagi jika seseorang tidak mendapat kesempatan untuk berbicara dalam pesta adat.
Ungkapan ini hendak menunjukkan betapa penting dan tingginya nilai berbicara dalam budaya
Batak Toba. Ungkapan-ungkapan orang bijak di kalangan Batak Toba memiliki ciri tersendiri. Hal itu
tercermin dalam semua tulisan dan sastra yang dimiliki oleh suku Batak.

SASTRA MASYARAKAT BATAK TOBA

# Batak Toba Sekilas Pandang

Masyarakat Batak Toba pada umumnya hidup tersebar atau tinggal di sekitar daerah Sumatera
Utara, khususnya di daerah pulau Samosir dan daerah Tapanuli.

Namun demikian orang Batak telah tersebar ke berbagai penjuru dunia ini. Suku Batak Toba
menjadi suku bangsa yang besar. Nenek moyang suku bangsa Batak diduga berasal dari Hindia
Belakang, walau menurut mitos orang Batak yang beredar di kalangan masyarakat ini, nenek
moyang Orang Batak berasal dari titisan dewa Si Raja Deang Parujar. Raja Batak sebagai manusia
pertama dikirim oleh dewa ke bumi ini di gunung Pusuk Buhit, di pulau Samosir. Suku ini memiliki
beberapa persamaan dengan salah satu suku di daerah Fhilipina. Karena itu diperkirakan bahwa
sebenarnya keturunan Batak Toba berasa dari daerah Asia bagian Hindia Belakang. Banyak teori
dan pendapat yang berbicara tentang keberadaan suku Batak Toba.

Sebagian berpendapat bahwa suku Batak mencakup lima suku: Batak Toba, Batak Simalungun,
Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Dairi-Pakpak. Tetapi pendapat ini sangatlah lemah karena
bukti untuk itu tidak kuat. Sebagian orang berpendapat bahwa suku ini berdiri sendiri. Memang ada
kemiripan di antara kelima suku ini, misalnya memiliki sedikit persamaan dalam bahasa, adat
kebiasaan. Tetapi lebih banyak perbedaan. Perbedaan ini menjadi dasar penentu bahwa suku
Batak Toba berbeda dari suku yang lainnya itu. Dalam tugas ini penulis menjelaskan sastra yang
dimiliki oleh suku Batak Toba, karena dari suku inilah penulis berasal.

# Seni Sastra Masyarakat Batak Toba.

Orang Batak Toba terkenal dengan keberaniannya untuk berbicara di depan umum dan keberanian
dalam hal-hal lainnya. Sifat umum dan khas dari suku bangsa ini ialah “Si boru puas si boru
bakkara, molo nunga puas ampema soada mara (artinya,seseorang harus mengungkapkan isi hati
dan perasaannya, dan jika hal itu telah terungkapkan maka puaslah rasanya dan damai serta
selesailah masalkah, semua masalah harus dituntaskan dengan pembicaraan). Ungkapan ini
umumnya mewarnai sifat orang Batak. Berkaitan dengan itulah maka orang Batak suka berbicara.
Suka berbicara, berkaitan erat dengan bayak hal dalam hidup orang Batak Toba. Suku ini memiliki
banyak ungkapan-ungkapan berhikmat, pepatah, pantun, falsafah, syair lagu, dll. Banyak ungkapan
bijaksana di kalangan masyarakat Toba. Ungkapan bijak itu tidak kala penting dan nilainya bagi
kehidupan mausia bila dibandingkan dengan ungkapan bijak dari sastra suku bangsa lain.
Ungkapan berhikmat itu sungguh lahir dari pengalaman dan pergulatan hidup nenek moyang dari
dahulu hingga masa sekarang.

Makna yang terkandung dalam sastra Batak Toba berkaitan erat dengan kehidupan yang dialami
setiap hari, misalnya: falsafah pengetahuan (Batak: Habisuhon), kesusilaan (Batak: Hahormaton),
tata aturan hidup (Batak: Adat dohotuhum) dan kemasyarakatan (Batak: Parngoluon siganup ari).
Bila diteliti secara seksama, sastra kebijaksanaan suku Batak Toba (yang disebut umpama), terdiri
dari empat bagian. Pembagian itu adalah sebagai berikut: 

1. Filsafah (Batak: umpama na marisi habisuhon= pepatah yang berisi pengetahuan atau
kebijaksanaan).
2. Etika kesopanan (Batak : umpama hahormaton).
3. Undang-undang (Batak: umpama na mardomu tu adat dohot uhum).
4. Kemasyarakatan (Batak: umpama na mardomu tu parsaoran si ganup ari, ima na dipangke
di tingki pesta, partamueon, dll.).

 Arti dan makna umpama (pepatah) dalam suku Batak Toba sangat luas dan mendalam.
Berdasarkan bentuknya ungkapan itu dapat di bagi ke dalam empat bagian besar.

Pembagian itu ialah:

1. Pantun (Batak: umpasa): adalah ungkapan yang berisi permintaan berkat, keturunan yang
banyak, penyertaan dan semua hal yang baik, pemberian dari Allah.
2. Kiasan/persamaan (Batak: tudosan): adalah pepatah yang berisi persamaan dengan
ciptaan (alam) dan semua yang ada di sekitar kita, misalnya: pematang sawah yang licin.
3. Nyanyian (Batak: endeende): adalah pepatah yang sering dinyanyikan, diungkapkan oleh
orang yang sedang rindu, yang bergembira dan yang sedang sedih.
4. Pepatah (Batak: Umpama) adalah:

a) kebijaksanaan/kecerdikan,

b) pepatah etika kesopanan,

c) pepatah adat (peraturan :tata cara),

d) pepatah hukum.

Sastra kebijaksanaan Batak Toba :

1. Berkaitan dengan Penderitaan Manusia:

 Nunga bosur soala ni mangan


 Mahap soala ni minum
 Bosur ala ni sitaonon
 Mahap ala ni sidangolon

  Arti harafiah dan leksikal:

Sudah kenyang bukan karena makan

Puas bukan karena minum

Kenyang karena penderitaan

Puas karena kesedihan/dukacita

Sedangkan arti dan makna terdalam: Syair pantun ini mengungkapkan keluhan manusia atas
penderitaan yang berkepanjangan yang menyebabkan keputusasaan. Penderitaan sering dianggap
sebagai takdir. Takdir ditentukan oleh Debata Mulajadi Na Bolon (Allah orang Batak Toba) harus
diterima dengan pasrah saja. Ada orang yang menyerah saja pada penderitaan dan menjadi apatis.
Namun untuk sebagian orang takdir dilihat sebagai sarana pendidikan, yakni mendidik untuk tabah
menghadapi segala cobaan hidup, menyingkirkan sifat sombong dan sekaligus menanamkan rasa
patuh kepada orang tua, raja, hula-hula (kerabat keluarga), nenek moyang dan Debata Mulajadi Na
Bolon. 

  Jenis pantun ini ialah “pantun andung” (pantun tangisan) pada penderitaan. Pantun ini
diungkapkan pada waktu mengalami penderitaan (kesedihan dan duka cita), misalnya pada saat
kematian orang tua, sahabat dan famili.

2. Berkaitan dengan Nasihat dan Larangan Melakukan Perzinahan:

 Silaklak ni dandorung
 Tu dangka ni sila-sila
 Ndang iba jumonokjonok
 Tu na so oroan niba

  Arti harafiah dan leksikal:

 Kulit kayu dandorung


 Ke dahan kayu silasila
 Dilarang mendekati perempuan/wanita
 Jika tidak istri sendiri
 Arti terdalam:

Dua baris terakhir dari syair pantun di atas menasehatkan kepada semua pria agar tidak mendekati
seorang perempuan/wanita yang tidak istrinya.  Nasehat ini merupakan usaha untuk menghindari
tindakan perzinahan dan sekaligusmerupakan larangan untuk tidak melakukan perzinahan.
Seorang laki-laki yang mendekati perempuan yang bukan istrinya dan melakukan hubungan
seksual disebut  berzinah. Orang yang melakukan perzinahan dihukum dan terkutuk hidupnya.

 Jenis Sastra:

Pepatah nasehat ini digolongkan ke dalam pantun nasehat atau  pepatah nasehat (Batak: umpama
etika hahormaton, adat dohot uhum). Pepatah ini  digunakan pada kesempatan pesta adat, pesta
perkawinan, dan pada hari-hari biasa  serta pada kesempatan yang biasa juga. Juga sering
diungkapkan pada waktu  diadakan musyawarah kampung karena adanya tindakan pelanggaran
perkawinan.  Biasanya orang yang berzinah dihukum secara adat.

3. Berkaitan dengan Etika Kesopanan (sopan santun):

 ” Pantun hangoluan, tois hamatean!”

Arti harafiah dan leksikal: Sikap hormat dan ramah mendatangkan kehidupan dankebaikan;
sikap ceroboh atau sombong (tidak tahu adat) membawa kematian/malapetaka.

  Arti terdalam: sopan santun, sikap hormat dan ramah tamah akan membuahkan hidup yang
mulia dan bahagia (baik), sedangkan sikap ceroboh dan sombong (angkuh) akan menyebabkan
kematian, penderitaan, malapetaka dalam hidup seseorang. Pada umumnya orang yang sopan
memiliki banyak teman yang setia, ke mana dia pergi selalu mendapat perlindungan dan sambutan
dari orang yang dijumpainya. Sedangkan orang yang ceroboh dan sombong sulit mendapat teman
bahkan sering mendapat lawan dan musuhnya banyak. Yang seharusnya kawan pun menjadi
lawan bagi orang yang seperti ini.

 Jenisnya dan digunakan pada kesempatan:  Sastra ini tergolong dalam pepatah (Batak:
umpama) nasehat. Pepatah etika sopan santun. Biasanya digunakan pada kesempatan
memberangkatkan anak, famili atau sahabat yang hendak pergi ke perantauan. Dan pepatah ini
digunakan sebagai nasehat orang-orang tua kepada anakanaknya.

4. Berkaitan dengan “Janji atau nazar” yang harus ditepati: 

 Pat ni satua
 Tu pat ni lote
 Mago ma panguba
 Mamora na niose 

  Arti harafiah dan leksikal:

 Kaki tikus
 Ke kaki burung puyuh
 Lenyap/hilanglah si pengingkar janji
 Dan kayalah yang diingkari

 Arti terdalam:  seorang yang mengingkari janji, apalagi sering-sering mengingkari akan hilang
lenyap (mati) karena tindakannya dan orang yang diingkari akan menjadi  kaya. Orang yang
mengingkari janji dikutuk dan ditolak oleh masyarakat umum, sedangkan orang yag diingkari
mendapat penghiburan dan pengharapan yang baik dari  sang pemberi rahmat. Dia akan menjadi
kaya dalam hidupnya. Padan adalah janji atau  perjanjian, ikrar yang disepakati oleh orang yang
berjanji. Akibat dari pelanggaran  padan lebih daripada hukum badan, karena ganjaran atas
pelanggaran padan (janji)  tidak hanya ditanggung oleh sipelanggar janji (padan), tetapi juga
sampai pada generasi-keturunan berikutnya. Ada unsur kepercayaan kutukan di dalamnya.
Padan  bersifat pribadi dan rahasia, diucapkan tanpa saksi atau dengan saksi. Jika
padan  diucapkan pada waktu malam maka saksinya ialah bulan maka disebut padan marbulan.
Dan jika diucapkan pada siang hari saksinya ialah hari dan matahari disebut padan marwari. Nilai
menepati janji cukup kuat pada orang Toba. Ini mungkin ada kaitannya dengan budaya padan
yang menyatakan perbuatan ingkar janji merupakan yang terkutuk.

   Jenis pantun dan digunakan pada kesempatan:  pantun ini tergolong ke dalam pepatah (Batak:
umpama) nasehat kepada orang yang berjanji (Batak: marpadan). Pepatah ini digunakan pada
kesempatan ketika menasehati orang yang sering menginkari janji. Pada upacara adat terjadi
pembicaraan dan berkaitan dengan pengadaan perjanjian. Nasehat ini diberikan dan disampaikan
oleh orang tua dari kalangan keluarga. Ini merupakan unsur sosialisasi untuk mendidik orang Toba
menjadi orang yang konsekuen dalam bertindak.

 
5. Berkaitan dengan Kehidupan Sosial Masyarakat: 

 Ansimun sada holbung


 Pege sangkarimpang
 Manimbuk rap tu toru
 Mangangkat rap tu ginjang

  Arti harafiah dan leksikal:

 Mentimun satu kumpulan


 Jahe satu rumpun batang
 Serentak melompat ke bawah
 Serentak melompat ke atas

  Arti terdalam: Umpama ini digunakan untuk kerabat sedarah dan dari satu keluarga (Batak:
dongan sabutuha). Pepatah ini mengisyaratkan kebersamaan untuk menanggung duka dan derita,
suka dan kegembiraan. Sejajar dengan ungkapan:”ringan sama dijingjing, berat sama dipikul”. Dari
ungkapan ini terbersit arti mendalam dari kekerabatan yang dianut oleh orang Batak Toba.
Kekerabatan mencakup hubungan primordial suku, kasih sayang dipupuk atas dasar hubungan
darah.Kerukunan diusahakan atas dasar unsur-unsur Dalihan Na Tolu. Hubungan antar manusia
dalam kehidupan orang BatakToba diatur dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Hubungan ini
telah disosialisasikan kepada generasi dari generasi ke generasi berikutnya. Hubungan ini telah
ditanamkan kepada anak sejak dia mulai mengenal lingkungannya yang paling dekat, misalnya
dengan orang tua, sanak saudara dan kepada famili dekat. Pengertian marga dijelaskan dengan
baik sesuai dengan kode etik Dalihan Na Tolu. Tata cara kehidupan, cara bicara, adat-istiadat
diatur sesuai dengan kekerabatan atas dasar Dalihan Na Tolu itu.

   Jenis sastra:  tergolong dalam kelompok pepatah (Batak: umpama). Dipakai pada kesempatan
pesta pernikahan, pesta adat dan pada waktu kemalangan. Pepatah ini digunakan sebagai nasehat
untuk pihak yang berpesta dan yang sedang kemalangan.

Kekhasan Sastra Batak Toba:

a) Sastra Batak Toba lahir dari budaya Batak yang tumbuh berkat relasinya dengan alam, dunia
sekitar dan orang-orang dari suku bangsa lain.

b) Pepatah atau ungkapan bijak dalam suku ini tidak diperoleh dari hasil pendidikan formal, tetapi
dari pendidikan suatu perkumpulan, misalnya perguruan silat atau perkumpulan marga dan adat.

c) Sastra ini pada umumnya diwariskan secara lisan.

d) Pengarang satra ini tidak diketahui. Waktu penulisan dan tempat mengarang juga tidak dapat
dipastikan.

e) Pepatah dan pantun dapat diubah-ubah sesuai dengan situasi yang ada. Tetapi harus selalu
diperhatikan dan dipertahankan isi dan makna yang sebenarnya.

f) Sastra ini memiliki arti kiasan atau perumpamaan dan arti langsung (harafiah).

g) Pola sajak yang digunakan umumnya bervariasi, ada ab-ab dan ada yang bebas.

h) Ada pepatah atau sajak yang bernilai rohani, yang sangat dalam maknanya.

i)  Pepatah umumnya dikuasai oleh sebagian orang saja yang bertugas sebagai pembicara dalam
adat. Orang yang bisa berbicara dengan baik dan mengetahui banyak pepatah maka dia dapat
dihunjuk sebagai pembicara dalam adat. Tetapi umumnya sastra ini dapat digunakan oleh siapa
saja.

Kelebihan dan kekurangan:

Kelebihan: pepatah bersifat sederhana, mudah dimengerti dan diingat oleh orang, tidak
membosankan, memiliki arti harafiah dan arti terdalam yang juga memiliki kaitan dengan arti
harafiah itu. Umumnya pepatah atau sastra Batak sibuk dengan masa depan.

Kekurangan: tidak semua tertulis karena itu bisa hilang dan dilupakan oleh generasi selanjutnya.
Sastra ini memiliki bahasa kuno yang terkadang sulit dimengerti orang jpada aman sekarang.

BAGAIMANA ORANG BATAK SUKA/BISA LIHAI BERDEBAT;

Bukan hal yang baru lagi kalau saat ini kita melihat begitu banyaknya orang Batak yang bergelut di
bidang professi pengacara. Bagaimana itu bisa? Sebenarnya kalau kita runut ke belakang, itu
adalah hal yang lumrah. Bayangkan, dari dulu nenek moyang orang batak sangat ahli dalam
berdebat dengan santun, juga dalam berpantun. Kalau kita mengikuti acara Adat Batak, bisa kita
lihat betapa sedang terjadi ‘sengketa’ atau ‘pertempuran’ yang sangat menarik. Tentunya dalam
konteks berdebat atau komunikasi adat, orang Batak mengatakan:

Purpar pande dorpi laho padimposhon, sip parmihimihim laho manegai!  (Jadi sehebat apapun
perdebatan dalam acara pesta adat Batak, pada akhirnya akan berakhir dengan baik, kita tentunya
pernah mendengarkan: Aek godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut!)

Salah satu sisi positif dari orang Batak adalah tegas dalam bersikap. Uniknya lagi dalam
masyarakat Batak, semua adalah Raja! Artinya bila dihubungkan dengan konsep Dalihan Na Tolu,
semua dari kita pada posisi Raja. Sering kita mendengarkan cuplikan kalimat: Anak ni raja do
hamuna na ro, suang songoni anak ni raja do hami na didapothon muna! 

Terima kasih sama TUHAN betapa nenek moyang kita dibekali dengan keahlian (anugerah) untuk
bertutur kata dan berfikir dengan baik dan sitematis. Dalam kehidupan sehari-hari hal inilah yang
membuat Orang Batak itu pantang menyerah, uniknya simak umpasa berikut:

Ale Tuhan talu ma ahu maralohon dongan jala sai pamonang ma ahu maralohon musu!

Kalau kita cermati umpasa di atas, betapa Orang Batak itu sangat berbudi luhur. Tapi kalau kita
lihat belakangan ini hal ini sudah hampir punah oleh penyakit yang dinamakan HOTEL: Hosom,
Teal, Elat, dan Late, sudah pada stadium yang sangat mengkhawatirkan. Kalau kita runut ke
belakang, berdebat dengan pantun atau berpantun dalam bahasa Batak terbagi dalam kategori:
Umpasa, Umpama, Salik, Anian, Udoan, Umpama ni Pangandung, dan Umpama ni
Ampangardang. Secara ringkas bisa diuraikan lagi sbb.:

UMPASA:

Umpasa adalah pantun yang berupa keinginan untuk mencapai sesuatu atau permohonan dalam
bentuk Doa. Dan kalau dikaji, pantun itu ada sampirannya, yang dibuat sedemikian. Setiap baris
atau kata mengandung makna mendalam dan saling terkait satu sama lain.

Contoh:

Bintang ma narumiris, ombun na sumorop Anak pe antong riris, boru pe antong torop
Pirma toras ni pongki, Bahul-bahul pansalongan Pirma tondi muna, Tutambana pangomoan
Habang pidong sibigo, paihut-ihut bulan, Saluhut angka na tapangido, sai tibu ma dipasaut Tuhan.
Dekke ni sale-sale, dengke ni Simamora, Tamba ni nagabe, sai tibu ma hamu mamora.
Mangula ma pangula, dipasae duhut-duhut Molo burju do hita marTuhan, dipadao mara marsundut-
sundut
Binanga siporing, binongkak ni tarabunga Muli tu sanggar ma amporik, Muli tu ruang ma satua
Sinur manapinahan, tugabena ma naniula

Dalam berpantun (umpama/umpasa – red) kata-kata yang digunakan harus sopan dan halus.

Contoh:

Binanga siporing, binongkak ni tarabunga Muli tu sanggar ma amporik, Muli tu ruang ma satua
Sinur manapinahan, tugabena ma naniula

Dalam umpasa diatas kata tikus diganti menjadi satua (satua – hata andung dari tikus). Jadi dalam
kita menyampaikan umpama maupun umpasa hindarilah kata-kata yang tidak pantas (hodar – red).

Contoh lain seperti: babi tidak cukup halus jika diganti dengan “pinahan lobu” tetapi “siparmiak-
miak” atau “lomuk” yang arti sebenarnya “lemak”. Umpasa menghindari kata-kata yang tidak
pantas, a.l. singke, sipasing, situma dan sidohar adalah nama-nama binatang yang sering dijumpai
di sawah dan sering dimakan, namun tidak pantas disebutkan dalam umpasa. Sederhananya,
dalam kita ber umpasa atau umpama, kita berkomunikasi dengan Tuhan, karena umpasa adalah
doa restu yang disampaikan oleh manusia tetapi pengabulannya semata-mata tergantung Tuhan.
Oleh karena itu perlu dilandasi bahasa dan sikap yang sangat sopan dan sakral. Berikut ini umpasa
yang tidak pantas dikumandangkan yang disebut “na so marpaho”:

Eme sitamba tua ma, Parlimggoman ni siborok Debata do na martua, Horas ma hamu di parorot 
Tingko ma inggir-inggir, Bulung nai rata-rata Hata pasu-pasu i, Pasauthon ma namartua Debata

“Siborok” tidak pantas disebut karena merupakan sesuatu yang belum jadi atau metamorfosa.
“Inggir-inggir” adalah semacam buah semak yang asam dan buahnya kecil-kecil yang mengandung
makna tidak berharga. Oleh karena itu, kedua kata tersebut tidak relevan dengan permohonan doa
restu yang lajimnya memohon sesuatu yang “jadi” dan “berarti”. Umpasa yang memakai kata-kata
yang tidak pantas seperti di atas disebut “Umpasa Na So Marpaho”.

Contoh lain: “Danggur-danggur” (batu untuk dilempar) , “sibonsiri” (pemicu), “habang” (terbang),
“mumpat” (tercabut), “mabaor” (hanyut), “marbonsir” (sebab) adalah contoh kata-kata yang tidak
etis dalam umpasa. Misalnya: Antus nabegu soro ulu balang. Lali masiturbingan, Manuk
masisoroan Mata masi urbitan, Roha masibotoan

UMPAMA
Umpama secara sederhana diartikan perumpamaan atau peribaratan.

Contoh:

Tektek do mula ni godang, serser do mula tortor Sungkun mula ni uhun, sise mula ni hata.
Manuk ni Pealangge, hotek-hotek laho marpira Sirang namaraleale, lobian namatean ina
Tampunak sibaganding, di dolok pangiringan Horas do hita sudena, asal marsipairing-iringan
Habang binsakbinsak, tu pandegean ni horbo Unang hamu manginsak,ai idope na huboto

Tujuannya umpama ini adalah penyampaian maksut hati atau tujuan supaya lebih enak didengar
dan lebih mudah dipahami maksud yang akan disampaikan. Umpama bukanlah “Doa Restu” seperti
umpasa.

SALIK

SALIK adalah pantun yang bertujuan untuk mengutuk seseorang atau sumpah serapah.

Contoh:

Ndang taruba babi so mangallang halto.


Holi-holi sanghalia, tading nanioli dibahen nahinabia
Jinama tus-tus tiniop pargolangan, tuk dohonon ni munsung dang tuk gamuon ni tangan
Balik toho songon durung ni Pangururan, sianpudi pe toho asal haroro ni uang
Sanggar rikrik angkup ni sanggar lahi, dongan marmihim jala donganna martahi-tahi.
Otik pe bau joring godang pe bau palia.
Pat ni lote tu pat ni satua, Mago ma pangose horas na niuba
Batu nametmet tu batu nabolon, Parsoburan ni sitapitapi Suda na metmet suda nabolon, Unang
adong siullus api
Dos do sanggar dohot tolong, Dos do parmangmang dohot panolon

Bila adat dan hukum setempat tidak dapat menyelesaikan masalah, maka Raja Adat
menghukumnya dengan pasa-pasa atau kata-kata kutukan. Jika pasa-pasa tidak juga mempan,
maka yang lebih tinggi dari pasa-pasa adalah “Gana Sirais” dan “Gana Sigadap”. Di Jawa dikenal
dengan “Sumpah Pocong” atau “Sumpah Mati”.

ANIAN

Anian artinya pantun yang ada “ekornya” atau bersayap. Kadang didasari filsafat, tapi sering juga
hanya sekedar pantun enak di kuping saja.

Contoh:

Ganjang bulung ni bulu, Tingko bulung ni soit Denggan hata tu duru, Di bagasan marpanggoit
Di robean pinggol tubu, Dinahornop diparnidai
Tanduk ni ursa mardangka-dangka Tanduk ni belu margulu-gulu salohot Nangpe namarpungui
sabungan ni roha Pamalo-malohon do angka na so dohot

UDOAN

Udoan adalah pantun untuk mengungkapkan penderitaan yang luar biasa.

Contoh:

Sinuruk simarombur, Di tingki ngali ni ari Taonon nama sudena i, Nunga ro soroni ari
Nunga tunduk baoadi, Songon lombu jailon i Songon anak ni manuk, Nasiok-siok i
Ndang be tarrarikkon, Bulusan ma nirogohon Ndang na tarandungkon, Bulusan ma hinasiphon
Bulan sada bulan dua, Ujung taon bulan hurung Gabe dongan do malua, Gabe iba do tarhurung

UMPAMA NI PANGANDUNG

Jaman dulu ada profesi ‘pangandung’ di Tanah Batak. Semisal kalau ada yang meninggal,
pangandung akan dipanggil. Orang yang membawakan pantun tersebut akan mendapat upah,
maka sang peratap diberi “Upa Pangandung”. Pantun jenis ini biasanya dilantunkan pada saat
menangisi jenazah orang mati.

Contoh:

Nunga songon jarojak tarunjal, Songon tandiang na hapuloan


Binahen ni sitaonon, Na so ada tudosan
Nunga tunduk, Songon lombu jailon Songon anak ni manuk, Na so tumanda eatan
Jagaran hundul, Songon panghulhulan Jagaran jongjong, Songon pangunggasan
Sungkot so na ginjang ahu, Ponjot so nabolon i Aut binahen ni ginjanghu, Boi do paunduhonhi Aut
binahen ni bolonhu, Boi do pajorbingonhi Ponjot ma pangarohaingki, Di si ulubalangari

UMPAMA NI AMPANGARDANG:
Pengertian ampa adalah kebijakan. Ardang sama dengan sanjak. Ampangardang berarti Pelantun
Sanjak Bijak. Biasanya dilantunkan oleh para lelaki untuk merayu perempuan pujaan hatinya. Enak
didengar. Konon Ampangardang yang piawai dapat membius kekasihnya dengan pantun sehingga
terkulai ke pangkuannya.

Contoh:

Bulung hariara, Marpitor-pitor ho naarian Boru ni datulang, sian dia ho narian


Ndada sian dia, sian pansur paridian Paias-ias bohi mandapothon si pariban
Lua-lua sadari, Bahen hita muba-uba Riburpe onan pasar, Rumiburan hita nadua
Ansingsing ansising, Manang imbalo-imbalo Padenggan parhundulmu, Nunga ro manopot ho
Nunga limut-limuton, Pansur so pinaridian Nunga lungun-lungunan, Si boru so pinangkulingan

Nilai Budaya Batak Toba


Kebudayaan adalah segenap perwujutan dan keseluruhan hasil pemikiran (logika), perasaan (estetika)
dan kemauan (etika) sebagai buah usaha budi dalam mengelola cipta, rasa dan karsa untuk
mewujudkan karya budaya dan interaksi budaya sipiritual dan produk budaya yang bersifat material.
Menurut para ahli bahwa setiap kebudayaan itu pada umumnya paling sedikit terdiri dari tiga wujud
yaitu : pertama wujud kebudayaan suatu himpunan gagasan gagasan yang sering disebut kompleks
gagasan .kedua, wujud sebagai jumlah perilaku yang berpola yang di sebut kompleks aktifitas. Ketiga,
wujud kebudayaan sebagai kumpulan benda dan arti paks yang disebut karya budaya. 

Patung Sigale gale wujud karya budaya Batak Toba. 


Foto diambil dari jadimanhutapea.blogspot.com

Wujud Kebudayaan sebagai kompleks gagasan

Merupakan konsep pemikiran manusia. Sebagai kompleks gagasan, kebudayaan adalah bersifat
abstraks tidak dapat dilihat, didengar atau diraba. Wujud ini disebut sistem budaya. Sistem budaya
adalah rangkaian proses gagasan atau rangkaian proses pandangan yang paling berharga dan bernilai
dalam hidup manusia.

Gagasan itu mencakup bagaimana pandangan manusia mengenai alam, terhadap sesama manusia,
tentang pengetahuan dan pekerjaan, tentang ketuhanan, pandangan manusia tentang ‘waktu’. Berkat
nilai budaya itulah maka manusia berbuat untuk kehidupannya, baik dalam hubungan ketuhanan,
kemanusiaan maupun untuk berkarya.
Museum Batak TB Silalahi Center
Foto diambil dari Google Image

Wujud kebudayaan sebagai Kompleks Aktifitas

Adalah interaksi manusia yang timbul berkat nilai budaya yang dihayatinya untuk menghadapi
lingkungannya, yaitu wujud nilai budaya yang timbul dalam bentuk sosial. Sistem sosial adalah sistem
yang menata hubungan manusia dengan Tuhan, mengatur hubungan manusia dengan alam,sesama
manusia, mendorong aktifitas untuk berkarya guna kebutuhan sosialnya.

Termasuk didalamnya sistem kekerabatan, panggilan kekerabatan dan sopan santun kekerabatan
akan dapat diketahui dari sistem sosialnya. Jadi nilai budaya, sistem sosial dan karya budaya suatu
suku bangsa adalah merupakan satu kesatuan.

Aksesories di galery souvenir TB Silalahi Center Balige menjadi salah satu item budaya Batak Toba
Foto diambil dari jadimanhutapea.blogspot.com

Wujud kebudayaan sebagai kumpulan benda.

Disebut aset budaya yag tumbuh dari kompleks aktifitas demi kebutuhan sosial, baik kebutuhan
spiritual mendorong manusia untuk berkarya atau berbuat. Hasil kerja demikian disebut karya budaya,
berwujud konkrit dan nyata disebut dengan istilah phisical culture. Karya budaya itu tumbuh dari
sistem sosial.

Para ahli telah sependapat bahwa unsur kebudayaan materi itu adalah kebutuhan sosial antara lain
tentang sistem masyarakat, bahasa, sistem ekonomu, pengetahuan, kesenian dan religi. Maksudnya
adalah bahwa seseorang akan berbuat demi kemasyrakatan, berkomunikasi dengan bahasa,
meningkatkan ilmu demi kesejahteraan, teknologi demi memajukan teknologi bermoral demi
kebutuhan spiritual.

Inilah 9 Nilai Budaya Batak Toba Yang Sangat Populer


Dikutip dari Skripsi yang berjudul "POLA DAN FUNGSI KEKERABATAN MASYARAKAT BATAK TOBA",
Sebuah Studi Deskripsi Pada Perkumpulan Marga Napitupulu, Boru dan Bere di Kotamadya Surabaya,
Fakultas ANTROPOLOGI, Universitas Airlangga, Surabaya, 1992, yang dipublikasikan oleh Edberd
Sihombing L. Toruan dalam blog: habatakon01.blogspot.com, mendeskripsikan (secara Antropologis)
mengenai 9 Nilai Budaya Yang Utama pada Masyarakat Batak Toba.

1. KEKERABATAN
Yang mencakup hubungan premordial suku, kasih sayang atas dasar hubungan darah, kerukunan
unsur-unsur Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Tubu, Boru), Pisang Raut (Anak Boru dari Anak
Boru), Hatobangon(Cendikiawan) dan segala yang berkaitan hubungan kekerabatan karena
pernikahan, solidaritas marga dan lain-lain.
2. RELIGI
Mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian
yang
mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan
hidupnya.

3. HAGABEON
Banyak keturunan dan panjang umur. satu ungkapan tradisional Batak yang terkenal yang
disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar kelak
pengantin baru dikaruniakan putra 17 dan putri 16. Sumber daya manusia bagi orang Batak sangat
penting. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun dalam jumlah manusia yang banyak. Ini erat
hubungannya dengan sejarah suku bangsa Batak yang ditakdirkan memiliki budaya bersaing yang
sangat tinggi. Konsep Hagabeon berakar, dari budaya bersaing pada jaman purba, bahkan tercatat
dalam sejarah perkembangan, terwujud dalam perang huta (kampung/tradisional). Dalam perang
tradisional ini kekuatan tertumpu pada jumlah personil yang besar. Mengenai umur panjang dalam
konsep hagabeon disebut SAUR MATUA BULUNG (seperti daun, yang gugur setelah tua). Dapat
dibayangkan betapa besar pertambahan jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh orang Batak,
karena selain setiap keluarga diharapkan melahirkan putra-putri sebanyak 33 orang, juga semuanya
diharapkan berusia lanjut.

4. HASANGAPON
Kemuliaan, kewibawaan, kharisma, suatu nilai utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih
kejayaan. Nilai ini memberi dorongan kuat, lebih-lebih pada orang Toba, pada jaman modern ini untuk
meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan kekuasaan.

5. HAMORAON
Kaya raya, salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak, khususnya orang
Toba, untuk mencari harta benda yang banyak.

6. HAMAJUON
Kemajuan, yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai budaya hamajuon ini sangat kuat
mendorong orang Batak bermigrasi keseluruh pelosok tanah air. Pada abad yang lalu, Sumatra Timur
dipandang sebagai daerah rantau. Tetapi sejalan dengan dinamika orang Batak, tujuan migrasinya
telah semakin meluas ke seluruh pelosok tanah air untuk memelihara atau meningkatkan daya
saingnya.

7. HUKUM
Patik dohot uhum (aturan dan hukum). Nilai patik dohot uhum merupakan nilai yang kuat di
sosialisasikan oleh orang Batak. Budaya menegakkan kebenaran, berkecimpung dalam dunia hukum
merupakan dunia orang Batak.

Nilai ini mungkin lahir dari tingginya frekuensi pelanggaran hak asasi dalam perjalanan hidup orang
Batak sejak jaman purba. Sehingga mereka mahir dalam berbicara dan berjuang memperjuangkan
hak-hak asasi. Ini tampil dalam permukaan kehidupan hukum di Indonesia yang mencatat nama
orang Batak dalam daftar pendekar-pendekar hukum, baik sebagai Jaksa, Pembela maupun Hakim.

8. PENGAYOMAN
Dalam kehidupan sosio-kultural orang Batak kurang kuat dibandingkan dengan nilai-nilai yang
disebutkan terdahulu. ini mungkin disebabkan kemandirian yang berkadar tinggi. Kehadiran
pengayom, pelindung, pemberi kesejahteraan, hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat
mendesak.

9. KONFLIK
Dalam kehidupan orang Batak Toba kadarnya lebih tinggi dibandingkan dengan yang ada pada
Angkola-Mandailing. Ini dapat dipahami dari perbedaan mentalitas kedua sub suku Batak ini. Sumber
konflik terutama ialah kehidupan kekerabatan dalam kehidupan Angkola-Mandailing. Sedang pada
orang Toba lebih luas lagi karena menyangkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya. Antara
lain Hamoraon yang mau tidak mau merupakan sumber konflik yang abadi bagi orang Toba.

Demikian ulasan kita mengenai "Nilai Budaya Batak Toba Yang Sangat Populer". Semoga bermanfaat
yah. Salam, Horas... Horas... Horas...
Adat Tradisi Dalam Upacara Pemakaman Batak

Adat Tradisi Dalam Upacara Pemakaman Batak. Suku Batak dikenal sebagai


salah satu suku unik yang sangat kuat dalam menjalankan adat dan budayanya di
Indonesia.

Dalam berbagai adegan kehidupan, orang Batak sangat mengacu pada sendi-


sendi adat dan budaya yang ditanamkan sejak dari kecil di kampung halaman.
Tidak hanya peristiwa-peristiwa indah atau sukacita, semisal acara perkawinan,
kelahiran anak pertama, memasuki rumah baru, suku Batak juga mengedepankan
berjalannya adat dalam acara dukacita, yaitu kematian. Hal ini sudah berlaku
turun-temurun sejak awal eksisnya suku Batak (untuk mengetahui lebih banyak
tentang sejarah Batak dapat dibaca pada artikel  Budaya Batak Dan
Sejarahnya Oleh William Marsden )
Kehidupan terdiri dari dua kutub pertentangan, antara “hidup” dan “mati”, yang
menjadi paham dasar manusia sejak masa purba sebagai bentuk dualisme
keberadaan hidup hingga masa kini (Sumardjo, 2002:107). Kematian merupakan
akhir dari perjalanan hidup manusia. Maka kematian pada dasarnya adalah hal
yang biasa, yang semestinya tidak perlu ditakuti, karena cepat atau lambat akan
menjemput kehidupan dari masing-masing manusia.

Dalam  tradisi Batak, orang yang mati akan mengalami perlakuan khusus, terangkum dalam
sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasar usia dan status si mati. 
Beberapa nama atau istilah mati dalam tradisi Batak berikut prosesinya antara lain yaitu :

Mate Di Bortian
Mate Di Bortian berarti meninggal pada saat masih dalam kandungan. Tradisi atau
prosesi adat kematian belum berlaku karena langsung dikubur tanpa peti mati. 

Mate Poso-poso
Mate poso-poso berarti meninggal saat masih bayi. Tradisi atau prosesi adat
kematian yaitu jenazah ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas Batak) yang
diberikan oleh orang tuanya.

Mate Dakdanak
Mate dakdanak berarti meninggal saat masih kanak-kanak. Tradisi atau prosesi
adat kematian yaitu jenazah ditutupi oleh ulos (kain tenunan khas Batak) yang
dilakukan oleh tulang (paman/saudara laki-laki dari ibu).

Mate Bulung
Mate bulung berarti meninggal pada saat remaja atau menjelang dewasa. Tradisi
atau prosesi adat kematian sama dengan mate dakdanak, yaitu jenazah ditutupi
ulos dari tulang.

Mate Ponggol
Mate ponggol berarti meninggal pada saat berusia dewasa namun belum menikah.
Tradisi atau prosesi adat kematian sama dengan mate dakdanak dan mate bulung,
yaitu jenazah ditutupi ulos oleh tulang.

Tingkatan prosesi kematian di atas adalah bagi jenazah yang belum berumah
tangga. Berikut ini adalah tingkatan tradisi prosesi kematian bagi yang telah
berumah tangga atau telah memiliki keturunan : 
Mate Di Paralang-alangan atau Mate Punu
Mate Di Paralang-alangan atau Mate Punu berarti meninggal pada saat sudah
berumah tangga (sudah menikah) namun belum memiliki keturunan. 
Mate Mangkar
Mate mangkar berarti meninggal pada saat sudah menikah (berumah tangga) dan
meninggalkan beberapa orang anak yang masih kecil-kecil.

Mate Hatungganeon
Mate Hatungganeon berarti meninggal dan sudah memiliki anak-anak, beberapa di
antara anaknya sudah ada yang menikah namun belum memiliki cucu. 

Mate Di Paralang-alangan, Mate Mangkar dan Mate Hatungganeon prosesi


adatnya lebih sarat dibandingkan dengan 5 tingkatan kematian sebelumnya,
namun sudah memberlakukan peranan dalihan na tolu di dalamnya. Biasanya
hanya berupa kebaktian atau seremonial tanpa ada unsur musik atau gondang.

Mate Sari Matua


Mate Sari Matua berarti meninggal dengan meninggalkan anak-anaknya dan
sudah pula bercucu, namun ada di antara anak-anaknya tersebut yang belum
menikah. Prosesi adat Mate Sari Matua biasanya telah melibatkan unsur musik
atau gondang di dalamnya, dan dalam pengerjaannya memberlakukan urutan
panggilan tulang atau hula-hula ke tingkatan yang lebih tinggi (biasanya pada
tingkatan marga tulang dari nenek (marga dari saudara laki-laki nenek) dalam hal
pemberian ulos kepada keturunan yang ditinggalkan pada saat manortor di depan
peti jenazah yang masih terbuka.

Mate Saur Matua


Mate Saur Matua berarti meninggal dalam keadaan anak-anaknya sudah menikah
semua dan sudah memiliki anak (cucu dari orang yang meninggal tersebut).

Mate Saur Matua Bulung


Mate Saur Matua Bulung berarti meninggal dengan meninggalkan anak-anaknya
yang telah menikah dan memiliki cucu, bahkan cucunya sudah pula berketurunan
(cicit dari orang yang meninggal tersebut)

Dalam budaya Batak, Mate Saur Matua dan Mate Saur Matua Bulung merupakan
tingkatan prosesi atau upacara adat yang tertinggi. Hal ini disebabkan dengan
asumsi bahwa orang yang meninggal tersebut berstatus tidak memiliki tanggungan
lagi. Tingkatan marga tulang atau hula-hula biasanya telah mencapai tingkatan
marga tulang atau saudara laki-laki ibu dari kakek orang yang meninggal tersebut
(bona ni ari).

Sebagai informasi untuk mengilustrasikan tingkatan-tingkatan tersebut, yang


disebut atau dipanggil untuk memberikan ulos kepada keturunan dari yang
meninggal tersebut adalah urutan tulang atau hula-hula si laki-laki. Jadi ketika
peranan hula-hula dan tulang sudah berlaku pada Sari Matua, Saur Matua dan
Saur Matua Bulung, meskipun yang meninggal adalah si perempuan meskipun
suaminya masih hidup maupun sudah mati, pada saat manortor atau ketika bunyi
musik sudah terdengar sebagai prosesi pemberian ulos (mangulosi) tetaplah dari
urutan tulang atau hula-hula si laki-laki (naik ke atas) sedangkan urutan tertinggi
dari si perempuan adalah tulang (marga saudara laki-laki ibunya).

sejarah suku batak

 
baju adat khas suku batak
Minggu, 18 Juli 2010

ADAT DAN BUDAYA SUKU BATAK


ADAT ISTIADAT SUKU BATAK(RUHUT NI ADAT BATAK) 

Aturan adat adalah acuan atau cerminan untuk melaksanakan adat didalam sukacita maupun
dukacita yang pelaksanaannya harus didasarkan pada falsafah “ DALIHAN NATOLU “ serta
memperhatikan nasihat nenek moyang ( Poda Ni Ompunta)

* Jolo diseat hata asa diseat raut ( di bicarakan sebelum dilaksanakan)


* Sidapot solup do na ro (mengikuti adat suhut setempat)
* Aek Godang tu aek laut, dos ni roha nasaut (Musyawarah mufakat ).

PESTA PERNIKAHAN PADA SUKU BATAK

1. Pada acara pesta perkawinan yang mutlak (mortohonan) suhi ni ampang ñaopat :

a. Pihak paranak (pengantin lelaki) yang terima ulos :

1. Ulos Pansamot : Orang tua pengantin

2. Ulos Paramaan : Abang / adik Orangtua Pengantin

3. Ulos Todoan : Abang / adik Ompung Suhut Pengantin

4. Ulos Sihunti Ampang : Saudara (Ito) atau Namboru Pengantin

b. Pihak Parboru (pengantin perempuan) yang terima sinamot :

1. Sijalo Bara / Paramai : Abang / adik pengantin

2. Sijalo Upa Tulang : Tulang pengantin

3. Sijalo Todoan : Abang / adik Ompung Suhut Pengantin atau

Simandokhon Ito pengantin *(sesuai Hasuhuton&Tonggo Raja).

4. Sijalo Upa Pariban : Kakak atau Namboru Pengantin

c. Urutan Pelaksanaan:

1. Ulos Hela diberikan setelah Ulos Pansamot.

2. Sijalo Paramai diberikan setelah sinamot nagok diterima Suhut Parboru.

2. Pada acara Adat Perkawinan yang harus diperhatikan :

a. Tintin marangkup diberikan kepada Tulang Pengantin pria, bila perkawinan dengan

Pariban Kandung (Boru Tulang), tidak ada Tintin Marangkup.

b. Jumlah Tintin Marangkup, sesuai kesepakatan demikian Panandaion bila ada.

c. Ulos yang diturunkan (tambahan) tidak boleh melebihi tanggungan Parboro.

d. Uang Pinggan Panungpunan, disesuaikan dengan besarnya Sinamot.

e. Undangan pada acara adat Boru Sihombing atau Bere Sihombing, suhu – suhu Ompu yang
menerima Sinamot / Tintin Marangkup / Upa Tulang , wajib memberikan ulos Herbang, selain
yang memberi ulos Herbang, boleh memberi uang (pembeli ulos).

PESTA UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL


Pada Acara Adat Kematian (meniggal dunia), ulos yang berjalan dan acara sesuai tingkat
kematian :

1. Meninggalnya dari usia anak-anak sampai usia berkeluarga :

a. Anak-anak dan Boru Sihombing remaja : Lampin atau Saput dari orangtua.

b. Remaja / Pemuda Sihombing : Saput dari Tulang-nya.

c. Kembali dari makan tidak ada acara adat lagi.

2. Meninggal Suami / Isteri :

a. Tingkat kematian ditetapkan dalam Parrapoton / Tonggo Raja.

b. Ulos Saput / Tutup Batang Suami dari Tulang-nya, Ulos Tujung/ Sampetua Istri dari Hula –
hula.

c. Ulos Saput / Tutup Batang Istri dari Hula – hula, Ulos Tujung/ Sampetua Suami dari
Tulangnya.

d. Urutan pelaksanaan : Saput lebih dulu baruTujung (berubah sesuai kondisi).

e. Tingkat kematian Sarimatua, kembali dari makam ada Acara Buka Tujung, bagi yang masih
menerima Tujung.

f. Tingkat kematian Saurmatua, kembali dari makam ada Acara Buka Hombung.

g. Suami meninggal, Tulang-nya Siungkap Hombung; Istri meninggal, Hula-hulanya.

PARJAMBARAN DI SUKU BATAK

Pada setiap Acara Adat Pesta Perkawinan dan kematian berjalan Parjambaran, pada

dasarnya sebelum pelaksanaan harus dibicarakan lebih dahulu :

1. PARJAMBARAN DI ACARA ADAT PESTA PERKAWINAN, PANJUHUTI-NYA PINAHAN / SIGAGAT


DUHUT.

a. Mengkawinkan anak laki – laki :

- Bila adatnya alap jual : Parjambaran Sidapot Solup na Ro

- Bila adatnya Taruhon Jual :

Osang utuh diparanak, untuk diberikan kepada hula-hula (Sijalo Tintin Marangkup), ihur-ihur
(Upa Suhut) diparanak dan diberikan Ulak Tando Parboru,

Somba – somba dan soit dibagi dua dan parngingian (kiri) di Paranak :

(1). Somba – somba untuk Horong Hula-hula dan Tulang Rorobot.

(2). Soit untuk Horong Dongan Tubu, Pariban, Ale-ale, Dongan Sahuta, dll.

(3). Parngingian / Parsanggulan untuk Boru / Bere.

(4). Ikan (dengke) dari Parboru untuk Hasuhuton.

b. Mengawinkan anak Perempuan :

- Bila adatnya Taruhon Jual : Parjambaran Sidapot Solup na Ro.


- Bila adatnya Taruhon Jual :

Osang Utuh di Parboru untuk diberikan ke Hula-hula dan Tulang Rorobot.

Ihur – ihur (Upa Suhut) di Parboru untuk Hasuhuton

Somba – somba dan Soit dibagi dua dan parngingian(kanan) di Parboru :

(1). Somba –somba untuk Horong Hula-hula dan Tulang Rorobot.

(2). Soit untuk Horong Dongan Tubu, Pariban, Ale – ale, Dongan Sahuta, dll.

(3). Parsanggulan / Parngingian untuk Boru / Bere.

2. PARJAMBARAN DI ACARA KEMATIAN SARI / SAURMATUA, BOAN SIGAGAT DUHUT


(Contoh) :

Ulaon : Borsak Simonggur.

Hasuhuton : Hutagurgur.

Bona ni Hasuhutin : Tuan Hinalang.

Suhut Bolon : Datu Parulas.

A. DONGANSABUTUHA

1. Panambuli : Anggi Doli Hariara.

2. Pangalapa / Pamultak : Raung Nabolon.

3. Panambak / Sasap : Dongan Tobu.

4. Ihur – ihur / Upa Suhut : Datu Parulas.

5. Uluna / Sipitudai : Jambar Raja (Parsadaan dan Punguan)

Orang biasanya diberikan ke Protokol dan Sitoho-toho.

6. Ungkapan : Haha Doli Suhut Bolon.

7. Gonting : Anggi Doli Suhut Bolon.

B. BORU / BERE / IBEBERE

1 . Tanggalan Rungkung Partogi : Boru ni Prsadaan.

2. Tanggalan Rungkung Mangihut : Boru ni Punguan.

3. Tanggalan Rungkung Bona – bona : Boru Diampuan/Bere – Ibebere.

C. HULA – HULA

1. Tulan Bona : Pangalapan Boru/Hula-hula Tangkas.

2. Tulan Tombuk : Namamupus/Tulang.

3. Somba – somba Siranga : Tulang Rorobot, Bona Tulang, Bona Hula.

Somba – somba Nagok :Bona na ari.


4. Tulan :P arsiat (Hula-hula, Haha Anggi, & Anak Manjae)

D. DONGAN SAHUTA / RAJA NARO.

1. Botohon : Sipukkha Huta/Dongan Sahuta.

2. Ronsangan : Pemerintah setempat.

3. Soit Nagodang : Paariban, Ale-ale, Pangula ni Huria, Partungkoan.

4. Bonian Tondi : Pangalualuan ni Nipi (teman curhat).

5. Sitoho-toho : Surung-surung ni namanggohi adat (orang yang sering

datang).

6. Pohu : Penggenapi isi tandok Hula-hula

7. Sohe/Tanggo : Penggenapi jambar yang belum dapat, dan lain-lain.

3. PENJELASAN BENTUK DAN LETAK PARJAMBARAN

A. NAMARMIAK-MIAK (PINAHAN LOBU)

1. Osang-osang : rahang bawah

2. Parngingian : kepala bagian atas

3. Haliang : leher

4. Somba-somba : rusuk

5. Soit : persendian

6. Ihur-ihur/Upa Suhut : bagian belakang sampai ekor

B. SIGAGAT DUHUT

1. Uluna/Sipitu dai : kepala atas dan bawah (tanduk

namarngingi dan osang)

2. Panamboli : potongan leher (sambolan)

3. Pangalapa/Pultahan : perut bagian bawah (tempat belah)

4. Panambak/Sasap : pangkal paha depan

5. Ungkapan : pangkal rusuk depan

6. Gonting : pinggul/punggul

7. Upa Suhut / Ihur-ihur : bagian belakang sampai ekor

8. Tanggalan Rungkung : leher (depan sampai dengan badan)

9. TulanG Bona : paha belakang

10. TulanG Tombuk : pangkal paha belakang

11. Somba-somba Siranga : rusuk-rusuk besar


12. Somba-somba Nagok : rusuk paling depan (gelapang)

13. TulanG(soit) : kaki di bawah dengkul

14. Botohon : paha depan

15. Ronsangan : tulang dada ( pertemuan rusuk)

16. Soit Nagodang : persendian

17. Bonian Tondi : pangkal rusuk iga

18. Sitoho-toho : sebagian dari osang bawah

19. Pohu : bagian-bagian kecil

20. Sohe/Tanggo-tanggo : cincangan

Si gagat duhut

MANGADATI

Mangadati adalah pelaksanaan ”menerima.membayar” adat perkawinan (marunjuk) yang


telah menerima pemberkatan nikah sebelumnya, dimana kedua belah pihak orangtua
sepakat, adatnya dilaksanakan kemudian dan atau kawin lari (mangalua) dimana acara ini
dilaksanakan pihak pengantin laki-laki ( Paranak). Karena itu ”mangadati” tidak sama dan
bukanlah manjalo sulang-sulang ni pohompu.

A. Tahapan yang harus dipenuhi sebelum Mangadati :

1. Pada acara partangiangan (pengucapan syukur) pemberkatan nikah, Paranak wajib


mengantar ”Ihur-ihur” kepada pihak pengantin perempuan (Parboru) sebagai bukti bahwa
putrinya telah di-paraja (dijadikan istri).

2. Pihak paranak melakukan acara manuruk-nuruk (suruk-suruk) meminta maaf dengan


membawa makanan adat kepada pihak Parboru(hula-hula).

3. Pihak Paranak melakukan pemberitahuan rencana ”mangadati” kepada pihak Parboru,


dengan membawa makan adat. Acara ini merancang (mangarangrangi) ”Somba ni uhum:
(sinamot), ulos herbang, dan yang berkaitan dengan mangadati.

B. Acara ”mangadati” dilaksanakan di tempat pihak Paranak, sehinga pelaksanaan sama


dengan pesta adat ”taruhon jual”, yakni pihak Parboru datang dalam rombongan membawa
beras, ikan, dan ulos.

C. Parjambaran: ”Sidapotsolup do naro”

MENDAMPINGI, MANGAMAI,MANGAIN

Pengertian umum adalah suatu proses untuk perkawinan campuran antara anaka / boru
dengan anak/boru suku/bangsa lain (Marga Sileban), dimana pelaksanaanya dilakukan sesuai
dengan adat Batak. Penerapannya dilakukan sesuai tahapan dan aturan masing-masing
sebagai berikut :

MENDAMPINGI. Marga Sileban yang berkehendak agar anaknya (pria/wanita) melangsungkan


perkawinan adat Batak dengan anak/boru Batak, Marga Sileban cukup meminta kepada satu
keluarga Sihombing yang mau mendampingi dengan fungsi sebagai wakil/juru bicara/Raja
parhata, dengan demikian :

1. Mendampingi Parboru, Sijalo Sinabot harus Marga Sileban, yang mendampingi hanya
menerima uang kehormatan saja.
2. Mendampingi Paranak, Sijalo Ulos Suhi ni Ampang Naopat harus keluarga suku lain (Marga
Sileban), yang mendampingi hanya menerima Ulos Pargomgom.
3. Yang mendampingi tidak boleh melakukan Tonggo / Ria Raja dan Papungu Tumpak.

MANGAMAI . Marga Sileban yang berkehendak agar anaknya (pria/wanita) melangsungkan


perkawinan adat Batak dengan anak/boru Batak. Marga Sileban harus datang secara adat,
membawa makanan na marmiak-miak, memohon kepada keluarga Sihombing yang mau
Mangamai dihadapan Dongan Tubu, Boru/Bere, Dongan Sahuta.

Dengan restu hadirin, yang Mangamai mangupa dengan menyatakan kesediaan untuk
melaksanakan tahapan adat perkawinan yang dimaksud pihak Marga Sileban, kemudian
Marga Sileban memberikan Piso-piso dan Pasituak Natonggi kepada semua hadirin. Sehingga
yang diamai dengan yang Mengamai sudah menjadi Dongan Sahundulan yang sifatnya
permanen.

Dalam hal Mangamai Paranak, yang menerima ulos diatur sebagai berikut :

Ulos Pansamot : Orangtua kandung Marga Sileban.

Ulos Paramaan : Yang Mangamai.

Ulos Todoan : Marga Sileban atau keluaga yang Mengamai.

Ulos Sihunti Ampang : Boru yang Mengamau atau Marga Sileban.

Ulos seterusnya diatur pembagiannya sesuai dengan kesepakatan.

Tintin Marangkup tetap harus diberikan ke Tulang pengantin pria Marga Sileban.

Dalam hal Mangamai Parboru, yang menerima Sinamot/tuhor diatur sebagai berikut :

Sinamot nagok : Orangtua kandung Marga Sileban.

Paramai : yang Mengamai.

Todoan : Marga Sileban atau yang Mengamai.

Pariban : Boru yang Mengamai atau Boru Marga Sileban.

Upa Tulang harus diberikan kepada Tulang pengantin wanita Marga Sileban.

Panandaion/Sipalas roha diatur pembagiaanya sesuai kesepakatan.

MANGAIN. Marga Sileban yang berkehendak anaknya (wanita) melangsungkan perkawinan


adat Batak dengan anak(pria) Batak. Marga Sileban harus datang secara adat, membawa
makanan namarmiak-miak, memohon kepada keluarga Sihombing yang mau Mangain
dihadapan Dongan Tubu,Boru/bere, Hula-hula/Tulang, Dongan Sahuta.

Tahapan Pelaksanaan:

1. Marga Sileban atau pendampinganya menyerahkan tudu-tudu sipanganon.


2. Marga Sileban menyerahkan putrinya kepada yang Mangain.
3. Yang Mangain, marmeme dan manghopol dengan Ulos Mangain.
4. Hula – hula yang Mangain (Tulangna) memberikan ulos parompa.
5. Marsipanganon.
6. Hata Sigabe-gabe.

Yang Mangain akan menempatkan yang diain pada urutan anggota keluarga yang tidak
mengubah Panggoran (buha baju) yang sudah ada. Selanjutnya, keluarga yang Mangain
bertanggung jawab melaksanakan kewajiban adat Batak kepada yang diain. Pada acara
perkawinan yang diain, yang menerima Sinamot Nagok dan Suhi ni Ampang Naopat adalah
yang Mangain dan keluarga. Orangtua kandung marga Sileban menerima
Sinamot(panandaion) sebagai penghargaan atau penghormatan.
Pada dasarnya kedudukan Anak atau Boru yang Didampingi, Diamai, Diain, tidak sama, dan
tidak punya kaitan apapun dengan ”pewarisan”. Masing masing hanya terbatas pada proses
adat yang dilakukan.

MANGANGKAT /MENGADOPSI ANAK UNTUK DAIJADIKAN SEBAGAI ANK ATAU


CUCU(PANGGOARI)

Suatu proses seorang anak (pria atau wanita) masuk dalam keluarga menjadi anak/boru, baik
karena belum mempunyai keturunan maupun karena suatu hal.

1. Meminta persetujuan Haha/Anggi dan Ito, serta Hulua-hula(sekandung).


2. Mengurus kelengkapan dari catatan sipil.
3. Mengurus babtisan dari gereja.
4. Melakukan pengukuhan secara adat dihadapan :

- Dongan Tubu

- Hula – hula dan Tulang

- Boru / Bere

- Dongan Sahuta

- Raja Bius (Parsadaan dan Punguan)

5. Untuk acara pengukuhan Boru (putri) oleh namarmiak-miak, tetapi untuk pengukuhan anak
(putra) sebaiknya sigagat duhut, karena kehadirannya. Selain pewaris juga akan menjadi
penerus keturunan.

Tahapan pelaksanaan :

1. Penjelasan tentang tata cara.


2. Pasahat tudu-tudu sipanganon
3. Hula-hula dan Tulang mangupa / marmeme dan memberi Ulos Parompa
4. Marsipanganon
5. Yang Mangangkat menyerahkan Piso-piso dan Pasituak Natonggi kepada semua undangan
(Upa Raja Natinonggo).
6. Pasahat Piso-piso dan Pasituak Natonggi kepada hadirin.
7. Hata Sigabe-gabe.

ULOS HERBANG

Ulos Herbang untuk diberikan ke pihak Paranak pada acara perkawinan Boru Sihombing
banyaknya 17 (tujuh belas) lembar, bila ada tambahan/titilan Paranak, tidak boleh lebih dari
yang disediakan Sihombing dan Ulos Herbang yang akan diterima pada acara perkawinan anak
(putra) Sihombing Banyaknya tidak dibatasi. Dalam menentukan banyaknya Ulos Herbang,
hendaknya tetap memperhitungkan waktu penyerahan.

Ulos Batak, Pesona Seni Dan Budaya Suku


Batak Dalam Balutan Kain Tenun
Posted on October 17, 2014 at 16:19.

Written by Rotua Sitompul and 1,221 views


Wisata di Sumatera Utara sudah dikenal di Indonesia, mulai dari keindahan pulau Samosir,
pesona Danau Toba, kuliner di Medan hingga budaya dan adat istiadat yang menarik untuk
dipelajari. Beragam tempat wisata menawarkan wisata alam dan peninggalan sejarah yang
menyuguhkan pesona seni dan budaya daerah seperti Kain Ulos Batak.
Semua objek wisata di Sumatera Utara tersebar di banyak desa-desa, salah satunya di
kawasan pulau Samosir. Pulau ini sangat eksotik yang dikelilingi oleh Danau Toba. Pulau
ini mayoritas dihuni oleh Suku Batak yang masih menghormati dan menjunjung tinggi adat
dan budaya warisan sang leluhur hingga kini. Kebudayaan suku Batak juga diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku ini.

Gordang, Gendangnya Suku Batak


Toba
Terkenal dengan Danau Tobanya, Pulau Sumatera Utara menjadi salah satu pulau di
Sumatera yang terkenal indah. Tidak hanya terkenal dengan keindahan objek
wisatanya, Sumatera Utara juga memiliki alat musik yang khas yaitu Gordang.
Gordang merupakan gendang yang dipukul berirama. Gordang telah menjadi bagian
masyarakat Batak sejak nenek moyang terdahulu.

Gordang terbuat dari kayu yang dilapisi dengan kulit sapi atau kerbau. Biasanya
gordang terdiri dari 6 sampai 9 gendang yang telah disusun.
Alat musik Gordang biasa digunakan untuk mengiringi musik gondang pada upacara
dan acara yang bersifat tradisional.

Ukuran dari setiap gendang yang tersusun tidaklah sama. Gendang-gendang ini
diurutkan dari yang kecil hingga semakin besar ke arah kanan. Hal ini dimaksudkan
untuk memberikan irama yang pas saat dimainkan. [Riky/IndonesiaKaya]
Salah satu kecamatan di Pulau ini yakni Pangururan menawarkan berbagai wisata lengkap.
Disana, setiap pengunjung dapat menjelajahi alam menawan yang menyegarkan seperti
Pemandian Air Panas Aek Rangat atau mengunjungi berbagai tempat dan benda
peninggalan Belanda di Bangunan Pesanggrahan dan Patung Liberty Malau dan mengenal
salah satu ciri khas suku Batak yakni Kain Ulos Batak.
Kain ini adalah pelengkap busana masyarakat Batak. Kain yang sejatinya dibuat dengan
alat tenun tradisional dengan beragam corak, warna, dan jenis Ulos yang dapat Anda lihat.
Perbedaan warna dan corak memperlihatkan perbedaan status sosial dalam masyarakat.
Ingin melihat proses pembuatan ulos tenun ini? Datang saja ke desa Lumbah Suhi-Suhi.
Disana, anda dapat menjumpai penduduk yang menenun Ulos dengan alat tradisional. Desa
ini berjarak sekitar 4 km dari Pangururan. Di sana, Anda akan melihat proses pembuatan
Ulos secara langsung, mulai dari memintal benang sampai merajut benang.

Hampir semua wanita di desa ini bekerja sebagai pengrajin Kain Ulos. Ini menjadi tradisi
yang sudah dilakukan secara turun temurun di desa ini. Tentunya pemandangan ini menarik
menyaksikan wanita yang mahir memakai alat tenun tradisional dari kayu. Disana, Anda
juga dapat mempelajari mengenai sejarah kain khas Suku Batak ini.
Untuk Anda yang ingin berkunjung ke desa ini, dapat menaiki kendaraan yang dapat
disewa di Pangururan. Hanya perlu waktu sekitar 30 menit untuk sampai di Desa Lumban
Suhi – Suhi ini dan bersiaplah menjelajahi dan mengenal Kebudayaan suku Batak yakni
Kain Ulos Batak.
Penulis : Rotua Sitompul
Photo    : Indonesia.travel.com
Do you love this article?

Rating: 0.0/5 (0 votes cast)

 tags - Kain Ulos Batak, Kebudayaan suku Batak

Yang Berkaitan dengan : Ulos Batak, Pesona Seni Dan Budaya Suku

Batak Dalam Balutan Kain Tenun

Sambut KAA Dengan Permainan 20 Ribu Angklung

Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika tinggal menghitung hari. Berbagai..


SINOPSIS BUKU - Konsepku Membangun Bangso Batak : Manusia, Agama dan Budaya
Patut dicatat memang, sejak sekitar tahun 1980-an khususnya HKBP, prestasinya dalam penginjilan
tidak lagi bersinar. Mereka seakan melemah dalam penginjilannya, karena berbagai alasan, antara
lain:
a.kepemimpinan yang rapuh.
b.kebersamaan yang tidak utuh.
c.fokus pelayanan tidak merata dan gamang.
d.daya kreasi dalam metode serta sistem pelayanan yang monoton ketinggalan dibandingkan dengan
sistem yang dipergunakan denominasi lainnya.
e.tantangan masa dan zaman dalam globalisasi yang tidak dijawab secara tepat dan benar.
f.layanan para pendeta dan pimpinan gereja ada yang kurang berkenan bagi warga sendiri.
g.warga mempunyai pilihan secara bebas tentang gereja dan kebaktian di mana mereka ikut berbaur
dan menyatu.
Momentum peringatan 150 tahun HKBP tahun 2011, kiranya menjadi salah satu momen khusus bagi
HKBP secara menyeluruh, pengurus dan warganya, untuk kembali merenung serta mengkaji berbagai
hal yang dinikmati masa lalu dan dipergumulkan selama
ini.                                                                                    (Ev. John B.Pasaribu Ph.D)

                                                             ***

…..Pelayanan sosial Elim HKBP sifatnya adalah humanis universal. Artinya membantu manusia untuk
tetap hidup sebagai manusia yang bermartabat. Sebagai manusia yang diciptakan Tuhan untuk turut
hidup meramaikan dunia ini. Sebagai lembaga yang didirikan oleh satu gereja berbasis etnis Batak,
tentunya landasan kulturalnya sangat kuat, yakni budaya Batak. Di dalam kebudayaan Batak pada
umumnya ada filosofi yang kuat untuk saling membantu sesama mereka. Salah satu filosofi itu ialah
saling membantu, saling gotong royong. Ungkapan yang kuat milik orang Batak, terutama Toba ialah
si sada anak, si sada boru. Si sada lungun si sada las ni roha. Artinya kepemilikan kolektif.  

 
 

MENGENAL ULOS BATAK(pakaian adat batak)


Makna dan arti Ulos dalam masyarakat batak
ULOS adalah
kain tenun khas Batak berbentuk selendang, yang melambangkan ikatan kasih sayang antara
orang tua dan anak-anaknya atau antara seseorang dan orang lain, seperti yang tercantum
dalam filsafat batak yang berbunyi: “Ijuk pengihot ni hodong.” Ulos penghit ni halong, yang
ertinya ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih sayang diantara
sesama.Pada mulanya fungsi Ulos adalah untuk menghangkan badan, tetapi kini Ulos memiliki
fungsi simbolik untuk hal-hal lain dlam segala aspek kehidupan orang Batak. Ulos tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan orang Batak. Setiap ulos mempunyai ‘raksa’ sendiri-sendiri, ertinya
mempunyai sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan hal atau benda tertentu.
Dalam pandangan suku kaum Batak, ada tiga unsur yang mendasarkan dalam kehidupan
manusia, iaitu darah, nafas, dan panas. Dua unsur terdahulu adalah pemberian Tuhan,
sedangkan unsur ketiga tidaklah demikian. Panas yang diberikan matahari tidaklah cukup
untuk menangkis udara dingin dipemukiman suku bangsa batak, lebih-lebih lagi diwaktu
malam.Menurut pandangan suku bangsa batak, ada tiga sumber yang memberi panas kepada
manusia, iaitu matahari, api dan Ulos. Ulos berfungsi memberi panas yang menyihatkan badan
dan menyenangkan fikiran sehingga kita gembira dibuatnya
Pada jaman dahulu sebelum orang batak mengenal tekstil buatan luar, ulos adalah pakaian
sehari-hari. Bila dipakai laki-laki bagian atasnya disebut “hande-hande” sedang bagian bawah
disebut “singkot” kemudian bagian penutup kepala disebut “tali-tali” atau “detar”.
Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen”, untuk penutup
pungung disebut “hoba-hoba” dan bila dipakai berupa selendang disebut “ampe-ampe” dan
yang dipakai sebagai penutup kepala disebut “saong”.
Apabila seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut “hohop-
hohop” sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa”.
Sampai sekarang tradisi berpakaian cara ini masih bias kita lihat didaerah pedalaman
Tapanuli.
Tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugia, ragi
hidup, ragi hotang dan runjat. Biasanya adalah simpanan dan hanya dipakai pada waktu
tertentu saja.
Proses pembuatan ulos batak.
Bagi awam dirasa sangat unik. Bahan dasar ulos pada umumnya adalah sama yaitu sejenis
benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan sebuah ulos adalah proses
pembuatannya. Ini merupakan ukuran penentuan nilai sebuah ulos.
Untuk memberi warna dasar benang ulos, sejenis tumbuhan nila (salaon) dimasukkan
kedalam sebuah periuk tanah yang telah diisi air. Tumbuhan ini direndam (digon-gon) berhari-
hari hingga gatahnya keluar, lalu diperas dan ampasnya dibuang. Hasilnya ialah cairan
berwarna hitam kebiru-biruan yang disebut “itom”.
Periuk tanah (palabuan) diisi dengan air hujan yang tertampung pada lekuk batu (aek ni
nanturge) dicampur dengan air kapur secukupnya. Kemudian cairan yang berwarna hitam
kebiru-biruan tadi dimasukkan, lalu diaduk hingga larut. Ini disebut “manggaru”. Kedalaman
cairan inilah benang dicelupkan.
Sebelum dicelupkan, benang terlebih dahulu dililit dengan benang lain pada bahagian-
bahagian tertentu menurut warna yang diingini, setelah itu proses pencelupan dimulai secara
berulang-ulang. Proses ini memakan waktu yang sangat lama bahkan berbulan-bulan dan ada
kalahnya ada yang sampai bertahun.
Setelah warna yang diharapkan tercapai, benang tadi kemudian disepuh dengan air lumpur
yang dicampur dengan air abu, lalu dimasak hingga mendidih sampai benang tadi kelihatan
mengkilat. Ini disebut “mar-sigira”. Biasanya dilakukan pada waktu pagi ditepi kali atau
dipinggiran sungai/danau.
Bilamana warna yang diharapkan sudah cukup matang, lilitan benang kemudian dibuka untuk
“diunggas” agar benang menjadi kuat. Benang direndam kedalam periuk yang berisi nasi
hingga meresap keseluruh benang. Selesai diunggas, benang dikeringkan.
Benang yang sudah kering digulung (dihulhul) setiap jenis warna.
Setelah benang sudah lengkap dalam gulungan setiap jenis warna yang dibutuhkan pekerjaan
selanjutnya adalah “mangani”. Benang yang sudah selesai diani inilah yang kemudian masuk
proses penenunan.
Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa cara pembuatannya
yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi.
Seperti telah diutarakan diatas, ulos Batak mempunyai bahan baku yang sama. Yang
membedakan adalah poses pembuatannya mempunyai tingkatan tertentu. Misalnya bagi anak
dara, yang sedang belajar bertenun hanya diperkenankan membuat ulos “parompa” ini disebut
“mallage” (ulos yang dipakai untuk menggendong anak).
Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna motif yang diinginkan.
Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut
“marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos
Batak
Jenis Ulos
1.Ulos Jugia
Ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau “pinunsaan”.
Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos “homitan”
yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” (berupa Iemari pada jaman dulu
kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan
kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata lain “naung gabe” (orang tua yang sudah
mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan).
Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai keturuan walaupun
telah mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang tua tersebut belum bisa disebut atau
digolongkan dengan tingkalan saur matua. Hanya orang yang disebut “nagabe” sajalah yang
berhak memakai ulos tersebut. Jadi ukuran hagabeon dalam adat suku Batak bukanlah
ditinjau dari kedudukan pangkat maupun kekayaan.
Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan benda langka hingga
banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering menjadi barang warisan orang tua kepada
anaknya dan nialainya sama dengan “sitoppi” (emas yang dipakai oleh istri raja pada waktu
pesta) yang ukurannya sama dengan ukuran padi yang disepakati dan tentu jumlah besar.
2. Ulos Ragi Hidup
Ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos ini adalah yang paling
tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat pemakainya dalam upacara adat Batak .
Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka
cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat pertengahan. Pada
jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak
yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang
membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan
tubu.
Dalam system kekeluargaan orang Batak. Kelompok satu marga ( dongan tubu) adalah
kelompok “sisada raga-raga sisada somba” terhadap kelompok marga lain. Ada pepatah yang
mengatakan “martanda do suhul, marbona sakkalan, marnata do suhut, marnampuna do
ugasan”, yang dapat diartikan walaupun pesta itu untuk kepentingan bersama, hak yang punya
hajat (suhut sihabolonan) tetap diakui sebagai pengambil kata putus (putusan terakhir).
Dengan memakai ulos ini akan jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah.
Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan
secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan orang yang
berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas
bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos
(tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang. Kemudian hasil kerja
ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut ulos “Ragi Hidup”.
Mengapa harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu
tertentu menurut “hatiha” Batak (kalender Batak). Bila dimulai Artia (hari pertama) selesai di
Tula (hari tengah dua puluh).
Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang sulung sedang
yang lainnya memakai ulos “sibolang”. Ulos ini juga sangat baik bila diberikan sebagai ulos
“Panggabei” (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada saat itu nilai
ulos Ragi Hidup sama dengan ulos jugia.
Pada upacara perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos “Pansamot” (untuk orang
tua pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa pun. Dan
didaerah Simalungun ulos Ragi Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.
3. Ragi Hotang.
Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai ulos “Marjabu”.
Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti rotan (hotang).
Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan pengantin,
ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu
disatukan ditengah dada seperti terikat.
Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan
ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak) tersebut.
4. Ulos Sadum.
Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana
suka cita. Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya dipakai sebagai panjangki/parompa
(gendongan) bagi keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja. Untuk mengundang (marontang)
raja raja, ulos ini dipakai sebagai alas sirih diatas piring besar (pinggan godang
burangir/harunduk panyurduan).
Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan
dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering dipakai
sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering
pula diberi sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke daerah.
5. Ulos Runjat.
Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos “edang-edang”
(dipakai pada waktu pergi ke undangan). Ulos ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh
keluarga dekat menurut versi (tohonan) Dalihan Natolu diluar hasuhutan bolon, misalnya oleh
Tulang (paman), pariban (kakak pengantin perempuan yang sudah kawin), dan pamarai
(pakcik pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu “mangupa-upa”
dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni roha).
Kelima jenis ulos ini adalah merupakan ulos homitan (simpanan) yang hanya kelihatan pada
waktu tertentu saja. Karena ulos ini jarang dipakai hingga tidak perlu dicuci dan biasanya
cukup dijemur di siang hari pada waktu masa bulan purnama (tula).
6. Ulos Sibolang.
Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita. Untuk keperluan duka cita
biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya menonjol, sedang bila dalam acara suka cita dipilih
dari warna yang putihnya menonjol. Dalam acara duka cita ulos ini paling banyak
dipergunakan orang. Untuk ulos “saput” atau ulos “tujung” harusnya dari jenis ulos ini dan tidak
boleh dari jenis yang lain.
Dalam upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai “tutup ni ampang” dan juga bisa
disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang warnanya putihnya menonjol. Inilah yang disebut
“ulos pamontari”. Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala peristiwa adat maka ulos ini dinilai
paling tinggi dari segi adat batak. Harganya relatif murah sehingga dapat dijangkau orang
kebanyakan. Ulos ini tidak lajim dipakai sebagai ulos pangupa atau parompa.
7. Ulos Suri-suri Ganjang.
Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk sisir memanjang. Dahulu
ulos ini diperguakan sebagai ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul
gendang) ulos ini dipakai hula-hula menyambut pihak anak boru. Ulos ini juga dapat diberikan
sebagai “ulos tondi” kepada pengantin. Ulos ini sering juga dipakai kaum wanita sebagai sabe-
sabe. Ada keistimewaan ulos ini yaitu karena panjangnya melebihi ulos biasa. Bila dipakai
sebagai ampe-ampe bisa mencapai dua kali lilit pada bahu kiri dan kanan sehingga kelihatan
sipemakai layaknya memakai dua ulos.
8. Ulos Mangiring
Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan kesuburan dan
kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai ulos parompa kepada cucunya.
Seiring dengan pemberian ulos itu kelak akan lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya
sebagai temannya seiring dan sejalan. Ulos ini juga dapat dipakai sebagai pakaian sehari-hari
dalam bentuk tali-tali (detar) untuk kaum laki-laki. Bagi kaum wanita juga dapat dipakai
sebagai saong (tudung). Pada waktu upacara “mampe goar” (pembaptisan anak) ulos ini juga
dapat dipakai sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu. Bila mampe
goar untuk anak sulung harus ulos jenis “Bintang maratur”.
9. Bintang Maratur.
Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang yang teratur didalam
ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan.
Juga dalam hal “sinadongan” (kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang
timpang, semuanya berada dalam tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari
dapat dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe), juga dapat dipakai sebagai tali-tali atau
saong. Sedangkan nilai dan fungsinya sama dengan ulos mangiring dan harganya relatif
sama.
10. Sitoluntuho-Bolean.
Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak mempunyai
makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai ulos parompa.
Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan
sebagai ulos panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung keluarga
jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya berjejer tiga, merupakan “tuho” atau “tugal”
yang biasanya dipakai untuk melubang tanah guna menanam benih.
11. Ulos Jungkit.
Ulos ini jenis ulos “nanidondang” atau ulos paruda (permata). Purada atau permata merupakan
penghias dari ulos tersebut. Dahulu ulos ini dipakai oleh para anak gadis dan keluarga Raja-
raja untuk hoba-hoba yang dipakai hingga dada. Juga dipakai pada waktu menerima tamu
pembesar atau pada waktu kawin.
Pada waktu dahulu kala, purada atau permata ini dibawa oleh saudagar-saudagar dari India
lewat Bandar Barus. Pada pertengahan abad XX ini, permata tersebut tidak ada lagi
diperdagangkan. Maka bentuk permata dari ragi ulos tersebut diganti dengan cara
“manjungkit” (mengkait) benang ulos tersebut. Ragi yang dibuat hampir mirip dengan kain
songket buatan Rejang atau Lebong. Karena proses pembuatannya sangat sulit,
menyebabkan ulos ini merupakan barang langka, maka kedudukannya diganti oleh kain
songket tersebut. Inilah sebabnya baik didaerah leluhur si Raja Batak pun pada waktu acara
perkawinan kain songket ini biasa dipakai para anak gadis/pengantin perempuan sebagai
pengganti ulos nanidondang. Disinilah pertanda atau merupakan suatu bukti telah pudarnya
nilai ulos bagi orang Batak.
12. Ulos Lobu-Lobu.
Jenis ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang memerlukannya, karena ulos ini
mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama orang yang sering dirundung
kemalangan (kematian anak). Karenanya tidak pernah diperdagangkan atau disimpan
diparmonang-monangan, itulah sebabnya orang jarang mengenal ulos ini. Bentuknya seperti
kain sarung dan rambunya tidak boleh dipotong. Ulos ini juga disebut ulos “giun hinarharan”.
Jaman dahulu para orang tua sering memberikan ulos ini kepada anaknya yang sedang
mengandung (hamil tua). Tujuannya agar nantinya anak yang dikandung lahir dengan selamat.
Masih banyak lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos antara lain: Ragi Panai, Ragi
Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi Sapot,
Ragi si Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku,
Ulos Gipul, Ulos Takkup, dan banyak lagi nama-nama ulos yang belum disebut disini. Menurut
orang-orang tua jenis ulos mencapai 57 jenis.
Seperti telah diterangkan, ulos mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam upacara adat batak,
karena itu tidak mungkin kita bicarakan adat batak tanpa membicarakan hiou, ois, obit godang
atau uis yang kesemuanya adalah merupakan identintas orang Batak.
Tata Cara Pemberian Ulos (mangulosi)
Dikalangan orang batak sering terdengar ‘mengulosi’ yang ertinya memberi Ulos, atau
menghangatkan dengan ulos. Dalam kepercayaan orang-orang Batak, jika (tondi) pun perlu
diulos, sehingga kaum lelki yang berjiwa keras mempunyai sifat-sifat kejantanan dan
kepahlawanan, dan orng perempuan mempunyai sifat-sifat kethanan untuk melawan guna-
guna dan kemandulan.
Dalam hal mengulosi, ada aturan yang harus dipatuhi, antara lain orng hanya boleh mengulosi
mereka yang menurut kerabatan berada dibawahnya, misalnya orang tua boleh mengulosi
anak, tetapi anak tidak boleh mengulosi orang tua. Jadi dalam prinsip kekerabatn Batak yang
disebut ‘Dalihan Na tolu’, yang terdiri atas unsur-unsur hula-hula boru, dan dongan sabutuha,
seorang boru sam sekali tidak dibenarkn mengulosi hula-hulanya. Ulos yang diberikan dalam
mengulosi tidak boleh sebarangan, baik dalam macam maupun cara membuatnya.
Penerima Ulos
Menurut tata cara adat batak, setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos sejak lahir
hingga akhir hayatnya. Inilah yang disebut ulos “na marsintuhu” (ulos keharusan) sesuai
dengan falsafah dalihan na tolu. Pertama diterima sewaktu dia baru lahir disebut ulos
“parompa” dahulu dikenal dengan ulos “paralo-alo tondi”. Yang kedua diterima pada waktu dia
memasuki ambang kehidupan baru (kawin) yang disebut ulos “marjabu” bagi kedua pengantin
(saat ini desebut ulos “hela”).
Seterusnya yang ketiga adalah ulos yattg diterima sewaktu dia meninggal. dunia disebut ulos
“saput”.
I. Ulos Saat Kelahiran.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama apakah anak yang lahir tersebut anak sulung
atau tidak. Dan yang kedua apakah anak tersebut anak sulung dari seorang anak sulung dari
satu keluarga. 1. Bila yang lahir tersebut adalah anak sulung dari seorang ayah yang bukan
anak sulung maka yang mampe goar disamping sianak, hanyalah orangtuanya saja (mar
amani… ). 2. Sedang bila anak tersebut adalah anak sulung dari seorang anak sulung pada
satu keluarga maka yang mampe goar disamping sianak, juga ayah dan kakeknya (marama
ni… dan ompu ni… ).
Gelar ompu… bila gelar tersebut mempunyai kata sisipan “si”, maka gelar yang diperoleh itu
diperdapat dari anak sulung perempuan (ompung bao).
Bilamana tidak mendapat kata sisipan si… maka gelar ompu yang diterimanya berasal dari
anak sulung laki-laki (Ompung Suhut).
Untuk point pertama, maka pihak hula-hula hanya menyediakan dua buah ulos yaitu ulos
parompa untuk sianak dan ulos pargomgom mampe goar untuk ayahnya. Untuk sianak
sebagai parompa dapat diberikan ulos mangiring dan untuk ayahnya dapat diberikan ulos suri-
suri ganjang atau ulos sitoluntuho.
Untuk point kedua, hula-hula harus menyediakan ulos sebanyak tiga buah, yaitu ulos parompa
untuk sianak, ulos pargomgom untuk ayahnya, dan ulos bulang-bulang untuk ompungnya.
Seiring dengan pemberian ulos selalu disampaikan kata-kata yang mengandung harapan agar
kiranya nama anak yang ditebalkan dan setelah dianya nanti besar dapat memperoleh berkah
dari Tuhan Yang Maha Esa. Disampaikan melalui umpama (pantun). Pihak hula-hula
memberikan ulos dari jenis ulos bintang maratur, tetapi bila hanya sekedar memberi ulos
parompa boleh saja ulos mangiring.
II. Ulos Saat Perkawinan
Dalam waktu upacara perkawinan, pihak hula-hula harus dapat menyediakan ulos “si tot ni
pansa” yaitu; 1. Ulos marjabu (untuk pengantin), 2. Ulos pansamot/pargomgom untuk orang
tua pengantin laki-laki, 3. Ulos pamarai diberikan pada saudara yang lebih tua dari pengantin
laki-laki atau saudara kandung ayah, 4. Ulos simolohon diberikan kepada iboto (adek/kakak)
pengantin laki-laki. Bila belum ada yang menikah maka ulos ini dapat diberikan kepada iboto
dari ayahnya. Ulos yang disebut sesuai dengan ketentuan diatas adalah ulos yang harus
disediakan oleh pihak hula-hula (orang tua pengantin perempuan).
Adapun ulos tutup ni ampang diterima oleh boru diampuan (sihunti ampang) hanya bila
perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual). Bila
perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang
tidak diberikan.
Sering kita melihat begitu banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat.
Dahulu ulos inilah yang disebut “ragi-ragi ni sinamot”. Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot
(menerima sebahagian dari sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama
(pantun) dalam suku Batak disebut “malo manapol ingkon mananggal”. Pantun ini
mengandung pengertian, orang Batak tidak mau terutang adat.
Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk mempersingkat
waktu, berakibat kaburnya siapa penerima “goli-goli” dari ragi-ragi ni sinamot. Timbul
kedudukan yang tidak sepatutnya (margoli-goli) sehingga undangan umum (ale-ale) dengan
dalih istilah “ulos holong” memberikan pula ulos kepada pengantin.
Tata cara pemberian.
Sebuah ulos (biasanya ragi hotang) disediakan untuk pengantin oleh hula-hula. Orang tua
pengantin perempuan langsung memberikan (manguloshon) kepada kedua pengantin yang
disebut “ulos marjabu”. Apabila orang tua pihak perempuan diwakilkan kepada keluarga dekat,
maka dia berhak memberikan ulos kepada pengantin, akan tetapi bila orang tua laki-laki yang
diwakilkan, maka ulos pansamot harus diterima secara terlipat.
Sedangkan ulos pargomgom (untuk pangamai) dapat diterima menurut tata cara yang biasa,
dan pada peristiwa ini harus disediakan ulos sebanyak dua helai (ulos pasamot dan ulos
pargomgom). Dalam penyampaian ulos biasanya diiringi dengan berbagai pantun (umpasa)
dan berbagai kata-kata yang mengandung berkah (pasu-pasu). Setelah diulosi dilanjutkan
penyampaian beras pasu-pasu (boras sipir ni tondi) ditaburkan termasuk kepada umum
dengan mengucapkan “h o r a s” tiga kali.
Selanjutnya menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin laki-laki atau yang
mewakilinya dalam hal ini seiring dengan penyampaian umpasa dan kata-kata petuah.
Sesudah itu berjalanlah pemberian ulos si tot ni pansa kepada pamarai dan simolohon.
Biasanya pemberian ini disampaikan oleh suhut paidua (keluarga/turunan saudara nenek).
Setelah ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari tulang
(paman) pengantin laki-laki.
Tata cara urutan pemberian ulos adalah sebagai berikut; 1. Mula-mula yang memberikan ulos
adalah orang tua pengantin perempuan, 2. Baru disusul oleh pihak tulang pengantin
perempuan termasuk tulang rorobot, 3. Kemudian disusul pihak dongan sabutuha dari orang
tua pengantin perempuan yang disebut paidua (pamarai), 4. Kemudian disusul oleh oleh
pariban yaitu boru dari orang tua pengantin perempuan, 5. Dan yang terakhir adalah tulang
pengantin laki-laki, setelah kepadanya diberikan bahagian dari sinamot yang diterima parboru
dari paranak dari jumlah yang disepakati sebanyak 2/3 dari pihak parboru dan 1/3 dari
paranak. Bahagian ini disampaikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada
tulang/paman pengantin laki-laki, inilah yang disebut “tintin marangkup”.
III. Ulos Saat Kematian.
Ulos yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan kepada seseorang ialah ulos yang diterima
pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat (status memurut umur dan turunan) seseorang
menentukan jenis ulos yang dapat diterimanya.
Jika seseorang mati muda (mate hadirianna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos yang
disebut “parolang-olangan” biasanya dari jenis parompa.
Bila seseorng meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring) maka
kepadanya diberi ulos “saput” dan yang ditinggal (duda, janda) diberikan ulos “tujung”.
Bila yang mati orang tua yang sudah lengkap ditinjau dari segi keturunan dan keadaan
(sari/saur matua) maka kepadanya diberikan ulos “Panggabei”.
Ulos “jugia” hanya dapat diberikan kepada orang tua yang keturunannya belum ada yang
meninggal (martilaha martua).
Khusus tentang ulos saput dan tujung perlu ditegaskan tentang pemberiannya. Menurut para
orang tua, yang memberikan saput ialah pihak “tulang”, sebagai bukti bahwa tulang masih
tetap ada hubungannya dengan kemenakan (berenya).
Sedang ulos tujung diberikan hula-hula, dan hal ini penting untuk jangan lagi terulang
pemberian yang salah.
Tata cara pemberiannya.
Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga) maka tidak ada acara pemberian
saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga, setelah hula-hula
mendengar khabar tentang ini, disediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak tulang
menyediakan ulos saput. Pemberiannya diiringi kata-kata turut berduka cita (marhabot ni
roha). Setelah beberapa hari berselang, dilanjutkan dengan acara membuka (mengungkap)
tujung yang dilakukan pihak hula-hula. Setelah mayat dikubur, pada saat itu juga ada
dilaksanakan mengungkap tujung, tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Hula-hula menyediakan beras dipiring (sipir ni tondi), air bersih untuk cuci muka (aek
parsuapan), air putih satu gelas (aek sitio-tio). Pelaksanaan acara mengungkap tujung
umumnya dibuat pada waktu pagi (panangkok ni mata ni ari). Setelah pihak hula-hula
membuka tujung dari yang balu, dilanjutkan dengan mencuci muka (marsuap). Anak-anak
yang ditinggalkan juga ikut dicuci mukanya, kemudian dilanjutkan dengan penaburan beras
diatas kepala yang balu dan anak-anaknya.
Memberi ulos panggabei.
Bila seseorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh hula-hula akan
memberi ulos yang disebut ulos Panggabei. Biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang
meninggal akan tetapi kepada seluruh turunannya (anak, pahompu, dan cicit). Biasanya ulos
ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula-hula mulai dari hula-hula, bona tulang, bona ni ari,
dan seluruh hula-hula anaknya dan hula-hula cucu/cicitnya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini biasanya memakan waktu sangat lama, adakalanya
mencapai 3-5 hari acaranya. Biaya acaranya cukup besar, karena inilah acara puncak
kehidupan orang yang terakhir.
Yang Memberikan Ulos
Di wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak hula-hulalah yang
memberikan ulos kepada parboru/boru (dalam perkawinan). Tetapi diwilayah Pakpak / Dairi
dan Tapanuli Selatan, pihak borulah yang memberikan ulos kepada kula-kula (kalimbubu) atau
mora. Perbedaan spesifik ini bukan berarti mengurangi nilai dan makna ulos dalam upacara
adat.
Semua pelaksanaan adat batak dititik beratkan sesuai dengan “dalihan na tolu” (tungku/dapur
terdiri dari tiga batu) yang pengertiannya dalam adat batak ialah dongan tubu, boru, hula-hula
harus saling membantu dan saling hormat menghormati.
Di wilayah Toba yang berhak memberikan ulos ialah : 1. Pihak hula-hula (tulang, mertua, bona
tulang, bona ni ari, dan tulang rorobot). 2. Pihak dongan tubu (ayah, saudara ayah, kakek,
saudara penganten laki-laki yang lebih tinggi dalam kedudukan kekeluargaan). 3. Pihak
pariban (dalam urutan tinggi pada kekeluargaan).
Ale-ale (teman kerabat) yang sering kita lihat turut memberikan ulos, sebenarnya adalah diluar
tohonan Dalihan na tolu (pemberian ale-ale tidak ditentukan harus ulos, ada kalanya diberikan
dalam bentuk kado dan lain-lain).
Dari urutan diatas jelaslah bahwa yang berhak memberikan ulos adalah mereka yang
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan dari sipenerima ulos.

Jenis-jenis Ulos dan Fungsinya


Posted by Laek Ringo Star

Ulos Batak di kenal sebagai jati diri orang Batak sesuai dengan Budaya dan Adatnya. Suku Batak
sering menyebut dirinya sebagai “Bangso” Batak. Hal tersebut sesuai dengan sejarah yang melekat
pada suku tersebut. Dahulu suku Batak sudah memiliki Kerajaan sendiri, hal tersebut di tandai
dengan eksitensinya sebaga suku yang telah “Mardebata Mulajadi Nabolon” (pencipta yang maha
besar), memiliki Surat Aksara Batak, dan sudah pernah memiliki Uang tukar yakni Ringgit Batak
(Ringgit Sitio Suara), uning-uningan na marragam (musik yang beraneka ragam), memiliki Budaya
Adat, dan mempunyai Hukum adat tersendiri. 

Ulos Batak di anggap memiliki nilai-nilai tersendiri sesuai dengan makna dan fungsinya
berdasarkan ragam dan jenisnya. Keragaman ulos tersebut telah di tetapkan masing-masing sesuai
dengan makna dan tujuan pemberiannya.

Salah satu hasil karya seni masyarakat etnis Batak Toba adalah “Ulos”. Hasil karya yang
penuh dengan nilai-nilai estetika dan sekaligus sebagai bagian dari hakekat dan keberadaan
masyarakat suku itu sendiri. Sebagai sebuah hasil karya yang telah memiliki makna yang tinggi,
ulos telah menjadi bagian dari sebuah identitas yang memiliki nilai kultur yang tinggi serta
mengandung makna ekonomi dan juga makna sosial. Oleh karena itu peredaran ulos ini tidak akan
berjalan dengan sembarangan tanpa mempedomani makna dan nilai yang telah ditetapkan
berdasarkan aturan dan norma-norma adat yang telah disepakati. Artinya “Ulos” sesuai dengan
jenis dan maknanya akan di berikan dan di terima oleh orang yang telah tepat berdasarkan norma
dan aturan-aturan yang telah ada dengan mempedomani Falsafah adat Batak “Dalihan Natolu”.

Sebagai sebuah simbol, maka fungsi dan kedudukan seseorang dalam pelaksanaan acara
adat Batak Toba akan di ketahui melalui “Ulos” yang di pakai, di terima, dan yang di berikan sesuai
dengan ragam dan jenisnya.Jenis dan Fungsi Ulos Batak berdasarkan makna yang terkandung di
dalamnya adalah sebagai berikut :

1.   Ulos Antak-Antak


Ulos ini dipakai sebagai selendang orang tua untuk melayat orang yang meninggal, selain
itu ulos tersebut juga dipakai sebagai kain yang dililit pada waktu acara manortor (menari).

2.   Ulos Bintang Maratur

Ulos ini merupakan Ulos yang paling banyak kegunaannya di dalam acara-acara adat Batak
Toba yakni:

Kepada anak yang memasuki rumah baru. Keberhasilan membangun atau memiliki rumah
baru di anggap sebagai salah satu bentuk keberhasilan atau prestasi tersendiri yang tak ternilai
harganya. Tingginya penghargaan kepada orang yang telah berhasil membangun dan memiliki
rumah baru adalah karena keberhasilan tersebut dianggap sebagai suatu berkat dari Tuhan yang
maha Esa yang disertai dengan adanya usaha dan kerja keras yang bersangkutan di dalam
menjalani kehidupan.

Orang batak yang tinggal dan menetap di berbagai puak/horja di sekitar Tapanuli telah
memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda pula. Walaupun konsep dan pemahaman tentang adat
itu secara umum adalah sama, namun pada hal-hal tertentu ada kalanya memiliki perbedaan
dalam hal pemaknaan terhadap nilai dan konsep adat yang ada sejak turun-temurun. Oleh karena
itu pemberian Ulos Bintang Maratur khusus di daerah Silindung di berikan kepada orang yang
sedang bergembira dalam hal ini sewaktu menempati atau meresmikan rumah baru.

Secara khusus di daerah Toba Ulos ini diberikan waktu acara selamatan Hamil 7 Bulan
yang diberikan oleh pihak hula-hula kepada anaknya. Ulos ini juga diberikan kepada Pahompu
(cucu) yang baru lahir sebagai Parompa (gendongan) yang memiliki arti dan makna agar anak yang
baru lahir itu di iringi kelahiran anak yang  selanjutnya, kemudian ulos ini juga di berikan untuk
pahompu (cucu) yang baru mendapat babtisan di gereja dan juga bisa di pakai sebagai selendang.

3.   Ulos Bolean


Ulos ini biasanya di pakai sebagai selendang pada acara-acara kedukaan.

4.   Ulos Mangiring

Ulos ini dipakai sebagai selendang, tali-tali, juga Ulos ini diberikan kepada anak cucu yang
baru lahir terutama anak pertama yang memiliki maksud dan tujuan sekaligus sebagai Simbol
besarnya keinginan agar si anak yang lahir baru kelak diiringi kelahiran anak yang seterusnya, Ulos
ini juga dapat dipergunakan sebagai Parompa (alat gendong) untuk anak.

5.   Ulos Padang Ursa dan Ulos Pinan Lobu-lobu

Di pakai sebagai Tali-tali dan Selendang.

6.   Ulos Pinuncaan

Ulos ini terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang
kemudian disatukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu ulos. Kegunaannya antara lain:

1.    Di pakai dalam berbagai keperluan acara-acara duka cita maupun suka cita, dalam   acara adat ulos
ini dipakai/ di sandang oleh Raja-Raja Adat.
2.   Di pakai oleh Rakyat Biasa selama memenuhi beberapa pedoman misalnya, pada pesta perkawinan
atau upacara adat di pakai oleh suhut sihabolonon/ Hasuhuton (tuan rumah).

3.    Kemudian pada waktu pesta besar dalam acara marpaniaran (kelompok istri dari golongan hula-
hula), ulos ini juga di pakai/ di lilit sebagai kain/ hohop-hohop oleh keluarga hasuhuton (tuan
rumah).

4.    Ulos ini juga berfungsi sebagai Ulos Passamot pada acara Perkawinan. Ulos Passamot di berikan
oleh Orang tua pengantin perempuan (Hula-hula) kepada ke dua orang tua pengantin dari pihak
laki-laki (pangoli). Sebagai pertanda bahwa mereka telah sah menjadi saudara dekat.

7.   Ulos Ragi Hotang

Ulos ini di berikan kepada sepasang pengantin yang sedang melaksanakan pesta adat yang
di sebut dengan nama Ulos Hela. Pemberian ulos Hela memiliki makna bahwa orang tua pengantin
perempuan telah menyetujui putrinya di persunting atau diperistri oleh laki-laki yang telah di
sebut sebagai “Hela” (menantu). Pemberian ulos ini selalu di sertai dengan memberikan mandar
Hela (Sarung Menantu) yang menunjukkan bahwa laki-laki tersebut tidak boleh lagi berperilaku
layaknya seorang laki-laki lajang tetapi harus berperilaku sebagai orang tua. Dan sarung tersebut di
pakai dan di bawa untuk kegiatan-kegiatan adat.

8.   Ulos Ragi Huting

Ulos ini sekarang sudah Jarang di pakai, konon pada jaman dulu
sebelum Indonesia merdeka, anak perempuan (gadis-gadis) memakai Ulos Ragi Huting ini sebagai
pakaian sehari-hari yang dililitkan di dada (Hoba-hoba) yang menunjukkan bahwa yang
bersangkutan adalah seorang putri (gadis perawan) batak Toba yang ber-adat.

9.   Ulos Sibolang Rasta Pamontari

Ulos ini di pakai untuk keperluan duka dan suka cita, tetapi pada
jaman sekarang, Ulos Sibolang bisa dikatakan sebagai simbol duka cita, yang di pakai sebagai Ulos
Saput (orang dewasa yang meninggal tapi belum punya cucu) dan di pakai juga sebagai Ulos
Tujung untuk Janda dan Duda dengan kata lain kepada laki-laki yang ditinggal mati oleh istri dan
kepada perempuan yang di tinggal mati oleh suaminya. Apabila pada peristiwa duka cita Ulos ini
dipergunakan maka hal itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah sebagai keluarga dekat
dari orang yang meninggal.
10.   Ulos Si bunga Umbasang dan Ulos Simpar

Secara umum ulos ini hanya berfungsi dan di pakai


sebagai Selendang bagi para ibu-ibu sewaktu mengikuti pelaksanaan segala jenis acara adat-
istiadat yang kehadirannya sebatas undangan biasa yang di sebut sebagai Panoropi (yang
meramaikan) .

11.   Ulos Sitolu Tuho

Ulos ini di fungsikan atau di pakai sebagai ikat kepala atau selendang.

12.   Ulos Suri-suri Ganjang

Ulos ini di pakai sebagai Hande-hande (selendang) pada waktu


margondang (menari dengan alunanan musik Batak) dan juga di pergunakan oleh pihak Hula-hula
(orang tua dari pihak istri) untuk manggabei (memberikan berkat) kepada pihak borunya
(keturunannya) karena itu disebut juga Ulos gabe-gabe (berkat).

13.   Ulos Simarinjam sisi

Di pakai dan difungsikan sebagai kain dan juga di lengkapi


dengan Ulos Pinunca yang di sandang dengan perlengkapan adat Batak sebagai Panjoloani
(mendahului di depan). Yang memakai ulos ini adalah satu orang yang berada paling depan.
14.   Ulos Ragi Pakko dan Ulos Harangan

Pada zaman dahulu di pakai sebagai selimut bagi keluarga yang


berasal dari golongan keluarga kaya,  dan itu jugalah apabila nanti setelah tua dan meninggal akan
di saput (di selimutkan, dibentangkan kepada jasad) dengan ulos yang pakai Ragi di tambah Ulos
lainnya yang di sebut Ragi Pakko  karena memang warnanya hitam seperti Pakko.

15.   Ulos Tumtuman

Dipakai sebagai tali-tali yang bermotif dan di pakai oleh anak yang
menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah anak pertama dari hasuhutan (tuan rumah).

16.   Ulos Tutur-Tutur.

Ulos ini dipakai sebagai tali-tali (ikat kepala) dan sebagai Hande-hande (selendang) yang diberikan
oleh orang tua kepada anak-anaknya (keturunannya).Artikel Beranda Batak ini 
ni 5 Jenis Ulos dalam Tradisi Tenun
Batak  
RABU, 13 AGUSTUS 2014 | 20:00 WIB

Mahasiswa ITB asal Sumatera Utara mengenalkan jenis kain ulos pada Festival Seni dan Budaya ITB di sepanjang
Jalan Ganeca, Bandung, Jawa Barat, Minggu (25/3). TEMPO/Prima Mulia

TEMPO.CO, Jakarta - Merdi Sihombing menjelaskan seluk-beluk ulos termasuk


jenisnya. Dalam buku yang ditulisnya berjudul Perjalanan Tenun, Merdi menjelaskan
mengenai lima jenis ulos yang ada dan berlaku dalam tradisi Batak, di restoran
Palalada, Grand Indonesia, pada 12 Agustus 2014. Berikut ini kelima ulos itu.

1. Ulos jugja atau pinunsaa adalah ulos yang harga dan nilainya sangat mahal. Ulos
ini tidak boleh dipakai sembarangan. Kecuali orang yang sudah saur matua atu gabe,
yaitu orang tua yang semua anak laki-laki dan perempuannya sudah memberi cucu
laki-laki dan perempuan. Ulos jenis ini menjadi langka lantaran tak semua orang
mencapai status seperti ini. Karena kelangkaan ini, banyak yang tidak mengenalnya
dan sering menjadi barang warisan berharga dari orang tua kepada anaknya.

2. Ulos ragi idup bisa dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara adat maupun
sukacita. Dulu ulos ini dikenakan para raja hingga masyarakat kalangan menengah.
Pembuatan ulos jenis ini sangat unik dan berbeda dengan pembuatan ulos lainnya,
biasa dikerjakan secara gotong-royong dan terpisah oleh orang yang berbeda. Pada
kedua sisi ulos, kiri dan kanan atau ambi, dikerjakan oleh dua orang.

Adapun kepala ulos atas hingga bawah, disebut tinorpa, dikerjakan oleh dua orang lainnya. Ulos bagian tengah atau badan,

disebut tori,hanya dikerjakan satu orang. (Baca: Resepsi Adat, Duma Riris Pakai Gaun 10 Kilogram)

Hasil tenunan dari kelima orang ini lalu disatukan atau di-hot, maka dinamai ragi idup, yang memiliki makna pengerjaannya harus

selesai dalam waktu tertentu menurut hatiha atau kalender Batak. Ulos ini dikenakan saat upacara pernikahan yang diberikan oleh

orang tua pengantin perempuan kepada orang tua pengantin laki-laki sebagai ulos pasamol.
3. Ulos ragi hotang biasa diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada kedua mempelai yang tujuannya supaya ikatan

batin kedua mempelai kuat seperti hotang atau rotan.

4. Ulos sadum merupakan jenis ulos yang penuh warna-warni, biasa dikenakan pada waktu sukacita untuk pesta panen padi atau

merayakan sesuatu. Karena keindahannya, ulos ini sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan atau dibuat sebagai hiasan

dinding.

5. Ulos runjat merupakan jenis ulos yang dikenakan para orang kaya atau orang terpandang, yang menyebutnya ulos endang-

endang atau pergi ke undangan. Biasa diberikan untuk pengantin dari keluarga dekat atau upacara pemberian restu dalam suasana

sukacita, seperti syukuran menempati rumah baru.

HADRIANI P.

Pangantusion tu Ulos dohot pamangkena (Pemahaman akan


Ulos & Tata Cara Penggunaannya)
May 14, 2009 by Sampe Sitorus,SE (A. Hitado Managam)

HASIL PERADABAN
Ulos (lembar kain tenunan khas tradisional Batak) pada hakikatnya adalah hasil peradaban
masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu. Menurut catatan beberapa Ahli, ulos (baca:
tekstil) sudah dikenal masyarakat Batak pada abad ke-14 sejalan dengan masuknya alat
tenun tangan dari India. Hal itu dapat diartikan sebelum masuknya alat tenun ke Tanah
Batak masyarakat Batak belum mengenal ulos (tekstil).
Itu artinya belum juga ada budaya memberi-menerima ulos ( mangulosi). Kenapa? Karena
nenek-moyang orang Batak masih mengenakan cawat kulit kayu atau tangki. Pertanyaan:
lantas apakah yang diberikan hula-hula kepada boru pada jaman sebelum masyarakat
Batak mengenal alat tenun dan tekstil tersebut?

Pertanyaan itu hendak menyadarkan komunitas Kristen-Batak untuk menempatkan ulos


pada proporsinya. Ulos pada hakikatnya adalah hasil sebuah tingkat peradaban dalam
suatu kurun sejarah. Ulos pada awalnya adalah pakaian sehari-hari masyarakat Batak
sebelum datangnya pengaruh Barat. Bila di pakai laki-laki bagian atasnya disebut “hande-
hande” sedang bagian bawah disebut “singkot” kemudian bagian penutup kepala disebut
“tali-tali” atau “detar”.
Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen”, untuk penutup pungung
disebut “hoba-hoba” dan bila dipakai berupa selendang disebut “ampe-ampe” dan yang dipakai
sebagai penutup kepala disebut “saong”. Apabila seorang wanita sedang menggendong anak,
penutup punggung disebut “hohop-hohop”. Ulos juga dipakai untuk menggendong disebut’
“parompa”, selendang (sampe-sampe) dan selimut (ulos) di malam hari atau di saat kedinginan.
Namun sekarang ini tradisi berpakaian seperti ini sudah semakin jarang bisa kita lihat.
Dalam perkembangan sejarah nenek-moyang orang Batak mengangkat kostum atau
tekstil (pakaian) sehari-hari ini menjadi simbol dan medium pemberian hula-hula kepada
boru (pihak yang lebih dihormat kepada pihak yang lebih menghormat).
Tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos Jugia,
Ragidup, Ragi Hotang dan Runjat, biasanya adalah simpanan dan hanya dipakai pada
waktu tertentu saja.
PROSES PEMBUATAN ULOS BATAK.
Bagi awam di rasa sangat unik. Bahan dasar ulos pada umumnya adalah sama yaitu
sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan sebuah ulos adalah proses
pembuatannya. Ini merupakan ukuran penentuan nilai sebuah ulos.
Untuk memberi warna dasar benang ulos, sejenis tumbuhan nila (salaon) dimasukkan
kedalam sebuah periuk tanah yang telah diisi air. Tumbuhan ini direndam (digon-gon)
berhari-hari hingga gatahnya keluar, lalu diperas dan ampasnya dibuang. Hasilnya ialah
cairan berwarna hitam kebiru-biruan yang disebut “itom”.
Periuk tanah (palabuan) diisi dengan air hujan yang tertampung pada lekuk batu (aek ni
nanturge) dicampur dengan air kapur secukupnya. Kemudian cairan yang berwarna hitam
kebiru-biruan tadi dimasukkan, lalu diaduk hingga larut. Ini disebut “manggaru”.
Kedalaman cairan inilah benang dicelupkan. Sebelum dicelupkan, benang terlebih dahulu
dililit dengan benang lain pada bahagian-bahagian tertentu menurut warna yang diingini,
setelah itu proses pencelupan dimulai secara berulang-ulang. Proses ini memakan waktu
yang sangat lama bahkan berbulan-bulan dan ada kalanya ada yang sampai bertahun.
Setelah warna yang diharapkan tercapai, benang tadi kemudian disepuh dengan air
lumpur yang dicampur dengan air abu, lalu dimasak hingga mendidih sampai benang tadi
kelihatan mengkilat. Ini disebut “mar-sigira”. Biasanya dilakukan pada waktu pagi ditepi
kali atau dipinggiran sungai/danau.
Bilamana warna yang diharapkan sudah cukup matang, lilitan benang kemudian dibuka
untuk “diunggas” agar benang menjadi kuat. Benang direndam kedalam periuk yang berisi
nasi hingga meresap keseluruh benang. Selesai diunggas, benang dikeringkan. Benang
yang sudah kering digulung (dihulhul) setiap jenis warna.
Setelah benang sudah lengkap dalam gulungan setiap jenis warna yang dibutuhkan
pekerjaan selanjutnya adalah “mangani”. Benang yang sudah selesai diani inilah yang
kemudian masuk proses penenunan. Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan
kelihatan bahwa cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat
tinggi.
Sekarang setelah jaman modern teknologi pertenunan ulos pun berkembang sudah
menggunakan mesin tenun dan tehnik pewarnaan pun sudah menggunakan pewarna
tekstil modern bahkan ada ulos sablon yang di kenal dengan istilah Ulos Mesa (Mesin
Sablon).

Seperti telah diutarakan diatas, ulos Batak mempunyai bahan baku yang sama. Yang

membedakan adalah poses pembuatannya mempunyai tingkatan tertentu. Misalnya bagi anak

dara, yang sedang belajar bertenun hanya diperkenankan membuat ulos “parompa” ini disebut

“mallage” (ulos yang dipakai untuk menggendong anak). Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi

yang dipakai untuk memberi warna motif yang di inginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia

telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut “marsipitu lili”. Yang bersangkutan

telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.

MAKNA AWAL
Secara spesifik pada masa pra-kekeristenan ulos atau tekstil sehari-hari itu dijadikan
medium (perantara) pemberian berkat ( pasu-pasu) dari mertua kepada menantu/anak
perempuan, kakek/ nenek kepada cucu, paman ( tulang) kepada bere, raja kepada rakyat.
Sambil menyampaikan ulos pihak yang dihormati ini menyampaikan kata-kata berupa
berkat (umpasa) dan pesan (tona) untuk menghangatkan jiwa si penerima. Ulos sebagai
simbol kehangatan ini bermakna sangat kuat, mengingat kondisi Tanah Batak yang dingin.
Dua lagi simbol kehangatan adalah: matahari dan api.

Bagi nenek-moyang Batak yang pra-Kristen selain ulos itu yang tak kalah penting juga
kata-kata (berkat atau pesan) yang ingin disampaikan melalui medium ulos itu. Kita juga
mencatat secara kreatif nenek-moyang Batak juga menciptakan istilah ulos na so ra
buruk (ulos yang tidak bisa lapuk), yaitu tanah atau sawah. Pada keadaan tertentu hula-
hula dapat juga memberi sebidang tanah atau ulos yang tidak dapat lapuk itu kepada
borunya. Selain itu juga dikenal istilah ulos na tinonun sadari  (ulos yang ditenun dalam
sehari) yaitu uang yang fungsinya dianggap sama dengan ulos. Ulos yang panjangnya bisa
mencapai kurang lebih 2 meter dengan lebar 70 cm (biasanya disambung agar dapat
dipergunakan untuk melilit tubuh) ditenun dengan tangan. Waktu menenunnya bisa
berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung tingkat kerumitan motif. Biasanya
para perempuan menenun ulos itu di bawah kolong rumah.
Sebagaimana kebiasaan jaman dahulu mungkin saja para penenun pra-Kristen memiliki
ketentuan khusus menenun yang terkait dengan kepercayaan lama mereka. Itu tidak
mengherankan kita, sebab bukan cuma menenun yang terkait dengan agama asli Batak,
namun seluruh even atau kegiatan hidup Batak pada jaman itu. (Yaitu: membangun
rumah, membuat perahu, menanam padi, berdagang, memungut rotan, atau mengambil
nira). Mengapa? Karena memang mereka pada waktu itu belum mengenal Kristus!
Sesudah nenek moyang kita mengenal Kristus, mereka tentu melakukan segala aktivitas
itu sesuai dengan iman Kristennya, termasuk menenun ulos!
PERGESERAN MAKNA ULOS

Masuknya Injil melalui para misionaris Jerman penjajahan Belanda harus diakui sedikit-
banyak juga membawa pergeseran terhadap makna ulos. Nenek-moyang Batak mulai
mencontoh berkostum seperti orang Eropah yaitu laki-laki berkemeja dan bercelana
panjang dan perempuan Batak (walau lebih lambat) mulai mengenal gaun dan rok meniru
pola berpakaian Barat. Ulos pun secara perlahan-lahan mulai ditinggalkan sebagai kostum
atau pakaian sehari-hari kecuali pada even-even tertentu. Ketika pengaruh Barat semakin
merasuk ke dalam kehidupan Batak, penggunaan ulos sebagai pakaian sehari-hari
semakin jarang. Apa akibatnya? Makna ulos sebagai kostum sehari-hari (pakaian)
berkurang namun konsekuensinya ulos (karena jarang dipakai) jadi malah dianggap
“keramat”. Karena lebih banyak disimpan ketimbang dipergunakan, maka ulos pun
mendapat bumbu “magis” atau “keramat”. Sebagian orang pun mulai curiga kepada ulos
sementara sebagian lagi menganggapnya benar-benar bertuah.
ULOS DAN KEKRISTENAN
Bolehkah orang Kristen menggunakan ulos? Bolehkah gereja menggunakan jenis kostum
atau tekstil yang ditemukan masyarakat Batak pra-Kristen? Jawabannya sama dengan
jawaban Rasul Paulus kepada jemaat Korintus: bolehkah kita menyantap daging yang
dijual di pasar namun sudah dipersembahkan di kuil-kuil (atau jaman sekarang disembelih
dengan doa dan kiblat agama tertentu)? Jawaban Rasul Paulus sangat tegas: boleh.
Sebab makanan atau jenis pakaian tidak membuat kita semakin dekat atau jauh dari
Kristus (II Korintus 8:1-11). Pertanyaan yang sama diajukan oleh orang Yahudi-Kristen di
gereja Roma: bolehkah orang Kristen makan babi dan atau bercampur darah hewan dan
semua jenis binatang yang diharamkan oleh kitab Imamat di Perjanjian Lama? Jawaban
Rasul Paulus: boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman tetapi
soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita Roh Kudus (Roma 14:17). Analoginya sama:
bolehkah kita orang Kristen memakai ulos? Jawabnya : boleh saja. Sebab Kerajaan Allah
bukan soal kostum, jenis tekstil atau mode tertentu, tetapi soal kebenaran, damai
sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.
Sebagaimana telah dikatakan di atas, pada masa lalu ulos adalah medium (pengantara)
pemberian berkat hula-hula kepada boru. Pada masa sekarang,bagi kita komunitas
Kristen-Batak ulos bukan lagi medium, tetapi sekedar sebagai simbol atau
tanda doa (permohonan berkat Tuhan) dan kasih hula-hula kepada boru.
Dengan atau tanpa memberi ulos, hula-hula dapat berdoa kepada Allah dan Tuhan Yesus
Kristus memohon berkat untuk borunya. Ulos adalah simbol doa dan kasih hula-hula
kepada boru. Kedudukannya sama dengan simbol-simbol lainnya: bunga, cincin, sapu
tangan, tongkat dll.
NILAI ULOS BAGI KITA ORANG KRISTEN MODEREN
Sebab itu bagi kita komunitas Kristen-Batak moderen ulos warisan leluhur itu tetap bernilai
atau berharga minimal karena 4 (empat) hal:
Pertama: siapa yang memberikannya. Ulos itu berharga karena orang yang memberikannya

sangat kita hargai atau hormati. Ulos itu adalah pemberian mertua atau tulang atau hula-hula

kita. Apapun yang diberikan oleh orang-orang yang sangat kita hormati dan menyayangi kita –

ulos atau bukan ulos – tentu saja sangat berharga bagi kita.

Kedua: kapan diberikan. Ulos itu berharga karena waktu, even atau momen pemberiannya

sangat penting bagi kita. Ulos itu mengingatkan kita kepada saat-saat khusus dalam hidup kita

saat ulos itu diberikan: kelahiran, pernikahan, memasuki rumah dll.

Apapun pemberian tanda yang mengingatkan kita kepada saat-saat khusus itu – ulos atau

bukan ulos – tentu saja berharga bagi kita.

Ketiga: apa yang diberikan. Ulos itu berharga karena tenunannya memang sangat khas dan

indah. Ulos yang ditenun tangan tentu saja sangat berharga atau bernilai tinggi karena kita tahu

itu lahir melalui proses pengerjaan yang sangat sulit dan memerlukan ketekunan dan

ketrampilan khusus. Namun tidak bisa dipungkiri sekarang banyak sekali beredar ulos hasil

mesin yang mutu tenunannya sangat rendah.

Keempat: pesan yang ada dibalik pemberian ulos. Selanjutnya ulos itu berharga karena

dibalik pemberiannya ada pesan penting yang ingin disampaikan yaitu doa dan nasihat. Ketika

orangtua atau mertua kita, atau paman atau ompung kita, menyampaikan ulos itu dia

menyampaikan suatu doa, amanat dan nasihat yang tentu saja akan kita ingat saat kita

mengenakan atau memandang ulos pemberiannya itu.

Disini kita tentu saja harus jujur dan kritis. Bagaimana mungkin kita menghargai ulos yang
kita terima dari orang yang tidak kita kenal, pada waktu sembarangan secara masal,
dengan kualitas tenunan asal-asalan? Tidak mungkin. Sebab itu komunitas Batak masa
kini harus serius menolak trend atau kecenderungan sebagian orang “mengobral ulos”:
memberi atau menerima ulos secara gampang. Ulos justru kehilangan makna karena
terlalu gampang memberi atau menerimanya dan atau terlalu banyak. Bagaimana kita bisa
menghargai ulos sebanyak tujuh karung?
SIAPA MEMBERI – SIAPA MENERIMA?
Yang Memberikan Ulos
Dalam adat Batak ulos adalah simbol pemberian dari pihak yang dianggap lebih tinggi
kepada pihak yang dianggap lebih rendah. Namun keadaan kadang membingungkan. Ulos
diberikan juga justru kepada orang yang dianggap pemimpin atau sangat dihormati.
Dalam kultur Batak padahal ulos tidak pernah datang dari “bawah”. Lantas mengapa kita
kadang memberi ulos kepada pejabat yang justru kita junjung, atau kepada pemimpin
gereja yang sangat kita hormati? Bukankah merekalah yang seharusnya memberi ulos
(mangulosi)? Kebiasaan memberi ulos kepada Kepala Negara atau Eforus (pimpinan
gereja) selain mereduksi makna ulos juga sebenarnya merendahkan posisi kepala negara
dan pemimpin gereja itu.
Di wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak hula-hulalah yang
memberikan ulos kepada parboru/boru (dalam perkawinan).
Tetapi diwilayah Pakpak / Dairi dan Tapanuli Selatan, pihak borulah yang memberikan ulos kepada
kula-kula (kalimbubu) atau mora. Perbedaan spesifik ini bukan berarti mengurangi nilai dan makna
ulos dalam upacara adat.
Semua pelaksanaan adat batak dititik beratkan sesuai dengan “dalihan na tolu”
(tungku/dapur terdiri dari tiga batu) yang pengertiannya dalam adat batak ialah dongan
tubu, boru, hula-hula harus saling membantu dan saling hormat menghormati.
Di wilayah Toba yang berhak memberikan ulos ialah :
1.Pihak hula-hula (tulang, mertua, bona tulang, bona ni ari, dan tulang rorobot).
2.Pihak dongan tubu (ayah, saudara ayah, kakek, saudara penganten perempuan yang
lebih tinggi dalam kedudukan kekeluargaan).
3.Pihak pariban (dalam urutan tinggi pada kekeluargaan).
Ale-ale (teman kerabat) yang sering kita lihat turut memberikan ulos, sebenarnya adalah
diluar tohonan Dalihan na tolu (pemberian ale-ale tidak ditentukan harus ulos, ada kalanya
diberikan dalam bentuk kado dan lain-lain).
Dari urutan diatas jelaslah bahwa yang berhak memberikan ulos adalah mereka yang
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan dari sipenerima ulos.
Menurut tata cara adat batak, setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos sejak
lahir hingga akhir hayatnya. Inilah yang disebut ulos “na marsintuhu” (ulos keharusan)
sesuai dengan falsafah dalihan na tolu. Pertama diterima sewaktu dia baru lahir disebut
ulos “parompa” dahulu dikenal dengan ulos “paralo-alo tondi”. Yang kedua diterima pada
waktu dia memasuki ambang kehidupan baru (kawin) yang disebut ulos “marjabu” bagi
kedua pengantin (saat ini desebut ulos “hela”). Seterusnya yang ketiga adalah ulos yang
diterima sewaktu dia meninggal dunia disebut ulos “saput”.
HANYA SALAH SATU CIRI KHAS
Ulos memang salah satu ciri khas Batak. Namun bukan satu-satunya ciri kebatakan.
Bahkan sebenarnya ciri khas Batak yang terutama bukanlah ulos (kostum, tekstil), tetapi
bius dan horja, demokrasi, parjambaran, kongsi dagang, dan dalihan na tolu. Posisi ulos
menjadi sentral dan terlalu penting justru setelah budaya Batak mengalami reduksi yaitu
diminimalisasi sekedar ritus atau seremoni pernikahan yang sangat konsumtif dan
eksibisionis. Hanya dalam rituslah kostum atau tekstil menjadi dominan. Dalam aksi sosial
atau perjuangan keadilan politik, ekonomi, sosial dan budaya kostum nomor dua. Inilah
tantangan utama kita: mengembangkan wacana atau diskursus kebatakan kita yang lebih
substantif atau signifikan bagi kemajuan masyarakat dan bukan sekadar meributkan
asesori atau kostum belaka.
ULOS DITERIMA DENGAN CATATAN
Ekstrim pertama: Sebagian orang Kristen-Batak menolak ulosnya karena dianggap sumber

kegelapan. Padahal darah Tuhan Yesus yang tercurah di Golgota telah menebus dan

menguduskan tubuh dan jiwa serta kultur Batak kita. Ulos artinya telah boleh dipergunakan

untuk memuliakan Allah Bapa, Tuhan Yesus dan Roh Kudus.

Ekstrim yang lain: Sebagian orang Kristen-Batak mengeramatkan ulosnya. Mereka

menganggap ulos itu keramat, tidak boleh dijual, tidak boleh dipakai. Mereka lupa bahwa

Kristus-lah satu-satunya yang berkuasa dan boleh disembah, bukan warisan nenek moyang

termasuk ulos.

Sikap kristiani: Tantangan bagi kita komunitas Kristen-Batak sekarang adalah menempatkan

ulos pada proporsinya: kostum atau tekstil khas Batak. Tidak lebih tidak kurang. Bukan sakral

dan bukan najis. Jangan ditolak dan jangan dikeramatkan! Jangan dibuang dan jangan cuma

disimpan!

JENIS ULOS
Beberapa Gambar Ulos

1. Ulos Jugia.
Ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau “pinunsaan”.
Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos
“homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” (berupa lemari pada
jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai
sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata lain “naung gabe” (orang
tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan). Selama masih
ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai keturuan walaupun telah
mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang tua tersebut belum bisa disebut atau
digolongkan dengan tingkalan saur matua. Hanya orang yang disebut “nagabe” sajalah
yang berhak memakai ulos tersebut. Jadi ukuran hagabeon dalam adat suku Batak
bukanlah ditinjau dari kedudukan pangkat maupun kekayaan.
Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan benda langka
hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering menjadi barang warisan orang
tua kepada anaknya dan nialainya sama dengan “sitoppi” (emas yang dipakai oleh istri
raja pada waktu pesta) yang ukurannya sama dengan ukuran padi yang disepakati dan
tentu jumlah besar.
2. Ulos Ragi Hidup.
Ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos ini adalah yang
paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat pemakainya dalam upacara adat
Batak .

Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka

cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman

dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru

lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya

dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu.

Dalam system kekeluargaan orang Batak. Kelompok satu marga ( dongan tubu) adalah

kelompok “sisada raga-raga sisada somba” terhadap kelompok marga lain. Ada pepatah yang

mengatakan “martanda do suhul, marbona sakkalan, marnata do suhut, marnampuna do

ugasan”, yang dapat diartikan walaupun pesta itu untuk kepentingan bersama, hak yang punya

hajat (suhut sihabolonan) tetap diakui sebagai pengambil kata putus (putusan terakhir). Dengan

memakai ulos ini akan jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah.

Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan secara

gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan orang yang berbeda. Kedua

sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas bawah (tinorpa)

dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu
orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini

disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut ulos “Ragi Hidup”.

Mengapa harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu

tertentu menurut “hatiha” Batak (kalender Batak). Bila dimulai Artia (hari pertama) selesai di

Tula (hari tengah dua puluh).

Bila siorangtua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang sulung sedang yang

lainnya memakai ulos “sibolang”. Ulos ini juga sangat baik bila diberikan sebagai ulos

“Panggabei” (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada saat itu nilai ulos

Ragi Hidup sama dengan ulos jugia.

Pada upacara perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos “Pansamot” (untuk orang tua

pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa pun. Dan

didaerah Simalungun ulos Ragi Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.

3. Ragi Hotang.

Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai ulos “Marjabu”.

Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti rotan (hotang).

Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan pengantin,

ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu

disatukan ditengah dada seperti terikat. Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah

benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak)

tersebut.

4. Ulos Sadum.

Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana suka

cita. Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya dipakai sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi

keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja. Untuk mengundang (marontang) raja raja, ulos ini

dipakai sebagai alas sirih diatas piring besar (pinggan godang burangir/harunduk panyurduan).

Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan

dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai

ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi

sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke daerah.

5.Ulos Runjat.

Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos “edang-edang”

(dipakai pada waktu pergi ke undangan). Ulos ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh

keluarga dekat menurut versi (tohonan) Dalihan Natolu diluar hasuhutan bolon, misalnya oleh

Tulang (paman), pariban (kakak pengantin perempuan yang sudah kawin), dan pamarai (pakcik

pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu “mangupa-upa” dalam acara

pesta gembira (ulaon silas ni roha).

Kelima jenis ulos ini adalah merupakan ulos homitan (simpanan) yang hanya kelihatan pada

waktu tertentu saja. Karena ulos ini jarang dipakai hingga tidak perlu dicuci dan biasanya cukup

dijemur di siang hari pada waktu masa bulan purnama (tula).

6. Ulos Sibolang.

Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita. Untuk keperluan duka cita

biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya menonjol, sedang bila dalam acara suka cita dipilih

dari warna yang putihnya menonjol.


Dalam acara duka cita ulos ini paling banyak dipergunakan orang. Untuk ulos “saput” atau ulos

“tujung” harusnya dari jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang lain.

Dalam upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai “tutup ni ampang” dan juga bisa

disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang warnanya putihnya menonjol.

Inilah yang disebut “ulos pamontari”. Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala peristiwa adat

maka ulos ini dinilai paling tinggi dari segi adat batak. Harganya relatif murah sehingga dapat

dijangkau orang kebanyakan. Ulos ini tidak lajim dipakai sebagai ulos pangupa atau parompa.

7.Ulos Suri-suri Ganjang.

Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk sisir memanjang. Dahulu

ulos ini diperguakan sebagai ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul

gendang) ulos ini dipakai hula-hula menyambut pihak anak boru. Ulos ini juga dapat diberikan

sebagai “ulos tondi” kepada pengantin. Ulos ini sering juga dipakai kaum wanita sebagai sabe-

sabe. Ada keistimewaan ulos ini yaitu karena panjangnya melebihi ulos biasa. Bila dipakai

sebagai ampe-ampe bisa mencapai dua kali lilit pada bahu kiri dan kanan sehingga kelihatan

sipemakai layaknya memakai dua ulos.

8. Ulos Mangiring.

Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan kesuburan dan

kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai ulos parompa kepada cucunya.

Seiring dengan pemberian ulos itu kelak akan lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya

sebagai temannya seiring dan sejalan. Ulos ini juga dapat dipakai sebagai pakaian sehari-hari

dalam bentuk tali-tali (detar) untuk kaum laki-laki. Bagi kaum wanita juga dapat dipakai sebagai

saong (tudung). Pada waktu upacara “mampe goar” (pembaptisan anak) ulos ini juga dapat

dipakai sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu. Bila mampe goar

untuk anak sulung harus ulos jenis “Bintang Maratur”.

9. Bintang Maratur.

Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang yang teratur didalam ulos

ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga

dalam hal “sinadongan” (kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang,

semuanya berada dalam tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari dapat dipakai

sebagai hande-hande (ampe-ampe), juga dapat dipakai sebagai tali-tali atau saong. Sedangkan

nilai dan fungsinya sama dengan ulos mangiring dan harganya relatif sama.

10. Sitoluntuho-Bolean.

Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak mempunyai

makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai ulos parompa.

Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai

ulos panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung keluarga jauh.

Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya berjejer tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang

biasanya dipakai untuk melubang tanah guna menanam benih.

11. Ulos Jungkit.

Ulos ini jenis ulos “nanidondang” atau ulos paruda (permata). Purada atau permata merupakan

penghias dari ulos tersebut. Dahulu ulos ini dipakai oleh para anak gadis dan keluarga Raja-raja

untuk hoba-hoba yang dipakai hingga dada. Juga dipakai pada waktu menerima tamu pembesar

atau pada waktu kawin.


Pada waktu dahulu kala, purada atau permata ini dibawa oleh saudagar-saudagar dari India

lewat Bandar Barus. Pada pertengahan abad XX ini, permata tersebut tidak ada lagi

diperdagangkan. Maka bentuk permata dari ragi ulos tersebut diganti dengan cara “manjungkit”

(mengkait) benang ulos tersebut. Ragi yang dibuat hampir mirip dengan kain songket buatan

Rejang atau Lebong. Karena proses pembuatannya sangat sulit, menyebabkan ulos ini

merupakan barang langka, maka kedudukannya diganti oleh kain songket tersebut.

Inilah sebabnya baik didaerah leluhur si Raja Batak pun pada waktu acara perkawinan kain

songket ini biasa dipakai para anak gadis/pengantin perempuan sebagai pengganti ulos

nanidondang. Disinilah pertanda atau merupakan suatu bukti telah pudarnya nilai ulos bagi

orang Batak.

12. Ulos Lobu-Lobu.

Jenis ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang memerlukannya, karena ulos ini

mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama orang yang sering dirundung kemalangan

(kematian anak). Karenanya tidak pernah diperdagangkan atau disimpan diparmonang-

monangan, itulah sebabnya orang jarang mengenal ulos ini. Bentuknya seperti kain sarung dan

rambunya tidak boleh dipotong. Ulos ini juga disebut ulos “giun hinarharan”. Jaman dahulu para

orang tua sering memberikan ulos ini kepada anaknya yang sedang mengandung (hamil tua).

Tujuannya agar nantinya anak yang dikandung lahir dengan selamat.

Masih banyak lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos antara lain: Ragi Panai, Ragi

Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi si

Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul,

Ulos Takkup, dan banyak lagi nama-nama ulos yang belum disebut disini. Menurut orang-orang

tua jenis ulos mencapai 57 jenis.

ULOS RAGI NAPITU


Naginoaranna ulos ragi napitu, ima:
1.Ulos tapoltua

2.Ulos panghopol

3.Ulos sampetua
4. Ulos sampuborna
5. Ulos sabinmaligas
6. Ulos hembangtua
7. Ulos nasoraburuk

  1.  ULOS TAPOLTUA ( Kesempatan Pertama Sekali seseorang Menerima Ulos yakni

baru lahir)

Najolo Dung sorang dakdanak dipasahat ompungna manang tulangna do ulos di tingki

mangharoani manang martutu aek (zaman pra kristen maridi tu aek pansuran parhutaan ada

ritual). I ma nanidokna sinuaeng on ulos parompa, ulos tapoltua do digoari angka ompu

naparjolo. Tapol-tapol ni anak nabisuk, tapol-tapol ni boru namarroha.

Ulos Parompa on di pasahat tingki ulaon:

Ulos Saat Kelahiran (Mamoholi/Hasosorang Anak Buhabaju)

Tubu ma si Ucok manang Sorang si Butet , ima anak buhabaju (anak pertama) di keluarga

na imbaru i. Sude do marlas ni roha, sian pihak paranak songon i nang sian parboru. Mamoholi

berasal dari kata pohol, tradisi di Toba, daerah berbukit yang sangat dingin. Untuk melindungi si

orok dari terpaan dinginnya cuaca, ibunya yang baru melahirkan biasanya tidur atau berbaring

di dekat api, di dapur maupun perapian khusus, temporeer yang dibuatkan unutk itu. Saat di

kecil kedinginan, si ibu mendekat tangannya ke api, lalu hangatnya ditularkan ke wajah atau

badan di anak dengan menempelkan telapak tangan.


Praktek ini berulang-ulang, saban pagi dan malam.

2. ULOS PANGHOPOL

Molo laho borhat angka doli-doli dohot anakboru mangalului parsingkolaan natimbo manang

mangalului ampapaga nalomak, laho ma ibana manopot huta ni tulangna songon napabotohon.

Diulosi tulangna ma ibana tanda las ni roha ni tulangna. Ima naginoaranna ulos panghopol.

Molo adong dakdanak na sai marsahit-sahit diboan natorasna ma dakdanak i tu huta ni

ompungna manang tulangna. Diulosi ompungna manang tulangna ma dakdanak i, digoari do

ulos i ulos panghopol.


3. ULOS SAMPETUA (Kesempatan kedua Seseorang Menerima Ulos yaitu saat
menikah)

Ima ulos di tingki ulaon parunjuhon dipasahat natoras pangintubu tu boruna dohot tu helana

patandahon naung hot helana i (sah) marsaripe. Molo pinadomu tu namasa saonari on didok ma

i tarsongon ?akte perkawinan? mangihuthon adat Batak. Ido umbahen didok natua-tua,

napinadomu ni ulos ndang jadi sirangon ni ulos.

Dalam waktu upacara perkawinan, pihak hula-hula harus dapat menyediakan ulos “si tot ni

pansa” yaitu;

1. Ulos marjabu (untuk pengantin),


2. Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki,
3. Ulos pamarai diberikan pada saudara yang lebih tua dari pengantin laki-laki atau
saudara kandung ayah,
4. Ulos simolohon diberikan kepada iboto (adek/kakak) pengantin laki-laki.

Bila belum ada yang menikah maka ulos ini dapat diberikan kepada iboto dari ayahnya. Ulos

yang disebut sesuai dengan ketentuan diatas adalah ulos yang harus disediakan oleh pihak hula-

hula (orang tua pengantin perempuan).

Adapun ulos tutup ni ampang diterima oleh boru diampuan (sihunti ampang) hanya bila

perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual). Bila

perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang

tidak diberikan.

Sering kita melihat begitu banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat.

Dahulu ulos inilah yang disebut “ragi-ragi ni sinamot”. Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot

(menerima sebahagian dari sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama

(pantun) dalam suku Batak disebut “malo manapol ingkon mananggal”. Pantun ini mengandung

pengertian, orang Batak tidak mau terutang adat. Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun

yang dimaksudkan semula untuk mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima

“goli-goli” dari ragi-ragi ni sinamot. Timbul kedudukan yang tidak sepatutnya (margoli-goli)

sehingga undangan umum (ale-ale) dengan dalih istilah “ulos holong” memberikan pula ulos

kepada pengantin.

Tata cara pemberian.

Sebuah ulos (biasanya ragi hotang) disediakan untuk pengantin oleh hula-hula. Orang tua

pengantin perempuan langsung memberikan (manguloshon) kepada kedua pengantin yang

disebut “ulos marjabu”. Apabila orang tua pihak perempuan diwakilkan kepada keluarga dekat,

maka dia berhak memberikan ulos kepada pengantin, akan tetapi bila orang tua laki-laki yang

diwakilkan, maka ulos pansamot harus diterima secara terlipat. Sedangkan ulos pargomgom

(untuk pangamai) dapat diterima menurut tata cara yang biasa, dan pada peristiwa ini harus

disediakan ulos sebanyak dua helai (ulos pasamot dan ulos pargomgom).

Dalam penyampaian ulos biasanya diiringi dengan berbagai pantun (umpasa) dan berbagai kata-

kata yang mengandung berkah (pasu-pasu). Setelah diulosi dilanjutkan penyampaian beras
pasu-pasu (boras sipir ni tondi) ditaburkan termasuk kepada umum dengan mengucapkan “h o r

a s” tiga kali.

Sesudah itu berjalanlah pemberian ulos si tot ni pansa kepada pamarai dan simolohon. Biasanya

pemberian ini disampaikan oleh suhut paidua (keluarga/turunan saudara nenek).

Setelah ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari tulang (paman)

pengantin laki-laki.

Urutan pemberian ulos yang umum berlaku di pesta unjuk di Jakarta sekitarnya adalah sbb:

1. Mula-mula yang memberikan ulos adalah orang tua pengantin perempuan,


2. Disusul pihak dongan sabutuha dari orang tua perempuan yang disebut paidua
(pamarai),
3. Disusul oleh oleh pariban yaitu boru dari orang tua pengantin perempuan
4. Disusul oleh pihak tulang pengantin perempuan termasuk horong ni tulang dohot
hula-hula.
5. Dan yang terakhir adalah tulang pengantin laki-laki termasuk horong ni tulang dohot
hula-hula.

 
4. ULOS SAMPUBORNA

Ulos sian amangtua ni namuli patandahon tanggung jawabna, na dos do tu pangintubu. Aut sura

so mangolu be natoras pangintubu ni anak dohot boru, ingkon do pangolihonon manang

pamulion ni amangtua manang amangudana do i.

 
5. ULOS SABINMALIGAS

Sabin dos do i dohot abit. Molo didok marsabin manghatai, dos do i marabit manghatai, unang

adong hata na tarsubang. Ulos sabinmaligas ima ulos sian namboru ni namuli manang sian

paribanna, patandahon ndang dos tohonan ni ulos sian hulahula, dohot sian namboru, dohot

pariban.

6. ULOS HEMBANGTUA

Ima ulos sian tulang ni namuli, patandahon roha napantis do tulang i mangalehon pasupasu tu

berena asa siripe gabe, siripe horas namanjalosa. I do umbahen sai umpudi tulang pasahathon

ulosna, asa tulang i do pahembanghon pasupasuan (penutup).

7. ULOS NASORABURUK

Ulos nasoraburuk do digoari pauseang. Ai angka ulos nahinataan na diginjang on, ulos natinonun

do i. Alai ianggo ulos nasoraburuk hauma do i manang tano tur.

Adong do hata Batak mandok, ?seang do pauseang molo so adong marhaseanghon?. Lapatanna,

boru namanjalo pauseang i sai marurat natogu asa adong muse paihut-ihut pauseang, na jinalo

ni natorasna.

Paebathon Anak Buhabaju

Paebathon anak buhabaju lapatanna mamboan anak buhabaju i tu huta (jabu) ni ompungna

dung marumur hira-hira 2-3 bulan. Nian ndang apala sude be mangulahon si songon on di

bagasan adat-paradaton. Di ari naung ditontuhon diudurhon paranak ma anakna dohot

parumaenna mamboan pahompuna i tu jabu ni hula-hulana. Udur nasida rap dohot haha-

anggina, boru, bere nasolhot.

Diboan nasida ma sipanganon na marsaudara dohot angka sipanganon na asing na mambahen

las roha ni hula-hulana. Parboru pe diparade do dekke dohot ulos nalaho sipasahatonna tu

pamoruonna i, songon i molo adong angka ulos sian horong ni parboru.


Molo najolo di napaebathon anak buhabaju tu ompungna, laos dipangido hela i do tu simatuana

songon indahan arian ni pahompu i, manang didok andor ansimun, boi do i horbo, hoda,

manang hauma. Alai di tingki on ndang pola masa be si songon i. Alana, biasana, didok (biaya)

indahan arian manang andor ansimun i nunga dipakke laho pasingkolahon boru na i (inang ni

dakdanak i). Jadi hira so adong be di tingki on na mangido si songon i.

ULOS PANGOSE

Ia namargoar ulos pangose mangihuthon hatorangan ni angka natua-tua, songon on ma

pardalanna: Olo do na mardongan saripe marrongkap badan, ndang marrongkap tondi.

Lapatanna, ndang tubuan anak nasida ndang tubuan boru (ndang adong rindangna).

Di sada tingki gabe marsirang ma nasida sian dos ni roha nasida be. Di jolo ni raja, sipaulahon ni

paranak ma ulos sampetua najinalona hian di tingki pesta unjuk tu parboru. Ima naginoaranna

ulos pangose. Ai nunga mose padan ala so marrongkap tondi. Dung mulak ulos pangose, i pe

asa boi muli boru napinasirangna i.

Najolo ninna natua-tua, molo marhamulian sada boru naung marsirang, molo ndang mulak ulos

sampetua, dietong nasida do anak natinubuhonna i gabe rindang ni humuliaonna na parjolo. I do

umbahen jolo disungkun halak borua i, naung sirang manang naung dipagoi, ai padalan pago-

pago do paranak dohot parboru tu raja molo masa angka sisongon i.

Kesempatan Ketiga dan Terakhir Seseorang Menerima Ulos yakni pada waktu

meninggal dunia

Ulos yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan kepada seseorang ialah ulos yang diterima

pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat (status menurut umur dan turunan) seseorang

menentukan jenis ulos yang dapat diterimanya.

Jika seseorang mati muda (mate hadirianna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos yang

disebut “parolang-olangan” biasanya dari jenis parompa.

Bila seseorang meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, matompas tataring) maka

kepadanya diberi ulos “saput” dan yang ditinggal (duda, janda) diberikan ulos “tujung”.

Bila yang mati orang tua yang sudah lengkap ditinjau dari segi keturunan dan keadaan

(sari/saur matua) maka kepadanya diberikan ulos “Panggabei”.

Ulos “jugia” hanya dapat diberikan kepada orang tua yang keturunannya belum ada yang

meninggal (martilaha martua) atau di sebut Maulibulung.

Khusus tentang ulos saput dan tujung perlu ditegaskan tentang pemberiannya. Menurut para

orang tua, yang memberikan saput ialah pihak “tulang”, sebagai bukti bahwa tulang masih tetap

ada hubungannya dengan kemenakan (berenya). Sedang ulos tujung diberikan hula-hula, dan

hal ini penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah.

Tata cara pemberiannya.

Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga) maka tidak ada acara pemberian saput.

Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga, setelah hula-hula mendengar kabar

tentang ini, disediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak tulang menyediakan ulos saput.

Pemberiannya di iringi kata-kata turut berduka cita (marhabot ni roha).

Memberi ulos panggabei.

Bila seseorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh hula-hula akan

memberi ulos yang disebut ulos Panggabei. Biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang

meninggal akan tetapi kepada seluruh turunannya (anak, pahompu, dan cicit).
Biasanya ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula-hula mulai dari hula-hula, bona tulang,

bona ni ari, dan seluruh hula-hula anaknya dan hula-hula cucu/cicitnya.

Acara kematian untuk orang tua seperti ini biasanya memakan waktu sangat lama, adakalanya

mencapai 3-5 hari acaranya. Biaya acaranya cukup besar, karena inilah acara puncak kehidupan

orang yang terakhir.

Proses Pembuatan Ulos di Toba

Pembuatan benang.

Proses pemintalan kapas sudah dikenal masyarakat batak dulu yang disebut “mamipis” dengan

alat yang dinamai “sorha”. Sebelumnya hapas “dibebe” untuk mengembangkan dalam

mempermudah pemintal membentuk keseragaman ukuran. Seorang memintal dan seorang

memutar sorha. Sorha ini disederhanakan dengan mengadopsi teknologi yang dibawa oleh

Jepang semasa penjajahan. Sorha yang lebih modern dapat melakukan pemintalan dengan

tenaga satu orang.

Pewarnaan.

Ulos itu terbuat dari benang, benang dipintal dari kapas. Benang awalnya berwarna putih, dan

untuk mendapatkan warna merah disebut “manubar”, untuk mendapatkan warna hitam disebut

“mansop”. Bahan pewarna ulos terbuat dari bahan daundaunan berbagai jenis yang

dipermentasi agar menghasilkan warna yang dikehendaki disebut “Itom”. Era tahun 60 an masih

ada ditemukan di pasaran toba. Orang yang melakukan pewarnaan benang ini disebut

“parsigira”

Gatip.

Rangkaian grafis menggunakan motif khusus yang ditemukan dalam ulos diciptakan pada saat

benang diuntai dengan ukuran standard. Untaian ini disebut “humpalan”. Satuan jumlah

penggunaan benang untuk bahan tenun disebut “sanghumpal, dua humpal” dst. Gatip dibuat

sebelum pewarnaan dilakukan. Benang yang dikehendaki tetap berwarna putih, diikat dengan

bahan pengikat terdiri dari serat atau daun serai.

Unggas.

Unggas adalah proses pencerahan benang. Pada umumnya benang yang selesai ditubar atau

disop, warnanya agak kusam. Benang ini diunggas untuk lebih memberikan kesan lebih

cemerlang. Orang yang melakukan pekerjaan ini disebut “pangunggas” dengan peralatan

“pangunggasan”. Benang dilumuri dengan nasi yang dilumerkan kemudian digosok dengan kuas

bulat dari ijuk. Nasi yang dilumerkan itu biasanya disebut “indahan ni bonang”.

Benang yang sudah diunggas sifatnya agak kenyal dan semakin terurai setelah dijemur dibawah

sinar matahari terik.

Ani

Benang yang sudah selesai diunggas selanjutnya memasuki proses penguntaian yang disebut

“mangani”. Namun untuk mempermudah mangani, benang sebelumnya “dihuhul” digulung

dalam bentuk bola. Alat yang dibutuhkan adalah “anian” yang terdiri dari sepotong balok kayu

yang diatasnya ditancapkan tongkat pendek sesuai ukuran ulos yang dikehendaki. Dalam proses
ini, kepiawaian pangani sangat menentukan keindahan ulos sesuai ukuran dan perhitungan

jumlah untaian benang menurut komposisi warna.

Tonun

Tonun (tenun) adalah proses pembentukan benang yang sudah “diani” menjadi sehelai ulos.

Mereka ini yang lajim disebut “partonun”.

Sirat

Proses terakhir menjadikan ulos yang utuh adalah “manirat”. Orang yang melakukan pekerjaan

ini disebut “panirat”. Sirat adalah hiasan pengikat rambu ulos. Biasanya dibentuk dengan motif

gorga.

Pinadomuni (dirangkum oleh) : Sampe Sitorus, SE(A. Hitado Managam Sitorus)

Medang Lestari B3/K11 08129052462


Referensi & Daftar Pustaka :
1.Diskusi Adat & Injil oleh Pdt Daniel.T.A.Harahap, http://rumametmet.com
2.Jambar Hata, T.M Sihombing, CV Tulus Jaya
3.Dalihan Natolu Nilai Budaya Suku Batak, Drs. DJ Gultom Rajamarpodang, CV Armada –Medan
4.Garis Besar Ruhur-Ruhut Paradaton Sitorus, Buku Parsadaan Raja Sitorus Dohot Boruna
(PARSIBONA) JABOTABED
5.Situs Partungkoan http://tanobatak.wordpress.com
6.Situs Simanjuntak Sitolu Sada Inahttp://simanjuntak.or.id
7.St. D.P.Hutagalung/Br.  Simarangkir (O. ni Salomo) http://www.rajaparhata.com
8.Panuturion ni angka natuatua.

Ulos
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa

Ulos yang dipakai penari Sigale gale.

Jenis-jenis ulos

Ulos atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos
secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatera utara. Dari bahasa
asalnya, ulos berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara
membuat songketkhas Palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.
Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan
dari benang emas atau perak. Mulanya ulos dikenakan di dalam
bentuk selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara
adat Batak, namun kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung bantal, ikat
pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan gorden.
Ulos juga kadang-kadang diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung supaya
mempermudah lahirnya sang bayi ke dunia dan untuk melindungi ibu dari segala mara bahaya
yang mengancam saat proses persalinan.
Sebagian besar ulos telah punah karena tidak diproduksi lagi, seperti Ulos Raja, Ulos Ragi
Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan Ulos
Sibolang.

Arti Ulos[sunting | sunting sumber]


Mangulosi adalah suatu kegiatan adat yang sangat penting bagi orang batak. Dalam setiap
kegiatan seperti upacara pernikahan, kelahiran, dan dukacita ulos selalu menjadi bagian adat
yang selalu di ikut sertakan.

Menurut pemikiran moyang orang batak, salah satu unsur yang memberikan kehidupan bagi
tubuh manusia adalah “kehangatan”. Mengingat orang-orang batak dahulu memilih hidup di
dataran yang tinggi sehingga memiliki temperatur yang dingin.

Demikian juga dengan huta/kampung yang ada di daerah tapanuli umumnya di kelilingi
dengan pepohonan bambu. Dimana memiliki kegunaan bukan hanya sebagai pagar untuk
menjaga serangan musuh saja, namun juga menahan terjangan angin yang dapat membuat
tubuh menggigil kedinginan.

Ada 3 hal yang di yakini moyang orang batak yang memberi kehidupan bagi tubuh manusia,
yaitu : Darah, Nafas dan Kehangatan. Sehingga “rasa hangat” menjadi suatu kebutuhan yang
setiap saat di dambakan.

Ada 3 “sumber kehangatan” yang di yakini moyang orang batak yaitu : matahari, api dan ulos.
Matahari terbit dan terbenam dengan sendirinya setiap saat. Api dapat di nyalakan setiap saat,
namun tidak praktis untuk di gunakan menghangatkan tubuh, misalnya besarnya api harus di
jaga setiap saat sehingga tidur pun terganggu. Namun tidak begitu halnya dengan Ulos yang
sangat praktis digunakan di mana saja dan kapan saja.

Ulos pun menjadi barang yang penting dan di butuhkan semua orang kapan saja dan di mana
saja. Hingga akhirnya karena ulos memiliki nilai yang tinggi di tengah-tengah masyarakat
batak. Dibuatlah aturan penggunaan ulos yang di tuangkan dalam aturan adat, antara lain :

 Ulos hanya di berikan kepada kerabat yang di bawah kita. Misalnya Natoras tu


ianakhon (orang tua kepada anak).
 Ulos yang di berikan haruslah sesuai dengan kerabat yang akan di beri ulos. Misalnya
Ragihotang diberikan untuk ulos kepada hela (menantu laki-laki).

Sedangkan menurut penggunaanya antara lain :

 Siabithonon (dipakai ke tubuh menjadi baju atau sarung) digunakan ulos ragidup, sibolang,
runjat, jobit dan lainnya.
 Sihadanghononhon (diletakan di bahu) di gunakan ulos Sirara, sumbat, bolean, mangiring
dan lainnya.
 Sitalitalihononhon (pengikat kepala) di gunakan ulos tumtuman, mangiring, padang rusa
dan lain-lain.

Saat ini kita tidak membutuhkan ulos sebagai penghangat tubuh di saat tidur ataupun saat
beraktifitas, karena ada berbagai alat dan bahan yang lebih maju untuk memberi kehangatan
bagi tubuh pada saat berada pada udara yang sangat dingin. Tetapi Ulos sudah menjadi
perlambang kehangatan yang sudah mengakar di dalam budaya batak.

Namun ini juga menjadi tantangan bagi budaya batak di masa depan, karena cara pandang
dan penghargaan anak-anak muda masa depan sangat berbeda dengan para orang tua yang
sempat merasakan berharganya nilai ulos dalam kekerabatan. Akankah anak-anak kita
memandang ulos seperti memandang “kain pada umumnya”, bahkan lebih parahnya setelah
kain tersebut di gunakan dalam acara adat yang melelahkan kemudian ulos tersebut tersimpan
rapat dalam lemari saja.

Sangat berbeda “rasanya” dengan dengan menggunakan setelan jas yang modis dan ingin
menggunakannya lagi dan lagi begitu setiap saat.

Jangan-jangan yang terbayang dalam pikiran mereka saat melihat ulos yang tergolek dalam
lemari adalah acara adat yang melelahkan, njelimet adatnya, pusing karena gak tau bahasa
batak, malu karena gak pinter martutur (menempatkan diri dalam pertalian darah atau
keturunan).

Akan sangat banyak tantangan masa depan yang akan menghimpit “niat maradat” bagi
generasi muda masa depan. Seperti masalah ke uangan, penggunaan waktu, perkembangan
pola pikir praktis, berkurangnya “rajaparhata” (orang yang mengetahui adat dan dapat
memandu kegiatan adat dari awal hingga akhir).

Jenis, makna dan fungsi[sunting | sunting sumber]


Ulos Antakantak[sunting | sunting sumber]
Ulos ini dipakai sebagai selendang orang tua untuk melayat orang yang meninggal, selain itu
ulos tersebut juga dipakai sebagai kain yang dililit pada waktu acara manortor(menari).

Ulos Bintang Maratur[sunting | sunting sumber]


Ulos ini merupakan Ulos yang paling banyak kegunaannya di dalam acara-acara adat Batak
Toba, beberapa diantaranya yakni:

 Kepada anak yang memasuki rumah baru. Memiliki rumah baru (milik Sendiri) adalah
merupakan suatu kebanggaan terbesar bagi masyarakat Batak Toba. Keberhasilan
membangun atau memiliki rumah baru di anggap sebagai salah satu bentuk keberhasilan
atau prestasi tersendiri yang tak ternilai harganya. Tingginya penghargaan kepada orang
yang telah berhasil membangun dan memiliki rumah baru adalah karena keberhasilan
tersebut di anggap merupakan suatu berkat dari Tuhan yang maha Esa yang di sertai
dengan adanya usaha dan kerja keras yang bersangkutan di dalam menjalani kehidupan.
Keberhasilan membangun atau memiliki rumah baru adalah merupakan situasi yang
sangat menggembirakan, oleh karena itu ulos ini akan diberikan kepada orang yang
sedang berada dalam suasana bergembira. Orang batak yang tinggal dan menetap di
berbagai puak/horja di sekitar Tapanuli telah memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda
pula. Walaupun konsep dan pemahaman tentang adat itu secara umum adalah sama,
namun pada hal-hal tertentu ada kalanya memiliki perbedaan dalam hal pemaknaan
terhadap nilai dan konsep adat yang ada sejak turun-temurun. Oleh karena itu pemberian
Ulos Bintang Maratur khusus di daerah Silindung di berikan kepada orang yang sedang
bergembira dalam hal ini sewaktu menempati atau meresmikan rumah baru.

 Secara khusus di daerah Toba Ulos ini diberikan waktu acara selamatan Hamil 7 Bulan
yang diberikan oleh pihak hulahula kepada anaknya. Ulos ini juga di berikan kepada
Pahompu (cucu) yang baru lahir sebagai Parompa (gendongan) yang memiliki arti dan
makna agar anak yang baru lahir itu di iringi kelahiran anak yang selanjutnya, kemudian
ulos ini juga di berikan untuk pahompu (cucu) yang baru mendapat babtisan di gereja dan
juga bisa di pakai sebagai selendang.
Ulos Bolean[sunting | sunting sumber]
Ulos ini biasanya di pakai sebagai selendang pada acara-acara kedukaan.

Ulos Mangiring[sunting | sunting sumber]


Ulos ini dipakai sebagai selendang, Talitali, juga Ulos ini di berikan kepada anak cucu yang
baru lahir terutama anak pertama yang memiliki maksud dan tujuan sekaligus sebagai Simbol
besarnya keinginan agar si anak yang lahir baru kelak di iringi kelahiran anak yang seterusnya,
Ulos ini juga dapat dipergunakan sebagai Parompa (alat gendong) untuk anak. kwlk;jetheth

Ulos Padang Ursa dan Ulos Pinan Lobu-lobu[sunting | sunting


sumber]
Ulos ini dipakai sebagai Talitali dan Selendang.

Ulos Pinuncaan[sunting | sunting sumber]


Ulos ini terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian di satukan dengan
rapi hingga menjadi bentuk satu Ulos. Kegunaannya antara lain:

 Dipakai dalam berbagai keperluan acara-acara duka cita maupun suka cita, dalam acara
adat ulos ini dipakai/ di sandang oleh Raja-raja Adat.
 Dipakai oleh Rakyat Biasa selama memenuhi beberapa pedoman misalnya, pada pesta
perkawinan atau upacara adat di pakai oleh suhut sihabolonon/ Hasuhuton (tuan rumah).
 Kemudian pada waktu pesta besar dalam acara marpaniaran (kelompok istri dari
golongan hulahula), ulos ini juga di pakai/dililit sebagai kain/hohophohop oleh
keluargahasuhuton (tuan rumah).
 Ulos ini juga berfungsi sebagai Ulos Passamot pada acara Perkawinan. Ulos Passamot di
berikan oleh Orang tua pengantin perempuan (Hulahula) kepada ke dua orang tua
pengantin dari pihak laki-laki (pangoli). Sebagai pertanda bahwa mereka telah sah menjadi
saudara dekat.
Ulos Ragi Hotang[sunting | sunting sumber]
Ulos ini di berikan kepada sepasang pengantin yang sedang melaksanakan pesta adat yang di
sebut dengan nama Ulos Hela. Pemberian ulos Hela memiliki makna bahwa orang tua
pengantin perempuan telah menyetujui putrinya di persunting atau di peristri oleh laki-laki yang
telah di sebut sebagai “Hela” (menantu). Pemberian ulos ini selalu di sertai dengan
memberikan mandar Hela (Sarung Menantu) yang menunjukkan bahwa laki-laki tersebut tidak
boleh lagi berperilaku layaknya seorang laki-laki lajang tetapi harus berperilaku sebagai orang
tua. Dan sarung tersebut di pakai dan di bawa untuk kegiatan-kegiatan adat.

Ulos Ragi Huting[sunting | sunting sumber]


Ulos ini sekarang sudah Jarang di pakai, konon pada zaman dulu sebelum Indonesia
merdeka, anak perempuan (gadis-gadis) memakai Ulos Ragi Huting ini sebagai pakaian
sehari-hari yang dililitkan di dada (Hobahoba) yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan
adalah seorang putri (gadis perawan) batak Toba yang ber-adat.

Ulos Sibolang Rasta Pamontari[sunting | sunting sumber]


Ulos ini di pakai untuk keperluan duka dan suka cita, tetapi pada zaman sekarang, Ulos
Sibolang bisa di katakan sebagai simbol duka cita, yang di pakai sebagai Ulos Saput (orang
dewasa yang meninggal tapi belum punya cucu), dan di pakai juga sebagai Ulos Tujung untuk
Janda dan Duda dengan kata lain kepada laki-laki yang ditinggal mati oleh istri dan kepada
perempuan yang di tinggal mati oleh suaminya. Apabila pada peristiwa duka cita Ulos ini di
pergunakan maka hal itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah sebagai keluarga
dekat dari orang yang meninggal.

Ulos Si bunga Umbasang dan Ulos Simpar[sunting | sunting sumber]


Secara umum ulos ini hanya berfungsi dan dipakai sebagai Selendang bagi para ibu-ibu
sewaktu mengikuti pelaksanaan segala jenis acara adat-istiadat yang kehadirannya sebatas
undangan biasa yang di sebut sebagai Panoropi (yang meramaikan) .

Ulos Sitolu Tuho[sunting | sunting sumber]


Ulos ini difungsikan atau di pakai sebagai ikat kepala atau selendang.

Ulos Suri-suri Ganjang[sunting | sunting sumber]


Ulos ini di pakai sebagai Hande-hande (selendang) pada waktu margondang (menari dengan
alunanan musik Batak) dan juga di pergunakan oleh pihak Hulahula (orang tua dari pihak istri)
untuk manggabei (memberikan berkat) kepada pihak borunya (keturunannya) karena itu
disebut juga Ulos gabegabe (berkat).

Ulos Simarinjam sisi[sunting | sunting sumber]


Dipakai dan di fungsikan sebagai kain, dan juga di lengkapi dengan Ulos Pinunca yang di
sandang dengan perlengkapan adat Batak sebagai Panjoloani (mendahului di depan). Yang
memakai ulos ini adalah satu orang yang berada paling depan.

Ulos Ragi Pakko dan Ulos Harangan[sunting | sunting sumber]


Pada zaman dahulu di pakai sebagai selimut bagi keluarga yang berasal dari golongan
keluarga kaya, dan itu jugalah apabila nanti setelah tua dan meninggal akan di saput (di
selimutkan, dibentangkan kepada jasad) dengan ulos yang pakai Ragi di tambah Ulos lainnya
yang di sebut Ragi Pakko karena memang warnanya hitam seperti Pakko.

Ulos Tumtuman[sunting | sunting sumber]


Dipakai sebagai talitali yang bermotif dan di pakai oleh anak yang menunjukkan bahwa yang
bersangkutan adalah anak pertama dari hasuhutan (tuan rumah).

Ulos Tutur-Tutur[sunting | sunting sumber]


Ulos ini dipakai sebagai talitali (ikat kepala) dan sebagai Handehande (selendang) yang
diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya (keturunannya).

Daftar isi
  [sembunyikan] 

 1 Arti Ulos
 2 Jenis, makna dan fungsi
o 2.1 Ulos Antakantak
o 2.2 Ulos Bintang Maratur
o 2.3 Ulos Bolean
o 2.4 Ulos Mangiring
o 2.5 Ulos Padang Ursa dan Ulos Pinan Lobu-lobu
o 2.6 Ulos Pinuncaan
o 2.7 Ulos Ragi Hotang
o 2.8 Ulos Ragi Huting
o 2.9 Ulos Sibolang Rasta Pamontari
o 2.10 Ulos Si bunga Umbasang dan Ulos Simpar
o 2.11 Ulos Sitolu Tuho
o 2.12 Ulos Suri-suri Ganjang
o 2.13 Ulos Simarinjam sisi
o 2.14 Ulos Ragi Pakko dan Ulos Harangan
o 2.15 Ulos Tumtuman
o 2.16 Ulos Tutur-Tutur
 3 Pranala luar

Rumah Balai Batak Toba


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa

Rumah Balai Batak Toba adalah rumah adat dari daerah Sumatera Utara. [1] Rumah ini
terbagi atas dua bagian yaitu jabu parsakitan dan jabu bolon.[1] Jabu parsakitan adalah tempat
penyimpanan barang. [1] tempat ini juga terkadang dipakai sebagai tempat untuk pembicaraan
terkait dengan hal-hal adat.[1] Jabu bolon adalah rumah keluarga besar.[1]Rumah ini tidak
memiliki sekat atau kamar sehingga keluarga tinggal dan tidur bersama. [1] Rumah Balai Batak
Toba juga dikenal sebagai Rumah Bolon.[2] Bagi masyarakatBatak, rumah ini tampak seperti
seekor kerbau yang sedang berdiri.[2] Pembangunan rumah adat suku Batak ini dilakukan
secara gotong royong oleh masyarakat Batak.[2]Rumah ini berbentuk seperti rumah panggung
yang disangga oleh beberapa tiang penyangga. [2] Tiang penyangga rumah biasanya terbuat
dari kayu.[2] Rumah Balai Batak Toba mempunyai bahan dasar dari kayu. [2] Menurut
kepercayaan masyarakat Batak, rumah ini terbagi ke dalam tiga bagian yang mencerminkan
dunia atau dimensi yang berbeda-beda.[2] Bagian pertama yaitu atap rumah yang diyakini
mencerminkan dunia para dewa.[2] Bagian kedua yaitu lantai rumah yang diyakini
mencerminkan dunia manusia.[2]Bagian yang ketiga adalah bagian bawah rumah atau kolong
rumah yang mencerminkan dunia kematian. [2]

Rumah adat ini disebut sebagai “Si Baganding Tua” oleh suku Batak, yaitu
makhluk seperti ular yang panjangnya sekira dua jengkal. Dahulu nenek
moyang orang Batak percaya bahwa nasib mujur dan rezeki yang melimpah
dibawa “Si Banganding Tua”.
Ruma gorga atau sering disebut ruma bolon atau “Si Baganding Tua”  adalah rumah adat suku Batak yang
sekaligus menjadi simbol status sosial masyarakat yang tinggal di Tapanuli, Sumatera Utara. Mereka yang
dikategorikan sebagai suku Batak itu meliputi 6 puak, yaitu: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak
Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.

Rumah adat Batak terdiri atas 2 bangunan utama yaitu ruma (tempat tinggal) dan sopo (lumbung padi). Letak
keduanya saling berhadapan dipisahkan pelataran luas yang berfungsi sebagai ruang kegiatan warganya.
Rumah adat ini berbentuk empat persegi panjang dengan denah dalamnya merupakan ruangan terbuka tanpa
kamar atau pun sekat pemisah. Dahulu, sebuah rumah adat Batak berukuran besar ( rumah bolon) dihuni 2
hingga 6 keluarga.

Sapukan pandangan Anda pada rumah adat ini yang atapnya berbentuk segitiga dan bertingkat tiga. Amati
bagaimana di setiap puncak dan segitiganya terdapat kepala kerbau yang melambangkan kesejahteraan bagi
penghuni rumahnya. Ciri utama bagian atap yang berbentuk segitiga tersebut berbahan anyaman bambu
(lambe-lambe). Biasanya lambe-lambe menjadi personifikasi sifat pemilik rumah tersebut yang ditandai
dengan warna merah, putih dan hitam.

Perhatikan juga lekukan ketelitian dari ukiran tradisional di dinding rumah adat ini. Bagian luar dan depan
rumah memuat ukiran yang dicat tiga warna yaitu merah-hitam-putih. Ukiran tersebut nyatanya penuh makna
simbolik yang menampilkan pandangan kosmologis dan filosofis budaya Batak. Di sebelah kiri dan kanan tiang
rumah ada ukiran yang menggambarkan payudara sebagai lambang kesuburan ( odap-odap). Ada juga ukiran
cicak sebagai lambang penjaga dan pelindung rumah (boraspati).
Rumah adat Batak dihiasi ukiran khas Batak yang disebut gorga. Gorga bagi
suku Batak adalah ornamen yang mengandung unsur mistis  penolak bala.
Biasanya ukiran gorga ditempatkan di dinding rumah bagian luar.
Keunikan desain ruma bolon adalah hiasan pada kusen pintu masuknya berupa ukiran telur dan panah. Tali-
tali pengikat dinding miring (tali ret-ret) terbuat dari ijuk atau rotan yang membentuk pola seperti cicak
berkepala 2 saling bertolak belakang. Cicak itu dikiaskan sebagai penjaga rumah dan 2 kepala saling bertolak
belakang melambangkan penghuni rumah mempunyai peranan yang sama dan saling menghormati.
Pada konsep tradisional, nyatanya memang rumah-rumah tradisional di Nusantara tidak hanya memiliki
dimensi fungsional sebagai tempat hunian tetapi juga sekaligus melalui unsur-unsur bentuk tertentu.
Posisi ruma bolon juga menunjukan tentang kepercayaan suku ini yaitu banua ginjang (dunia atas), banua
tonga (dunia tengah/bumi), dan banua toru (dunia bawah atau dunia makhluk halus).

Penataan perkampungan suku Batak Toba mengikuti pola berbanjar dua saling berhadapan berporos ke arah
utara selatan dan membentuk perkampungan yang disebut lumban atau huta. Perkampungan tersebut
memiliki 2 pintu gerbang ( bahal) di sisi utara dan selatannya. Sekeliling lingkungan dipagari tembok setinggi 2
meter (parik) berbahan tanah liat dan batu. Selain itu, di setiap sudutnya dibuat menara pengawas karena
dahulu mereka masih sering berperang. Tidak berlebihan apabila bentuk asli perkampungan suku Batak
dulunya menyerupai benteng.

Dahulu sebuah perkampungan suku Batak dibuat dengan menggali tanah


membentuk parit mengelilinginya juga ditanami bambu setinggi 3 meter. Bentuk
perkampungan itu jadinya lebih menyerupai sebuah benteng untuk melindungi
warganya dari serangan suku lain.
Sebutan untuk rumah Batak disesuaikan dengan hiasannya. Rumah adat dengan beragam hiasan yang indah
yang rumit dinamakan disebut ruma gorgasarimunggu atau jabu. Sementara rumah adat yang tidak memiliki
ukiran dinamakan jabu erengatau jabu batara siang.

Untuk ruma gorga yang berukuran besar dinamakan ruma bolon. Selain sebagai tempat tinggal dahulu ruma
bolon juga berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara adat religius. Sementara itu, ruma gorga yang
berukuran kecil disebut jabu parbale-balean. Selain keduanya ada juga ruma parsantian, yaitu rumah adat
yang menjadi hak seorang anak bungsu.

Ruma bolon kini tidak lagi dibangun oleh masyarakat Batak mengingat semakin sedikitnya orang yang mampu
membangunnya (pande). Selain itu, bahan pembuat bangunannya sulit didapat serta harganya akan jauh lebih
mahal dari rumah modern.

Akan tetapi, Anda masih dapat melihat langsung rangkaian utuh rumah adat kaya nilai budaya Batak ini di
beberapa tempat seperti di Kabupaten Tapanuli Utara di Desa Tomok, Desa Ambarita, Desa Silaen, dan Desa
Lumban Nabolon Parbagasan. Desa-desa tersebut hingga kini terus menjadi daya tarik wisata budaya dan
banyak dikunjungi wisatawan.
Nenek moyang orang suku Batak sendiri berasal dari Tamil India dimana
mereka datang abad ke-10 untuk berdagang rempah-rempah ke Pulau Sumatera
melalui pelabuhan Barus. Pada abad ke-18 permukiman kuno warga Tamil India
ditemukan di Lobu Tua, Barus, diperkirakan  perkampunga tersebut sudah
berusia lebih dari dua abad. Ada dua prasasti berbahasa Tamil ditemukan di
kawasan itu yang menyatakan bahwa tahun 1088 sebanyak 1.500 warga Tamil
datang ke Barus untuk berdagang kapur barus dan kemeyan.Kata ‘batak’ sendiri
berasal dari kata ‘mamatak hoda’ yang bermakna ‘si penunggang kuda‘, apakah
ini ada kaitan dengan pendatang dari Tamil tersebut?
 

 
Rumah Adat Batak: Makna dan Filosofi
BECAK SIANTAR - Rumah Adat Batak: Makna dan Filosofi. Pintu yang rendah
berukuran 1.5 meter pada rumah adat Batak yang membuat para tamu yang
mengunjunginya menunduk melambangkan kesopanan. Seseorang harus menunduk
agar bisa masuk rumah tersebut, sama halnya dengan keharusan tamu menghormati
pemilik rumah

Suku Batak terdiri dari enam kelompok Puak yang sebagian besar menempati daerah
Sumatera Utara, terdiri dari Batak Karo, Simalungun, Pak-Pak, Toba, Angkola dan
Mandailing. Suku Batak Toba adalah masyarakat Batak Toba yang bertempat tinggal sebagai
penduduk asli disekitar Danau Toba di Tapanuli Utara. Pola perkampungan pada umumnya
berkelompok. Kelompok bangunan pada suatu kampung umumnya dua baris, yaitu barisan
Utara dan Selatan. Barisan Utara terdiri dari lumbung tempat menyimpan padi dan barisan
atas terdiri dari rumah adat, dipisahkan oleh ruangan terbuka untuk semua kegiatan sehari-
hari.

Desa-desa di daerah Danau Toba, meskipun saat ini telah kehilangan dibandingkandengan


bentuk desa masa lampau, tetapi ciri yang umum masih ada bahkan pada desa-desa yang
kecil, yaitu dikelilingi oleh sebuah belukar bambu. Pohon-pohon bambu sangat tinggi dan
seringkali sulit untuk melihat rumah-rumahnya dari luar desa itu, kecuali didaerah yang
berbukit. Di sekitar Balige, poros bangunan yang panjang mempunyai arah Utara-Selatan
sedang di daerah bukit poros bangunan yang panjang sering diorientasikan secara melintang
ke arah sudut-sudut yang tepat ke lereng-lereng bukit. Di daerah Samosir, poros bangunan
yang panjang diarahkan ke Timur-Barat.

Pada mulanya Huta, Lumban, atau kampung itu hanya dihuni oleh satu klan atau marga dan
Huta itu pun di bangun oleh klan itu sendiri. Jadi sejak mulanya Huta itu adalah milik bersama.
Sebagaimana ciri khas orang Batak yang suka gotong royong, demikianlah mereka
membangun Huta. Oleh karena Huta didiami oleh sekelompok orang yang semarga, maka
ikatan kekeluargaan sangat erat di Huta itu. Mereka secara gotong royong membangun dan
memperbaiki rumah, secara bersama-sama memperbaiki pancuran tempat mandi,
memperbaiki pengairan, mengerjakan ladang dan sawah, dan bersama-sama pula memetik
hasilnya.

Biasanya Huta hanya didiami beberapa anggota keluarga yang berasal dari satu leluhur.
Disebabkan oleh pertambahan penduduk, kemudian dibangunlah rumah dekat rumah leleuhur
atau ayah yang pertama. Demikian seterusnya bangunan rumah makin bertambah, sehingga
terbentuk perkampungan yang lebih ramai. Sering pula kampung itu terdiri dari beberapa
kelompok kampung-kampung kecil, yang hanya dipisahkan pagar bambu yang ditanam
dipinggiran kampung.

Adanya usaha beberapa orang dari anggota masyarakat dalam satu kampung untuk
memisahkan diri dan membentuk kampung sendiri, dapat membuat berdirinya Huta lain. Suatu
Huta yang baru, hanya dapat diresmikan kalau sudah ada ijin dari Huta yang lama (Huta
induk) dan telah menjalankan suatu upacara tertentu yang bersifat membayar hutang kepada
Huta induk.
Rumah adat Batak Toba berdasarkan fungsinya dapat dibedakan ke dalam rumah yang
digunakan untuk tempat tinggal keluarga disebut ruma, dan rumah yang digunakan sebagai
tempat penyimpanan (lumbung) disebut Sopo. Bahan-bahan bangunan terdiri dari kayu
dengan tiang-tiang yang besar dan kokoh. Dinding dari papan atau tepas, lantai juga dari
papan sedangkan atap dari ijuk. Tipe khas rumah adat Batak Toba adalah bentuk atapnya
yang melengkung dan pada ujung atap sebelah depan kadang-kadang dilekatkan tanduk
kerbau, sehingga rumah adat itu menyerupai kerbau.

Punggung kerbau adalah atap yang melengkung, kaki-kaki kerbau adalah tiang-tiang pada
kolong rumah. Sebagai ukuran dipakai depa, jengkal, asta dan langkah seperti ukuran-ukuran
yang pada umumnya dipergunakan pada rumah-rumah tradisional di Jawa, Bali dan daerah-
daerah lain. Pada umumnya dinding rumah merupakan center point, karena adanya ukir-ukiran
yang berwarna merah, putih dan hitam yang merupakan warna tradisional Batak.

Ruma Gorga Sarimunggu yaitu ruma gorga yang memiliki hiasan yang penuh makna dan arti.
Dari segi bentuk, arah motif dapat dicerminkan falsafah maupun pandangan hidup orang Batak
yang suka musyawarah, gotong royong, suka berterus terang, sifat terbuka, dinamis dan
kreatif.

Ruma Parsantian didirikan oleh sekeluarga dan siapa yang jadi anak bungsu itulah yang
diberi hak untuk menempati dan merawatnya. Di dalam satu rumah dapat tinggal beberapa
keluarga , antara keluarga bapak dan keluarga anak yang sudah menikah. Biasanya orangtua
tidur di bagian salah satu sudut rumah. Seringkali keluarga menantu tinggal bersama orangtua
dalam rumah yang sama.

Rumah melambangkan makrokosmos dan mikrokosmos yang terdiri dari adanya


tritunggal benua, yaitu : Benua Atas yang ditempati Dewa, dilambangkan dengan atap
rumah; Benua Tengah yang ditempati manusia, dilambangkan dengan lantai dan
dinding; Benua Bawah sebagai tempat kematian dilambangkan dengan kolong. Pada
jaman dulu, rumah bagian tengah itu tidak mempunyai kamar-kamar dan naik ke rumah
harus melalui tangga dari kolong rumah, terdiri dari lima sampai tujuh buah anak
tangga.

Sebelum meletakkan pondasi lebih dahulu diadakan sesajen, biasanya berupa hewan, seperti
kerbau atau babi. Caranya yaitu dengan meletakkan kepala binatang tersebut ke dalam lubang
pondasi, juga darahnya di tuang kedalam lubang. Tujuannya supaya pemilik rumah selamat
dan banyak rejeki di tempat yang baru.

Ada tiang yang dekat dengan pintu (basiha pandak) yang berfungsi untuk memikul bagian
atas, khususnya landasan lantai rumah dan bentuknya bulat panjang. Balok untuk
menghubungkan semua tiang-tiang disebut rassang yang lebih tebal dari papan. Berfungsi
untuk mempersatukan tiang-tiang depan, belakang, samping kanan dan kiri rumah dan
dipegang oleh solong-solong (pengganti paku). Pintu kolong rumah digunakan untuk jalannya
kerbau supaya bisa masuk ke dalam kolong.

Tangga rumah terdiri dari dua macam, yaitu : pertama, tangga jantan (balatuk tunggal), terbuat
dari potongan sebatang pohon atau tiang yang dibentuk menjadi anak tangga. Anak tangga
adalah lobang pada batang itu sendiri,berjumlah lima atau tujuh buah. Biasanya terbuat dari
sejenis pohon besar yang batangnya kuat dan disebut sibagure. Kedua, tangga betina (balatuk
boru-boru), terbuat dari beberapa potong kayu yang keras dan jumlah anak tangganya ganjil.

Tiang-tiang depan dan belakang rumah adat satu sama lain dihubungkan oleh papan yang
agak tebal (tustus parbarat), menembus lubang pada tiang depan dan belakang. Pada waktu
peletakannya, tepat di bawah tiang ditanam ijuk yang berisi ramuan obat-obatan dan telur
ayam yang telah dipecah, bertujuan agar penghuni rumah terhindar dari mara bahaya.

Rumah adat Batak Toba pada bagian-bagian lainnya terdapat ornamen-ornamen yang penuh
dengan makna dan simbolisme, yang menggambarkan kewibawaan dan kharisma. Ornamen-
ornamen tersebut berupa orang yang menarik kerbau melambangkan kehidupan dan
semangat kerja, ornament-ornamen perang dan dan sebagainya. Teknik ragam hias terdiri dari
dua cara, yaitu dengan teknik ukir teknik lukis. Untuk mengukir digunakan pisau tajam dengan
alat pemukulnya (pasak-pasak) dari kayu. Sedangkan teknik lukis bahannya diolah sendiri dari
batu-batuan atau pun tanaga yang keras dan arang. Atap rumah terbuat dari ijuk yang terdiri
dari tiga lapis. Lapisan pertama disebut tuham-tuham ( satu golongan besar dari ijuk, yang
disusun mulai dari jabu bona tebalnya 20 cm dan luasnya 1x1,5 m2). Antara tuham yang satu
dan dengan tuham lainnya diisi dengan ijuk agar permukaannya menjadi rata. Lapisan kedua,
yaitu lalubaknya berupa ijuk yang langsung diambil dari pohon Enau dan masih padat,
diletakkan lapis ketiga. Setiap lapisan diikat dengan jarum yang terbuat dari bambu dengan
jarak 0,5 m.

Sebelum mendirikan bangunan diadakan musyawarah terlebih dahulu. Hasil musyawarah


dikonsultasikan kepada pengetua untuk memohon nasihat atau saran. Setelah diadakan
musyawarah, tindakan berikutnya adalah peninjauan tempat. Apabila tempat tersebut
memenuhi persyaratan, maka ditandai dengan mare-mare yakni daun pohon enau yang masih
muda dan berwarna kuning, yang merupakan pertanda atau pengumuman bagi penduduk
disekitarnya bahwa tempat tersebut akan dijadikan bangunan.

Tahap pertama adalah pencarian pohon-pohon yang cocok kemudian ditebang dan
dikumpulkan disekitar tempat-tempat yang akan didirikan rumah. Kemudian bahan-
bahan tersebut ditumpuk ditempat tertentu agar terhindar dari hujan dan tidak cepat
lapuk atau menjadi busuk.

Dalam mendirikan suatu rumah adat biasanya memakan waktu sampai lima tahun. Sudah
barang tentu memakan biaya banyak, karena banyaknya hewan yang dikorbankan, untuk
memenuhi syarat-syarat dan upacara-upacara yang diadakan, baik sebelum mendirikan
bangunan (upacara mengusung bunti), pada waktu mendirikan bangunan (upacara parsik
tiang) pada waktu memasang tiang, dan panaik uwur (pada waktu memasang uwur) maupun
pada waktu bangunan telah selesai, yaitu upacara memasuki rumah baru (mangopoi jambu)
dan upacara memestakan rumah (pamestahon jabu)

Daerah yang ditempati oleh suku Batak Simalungun terletak diantara daerah Karo dan Toba di
Sumatera Utara. Pada waktu ini sudah hampir tidak terdapat lagi desa-desa tradisional dari
suku Batak Simalungun, yang dahulunya merupakan sebuah desa yang besar sekali dikelilingi
oleh pohon-pohon beracun. Desa tersebut dibangun di atas sebuah bukit, dan sulit sekali
untuk dimasuki kecuali melewati terowongan-terowongan yang langsung dapat mencapai
tengah-tengah desa.

Arsitektur tradisional dari suku Batak Simalungun masih dapat dipelajari dari empat jenis
bangunan yang masih ada, dalam bentuk Balai Buttu (pintu gerbang rumah), Jambur
(gudang), Bolon adat (rumah raja) dan Balai Bolon Adat (gedung pertemuan dan pengadilan).
Balai Buttu dicapai dengan anak tangga dari kayu, luasnya kira-kira 6m2 dan tingginya 6 m.
Dasarnya adalah balok-balok horisontal yang dibangun dalam bentuk persegi, di susun di atas
empat buah batu kali dengan alas ijuk diantara batu dan papan . jambur digunakan untuk
menyimpan beras, tetapi dipakai juga sebagai tempat tinggal tamu laki-laki dan tempat dimana
para bujangan tidur.

Fungsi dari bangunan ini seperti yang ada di Pematang Purba, tampaknya telah menyimpang
dari penggunaan aslinya dan terlihat pada tungku perapiannya. Bagian atas menunjukkan
bahwa kegunaan utamanya telah menjadi tempat tinggal dan bukan dipergunakan sebagai
tempat penyimpanan beras. Bangunan ini kira-kira luasnya 25 m2 dan tingginya 7m.
Strukturnya di atas dua belas batu kali yang tiga menyilang ke depan dan empat dari depan ke
belakang. Lantai yang lebih rendah hanya 75 cm dari tanah dan ditopang tiga lapis palang
balok. Lumbung digantungkan di atas tungku di tingkat atas, dimana penggunaan utama dari
bangunan tersebut tetap sebagai tempat penyimpanan beras.

Balai Balon Adat semula digunakan untuk tempat pertemuan-pertemuan dan untuk


membahas masalah penting dalam hukum adat. Sistem pembangunannya sama seperti Balai
Buttu, tetapi dalam skala lebih besar. Perbedaan utamanya adalah pada tiang penyangga
struktur atap yang diletakkan di atas balok lantai. Tiang berdiameter 35 cmdan dibuat dari kayu
yang sangat keras. Dasar dari tiang ini sangat penting dan ditutupi dengan ukiran, lukisan dan
tulisan yang berhubungan dengan hukum adat. Bagian depan (Timur) adalah pintu, lebarnya
80 cm dan tingginya 1,5 m, dikelilingi dengan ukiran, lukisan dan tulisan dan dengan dua
kepala singa pada ambang pintu.

Potongan yang lebih rendah dari dinding yang miring pada setiap sisi pintunya dipenuhi
dengan papan tiang jendela vertikal yang membiarkan masuknya cahaya dan angin. Rumah
Balon Adat (rumah raja) terbagi menjadi dua bagian, yaitu yang besar dibangun pada tiang-
tiang vertikal, sedangkan yang kecil disusun pada tumpukan balok horisontal, pintu masuk
pada sisi sebelah Timur diapit oleh balkon atas dan bawah, menopang pada sambungan dari
bagian atap ke bagian depan bangunan. Ujung atapnya sederhana, dua puluh tiang yang
menopang lantai dibentuk menjadi ortogal dan dicat dengan motifgeometris hitam putih.

Tidak seperti bangunan lainnya, bangunan ini mempunyai lantai ganda dengan gang yang
menurun ke pusat pada lantai yang lebih rendah. Lantai yang rendah berada 2,80 m dari tanah
dan gang digantungkan dengan rota yang diikat pada dua pusat kayu, dilengkapi dengan
kumpulan papan yang terbentuk dengan indah sebagai dekorasinya. Tungku perapian
dibangun dari sisa pembakaran kayu dan dipenuhi dengan tanah. Di atas tungku dipasang
ayunan dimana peralatan memasak disimpan dan bahan makanan dikeringkan serta diasapi.

Pintu pada ujung sebelah Timur kamar raja berisi ruangan tidur kecil dan dua tungku api.
Konstruksi pada bagian bangunan ini sama dengan rumah pertemuan (Balai Balon adat)
kecuali struktur lantainya sedikit rumit sebagai akibat dari tungku tersebut. Penutup atap
keseluruhan adalah jalinan ijuk pada kaso dan papan kecil dari bambu. Bumbungan dikat
dengan ijuk dengan hiasan kepala kerbau pada puncaknya.

Pada bangunan Simalungun susunan strukturnya terdiri dari tiang-tiang bergaris tengah 40


sampai 50 cm. Sebagian besar adalah balok-balok dan tiang-tiang yang dibiarkan dalam
potongan bundar yang ditebang dari hutan. Kayu yang digunakan pada umumnya adalah kayu
keras, kayu tongkang dan kadang-kadang keseluruhan bambu digunakan dalam jalinan ijuk
yang diikat dengan rotan atau bambu belah. Struktur tersebut ditata di atas batu-batu kali yang
besar kecuali untuk rumah raja. Tiang-tiangnya ditanam di dalam tanah. Pusat tiang terpenting
dari gedung pertemuan diukir dari kayu keras yang tebal. Paku tidak digunakan dalam
konstruksi, hanya pasak dan tali ijuk baji (sentung).

Bangunan rumah adat Batak Karo merupakan sebuah bangunan yang sangat besar, terdiri
dari empat sampai enam tungku perapian, satu untuk setiap unit keluarga besar (jabu) atau
untuk dua jabu. Oleh karena itu antara empat sampai duabelas keluarga dapat tinggal di
rumah tersebut dan dengan ukuran rata-rata keluarga besar terdiri dari lima orang (suami, istri
dan tiga orang anak). Rumah adat Batak Karo dapat ditempati oleh dua puluh sampai enam
puluh orang. Anak-anak tidur dengan orangtua sampai menjelang usia dewasa, pada pria
dewasa (bujangan) tidur di bale-bale lumbung dan para gadis bergabung dengan keluarga lain
di rumah lainnya.

Rumah adat Batak Karo berukuran 17x12 m2 dan tingginya 12m. Bangunan ini simetris pada
kedua porosnya, sehingga pintu masuk pada kedua sisinya kelihatan sama. Hal ini sulit untuk
membedakan yang mana pintu masuk utamanya. Rumah adat Batak Karo dibangun dengan
enam belas tiang yang bersandar pada batu-batu besar dari gunung atau sungai. Delapan dari
tiang-tiang ini menyangga lantai dan atap, sedangkan yang delapan lagi hanya penyangga
lantai saja. Dinding-dindingnya juga merupakan penunjang atap. Kedua pintumasuk dan
kedelapan jendela dipasang di atas dinding yang miring, di atas lingkaran balok. Tinggi pintu
setinggi orang dewasa dan jendela ukurannya lebih kecil. Pintu mempunyai daun pintu ganda
sedangkan jendela mempunyai daun jendela tunggal.

Bagian luar dari kusen jendela dan pintu umumnya diukir dalam versi yang rumit dari susunan
busur dan anak panah. Atap dijalin dengan ijuk hitam dan diikatkan kepada sebuah kerangka
dari anyaman bambu yang menutupi bagian bawah kerangka dari pohon aren atau bambu.
Bumbungan atap terbuat dari jerami yang tebalnya 15 sampai 20 cm. Bagian terendah dari
atap pertama di bagian pangkalnya ditanami tanaman yang menjalar pada semua dinding dan
berfungsi sebagai penahan hujan deras. Ujung dari atap yang menonjol ditutup dengan tikar
bambu yang sangat indah.

Pemahaman Tentang Rumah Adat Suku Batak


Suku Batak adalah salah satu suku di Indonesia yang banyak sekali tinggal di
pulau Sumatera, namun saat ini keturunan suku Batak sudah menyebar
hampir di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu ciri khas yang menarik adalah
rumah adat suku Batak yang bentuknya sangat unik.

Rumah adat suku Batak Toba disebut juga ‘rumah bolon’. Rumah ini berbentuk
panggung dengan bahan utama bangunan berupa kayu. Hal yang paling
menarik perhatian adalah bentuk atapnya yang melengkung dan runcing di
tiap ujungnya.

Di balik bentuknya yang sangat unik, ternyata rumah adat suku Batak ini
memiliki makna dan arti tersendiri.Filosofi rumah adat suku batak memang
sangat menarik untuk dipelajari, mulai dari proses pembangunan rumah
sampai segala dekorasi, ternyata semuanya memiliki makna yang cukup
dalam.

Pembangunan Rumah Bolon


Proses pembangunan rumah adat suku Batak selalu dilaksanakan secara
gotong royong. Bahan yang digunakan adalah bahan yang dengan kualitas
baik, umumnya seorang pande (tukang) akan memilih kayu-kayu dengan cara
memukul kayu tersebut dengan suatu alat untuk mencari bunyi kayu yang
nyaring.

Pondasi rumah adalah hal yang terpenting, dibuat dengan formasi berbentuk
segi empat, dipadu tiang dan dinding yang kuat. Makna dari pondasi ini sendiri
adalah saling bekerja sama demi memikul beban yang berat.

Untuk bagian atas rumah, ditopang oleh sebuah tiang yang biasa disebut tiang
“ninggor” dibantu oleh kayu penopang yang lain. Tiang “ninggor” ini lurus dan
tinggi, orang suku Batak memaknainya sebagai simbol kejujuran. Untuk
menjunjung tinggi kejujuran, perlu didukung oleh rasa keadilan (disimbolkan
oleh kayu penopang pada “ninggor”).

Di bagian depan atap terdapat “arop-arop” bermakna harapan untuk bisa


hidup layak. Lalu ada “songsong boltok” untuk menahan atap, yang punya arti
bila ada pelayanan tuan rumah yang kurang baik sebaiknya dipendam dalam
hati saja.

Interior Rumah Adat Suku Batak

Orang suku Batak selalu membersihkan ruangan rumah dengan cara menyapu
semua kotoran dan mengeluarkannya lewat lubang “talaga” yang ada di dekat
tungku masak. Hal ini juga bermakna untuk membuang segala keburukan di
dalam rumah, juga melupakan kelakuan-kelakuan yang tidak baik.

Di dalam rumah terdapat semacam rumah panggung kecil yang mirip balkon
pada rumah biasa. Tempat ini untuk menyimpan padi, bermakna pula sebagai
pengharapan untuk kelancaran rezeki.

Di setiap rumah di bagian pintu masuk, selalu ada tangga. Bagi orang lain, bila
ada tangga rumah rusak, mungkin akan mengeluh. Tapi bagi orang Batak, bila
tangga rumah ini cepat rusak/aus, itu malah membanggakan. Karena itu
artinya sering dipakai orang/dikunjungi orang karena tuan rumah tersebut
adalah orang yang baik dan ramah.

Gorga
Gorga adalah pahatan/ukiran kayu yang ada pada rumah adat suku Batak.
Hiasan ini sendiri memiliki nama-nama tersendiri berdasarkan bentuk
ukirannya :
1. Gorga simataniari (matahari) : menggambarkan matahari yang
merupakan sumber kehidupan manusia.
2. Gorga desa naualu : menggambarkan 8 penjuru mata angin yang
sangat berkaitan erat dengan aktivitas ritual suku Batak
3. Gorga singa-singa : menggambarkan tuan rumah sebagai orang yang
kuat, kokoh, pemberani dan berwibawa.

Itu beberapa contoh nama gorga, masih cukup banyak nama gorga lainnya
yang memiliki makna tertentu. Gorga sendiri sering dilukis dengan 3 warna :
1. Merah : melambangkan kecerdasan dan wawasan yang luas sehingga
lahir kebijaksanaan.
2. Putih : melambangkan kejujuran yang tulus sehingga lahir kesucian.
3. Hitam : melambangkan kewibawaan yang melahirkan kepemimpinan.

olon, Rumah Adat Suku Batak Toba


Bolon, Rumah Adat Suku Batak Toba


Kidnesia.com – Batak Toba  merupakan sebuah suku yang berasal dari Sumatera Utara . Suku ini memiliki
rumah adat yang bernama Rumah Bolon . Kata Bolon memiliki arti besar, jadi Rumah Bolon berarti rumah
besar karena memang ukurannya yang cukup besar.
Rumah adat ini menjadi simbol status sosial masyarakat Batak yang tinggal di Sumatera Utara. Dahulu Rumah
Bolon ditinggali oleh para raja di Sumatera Utara. Ada 13 kerajaan yang bergantian menempati Rumah Bolon,
yaitu Tuan Ranjinman ,Tuan Nagaraja , Tuan Batiran , Tuan Bakkaraja , Tuan Baringin , Tuan
Bonabatu ,Tuan Rajaulan , Tuan Atian , Tuan Hormabulan , Tuan Raondop , Tuan Rahalim ,Tuan Karel
Tanjung , dan Tuan Mogang . Tetapi sekarang Rumah Bolon menjadi objek wisata di Sumatera Utara.

Rumah Bolon memiliki kolong di bagian bawah rumah yang tingginya sekitar dua meter. Kolong tersebut
digunakan untuk memelihara hewan, seperti kerbau, babi, ayam, dan sebagainya.

Untuk masuk ke Rumah Bolon, kita harus menunduk, karena pintunya pendek dan berukuran kecil. Hal ini
menandakan, bahwa tamu yang datang ke rumah tersebut harus menghormati tuan rumah dengan cara
menunduk saat memasuki rumah.

O ya, pada bagian depan Rumah Bolon, terdapat gorga yang terletak di atas pintu. Gorga adalah sebuah
lukisan berwarna merah, hitam, dan putih. Lukisan tersebut bergambar hewan, seperti cicak dan kerbau.

Bagi suku Batak, Kedua hewan tersebut memiliki makna, lo, teman-teman. Hewan cicak bermakna orang
Batak mampu bertahan hidup di manapun ia berada, meski merantau ke tempat jauh sekalipun. Hal ini
dikarenakan orang Batak memiliki rasa persaudaraan yang sangat kuat dan tidak terputus antar sesama
sukunya. Sedangkan gambar kerbau memiliki makna sebagai ucapan terima kasih atas bantuan kerbau yang
telah membantu manusia dalam pekerjaaan di ladang.

Sejarah Rumah Balai Batak Toba

Gambar Rumah Balai Batak Toba

Suku bangsa Batak terbagi atas 6 anak suku, yaitu Batak Karo, Batak Simalungun, Batak
Pakpak, Batak Toba, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Setiap suku memiliki seni
arsitektur yang menarik. 
Rumah Adat Batak Toba yaitu Rumah Bolon (Rumah Gorga atau Jabu Si Baganding Tua).
Biasanya Rumah terdiri atas Rumah dan juga sopo (lumbung padi) yang berada di depan
rumah. Rumah dan sopo dipisahkan oleh pelataran luas yang berfungsi sebagai ruang
bersama warga huta.Rumah adat dengan banyak hiasan (gorga), disebut Rumah Gorga
Sarimunggu atau Jabu Batara Guru. Sedangkan rumah adat yang tidak berukir, disebut Jabu
Ereng atau Jabu Batara Siang. Rumah berukuran besar, disebut Rumah Bolon. dan rumah
yang berukuran kecil, disebut Jabu Parbale-balean.

Pada Rumah Adat Batak juga terdapat banyak ukiran yang disebut gorga. Warna-warna yang
dipilih adalah merah, hitam dan putih, yang maksudnya adalah warna dari alam yang mengacu
pada flora dan fauna.

Filosofi Rumah Batak Toba


Rumah adat bagi orang Batak didirikan bukan hanya sekedar tempat bemaung dan berteduh
dari hujan dan panas terik matahari semata tetapi sebenanya sarat dengan nilai filosofi yang
dapat dimanfaatkan sebagai pedoman hidup.

Beragam pengertian dan nilai luhur yang melekat dan dikandung dalam rumah adat
tradisional yang mestinya dapat dimaknai dan dipegang sebagai pandangan hidup dalam
tatanan kehidupan sehari-hari, dalam rangka pergaulan antar individu. 

Dalam kesempatan ini akan dipaparkan nilai flosofi yang terkandung didalamnya sebagai
bentuk cagar budaya, yang diharapkan dapat menjadi sarana pelestarian budaya, agar kelak
dapat diwariskan kepada generasi penerus untuk selalu rindu dan cinta terhadap budayanya.

Makna dan Simbolisme


Pola penataan desa atau lumban/ huta terdiri dari beberapa ruma dan sopo. Perletakan ruma
dan sopo tersebut saling berhadapan dan mengacu pada poros utara selatan. Sopo
merupakan lumbung, sebagi tempat penyimpanan makanan. Dalam hal ini, menunjukkan
bahwa masyarakat Batak selalu menghargai kehidupan, karena padi merupakan sumber
kehidupan bagi mereka. Penafsiran Pola penataan lumban yang terlindungi dengan pagar
yang kokoh, dengan dua gerbang yang mengarah utara-selatan, menunjukkan bahwa
masyarakat Batak, memiliki persaingan dalam kehidupan kesehariannya.

Jika kita mengamati peta perkampungan Batak, maka dapat kita ketahui terdapat beragam
suku Batak, dengan lokasi yang berdekatan. Oleh karena iu, pola penataan lumban berbentuk
lebih menyerupai sebuah benteng dari pada sebuah desa. Pada penataan bangunan yang
sangat menghargai keberadaan sopo, yaitu selalu berhadapan dengan ruma. Hal ini
menunjukkan pola kehidupan masyarakat Batak Toba yang didominasi oleh bertani, dengan
padi sebagai sumber kehidupan yang sangat dihargainya. Di dalam lumban, terdapat
beberapa ruma dan sopo yang tertata secara linear. Beberapa rumah tersebut menunjukkan
bahwa ikatan keluarga yang dikenal dengan extended family dapat kita ketemukan dalam
masyarakat Batak Toba.

Kajian Persolekan
Sebelum mendirikan bangunan diadakan upacara mangunsong bunti, yaitu upacara memohon
kepada Tri-tunggal Dewa (Mula Jadi Nabolon, Silaon Nabolon, dan Mengalabulan). Peserta
upacara melipud Datu Ari (dukum), Raja Perhata (ahli hukum adat), Raja Huta (kepala desa)
dan Dalihan Natolu (raja ni hula-hula, dongan tubu dan boru). Waktu mendirikan bangunan
diadakan upacara paraik tiang dan paraik urur (memasang tiang dan urur). Setelah bangunan
selesai diadakan 2 upacara, yakni: mangompoi jabu (memasuki rumah baru) dan pamestahon
jabu (pesta perhelatan rumah baru).

NILAI FILOSOFI RUMAH ADAT BATAK


R B MARPAUNG
Rumah adat bagi orang Batak didirikan bukan hanya sekedar tempat bemaung
dan berteduh dari hujan dan panas terik matahari semata tetapi sebenanya
sarat dengan nilai filosofi yang dapat dimanfaatkan sebagai pedoman hidup.

Beragam pengertian dan nilai luhur yang melekat dan dikandung dalam rumah
adat tradisionil yang mestinya dapat dimaknai dan dipegang sebagai
pandangan hidup dalam tatanan kehidupan sehari-hari, dalam rangka
pergaulan antar individu.
Dalam kesempatan ini akan dipaparkan nilai flosofi yang terkandung
didalamnya sebagai bentuk cagar budaya, yang diharapkan dapat menjadi
sarana pelestarian budaya, agar kelak dapat diwariskan kepada generasi
penerus untuk selalu rindu dan cinta terhadap budayanya.
Proses Mendirikan Rumah.
Sebelum mendirikan rumah lebih dulu dikumpulkan bahan-bahan bangunan
yang diperlukan, dalam bahasa Batak Toba dikatakan “mangarade”. Bahan-
bahan yang diinginkan antara lain tiang, tustus (pasak), pandingdingan,
parhongkom, urur, ninggor, ture-ture, sijongjongi, sitindangi, songsong boltok
dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-singa, ulu paung dan
sebagainya yang diperlukan.
Dalam melengkapi kebutuhan akan bahan bangunan tersebut selalu
dilaksanakan dengan gotong royong yang dalam bahasa Batak toba dikenal
sebagai “marsirumpa” suatu bentuk gotong royong tanpa pamrih.
Sesudah bahan bangunan tersebut telah lengkap maka teknis pengerjaannya
diserahkan kepada “pande” (ahli di bidang tertentu, untuk membuat rumah
disebut tukang) untuk merancang dan mewujudkan pembangunan rumah
dimaksud sesuai pesanan dan keinginan si pemilik rumah apakah bentuk
“Ruma” atau “Sopo”.
Biasanya tahapan yang dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan
bangunan dengan kriteria yang digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu
yang diketok oleh pande dengan alat tertentu. Hai itu disebut “mamingning”.
Kayu yang suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang “Jabu bona”.
Dan kayu dengan suara nyaring kedua untuk tiang “jabu soding” yang
seterusnya secara berturut dipergunakan untuk tiang “jabu suhat” dan “si
tampar piring”.
Tahapan selanjutnya yang dilakukan pande adalah “marsitiktik”. Yang
pertama dituhil (dipahat) adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yang
mengatakan “Tais pe banjar ganjang mandapot di raja huta. Bolon pe
ruma gorga mandapot di jabu bona”.
Salah satu hal penting yang mendapat perhatian dalam membangun rumah
adalah penentuan pondasi. Ada pemahaman bahwa tanpa letak pondasi yang
kuat maka rumah tidak bakalan kokoh berdiri. Pengertian ini terangkum dalam
falsafah yang mengatakan “hot di ojahanna” dan hal ini berhubungan dengan
pengertian Batak yang berprinsip bahwa di mana tanah di pijak disitu langit
jungjung.
Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yang dibantu beberapa tiang
penopang yang lain. Untuk keperluan dinding rumah komponen pembentuk
terdiri dari “pandingdingan” yang bobotnya cukup berat sehingga ada falsafah
yang mengatakan “Ndang tartea sahalak sada pandingdingan” sebagai
isyarat perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan dalam memikui beban berat.
Pandingdingan dipersatukan dengan “parhongkom” dengan menggunakan
“hansing-hansing” sebagai alat pemersatu. Dalam hal ini ada ungkapan yang
mengatakan “Hot di batuna jala ransang di ransang-ransangna” dan
“hansing di hansing-hansingna”, yang berpengertian bahwa dasar dan
landasan telah dibuat dan kiranya komponen lainnya juga dapat berdiri dengan
kokoh. Ini dimaknai untuk menunjukkan eksistensi rumah tersebut, dan dalam
kehidupan sehari-hari. Dimaknai juga bahwa setiap penghuni rumah harus
selalu rangkul merangkul dan mempunyai pergaulan yang harmonis dengan
tetangga.
Untuk mendukung rangka bagian atas yang disebut “bungkulan” ditopang
oleh “tiang ninggor”. Agar ninggor dapat terus berdiri tegak, ditopang oleh
“sitindangi”, dan penopang yang letaknya berada di depan tiang ninggor
dinamai “sijongjongi”. Bagi orang Batak, tiang ninggor selalu diposisikan
sebagai simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya tegak lurus
menjulang ke atas. Dan dalam menegakkan kejujuran tersebut termasuk dalam
menegakkan kebenaran dan keadilan selalu ditopang dan dibantu oleh
sitindangi dan sijongjongi.
Dibawah atap bagian depan ada yang disebut “arop-arop”. Ini merupakan
simbol dari adanya pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan
yang layak, dan pengharapan agar selalu diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam kepercayaan orang Batak sebelum mengenal agama disebut Mula Jadi
Na Bolon sebagai Maha Pencipta dan Khalik langit dan bumi yang dalam
bahasa Batak disebut “Si tompa hasiangan jala Sigomgom parluhutan”.
Di sebelah depan bagian atas yang merupakan komponen untuk merajut dan
menahan atap supaya tetap kokoh ada “songsong boltok”. Maknanya,
seandainya ada tindakan dan pelayanan yang kurang berkenan di hati
termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu harus dipendam dalam hati.
Seperti kata pepatah Melayu yang mengatakan “Kalau ada jarum yang patah
jangan di simpan dalam peti kalau ada kata yang salah jangan disimpan dalam
hati�.
“Ombis-ombis” terletak disebalah kanan dan kiri yang membentang dari
belakang ke depan. Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut
dengan list plank. Berfungsi sebagai pemersatu kekuatan bagi “urur” yang
menahan atap yang terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam keadaan utuh.
Dalam pengertian orang Batak ombis-ombis ini dapat menyimbolkan bahwa
dalam kehidupan manusia tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari
keterbatasan kemampuan, karena itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran
dari sesama manusia. Sosok individu yang berkarakter seperti itu
disebut“Pangombisi do ibana di angka ulaon ni dongan” yaitu orang yang
selalu peduli terhadap apa yang terjadi bagi sesama baik di kala duka maupun
dalam sukacita.
Pemanfaatan Ruangan
Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yang dalam pangertian
Batak disebut “papan”. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak goyang maka
dibuat galang lantai (halang papan) yang disebut dengan “gulang-gulang”.
Dapat juga berfungsi untuk memperkokoh bangunan rumah sehingga ada
ungkapan yang mengatakan “Hot do jabu i hot margulang-gulang, boru ni
ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.”
Untuk menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang dekat
tungku tempat bertanak ada dibuat lobang yang disebut dengan “talaga”.
Semua yang kotor seperti debu, pasir karena lantai disapu keluar melalui
lobang tersebut. Karena itu ada falsafah yang mengatakan “Talaga
panduduran, lubang-lubang panompasan” yang dapat mengartikan bahwa
segala perbuatan kawan yang tercela atau perbuatan yang dapat membuat
orang tersinggung harus dapat dilupakan.
Di sebelah depan dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon)
dan ruangan tersebut dinamai sebagai “songkor”. Di kala ada pesta bagi yang
empunya rumah ruangan tersebut digunakan sebagai tempat “pargonsi”
(penabuh gendang Batak) dan ada juga kalanya dapat digunakan sebagai
tempat alat-alat pertanian seperti bajak dan cangkul setelah selesai bertanam
padi.
Setara dengan songkor di sebelah belakang rumah dibangun juga ruangan
berbentuk panggung yang disebut “pangabang”, dipergunakan untuk tempat
menyimpan padi, biasanya dimasukkan dalam “bahul-bahul”. Bila ukuran
tempat padi itu lebih besar disebut dengan “ompon”. Hal itu penyebab maka
penghuni rumah yang tingkat kehidupannya sejahtera dijuluki sebagai
“Parbahul-bahul na bolon”. Dan ada juga falsafah yang mengatakan “Pir ma
pongki bahul-bahul pansalongan. Pir ma tondi luju-luju ma pangomoan”,
sebagai permohonan dan keinginan agar murah rejeki dan mata pencaharian
menjadi lancar.
Melintang di bagian tengah dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk yang
kegunaannya untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah para�para
dibuat “parlabian” digunakan tempat rotan dan alat-alat pertukangan seperti
hortuk, baliung dan baji-baji dan lain sebagainya. Karena itu ada fatsafah yang
mengatakan “Ijuk di para-para, hotang di parlabian, na bisuk bangkit
gabe raja ndang adong be na oto tu pargadisan” yang artinya kira-kira jika
manusia yang bijak bestari diangkat menjadi raja maka orang bodoh dan kaum
lemah dapat terlindungi karena sudah mendapat perlakuan yang adil dan selalu
diayomi.
Untuk masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan “tangga” yang berada di
sebelah depan rumah dan menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo
dan tangga untuk “Ruma” dulu kala berada di “tampunak”. Karena itu ada
falsafah yang berbunyi bahwa “Tampunak ni sibaganding, di dolok ni
pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi jala tangkas ma sipairing-
iringan”.
Ada kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak.
Bila tangga yang cepat aus menandakan bahwa tangga tersebut sering dilintasi
orang. Pengertian bahwa yang punya rumah adalah orang yang senang
menerima tamu dan sering dikunjungi orang karena orang tersebut ramah.
Tangga tersebut dinamai dengan “Tangga rege-rege”.
Gorga
Disebelah depan rumah dihiasi dengan oramen dalam bentuk ukiran yang
disebut dengan “gorga” dan terdiri dari beberapa jenis yaitu gorga sampur
borna, gorga sipalang dan gorga sidomdom di robean.
Gorga itu dihiasi (dicat) dengan tlga warna yaitu wama merah (narara), putih
(nabontar) dan hitam (nabirong). Warna merah melambangkan ilmu
pengetahuan dan kecerdasan yang berbuah kebijaksanaan. Warna putih
melambangkan ketulusan dan kejujuran yang berbuah kesucian. Wama hitam
melambangkan kerajaan dan kewibawaan yang berbuah kepemimpinan.
Sebelum orang Batak mengenal cat seperti sekarang, untuk mewarnai gorga
mereka memakai “batu hula” untuk warna merah, untuk warna putih
digunakan “tano buro” (sejenis tanah liat tapi berwana putih), dan untuk warna
hitam didapat dengan mengambil minyak buah jarak yang dibakar sampai
gosong. Sedangkan untuk perekatnya digunakan air taji dari jenis beras yang
bernama Beras Siputo.
Disamping gorga, rumah Batak juga dilengkapi dengan ukiran lain yang
dikenal sebagai “singa-singa”, suatu lambang yang mengartikan bahwa
penghuni rumah harus sanggup mandiri dan menunjukkan identitasnya
sebagai rnanusia berbudaya. Singa-singa berasal dari gambaran “sihapor”
(belalang) yang diukir menjadi bentuk patung dan ditempatkan di sebelah
depan rumah tersebut. Belalang tersebut ada dua jenis yaitu sihapor lunjung
untuk singa-singa Ruma dan sihapor gurdong untuk rumah Sopo.
Hal ini dikukuhkan dalam bentuk filsafat yang mengatakan “Metmet pe
sihapor lunjung di jujung do uluna” yang artinya bahwa meskipun kondisi
dan status sosial pemilik rumah tidak terlalu beruntung namun harus selalu
tegar dan mampu untuk menjaga integritas dan citra nama baiknya.
Perabot Penting
Berbagai bentuk dan perabotan yang bernilai bagi orang Batak antara lain
adalah “ampang” yang berguna sebagai alat takaran (pengukur) untuk padi
dan beras. Karena itu ada falsafah yang mengatakan “Ampang di jolo-jolo,
panguhatan di pudi-pudi. Adat na hot pinungka ni na parjolo,
ihuthononton sian pudi”. Pengertian yang dikandungnya adalah bahwa apa
bentuk adat yang telah lazim dilaksanakan oleh para leluhur hendaknya dapat
dilestarikan oleh generasi penerus. Perlu ditambahkan bahwa “panguhatan”
adalah sebagai tempat air untuk keperluan memasak.
Di sebelah bagian atas kiri dan kanan yang letaknya berada di atas
pandingdingan dibuat “pangumbari” yang gunanya sebagai tempat meletakkan
barang-barang yang diperlukan sehari-hari seperti kain, tikar dan lain-lain.
Falsafah hidup yang disuarakannya adalah “Ni buat silinjuang ampe tu
pangumbari. Jagar do simanjujung molo ni ampehon tali-tali”.
Untuk menyimpan barang-barang yang bernilai tinggi dan mempunyai harga
yang mahal biasanya disimpan dalam “hombung”, seperti sere (emas), perak,
ringgit (mata uang sebagai alat penukar), ogung, dan ragam ulos seperti ragi
hotang, ragi idup, ragi pangko, ragi harangan, ragi huting, marmjam sisi,
runjat, pinunsaan, jugia so pipot dan beraneka ragam jenis tati-tali seperti
tutur-tutur, padang ursa, tumtuman dan piso halasan, tombuk lada, tutu pege
dan lain sebagainya.
Karena orang Batak mempunyai karakter yang mengagungkan keterbukaan
maka di kala penghuni rumah meninggal dunia dalam usia lanjut dan telah
mempunyai cucu maka ada acara yang bersifat kekeluargaan untuk memeriksa
isi hombung. Ini disebut dengan “ungkap hombung” yang disaksikan oleh
pihak hula-hula.
Untuk keluarga dengan tingkat ekonomi sederhana, ada tempat menyimpan
barang-barang yang disebut dengan “rumbi” yang fungsinya hampir sama
dengan hombung hanya saja ukurannya lebih kecil dan tidak semewah
hombung.
Sebagai tungku memasak biasanya terdiri dari beberapa buah batu yang
disebut “dalihan”. Biasanya ini terdiri dari 5 (lima) buah sehingga tungku
tempat memasak menjadi dua, sehingga dapat menanak nasi dan lauk pauk
sekaligus.
Banyak julukan yang ditujukan kepada orang yang empunya rumah tentang
kesudiannya untuk menerima tamu dengan hati yang senang yaitu “paramak
so balunon” yang berarti bahwa “amak” (tikar) yang berfungsi sebagai tempat
duduk bagi tamu terhormat jarang digulung, karena baru saja tikar tersebut
digunakan sudah datang tamu yang lain lagi.
“Partataring so ra mintop” menandakan bahwa tungku tempat menanak nasi
selalu mempunyai bara api tidak pernah padam. Menandakan bahwa yang
empunya rumah selalu gesit dan siap sedia dalam menyuguhkan sajian yang
perlu untuk tamu.
“Parsangkalan so mahiang” menandakan bahwa orang Batak akan berupaya
semaksimal mungkin untuk memikirkan dan memberikan hidangan yang
bernilai dan cukup enak yang biasanya dari daging ternak.
Untuk itu semua maka orang Batak selalu menginginkan penghasilan
mencukupi untuk dapat hidup sejahtera dan kiranya murah rejeki, mempunyai
mata pencaharian yang memadai, sehingga disebut“Parrambuan so ra
marsik”.
Tikar yang disebut “amak” adalah benda yang penting bagi orang Batak.
Berfungsi untuk alas tidur dan sebagai penghangat badan yang dinamai
bulusan. Oleh karena itu ada falsafah yang mengatakan“Amak do bulusan
bahul-bahul inganan ni eme. Horas uhum martulang gabe uhum
marbere”.
Jenis lain dari tikar adalah rere yang khusus untuk digunakan sebagai alas
tempat duduk sehari-hari dan bila sudah usang maka digunakan menjadi
“pangarerean” sebagai dasar dari membentuk “luhutan” yaitu kumpulan padi
yang baru disabit dan dibentuk bundar. Tentang hal ini ada ungkapan yang
mengatakan “Sala mandasor sega luhutan” di mana pengertiannya adalah
bahwa jika salah dalam perencanaan maka akibatnya tujuan dapat menjadi
terbengkalai.
Penutup
Nilai budaya itu sangat perlu dilestarikan dan hendaknya dapat ditempatkan
sebagai dasar filosofi sebagai pandangan hidup bagi generasi penerus kelak.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang
dapat menghargai budayanya, karena itu Bangso Batak perlu menjaga citra
dan jati dirinya agar keberadaannya tetap mendapat tempat dalam pergaulan
hubungan yang harmonis.
Penulis juga mengakui bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna maka
segala bentuk saran dan masukan yang sifatnya membangun akan diterima
dengan senang hati, Kiranya Tuhan memberkati kita semua. HORAS
MULA NI GORGA BATAK
MANOGARI TAMBUNAN
Dung mardongan saripe Datu Gombut nabolon dohot Siboru Jongjong Anian
Siboru Tibal Tudoson, tubu ma buhabajuna, PUSTAHA (Parbinotoan
Hadatuon Partungkangon) Anggir, Lada, dohot Napuran. Di urang paduahon,
tubu ma muse parhobas tonun dohot Parbinotoan ragi (Sirat, Uhir) dohot rupa
ni bonang dohot ulos.
Patolu halihon, ditubuhon ma dakdanak na marporhas sada anak, sada boru,
ima: Si Aji Donda Hatahutan dohot Siboru Sopak Nauasan manang: Siboru
Sopak Panaluan. Dung magodang dak-danak nadua i, di pasahat Datu Gombut
ma tuanakna i boha isara martungkang na taho jala jago, salpu i pe asa
dipasahat pustaha, (urang na parjolo) na so tolap binungkana i. Ai ingkon si
Aji Donda Hatahutan do naboi mangungkap pustaha i.
Mulai sian ombas i ma gabe halak namalo martungkang, anakna on ala adong
di ibana sahala pande, songon i nang Siboru Sopak Panaluan na manean
hamaloon martonun, partonun nautusan na mangantusi ragi ni ulos rodi
rumangna. Nasahali, uju martonun siboru, na so panagamanna marsirahutan
jala marsiranggingan ma angka bonang na marbolongan na tarbuang i, gabe
martompa gurit lontik na tudos tu lopian parjolo di pustaha tinean ni ibotona i.
Impol ma roha dohot mata ni si baoa on tusi, laos hatop ma i di uhirhon dohot
piso na tajom tu dorpi jolo bagasnasida. Ujungna gok gorga ma dinding ni
jabunasida i. Sogo do antong roha ni siboru, digasgas ni ibotona pande ruma i.
Lobi muse dope jut ni roha ni nagodangna, Datu Gombut. Di rohana nungnga
na hasoropan anakna i mangulahon gas-gas ni tanganna i. Martahi ma nasida,
mangusir tondi na hodar sian anak na i. Dung di pahembang lage-lage, tiar
diparade ma saoan pangurasan (marisi aek, dohot untemungkur) daupa
(haminjon natinutung dohot gara ni api) ipe asa disuru si Aji Donda
Hatahutan, hundul di lage-lage tiar i. Martonggo ma Datu Gombut tu Mulajadi
Nabolon asa di usir tondi nahodar sian si Aji Donda Hatahutan, hape tompu
mahasoropan anak na i. Disuru hasandaran i ma amana, papunguhon nasa ula-
ula dohot parhau laho pajongjongkon sada ruma bolon.
Diuhir ibana ma denggan, ipe asa dipajonjong ruma gorga dohot sahala pande
ruma nabinotona. Tarida ma disi ragam ni gorga pea, silunduni pahu, ipon-
ipon, hoda-hoda, adop-adop, desa naualu, bindu natonga. Dipudian ni ari
tamba muse dohot singa-singa, boras pati, jaga dompak, jorngom-jorngom,
jenggar, parhis marodor.
SANGKAMADEHA
Monang Naipospos
Pernahkah anda tau bahwa batak dulu sudah mengenal arti pohon kehidupan?
Bila belum, inilah dia yang disebut Hau Sangkamadeha.

Biji berkecambah, tumbuh tunas dan mekar muda. Dahan mengembang ke


samping, ke segenap penjuru angin, bagaikan tangan-tangan membentang
“mandehai”. Tumbuh makin matang “matoras” dan semakin kuat “pangko”.
Torasna jadi pangkona, diartikan kedewasaan yang dibarengi kebiasaan-
kebiasaan hidup menjadi tabiat. Torasna jadi pangkona, somalna jadi
bangkona.
Sangkamadeha mengartikan manusia mengekspresikan hidup dan
kehidupannya dalam dunia nyata dengan segala kebanggaan dirinya.
Kebanggaan terpuji adalah tabiat yang baik dan benar, sesuai hukum dan adat
istiadat. Inilah kemudian disebut “hasangapon”. Cabang dan ranting yang
banyak akan mempengaruhi kerimbunan dedaunan. Akar yang kokoh dan
kerimbunan daun adalah gambaran “hatoropon” banyaknya populasi yang
kemudian disebut “hagabeon”. Buah adalah biji disertai zat bermanfaat untuk
pertumbuhan kelanjutannya dan stimulant kepada mahluk hidup untuk
menyebarkannya. Ada buah, ada pemanfaat dan ada pertumbuhan, dan inilah
yang disebut“hamoraon”.
Parjuragatan mengartikan tempat bergelantungan ke sumber penghidupan.
Sumber penghidupan ada beragam, seperti apa yang memberikan secara
langsung (material) dan tidak langsung (non-material). Pemimpin adalah
“parjuragatan” dimana ditemukan keadilan dan pencerahan. Dia adalah “urat”
akar hukum dan keadilan. Namora adalah juga parjuragatan karena “akar”
memberikan kehidupan material, penyambung hidup.
Kekayaan dengan “banyaknya buah …” bila tidak ada manfaat bagi orang lain
tidak akan ada yang berperan “menaburnya”. Dia akan seperti ilalang yang
menebar biji oleh tiupan angin karena tidak ada memberi manfaat dari
buahnya bagi mahluk lain.
Kekurangan harta disebut “napogos” miskin. Bila hartanya hanya cukup untuk
bekal satu tahun disebut “parsaetaon” pra sejahtera. Bila sudah bisa menabung
untuk cadangan pengembangan disebut “naduma” sejahtera. Bila harta sudah
menumpuk disebut “paradongan”.
“Namora” adalah sebutan kehormatan untuk yang aktip menolong sesama
dengan harta bendanya sendiri. Namora, juga jabatan yang disandang dalam
“harajaon” yang diartikan sebagai bendahara. Kepada Raja dan Namora
disebut “akar” dari hukum dan kehidupan; Raja urat ni uhum, Namora urat
ni hosa.
Bila ada orang yang memiliki banyak harta tapi tega membiarkan manusia
disekitarnya kelaparan, dia tidak dapat atau tidak disebut Namora tapi
paradongan atau “pararta”.
Bila ada permohonan kepada seseorang untuk diberi Yang maha Kuasa
“hamoraon”, adalah harta benda berikut hati yang iklas untuk mau dan mampu
melakukan pertolongan kepada sesama manusia.
Sangkamadeha adalah penggambaran pohon kehidupan dan hidup yang
diberikan Mulajadi Nabolon kepada manusia. Pohon ini sejak muda hingga
tua tumbuh tegak lurus dan tajuknya menuju (sundung di… ) langit.
Hidup di dunia dalam pertengahan usia adalah perkembangan yang sangat
subur dan optimal berkayanyata untuk dirinya dan orang lain. Hasangapon,
hagabeon dan hamoraon adalah gambaran kesuburan yang dinikmatinya yang
merupakan anugerah pencipta.
Menjelang ujur, tajuk semakin tinggi dan tetap menuju keatas. Dimasa tua
upaya pencapaian “sundung dilangit” semakin terarah. Darisana awalnya
datang dan berakhir pula disana. Inilah akhir hidup manusia, semua menuju
kepenciptanya. Perjalanan kehidupan manusia akhirnya akan diakhiri dan
“sundung” ke alam penciptaan. Semua yang diperoleh di alam nyata dunia
fana akan ditinggalkan.
Ada yang membedakan Hau Sangkamadeha dengan Hau Parjuragatan dan
Hau Sundung Dilangit. Menurut penjelasan beberapa orang tua dan pandai
mengukir gorga bahwa penggambarannya adalah satu, tapi penjelasannya
beragam.
Banyak yang memitoskan sebutan itu seperti pohon yang tumbuh di alam
penciptaan sehingga banyak yang tidak memahami pemaknaan beberapa
perkataan itu dalam satu penggambaran.

Pada rumah gorga lama, gambaran hau sangkamadeha ini selalu dilukiskan
dalam dinding samping agak di depan. Dalam penggambarannya kadang ada
yang menyertakan gambar burung dan ular membelit. Kayu yang berbuah
selalu dihinggapi burung pemakan buah, dan kepohon itu pun ular datang
untuk memangsa burung (marjuragat). Semua mahluk berhak hidup, seperti
manusia diberi hidup menjadi bagian dari ekosistem. Namun, dari semua
mahluk yang “marjuragat” dalam pohon hidup, hanya manusia yang
memahami “sundung dilangit”.
Ada pemahaman lain yang mereka jelaskan bahwa dalam menjalani hidup
harus cermat dan teliti karena banyak musuh yang mengintip.
Sejak pemahaman barat masuk ke batak dan mengetahui penjelasan dari Hau
Sangkamadeha, ada anjuran untuk tidak membuat lukisan itu lagi dalam
rumah adat batak. Pemahaman itu dianggap sesat. Sehingga kemudian banyak
rumah adat batak dibangun tidak menggambarkan itu lagi tapi diganti dengan
gambaran orang barat yang membawa hal yang baru yang cenderung
menyesatkan budaya batak.
MENYIBAK TABIR MENAMPAK ISI
BALAI BUDAYA BATAK Yayasan T.P Arjuna salah satu museum yang
mengkolesi barang pusaka dan benda sejarah Batak yang terlengkap saat ini.
Sayangnya, museum ini kurang dimanfaatkan masyarakat umum, para peneliti
maupun dunia pendidikan.
Museum ini berada pada kawasan Kampus YTP Arjuna – Pintubosi –
Kecamatan Laguboti – Kabupaten Toba Samosir. Didirikan atas prakarsa Prof
Dr Midian Sirait.

     
PARTUNGKOAN menampilkan nama-nama barang bersejarah yang ada di
Museum ini sesuai dengan urutan registrasinya.

ALAT-ALAT PERTANIAN
1. ANSUAN :
Bahan dari batang pohon enau (pakko) dipakai untuk mengolah tanah sawah
pada tahap permulaan (sebagai cangkol).
2. ORDANG : 
Bahan terbuat dari pakko, digunakan untuk alat melobong tanah untuk tempat
benih padi ditanami, biasanya di lahan kering dengan tanah keras.
3. PANASAPI : 
Gagang dibuat dari pakko mata dari tulang sasap (belikat) kerbau, dipakai
untuk membersihkan dan meluruskan pematang sawah.
4. PANGALI :
Gagang dibuat dari kayu mata dari besi, dipakai untuk menggali tanah
disamping fungsi lain seperti Panasapi.
5. SORHA-SORHA :
Bahannya dari pakko, kayu, dipakai untuk perlengkapan membajak sawah jika
menggunakan seekor kerbau.
6. PANGGU : 
Alat mengolah tanah yang lebih muda dipakai untuk menggemburkan tanah.
Bahonnya dari kayu dan besi.
7. AUGA : 
Bahannya dari kayu dan pakko, perlengkapan membajak sawah dengan
menggunakan duo ekor kerbau.
8. NINGGALA : 
Dibuat dari kayu jior dan pakko, dipakai alat membajak/ menggemburkan
tanah ditarik oleh kerbau.
9. SISIR : 
Dibuat dari kayu, pakko dan bambu, digunakan untuk menggemburkan tanah
dalam proses lanjutan setelah siap dibajak.
10. TOPPI : 
Bahan dibuat dari Rotan, dianyam digunakan untuk mengikat leher kerbau
waktu membajak/ menyisir sawah.
11. HUNDALI : 
Terbuat dari kulit kerbau biasanya dari bagian leher. Digunakan untuk
mengikat Ninggala/Sisir dengan sorha atau auga waktu membajak sawah.
12. TEAL-TEAL : 
Bahan dibuat dari pakko dan kayu digunakan untuk kendali kerbau waktu
membajak.
13. BATAHI (1) : 
Dibuat dari rotan digunakan sebagai cambuk pemukul kerbau.
14. BATAHI (2) : 
Dibuat dari bambu.
15. GAIR-GAIR SIDUA RAJA (1) : 
Tangkai dibuat dari pakko gagang dari tunggul bambu (Taruntung bulu)
matanya duo buah dibuat dari pakko digunakan untuk menggemburkan tanah.
16. GAIR-GAIR SIDUA RAJA (2) : 
Fungsinya soma dengan diatas pada bagian mata ditambah dengan besi.
17. GAIR-GAIR SITOLU RAJA : 
Gair-Gair bermata tiga dibuat dari pakko dilengkapi dengan mata besi,
digunakan untuk menggemburkan tanah.
18. GAIR-GAIR SIOPAT RAJA : 
Gair-Gair bermata empat digunakan untuk menggemburkan tanah tarutama
yang berlumpur.
19. TALI HOTANG : 
Bahan dari ijuk pada kedua ujungnya terdapat duo buah tuhe dari bambu
digunakan untuk menentukan atau meluruskan pematang sawah.
20. TUHE : 
Bahannya dari bambu, untuk tanda patok sawah.
21. ROGO PANDABUI : 
Tangkainya dibuat dari pakko, dari kayu dan matanya dari untuk meratakan
permukaan sebelum ditanami bibit padi.
22. ROGO PANGALESLES :
Serupa dengan Rogo Pandabui tetapi mata rogonya lebih pendek, fungsinya
untuk mehgha – luskan permukaan tanah untuk siap ditanami same. ( Tunas
padi ).
23. HUDALI ( OBBAK-OBBAK ) :
Sejenis cangkul kecil dari pakko dengan tangkai bambu dipakai untuk
menyiangi rumput dari ce-lah-celah bibit padi.
24. GURIS :
Terbuat dari kayu dan besi dipakai untuk menyiangi sawah.
25. PANGGOLE :
Bentuknya seperti Hudali besar, bahannya dari Pakko, digunakan untuk
memberi jalan air agar merata setelah sawah siap disiangi.
26. HARANG :
Sejenis keranjang dibuat dari kulit bambu, digunakan untuk tempat membawa
abu dapur atau-pupuk kandang ke sawah untuk memupuk tanaman.
27. HIRANG : 
Serupa dengan Harang tapi lebih kecil, biasanya dibawa sekaligus dua buah
dengan memakai pikulan atau Hallungan.
28. HALAK-HALAK : 
Orang-orangan dari ijuk berfungsi sebagai penjaga sawah dari serangan
burung.
29. TALI HOTOR-HOTOR :
Tali ijuk yang menghubungkan Halak-halak dengan penjaga sawah didangau.
fungsinya untuk menggerakkan halak-halak.
30. OTAM SAMBILU : 
Terbuat dari kulit bambu (Sembilu) dipakai untuk alat menuai padi, alat ini
tidak dipakai lagi dewasa ini.
31. SASABI TATAMBAL :
Bahan dibuat dari besi dengan gagang dari kayu. Sasabi jenis ini dapat dilipat
dipakai untuk menyabit padi.
32. SASABI RAHAT : 
Serupa dengan Sasabi Tatambal, tetapi tidak dapat dilipat.
33. SARUDAN : 
Alat pegangan tradisionil. Waktu mardege (melepaskan padi dari batangnya
dengan cara menginjak-injaknya secara teratur).
34. AMPANG PARMASAN :
Bakul tradisionil Batak Toba terbuat dari rotan, dianyam, isi sekitar 20 liter,
digunakan untuk takaran padi. Ampang jenis ini juga digunakan dalam
upacara-upacara adat.
35. AMPANG PAPALIAN :
Ampang jenis lain dengan isi sekitar 16 liter digunakan untuk upacara-upacara
adat seperti tempat padi dan sijogaron pada upacara kematian orang-orang tua
yang sudah beranak, bercucu.
36. AKKUT-AKKUT :
Ampang jenis lain yang lebih kecil is! _+ 8-10 liter, digunakan untuk ukuran
padi pemberian kepada Raja Bandar (Pengurus tali air). Ampang jenis ini juga
digunakan untuk tempat Ompu-Ompu pada upacara penguburan orang tua
yang sudah mempunyai cicit.
37. RAGA :
Sejenis anduri dengan anyaman agak menerawang, dipakai untuk kipas waktu
memisahkan bulir padi dari merang. Raga juga digunakan untuk alat menampi
padi atau beras, bahannya dibuat dari kulit bambu dengan Rotan, sebagai
gagangnya.
38. PARRASAN (1) :
Tempat padi atau beras dibuat dari bayon (sejenis pandan) dianyam. Isi sekitar
3 Kaleng ( 60 ltr).
39. PARRASAN (2):
Isi 2 (dua) Kaleng.
40. PARRASAN (3) :
Isi 1 (satu) Kaleng.
41. PANUNUHAN (1) :
Sejenis Parrasan dengan bentuk khusus. Tempat memikul padi dari sawah
kerumah, dipikul dipundak laki-laki. Isi 3 Kaleng.
42. PANUNUHAN (2) :
— idem — Isi 22 Kaleng.
43. ANDOK-ANDOK : 
Serupa dengan parrasan tapi kecil isi sekitar 1 Liter, biasanya digunakan
tempat nasi (tugo) ke ladang atau waktu berpergian.
44. SOLUP :
Terbuat dari bambu, sebagai takaran padi, atau beras.. Ukuran isi sekitar 2 ltr.
Solup tidak sama besarnya, jika terjadi suatu transaksi yang dipakai adalah
Solup yang didatangi. Dalam hal ini ada ungkapan adat “Sidapot Solup do
naro” artinya kita harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana kita
berada.
45. GARUNG-GARUNG(1):
Sebuah tabung dari bambu dililit (dirompu) dengan rotan agar tidak mudah
pecah. Tutupnya dibuat dari kayu. Digunakan untuk tempat air minum.
46. TABU-TABU IRAWANG :
Tempat air minum terbuat dari kulit buah labu (tabu-tabu) yang dikeringkan.
Labu ini dirompu dengan jalinan rotan.
47. GARUNG-GARUNG (2):
Garung-Garung jenis lain tempat perahan susu kerbau.
48. GARUNG-GARUNG (3): 
Serupa dengan garung-gatung (2)
49. HUNTAM :
Bahannya dibuat dari jalinan rotan talinya dari ijuk. Dipakai untuk menutup
mulut anak kerbau agar tidak menyusu terus menerus terutama dimalam hari,
tujuannya agar susu induk kerabau dapat diperah dalam jumlah banyak. Susu
kerbau tersebut jika dimasak (dialhoti) secara khusus merupakan lauk
tradisionil khas Batak namanya Dali ni horbo atau bagot ni horbo.
50. SAKKAK : 
Songkok ayam dibuat dari bambu, untuk tempat ayam bertelor dan mengeram.
51. SAKKAK HERENGAN :
Songkok jenis lain dan lebih besar. Dipakai untuk tempat ayam yang baru
menetas agar terhindar dari sambaran burung elang.
52. SUNUT :
Tempat anak ayam dari bambu yang dianyam.
53. HALUNG-HALUNG :
Terbuat dari bambu dikalungkan ke leher ternak babi, agar tidakleluasa
memasuki lading (Porlak).
54. PALAKKA :
Dibuat dari kayu, dilobangi (dikorek agak dalam, dan besar) digunakan untuk
tempat makan ternak babi.
55. GONTA-GONTA :
Dibuat dari kayu pinasa diikatkan dileher lembu agar gembala mengetahuinya
dimana lembu tersebut berada, terutama jika digembalakan di hutan atau
dalam jurang.
56. HALUNG-HALUNG : 
Dibuat dari bambu untuk halung-halung lembu.
57. SIGE : 
Sejenis tangga, dibuat dari sebatang bambu duri tangga ini gampang dipindah-
pindahkan sehingga cda umpasa mengatakan “Sige do tumandangi bagot”
artinya Sepatutnya lelaki yang mendatangi perempuan.
58. TEKTEK PAMBALBAL :
Sejenis palu dari kayu ringan digunakan untuk membalbal (memukul-mukul)
miang bagot, untuk mendapatkan nira atau tuak.
59. PISO PARAGAT :
Jenis pisau tipis, khusus untuk mengiris miang (1) bagot (enau).
60. PISO PARAGAT (2) : – idem –
61. HANDI : Dibuat dari bambu diberi tali dari ijuk dipakai untuk tempat tuak
atau air.
62. POTING: Handi Jenis lain.
63. POTING : – idem –
64. HUDON TUKKAP :
Periuk tanah, dirakke (dijalin) dengan tali ijuk dipakai untuk tempat tuak.
65. LAMAN : 
Alas periuk tanah dibuat dari jerami.
66. HARPE : 
Alas periuk tanah dibuat dari jalinan rotan.
67. HAJO :
Tempayan tempat tuak dibuat dari tembikar.
68. SEAK-SEAK ( BOKKOR ) :
Bahan dari tempurung kelapa digunakan untuk cangkir tuak.
69. TAKKIK (1) :
Sejenis tukil (pahat) alat melobang pohon kemenyan untuk mengambil getah
kemenyan.
70. TAKKIK (2) : idem
71. PISO DERES :
Sejenis pisau alat menderes getah kemenyan.
72. TALl POLANG :
Jenis tali ijuk untuk memanjat batang kemenyan.
73. GURIS HAMINJON :
Dibuat dari besi dengan gagang kayu untuk mengambil getah kemenyan.
74. PARANG :
Terbuat dari besi digunakan untuk bermacam-macam keperluan pertanian.
75. RABI :
Terbuat dari besi, digunakan untuk membuka jalan disemak belukar dan untuk
memotong ranting pohon, bambu dan lain-lain.
ALAT RUMAH TANGGA DAN PERLENGKAPAN PESTA
76. SAPA (1) :
Sejenis pinggan dari kayu nangka tempat nasi untuk makan bersama
(sekeluarga). Istilah Sapa-nganan adalah identifikasi dari keadaan makan
bersama dari Sapa, artinya Sapanganan identik dengan kaum kerabat, keluarga
dekat.
77. SAPA (2) :
Bentuk lain dari Sapa dan lebih besar.
78. PINGGAN PASU :
Dibuat dari bahan porselen, warna Hijau keputih-putihan dipakai untuk tempat
makanan pada upacara adat. Koleksi ini diperkirakan telah berusia lebih dari
150 tahun. Pusaka keluarga Oppu Tarida Napitupulu dari desa Huta Dolok.
Diperoleh dengan ganti rugi.
79. PINGGAN JAROJAK (I) :
Bahan dari porselen putih, dengan ornamen berwarna biru, digunakan untuk
tempat makanan pada waktu pesta adat.
80. PINGGAN JAROJAK (2) :
Bahan dari porselen putih dengan ornamen warna merah bata dipakai waktu
pesta adat.
81. PINGGAN SIBULUNG GAOL :
Bahan dari porselen putih kotor dengan hiasan gambar bunga dan daun
berwarna hijau kebiru-biruan dipakai waktu pesta adat.
82. PINGGAN PUTI :
Bahan dari porselen putih digunakan oleh para datu pada upacara khusus
Hadatuon dan upacara adat tertentu.
83. PINGGAN BUNGA :
Bahan dari porselen putih dengan gambar orna men berwarna biru, digunakan
untuk pinggan Pallompanan.
84. SAKKE PINGGAN (1) :
Anyaman rotan special untuk tempat menyimpan pinggan dengan
menggantungkannya di dinding atau rak rumah.
85. SAKKE PINGGAN (2) : idem
86. SAKKE PIRING :
Serupa dengan Sakke Pinggan khusus tempat piring, lebih kecil dari Sakke
Pinggan.
87. SAPA TANO :
Bahan dibuat dari tanah liat dibentuk soma de – ngan sapahau fungsinya sama
dengan sapa hau.
88. SALUNG :
Bahannya dari bambu, digunakan untuk tempat minum pada waktu pesta.
89. ANDURI PANGANAN :
Bentuk seperti tampi beras tetapi lebih kecil, bahan terdiri dari Rotan dan kulit
bambu. Digunakan sebagai tempat makan untuk umum diwaktu pesta.
90. POTING :
Bahannya dari bambu, tali ijuk don rompu hotang digunakan untuk tempat
mengambil air dari sumber air untuk persediaan air di rumah.
91. GARUNG-GARUNG :
Bahan dari bambu, dirakke (dililit) dengan anyaman rotan, digunakan tempat
air minum.
92. GARUNG-GARUNG : sama dengan diatas.
93. SIKKUP :
Bahan dari rotan, dianyam berbentuk bulat, dibuat bertutup seperti hudon
tano. Dipakai untuk tempat pakean, benang dan barang berharga lainnya
( sekitar 50 tahun ).
94. HITANG BESAR :
Bahan dari rotan, dianyam bentuk bulat, pipih dan bertutup serta bertali,
fungsi soma dengan sikkup ( sekitar 100 tahun ).
95. HITANG KECIL : – idem –
96. TABU-TABU :
Bahan dari buah labu tutupnya dibuat dari kayu bentuk patung, dulu
digunakan untuk tempat air minum dan dewasa ini banyak digunakan sebaqai
hiasan.
97. PARRASAN :
Bahan dari baion logen (sejenis pandan) dianyam, digunakan untuk tempat
beras.
98. SANIHE :
Bahan dari rotan, dianyam, digundkan untuk alas benda-benda bulat dan
mudah pecah, seperti hudon, guci, guri-guri dan lain-lain.
99. HARPE HOTANG (1) :
Dibuat dari rotan dianyam dengan bentuk khusus bagian alas berbentuk
parabola, bagian bawah rata. Dipergunakan untuk landasan periuk tanah.
100. HARPE HOTANG (2) ; Serupa dengan diatas.
101. HADANG HADANGAN (1) :
Sejenis tas tangan tempat belanjaan atau barang barang bawaan waktu
berpergian. Bahannya dibuat dari baion (login) dianyam secara khusus diberi
bertali sehingga praktis untuk di bawa-bawa.
102. HADANG HADANGAN (2) :
Serupa dengan di atas tetapi lebih kecil, digunakan untuk tempat garam
PERHIASAN DAN ALAT PESTA
103. HAJUT PARDEMBANAN :
Dibuat dari daun pandan, dianyam sedemikian indah untuk tempat sirih dan
kelengkapannya. biasanya digunakan oleh kaum ibu.
104. HAJUT-HAJUT : 
Hajut Pardembanan motif lain dibuat dari daun Pandan Simata dan Kain
merah. Berasal dari daerah Angkola.
105. SALAPA (1) :
Dibuat dari bahan kuningan (golang-golang) digunakan untuk tempat sirih.
106. PARHAPURAN (1) :
Bahan dari kuningan dipakai untuk tempat kapur sirih.
107. SALAPA (2) :
Tempat tembakau dibuat dari kuningan.
108. PARTIMBAHOAN :
Dibuat dari kulit telor Kambing dipakai untuk tempat tembakau.
109. HALAHATI :
Bahannya dari besi, dipakai untuk membelah pinang.
110. BALANJA :
Tempat menyimpan sirih dibuat dari bambu, bertutup dari ijuk dan kayu.
111. GONDIT :
Bahannya dari kulit kerbau digunakan untuk ikat pinggang sekaligus tempat
menyimpan duit (uang).
112. HAMPIL :
Dibuat dari kulit seekor anak kambing secara utuh tanpa jahitan / tambalan
digunakan sebagai hajut oleh raja-raja adat dan para dukun sakti. Koleksi ini
diperhitungkan telah berumur ratusan tahun.
113. HAJUT BAG :
Hajut jenis lain dari jaman penjajahan belanda. Bahan dari kulit, besi dan telah
dijahit biasa dipakai laki-laki kaya don berpengaruh.
114. HAJUT KULIT :
Hajut ini dibuat dari kulit lembu yang belum disamak, biasa dipakai raja-raja
adat untuk tempat sirih dan perlengkapan lainnya.
115. TUKKOT MALLO :
Tongkat orangtua umumnya bahannya dari rotan dipakai sehari-hari.
116. TUKKOT NATUIT :
Dibuat dari tanduk kerbau dihiasi dengan gelang-gelang besi putih, perak dan
tembaga dipakai oleh kaum lelaki perlente, waktu berjalan-jalan ke pecan dan
waktu mainondur ke pesta-pesta.
117. TINTIN BAGANDING TUA :
Bahannya dari tembaga, perak, kuningan dan Simbora (timah), digunakan
sebagai hiasan jari sekaligus untuk jimat.
118. TINTIN GOLANG-GOLANG :
Dibuat dari besi kuningan bercampur tembaga. Dipakai sebagai jimat dan
hiasan jari.
119. LEANG (1) :
Dibuat dari kuningan dan tembaga, diukir dengan motif khusus Singa-Singa,
dipakai sebagai hiasan pelengkap kebesaran. Dipakai pada waktu pesta oleh
kaum laki-laki.
120. LEANG (2) :
Bahannya dari kuningan, tembaga dan simbora, dipakai oleh kaum ibu waktu
pesta-pesta.
121. GOLANG :
Bahan dari kuningan, diukir ragam hias Singa-Singa dipakai oleh kaum
Bapak.
122. PUTTU :
Gelang lengan dari batu putih digunakan oleh kaum bapak dilengan sebelah
kanan pada waktu pesta-pesta.
123. GOLANG GADING :
Dibuat dari gadirng gajah, dipakai oleh kaum bapak pada waktu pesta,
letaknya di pangkal le-ngan kiri dan kanan sekaligus.
124. HORUNG-HORUNG SI MATA :
Bahan dari manik-manik, Simata dan Sikkoru. Dipakai sebagai kalung
kebesaran oleh laki-laki maupun wanita, biasanya diwaktu pesta.
125. HORUNG-HORUNG BONANG MANALU :
Bahan dari benang pilin tiga warna dan buah rotan dipakai sebagai jimat
terutama untuk anak-anak balita.
126. SIBONG SITELPANG :
Kerabu Batak, dibuat dari kuningan dan emas batak digunakan sebagai
penghias telinga oleh kaum ibu dan bapak.
127. SIBONG OTTOK-OTTOK :
Kerabu batak jenis lain dipakai oleh kaum sebagai perhiasan.
128. SORTALI (1) :
Bahan dibuat dari tembaga, disepuh dengan emas batak ditempelkan paada
kain merah, dipakai untuk ikat kepala (Mahkota) laki-laki pada pesta-pesta
besar.
129. SORTALI (2) :
Serupa dengan Sortali kaum lelaki, tetapi motif ini khusus untuk wanita.
130. HOS – HOS :
Dibuat dari benang tiga warna. (merah, putih dan hitam) ditenun/disirat
digunakan sebagai ikat pinggang muda-mudi di waktu pesta.
ALAT-ALAT RUMAH TANGGA
131. RAKKE :
Tempat barang-barang seperti Ulos, pinggan dan lain-lain digantungkan pada
pandingdingan jabu Ruma, bahan dibuat dari rotan, kayu dan tali ijuk.
132. HOMBUNG (2) :
Duplikat dari hombung Gorga (ukiran tradisional BATAK TOBA) Dipakai
untuk tempat barang & Harta.
133. HOMBUNG (1) :
Peninggalan lama, dibuat dari kayu pinasa, diukir motif gorga Batara Siang.
Dipakai untuk tempat harta don barang pusaka lainnya. Hombung ini juga
berfungsi sebagai dipan untuk tempat tidur pemiliknya (Kepala rumah
tangga).
134. RUMBI (1) :
Bahan dari batang pohon nangka, digunakan untuk tempat harta don barang
pusaka. Koleksi ini berasal dari Lumban Gurning Kecamatan Porsea, umur
ditaksir ratusan tahun.
135. RUMBI (2) :
Bahan dibuat dari kayu nangka besar, fungsinya untuk tempat menyimpan
harta benda dan barang pusaka. Diperoleh dari desa Hinalang Balige, umur
ditaksir ratusan tahun.
136. HOTANG PARRAMBUAN :
Dibuat dari rotan dianyam berbentuk periuk tanah digunakan untuk tempat
pakaian, ulos dan lain-lain.
137. HUDON PARRAMBUAN :
Hudon tano (periuk tanah besar) digunakan untuk tempat barang, pakaian,
ulos dan sebagainya.
138. TAGAN :
Tempat barang berharga (barang-barang Mas dan Perak) bentuk mini dari
hombung motif Samosir dibuat dari kayu keras (Pokki). Diukir dalam bentuk
dan komposisi yang harmonis.
139. SONDI :
Sejenis tagan dari daerah Simalungun, fungsinya sama dengan tagan motif
Samosir dibuat dari kayu nangka.
140. LAGE-TIAR :
Dibuat dari “bayon login” = daun pandan, dianyam dipakai untuk alas/tempat
duduk don tempat tidur.
ALAT-ALAT TENUN TRADISIONAL BATAK
141. BUSUR HAPAS :
Dibuat dari bambu berbentuk busur panah (Sumbia) Digunakan untuk
membusur kapas, mengembangkan dalam kondisi merata agar mudah
dijadikan benang dengan sorha.
142. SORHA TANGAN :
Bahan terbuat dari kayu, papan dan besi (Kawat). Digunakan untuk memintal
benang dari kapas. Roda pemintal degerakkan dengan tangan.
143. SORHA PAT (1) :
Bahan dari kayu, papan dan besi digunakan untuk memintal’ benang dari
kapas, Roda pemintal digerakkan dengan kaki. Dipakai pada jaman
pendudukan Tentara Jepang di Tapanuli.
144. SORHA PAT (2) :
Motif lain dari Sorha. Banyak digunakan pada jaman pendudukan tentara
Jepang di Tapanuli Utara (Tanah Batak).
145. ERDENG-ERDENG (PANGHULHULAN) :
Bahan dari kayu, pakko dan bambu. Digunakan untuk menggulung
(mangkulhul) benang agar mudah digerakkan waktu menyusun dianian.
146. PANGUNGGASAN :
Dibuat dari bambu, fungsinya untuk menegangkan memadatkan benang.
Diolesi dengan campuran air tajin dan nasi lembek.
147. UNGGAS :
Bahan- terbuat dari ijuk digunakan untuk mengoleskan kanji (air tajin dan.
nasi lembek) untuk menegangkan benang.
148. GONGGONAN :
Hudon tano besar dipakai untuk tempat mencelup benang.
149. SOSA :
Alat membuat gatip-gatip pada motif ulos. Bahan terdiri dari Seak-seak
(tempurung kelapa) bahan pewarna dan bulu ayam.
150. ANIAN :
Bahan dari kayu jion dan pakko, digunakan untuk merakit benang sebelum
ditenun.
151. TUNDALAN (PAMUNGGUNG) :
Bahan dari kayu nangka dipakai untuk sandaran pinggul waktu bertenun.
152. TALI PAPAUT :
Bahan dari tali ijuk dipakai waktu bertenun, fungsinya untuk menghubungkan
panunggung de-ngan Pagabe.
153. PAGABE :
Bahannya dari pakko, digunakan menjepit benang tenun sekaligus pemegang
benang.
154. BALIGA :
Bahan dari pelepah daun enau (hodong) digunakan untuk memapatkan benang
tenunan.
155. TURAK :
Bahannya dibuat dari bambu dipakai untuk menghantar benang sirat kain
tenunan.
156. HASOLI :
Dibuat dari lidi, digunakan untuk gulungan benang sirat didalam turak.
157. SOKKAR :
Bahannya dari kulit hodong (ruyung) kedua ujungnya dibuat runcing,
digunakan untuk menegangkan benang guna mengatur pola tenunan.
158. HATULUNGAN :
Bahan dari kayu, digunakan untuk pemisah benang tenun, mengatur pola dan
baris-baris benang.
159. HAPULOTAN :
Bahan dari kayu, fungsinya untuk mengatur benang tenun supaya tidak
simpang siur.
160. BALOBAS :
Bahannya dari ruyung, digunakan untuk merapikan benang yang akan ditenun.
161. LILI :
Dibuat dari ruyung, digunakan untuk mengatur corak warna kain tenunan.
162. PAMAPAN :
Bahannya dari ruyung, digunakan untuk gantyungan benang yang ditenun.
163. SITADOAN :
Bahan dari kayu, digunakan untuk landasan kaki waktu bertenun.
164. BALIGA SIRAT :
Bahan dibuat dari pakko, digunakan untuk merapatkan (memapatkan) benang
pada ujung kain ulos yang telah siap ditenun bersisikan rambu.
165. SOSA :
Bahan terdiri dari beberapa helai bulu ayam, dipakai membasahi benang tenun
agar hasilnya lebih rapat dan padat.
166. SEAK-SEAK SOSA :
Bahan dari tempurung kelapa dipakai tempat air sosa ( air biasa ).
167. Seperangkat alat tenun ulos sebagai alat peragaan tentang tata cara
bertenun ulos SIBOLANG.
168. PINUNCAAN :
Bahannya dari benang kapas, dipakai sebagai abit/sampe-sampe pada waktu
pesta ria.
169. SIRARA :
Dipakai sebagai abit don sampe-sampe pado waktu pesta ria.
170. BINTANG MARATUR :
Dipakai sebagai abit dan sampe pada waktu pesta ria.
171. PADANG-PADANG : 
Dipakai untuk sampe-sampe parompa don untuk tali-tali.
172. SITOLU TUHO NAMARTUPE :
Sampe-sampe sihadangan.
173. SADUM ANGKOLA :
Dipakai sebagai ulos sampe-sampe pada waktu pesta ria digunakan oleh
wanita.
174. SADUM TARUTUNG :
Dipakai sebagai ulos sampe-sampe pada waktu pesta ria digunakan oleh
wanita.
175. SADUM TOBA :
Dipakai untuk ulos sihadangon pada waktu pesta ria oleh kaum wanita.
176. RAGI :
Digunakan sebagai obit dan ulos Sihadangon.
177. RAGI HOTANG :
Dipakai sebagai abit don ulos Sihadangon (Sampe-sampe).
178. SIBOLANG :
Dipakai sebagai abit dan sampe-sampe.
179. TUNTUMAN :
Dipakai waktu pesta ria sebagai tali-tali.
180. PINAN LOBU-LOBU :
Dipakai sebagai ulos sampe-sampe.
181. SURI-SURI :
Dipakai untuk parompa dan ulos sihadangon (ulos sampe-sampe).
182. MANGIRING :
Sampe-sampe, parompa dan tali-tali.
183. ATTAK-ATTAK :
Ulos sampe-sampe dan ulos abit digunakan waktu pesta ria.
184. RUNJAT :
Dipakai untuk ulos sampe-sampe dan ulos abit, digunakan waktu pesta ria.
185. BULEAN :
Dipakai waktu pesta ria sebagai ulos abit dan sampe-sampe.
186. RAGIDUP :
Dipakai untuk ulos abit dan sampe-sampe pada waktu pesta ria.
187. PAROMPA :
Dipakai untuk gendongan dan tidak termasuk ulos adat.
188. GOBAR :
Selimut tidur, tidak termasuk ulos adat.
189. ULOS SIBOLANG :
Tenunan masa lampau.
190. ULOS SURI-SURI :: idem
191. BINTANG MARATUR
192. ATTAK-ATTAK
193. TALI-TALI PADANG URSA
DAPUR TRADISIONAL
194. TATARING :
Bahan terdiri dari bambu, pakko, rotan dan tanah liat, digunakan untuk tempat
memasak.
195. DALIHAN :
Tungku, dibuat dari tanah liat, dibentuk bulat setengah bola. Digunakan untuk
landasan periuk tanah dan alat memasak lainnya. Tungku atau dalihan ini
biasanya harus tiga buah untuk satu tempat masak dan lima buah untuk dua
tempat masak.
196. LOTING :
Bahan terdiri dari besi, batu loting tanduk tempat luluk dari luluk dari pohon
enau. Dipakai untuk menyalakan api.
197. SIHAL-SIHAL : 
Batu kecil sebagai pelengkap dalihan (jika dibutuhkan).
198. SOBAN :
Bahan bakar untuk memasak terdiri dari kayu belah, ranting, dahan, bambu
dan lain-lain.
199. HUDON PANGALOMPAAN :
Periuk tempat masak nasi, merebus air minum dibuat dari bahan tanah liat.
200. HUDON PANGUHATAN :
Hudon tano besar, untuk tempat persediaan air masak.
201. SUSUBAN (1) :
Periuk tanah bentuk lain tempat memasak ikan.
202. SUSUBAN (2) :
Susuban lain yang lebih besar digunakan tempat memasak sayur dan lauk
pauk lainnya.
203. SANGA-SANGA :
Tempat memasak (Mangalhoti) Susu kerbau, bahannya dibuot dari tanah liat.
204. SANGA-SANGA TUNDEAN :
Juga disebut terde-terde dibuat dari tanah liat berbentuk piring ceper,
digunakan untuk memasak ikan-ikan kecil seperti tiri-tiri, pora-pora don lain-
lain.
205. BALANGA TANO :
Kuali batak dari daerah Sigaol, dibuat dari tanah liat, digunakan untuk
menggongseng ikan-ikan kecil don lauk pauk lainnya. Balanga tano dahulu
kala tidak banyak dipakai; alat lain dengan fungsi yang soma digunakan
Sakkop (tutup periuk).
206. SAKKOP :
Adalah tutup periuk besar, selain sebagai penutup periuk, alat ini juga
digunakan seperti peng-gunaan Balanga tano.
207. HARPE DURAME :
Bahan dibuat dari jerami dibentuk secara khusus untuk landasan hodun tano.
208. HARPE HOTANG :
Fungsinya soma dengan harpe durame, bahannya dibuat dari rotan yang
diayam dalam bentuk khusus.
209. HADANG-HADANGAN :
Bahan dari baion, diayam don diberi bertali, dipakai untuk tempat garam, cabe
dan lain se-bagainya (rempah-rempah).
210. GEANG-GEANG :
Dibuat dari anyaman rotan, digunakan untuk tempat ikan ataupun Susuban
berisi ikan. Biasanya digantung di dapur agar ikannya aman dari intaian
kucing.
211. SONDUK BULU : 
Sendok tradisional dibuat dari bambu. Dipakai untuk menyendok nasi dari
periuk.
212. SONDUK SEAK :
Bahan dibuat dari bambu, tempurung dan rotan fungsinya soma dengan
sendok bambu.
213. SEAK-SEAK BORHU :
Bahan dari tempurung kelapa dasar dan tutupnya dibuat bertali (dirompu)
digunakan sebagai tempat garam.
214. TAHU-TAHU SEAK-SEAK :
Bahan dari tempurung kelapa digunakan sebagai gayung mengambil air
sekaligus tempat minum.
215. GARUNG-GARUNG :
Terbuat dari bambu, gunanya untuk tempat air minum.
216. POTING :
Dibuat dari bambu, diberi tali dipakai untuk mengambil air dari sumber air.
217. LAGE-LAGE :
Tikar kecil dari baion dipakai sebagai tempat duduk didapur untuk tempat
makan don berdiang.
218. RAMBOAN :
Bahan dari bambu, digunakan untuk tempat cuci tangan, fungsi lain dari
ramboan adalah per-sediaan Sambilu “Kulit bambu tipis” untuk sesewaktu
dapat digunakan oleh sibaso (Bidan) memotong tali pusat anak yang baru
lahir.
219. PAPENE :
Bahan dari kayu keras, digunakan untuk menggiling bumbu masak.
220. PANUTUAN :
Serupa dengan papene tapi lebih besar.
221. TUTU :
Alat menggiling bumbu, terbuat dari batu.
222. LOSUNG :
Terbuat dari kayu dipakai untuk menumbuk sayur-sayuran.
223. ANDALU :
Alat penumbuk (Antan), sebagai pasangan lesung dibuat dari kayu bulat dan
keras.
224. PARPALITOAN (TAGAHAN) :
Bahan dari kayu don bambu dipakai untuk tempat lampu teplok.
225. SAPA (2) :
Pinggan tempat makanan sekeluarga, dibuat dari kayu nangka bentuk berkaki.
226. SAPA (3) : 
Sapa dengan kaki lebih tinggi.
227. SANGKALAN :
Talenan dibuat dari kayu nangka dipakai sebagai landasan tempat mengiris,
memotong dan mencincang ikan, daging dan sebagainya.
228. PISO :
Bahan dari besi dan kayu, digunakan untuk pisau dapur.
229. PARANG :
Bahan dari besi dipakai untuk pisau dapur.
230. SEAK-SEAK BORHU (2) :
Bahan dari tempurung kelapa digunakan tempat menampung gota (darah
ternak yang disembelih) atau tempat dan ukuran daging binda.
231. HARPE HOTANG (3) :
Landasan periuk dari anyaman rotan.
232. HARPE HOTANG (4) : – idem –
233. PERIUK LOGAM (1) :
Dibuat dari kuningan digunakan untuk tempat masak.
234. PERIUK LOGAM ( 2 )
ALAT-SENJATA DAN ALAT BERBURU
235. ULTOP :
Bahan dari bambu, peluru dari biji-bijian, biasa dipakai untuk perang-
perangan oleh anak-anak muda sebagai senjata, peluru ultop ini biasanya
dibubuhi racun.
236. SUMBIA (1) :
Busur panah peninggalan kuno, diperoleh dari desa Sitoluama Laguboti,
Bahan terbuat dari bambu dipakai untuk memanah.
237. PULUR :
Peluru anak panah dibuat dari tanah liat dikeringkan setelah dibubuhi racun
(untuk perang).
238. SIOR SUMBIA (2) :
Busur panah peninggalan kuno dari desa Parhitean, dipakai untuk alat senjata,
menembak burung dan binantang buruan. Pelurunya dibuat dari pulur.
239. SIOR SUMBIA (3) :
Motif lain dari Sumbia (duplikat).
240. PANA :
Duplikat busur panah dengan peluru (anak panah) dari bambu atau pakko.
241. SIOR : 
Anak panah terbuat dari bambu (duplikat).
242. AMBALANG :
Jenis senjata tradisional dibuat dari tali kulit pokki digunakan untuk ayunan
melemparkan batu.
243. HUJUR (1) :
Duplikat, dibuat dari besi kuningan dan gagang kayu pakko, dipakai alat
berperang. Hujur, dewasa ini juga dipakai untuk berburu.
244. HUJUR (2) : – i d e m –
245. RABI (PODANG) :
Pisau panjang dibuat dari besi, kayu don ditempat tertentu dibubuhi tembaga
dan kuningan, digunakan untuk senjata terutama di dalam hutan.
246. PARANG :
Alat senjata sejenis golok dibuat dari besi.
247. TORJANG :
Motif lain dari Rabi (Podong) biasanya mengandung kekuatan magic.
248. RAIMUNDUK :
Jenis lain dari Torjang, bahan dari besi, kayu gagang dihiasi ornamen dari
perak. Dipakai oleh Putri Raja didaerah Simalungun ketika pergi mandi ke
sumber air/tepian sungai.
249. PISO TUMBUK LADA :
Bahan dibuat dari besi, kayu ditempat tertentu dibuat puli dipakai oleh kaum
muda sebagai lambang kejantanan terutama di daerah Pak-Pak dan Tanah
Karo.
250. PALAIT :
Jenis lain dari Tombak dipakai sebagai alat senjata don alat berburu.
251. SAMBIL :
Dibuat dari bambu don tali riman digunakan untuk menangkap burung dan
binatang buruan.
252. KACCI / JOBANG (1) :
Bahan dibuat dari Sanggar (Pimping), lidi dan riman, digunakan sebagai
sangkar dan alat memikat burung dengan satu pintu jebakan.
253. KACCI (2) : 
Jenis lain dari Kacci dengan duo pintu jebakan.
254. HUJUR BULU : 
Bahannya dari bambu poso pada ujung bagian pangkad diruncingi digunakan
untuk menombak (berburu) binatang.
255. PANTOM :
Bahan dari pakko, dibentuk seperti tombak dipakai untuk senjata dan alat
berburu binatang.
256. PARPONGGALAHAN :
Tempat mesiu dari kayu berukir.
257. BODIL PAMURHAS :
Senjata api batak. dibuat dari besi dan kayu dipakai untuk perang dan atau
berburu.
258. HUJUR SIRINGGIS :
Bahan dari besi dengan gagang kayu pakko peninggalan lama dipakai untuk
alat senjata.
259. MATA HUJUR : Bahan dari besi.
260. MATA HUJUR : Bahan dari besi.
ALAT MENANGKAP IKAN
261. SOLU LUNJUP :
Jenis sampan khusus diair deras, bahan dibuat dari kayu Sotul, digunakan
untuk kenderaan diatas air dan alat waktu menangkap ikan.
262. SOLU JAMBANG : 
Sampan jenis lain yang lebih besar dari solu lunjup, biasanya dipakai di air
yang tidak mengalir (di danau), fungsinya sama dengan solu lunjup dapat
dipakai untuk mengangkut dua orang sekaligus.
263. HOLE : 
Bahannya dari kayu dipakai untuk alat dayung.
264. GOLI-GOLI :
Dibuat dari kayu (papan) dipakai untuk tempat duduk di dalam sampan.
265. TAHU-TAHU :
Bahannya dari bambu, dipakai untuk mebuang air yang masuk kedalam
sampan.
266. BUBU TIRI-TIRI :
Bahannya dari bambu digunakan menangkap ikan tiri-tiri (ikan kecil semacam
ikon teri).
267. BUBU JAHIR :
Bahannya dari lidi ijuk dan tali riman, digunakan menangkap ikon jahir, pora-
pora, undalap don lain-lain.
268. BUBU IHAN :
Bahannya dari lidi ijuk (Tarugit) bentuknya lebih besar, digunakan untuk
menangkap ikan yang besar-besar seperti ikan mas, ihan dll.
269. BUBU SIBAHUT :
Dibuat dari bambu diikat dengan tali riman, digunakan untuk menangkap ikon
lele (Sibahut).
270. HAIL SAMBOHAN :
Bahannya dibuat dari benang pancing dan arung (pimping air) digunakan
untuk memancing ikan gabus, ikan lele don lain lain ikan di daerah berlumpur.
271. HAIL HONDORAN :
Bahannya dibuat dari arung panjang tali pancing (riman) pancing pelampung
don timah pemberat digunakan untuk memancing ikan di air yang mengalir
dan dalam.
272. HAIL TAON TAONAN ( TABU-TABU ) :
Bahannya dari tali ijuk, benang don mata pancing diberi pemberat dari batu
don oelampung dari bambu dipakai untuk memancing ikan besar.
273. DOTON :
Bahan dari benang, batu pemberat, pelampung dari kayu ringan, digunakan
memukat ikan.
274. ULANGAT :
Bahan dari benang, bambu dan ijuk. Benang dijalin segi empat, digunakan
untuik menangkap ikan di air yang dangkal, tempatnya tetap.
275. TAHOP :
Bahan dibuat dari benang, bambu, bentuk serupa dengan sellep tetapi lebih
besar, dipakai untuk menangkap ikan ditempat yang dalam.
276. SELLEP : 
Bahan dibuat dari bambu dan benang digunakan untuk menangkap ikan si air
yang dangkal.
277. DURUNG :
Bahannya dari bambu, rotan dan benang, digunakan untuk menagkap ikan.
278. RADAK :
Bahannya dibuat dari pakko, besi (palait), digunakan untuk menombak ikan.
279. RADAK :
Bahannya dari pakko, pada ujungnya palait dari besi, sebanyak empat buah
dirompu dengan kawat digunakan menombak ikan besar.
280. HERENGAN : 
Dibuat dari tarugit digunakan untuk menyimpan ikan tangkapan di dalam air
agar tetap hidup sebelum dibawa pulang ke darat.
281. SANGGE :
Bahan dari bambu, fungsinya sama dengan herengan.
282. HIRANG-HIRANG (1) :
Bahan dari bambu, dianyam digunakan untuk tempat ikan tangkapan terutama
jenis ikan-ikan besar.
283. HIRANG-HIRANG (2) :
Bahan dari bambu, dianyam diberi bertali dari tali ijuk digunakan untuk
tempat ikan tangkapan direndam dalam air agar ikan tetap hidup.
284. HIRANG-HIRANG (3) :
Bahan dari rotan dianyam berbentuk bulat, digunakan untuk tempat ikan
tangkapan” biasanya digantung diikat pinggang.
KOLEKSI PARBINOTOAN (ILMU PENGETAHUAN)
285. PUSTAHA :
Duplikat dibuat dari kulit kayu ulim (laklak) bertuliskan aksara Batak berisi
ilmu pengetahuan, kalender, mantera dan lain-lain.
286. PORHALAAN (1) :
Kalender Batak, dari bambu (bambu suraton) Ditulis dalam aksara Batak
dilengkapi dengan gambar-gambar symbol dari peredaran bulan, digunakan
untuk meramalkan hari baik untuk pelaksanaan pesta adat, langkah rejeki dan
sebagainya.
287. PARHALAAN (2) :
Bahan dari bambu, diberi bertutup dari kayu diukir berbentuk patung hoda-
hoda. Tabung bambu sekaligus tempat pagar (penangkal) fungsi lain sama
dengan Porhalaan (1).
288. PARHALAAN (3) :
Fungsinya sama dengan Porhalaan (2), bahannya dibuat dari tulang kering
hewan diberi tutup dari kayu berukir.
289. BULU PARHALAAN (TONDUNG SAHALA) :
Bahannya dari kerat bambu lepas, disusun sedemikian rupa digunakan untuk
meramal hari baik.
290. BULU PARTONAAN (1) :
Bahan dari seruas bambu kecil, bertutup bambu, digunakan untuk mengirim
surat atau pesan penting.
291. BULU PARTONAAN (2) : Jenis lain dari bulu partonaan.
292. BULU PARTONAAN (3) – ” –
293. HOLI-HOLI PARTONAAN :
Tabung surat motif lain dibuat dari tulang kering hewan diukir halus diberi
tutup dari kayu motif patung hoda-hoda.
294. GARUNG-GARUNG SONDI :
Tempat menyimpan surat-surat penting, mantera-mantera don lain lain, dibuat
dari seruas bamboo besar berukir halus tutupnya artistik.
295. RUJI-RUJI BINDU MATOGA :
Kalender batak dibuat dari tulang rusuk hewan digunakan oleh datu untuk
meramal sesuatu.
296. RUJI-RUJI PARMANUHAN – idem –
BULU NAPUNGGURON : Bambu suraton tempat menulis sumpah oleh dua
orang atau lebih yang mempertahankan kebenaran masing – masing atau
orang-orang yang bertekat melaksanakan suatu niat dihadapan Datu.
BULU SISURUON : Bulu Suraton yang dapat disuruh menghukum orang
yang melanggar sumpah.
KOLEKSI DUNIA MISTIK DAN SPRITUAL
297. TUNGGAL PANALUAN (1) :
Duplikat, bahannya dibuat dari kayu tada-tada, diukir berbentuk manusia,
cecak, ular, kala jengking dan binatang berbisa lainnya, patung manusia,
bagian atas diberi berambut. Tunggal Panaluan disebut Tongkat Sakti, tongkat
sihir penolak bala digunakan waktu pesta Satti, Mandudu dan lain lain.
298. TUNGGAL PANALUAN (2) : Tunggal panaluan motif lain.
299. TUNGGAL PANALUAN (3) : idem
300. TUNGGAL PANALUAN (4) idem
301. TUNGKOT BALEHAT :
Bahan dari kayu tada-tada diukir bentuk patung manusia mengendarai kuda,
kadal, ular dan binatang berbisa lainnya. Dipakai untuk tujuan magik oleh
para datu.
302. SAHAN (1) (NAGA MORSARANG) :
Bahan dari tanduk kerbau diukir disumbat dengan tutup kayu berukir dipakai
untuk tempat obat oleh para datu, motif toba.
303. SAHAN (2) (SIBIAKSA) :
Sahan motif Samosir, fungsinya soma dengan Sahan, motif Toba.
304. PISO HALASAN (1) :
Bahan dibuat dari besi, suhulnya (gagang) dari tanduk Rusa, Sarong dari kayu
dilapis dengan kulit ekor kerbau, Dipakai untuk menyembelih kerbau waktu
pesta gondang Sarimatua, Piso Halasan juga digunakan sebagai lambang
kebesaran bahwa pemiliknya telah pernah mengadakan pesta besar,
mangalahat horbo diiringi gondang Sabangunan. Piso Halasan biasanya
disandang dan dikepit di lengan kiri dalam pakaian adat lengkap.
305. PISO HALASAN (2) : 
Gagangnya dari tanduk, pisau dari besi baja, sarangnya dari kayu dilapis kulit
ekor kerbau pada ujung sarong dibuat tanduk berukir. Fungsinya soma dengan
Piso Halasan (1).
306. TAGAN PARPAGARAN :
Bahan dibuat dari kayu, berukir halus dilengkapi singa-singa, bagian tutupnya
diukir bentuk patung manusia mengendarai kuda, digunakan untuk tempat
pagar pelindung keluarga dari niat jahat orang lain.
307. SAHAN (3) :
Sahan kecil dari tanduk kambing diukir disum bat dengan patung kayu,
digunakan oleh datu untuk tempat pupuk.
308. TAGAN GARUNG-GARUNG :
Bahannya dibuat dari bambu diukir, motif ipon-ipon. Tutupnya dibuat dari
kayu diukir, dilengkapi patung m anusia bertingkat dua. Digunakan untuk
tempat pulungan obat-obatan oleh para datu.
309. SAHAN (4) : Fungsinya sama dengan Sahan (3).
310. SONDI : 
Dibuat dari kayu berukir singa-singa ditunggangi oleh manusia badan
berbentuk tabung berukir dari tanduk kerbau. Digunakan untuk tempat pupuk
oleh datu.
311. SAHAN (5) : Sahan motif lain.
312. GUCI PARPAGARAN :
Bahan dibuat dari keramik baker dibuat tempat pagar pelindung keluarga dari
marabahaya.
313. HAJO PARPAGARAN (2) : 
Motif lain dari guci parpagaran berisi taor (obat).
314. HAJO PARPAGARAN (3) :
Dibuat dari bahan keramik bakar (Tembikar) dipakai untuk tempat pagar.
315. PATUNG DEBATA IDUP LAKI-LAKI (1) :
Duplikat, bahan dibuat dari kayu nangka. Dahulu patung jenis ini sengaja
dibuat sebagai perwujutan dari Debata idup (Mulajadi Nabolon silehon
hangoluan) dianggap sebagai pelindung bagi kelompok atau marga
pembuatnya. Dewasa ini patung jenis ini juga tetap dibuat namun telah
berobah fungsi menjadi sejenis hiasan.
316. PATUNG DEBATA IDUP PEREMPUAN (2) :
Duplikat, pasangan dari patung Debata Idup Laki-laki.
317. PATUNG DEBATA IDUP (3) :
Motif lain dari patung Debata idup.
318. PATUNG AJIDONDA SILINDUAT :
Jenis lain dari patung Debata idup Dua buah, patung laki-laki dan wanita
dirangkai menjadi satu digunakan untuk upacara magic.
319. PATUNG SIHARHARI :
Terdiri dari dua buah patung kayu laki-laki dan perempuan dirangkai menjadi
satu digunakan dalam upacara magic.
320. TIGA BOLIT :
Dibuat dari kain berwarna merah putih dan hitam, dipilin menjadi satu.
Dipakai oleh datu sebagai tali-tali.
321. BONANG MANALU :
Bahannya dari benang merah putih dan hitam, biasanya dipergunakan sebagai
jimat setelah diberi mantera oleh datu (dukun).
322. GURI-GURI SIBOANON :
Bahan dari porselen digunakan te mpat pagar / Mascot untuk dibawa-bawa.
323. GURI-GURI TAOR (1) :
Bahan dari porselen dipakai untuk tempat taor didalam rumah.
324. GURI-GURI TAOR :
Bahan dari porselen digunakan untuk tempat taor/pagar ditempatkan di dalam
rumah untuk menjaga seisi rumah dari niat jahat orang lain.
325. GURI-GURI PARTAORAN :
Bahan dari porselen diberi sumbat (penutup) dari kayu yang dipahat berbentuk
manusia. Dipakai untuk menyimpan taor/pagar oleh para datu.
326. GURI-GURI PARTAORAN (2) :
Motif lain dari Guri-Guri partaoran.
327. GURI-GURI PARMIAHAN :
Guri-Guri tempat pupuk.
328. PATUNG SITOLU :
Bahan dibuat dari kayu dipahat berbentuk tiga manusia menyatu,
kemungkinan merupakan gambaran dari tri tunggal mulajadi.
329. PATUNG SIDUA SAIHOT :
Patung kayu dirangkai dengan tali ijuk kemungkinan adalah motif lain dari
Debata idup.
330. GARUNG-GARUNG RAMUAN :
Tabung bambu tempat ramuan obat.
331. BULU SONDI :
Jenis lain dari tabung bambu tempat ramuan obat-obatan.
332. PATUNG RAME-RAME IHAN : 
Bahannya dari kayu.
333. SALUNG :
Dibuat dari bambu dipakai untuk tempat minum ramuan obat-obatan.
334. TOPENG (1) :
Bahannya dari kayu dipakai waktu tari topeng ketika pesta turun.
335. TOPENG (2) – idem –
336. SONDI TANDUK :
Bahannya dari tanduk dan kayu diukir dan dipahat bentuk patung manusia
mengendarai hoda-hoda. Dipakai untuk tempat pupuk.
337. SONDI TANDUK :
Bahan dari tanduk rusa berukir tutupnya dari kayu dipahat bentuk patung
hoda-hoda, digunakan sebagai tempat pupuk.
338. POHUNG (1) : 
Bahannya dari batu, dipahat bentuk manusia Digunakan sebagai patung
penjaga kebon setelah diisikan pupuk kedalamnya
339. POHUNG (2) :
Patung penjaga kebon motif lain berasal dari desa Sigumpar.
340. SOMBAON ;
Patung batu ujud kepala manusia.
341. PANGULU BALANG : 
Patung batu digunakan sebagai penjaga kampung dari niat jahat orang lain,
biasanya ditempatkan di benteng (parik ni huta).
342. PATUNG HODA-HODA :
Bahannya dari kayu keras, dahulu dibuat sebagai lambang kenderaan
kayangan, tunggangan nenek moyang menuju kayangan. Dewasa ini juga
dibuat para seniman tetapi fungsinya telah berubah dari tujuan mistik ke
tujuan Dekorasi (hiasan).
343. PATUNG KEPALA HODA-HODA :
Bahannya dari kayu, kulit kambing dan bulu surai kuda dipakai untuk
pelengkap tortor hoda-hoda pada waktu pesta turun.
344. RAGA-RAGA :
Bahannya dibuat dari kayu, bambu, tali siariman dan umbai-umbai dari janur
daun enau. Bentuk menyerupai para-para digantungkan ditengah-tengah
rumah ke pamoltak ni Ruma (balok atop rumah). Raga-raga biasanya dimiliki
oleh keturunan Ompu (Saompu) fungsinya adalah untuk tempat pemujaan
kepada Debata Silaon Nabolon.
345. MOMBANG : 
Bahannya dari rotan, daun janur (mare-mare) digantungkan di pamaltok ruma
digunakan untuk sarana pemujaan leluhur.
346. GIRING-GIRING ULOS :
Sejenis lonceng dari perunggu digunakan sebagai hiasan pada pakaian, dipakai
sebagai pelengkap kebesaran pemakainya. Digunakan pada upacara adat
tertentu.
SENI UKIR DAN PATUNG GORGA
347. ULU PAUNG :
Bahan dari hariara pulut digorga dalam tiga warna (merah, putih don hitam).
Bentuknya termasuk ornamen Raksasa. Ditempatkan dipuncak wuwungan
rumah atau sopo. Ulupaung diyakini sebagai lambang keperkasaan don
perlindungan terhadap seisi rumah, sebagai penjaga setan-setan dari luar
kampung.
348. JENGGAR (1) :
Hiasan pada bagian tengah tombonan adap-adop dan halang godang. Diyakini
mampu mengusir setan yang mau masuk kedalam rumah. Digorga dalam tiga
warna dipakai untuk ruma gorga.
349. JENGGAR (2) : – idem –
350. JENGGAR (3) :
Jenggar Batara Siang, jenggar motif lain tetapi tidak diberi warna dipakai
untuk jabu ruma.
351. SANTUNG SANTUNG :
Hiasan vertikal tergantung di ujung dila paung dihias dengan gorga Gaya
Dompak sebagai symbol kebenaran dan tegaknya hukum.
352. SANTUNG-SANTUNG SITINDANGI :
Jenis santung-santung lain dilengketkan pada dinding sitindangi ruma.
353. GAJA DOMPAK DORPI JOLO (1) (2) (3) (4) :
Ditempatkan pada dinding depan (dorpi jolo) fungsinya untuk mengingatkan
manusia terhadap tegaknya hukum.
354. SONGSONG RAK (1) :
Bagian depan Ruma Gorga diukir dalam tiga warna tiga bolit.
355. SONGSONG RAK (2) :
Bagian depan jabu sopo digorga Batara Siang tidak diwarnai.
356. SINGA-SINGA :
Salah satu motif singa-singa sopo gorga dibuat dari kayu hariara pulut diberi
warna tiga bolit ditempatkan di dinding depan (dorpi jolo) kiri dan kanan.
Diyakini sebagai lambang dari wibawa dan symbol keadilan hukum dan
kebenaran (duplikat).
357. ULU GURDONG :
Jenis lain dari singa-singa jabu sopo gorga batara siang diperoleh dari sebuah
sopo dari desa Parparean (Porsea).
358. SINGA-SINGA TALETE (1) :
Jenis singa-singa kecil. biasanya ditempatkan sebagai hiasan pada tomboman
dibagian dalam ruma.
359. SINGA-SINGA TALETE (2) : – idem –
360. ABAL-ABAL MINI (1) :
Miniatur Peti mayat untuk orangtua laki-laki yang sudah Saur Matua (nagabe).
Penggunaan abal-abal seperti ini senantiasa disertai upacara adat nagok
dengan membunyikan ogung sabangunan. Bahannya dari kayu besar seperti
nangka, Honara dll.
361. ABAI-ABAL MINI (2) :
Miniatur Peti mayat untuk orangtua perempuan yang sudah sour matua (orang
tua yang sudah bercucu, cicit dari anaknya laki-laki don perempuan).
UNING – UNINGAN

362. GORDANG (SILINTONG) :


Bahannya dari kayu, rotan dan kulit kambing.
363. TAGANING (1 – 5) :
Disebut juga Saridondon, bahannya dibuat dari kayu, rotan dan kulit kambing
dipakai untuk pelengkap ogung sabangunan.
364. OGUNG PONGGORA :
Sihutur tolong bahannya terdiri dari perunggu ditempah bulat, ditengah jendul
berisi puli (damar) dipakai untuk pelengkap musik berat (gondang
sabangunan).
365. OGUNG PANGALUSI : 
Sitapi sindar mata ni ari. Bahannya dan fungsinya sama dengan ogung
panggora.
366. OGUNG DOAL :
Serupa dengan diatas, nama lainnya Dori Mangambat.
367. OGUNG OLOAN :
Digunakan untuk pelengkap ogung sabangunan.
368. ODAP :
Bahannya sama dengan taganing digunakan untuk pelengkap taganing dalam
tatanan musik gendang.
369. SARUNE BOLON :
Serunai panjang dibuat dari kayu, dipakai untuk pelengkap musik berat
(gondang sabangunan).
370. GARANTUNG :
Bahannya dari kayu ringan dipakai untuk alat musik ringan.
371. HASAPI (1) :
Bahannya dari kayu ringan talinya dari kawat halus atau riman dipakai alat
musik ringan (gondang hasapi) don untuk mengiringi lagu.
372. HASAPI (2) : – idem –
373. SARUNE GETEP :
Serunai kecil dipakai untuk mengiringi gondang hasapi dan untuk mengiringi
lagu.
374. SULIM BESAR :
Bahannya dari bambu dipakai untuk alat hiburan.
375. SULIM SEDANG :
Bahannya dari bambu dipakai untuk alat musik hiburan.
376. SULIM KECIL : – idem –
377. SORDAM BESAR :
Bahannya dari bambu dipakai untuk memuaskan perasaan sedih (andung-
ratap). Kadang-kadang dapat digunakan untuk tujuan mistik, untuk
mengetahui anak hilang, biasanya dipakai/dibunyikan waktu malam.
378. SORDAM KECIL : – idem –
379. TULILA :
Bahannya dari bambu dipakai untuk alat musik hiburan terutama ditempat
sunyi.
380. SAGA-SAGA : 
Bahannya dibuat dari kulit pelepah daun enau dipakai sebagai alat musik
hiburan don biasanya waktu bertandang.
381. MONG-MONG : 
Garantung bulu, bahannya dibuat dari bambu dipakai untuk alat musik
hiburan.
382. HESEK-HESEK :
Bahannya dibuat dari kaleng atau botol kosong, digunakan untuk pelengkap
musik berat maupun musik ringan. Hesek-hesek sebagai pelengkap musik,
mempunyai peran penting untuk memberi komando atas gerak tarian (Step).
383. SIGALE-GALE (1) LAKI-LAKI :
Wayang Batak diperbuat dari kayu di ukir berbentuk mausia dilengkapi tali-
temali yang dapat menggerak-gerakkan, menari, manortor mengikuti gondang
dengan kemahiran seorang dalang untuk memainkannya. Tortor sigale-gale
diadakan dalam upacara ritus pada waktu kematian seseorang yang berusia
lanjut, tetapi tidak mempunyai keturunan.Dahulu acara tor-tor seperti ini
disebut upacara Papurpur Sapata. Dewasa ini tor-tor sigale-gale lebih m
erupakan acara hiburan.
384. 284. SIGALE-GALE (2) PEREMPUAN :
Pasangan dari sigale-gale laki-laki.
KOLEKSI LAIN-LAIN
385. KOLEKSI ALAT PEMBAYARAN :
Koleksi uang (Numismatic) yang pernah berlaku sebagai alat pembayaran
yang sah di daerah Tapanuli / Sumatera Utara.
386. MINIATUR RUMAH ADAT SIMALUNGUN.
387. MINIATUR RUMAH ADAT KARO.
388. MINIATUR RUMAH ADAT MELAYU.
389. MINIATUR RUMAH ADAT TOBA ( SOPO ).
390. MINIATUR RUMAH ADAT TOBA ( RUMA ).
391. KENDI KERAMIK MOTIF BATAK (1). 
Pengembangan teknik baru dalam seni keramik dengan motif seni ukir Batak
Toba.
392. KENDI KERAMIK MOTIF BATAK (2) – idem –
393. ULU PANG KERAMIK – idem –
394. JENGGAR KERAMIK – idem –
395. MINIATUR HOMBUNG (KERAMIK) – idem –
396. PATUNG PENGANTIN BATAK TOBA :
Bahan dari kayu don serbuk gergaji. Patung dilengkapi dengan pakaian adat
pengantin Batak Toba.
397. PATUNG DADA RAJA SISINGAMANGARAJA XII :
Patung dibuat dari bahan fibre glass. Patung Pahlawan Nasional Raja
Sisingamangaraja XII yang memimpin Perang Batak menentang kolonialisme
Belanda ( 1877 – 1907). Raja sisingamangaraja XII mempunyai kharisma
tinggi di masyarakat Batak dahulu dan sekarang ini. Tokoh panutan, tokoh
Sakti, Raja ni uhum, Raja ni Adat.
398. STEMPEL (CAP) RAJA SISINGAMANGARAJA XII :
Duplikat dibuat dari fibre glass isi cap dalam aksara Batak artinya “Ahu Sahap
ni Tuwan Sisingamangaraja sian Bakkara”.
399. PATUNG DADA DR. JL. NOMMENSEN :
Penginjil berkebangsaan Jerman yang berhasil mengembangkan agama
Kristen di Tanah Batak, merangkul budaya adat batak memadukan dengan
budaya kristen. DR. Nommensen ada kalanya disebut sebagai Apostel Batak.
400. FOTO PENGANTEN BATAK TOBA
” ” BATAK KARO
” ” BATAKSIMALUNGUN
” ” BATAK PAKPAK (DAIRI)
” ” BATAK ANGKOLA/MANDAILING
” ” PESISIR (TAP. TENGAH).
” ” SUKU NIAS
” ” MELAYU
401. KOLEKSI PAKAIAN ADAT PENGANTIN ANGKOLA UNTUK
PRIA.
402. KOLEKSI PAKAIAN ADAT KEBESARAN PENGANTIN
ANGKOLA UNTUK WANITA.
403. KOLEKSI BULANG-BULANG / PENGANTIN KARO UNTUK
PRIA.
404. KOLEKSI TUDUNG / PENGANTIN KARO UNTUK WANITA.
405. KOLEKSI BULANG PENGANTIN SIMALUNGUN UNTUK PRIA.
406. KOLEKSI TUDUNG PENGANTIN SIMALUNGUN UNTUK
WANITA.
407. KONSEP DALIHAN NATOLU : dalam warna kehidupan disajikandi
vitrin tengah bagian atas berupa ;
1. Kain putih dengan motif Hariaria Sundung langit,sebagai perlambang
hubungan antara manusia dengan penciptanya yang memberi kehidupan lahir
maupun bathin selayaknya hubungan ini dijaga sesuci perlambang kain putih.
2. Kain hitam dengan motif Pane Nabolon, Manusia dengan alam mempunyai
hubungan yang tak dapat dipisahkan, alam memberi, manusia menerima
melalui olahan tangan mereka, dalam kepekatan hitam (ketidak tahuan)
manusia sulit menduga dan pasrah terhadap alam.
3. Kain Merah dengan motif Bindu Matoga. Manusia sadar akan kodratnya
mohon perlindunganNYA. Alam semakin bersahabat, hewan beranak pinak,
tumbuhan subur menghijau, manusia berketurunan bertindak dengan berani se
Merah semangat mencari lahan baru ke delapan penjuru angin.
RUMA GORGA BATAK
Penulis : Ama Morlan Simanjuntak (Panggorga)
Gorga Batak adalah ukiran atau pahatan tradisional yang biasanya terdapat di
dinding rumah bahagian luar dan bagian depan dari rumah-rumah adat Batak.
Gorga ada dekorasi atau hiasan yang dibuat dengan cara memahat kayu
(papan) dan kemudian mencatnya dengan tiga (3) macam warna yaitu : merah-
hitam-putih. Warna yang tiga macam ini disebut tiga bolit.
Bahan-bahan untuk Gorga ini biasanya kayu lunak yaitu yang mudah
dikorek/dipahat. Biasanya nenek-nenek orang Batak memilih kayu ungil atau
ada juga orang menyebutnya kayu ingul. Kayu Ungil ini mempunyai sifat
tertentu yaitu antara lain tahan terhadap sinar matahari langsung, begitu juga
terhadap terpaan air hujan, yang berarti tidak cepat rusak/lapuk akibat kena
sengatan terik matahari dan terpaan air hujan. Kayu Ungil ini juga biasa
dipakai untuk pembuatan bahan-bahan kapal/ perahu di Danau Toba.
Bahan-bahan Cat (Pewarna)
Pada zaman dahulu Nenek orang Batak Toba menciptakan catnya sendiri
secara alamiah misalnya :
Cat Warna Merah diambil dari batu hula, sejenis batu alam yang berwarna
merah yang tidak dapat ditemukan disemua daerah. Cara untuk mencarinya
pun mempunyai keahlian khusus. Batu inilah ditumbuk menjadi halus seperti
tepung dan dicampur dengan sedikit air, lalu dioleskan ke ukiran itu.
Cat Warna Putih diambil dari tanah yang berwarna Putih, tanah yang halus
dan lunak dalam bahasa Batak disebut Tano Buro. Tano Buro ini digiling
sampai halus serta dicampur dengan sedikit air, sehingga tampak seperti cat
tembok pada masa kini.
Cat Warna Hitam diperbuat dari sejenis tumbuh-tumbuhan yang ditumbuk
sampai halus serta dicampur dengan abu periuk atau kuali. Abu itu dikikis dari
periuk atau belanga dan dimasukkan ke daun-daunan yang ditumbuk tadi,
kemudian digongseng terus menerus sampai menghasilkan seperti cat tembok
hitam pada zaman sekarang.
Jenis/ Macamnya Gorga Batak
Menurut cara pengerjaannya ada 2 jenis :
1. Gorga Uhir yaitu Gorga yang dipahatkan dengan memakai alat pahat dan
setelah siap dipahat baru diwarnai
2. Gorga Dais yaitu Gorga yang dilukiskan dengan cat warna tiga bolit. Gorga
dais ini merupakan pelengkap pada rumah adat Batak Toba. Yang terdapat
pada bahagian samping rumah, dan dibahagian dalam.
Menurut bentuknya
Dilihat dari ornament dan gambar-gambarnya dapat pula Gorga itu
mempunyai nama-namanya tersendiri, antara lain ;
• Gorga Ipon-Ipon, Terdapat dibahagian tepi dari Gorga; ipon-ipon dalam
Bahasa Indonesia adalah Gigi. Manusia tanpa gigi sangat kurang menarik,
begitulah ukiran Batak, tanpa adanya ipon-ipon sangat kurang keindahan dan
keharmonisannya. Ipon-ipon ada beraneka ragam, tergantung dari kemampuan
para pengukir untuk menciptakannya. Biasanya Gorga ipon-ipon ini lebarnya
antara dua sampai tiga sentimeter dipinggir papan dengan kata lain sebagai
hiasan tepi yang cukup menarik.
• Gorga Sitompi, Sitompi berasal dari kata tompi, salah satu perkakas Petani
yang disangkutkan dileher kerbau pada waktu membajak sawah. Gorga
Sitompi termasuk jenis yang indah di dalam kumpulan Gorga Batak.
Disamping keindahannya, kemungkinan sipemilik rumah sengaja
memesankannya kepada tukang Uhir (Pande) mengingat akan jasa alat
tersebut (Tompi) itu kepada kerbau dan kepada manusia.
• Gorga Simataniari (Matahari), Gorga yang menggambarkan matahari,
terdapat disudut kiri dan kanan rumah. Gorga ini diperbuat tukang ukir
(Pande) mengingat jasa matahari yang menerangi dunia ini, karena matahari
juga termasuk sumber segala kehidupan, tanpa matahari takkan ada yang
dapat hidup.
• Gorga Desa Naualu (Delapan Penjuru Mata Angin), Gorga ini
menggambarkan gambar mata angin yang ditambah hiasan-hiasannya. Orang
Batak dahulu sudah mengetahui/kenal dengan mata angin. Mata angin ini pun
sudah mempunyai kaitan-kaitan erat dengan aktivitas-aktivitas ritual ataupun
digunakan di dalam pembuatan horoscope seseorang/sekeluarga. Sebagai
pencerminan perasaan akan pentingnya mata angina pada suku Batak maka
diperbuatlah dan diwujudkan dalam bentuk Gorga.
• Gorga Si Marogung-ogung (Gong), Pada zaman dahulu Ogung (gong)
merupakan sesuatu benda yang sangat berharga. Ogung tidak ada dibuat di
dalam negeri, kabarnya Ogung didatangkan dari India. Sedangkan
pemakaiannya sangat diperlukan pada pesta-pesta adat dan bahkan kepada
pemakaian pada upacara-upacara ritual, seperti untuk mengadakan Gondang
Malim (Upacara kesucian). Dengan memiliki seperangkat Ogung pertanda
bahwa keluarga tersebut merupakan keluarga terpandang. Sebagai kenangan
akan kebesaran dan nilai Ogung itu sebagai gambaran/ keadaan pemilik rumah
maka dibuatlah Gorga Marogung-ogung.
• Gorga Singa Singa, Dengan mendengar ataupun membaca perkataan Singa
maka akan terlintas dalam hati dan pikiran kita akan perkataan: Raja Hutan,
kuat, jago, kokoh, mampu, berwibawa. Tidak semua orang dapat mendirikan
rumah Gorga disebabkan oleh berbagai faktor termasuk factor social ekonomi
dan lain-lain. Orang yang mampu mendirikan rumah Gorga Batak jelaslah
orang yang mampu dan berwibawa di kampungnya. Itulah sebabnya Gorga
Singa dicantumkan di dalam kumpulan Gorga Batak
• Gorga Jorgom, Ada juga orang menyebutnya Gorga Jorgom atau ada pula
menyebutnya Gorga Ulu Singa. Biasa ditempatkan di atas pintu masuk ke
rumah, bentuknya mirip binatang dan manusia.
• Gorga Boras Pati dan Adop Adop (Tetek), Boras Pati sejenis mahluk yang
menyerupai kadal atau cicak. Boras Pati jarang kelihatan atau menampakkan
diri, biasanya kalau Boras Pati sering nampak, itu menandakan tanam-
tanaman menjadi subur dan panen berhasil baik yang menuju kekayaan
(hamoraon). Gorga Boras Pati dikombinasikan dengan tetek (susu, tarus). Bagi
orang Batak pandangan terhadap susu (tetek) mempunyai arti khusus dimana
tetek yang besar dan deras airnya pertanda anaknya sehat dan banyak atau
punya keturunan banyak (gabe). Jadi kombinasi Boras Pati susu (tetek) adalah
perlambang Hagabeon, Hamoraon sebagai idaman orang Batak.
• Gorga Ulu Paung, Ulu Paung terdapat di puncak rumah Gorga Batak.
Tanpa Ulu Paung rumah Gorga Batak menjadi kurang gagah. Pada zaman
dahulu Ulu Paung dibekali (isi) dengan kekuatan metafisik bersifat gaib.
Disamping sebagai memperindah rumah, Ulu Paung juga berfungsi untuk
melawan begu ladang (setan) yang datang dari luar kampung. Zaman dahulu
orang Batak sering mendapat serangan kekuatan hitam dari luar rumah untuk
membuat perselisihan di dalam rumah (keluarga) sehingga tidak akur antara
suami dan isteri. Atau membuat penghuni rumah susah tidur atau rasa takut
juga sakit fisik dan berbagai macam ketidak harmonisan.
Masih banyak lagi gambar-gambar yang terdapat pada dinding atau bahagian
muka dari rumah Batak yang sangat erat hubungannya dengan sejarah
kepribadian si pemilik rumah. Ada juga gambar lembu jantan, pohon cemara,
orang sedang menunggang kuda, orang sedang mengikat kerbau. Gambar
Manuk-Manuk (burung) dan hiasan burung Patia Raja perlambang ilmu
pengetahuan dan lain-lain.
Apakah Jaha Jaha Gorga Itu ?
Orang sering bertanya dan mempersoalkan tentang manjaha (membaca) Gorga
Batak yang sering membingungkan banyak orang. Membaca Gorga Batak
tidak seperti membaca huruf-huruf Latin atau huruf Arab atau huruf Batak,
huruf Kawi dan yang lainnya. Membaca Gorga Batak yakni mengartikan
gambar-gambar dan warna yang terdapat di Rumah Gorga itu serta
menghubungkannya kepada Sejarah dari pada si pemilik rumah tersebut.
Sebagai contoh : Disebuah rumah Gorga Batak terdapat gambar Ogung
(gong), sedangkan pemilik rumah atau nenek serta Bapaknya belum pernah
mengadakan pesta dengan memukul Ogung/Gendang, maka Gorga rumahnya
tidak sesuai dengan keadaan pribadi pemilik rumah, maka orang yang
membaca Gorga rumah itu mengatakan Gorga rumah tersebut tidak cocok.
Contoh lain : Si A orang yang baru berkembang ekonominya disuatu
kampung, dan membangun satu rumah Gorga Batak. Si A adalah anak tunggal
dan Bapaknya juga anak tunggal. Akan tetapi cat rumah Gorga itu banyak
yang berwarna merah dan keras, dan lagi pula singa-singanya (Mata Ulu
Paungnya) membelalak dan menantang, maka Gorga rumahnya itu tidak
cocok karena si A tersebut orang yang ekonominya baru tumbuh (namamora
mamungka). Maka orang yang membaca Gorga rumahnya menyebutkan untuk
si A. Sebaiknya si A lebih banyak memakai warna si Lintom (Hitam) dan Ulu
Paungnya agak senyum, Ulu Paung terdapat dipuncak rumah.
RUMA (RUMAH)
Jadi sudah kita ketahui bahwa gorga (ukiran) Batak itu membuat Rumah
Batak itu sangat indah anggun dan sangat senang perasaan melihatnya, baik
orang Barat/Eropah sangat senang perasaannya melihat bentuk rumah Batak
itu serta hiasan hiasannya.
Bagaimanakah bahagian dalamnya? Apakah seindah dan seanggun yang kita
lihat dari luarnya? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita lihat dahulu
dari berbagai sudut pandang. Rumah Batak itu tidak memiliki kamar (pada
zaman dahulu), jadi jelas perasaan kurang enak kalau di bandingkan pada
zaman sekarang.
JABU NAMAR AMPANG NA MARJUAL
Para nenek moyang orang Batak (Bangso Batak) menyebut Rumah Batak
yaitu “jabu na marampang na marjual”. Ampang dan Jual adalah tempat
mengukur padi atau biji bijian seperti beras/kacang dll. Jadi Ampang dan Jual
adalah alat pengukur, makanya Rumah Gorga, Rumah Adat itu ada
ukurannya, memiliki hukum hukum, aturan aturan, kriteria kriteria serta batas
batas.
Biarpun Rumah Batak itu tidak memiliki kamar/dinding pembatas tetapi ada
wilayah (derah) yang di atur oleh hukum hukum. Ruangan Ruma Batak itu
biasanya di bagi atas 4 wilayah (bahagian) yaitu:
1. Jabu Bona ialah daerah sudut kanan di sebelah belakang dari pintu masuk
rumah, daerah ini biasa di temapti oleh keluarga tuan rumah.
2. Jabu Soding ialah daerah sudut kiri di belakang pintu rumah. Bahagian ini
di tempati oleh anak anak yang belum akil balik (gadis)
3. Jabu Suhat, ialah daerah sudut kiri dibahagian depan dekat pintu masuk.
Daerah ini di tempati oleh anak tertua yang sudah berkeluarga, karena zaman
dahulu belum ada rumah yang di ongkos (kontrak) makanya anak tertua yang
belum memiliki rumah menempati jabu SUHAT.
4. Jabu Tampar Piring, ialah daerah sudut kanan di bahagian depan dekat
dengan pintu masuk. Daerah ini biasa disiapkan untuk para tamu, juga daerah
ini sering di sebut jabu tampar piring atau jabu soding jolo-jolo.
Disamping tempat keempat sudut utaman tadi masih ada daerah antara Jabu
Bona dan Jabu Tampar Piring, inilah yang dinamai Jabu Tongatonga Ni Jabu
Bona. Dan wilayah antara Jabu Soding dan Jabu Suhat disebut Jabu
Tongatonga Ni Jabu Soding.
Itulah sebabnya ruangan Ruma Batak itu boleh dibagi 4 (empat) atau 6
(enam), makanya ketika orang batak mengadakan pertemuan (rapat) atau RIA
di dalam rumah sering mengatakan sampai pada saat ini; Marpungu hita di
jabunta na mar Ampang na Marjual on, jabu na marsangap na martua on. Dan
seterusnya……
BAGAS RIPE RIPE
Dihatiha nasalpui (zaman dahulu) terkadang suku bangsa Batak i mendirikan
rumah secara kongsi atau rumah bersama antara abang dan adik dan rumah itu
di sebut BAGAS RIPE RIPE.
Sebelum mendirikannya mereka terlebih dahulu bermusyawarah dan
menentukan dan memutuskan; siapa yang menempati jabu BONA, siapa yang
menempati jabu Soding jabu SUHAT dan jabu Tamparpiring. Tentunya rumah
seperti ini sudah agak lebih besar, dan sifat seperti ini adalah sisa sisa sifat
masyarakat kommunal. Namun biarpun adanya nampak sifat sifat kommunal
pada keluarga seperti ini, mereka seisi rumah saling menghormati terutama
terhadap wanita.
Tidak pernah ada perkosaan ataupun perselingkuhan seperti marak maraknya
di zaman yang serba materialis ini. Para nenek Suku Batak pada hatiha
(ketika) itu menghormati istri kawannya yang kebetulan suaminya berada di
luar rumah.
Disinilah keindahan bahagian dalam rumah Batak itu terutama di bidang
moral. Mereka menghormati hak hak orang lain dan menghormati ukuran
ukuran (Ampang/Jual) hukum hukum wilayah didalam rumah yang tidak
memiliki bilik (kamar) mereka sangat mengakui bahwa rumah itu memang
jabu namar Ampang Marjual.
Rumah (Ruma) yang didalam bahasa asing disebut HOUSE mempunyai
banyak cara untuk menyebutnya sesuai dengan fungsinya. Bilamana Ruma itu
tempat penyimpanan padi maka para nenek nenek Suku Batak menyebutnya
Sopo PARPEOPAN EME. Bilamana Ruma (Sopo) itu berfungsi sebagai
tempat pemujaan DEWATA MULA JADI NA BOLON I (TUHAN ALLAH),
maka tempat itu dinamakan Joro. Dan sampai sekarangpun masih banyak
orang Batak menyebut Gereja itu dengan sebutan Bagas Joro ni DEBATA.
Bagas Joro yang lama bentuknya persis seperti Ruma Batak dan sisa-sisanya
masih ada pernah penulis lihat di daerah Humbang dan mereka beribadah pada
hari Sabtu.
Ada juga Ruma itu khusus tempat musyawarah para keluarga dan para kerabat
kerabat tempat membicarakan hal hal yang penting. Tempat tersebut di
namakan Tari SOPO dan biasanya tari sopo tidak mempunyai dinding
contohnya dapat kita lihat di Lumban Bulbul Kecamatan Balige yang
pemiliknya bernama S.B Marpaung (Op. Miduk), atau di beberapa tempat
masih ada lagi sisa sisa tari sopo yang dapat kita lihat.
Kenapa disebut BAGANDING TUA?
Kata kata yang lain untuk menyebut rumah itu ada juga mengatakan;
SIBAGANDING TUA, menurut sunber yang layak di percayai
BAGANDING TUA itu adalah sebuah mahluk yang juga ciptaan Allah,
wujudnya seperti seekor ular yang panjangnya paling paling 2 jengkal jari
tangan. Bagi orang yang bernasib mujur bisa saja BAGANDING TUA datang
rumahnya dan pasti membawa rejeki yang melimpah ruah. Pokoknya bila
Ruma itu memiliki BAGANDING TUA pemiliki Ruma itu akan kedatangan
rejeki dari berbagai penjuru.
Demikianlah Suku Batak itu sering memakai kata kata penghalus dan sastra
untuk menunjukkan ruma sebagai tempat tinggal manusia dengan menyebut
JABU SI BAGANDING TUA.
Dari catatan yang dihimpun, Istilah Baganding tua juga diartikan sebagai
peristilahan kepada perempuan (istri) pemilik rumah, dan untuk laki-laki
(suami) diistilahkan Simanguliman. Bila dalam petuah upacara khusus
mengartikan rumah sebagai “bagas Sibaganding tua Simanguliman on”,
artinya suami dan istri masih lengkap.
Perempuan (isteri) juga diartikan “pangalapan tua”, sumber berkat, sementara
rumah diartikan sama dengan perhimpunan berkat harta dan keturunan serta
kehormatan.
“Namarampang Namarjual” diartikan bagi sebuah rumah yang memiliki
kehidupan, memiliki harta, aturan dan penegakan hukum dalam keluarga serta
masyarakat.
Kehilangan seorang isteri merupakan kehilangan kehormatan bagi sebuah
keluarga dan rumah itu sendiri, sehingga penempatan istilah Sibagandingtua
dan Namarampang Namarjual otomatis tidak lagi diucapkan sampai seorang
perempuan (isteri) atau menantu dari salah seorang anak lelaki ada menempati
rumah itu.
Menurut cerita rakyat, bila seorang isteri bijaksana yang menghidupi keluarga
itu meninggal dunia, maka “boraspati” (cecak) akan meninggalkan rumah itu.
Boraspati adalah lambang kesuburan dan selalu dibuat hiasan rumah adat
batak. Kebenarannya belum pernah diteliti.
BALE BALE:
Berbagai macam penyebutan untuk menunjukkan Ruma (tempat tinggal
manusia) di dalam bahasa Batak, kata BALE juga sering di sebut sebut, tetapi
BALE kurang biasa di pakai sebagai hunian tempat berkeluarga (HOUSE
dalam Bahasa Inggris). Bale artinya Balai tempat bertemu antara penjual dan
pembeli. Contoh Balairung Balige yang modelnya seperti RUMA GORGA
BATAK, akan tetapi fungsinya adalah sebagai tempat berjual beli kebutuhan
sehari-hari.
Akan tetapi biarpun BALEBALE tidak biasa seperti hunian tempat
berkeluarga dan anak beranak Orang Batak sekarang sering juga
menyebutkannya sebagai rumah biasa (House). Buktinya; mereka berkata
“PAJONG JONG BALE BALE do anakta nuaeng di Medan”, artinya: Anak
kita sedang membangun rumah di Medan. Padahal rumah yang dibangun
anaknya di Medan adalah rumah gedong. Disan do “Bale balenta”, (Disanalah
rumah kita) “Nungnga adong Balebale ni lae i di Jakarta” (sudah ada rumah
ipar kita itu di Jakarta.
Tangga gogop (genap)
Tadi kita sudah mengetahui bahwa Ruma Batak itu menurut tangga dan
pintunya dibagi menjadi 2 (dua) bahagian yaitu Ruma Batak si Tolumbea dan
Ruma Batak Di Baba ni Amporik. Namun kalau jumlah anak tangganya selalu
ganjil apakah itu beranak tangga 9 atau 11 atau 7 pokoknya jumlahnya selalu
ganjil. Bagi masyarakat Batak Toba jumlah anak tangga yang genap (gogop)
adalah pantang, sebab jumlah anak tangga rumah adalah menunjukkan bahwa
pemilik rumah adalah keturunan budak (Hatoban).
Hal seperti ini tidak terdapat bagi Ruma Batak sebab tidak mungkin seorang
budak dapat mendirikan Rumah Batak, atau sebagai pemilik Ruma Batak.
Kalaupun ada Rumah beranak tangga yang genap (gogop) itu mungkin pada
rumah jenis lain. Karena di tanah Batak pada jaman dahulu dan jaman
sekarang ada juga kita dapati rumah EMPER bahkan jumlahnya jauh melebihi
dari Ruma Batak.
Menurut cerita yang didapat dari hasil bincang bincang antara penulis dengan
orang yang layak dipercayai bahwa pada zaman dahulu ada terdapat budak di
Samosir. Dan kalau budak itu mau makan terlebih dahulu bersuara ngeong
(mar ngeong) seperti suara kucing barulah tuannya meletakkan nasi di lantai
rumah.
Dan kalau budak sudah merdeka di buatlah rumah pondoknya dengan tanda
jumlah anak tangga rumahnya genap seperti 2 atau 4.
Pada zaman zaman permulaan Kemerdekaan Indonesia penulis masih sempat
mendengar bahwa anak pemilik rumah yang bertangga genap sangat sulit
mendapat jodoh yang cantik. Jadi secara jelasnya bahwa Rumah Batak itu
tidak ada yang beranak tangga yang gogop.
DATU :
Di dalam masyarakat Batak yang lama, Datu adalah sangat berperan baik
dalam rangka penyediaan bahan bahan bagunan dari hutan seperti kayu, ijuk
(bahan untuk atap rumah), rotan, batu pondasi dll. Sebab bukan tidak mungkin
bahan bahan bagunan itu adalah milik dari mahluk mahluk halus di hutan.
Misalnya batu itu adalah sebagai tempat duduk duduknya (santai santai)
mahluk halus di hutan dan terambil oleh manusia ubtuk bahan pondasi Ruma
ini akan membawa malapetaka bagi penghuni Ruma. Begitu juga kayu itu, ada
juga miliknya penguasa penguasa hutan yang tak boleh digunakan manusia,
begitu juga rotan sebagai bahan pengikat ada juga miliknya penguasa Hutan
(Begu).
Datu itu memiliki pengetahuan metafisik yang dapat melihat, mendengar dan
mencium yang tak dapat dilihat dan didengar oleh manusia biasa. Untuk
memulai pembangunan ruma dan memasuki ruma, datu harus membuka buku
Porhalaan/ sejenis buku pedoman orang Batak.
Di dalam buku Porhalaan ada ditunjukkan waktu kapan begu berdiam diri,
kapan bersantai, kapan mengganggu, makanya harus ada masyarakat Batak
pada zaman dahulu percaya akan Sumangot dan begu, yaitu roh nenek
moyang yang selalu hidup disebut tondi orang yang sedang bermimpi
dianggap rohnya sedang bepergian dan mengembara. Apa yang dialaminya
dalam pengembaraan itulah mimpinya.
Roh berpusat dalam kepala (simanjujung). Kepala orang Batak tidak boleh
dilangkahi, bisa-bisa rohnya merasa malu, terkejut atau melompat. Itulah
sebabnya orang Batak pada acara-acara tertentu meletakkan beras sedikit di
atas kepala (manjomput boras si pir ni tondi) misalnya kalau kebakaran
rumah, kedatangan menantu, anak yang sudah lama merantau dan pulang ke
rumah.
Orang Batak selalu suka menyebutkan perkataan Horas. Perkataan itu sama
dengan keras atau kokoh; kekar, di dalam Bahasa Indonesia orang berjumpa
satu sama lain mengucapkan Horas, para pemimpin (Presiden-Menteri-
Gubernur dll) yang datang berkunjung ke daerah Toba selalu disambut dengan
suara gemuruh Horas…horas, ada pula ucapan Horas Bangso Batak
maksudnya supaya roh orang itu keras, kuat, kokoh. Karena orang Batak itu
selalu mengutamakan Pir ni Tondi (kerasnya roh).
Orang Batak yang pintar dan dituakan di masyarakat juga digolongkan Datu
Perkataan Datu berasal dari kata Da+Tu. Perkataan Da sering digunakan untuk
menghormati seseorang misalnya Da inang (ibu), Da tulang, Da ompung
(nenek).
Datu, diyakini selalu mengatakan yang benar, mensyaratkan kebenaran yang
tidak diketahui kebanyakan orang. Mengatakan yang benar “tutu”, dikuatkan
dengan pernyataan “nda-tutu” atau “da-tutu”. Sama halnya pernyataan serang
ibu “da-inang”.
Istilah dan pemahaman arti Datu mulai bergeser saat terjadinya pembohongan
dan kekebasan mengaktualisasikan diri dalam masyarakat. Kesalahan yang
pernah terjadi dilakukan seorang datu akhirnya berdampak kepada merosotnya
penilaian tentang Datu.
Datu, saat ini cenderung diartikan hanya sekedar ahli pengobatan dan nujum,
perdukunan diartikan pula perilaku perbuatan jelek kepada orang lain seperti
santet dan lain sebagainya.
BAHAGIAN-BAHAGIAN RUMA BATAK
Menurut tingkatannya Ruma Batak itu dapat dibagi menjadi 3 bagian :
1. Bagian Bawah (Tombara) yang terdiri dari batu pondasi atau ojahan tiang-
tiang pendek, pasak (rancang) yang menusuk tiang, tangga (balatuk)
2. Bagian Tengah (Tonga) yang terdiri dari dinding depan, dinding samping,
dan belakang
3. Bagian Atas (Ginjang) yang terdiri dari atap (tarup) di bawah atap urur
diatas urur membentang lais, ruma yang lama atapnya adalah ijuk (serat dari
pohon enau).
Bagian bawah berfungsi sebagai tempat ternak seperti kerbau, lembu dll.
Bagian tengah adalah ruangan tempat hunian manusia. Bagian atas adalah
tempat-tempat penyimpanan benda-benda keramat (ugasan homitan).
Menurut seorang peneliti dan penulis Gorga Batak (Ruma Batak) tahun 1920
berkebangsaan Belanda bernama D.W.N. De Boer, di dalam bukunya Het
Toba Batak Huis, ketiga benua itu adalah :
1. Dunia atau banua toru (bawah)
2. Dunia atau banua tonga (tengah)
3. Dunia atau banua ginjang (atas)
Selanjutnya orang Batak Toba yang lama telah berkeyakinan bahwa ketiga
dunia (banua) itu diciptakan oleh Maha Dewa yang disebut dengan perkataan
Mula Jadi Na Bolon. Seiring dengan pembagian alam semesta (jagad raya)
tadi yang terdiri dari 3 bagian, maka orang Batak Toba pun membagi/
merencanakan ruma tradisi mereka menjadi 3 bagian.
Rumah tradisi mempunyai tiga tingkat sesuai dengan tingkat kosmos,
demikian tulisan Achim Sibeth seorang the Batak peoples of atap (tarup). Atap
rumah tradisi itu adalah ijuk (serat batang pohon enau) yang disusun dengan
tebal  20 cm rapi dan berseni. Di bawah ijuk ada lais-lais kecil yang banyak,
bahannya diambil dari pohon enau juga dinamai hodong. Di atas ijuk tersebut
ditaruh dengan lidi tarugit itu bukan asal diletakkan semuanya, disusun
dengan seni Batak tertentu sehingga bagian atas ruma Batak itu nampak
gagah, anggun, dan berseni.
Tentang tarugit
Tarugit adalah suatu benda untuk menciptakan suatu ungkapan yang dapat
menjadi suatu pedoman hidup orang Batak Toba. Para orang-orang Batak
sering berkata Ni arit tarugit Pora-pora, molo tinean uli teanon do dohot gora,
atau dengan kata lain unang hita ripe sitean uli so dohot tumean gora.
Sebagai inti sari dari ungkapan ini adalah uli dan gora, namun uli dan gora
adalah 2 kata yang sangat berlawanan tetapi sangat berguna untuk pedoman
hidup orang Batak Toba. Uli adalah menggambarkan keberuntungan (laba),
kehormatan, kejayaan, keharuman nama. Gora adalah menggambarkan
pengeluaran tenaga, modal, pengorbanan waktu dan berbagai perjuangan.
Sebagai contoh : Untuk menjadi orang success terkenal/ beruntung atau
sebagai orang pintar kita harus mengeluarkan modal yang besar, waktu dan
tenaga yang berlebih dan berbagai promosi sebagai goranya.
Untuk menjadi seorang pintar dan sarjana atau jenderal, seseorang harus kuat
bekerja dan berjuang serta memakan gizi baik. Dalam pesan para nenek
(ompung ta na parjolo) janganlah menjadi manusia ripe. Manusia si ripe
artinya orang yang hanya memikirkan dan memperoleh keuntungan tanpa
melalui pengorbanan dan perjuangan. Makanya di zaman yang serba canggih
ini banyak kita jumpai manusia-manusia yang tidak beres karena manusia itu
telah meninggalkan poda ni ompu itu;
Ni arit tarugit pora-pora unang hita ripe sitean uli so dohot tumea gora.
PAJONGJONG RUMA DOHOT SOPO
Dari Catatan : Raja Pinantun Ompu Sumatti Sinambela, 8 Nov 1979
Goargoar ni parhau dohot hasea naasing di na parait tiang :
Basiha, ransang, pantar, tohang, tinombuk, ungalungal, nalumiun, naga-naga,
untul-untul, buaton, sundalap (tedek-tedek), tustus parbarat, gulang-gulang,
solang-solang, lapik-lapik, parbatu ni tiang, balatuk, tangga godang.

Goar-goar ni parhau di namandingding :


Ture-ture, pandingdingan, dorpi jolo, parhongkong, bohi ni jabu, sande-sande,
tomboman adop-adop, jenggar, songsong boltok, song-song rak, halang
gordang, ulu gurdung (gurdong), pantar ginjang, ulu paung, songkir.
Goaroar ni parhau dohot hasea naasing di namangarait tarup :
Ninggor, sitindangi, sibarati, sijongjongi, sitindangi ni santung-santung,
sibongbong ari, pusu-pusu ni santung-santung, santung-santung, bungkulan,
tomboman, tali janggut/pangurat, sangge, sendal, ampu sendal, pandalu,
pamoltok, urur, patar, parjenggaran, laislais, tuhamtuham, tarup.
Goargoar ni ijuk di namanarup :
Tuhamtuham nanirahut, lambak-lambak nanirigatan, laislais ni hodong
naniaris, sangge-sangge napinahibul, ijuk naniubanan, tali ijuk napiniu.
Goargoar ni uhir ni ruma dohot sopo :
Uhir : pardesaan, gaja dompak, tumtuman, sibagandingtua dlna.
Goargoar ni gorga Batak :
Gorga sipalang = gumodang gorga narara.
Gorga Sijonggi = gumodang gorga nabirong
Gorga Silintong = gumodang gorga nabontar
Suhatsuhat di Hatungkangon :
Sadopa, sangkolak, saasta, sansuhat, sanjongkal, sanjongkal tunduk, sagala,
sajari,,santopap, saelak. Contoh : Balga ni sabu/sopona I, lima dopa onom
suhat = lima dopa + saganjang ni pargolangan ni nampuna ruma/sopo i. Anak
ni suhat-suhat : pargolangan, sibosur, pargadingan, abara, andora/siporjat.
Goargoar ni parhau tu sopo na so adong di ruma :
Galapang, pantar ni langit-langit, tangga morot.
HATUNGKANGON, ULAULANA DOHOT RUHUTRUHUTNA.
Goli-goli di ulaon hatungkangon di napalolo ruma manang sopo :
Mangarasras, mangaritipi, mangarungkungi, mamasi, manghias, hombang
bohi, barbar lamot, barbrar parsisik ni ihan, manuhili, mangarait, mamortok,
mangaris, mangaransang, mamoltok, mangarusuk, mamantar, dlna.
Parhohas ni pande ruma/sopo :
Laholaho, pasak-pasak, umban-umban, tumbur-tumbur, tuham-tuham, tangke,
jarbang, baliung, goluk, hortuk, tuhil, rambuan, piuan tali, suri ijuk, jarum
ijuk, garut, pungga, gatip, songkir, batuan, bonggas, panastas, parapian,
titipan, rabi, dlna.
Marhara/marsirumpa (gotongroyong) ;
– pahimpu parhau, tarup, dalna.
– panggonghonon di angka pande (tukang).
– mambarbar, manuhili, manghias, dlna.
– paraithon ti tiang.
– panangkokhon pandingdingan, dlna.
– paraithon urur, bungkulan dlna.
– manarup, manguhir, dlna.
– pamulilon tukang, paborhathon indahan tompi-tompi.
Turisa najempek na gabe tudosan na mardomu tu balatuk/tangga :
– Sitaon nahansit ala sipadegedegeon.
– Nabenget manaon angka hatahata.
– Sordit umboto sude angka namasa.
– Sige laho tu ginjang, tantan laho tu toru.
– Patanda habaranion di naboi parumpak balatuk ni musu.
– Tanda na saut mamuhar jabu, boanon ma balatukna.
– Balatuk do raja ni jabu, ai molo so adong i sisoada do jabu i.

       

Sian goargoaran ni parhau ni ruma dohot sopo, nania do dienet bahen


umpama dohot umpasa ;
Umpama.
1. Sijujung ni ninggor sitingos ni ari.
2. Pinahot ni sitindangi dohot sijongjongi.
3. Ndang boi sibongbongari manmgholipi nahinilang.
4. Ndang tartuhuk sada halak pandingdingan.
5. Jengkar pe basiha ala pinahot ni parbatuna.
6. Songon basiha parsuhi si raja paniangi.
7. Songon tuhil pinasak ni laholaho.
8. Nangkohan balatuk, suruhon tohang.
9. Loting ma di tomboman, tondinta masigomgoman.
10. martangga martordingan songon paranak ni balatuk.
11. Ndang tuktuhan batu dakdahan simbora, ndang tuturan datu ajaran
namarroha.
12. matrogu ni buaton, pinatamue jala pinaraja.
13. dlna
Umpasa/Silupsilupan.
1. Ungalungal sangkotan ni papene. Hata mungkangungkang, langka so malo
hehe.
2. Tangkas pe jabu suhat, tangkasan do jabu bona. Tangkas ma namaduma,
tangkas ma nang mamora.
3. Ruma inon gopas pe pinagopas ni gulanggulang. Ise pe boru tinodo ni
ibebere, hot do i boru ni tulang.
4. Bolon tiang ni ruma, umbolon do tiang ni sopo. Matangkang ma juara
natuatua, tu banggalna ma naumposo.
5. Tarup ijuk jabunami, ri namasak panoloti. Pandokhon ni soroniari, so
holing marsiakbagi.
6. Dibungkulan ni ruma i, parasaran ni borongborong. Bulan na diginjang i,
pardomuan ni simalolong.
7. Jongjong ruma ijuk, maradophon ruma gorga. Tubu anak nabisuk dohot
boru naulibasa.
8. Songgop ma anduhur titi, sangkot diparjenggaran. Mangasi ma Mulajadi,
unang adong abor lias ma parmaraan.
9. hau sibanebane dongan ni sibandaulu. Begu so ra mangalele, musu pe so
jadi mamunu.
10. Giringgiring gostagosta sangkot dipandingdingan. Sahala mangiringiring,
mangompaompa, manjampi parsaulian.
11. Rimpur jala hibul do hau sibaenon bungkulan ni ruma. Tomburan do
ianggo boru, panungkunan ma hulahula.
12. Hot ma diparbatuna, togu diransangna. Momos ma ijuk di pangarahutanna,
gopas di solangsolangna. Jumadi jabu namarampang namarjual sigomgom
pangisina. Hasorangan ni anak sibulangbulangan dohot boru namartua.
13. dht udutna.
SOPO DOHOT ULOS
Sian siguriton ni Amanta Raja J.P Ompu Sumatti Sinambela nahinan
pinasahatna tu Monang Naipospos 8 Nov 1985
Tarisopo inganan partonunan dohot partariasan ni naposobulung.
Sopobolon dos ne do balga ro dilambasna dohot rumabolon. Dipangke ma
pantarginjangna i isian ni angka ompon namarisi eme ni raja na di huta i.
Sipata dipangke do i isian ni eme ugasan torop ni bius. Pantar tardasna dibaen
ma i inganan ni angka tutur manang tamue na ro marebat jala marborngin.
Godang do sopobolon didingding dimpos humaliang jala dibahen marpintu
inganan ni angka anak manjae painte paulihon jabuna be. Olo do sahat tu
naopat ripe mangingani sopobolon i songon parbagi ni inganan di rumabolon.

   
Tarisopo ummetmet jala sumompit do i sian sopobolon. Dipangke ma pan
targinjangna i isian ni eme ni angka parripe namian di bius i. Marsagi ma
nasida masibaen ompon isian ni eme nasida be.
Pantar tardasna i ma dipangke inganan partonunan, mangganti, mangani,
manghulhul songon i nang inganan pambauan. Tu inganan i do ro angka doli-
doli di namartandang siarian. Podoman ni angka naposo doli-doli ni huta i ma
i ditingki borngin.
Barana ma dipangke isian ni angka hudon panggaruan, pansopan,
panggongonan, panubaran dohot angka naasing dope naporlu hi parbonangan.
Dung sae tingki ni partonun siarian, nasa tonun ro di ula-ula tonun na di tardas
i simpan ma i dipauli tu pantar ginjang ni tarisopo i asa jala unang adong disi
narundut idaon.
Marguna do surathonon nagabe parningotan tu pagian ni ari goar-goar ni
angka ula-ula tonun, i ma: angka, hudon isian ni aek rabu, panggaruan,
pansopan, panubaran, pangitoman, panggongonan, parsigiraan dohot lan na
asing
Sorha, Pamipis, pamusur, pangganti, pangiran, panghulhulan, anian, anak-
anak ni anian, pangunggasan, giling-giling ni pangunggasan, buluhat, unggas,
pangholtingan dlna.
Pamapan, pagabe, pamanggung, sitadoan, hatulungan, pargiunan, baliga, lilis,
hapulotan, hasoli, turak, sosa, tali sabang, tali papaut, sokkar, sianak-anak,
balobas, lili panupe, parrambuan, singkop dlna.
Goargoar ni ulos tonunan namarragam i sipaheon tu tohonanna be, olat ni
boaboa nabinege songonon ma,
Pahean ni angka ama/natunggane.
Tal italina :
tumtuman, mangiring, padang rusa manang mangiring nabara.
Sampe-sampena :
ragidup, jugia nasopipot, ragidup silinggom, sibolang si bol ang pamontari, si
to) untuho, suri-suri nagan-jang, manang ulos godang.
Ambit-ambitna :
pinunsaan, simarinjam sisi, ragidup silinggom, sibolang pamontari, jobit,
bolean nagodang.
Pahean ni angka ina paniaran (marsitabolan, marsanggul bane).
sampe-sampena :
pinunsnan, sirara, sambot, bolean, manqiring, antak-antak, harungguan,
bintang maratur, ragihotang, surisuri manang sadum.
ambit-ambitna :
sirnarinjam sisi, ragidup, sibolang, ragidup si 1 inggom, sibolang pamontari,
jobit, bolean nagodang.
Pahean ni doli-doli sampe bunga.
sampe-sampena :
suri-suri, sitoluntuho, manang ragihotang.
tali-talina :
mangiring, padang rusa, mangiring sirara.
ambit ambitna :
ragiragi, runjat, sibolang, jobit, bolean.
Pahean ni anakboru naposobungung (marsitabolan, marsanggul bane)
sampe-sampena :
suri-suri, ragihotang, bintang maratur, mangiring, sadum manang ragihuting.
ambit-ambitna :
runjat, ragi pangko, bolean manang sibolang.
Sian goar-goaran ni ula-ula, parbonangan, partonunan dohot goar-goaran ni
ulos namarragam i, nania do dienet angka natua-tua naparjolo i bahen
daganan/ondolan ni umpama, umpasa dohot silupsilupan, i ma songon
nasinurat deba ditoru on.
Umpama.
– Ndang sampit t itomna, tu bonangna.
– Marrongkap songon tuak, marsibar songon ulos tonunan.
– Ompu-ompu ni hunik, tomburon tu pansopan ; Ompu ni sinalungun, na
soada tudosan.
– Disop sop asa haru birong, ditubar asa haru bara
– Songon panghilalaan nabinusur.
– Rintar songon bonang niunggas, tiar songon bonang di gala.
– Najagar tindang songon pangunggasan,
– Napinasuman hundul songon panghulhulan.
– So tarpasobok songon anak ni anian.
– Na so olo ngalian nang so pola niulosan ; Na soada anian jala ba soada
tudosan.
– So tarbahen be turak ala nunga sanga pinonggolan ; So tarbahen be mulak
ala nunga marhata parhurajaan.
– Songon tinoktok ni porda, nilonggi ni lili.
– dohot angka udutna.
Umpasa/silupsilupan.
– Dua panggaruan patoluhon panggongonan, Ndada rimangan hata ni
panguraura ditol onan.
– Pitu panggaruan paualu panggongonan. Ia langka ni anakboru naung oroan,
tu jabu i so tarsise, tu balian so hajonohan. Jonohan i annon, simarhilap
halonglongan.
– Ompu-ompu ni hunik enggeon tu pansopan, Dokdok ni sitaonon na soada
martudosan.
– Ulos suri-suri, rio-rio ma ditonga-tonga, Ale parlagu nauli, maol longkang
sian roha.
– Balintang ma pagabe, tumundalhon sitadoan; Sahat do hita gabe molo
marsahata saoloan.
– Dihehe ma hatulungan, disurukhon ma baliga; Tanda ni namalungun, peut
so peut sian roha.
– Tambai giunmi, sigati ma parrambuan, Pasombu siholmi, tatap sirumondang
bulan.
– Diiran bonang mambahen tu humpalan, Sahumpalan disagihon tu sampulu
labean. Unang mangura-ura ditolonan, pajoji parbadaan, Naolo talu i do
jumadi monang diparolop-olopan.
– Sampe-sampe ma diginjang, diabithon simarinjamsisi; Unang pinaganjang
sihataon asa mura nasega i pinauli.
– Nililit pe pagabe dongan ni pamapan. Manat do manise unang gabe
hasurahan.
– Tinoktok ni pordangku, nilonggi ni lilingku; I do tinodo ni rohangku,
sinolom ni panailinghu.
– Bulung ni si gira-gira, dilompa mardeba-deba; Tangkas ma I pininta, asa
jampi ulibasa.
– dohot udutna.
RUHUT MAMUNGKA HUTA DOHOT JABU
Bonar Siahaan
“Ganjang pe banjar ganjang, mandapot di Raja Huta”. “Bolon pe rumah
gorga, mandapot do di jabu bona”.
Poda umpama ni natua-tua najolo mandok: “Sai tubu anak sipungka
parik, sai tubu boru si hodohon hudon bolon”.
Ia anak sipungka parik, sai anak nabegu do i, jala na todos di ari. Ai molo
mamungka huta jolma najolo, nungnga adong sangkap dohot tujuanna, lumobi
di tano nagonting, pintor adong do alona. Songon on ma hinadokdok ni na
mamungka huta. Undungna jumolo dipajongjong, hadudu tarupna, hadudu
dohot dorpina, manangkas do tu tano podomanna, dung i muse sai godang
dope binatang harangan disi.
Patik ni pungkaon huta; Nang tung godang batu di ingananna i, dang boi
pintor boi i bahenon gabe dalihan, ingkon hau do jolo pantikhonon, i ma na
nigoaranna “Balikkuhu”, mangalap sian balikkuhu do dalihan natolu. Ai
ianggo somalna lima dalihan najolo.
Dang na mangarehei angka panurat dohot angka siboto adat hata on, ala na
songon on ma umbahen salpu-salpu sinurat ni panurat. Songon bangko ni asu,
ala dang borhat sian Si sia-sia ni hata Batak dohot Adat Batak. Nungnga nian
haruar ditaon 1965 si sia-sia ni hata Batak dohot si sia-sia ni “Gumbal”
(Pargolatan) ni halak Batak, alai dang ringkot mangguruhon. Sai umpama
dohot umpasa do dilului, hape dasor ni umpama i, dang diguruhon, gabe
godang ma sala mamangke. Tabo dibege sipareon, alai tujuan ni hata i di na
mangantusi (datu panusur) nungnga tu ulaon na humurang “tondi” di
pandohan i, dang martondi hata i, gabe mangulpuk ma datu tu suhut dohot tu
raja namandok i. Alai ianggo nagalia, dang lolo horja godang, ia so jolo ro
Guru Bisara mangadopi ulaon i, ai i do na gabe panurirang najolo. Dang
songon sinuaeng on, jahul petaho, barat pe taho, di olophon suhut do.
Asa ianggo najolo naung pinillit ni horja do naboi mandok hata, dang masa
manjukjukhon dirina.
Hak Ni Parhutaon.
Dung dipukka parik pintor disuan ma bulu, disuan ma hau, disuan ma bangun-
bangun. Umbahen na pintor disuan bulu dohot hau, asa pintor tanda do ibana
siusung bunti (bukti) tu huta i manang na ampuna huta. Ai manang ise
nampuna bulu dohot hau, ibana do raja huta di huta i. Marlapatan do bulu,
molo bulu duri, bulu ni anak nabegu ma i, bulu suraton, bulu hariapan ma i,
alai bulu godang, bulu ni raja huta do i. Dang barani jolma mambuat bulu
godang manang tubisna, ia so jolo dipangido tu nampuna bulu i, ima
hasurungan ni bulu godang. Alana molo soada do bulu godangna, dang targoar
i nampuna huta.
Patik Ni Raja Huta.
“Ganjang pe banjar ganjang, mandapot di Raja Huta”. “Bolon pe rumah gorga,
mandapot do di jabu bona”. Asa manang aha pe ulaon di huta i, dang tarpajadi
i, ia so jumolo disukkun Raja Huta. Manang gabe pe, manang mora halak,
dang boi joloanan Raja Huta mangkatahon parbue manang napuran pelean tu
Debata. Sian Raja Huta do muse pilliton nagabe Raja ni Bius, jala ido naboi
manullang horbo bius dohot horbo satti.
Alai ditingki on nungnga mumpat tuhe, nungnga sesa gadu, nungnga muba
uhum, dung tuat sori dalu ni Bolanda, songon naung sinurathon dibaritani si
Sarbut Tampubolon, taon 1982. Asa manang ise namar ale-ale tu soridalu ni
Bolanda najolo, i ma naboi pabalik uhum dohot manengsang adat. I do
umbahen na boi nuaeng nang boru gomgoman mangkatahon parbue di
parbiusan.
Sihodohon Hudon Bolon
Ia boru sihodohon hudon bolon, ruhut tu harajaon ma i, panggalangon ma i,
jala sian dia ma boi ibana manggalang ia so adong indahanna dohot juhut
tanggoanna. “Holit mula ni hamoraon, panggalangan mulani harajaon,
hasingalon jumadi hatangkangon”.
Nungnga tangkas dipatorang hata on di Sitombuk Surik tahun 1965, bonana
dohot ujungna. Asa saut tahi nadenggan, ingkon adong do na olo manggalang.
Songon mamungka bondar rupani, laho mamungka galung (hauma), ido
umbahen jumolo tapian dilului asa huta dipukka, ido alana umbahen dos
dipadomu parik tu hudon bolon.
Di indahan do na upa na pande, napantas marboru, siparosu ale-ale, sipasorta
hula-hula. Asa rosu na marale-ale, ingkon masitopot-topotan do i
disipanganon, asa sorta marhula-hula, tagilon do juhut tu hula-hula. Asa tek-
tek do mula ni godang, serser mula ni tor-tor, siup mula ni tabas, buhu mula ni
pollung, indahan mangula adat, juhut mangula uhum. Hombar tu angka i
“tradisi” ni halak Batak dohot ruhut pandohan ni pasu-pasu.
Bangun-bangun.
Dang pola ganjang be patorangon taringot tu bangun-bagun, na padiri tu
haroan do i, jala na pinatomu do i tu hata ni tonggo-tonggo manang tangiang
tu Debata, asa pintor tibu ro haroan.
MAMUKKAJABU
Godang ruhut ni namamukka jabu, na deba olo songon na mamukka huta, jolo
dirobo manuk diampang (tondung) ingananna dohot manang siadop dia
bahenonna. Dung tulus sangkap i, diririt ma hau di harangan. Jumolo ma
tustus diririt, dung dapotna, dililit ma hau i, manang ditallik-tallik humaliang
paima disuru tukkang martaba, ima na margoar lilit, dos ma i dohot na
manandehon sige tubona ni bagot, nungnga di-oro hau i, manang bagoti, sada
patik do i. Tallik (lilit) mangoro hau, sige mangoro bagot sinamot mangoro
boru manang tanda hata, ima tuhe sigaton, batangi dapoton.
Sai jumolo do tustus mardalan dibuat, asa hau na asing, asa pintor lintas (tiur)
jabu i paulion. Dibunti i do i, lapatanna: diboan sagu-sagu dihatahon do i tu
nampuna harangan i, jala hatana didok ma: “Diho do bonana, diho do
punsuna, tonga-tonga na do dihami”, ninna.
Marnappuna do tombak i jala adong do parbalohan ni ganup tombak, dang boi
buaton ni halak na asing hau tu tombak ni halak, ia sojolo mangido tu raja ni
luat i, jala mangalehon bunga hau do i.
Hinorhon ni na masihotang najolo sian Lumban Julu Sipahutar tu dolok Saut
Pangaribuan, gabe pul ma parmusuan ni Lumban Julu tu Lumban Sormin. Ala
Ompu Soduduhon Pakpahan do Raja di Lumban Sormin, jala guru Sumillam
Raja Lumban Julu, gabe raja nadua on ma manuhuk gora ni na nirajaannana
uju i. Jala ima bingkas ni porang Bolanda tu Lumban Julu Pea Linta Sipahutar,
barita ni si Sarbut Tampubolon.
Maniktik
Dung laho sude parhau i jala nungnga sae dibahen tiang-tiang, manuhil ma.
Dipaturut ma tiang i dipapillithon ma tu suhut manang dia jabu bona, jala
dipapillitton ma tu natorop manang dia jabu bona. Dipillit tukkang ma di
ibana, di tiktik ma tiang natolu i sada-sada, maralatan ma ibana.
Molo pinillit ni natorop do adong hombar, ni ulpuk ma masa gora ni begu
manang gora ni jolma. Molo pinillit suhut do hombar, tusuhut mangupa
(manaem). Molo pinillit ni tukkang do hombar, tukkang ma maneam. Jala ima
asal usul ni hata Batak na mandok: “Sitiktik sigompa, golang-golang
pangalangguna, otik pe pinatupa ni inanta i, tu godangna pinasuna. Ia gompa,
suhul (gagang) ni tuhil do i, jala gomal, golang-golang, ima sampok ni tuhil i.
Jala manjalo tiktik tiang ma tukkang disi. Hata pasu-pasu disi holan
manggabei suhut dohot tukkang dope, hata disi asa hipas-hipas suhut dohot
tukkang unang marmara, jala asa lu pangomoan. Hombar tusi ma umpasa
dohonon.
Paraithon
Dung sidung hau i hona tuhil dohot jongjong, paraithon ma. Manjalo jongjong
rait ma tukkang, jala hata pasu-pasu sian na torop hombar tu hata rait ma,
manang nakkok dipanggabean, tu hata nakkok ma umpasa sibahenon.
Pamuli Tungkang
Dung sidung jabu i, di pamuli ma tukkang, jala ditulak ma hunsi tu suhut.
Hata pasu-pasu tusi: “Naung parduru on gabe partonga-tonga, sideak pangisi,
sitorop pinompar”, hombar tusi ma umpasa sieneton.
Ganup mangula siulaon halak Batak adong do digoari nasida na margoar
“borhat-borhatna”. Haru patiur bondar adong do dibahen nasida borhat-
borhatna. Tung sura adong na mamboan sipanganon tu bagas ni nasida,
sitongka do ninna nasida molo so adong pinatupa ulakna manang borhat-
borhat ni namamboan sipanganonna i. Hira na manalup do na ro i molo so
dipatupa sisongon i. I dope na masa sahat tu tingki on. Molo so adong be
tarpatupa, nanggo apala boras satangkar na ingkon do lehenon borhat-borhat
ni namamboan sipanganon i (na mangebati jabu ni bagas nasida). Lumobi
muse di na manungkangi bagas sibagandingtua ni ina, sipanguliman ni ama,
na ingkon do suman bahenon paborhat tukang dohot pamuli tukang, asa si ripe
gabe na mangingani bagas i si ripe horas. Di angka na mambahen na jagar pe
tu angka ompu naung jumolo, molo pinature tambakna na ingkon do bahenon
adat tu pande borhat-borhatna dohot adat pamuli tukang (pande).
Siingoton; Molo adong di nasida masa “gora tanga”. Ditungkangi pe undung-
undungna ndang dipatupa nasida borhat-borhat ni tukang dohot pumuli
tukang. Ai manangkas do na manalup nasida, jala sitalupon do angka si
songon i.
Manopong-nopongi
Dung adong pitu ari, jouon ma natunggane mangan, 3-4 halak na so hea
mabalu naung gabe ibana manang mora. Jala dung sidung mangan, mulak ma
nasida, ipe asa boi marlaho-ro jolma tu jabu i, na pogos nang na dangol dohot
na asing.
Parjambaran
Ia parjambaran, sirampas harajaon do i dohot jambar ni dongan tubu. Tukkang
do sibagi i, ise sitiop jabu bona, ido nampuna tuk-tuk ginjang, jala sitiop jabu
suhut, ido nampuna tuk-tuk toru, jala ondolan dohot ojahan (hae-hae), tukkang
do nampunasa. Jambar ni natorop sian panamboli dohot hae-hae deba.
Mangompoi
Laho mangompoi, boi ma masiboan siluana be, hula-hula mamboan
sipirnitondi, boru ale-ale, dongan tubu mangalehon pangurupion,. Umpasa
sidohonon, boi ma patomu-tomuon hombar tu isi ni jabu, lumobi molo
mangkuling ogung.
Ruhut Pauli Jabu
Ndang boi mamintor anak manjae, ia so jumolo mamungka bale-bale. Ingkon
jolo ser-ser do asa tor-tor, dohot udutna, ima umbahen didok umpama: “Jolo
marjabu bale-bale, asa marjabu sopo, jolo sian natunggane, asa tu naumposo”.
Diruhut ni pangkataion jabu ruma. Molo marjabu ruma halak, naboi
panungkunan ma i di indahan manang eme. Ido alana umbahen dibahen tanda-
tanda ualu tarus ni ruma, paboa boi ibana panungkunan tu desa na ualu.
Mangenet sian i ma goar Sibagot Ni Pohan, bagot, tarus manang tuak. Pohan,
meme, poda. Namarlapatan do goar i sude. Ala tu bagot ni pohan dipasahat tu
Tuan Sori Mangaraja batu hula dohot boni (eme) ima mula ni saba.
Umpama namardomu tusi: “Hotang sasa pangarahut ni ruma, tu porhis
lumunta-lunta, dos do raja dohot namora, padenggan uhum dibagasan ni
huta”.
Parbagianan Ni Jabu
Ia di jabu bona, anak siampudan. Di jabu suhut, anak sihahan, dijabu soding,
sibitonga dohot dijabu sitappar piring. Jala molo tuk bahenon ni natorasna,
jabu sopo di Sihahan, jabu ruma i ma di siampudan. Jala molo massitantanan
marsisur-suran di jabu tiningggalhon ni natorasna, tama dapotan parbagian
pahoppu sihahaan.
Ianggo adong do jabu ruma, sai tu jabu ruma ma hasangkotan ni ogung, jala
dang marimbar pinomparna mamakke i, molo mamungkul ogung. Jala molo
adong dope ruma hadomuan parsantian, sai disi do inganan ni Parsibasoan
dohot Debata idup. Jala disi do manggohi parmiahan (Parsibasoan).
Rumah Tradisional Batak Toba Tetap Kokoh Meski Digoyang Gempa
Created on Monday, 06 August 2012
Rumah tradisional batak toba memiliki nilai
dan kekhasan tersendiri. Dalam membangun
pun menggunakan aturan dan norma-norma
tertentu. Tidak mengherankan jika rumah
tradisional bernilai arsitektur tinggi ini tetap
kokoh saat menghadapi gempa.
Ciri khas rumah tradisional Batak Toba terletak pada struktur bangunannya.
Teknologinya sangat sederhana. Hal itu ditunjukkan di beberapa sambungan
kayunya yang tidak menggunakan paku maupun baut baja, melainkan kayu.
Suku Batak Toba yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara merupakan salah
satu suku yang memiliki rumah tradisional yang unik. Bahan baku untuk
pembuatan rumah dari kayu, dan mempunyai karakteristik tertentu. Selain itu,
menampilkan bentuk arsitektur yang menarik, tatanan ruang dalam maupun
luar spesifik dengan segala nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi dan perubahan serta tuntutan
kebutuhan, terjadi pula pergeseran terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam
arsitektur rumah tradisional tersebut. Masyarakat banyak yang beralih ke
bangunan rumah yang menggunakan pasangan batu. Selain dianggap lebih
sederhana, baik dari segi penampilan dan juga pengerjaannya, bahan baku
kayu untuk konstruksi tersebut semakin susah didapat dan harganya juga
relatif tinggi.
Untuk mengetahui lebih jauh keandalan struktur rumah tradisional Batak
Toba, Heri Lumban Tobing dan Dian Taviana, dari Loka Perintisan Bahan
Bangunan Lokal, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Badan
Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum melakukan
penelitian. Selain untuk mengukur kekuatan struktur tradisional yang masih
ada di Sumatera Utara, kegiatan dilakukan untuk mendapatkan fakta mengenai
struktur rumah tradisional Batak Toba yang bisa berdiri kokoh ratusan tahun.
Analisa kekuatan struktur itu dikalkulasi dan disimulasikan dengan
menggunakan perangkat lunak SAP (Structure Analysis Programme).
Pengkajian terhadap keandalan struktur rumah tradisional etnis Batak Toba,
dilakukan dengan mengidentifikasi model struktur melalui pengukuran
geometrik rumah. Pengujian bahan bangunan terpasang, dianalisa dengan
metode numerik menggunakan perangkat lunak, yang biasa digunakan oleh
praktisi, sehingga diperoleh keandalan struktur bangunannya.
SIMBOL DAN PEMAKNAAN
GERGA
PADA RUMAH ADAT BATAK KARODI SUMATRA UTARA

 
115
Fuad Erdansyah
Simbol dan Pemaknaan
Gerga
pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatra Utara
INTISARI
Artikel ini berkeinginan untuk memahami aspek-aspek bentuk dan simbolik
 gerga
 yang terdapat padarumah adat Batak Karo di Sumatera Utara.
Gerga
 sebagai salah satu bentuk kesenian Batak Karo, khususnyakesenirupaan telah
memberikan sumbangannya yang besar dalam pencitraan visual terhadap
berbagai benda-benda kerajinan, arsitektur, dan artefak lainnya. Namun keber
adaan
 gerga
 yang terdapat padarumah-rumah adat Batak Karo tersebut mulai berkurang
seiring dengan berkurangnya rumah-rumahadat Batak Karo di Sumatera
Utara. Oleh karena itu artikel ini berusaha menjelaskan kehadiran
 gerga
dalam konteks sosial-budaya masyarakat Karo, mendeskripsikan bentuk
rumah adat Batak Karo, sertamengungkapkan bentuk, simbol
 gerga
 dan pemaknaannya pada rumah adat Batak Karo.Penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif dengan teknik analisis interpretasi
dan pendekatankebudayaan Batak Karo. Selain itu metode etnografi juga
digunakan dengan pendekatan emik dan etikguna menemukan jawaban logis
atas seluruh pemaknaan simbolik
 gerga
.Hasil penelitian menunjukkan, bahwa orang Batak Karo tradisional menganut
paham animisme, danhinduisme, yang berhubungan dengan kepercayaan pada
roh dan daya-daya transenden di rumah danlingkungan sekitarnya. Hubungan
magis terhadap roh dan yang gaib tersebut dilakukan melalui media-tor
 guru
 , dukun, raja, termasuk juga
kalimbubu
 dalam kekerabatan
rakut sitelu.
Konsekuensi logisnya, bahwahubungan dan unsur magis kemudian diberi
tanda dan makna simbolik dalam bentuk ragam hias yangdisebut
 gerga
. Selanjutnya ditemukan bahwa
Gerga
dengan motif
 pengretret
 dan kepala kerbau, mengandungmakna magis dan sakral, sedang motif tumbuhan
hanya sebagai hiasan (profan).Kemudian berakhirnya kekuasaan raja
serta diterimanya agama-agama wahyu, maka ekspresi nilai kepercayaan
maupun makna
 gerga
 seperti
 pengretret serta kepala kerbau
tidak lagi magis dan sakral,
melainkan berubah sebagai hiasan (profan) dan pelengkap estetik semata. Penel
itian ini juga menunjukan, bahwa berdirinya rumah-rumah adat Batak Karo, k
arena sistem kepercayaan kuno, dan hindu dalam konseptriloka, dengan
bidang kosmo
debata datas, teruh,
dan
tengah
. Berdasarkan pembagian ini pula, bentuk danmakna simbolik
 gerga
 merupakan representasi religi (sakral), kekerabatan (semi sakral) dan hiasan
(profan).
Kata kunci:
 Gerga,
simbol
 , rakut sitelu
dan rumah adat.
ABSTRACT
This research belongs to a field study, taken place in villages
Lingga
 and
Dokan
 Regency Karo. Generally, this researchreveals the traditional values based on social-
cultural background of Karo people, while particularly it reveals the meaningof ornament
style in Batak Karo custom house called
gerga.
 For that reason, the objectives of research are: (1) to describe thebelief and kinship
sistem underlying the
gerga
 establishment in Karo custom house; (2) to describe the architectural compo-nents in
Karo custom house consisting of: kitchen or floor crossbar, room, wall, facade, and roof platform; and
(3) to reveal thesymbolic meaning in
gerga
 (ornament style).In order to achieve those objectives, the research method or procedure
is required to determine the data source, both from theinformant and custom house
artifact completed with its style ornament. Techniques of collecting data used were from
library
SIMBOL DAN PEMAKNAAN
GERGA
PADA RUMAH ADAT BATAK KARODI SUMATRA UTARA

 
Vol. 7 No. 1, Juli 2011116
A.Gambaran Umum Masyarakat Karo
Kabupaten Karo terbentang di dataran tinggisekitar Gunung Sinabung dan
Gunung Sibayak,serta dataran tinggi Bukit Barisan. Tetangga ter-dekat
Kabupaten Karo adalah Kabupaten Sima-l u n g u n . M a s y a r a k a t
s u k u K a r o h i d u p b e r - dampingan dengan
 puak-puak
 Batak lainnya yang juga berada di wilayah tersebut. Menurut ceritao r a l ,
o r a n g - o r a n g B a t a k b e r a s a l d a r i n e n e k moyang yang
sama. Keturunan mereka menyebardan membentuk klan-klan sendiri. Klan-
klan yangmerupakan keluarga besar
 puak
 Batak adalah BatakToba, Simalungun, Mandailing, Phakpak Dairi, danBatak
Karo.Suku Karo adalah masyarakat petani karenadidukung oleh faktor
ekologi. Tanah pertanian diKapubaten Karo sangat cocok untuk jenis
tanamansayur-mayur dan buah-buahan. Bahkan sayur-m a y u r d a n
buah-buahan ini merupakan hasil u t a m a p e r t a n i a n
m a s y a r a k a t K a r o , y a n g d i - konsumsi oleh masyarakat Sumatera
Utara.Masyarakat Karo hidup di wilayah tersebuts e j a k s e k i t a r t a h u n
1 3 0 0 - a n M ( P a r l i n d u n g a n , 2005:463), dan telah memiliki sistem
kebudayaan-n y a s e n d i r i . H a l i n i d a p a t d i l i h a t d a r i t r a d i s i - tradisi
yang masih ada sekarang, seperti upacara-upacara adat yang syarat dengan
simbol-simbol.Selain upacara, masyarakat Karo juga memilikirumah
adat yang syarat dengan elemen-elemens i m b o l i k . C i r i - c i r i u t a m a d a r i
s i m b o l t er s e b u t dapat diidentifikasi dari lukisan, gambar, atauragam
hias yang melekat pada rumah tersebut.R u m a h a d a t K ar o ,
s e b a g a i m a n a r u m a h - r u m a h adat yang ada di Indonesia,
arsitekturnya me-m i l i k i k a r a k t e r t e r t e n t u . S e l a i n
karakteristikarsitekturnya yang khas, karakteristik
r a g a m hiasnya juga khas, sehingga menarik untuk dikaji.Ragam hias dalam
bahasa Karo disebut
 gerga
yang terdapat pada benda-benda kerajinan dan benda seni lainnya, tetapi
 gerga
 juga identik denganrumah raja atau rumah orang kaya yaitu rumah-r u m a h
a d a t k ar e n a t er d a p a t r a g a m h i a s
p a d a  bagian luar rumahnya (Parlindungan, 2005:463).
Gerga
pada rumah adat Batak Karo terdapat padatiga bagian yaitu mulai dari palang
lantai rumah(
melmelen
), dinding rumah (
derpih
), hingga anjunganatap rumah (
ayo
).
Gerga
yang terdapat pada rumahadat memiliki keunikan dan ciri khasnya masing-
masing. Pola
 gerga
 yang terdapat pada
melmelen
dominan dengan pola stilasi tumbuhan, sedang
study, observation, interview and documentation. The data was then analyzed
based on the qualitative method usinganalytical interpretation with semiotic
approach and
 batak karo rakut sitelu
.
Furthermore, the result of research shows that: (1) the belief and kinship
sistem underlies the conception in establishingcustom house and
gerga
 ; (2) the presence of custom house is the symbol of Karo
people’s cosmology, as well as the birth place of kinship system called
rakut sitelu; and (3) the symbolic meaning of
gerga
 has denotative and connotativemeaning orientation based on its pattern and
motive containing the message both as the adoration and as the tenet forbatak
Karo people.From the result of research, it can be concluded that
gerga
 contains the meaning relevant to the original belief influenceas well as
indicates the megalithic culture development containing religious (sacred)
values, norms or customs or tenets(semi-sacred) as well as containing aesthetical
and ornamental (profane) values. However, Karo custom house has lost itssacred
religious values because it starts to be abandoned by its people, and its existence is just as
the past monument, whilethe
gerga
 motive that was sacred and semi-sacred previously becomes now profane. This research
is expected to enrich thecultural information and actualization through the
messages obtained from symbol and sign system.
 Keywords
: Gerga,
 symbol,
 sitelu rakut
and custom house.

pada
derpih
 dan ayo rumah terdapat pola geometris.Sesuai keyakinan masyarakat
tradisional BatakKaro,
 gerga
 yang terdapat pada rumah adat me-ngandung makna-makna simbolik
baik bersifatprofan maupun sakral. Bagi masyarakat Batak Karo rumah
tidak hanya tempat tinggal keluarga,t e t a p i j u g a m e r u p a k a n b a n g u n a n
y a n g s a k r a l , k a r e n a t e m p a t b e r s e m a y a m n y a r o h - r o h o r a n g yang
sudah meninggal dunia. Dengan demikianm a k n a - m a k n a s i m b o l i k
 gerga
selain berfungsisebagai hiasan, juga terkait dengan sistem ke-
percayaan (religi) dan kekerabatan yang menjadid a s a r k o s m o l o g i
m a s y a r a k a t t r a d i s i o n a l B a t a k Karo.Keberadaan
 gerga
 sesuai dengan kondisi rumahadat, saat ini sangat memprihatinkan. Kini
masihada 18 rumah adat yang tersisa di Desa Dokan,L i n g g a , P e c e r e n ,
K a b u n g , P a r i b u n , d a n D e s a Tanjung Barus. Pada tahun 1980-an, di Desa
Dokanmasih terdapat sepuluh rumah adat, namun saatini hanya tersisa enam
rumah saja. Berkurangnyarumah-rumah adat tersebut antar lain disebab-
kan tidak dihuni atau ditinggalkan oleh pemilik-n y a , u s i a r u m a h y a n g
s e m a k i n t u a s e h i n g g a semakin lapuk, roboh atau hancur. Kondisi
inisemain diperparah dengan pertambahan jumlahdan kebutuhan penduduk
akan rumah hunianyang sesuai dengan tuntutan selera masa
kini,sehingga keberadaan rumah adat Karo semakinmemarjinalkan.
Fenomena tersebut belum men-dapat perhatian yang cukup dalam kajian
aka-demik, maka perlu kiranya dilakukan
penelitian, bagaimana keberadaan latar belakang sosial budaya masyarakat Ba
tak Karo hingga muncul-nya
 gerga
 pada rumah adat; dan mengapa dalamperkembangannya
 gerga
 muncul dalam bentukekspresi yang berbeda? Bagaimana bentuk
rumahadat Batak Karo; serta bagaimana pula bentuk,simbol
 gerga
 dan pemaknaannya pada rumah adatBatak Karo? Karena bentuk
 gerga
 yang terdapatpada rumah adat Batak memperlihatkan unsurtradisional
serta keunikannya, maka tujuan pe-nelitian ini adalah menjelaskan
latar sosial dankebudayaan masyarakat Karo, keberadaan
 gerga
dalam konteks sosial-budaya masyarakat Karo,menjelaskan faktor-
faktor yang membuat
 gerga
muncul dalam ekspresi yang berbeda-beda. Se-lanjutnya
mendeskripsikan bentuk rumah adatBatak Karo, serta menjelaskan bentuk,
simbol
 gerga
dan pemaknaannya pada rumah adat Batak Karo.Hasil penelitian ini
diharapkan bermanfaat
se- bagai sumber informasi, sumber kajian ilmupengetahuan, seni, dan
kebudayaan tradisional,dan secara umum menjadi pengetahuan yang ber-
g u n a b a g i m a s y a r a k a t , d a n k h u s u s n y a m a s y a - rakat Batak
Karo.Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif,m e n g g u n a k a n
m e t o d e e t n o g r a f i d e n g a n m e - ngumpulkan berbagai data-data
kualitatif yang berkaitan dengan
 gerga
 pada rumah adat, ber-dasarkan latar belakang sosial dan
kebudayaanmasyarakat Batak Karo. Adapun teknik analisisyang digunakan
adalah interpretatif berdasarkans i s t e m k e k e r a b a t a n , k e p e r c a y a a n
m a s y a r a k a t Batak Karo dan makna-makna simboliknya.
B.Gerga dalam Kehidupan Sosial BudayaMasyarakat
Karo1.Sosial budaya masyarakat Batak Karo dankehadiran
 gerga
Ada dua hal yang menjadi keunikan dalamkebudayaan suku Batak
Karo, yaitu sistem ke-percayaan (religi) dan sistem kekerabatan.
Untukmenjalankan kepercayaannya, orang Batak Karoterlebih dahulu
melakukan ritual. Semua jenisritual pada umumnya tidak terlepas dengan
sikap
 
Vol. 7 No. 1, Juli 2011118penghormatan kepada roh-roh nenek
moyangnyauntuk menjamin keselamatan bagi keluarga yangm a s i h h i d u p .
R i t u a l i ni p e n t i n g d i l a k s a n a k a n , sebab menurut Acih Ginting (Ginting,
wawancara13 Agustus 2009), jika tidak dilaksanakan makaroh-roh tersebut
atau
tendi
akan bergentayanganmenganggu orang-orang yang masih hidup danhal ini
tentu menakutkan bagi keluarganya. Untukmenghindari hal-hal yang tidak
diinginkan makadilakukanlah pemanggil-an roh-roh yang sudahmati (
Perumah Begu
).
Gambar 1.
 Tari-tarian masyarakat Batak Karo seringdigunakan dalam upacara ritual ±
tahun 1900 (Sumber:K.I. Museum Amsterdam, Capture)
Pemujaan ini dilakukan karena dalam keluargaada yang mati dalam satu hari (
mate sadawari)
 , baikk a r e n a s a k i t a t a u p u n k e c e l a k a a n . A r w a h d a r i or a n g y a n g
mati diyakini dapat mengganggukeluarga. Oleh karena itu
p a d a r i t u a l , s a t u d i antaranya adalah ritual
mangmang,
yaitu dengancara memberi sesaji berupa sebatang rokok yangs u d a h
dinyalakan serta dijepit pada sebatang r a n t i n g k e c i l d i t a n a h ,
k e m u d i a n d i l e n g k a p i dengan seperangkat daun sirih yaitu
lazimnyaorang yang makan sirih. Lalu bersama seluruh keluarga mereka
duduk menghadap pohon sambilm e r a t a p , m e n a n g i s , d a n m e n y a t a k a n
s e l u r u h p e r a s a a n n y a t e n t a n g a r w a h o r a n g y a n g m e - ninggal
dunia tersebut.O r a n g B a t a k K a r o m e m i l i k i
k e p e r c a y a a n  bahwa rumah adat merupakan tempat ber-s e m a y a m n y a
r o h p a r a l e l u h ur m a u p u n d e w a - dewa. Oleh karena itu, membangun
rumah adatadalah sama seperti membuat “rumah tinggal”para makhluk
gaib. Di rumah ini roh-roh leluhura k a n b e r s e m a y a m s e l a m a n y a .
M e r e k a s e c a r a sungguh-sungguh membuat seperangkat ritualdalam
proses pendirian rumah adat tersebut, danprosesnya dilakukan secara bersama
dan gotongr o y o n g b a i k b e r s a m a k e l u a r g a i n t i
m a u p u n masyarakat kampung setempat. Dalam kaitan iniMasri
Singarimbun (1975:55) menjelaskan:
 A number of complex ritual and ceremony are per- formed at successive
stages during the building of ahousing the side, selecting and felling the trees
erect-ing the piles and establishing the hearths in certaincircumstances, the
occupants of the house constitutea ritual group
.(Sejumlah ritual dan upacara yang kompleksd i s e l e n g g a r a k a n
s e c a r a b e r t a h a p d a n b e r - urutan selama membangun
sebuah rumah-mulai dari memilih lokasi, menyeleksi
d a n menebang kayu-kayu pohonnya, menegakkankerangka rumah dan
menjalankan kehidupanrumah tangga. Pada kondisi tertentu,
pendirirumah tersebut melakukan sebuah rangkaian dari kumpulan
ritual).
Pandangan di atas menjelaskan bahwa prosesritual mendirikan rumah adalah
berkaitan dengankarakter alam maupun ekologinya. Ritual merupa-k a n
i m p l e m e n t a s i s a k r a l y a n g b e r h u b u n g a n dengan
makrokosmos, sebab dalam praktiknyamereka melakukannya dengan
hati-hati berdasar-kan perhitungan kalender Batak (
katika
), bahwa adadelapan penjuru mata angin sebagai pedomanorang Karo,
termasuk dalam kaitannya denganp e n d i r i a n r u m a h . S i k a p k e h a t i -
hatian ini juga
Salah satu yang mendorong perilaku orang Karomelakukan ritual. Dalam kaitan
dengan penebang-an kayu sebagai tiang rumah, peranan seorangdukun
atau
 guru
dibutuhkan sebagai penghubungk e d u n i a m a g i s , c a r a y a n g
d i l a k u k a n a d a l a h dengan meletakkan sesajian berupa
belo selambar
a t a u d a u n s i r i h l e n g k a p d e n g a n k a p u r d a n tembakaunya
di bawah kayu
nderasi
dan kayu
serbenaik
yang akan ditebang. Aturan lainnya jugay a n g t e r k a i t d e n g a n
p e n e m p a t a n l e t a k r um a h tidak boleh di atas batu besar, dan harus meng-
hadap arah aliran sungai di satu kampung yaitum e n g h a d a p
kenjulu
 (hulu) dan
kenjahe
( h i l i r ) s a m p a i p r o s e s m e n d i r i k a n r u m a h . S e t e l a h i t u memasuki
rumah baru, maka mereka melakukanritual pemujaan kepada kekuatan gaib,
roh, ataumakhluk halus lainnya agar diberikan keselamat-an, kedamaian,
kesejahteraan, bagi penghuninya.H u b u n g a n m a k r o k o s m o s
m e n g a m b a r k a n adanya kekuatan di belakang proses mendirikanrumah,
yaitu: (a) kekuatan gaib yang berada
di bumi, (b) kekuatan gaib yang berada di rumah,dan (c) kekuatan gaib yang
berada pada makhlukhalus atau gaib. Kekuatan gaib ini kemudian di-
representasikan pada diri penghuninya.
Orang batak Karo mempercayai bahwa terdapatm a k h l u k - m a k h l u k
l e g e n d a y a n g m e m p u n y a i kekuatan gaib baik yang tidak terlihat
ataupunyang terlihat. Makhluk yang tidak terlihat disebutsebagai makhluk
halus yang menyerupai manusiad a n b i n a t a n g d a n a d a j u g a y a n g
b e r a s a l d a r i arwah maupun dewa alam (
semula jadi
).Makhluk-makhluk gaib yang menguasai
dunia bawah, yaitu dunia manusia adalah makhluk-makhluk dengan motif
raksasa (
singa
), termasuk juga makhluk yang menyerupai binatang cecakyang memiliki dua
kepala disebut oleh orang BatakKaro
 pengretret.
Hewan-hewan legenda
tersebut bagi orang Batak Karo kuno merupakan pen- jelmaan roh-roh yang m
enguasai dunia bawah,yang akan melindungi manusia dari kekuatan-
kekuatan jahat maupun yang bersifat magis. Olehkarena itu motif
 gerga
yang paling primitif padarumah adat Batak Karo adalah motif
 pengretret.
Selanjutnya motif inilah yang menjadi cikal bakalk e h a d i r a n
 gerga
-
 gerga
  b e r i k u t n y a p a d a r u m a h tersebut.Tranformasi bentuk-bentuk makhluk
tersebutdalam temuan para arkeolog adalah perwujudane s t e t i k a m a n u s i a
purba berdasar kepercayaan
sinkret
 yang berkembang antara agama asli denganpengaruh Hindu. Konsep estetika
manusia pra-sejarah dalam dunia arkeologi terbagi ke dalamt i g a s i f a t - s i f a t
d a l a m k o s m o l o g i m a n u s i a p a d a masa itu, yaitu sifat sakral menempati
posisi ter-tinggi yang menggambarkan kekuatan yang takterindra, kemudian
semisakral yaitu yang meng-hubungkan dunia bawah dengan dunia atas,
danyang terakhir adalah profane (Sukendar, 2004:59).Simbol-simbol tersebut
terdapat dalam berbagaipeninggalan artefak-artefak kuno. Konsep primitifini
merupakan kebudayaan manusia yang ber-kembang dan secara bersama-
sama bersentuhandengan sistem-sistem kepercayaan baru, sepertiHindu-
Budha dan Islam.
2.Sistem Organisasi Kemasyarakatan danKekerabatan Masyarakat Batak
Karo
Batak Karo memiliki sistem organisasi
sosial berdasarkan sistem kekerabatan yang disebut
rakut sitelu.
 Secara harfiah arti
rakut sitelu
adalahikatan yang menjadi satu (
rakut
 = ikat,
sitelu
 = yangtiga). Dalam praktik sosialnya
rakut sitelu
 terbentukdari hubungan perkawinan yang kemudian mem- bentuk
pranata sosial dengan menempatkan tigaunsur keluarga yaitu pihak pemberi
dara disebut
 
Vol. 7 No. 1, Juli 2011120
kalimbubu
dan pihak penerima dara disebut
anakberu
dan pihak saudara dari kedua belah pihakm a s i n g - m a s i n g d i s e b u t
senina.
K e t i g a u n s u r keluarga ini membentuk sistem kekerabatan yangmenjadi
tradisi masyarakat Batak Karo.Masing-masing unsur keluarga dalam sistem
rakut sitelu
memiliki perannya masing-masing.
Kalimbubu
adalah pihak yang paling dihormati danmemegang peranan sebagai penasihat atau
kon-s u l t a n y a n g b e r k a i t a n d e n g a n p e r i s t i w a a d a t seperti
perkawinan, pendirian rumah, atau jugapada peristiwa kematian.Sistem
kekerabatan lain yang turut memper-erat hubungan kekerabatan adalah
“marga.” Bagimasyarakat Batak pada umumnya, marga
men- jadi panggilan yang terhormat bagi seseorang.Penempatan marga
diletakkan di belakang namapertama, misalkan Gunawan Tarigan,
Gunawan(nama pertama), Tarigan (marga). Bahkan dalamp e r g a u l a n
s e h a r i - h a r i , p a n g g i l a n m a r g a p a d a seorang suku Batak merupakan
hal yang lazim.Rasinta Tarigan mengatakan: “Memanggil marga bagi orang
Batak itu menunjukkan keakraban danterdengar lebih sopan”(Tarigan,
wawancara 20April 2010)
Gambar 2.
 Skema
Rakut Sitelu
  d a l a m s i s t e m k e - kerabatan Batak.
 Jumlah marga dan sub marga pada orang BatakKaro cukup banyak, sehingga
pada 3 Desember1995 atas Keputusan Kongres Kebudayaan Karoditetapkan
pemakaian marga hanya berdasarkan
“marga silima”
 yaitu Ginting, Karo-Karo, Perangin-angin, Sembiring, dan Tarigan (Prinst,
2004:42).D i a t a s t e l a h d i j e l a s k a n , b a h w a s i s t e m k e - k er a b a t a n
masyarakat Karo dapat dilihat daripenggunaan marga,
t e r m a s u k k e d u d u k a n d a n fungsinya dalam adat istiadat telah diatur
secaraturun-temurun. Demikian juga status keluarga(
Kinship
) juga di atur oleh adat istiadat berdasarkanruang ketika berada di dalam rumah adat
(
 jabu
).Berdasarkan posisi ruang yang mereka tempati,maka seorang kepala
keluarga akan menjalankansegala fungsi kewajiban dan haknya
berdasarkanadat istiadat.S i s t e m k e k er a b a t a n B a t a k K ar o
m e r u p a k a n implementasi dari sifat gotong royong dan
ke- bersamaan dalam praktik kehidupan sosial danspiritual. Sifat
kegotongroyongan ini meningkatdalam berbagai tindakan termasuk dengan
pen-dirian rumah adat berikut ragam hiasnya atau
 gerga.
Bahkan dalam kaitan ini
Nande
Erni me-ngatakan: “dengan berkurangnya jumlah rumahadat saat ini,
dikhawatirkan generasi mendatangkhususnya orang Karo akan kehilangan
adatnya”( E r n i , w a w a n c a r a 3 J u n i 2 0 1 0 ) . P e r n y a t a a n
i n i m e m b e r i k a n g a m b a r a n t e n t a n g p e n t i n g n y a rumah
adat sebagai tempat interaksi sosial dant e r b e n t u k n y a n o r m a -
n o r m a s o s i a l d a l a m k e - hidupan sehari-hari.
3.
Gerga
 dan Kehadirannya pada Rumah AdatBatak Karo
Keberadaan
 gerga
atau ragam hias yang
se- belumnya sudah berkembang sebagai kerajinanm a s y a r a k a t B a t a k
Karo kemudian digunakan
 
󰁓󰁥󰁮󰁩󰁮󰁡󰁓󰁕󰁋󰁕󰁔 󰀯󰁔󰁕󰁁󰁎
Rumah Batak Toba, Filosofis yang Anti Gempa
Rumah Batak Toba

Kearifan budaya suatu masyarakat adat juga menyentuh aspek arsitektur rumah
(hunian)nya. Salah satunya seperti yang ditunjukkan oleh masyarakat Batak Toba. Rumah
adat Batak Toba yang berbentuk solu (perahu) dengan atap simetris ini dibangun
sedemikian rupa dengan konstruksi dan desain yanganti gempa bahkan tsunami. Meski
berada di pebukitan dan tepi danau (tidak berpotensi tsunami) namun para leluhur orang
Batak Toba sudah mengantisipasi jika kemungkinan banjir melanda kampung halaman
mereka.

Kita akan melihat konstruksi rumah adat Batak Toba secara lebih spesifik. Dari bahannya,
bahan yang digunakan adalah kayu berkualitas yang tahan sampai beratus tahun. Kayu
yang dipakai adalah yang benar-benar kuat. Biasanya didasarkan atas nyaring tidaknya
kayu ketika dipukul. Hal ini disebut "mamingning".

Seperti disinggung di atas, bangunannya yang berbentuk perahu dengan pola simetris dan
disanggah batu, membuat rumah ini lebih kokoh. Karena bentuknya yang simetris, maka
ketika terjadi gempa, rumah ini tidak sampai roboh. Karena sudut bangunan benar-benar
dibuat kongruen. Seperti kita tahu, hampir semua rumah tradisional tidak menggunakan
paku. Begitu juga dengan rumah adat Batak Toba. Kontruksi rumah dibangun dengan
sistem menjalin satu bagian pada bagian lainnya.

Secara otomatis setiap sudut kait-mengait. Secara filosofis bernilai, bahwa setiap
penghuni yang ada di dalam rumah harus saling merangkul serta bantu membantu dalam
kehidupannya.

Begitupula jika pun ada banjir bandang, rumah ini tidak akan hanyut, melainkan akan
mengapung-apung, karena bentuknya yang didesain serupa perahu.

Dua bilah papan besar yang biasa dipasang di dinding kanan-kiri, menjaga keseimbangan
rumah. Dalam arti, berat antara kanan dengan kiri bangunan, benar-benar seimbang.
Tambah lagi, kayu yang digunakan bersifat adaptif terhadap air. Semakin lama ia
terendam air, justru kayu semakin kuat.

Pondasi rumah didirikan dalam formasi segi empat yang ditopang oleh beberapa tiang.
Untuk rangka bagian atas yang disebut "bungkulan" ditopang oleh tiang utama yang biasa
disebut "tiang ningggor".

Tiang ini juga ditopang oleh penopang yang disebut "sitindangi" yang secara harafiah
berarti "yang mendirikan". Sedangkan tiang penopang "ninggor" bagian depan disebut
"sejongjongi" yang artinya sama. Tiang "ninggor" disimbolkan sebagai kejujuran dan
kebenaran. Prinsipnya bahwa untuk menegakkan kebenaran, seseorang perlu dibantu.

Pada bagian atas depan rumah ada ruang (balkon) yang biasanya dipakai ketika ada
pesta. Di ruangan inilah para pemusik biasa disebut "pargoncci" memainkan musiknya.
Posisi mereka selalu lebih tinggi, agar mereka lebih dekat dengan sang pencipta. Bagi
orang Batak Toba khususnya, wujud doa mereka disampaikan melalui musik.
Karena itu "pargoncci" memegang peran penting dalam ritus-ritus orang Batak Toba.
Mereka adalah penyampai doa-doa kepada Sang Pencipta.

Kearifan lain rumah tradisional Batak Toba diperlihatkan dari posisi tangga masuk yang
menyuruk. Karenanya setiap orang yang memasuki rumah harus setengah menunduk. Ini
mengandung arti bahwa, setiap orang yang akan masuk ke dalam rumah, mesti
merendahkan dirinya.

Jika ia tamu, maka ia mesti menghormati yang punya rumah. Jika ia pemilik rumah itu
sendiri, maka ia harus tunduk pada aturan-aturan yang telah disepakati penghuni rumah.
(jones gultom)

ARSITEKTUR RUMAH ADAT BATAK

Selama suku Batak tinggal di pesisir danau toba, mereka membentuk


suatu daerah perkampungan yang cukup unik, dimana mereka memiliki 2
rumah, yaitu rumah jantan dan rumah betina. Rumah jantan terletak disebelah
selatan, fungsinya sebagai rumah tinggal, sedangkan rumah betina terletak di
sebelah utara, fungsinya sebagai tempat menyimpan padi.  Disebut Rumah
Bolon karena suku batak toba sangat percaya akan Tuhan mereka
yaitu MULA JADI NA BOLON, jadi rumah bolon berarti rumah
Tuhan. Rumah dan sopo dipisahkan oleh pelataran luas yang berfungsi
sebagai ruang bersama warga huta. Ada beberapa sebutan untuk rumah Batak,
sesuai dengan kondisi rumahnya. Rumah adat dengan banyak hiasan (gorga),
disebut Ruma Gorga Sarimunggu atau Jabu. Batara Guru. Sedangkan rumah
adat yang tidak berukir, disebut Jabu Ereng atau Jabu Batara Siang. Rumah
berukuran besar, disebut Ruma Bolon. dan rumah yang berukuran kecil,
disebut Jabu Parbale-balean. Selain itu, terdapat Ruma Parsantian, yaitu rumah
adat yang menjadi hak anak bungsu. Penataan lumban berbentuk lebih
menyerupai sebuah benteng dari pada sebuah desa.

Ahli bangunan adat (arsitek tradisional) suku Batak disebut pande.


Seperti rumah tradisional lain, rumah adat Batak merupakan mikro kosmos
perlambang makro kosmos yang terbagi alas 3 bagian atau tritunggal banua,
yakni banua tongga (bawah bumi) untuk kaki rumah, banua tonga (dunia)
untuk badan rumah, banua ginjang (singa dilangit) untuk atap rumah.

            Pada penataan bangunan yang terdiri dari beberapa ruma dan sopo
sangat menghargai keberadaan sopo, yaitu selalu berhadapan dengan rumah
dan mengacu pada poros utara selatan. Hal ini menunjukkan pola kehidupan
masyarakat Batak Toba yang didominasi oleh bertani, dengan padi sebagai
sumber kehidupan yang sangat dihargainya. Di dalam lumban, terdapat
beberapa rumah dan sopo yang tertata secara linear. Beberapa ruma tersebut
menunjukkan bahwa ikatan keluarga yang dikenal dengan extended family
dapat kita ketemukan dalam masyarakat Batak Toba.
BAGIAN-BAGIAN RUMAH BATAK
Menurut tingkatannya Ruma Batak itu dapat dibagi menjadi 3 bagian :
1. Bagian Bawah (Tombara) yang terdiri dari batu pondasi atau ojahan
tiang-tiang pendek, pasak (rancang) yang menusuk tiang, tangga (balatuk)
2. Bagian Tengah (Tonga) yang terdiri dari dinding depan, dinding
samping, dan belakang
3. Bagian Atas (Ginjang) yang terdiri dari atap (tarup) di bawah atap urur
diatas urur membentang lais, ruma yang lama atapnya adalah ijuk (serat dari
pohon enau).
Bagian bawah berfungsi sebagai tempat ternak seperti kerbau, lembu dll.
Bagian tengah adalah ruangan tempat hunian manusia. Bagian atas adalah
tempat-tempat penyimpanan benda-benda keramat (ugasan homitan).
Menurut seorang peneliti dan penulis Gorga Batak (Ruma Batak) tahun 1920
berkebangsaan Belanda bernama D.W.N. De Boer, di dalam bukunya Het
Toba Batak Huis, ketiga benua itu adalah :
1. Banua toru (bawah)
2. Banua tonga (tengah)
3. Banua ginjang (atas) 
ATAP
Atap Rumah Bolon mengambil ide dasar dari punggung kerbau, bentuknya
yang melengkung menambah nilai keaerodinamisannya dalam melawan angin
danau yang kencang.
Atap terbuat dari ijuk, yaitu bahan yang mudah didapat didaerah setempat.
Suku batak menganggap Atap sebagai sesuatu yang suci, sehingga digunakan
untuk menyimpan pusaka mereka.

BADAN RUMAH
Badan rumah terletak dibagian tengah atau dalam mitologi batak disebut dunia
tengah, dunia tengah melambangkan tempat aktivitas manusia seperti masak,
tidur, bersenda gurau. Bagian badan rumah dilengkapi hiasan berupa ipon ipon
untuk menolak bala.

PONDASI
§  Pondasi rumah batak toba menggunakan jenis pondasi cincin, dimana batu
sebagai tumpuan dari kolom kayu yang berdiri diatasnya.
§  Tiang-tiang berdiameter 42 - 50 cm, berdiri diatas batu ojahan struktur yang
fleksibel, sehingga tahan terhadap gempa
§  Tiang yang berjumlah 18 mengandung filosofi kebersamaan dan kekokohan
§  Mengapa memakai pondasi umpak?, karena pada waktu tersebut masih
banyaknya batu ojahan dan kayu gelonggong dalam jumlah yang besar. Dan
belum ditemukannya alat perekat seperti semen
DINDING
§  Dinding pada rumah batak toba miring, agar angin mudah masuk
§  Tali-tali pengikat dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat dari ijuk atau
rotan. Tali pengikat ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai 2
kepala saling bertolak belakang, maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai
penjaga rumah, dan 2 kepala saling bertolak belakang melambangkan semua
penghuni rumah mempunyai peranan yang sama dan saling menghormati.  
PINTU MASUK BANGUNAN
Pintu Utama Menjorok kedalam dengan lebar 80 cm dan tingginya 1,5 m,
dikelilingi dengan ukiran, lukisan dan tulisan dan dengan dua kepala singa
pada ambang pintu.

Proses Mendirikan Rumah:


Sebelum mendirikan rumah lebih dulu dikumpulkan bahan-bahan
bangunan yang diperlukan, dalam bahasa Batak Toba dikatakan “mangarade”.
Bahan-bahan yang diinginkan         antara            lain:
tiang, tustus(pasak), pandingdingan, parhongkom, urur, ninggor, tureture, sij
ongjongi, sitindangi, songsongboltok dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan
untuk singa-singa, ulu paung dan sebagainya yang diperlukan. Dalam
melengkapi kebutuhan akan bahan bangunan tersebut selalu dilaksanakan
dengan gotong royong yang dalam bahasa Batak Toba dikenal sebagai
“marsirumpa” suatu bentuk gotong royong tanpa pamrih.

Sesudah bahan bangunan tersebut telah lengkap maka teknis


pengerjaannya diserahkan kepada “pande” (ahli di bidang tertentu, untuk
membuat rumah disebut tukang) untuk merancang dan mewujudkan
pembangunan rumah dimaksud sesuai pesanan dan keinginan si pemilik
rumah apakah bentuk “Ruma” atau “Sopo”.
Biasanya tahapan yang dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan
bangunan dengan kriteria yang digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu
yang diketok oleh pande dengan alat tertentu. Hai itu disebut “mamingning”.
Kayu yang suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang “Jabu bona”.
Dan kayu dengan suara nyaring kedua untuk tiang “jabu soding” yang
seterusnya secara berturut dipergunakan untuk tiang “jabu suhat” dan “si
tampar piring”.
Tahapan selanjutnya yang dilakukan pande adalah “marsitiktik”. Yang
pertama dituhil (dipahat) adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yang
mengatakan “Tais pe banjar ganjang mandapot di raja huta. Bolon pe ruma
gorga mandapot di jabu bona”.
Salah satu hal penting yang mendapat perhatian dalam membangun
rumah adalah penentuan pondasi. Ada pemahaman bahwa tanpa letak pondasi
yang kuat maka rumah tidak bakalan kokoh berdiri. Pengertian ini terangkum
dalam falsafah yang mengatakan “hot di ojahanna” dan hal ini berhubungan
dengan pengertian Batak yang berprinsip bahwa di mana tanah di pijak disitu
langit dijungjung.
Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yang dibantu beberapa tiang
penopang yang lain. Untuk keperluan dinding rumah komponen pembentuk
terdiri dari “pandingdingan” yang bobotnya cukup berat sehingga ada falsafah
yang mengatakan “Ndang tartea sahalak sada pandingdingan”sebagai isyarat
perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan dalam memikui beban berat.
Pandingdingan dipersatukan dengan “parhongkom” dengan
menggunakan “hansing-hansing” sebagai alat pemersatu. Dalam hal ini ada
ungkapan yang mengatakan “Hot di batuna jala ransang di ransang-
ransangna” dan “hansing di hansing-hansingna”, yang berpengertian bahwa
dasar dan landasan telah dibuat dan kiranya komponen lainnya juga dapat
berdiri dengan kokoh. Ini dimaknai untuk menunjukkan eksistensi rumah
tersebut, dan dalam kehidupan sehari-hari. Dimaknai juga bahwa setiap
penghuni rumah harus selalu rangkul merangkul dan mempunyai pergaulan
yang harmonis dengan tetangga.

Untuk mendukung rangka bagian atas yang disebut “bungkulan”


ditopang oleh “tiang ninggor”. Agar ninggor dapat terus berdiri tegak,
ditopang oleh “sitindangi”, dan penopang yang letaknya berada di depan tiang
ninggor dinamai “sijongjongi”. Bagi orang Batak, tiang ninggor selalu
diposisikan sebagai simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya tegak
lurus menjulang ke atas. Dan dalam menegakkan kejujuran tersebut termasuk
dalam menegakkan kebenaran dan keadilan selalu ditopang dan dibantu oleh
sitindangi dan sijongjongi.
Dibawah atap bagian depan ada yang disebut “arop-arop”. Ini
merupakan simbol dari adanya pengharapan bahwa kelak dapat menikmati
penghidupan yang layak, dan pengharapan agar selalu diberkati Tuhan Yang
Maha Kuasa. Dalam kepercayaan orang Batak sebelum mengenal agama
disebut Mula Jadi Na Bolon sebagai Maha Pencipta dan Khalik langit dan
bumi yang dalam bahasa Batak disebut“Si tompa hasiangan jala Sigomgom
parluhutan”.
Di sebelah depan bagian atas yang merupakan komponen untuk merajut
dan menahan atap supaya tetap kokoh ada “songsong boltok”. Maknanya,
seandainya ada tindakan dan pelayanan yang kurang berkenan di hati
termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu harus dipendam dalam hati.
Seperti kata pepatah Melayu yang mengatakan “Kalau ada jarum yang patah
jangan di simpan dalam peti kalau ada kata yang salah jangan disimpan dalam
hati”.
“Ombis-ombis” terletak disebalah kanan dan kiri yang membentang dari
belakang ke depan. Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut
dengan list plank. Berfungsi sebagai pemersatu kekuatan bagi “urur” yang
menahan atap yang terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam keadaan utuh.
Dalam pengertian orang Batak ombis-ombis ini dapat menyimbolkan bahwa
dalam kehidupan manusia tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari
keterbatasan kemampuan, karena itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran
dari sesama manusia. Sosok individu yang berkarakter seperti itu
disebut“Pangombisi do ibana di angka ulaon ni dongan” yaitu orang yang
selalu peduli terhadap apa yang terjadi bagi sesama baik di kala duka maupun
dalam sukacita.

Pemanfaatan Ruangan
Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yang dalam
pangertian Batak disebut “papan”. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak
goyang maka dibuat galang lantai (halang papan) yang disebut dengan
“gulang-gulang”. Dapat juga berfungsi untuk memperkokoh bangunan rumah
sehingga ada ungkapan yang mengatakan “Hot do jabu i hot margulang-
gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.”
            Untuk menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang
dekat tungku tempat bertanak ada dibuat lobang yang disebut dengan
“talaga”. Semua yang kotor seperti debu, pasir karena lantai disapu keluar
melalui lobang tersebut. Karena itu ada falsafah yang mengatakan “Talaga
panduduran, lubang-lubang panompasan” yang dapat mengartikan bahwa
segala perbuatan kawan yang tercela atau perbuatan yang dapat membuat
orang tersinggung harus dapat dilupakan.
Di sebelah depan dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon)
dan ruangan tersebut dinamai sebagai “songkor”. Di kala ada pesta bagi yang
empunya rumah ruangan tersebut digunakan sebagai tempat “pargonsi”
(penabuh gendang Batak) dan ada juga kalanya dapat digunakan sebagai
tempat alat-alat pertanian seperti bajak dan cangkul setelah selesai bertanam
padi.
            Setara dengan songkor di sebelah belakang rumah dibangun juga
ruangan berbentuk panggung yang disebut “pangabang”, dipergunakan untuk
tempat menyimpan padi, biasanya dimasukkan dalam “bahul-bahul”. Bila
ukuran tempat padi itu lebih besar disebut dengan “ompon”. Hal itu penyebab
maka penghuni rumah yang tingkat kehidupannya sejahtera dijuluki sebagai
“Parbahul-bahul na bolon”. Dan ada juga falsafah yang mengatakan “Pir ma
pongki bahul-bahul pansalongan. Pir ma tondi luju-luju ma pangomoan”,
sebagai permohonan dan keinginan agar murah rejeki dan mata pencaharian
menjadi lancar.
            Melintang di bagian tengah dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk
yang kegunaannya untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah para-para
dibuat “parlabian” digunakan tempat rotan dan alat-alat pertukangan seperti
hortuk, baliung dan baji-baji dan lain sebagainya. Karena itu ada fatsafah yang
mengatakan “Ijuk di para-para, hotang di parlabian, na bisuk bangkit gabe
raja ndang adong be na oto tu pargadisan” yang artinya kira-kira jika
manusia yang bijak bestari diangkat menjadi raja maka orang bodoh dan kaum
lemah dapat terlindungi karena sudah mendapat perlakuan yang adil dan selalu
diayomi.
Untuk masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan “tangga” yang berada di
sebelah depan rumah dan menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo
dan tangga untuk “Ruma” dulu kala berada di “tampunak”. Karena itu ada
falsafah yang berbunyi bahwa “Tampunak ni sibaganding, di dolok ni
pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi jala tangkas ma sipairing-
iringan”.
Ada kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak.
Bila tangga yang cepat aus menandakan bahwa tangga tersebut sering dilintasi
orang. Pengertian bahwa yang punya rumah adalah orang yang senang
menerima tamu dan sering dikunjungi orang karena orang tersebut ramah.
Tangga tersebut dinamai dengan “Tangga rege-rege”.

Gorga
Pada sudut-sudut rumah terdapat hiasan Gajah dompak, bermotif muka
binatang, mempunyai maksud sebagai penolak bala. Begitu pula hiasan
bermotif binatang cicak, kepala singa yang dimaksudkan untuk menolak
bahaya seperti guna-guna dari luar. Hiasan ini ada yang berupa ukiran
kemudian diberi warna, ada pula yang berupa gambaran saja. Warna yang
digunakan selalu hitam, putih dan merah.

            Semua rumah adat tersebut di atas bahannya dari kayu baik untuk
tiang, lantai serta kerangka rumah berikut pintu dan jendela, sedangkan atap
rumah terbuat dari seng. Di anjungan Sumatera Utara, rumah-rumah adat yang
ditampilkan mengalami sedikit perbedaan dengan rumah adat yang asli di
daerahnya. Hal ini disesuaikan dengan kegunaan dari kepraktisan belaka,
misalnya tiang-tiang rumah yang seharusnya dari kayu, banyak diganti dengan
tiang beton. kemudian fungsi ruangan di samping untuk keperluan ruang
kantor yang penting adalah untuk ruang pameran benda-benda kebudayaan
serta peragaan adat istiadat dari delapan puak suku di Sumatera Utara. Benda-
benda tersebut meliputi alat-alat musik tradisional, alat-alat dapur, alat-alat
perang, alat-alat pertanian, alat-alat yang berhubungan dengan mistik,
beberapa contoh dapur yang semuanya bersifat tradisional. Sedangkan
peragaan adat istiadat dan sejarah dilukiskan dalam bentuk diorama, beberapa
pakaian pengantin dan pakaian adat dan sebagainya. 

NILAI FILOSOFI RUMAH ADAT BATAK


Rumah adat bagi orang Batak didirikan bukan hanya sekedar tempat
bemaung dan berteduh dari hujan dan panas terik matahari semata tetapi
sebenanya sarat dengan nilai filosofi yang dapat dimanfaatkan sebagai
pedoman hidup.
Beragam pengertian dan nilai luhur yang melekat dan dikandung dalam rumah
adat tradisionil yang mestinya dapat dimaknai dan dipegang sebagai
pandangan hidup dalam tatanan kehidupan sehari-hari, dalam rangka
pergaulan antar individu.
Dalam kesempatan ini akan dipaparkan nilai flosofi yang terkandung
didalamnya sebagai bentuk cagar budaya, yang diharapkan dapat menjadi
sarana pelestarian budaya, agar kelak dapat diwariskan kepada generasi
penerus untuk selalu rindu dan cinta terhadap budayanya.

Anda mungkin juga menyukai